Skenario Serangan Balasan Eksperimen Gagal, Netanyahu Amankan Kekuasaan

Oleh Faisal Sallatalohy | Mahasiswa S3 Hukum Trisakti 

BANYAK penilaian irasional terhadap Hamas. Faksi Jihad bentukan Syeikh Ahmad Yassin, dituduh sebagai koalisi Zionis yang sengaja melalukan serangan lebih dulu pada 7 Oktober 2023 agar militer Israel punya alasan lakukan serangan balasan dengan gempuran terbesar sepanjang sejarah. 

Tuduhan ini, mutlak propaganda Amerika dan Israel demi mensukseskan agenda mutakhir Perdana Menteri israel, Benyamin Netanyahu yang sedang berupaya keras menghindari krisis internal Israel dengan maksud untuk menjatuhkan dirinya dari kekuasaan. 

Sebelum perang terakhir pecah pada 7 Oktober lalu, Netanyahu tengah berhadapan dengan situasi sulit akibat tekanan gelombang demonstrasi terbesar sepanjang sejarah perpolitikan Israel. Netanyahu tak kuasa menahan laju tekanan protes dalam negeri yang hampir menggulingkan dirinya akibat siasat liciknya merekayasa upaya reformasi sistem peradilan Israel. 

Sejumlah media massa Israel melaporkan, sejak Januari 2023, seperempat juta warga israel turun ke jalan menolak upaya reformasi peradilan yang diprakarsai Netanyahu. 

Meskipun menghadapi protes terbesar sepanjang sejarah demonstrasi Israel, Netanyahu tetap mendesak Knesset (parlemen israel) untuk mensahkan UU reformasi peradilan lewat pemungutan suara pada 24 Juli 2023 lalu. Dari total 120 anggota Knesset, 64 di antaranya menyetujui aturan baru tersebut. 

Inti dari perubahan sistem peradilan Israel adalah membatasi independensi kekuasaan kehakiman dalam mengawasi dan menjatuhkan sanksi terhadap pejabat pemerintahan Israel. 

Maksud tersebut direalisasikan lewat dua poin penting. Pertama, pemerintah punya hak mutlak untuk menentukan siapa yang akan menjadi hakim, termasuk di Mahkamah Agung, dengan meningkatkan keterwakilannya dalam komite yang mengangkat mereka. 

Kedua, penghapusan "klausula kecukupan" sebagai alat utama bagi lembaga peradilan meninjau kelayakan kebijakan pemerintah. 

Mayoritas warga Israel menolak perubahan tersebut dengan menuding pemerintahan Netanyahu yang didukung koalisi sayap kanan ekstrim dan kalangan religius orthodoks sedang merancang kehancuran demokrasi Israel, sengaja melemahkan kekuasaan kehakiman, meningkatkan otoritarianisme kekuasaan dan memelihara korupsi pejabat. 

Protes warga dengan maksud menggulingkan Netanyahu didukung penuh oleh oposisi di Knesset, Lair Yapid, mantan pejabat tinggi militer Israel, badan intelijen dan keamanan, mantan hakim agung, dan tokoh hukum terkemuka serta pemimpin bisnis. 

Bahkan 27 wali kota ysng mewakili berbagai otoritas lokal dengan spektrum luas dari berbagai wilayah telah menandatangani kesepakatan penolakan terhadap Netanyahu. 

Lebih mengkhawarirkan lagi, ratusan tentara cadangan, termasuk pilot angkatan udara yzng penting bagi pertahanan Israel, mengancam akan menolak melapor untuk bertugas. Hal ini menimbulkan peringatan bahwa hal itu dapat mengganggu kemampuan militer Israel. 

Bencana demonstrasi dan gelombang penolakan yg berjalan sejak Januari 2023 lalu, memunculkan bencana politik terbesar sepanjang sejarah israel. 

Pemerintahan Netanyahu dan koalisi sayap kanan ekstrim, dinilai sengaja memperlemah peranan peradilan Israel untuk melindungi Netanyahu dari tuntutan pidana. 

Kenyataan menunjukkan, dorongan Netanyahu untuk melemahkan peradilan Israel adalah tindakan arogansi yang baru muncul setelah dirinya terlibat dalam persidangan atas berbagai kasus pidana:  korupsi, penyuapan, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan dimana dirinya terlibat memberikan bantuan politik dengan imbalan hadiah mewah atau liputan berita yang menguntungkan.  

Perlu dicatat, dalam penyelidikan pidana Netanyahu dilakukan oleh kepala polisi dan jaksa agung yang mendakwa Netanyahu ditunjuk oleh Netanyahu sendiri. Dimana persidangan korupsi terhadap Netanyahu telah berlangsung lebih dari tiga tahun dan belum terlihat akan berakhir. 

Kasus ini telah tertunda beberapa kali dan Pengadilan Distrik Yerusalem masih dalam proses memeriksa daftar lebih dari 300 saksi. Jika terbukti bersalah, Netanyahu bisa dijatuhi hukuman beberapa tahun penjara.

Tentu saja, Netanyahu tidak tinggal diam. Berbagai upaya telah dilakukan. Salah satu paling penting adalah rekayasa reformasi hukum dan memperlemah peradilan yang terbaca sebagai upaya Netanyahu melepaskan diri dari jerat pidana. 

Protes berbagai elemen Israel terhadap Netanyahu bukan hanya menyangkut siasat licik Netanyahu aman diri dari tuntutan pidana korupsi yang bisa menjatuhkannya dari kekuasaan. Lebih dari itu, pengesahan aturan baru tersebut, juga mutlak menghilangkan kewenangan peninjauan kembali Mahkamah Agung Israel.

Dampaknya, Israel akan kehilangan satu-satunya lembaga independen yang mengawasi kekuasaan eksekutif dan legislatif. Mayoritas anggota parlemen di badan legislatif 'unikameral Israel' dapat mengesampingkan keputusan Mahkamah Agung dan mengesahkan undang-undang apa pun. Bahkan undang-undang yang mengancam hak-hak individu atau minoritas dengan impunitas dan kuasa mutlak cerminan kekuasaan otoriter. 

Untuk alasan ini, sejak Januari 2023, Netanyahu dikepung protes gelombang massa yang sulit dikendalikan. Publik dan pejabat oposisi Israel bergerak masif untuk menggulingkan kekuasaan Netanyahu dan koalisi teroris sayap kanan radikal yang mendukungnya. 

Sejak disahkan pada Juli lalu, Netanyahu nyaris jatuh dari kekuasaannya. Siasat licik dimainkan. Berupaya meredam gelombang protes lewat peralihan isu publik. 

Netanyahu kembali melakukan eksperimen gila yang rutin dipraktekannya setiap tahun. Lakukan provokasi di Yerusalem dan Tepi Barat. Tensi pembasmian etnis Palestina ditinggikan. Lebih dari 200 warga di Yerusalem dan Tepi Barat ditembak mati. Hal ini adalah bentuk provokasi Netanyahu untuk memancing perlawanan dan serangan Palestina. 

Bahkan Netanyahu merancang skenario serangan dadakan yg akan dilakukan pada 8 Oktober. Kabar tersebut masuk dalam radar informasi inteligen Hamas hingga terprovokasi mengawali serangan pada 7 Oktober demi meminimalisir efek serangan militer Israel. Terkonfirmasi lewat serangan Hamas yang menyasar sejumlah markas militer israel. 

Perang inilah yang diinginkan Netanyahu. Lihat saja, perang berhasil meredam gelombang demonstrasi protes di israel dengan maksud untuk menggulingkan dirinya dari kekuasaan. 

Fokus dan perhatian warga israel dipaksa berputar menoleh ke arah perang melawan Hamas. Tak seperti biasanya, warga Israel dibuat makin cemas lewat keberhasilan serangan Hamas yang berhasil menembus beberapa kota-kota dan menyandera ratusan warga Israel. Menimbulkan korban dan dampak serangan terbesar sepanjang sejarah. 

Pemerintahan Netanyahu yang didukung Amerika tampil sebagai pahlawan menyerukan serangan besar menuntut balasan. Eskalasinya direkayasa menjadi tambah besar. Semua pernyataan kecaman serta aksi serangan balasan, membuat isu dan tuntutan penggulingan Netanyahu menjadi tidak populer lagi. 

Dalam keadaan seperti ini, Netanyahu memainkan skenario keduanya dengan membentuk "Kabinet Darurat" bersama kalangan oposisi dalam negeri. Judulnya adalah menyatukan semua elemen israel demi perang melawan Hamas. 

Kabinet perang bersama eks menteri pertahanan Israel sekaligus pemimpin partai oposisi, Benny Gantz.

Netanyahu menyatakan: "Kami telah membentuk pemerintah darurat nasional. Seluruh warga Israel bersatu dan mengesampingkan perbedaan di situasi ini. Kita berdiri di sini bersama bahu-membahu demi mengirim pesan kepada musuh-musuh" 

Jelas-jelas terbaca sebagai upaya untuk memulihkan citranya dari buruk menjadi baik. Siasat menjadi pahlawan licik untuk menghapus keinginan oposisi dan warga untuk menggulingkan dirinya dari kekuasaan akibat serangkaian korupsi dan kebijakan kontroversial reformasi sistem peradilan. 

Bangsat. Demi ambisi mempertahankan kekuasaan, warga Palestina harus jadi sasaran pembantaian dengan eskalasi terbesar sepanjang sejarah. 

Mamun banyak kalangan memprediksikan, eksperimen licik Netanyahu pertahankan kekuasaan lewat provokasi perang Israel-Palestina akan memenemui kegagalan. 

Saat ini, pemerintahan Israel telah mendulang banyak serangan balik dari rakyatnya yang menilai Netanyahu gagal melindungi rakyatnya. Dikarenakan keberhasilan serangan Hamas dari darat, laut, dan udara. Hamas bahkan berhasil merangsek ke wilayah Israel dan menyusup ke desa-desanya. 

Pernyataan Ravit Hecht yang ditulis di Hareetz menyalahkan intelijen militer dan Dinas Keamanan Shin Bet yang dianggap teledor. Netanyahu dinilai kebobolan padahal selama ini mereka dikenal memiliki pertahanan yang kokoh dan ketat. 

Sejak gelombang protes pada Januarib2023 lalu, banyak informasi intelijen israel tak ditangani secara serius. Situasi Israel terpecah-belah, bahkan orang-orang di lembaga pertahanan sempat mogok kerja, membuat pengelolaan data inteligen tidak maksimal. 

Akibat keteledoran ini, Netanyahu dinilai telah menghancurkan Israel menjadi berkeping-keping. Serangan Hamas  menjadi bukti kegagalan politik Netanyahu sekaligus menjadi kegagalan terbesar dalam catatan sejarah Israel. 

Serangan warga israel atas kegagalan Netanyahu tersebut terkonfirmasi dalam survei Dialog Center yang dirilis pada Kamis kemarin. Bahwa sebanyak 86% responden mengaku serangan mendadak dari Gaza merupakan kegagalan pemerintah Israel saat ini. 

Tak hanya itu, 94% responden juga meyakini pemerintah harus bertanggung atas kesiapan yang minim sehingga menyebabkan serangan kali ini terjadi. 

Menariknya, hasil jajak pendapat itu juga menyebut: 56% warga Israel ingin Netanyahu mengundurkan diri dari kursi PM usai konflik dengan Palestina berakhir. 

Artinya, rekayasa perang Israel-Palestina lewat skenario licik serangan balasan adalah eksperimen gagal Netanyahu amankan kekuasaan. Semoga lekas digulingkan, dioenjara, lalu mati di tahanan. (*)

561

Related Post