Soal Inkonsistensi Jokowi Juaranya
ALIANSI Mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) baru saja memberikan penghargaan penting untuk Presiden Joko Widodo. Namanya, "Juara Umum Lomba Ketidaksesuaian Omongan dengan Kenyataan."
Presiden Jokowi baru saja dinobatkan sebagai figur yang inkosisten. Karena itu dalam bahasa lain, dia baru saja mendapatkan : Inkonsistensi Award!
Orang Jawa menyebut figur semacam ini dengan sebuah idiom “Isuk dele, sore tempe.” Berubah-ubah dengan sangat cepat. Tidak konsisten. Pagi bicara A. Sore harinya tiba-tiba berubah B.
Figur yang tidak bisa dipegang kata-katanya. Masalahnya menjadi jauh lebih serius karena Jokowi adalah seorang presiden. Seorang Kepala Negara. Seorang figur yang kata-katanya harus dipercaya oleh seluruh bangsa Indonesia.
Orang yang punya otoritas besar, karena ucapannya bisa menjadi hukum. Sangat berbahaya bila ada seorang presiden, seorang Kepala Negara ucapannya tidak bisa dipegang. Tidak satu kata dengan perbuatan.
Dalam agama Islam, figur semacam ini masuk kategori munafik. Yakni seseorang yang bila berkata, berdusta. Bila berjanji, tak pernah ditepati. Bila diberi amanah, dia berkhianat!
Sebuah judgement, penilaian yang sangat berat. Tentu kita seharusnya tidak boleh memberi penilaian yang sangat berat semacam itu terhadap seorang presiden.
Seorang munafik biasa saja sudah berbahaya. Apalagi seorang munafik menjadi pemimpin sebuah bangsa.
Bakal cilakalah bangsa tersebut.
Oleh karena itu, penghargaan yang diberikan oleh Aliansi Mahasiswa UGM ini tidak boleh dianggap main-main. Tidak boleh dianggap sekadar lucu-lucuan. Penghargaan itu sangat serius.
Pertama, penghargaan itu diberikan oleh mahasiswa dari kampus yang menjadi almamater Presiden Jokowi.
Harusnya UGM bangga karena seorang alumni menjadi presiden.
Tapi alih-alih bangga. Penghargaan itu menunjukkan betapa mereka sangat kecewa dengan seorang seniornya yang kini menjadi presiden.
Kedua, yang memberikan penghargaan adalah aliansi mahasiswa. Sebuah entitas sepanjang sejarah bangsa ini selalu menjadi motor perubahan.
Secara tidak langsung melalui penghargaan ini mereka menyampaikan mosi tidak percaya kepada Jokowi. Orang yang tidak satu kata dengan perbuatan, adalah orang yang tidak bisa dipercaya. Jokowi dinobatkan sebagai juara lombanya.
Padahal, dalam sebuah negara demokrasi, basis legitimasi seorang penguasa, adalah kepercayaan publik.
Kepercayaan yang mereka titipkan dalam siklus lima tahunan yang digelar melalui Pemilihan Umum.
Ketiga, Jokowi dinobatkan sebagai juara lomba. Artinya ada semacam penilaian, di kalangan para pejabat negara sedang terjadi lomba inkonsistensi.
Dengan penghargaan itu, Aliansi Mahasiswa UGM secara tidak langsung menyatakan bahwa pemerintahan di bawah kendali Jokowi tidak bisa dipercaya. Para pejabatnya bukan hanya tidak inkonsisten. Tapi justu saling berlomba menjadi juara dalam inkonsistensi.
Cilakanya, juaranya adalah Jokowi. Seorang presiden, seorang Kepala Negara yang harusnya menjadi contoh bagi semua para pejabat di bawahnya. Juga menjadi contoh bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam situasi semacam ini kita menjadi teringat ujaran dari filsuf Yunani Marcus Tullius Cicero. Ikan membusuk mulai dari kepalanya.
Ketika seorang Kepala Negara berperilaku busuk, maka kebusukan sebuah bangsa tinggal menunggu waktu. Kita tentu tidak mau hal itu terjadi.
Penghargaan dari Aliansi Mahasiswa UGM itu hendaknya menjadi semacam peringatan. Peringatan bahwa anak-anak muda dari kampus almamater Pak Jokowi ini sangat mencintai bangsanya.
Mereka pasti juga sangat mencintai almamaternya. Tidak mau nama baiknya tercoreng. Mereka pasti bangga dengan seorang seniornya yang sangat sukses di dunia politik, menjadi Presiden Indonesia.
Presiden Jokowi dan jajaran pemerintah harus menganggap penghargaan ini sebagai alarm keras yang membangunkan mereka. Sudah terlalu banyak inkosistensi yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi. Terlalu panjang bila harus dijabarkan kembali satu persatu.
Publik sudah sangat hafal dengan perilaku tersebut. Oleh karena itu, tidak perlu heran ketika presiden minta agar masyarakat mengkritik pemerintah, banyak orang yang tertawa-tawa geli. Tak percaya.
Publik makin tertawa lebar ketika Mensekab Pramono Anung meminta pers mengkritik pemerintah sekeras-kerasnya. Kritik yang sangat pedas kepada pemerintah. Publik telanjur tidak percaya.
Kebetulan pada saat bersamaan, penyidik senior KPK Novel Baswedan menyentil perlakuan polisi terhadap usataz Maher. Dia tewas di tahanan. Novel langsung dilaporkan ke polisi. Pelapornya hampir dapat dipastikan adalah ormas pendukung rezim pemerintah.
Inkonsistensi yang berimbas pada meluasnya ketidakpercayaan publik, menjadi pekerjaan rumah yang sangat serius bagi pemerintah. Dalam situasi semacam ini perlu diingat kembali pepatah lama “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak dipercaya.” **