Soal Mafia Tanah, Eros Djarot Tantang Jokowi Adu Data bukan Adu Kuasa
Jakarta, FNN - Seniman yang juga Ketua Gerakan Bhinneka Nasional (GBN) Eros Djarot membesuk salah satu korban kriminalisasi kasus tanah, SK Budiarjo, di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (12/1). SK Budiarjo atau yang dikenal dengan Budi merupakan Ketua Forum Korban Mafia Tanah (FKMTI).
Eros meminta semua pihak yang dirugikan karena mafia tanah, termasuk Budi, untuk tidak takut dan akan membantu mengusut kasus ini. Ia mengajak semua korban untuk adu data dengan pihak-pihak terkait.
"Jadi enggak usah takut. Yang penting kita santun, sopan, enggak usah teriak-teriak. Kita tunjukkan aja, kita adu data. Pak Presiden, Pak Menkopolhukam Mahfud MD, Kejaksaan, Kapolri kalau memang mau ayo kita adu data, jangan adu fitnah dan jangan pakai adu kuasa," kata Eros dalam keterangannya, dikutip Jumat (13/1).
Eros mengatakan, semua korban memiliki data-data. Sehingga bisa diadu untuk menentukan siapa sebetulnya yang harus ditahan di penjara.
"Kita minta sekali lagi Pak Jokowi, kami cinta sampeyan, Pak Mahfud, ayo kita bantu Pak Jokowi dan Pak Mahfud. Salah satu membantunya dengan meminta Pak Presiden, saya juga pendukung anda, ya, ayo kita adu data, kami siap. Mudah-mudahan semangat kita tidak gendor," ujar Eros di halaman penjara Salemba.
"Kita harus sadar bahwa negara ini diperuntukkan seluruh hasil bumi, kekayaan negeri ini untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya, bukan kemakmuran segelintir orang. Apalagi segelintir orang yang sukanya merampas tanah rakyat. Jadi mafia ini ada di mana-mana. Kali ini Mas Budi Ketua Forum Mafia Tanah, dia memperjuangkan haknya malah dipenjara. Ini, kan, enggak benar," tegasnya lagi.
Pada kesempatan yang sama, putra Budi mengungkapkan kasus yang dihadapi ayahnya murni kriminalisasi. Ia menegaskan, tanah yang kini dipermasalahkan dibeli ayahnya dengan itikad baik.
"Karena bapak saya, kan, membeli, punya itikad baik, menggunakan juga tidak. Tanah kami yang di Cengkareng. Bapak saya beli [tahun] 2006 habis dari jual pabrik di China, bapak saya beli tanah itu," ungkap putra Budi.
Ia kemudian menyebut ayahnya ditahan di penjara dua hari yang lalu. Tak hanya ayahnya, ibunya yang bernama Nurlaela juga ditahan namun terpisah di Polda Metro Jaya.
"Ibu sama. [Tahanan] dipisah. Kasus yang sama. [Kenapa] dipisahkan kurang tahu juga saya. Upaya hukum tetap jalan," ujarnya.
Usai menjenguk Budi di Rutan Salemba, Eros dan rombongan pun menuju ke Komnas HAM untuk mengadukan kasus Budi. Eros dan rombongan diterima Komisioner Pengaduan Komnas HAM, Harry.
Di sana, kedua anak Budi dan Wakil Sekjen FKMTI Edwin menceritakan kronologi kasus tanah hingga penahanan yang dilakukan. Mendengar itu, Komnas HAM berjanji akan segera mempelajari kasusnya.
"Harry berjanji akan mempelajari kasus itu. Sedang terkait kasus istri Ketua FKMTI ditahan, Komnas HAM berjanji segera menghubungi pihak terkait untuk bisa dibebaskan karena Ibu Nurlaela masih sakit dan baru menjalani operasi," pungkasnya.
Latar Belakang Kasus
Pengacara Budi, Yahya Rasyid, mengungkapkan kasus yang menimpa kliennya ini bermula dari 2006 silam. Awalnya, Budi membeli sebidang tanah di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat.
Tanah tersebut telah dibayar lunas oleh Budi. Dia pun telah mendapatkan girik sebagai tanda kepemilikan.
"Tiba-tiba dari pihak Agung Sedayu Grup itu dia merasa bahwa tanah itu masuk di sertifikatnya nomor 633 itu, sehingga berperkara lah dia dengan penjual. Bukan Pak Budi, dan penjualnya menang," ungkap Yahya.
Bukannya menyerah karena telah kalah dalam gugatan, perusahaan itu malah melakukan penyerobotan lahan milik Budi. Bahkan, kontainer yang ditempatkannya di tanah itu dicuri dan Budi mendapat kekerasan fisik.
Hal tersebut lantas dilaporkan Budi ke Polres Metro Jakarta Barat dan Polda Metro Jaya. Hanya saja, laporan itu tak kunjung ditindaklanjuti.
"Begitu dipukul, dia lapor polisi, ketika lapor polisi di Polres Jakbar, diproses penyelidikan dan penyidikan. Kemudian stuck dia punya laporan, karena alasannya hilang berkasnya. Kedua, penyerobotannya dan pencurian kontainernya, kan, itu dilapor di Polda, di Polda juga tidak jalan," jelas Yahya.
"Akhirnya diadukan di Bareskrim akhirnya digelar. Dinyatakan itu 10 penyidik dinyatakan melakukan pelanggaran kode etik tapi tidak ada tindak lanjutnya, tiba-tiba dikeluarkan SP3," sambung dia.
Surat girik yang sempat dijadikan bukti dalam laporan itu pun dikembalikan polisi ke Budi. Dia pun lantas membuatkan sertifikat tanah miliknya itu.
Usai sertifikat itu terbit, Budi malah dipolisikan oleh PT Agung Sedayu Grup dengan tuduhan pemalsuan dokumen pada sekitar 2016 silam.
"Pak Budi ini sama sekali tidak ada berurusan dengan pemalsuan menggunakan surat palsu, ya, sesuai Pasal 266, 263, itu, kan, tidak ada. Jadi unsur deliknya itu sama sekali tidak ada. Justru dia yang korban dan ini sudah beberapa kali dijembatani, ya, dimediasi. Dan surat-suratnya pak Budi sudah digelar di Menkopolhukam, ternyata terdaftar, sah, bener semua surat-suratnya," tutur Yahya.
Atas laporan itu, Budi langsung ditetapkan sebagai tersangka. Dia pun langsung menempuh jalur praperadilan.
Hanya saja, Budi malah dijemput paksa lantaran dinilai tak menghadiri penyerahan tersangka dan barang bukti ke kejaksaan atau tahap dua.
"Ada panggilan tahap 2 tapi enggak kita hadiri, karena, kan, dilakukan upaya hukum tidak perlu untuk tahap 2. Kita praperadilan, kan, Polda dipanggil, Kejati dipanggil tidak menghargai peradilan. Melecehkan peradilan, tidak hadir, malah dia jemput paksa," katanya.
Hingga saat ini, Budi masih mendekam di Rutan Salemba atas perkara tersebut. Pihaknya pun telah mencoba mengadukan hal tersebut ke Menkopolhukam, namun belum mendapat tindak lanjut.
"Kita minta ke Menkopolhukam itu untuk meminta bantuan hukum supaya dilakukan penangguhan penahanan, tapi sampai sekarang belum ada tindaklanjutnya," tutup dia. (sof).