Soal Pensiunan Bebani Negara, Said Didu: Pensiun ASN dari Potong Gaji
Jakarta, FNN – Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu mempertanyakan pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (SMI) yang menyebut pensiunan jadi beban keuangan negara. Sebelumnya, dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (24/8/2022), SMI menyatakan, pensiunan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) memberikan beban sebesar Rp 2.800 triliun terhadap keuangan negara.
Menanggapi pernyataan SMI tersebut, Said Didu mempertanyakan pilihan diksi “Kok membebani?” Padahal, 1) para pensiunan tersebut menerima pensiun dari gajinya yang dipotong setiap bulan selama bekerja dan dikelola oleh Taspen. 2) tingginya tambahan APBN karena pemerintah tidak pernah menutup kewajiban iuran sebagai pemberi kerja secara penuh. Sekarang para pensiunan 'dimusuhi'," tulisnya dalam akun @msaid_didu, dikutip FNN, Jumat (26/8/2022).
Menjawab pertanyaan Said Didu, di aplikasi yang sama Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo menjelaskan, 1) saat ini pensiun PNS menggunakan UU 11/1969, yang mengatur program Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Hari Tua (JHT) untuk PNS. JP menggunakan skema '_pay as you go_' yang dibayar pemerintah via APBN. Mandat UU 11/1969 memang demikian, sampai terbentuknya dana pensiun.
Di antara tujuh rangkaian cuitan, Prastowo menulis, 3) PNS dikenai potongan 8% per bulan. Rinciannya: 4,75% utk program jaminan pensiun, 3,25% untuk program JHT. Iuran 4,75% itu diakumulasikan sebagai Akumulasi Iuran Pensiun (AIP), dan bukan dana pensiun. Iuran 3,25% dikelola PT Taspen dan diberikan sekaligus saat PNS pensiun.
Hingga, berita ini diturunkan, perang cuitan belum terjeda. Bahkan Prastowo mengeluarkan kata “_gombale mukiyo_” untuk menggambarkan kekesalannya kepada “kengeyelannya” Said Didu terhadap penjelasan yang diberikannya di media sosial. Seperti disebutkan oleh netizen medsos, “_gombale mukiyo_” ada yang mengartikannya gombal itu pakaian bekas. Netizen dengan nama Tarjo dalam akun @EkoCukuplah menulis, “Gombal itu pakaian Bekas.. mukiyo itu nama orang biasanya nama orang kurang beruntung.. Gombale Mukiyo pakaian bekas milik mukiyo.. biasanya dimaknai kalau seseorang diajak omong susah, lemas atau lemot.. itu yang saya tahu.. sebaiknya pejabat jangan gitulah pak pras....” Namun, netizen lain, @Wapu_7 mengingatkan, frasa “_gombale mukiyo_” ini bisa memiliki pengertian yang banyak. Sumber FNN yang asli Nganjuk Jawa Timur mengartikan, Mukiyo aslinya nama orang tidak waras, sehingga kemudian dikonotasikan sebagai orang kurang waras atau orang gila. Sedangkan gombale sebagai bualan, atau lebih pas diartikan sebagai ceracaunya orang tidak waras.
Lepas dari perang cuitan tersebut, menurut catatan FNN, dari yang diberdebatkan tersebut UU No. 11 Tahun 1969 mengatur tentang besaran pensiun pegawai (Pasal 11), bahwa (1) besarnya pensiun-pegawai sebulan adalah 2,5% (dua setengah persen) dari dasar-pensiun untuk tiap-tiap tahun masa-kerja, dengan ketentuan bahwa: a. pensiun-pegawai sebulan adalah sebanyak-banyaknya 75% (tujuh puluh lima persen) dari dasar-pensiun; b. pensiun-pegawai sebulan dalam hal termaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf b Undang-undang ini adalah sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari dasar-pensiun;. Dan, dalam penjelasan pasal 11 tersebut disebutkan, bahwa dalam rangka pembentukan dana pensiun, maka dengan Peraturan Pemerintah termaksud dalam pasal 2 huruf a Undang-undang ini, dapat ditetapkan persentase-persentase yang tinggi daripada yang ditetapkan dalam pasal ini. Artinya, ketentuan besarnya pensiun-pegawai sebulan ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari gaji-pokok dapat lebih besar apabila sudah terbentuk dana pensiun yang pengaturannya melalui Peraturan Pemerintah.
Kemudian, melalui Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur tentang pembentukan dana pensiun, dengan mengutip iuran sebesar 8% (delapan persen) dari penghasilan sebulan di luar tunjangan pangan. Menurut PP 25/1981, pasal 6 disebutkan, Peserta wajib membayar iuran setiap bulan sebesar 8% (delapan persen) dari penghasilan sebulan tanpa tunjangan pangan. Iuran sejumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), peruntukannya ditentukan sebagai berikut : a. 4 3/4 %(empat tiga perempat persen, 4,75% ) untuk pensiun; b. 3 1/4 % (tiga perempat persen, 3,25% ) untuk tabungan hari tua.
PP No.25 Than 1981 direvisi dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2013 tentang Asuransi Sosial PNS. Aturan yang keluar 9 April 2013 ini menyebutkan bahwa semua instansi pemerintah, baik di pusat maupun daerah wajib memotong 8% dari penghasilan bulanan PNS, setelah dikurangi dana tunjangan pangan, untuk iuran pensiun dan hari tua. Seperti PP No.25/1981, perincian penggunaan dana itu, sebesar 4,75% untuk program pensiun dan 3,25% untuk tunjangan hari tua. Aturan ini berlaku untuk semua PNS atau sekitar 4,7 juta orang.
Ketika itu, Asisten Deputi Kesejahteraan Pegawai Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kempan RB), Salman Syabat menjelaskan, PP baru ini akan mengurangi beban anggaran negara untuk membayar pensiun PNS yang tahun ini mencapai Rp 73,4 triliun.
Menurut Salman, selama ini, pemerintah selalu menalangi biaya pensiun dan jaminan hari tua PNS. Tak pelak, “Ini menjadi beban anggaran,” ujarnya Jumat, (3/5). Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan mencatat sejak 2007-2013 pemerintah memiliki utang iuran pensiun PNS ke PT Taspen Rp 11.7 triliun. Dan, tahun ini bisa bertambah Rp 3 triliun sampai Rp 5 triliun lagi. Dalam aturan yang sama, pemerintah akan tetap menyelesaikan kekurangan pembayaran utang iuran itu ke Taspen. Taspen punya kewajiban mengelola iuran para pegawai negeri serta membayar pensiun jika PNS memasuki masa pensiun. Ini berbeda dengan aturan sebelumnya, pemerintah yang bertugas membayar dana pensiun bagi PNS. Dengan begitu, PNS bisa menikmati imbal hasil dari pengelolaan dana itu saban tahun. Artinya, saat masuk masa pensiun, akumulasi dana yang diterima PNS bisa lebih besar ketimbang memakai sistem sebelumnya. Hanya, PNS yang sudah masuk masa pensiun tak lagi bisa menikmati kenaikan gaji lagi.
Namun, Sri Mulyani menegaskan, pembayaran pensiunan seluruhnya mengandalkan APBN. "Yang terjadi sekarang, ASN, TNI, POLRI memang mengumpulkan dana pensiun di Taspen dan Asabri namun untuk pensiunnya mereka enggak pernah membayarkan, tetapi yang membayarkan APBN penuh," ujarnya. Kemudian ditimpali Said Didu dengan cuitan; “Dan itu sudah berlangsung lama tapi tidak diselesaikan oleh Menkeu. Padahal Ibu Sri Mulyani pasti sudah paham saat jadi Menkeu sejak tahun 2004 tapi tidak diselesaikan. Ujug-ujug sekarang muncul "tuduhan" bahwa pensiunan jadi beban padahal beban muncul karena kewajiban pemerintah tidak diselesaikan.” (Fikri)