Solusi Krisis: Dekrit Presiden Kembali ke UUD 1945 Asli!

Presiden Soekarno.

Presiden Jokowi tentu saja tak perlu copy paste Dekrit Presiden Soekarno itu. Cukup menyatakan “Diberlakukannya Kembali UUD 1945”. Tiga poin lainnya tinggal disesuaikan dan ditata kembali saja.

Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN

INDONESIA di ambang krisis ekonomi dan politik. Apalagi, hutang kita sudah mencapai angka lebih dari Rp 7.000 triliun. Entah berapa tahun lagi hutang ini terlunasi. Entah presiden siapa yang berhasil melunasinya.

Anehnya, Pemerintah justru lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur daripada membangun ekonomi kerakyatan. Tuntutan mahasiswa dalam setiap kali unjuk rasa sepertinya nyaris tak terdengar dan sulit dipenuhi.

Dari 6 tuntutan mahasiswa dalam unjuk rasa BEM SI, Senin, 11 April 2022, yang dipenuhi baru tuntutan perpanjangan masa jabatan presiden dan soal penundaan Pemilu 2024. Pemilu tetap digelar 24 Februari 2024.

Apakah tuntutan janji-janji semasa kampanye Pilpres 2019 pasangan Joko Widodo - Ma’ruf Amin bakal dipenuhi dalam waktu sekitar 2,5 tahun lagi? Belum ada jawaban dari Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin. 

Anggaran Pemilu 2024 pun sudah ditetapkan KPU sebesar Rp 110,4 Triliun. Jangan sampai proses demokrasi mahal ini menghasilkan pemimpin petugas partai seperti yang terjadi selama 2 kali Pemilu (2014 dan 2019) ini.

Ketika harga-harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng, yang sebelumnya didahului dengan “hilangnya” minyak goreng di pasaran, pemerintah dan DPR tidak bisa berbuat banyak. Padahal, rakyat sangat susah mencarinya.

Begitulah kalau sumber-sumber kekayaan negara dikuasai segelintir menusia serakah yang dikenal sebagai Oligarki. Ribuan, bahkan jutaan hektar lahan di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi, misalnya, dikuasai oligarki.

Mereka menguasai perkebunan kelapa sawit. Ketika rakyat kesulitan mencari minyak goreng, ternyata mereka malah mengekspornya karena keuntungan yang diperolehnya lebih besar ketimbang dijual di dalam negeri.

Itulah jahatnya oligarki! Mereka lebih mementingkan kelompoknya ketimbang rakyat yang mesti antri berjam-jam untuk membeli minyaknya. Meskipun ada upaya “mengendalikan” harga minyak goreng, pemerintah tidak dianggap oleh oligarki penguasa minyak goreng dan lahan kelapa sawit.

Harga minyak goreng tetap saja mereka yang tentukan. Inilah akibat dari UUD 1945 yang telah mengalami Amandemen sampai 4 kali oleh MPR RI.

Sepanjang sejarahnya, UUD 1945 itu telah mengalami 4 kali amandemen atau perubahan dalam kurun waktu dari 1999 hingga 2002 yang dilakukan dalam Sidang Umum maupun Sidang Tahunan MPR.

Rangkaian pelaksanaan amandemen UUD 1945 seperti dikutip dari buku Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945? (2019) karya Taufiequrachman Ruki dan kawan-kawan bisa dibaca berikut ini:

1. Amandemen Pertama UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Umum MPR 14-21 Oktober 1999; 2. Amandemen Kedua UUD 1945 dilakukan di Sidang Tahunan MPR 7-18 Agustus 2000;

3. Amandemen Ketiga UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 1-9 November 2001; 4. Amandemen Keempat UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 1-11 Agustus 2002.

Pasal apa saja yang Mengalami Perubahan dalam Amandemen UUD 1945?

Amandemen UUD 1945 yang pertama dalam Sidang Umum MPR 1999 diterapkan terhadap 9 pasal dari total 37 Pasal, yakni Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21.

Sedangkan Amandemen UUD 1945 kedua yang dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 2000 meliputi 5 Bab dan 25 Pasal.

Amandemen UUD 1945 ketiga dalam Sidang Tahunan MPR 2001 mencakup beberapa pasal dan bab tentang Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman, dan lainnya.

Terakhir, Amandemen UUD 1945 keempat yang dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 2002 menyempurnakan penyesuaian untuk perubahan-perubahan sebelumnya termasuk penghapusan atau penambahan pasal/bab.

Salah satu contoh ekses negatif dari amandemen UUD 1945 bisa dibaca dalam tulisan Koordinator INVEST Ahmad Daryoko, “Ternyata Penjualan PLN Tetap Jalan dengan UU Omnibuslaw!

Sebenarnya program penjualan PLN itu ada dalam UU Nomor 20/2002 dan UU Nomor 30/2009 tentang Ketenagalistrikan yang sudah dibatalkan MK dengan putusan MK Nomor 001-021-022/PUU - I/2003 pada 15 Desember 2004 dan putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015 pada 14 Desember 2016.

Tetapi, tulis Ahmad Daryoko, Rezim ini ternyata tetap “ngotot” menjual PLN dengan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja (Dalam Kluster Kelistrikan pasal 42 halaman 243 ) yang terbit pada 2020 kemarin. 

Akibatnya saat ini aset PLN nyaris habis. Hanya tersisa luar Jawa-Bali (atau 15 persen dari kelistrikan Nasional).

Yang di Jawa-Bali, operasi pembangkit PLN kurang dari 10 persen perhari. Sementara pembangkit swasta IPP menyediakan 90 persen dari kebutuhan total rata-rata sekitar 25.000 MW. Sementara retail sudah dikuasai oligarki.

Dekrit Presiden

Untuk keluar dari krisis multidimensi yang sudah di depan mata ini, Presiden Joko Widodo bisa segera mengeluarkan Dekrit Presiden Kembali ke UUD 1945 Asli.

Sebab, sumber kegaduhan selama ini bermula dari amandemen UUD 1945 itu. Pasca amandemen UUD 1945 itu, banyak UU akhirnya diubah sesuai pesanan Asing dan Aseng.

Untuk menyelamatkan Indonesia, Presiden Jokowi bisa mencontoh langkah yang dilakukan Presiden Soekarno yang mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Itulah dekrit pertama dalam sejarah Republik Indonesia.

Puluhan tahun kemudian, yakni setelah Reformasi 1998 yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru, tepatnya tanggal 23 Juli 2001, Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, juga mengeluarkan dekrit tapi ditolak oleh MPR kala itu.

Latar belakang dan alasan Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 adalah dari kegagalan Konstituante menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUD Sementara 1950.

Konstituante adalah badan atau dewan perwakilan yang dibentuk pada 1956 dan ditugaskan untuk membentuk konstitusi baru bagi Republik Indonesia. UUDS 1950 sendiri digunakan sejak 1950 seiring dibubarkannya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang semula dipakai sebagai konsekuensi pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949.

Sejak dibentuk sebagai hasil dari Pemilu 1955, Konstituante mulai melakukan sidang pada 10 November 1956 untuk merumuskan UUD yang baru sebagai pengganti UUDS 1950.

Namun, hingga 1958, Konstituante tidak berhasil menjalankan tugasnya itu, sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959.

Kegagalan Konstituante merumuskan UUD baru yang disebabkan banyaknya kepentingan dari masing-masing kelompok memunculkan berbagai gejolak di berbagai daerah. Situasi negara ketika itu tidak kondusif dan cukup kacau karena gejolak tersebut.

Kondisi tersebut membuat Presiden Sukarno mengumumkan Dekrit Presiden 1959 sebagai “Hukum Keselamatan Negara”. Sehingga, tujuan dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959 itu adalah untuk menyelamatkan negara berdasarkan staatsnoodrecht atau hukum keadaan bahaya bagi negara.

Dengan adanya Dekrit Presiden 1959, maka masa Demokrasi Liberal atau Parlementer di Indonesia resmi berakhir dan dilanjutkan dengan masa Demokrasi Terpimpin.

Dikutip dari buku Sejarah Hukum Indonesia (2021) yang ditulis oleh Sutan Remy Sjahdeini, isi Dekrit Presiden 1959 secara ringkas adalah sebagai berikut:

Dibubarkannya Konstituante; Diberlakukannya kembali UUD 1945; Tidak berlakunya lagi UUD 1950; Dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Adapun isi Dekrit Presiden 1959 dalam format aslinya adalah sebagai berikut:

DEKRET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG TENTANG KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Dengan rachmat Tuhan Jang Maha Esa,

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG Dengan ini menjatakan dengan chidmat:

Bahwa andjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 jang disampaikan kepada segenap rakjat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara;

Bahwa berhubung dengan pernjataan sebagian besar anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak lagi menghadiri sidang. Konstituante tidak mungkin lagi menjelesaikan tugas jang dipertjajakan oleh rakjat kepadanja;

Bahwa hal jang demikian menimbulkan keadaan-keadaan ketatanegaraan jang membahajakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masjarakat jang adil makmur;

Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakjat Indonesia dan didorong oleh kejakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunja djalan untuk menjelamatkan Negara Proklamasi;

Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut,

Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG Menetapkan pembubaran Konstituante;

Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekret ini dan tidak berlakunja lagi Undang-Undang Dasar Sementara.

Pembentukan Madjelis Permusjawaratan Rakyat Sementara, jang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnja.

Ditetapkan di Djakarta pada tanggal 5 Djuli 1959

Atas nama Rakjat Indonesia Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang

SOEKARNO

Presiden Jokowi tentu saja tak perlu copy paste Dekrit Presiden Soekarno itu. Cukup menyatakan “Diberlakukannya Kembali UUD 1945”. Tiga poin lainnya tinggal disesuaikan dan ditata kembali saja.

Sehingga, dalam sisa masa jabatan Presiden Jokowi hingga 2024, penyesuaian yang dimaksud itu bisa segera dilakukan. Peraturan Perundangan yang dinilai merugikan rakyat, bisa dihapus seperti UU Omnibuslaw.

Bila ini dilakukan oleh Presiden Jokowi, insya’ Allah, pada akhir masa jabatan periode kedua ini, Jokowi bisa menjadi “Pahlawan” di mata rakyat karena telah menyelamatkan Indonesia dari krisis politik berkepanjangan.

Mengenai hal-hal lain yang bersifat teknis dan sebagainya bisa dibicarakan di Senayan secara bersama dalam tempo sesingkat-singkatnya. (*)

636

Related Post