Stok Pangan Nasional Terancam?

Dalam keadaan terpaksa, impor beras harus dilakukan pemerintah dalam usaha mengamankan cadangan nasional. Nah, saya mendapatkan informasi bahwa pemerintah sudah berniat melakukan impor. Penjajakan sudah dilakukan ke sejumlah negara pengekspor beras, seperti Thailand, Vietnam dan Laos. Akan tetapi, negara-negara produsen beras itu kabarnya menolak permintaan Indonesia. Alasannya, karena pemerintah negara-negara tersebut lebih mengutamakan kebutuhan pangan rakyatnya ketimbang mengekspor

By Mangarahon Dongoran

Jakarta, FNN - Senin (28/12). Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) meluncurkan komoditas pangan olahan beras singkong. Peluncurannya dilakukan di Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa 15 Desember 2020.

Nama keren pun disandangkan pada produk yang diyakini rendah kolestrol itu. Besita atau Beras Singkong Petani, nama resmi yang disandangkan pada produk makanan alternatif tersebut. Makanan alternatif, karena diharapkan mampu mendorong usaha pemerintah dalam mensukseskan program diversifikasi pangan.

Besita menggunakan bahan baku singkong lokal dari petani. Ini sangat bagus dan sangat pro-petani. Sebab, tanaman singkong di Indonesia cukup luas. Hampir tiap jengkal tanah di negeri ini bisa ditanami singkong, mulai dari Sabang sampai Merauke.

Kita harus mengacungkan jempol atas keberhasilan meluncurkan Besita itu. Terlebih lagi peluncurannya dilakukan oleh Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso, Gurbenur Jawa Barat Ridwan Kamil, Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Soni Sulistia Wirawan, Ketua Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) Arifin Lambaga dan sejumlah pemangku kepentingan terkait lainnya.

Direktur Utama Bulog, Budi Waseso, mengatakan, potensi Indonesia yang kaya akan produksi singkong harus dimanfaatkan sebagai upaya pemerintah untuk mensukseskan program diversifikasi pangan. Sebab, selama ini Indonesia masih sangat ketergantungan terhadap beras dan dapat memicu permasalahan ketahanan pangan nasional.

“Produksi olahan singkong Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia dan sangat melimpah di tanah nusantara, sehingga membutuhkan suatu gagasan untuk menciptakan alternatif pangan selain beras. Maka kami melalui kerja sama dengan berbagai pihak telah memulai pengembangan singkong," kata Budi.

Indonesia memiliki potensi singkong yang sangat besar, sekitar 85 persen dari luas singkong dunia tersebar di Sumatera, Maluku, Sulawesi, Papua termasuk Jawa dan dengan tingkat produktivitas yang sangat tinggi.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian RI, luas panen ubi kayu atau singkong di Indonesia tahun 2019 sekitar 0,63 juta hektar dengan produksi 16,35 juta ton. Angka ini sebenarnya terus turun sejak tahun 2015, baik dari segi luas maupun produksi. Produksi rata-rata baru 20 ton per hektar. Padahal, masih bisa ditingkatkan menjadi 26 ton per hektar, dan bahkan bisa rata-rata 40 ton per hektar.

Besita, nama yang keren dan oke. Menjadi bahan pangan alfernatif, bagus. Rendah karbohidrat, jelas bagus untuk kesehatan. Menggunakan bahan baku singkong lokal, sangat tepat karena sangat pro petani.

Memasuki Bulan Paceklik

Yang menjadi pertanyaan, mengapa peluncuran Besita dilakukan menjelang penghujung tahun 2020)? Apakah ini benar-benar merupakan antisipasi Bulog dalam menghadapi pengadaan pangan yang semakin sulit pada bulan-bulan mendatang, terutama Januari, Februari dan Maret 2021?

Biasanya, pada bulan-bulan tersebut (Januari, Februari dan Maret) adalah masa-masa paceklik. Paceklik karena belum masuk musim panen raya. Paceklik, karena para petani biasanya lebih senang menyimpan padinya, terutama dimaksudkan ssbagai cadangan atau lumbung pangan petani.

Paceklik, belum tentu tidak ada gabah atau beras. Paceklik, karena Bulog biasanya juga kewalahan dalam menghadapi para pedagang beras yang sama-sama terjun ke "tengah sawah" untuk berburu gabah/padi. Dalam hal ini terjadi persaingan antara petugas Bulog di lapangan dengan para pedagang beras, termasuk bersaing dengan tengkulak.

Pengadaan pangan oleh Bulog bisa jeblok di bulan-bulan tersebut. Sebab, kalaupun petani ingin menjual gabah/beras, tentu lebih senang kepada pedagang atau pengumpul karena harga yang diberikan lebih menggiurkan ketimbang ke Bulog.

Saya kurang tahu posisi stok pangan nasional yang kini dikuasai Bulog. Namun, angka terakhir saya baca realisasi pengadaan pangan hingga 23 Desember 2020 sebanyak 1.252.524 ton. Mungkin angka ini sudah bertambah hingga tulisan ini dibuat.

Itu kan realisasi pengadaan. Jika ditambah dengan stok yanh ada, mungkin jumlahnya bisa 1,5 juta ton atau bahkan 2 juta ton lebih. Namun, sekali lagi, realisasi pengadaan pangan pada Januari sampai Maret biasanya melambat. Yang terjadi justru pengurangan stok yang ada.

Stok pangan nasional harus benar-benar aman. Apalagi, bulan April 2021 sudah memasuki bulan puasa. Biasanya, di bulan ini stok banyak terkuras dari gudang Bulog untuk operasi pasar.

Saya juga kurang paham apakah strategi Besita itu sebagai langkah jitu dalam menghadapi kemungkinan terjadinya paceklik stok pangan nasional. Sebab, tidak ada angka, sudah berapa pabrik Besita yang ada. Berapa kapasitas terpasang dan kapasitas peoduksinya per hari, per minggu atau per bulan. Jangan-jangan, peluncurannya hanya seremonial, agar pengusaha mendapatkan kucuran dana pinjaman lunak dari pemerintah. Mungkin, perkiraan saya terlalu jauh.

Ada satu pertanyaan lagi yang membuat pikiran saya sedikit galau. Jika cadangan pangan nasional yang dikuasai Bulog benar-benar menipis - katakanlah tidak bisa mencukupi kebutuhan 6 bulan impor - lalu darimana Bulog harus menutupinya?

Jika stok pangan nasional yang dikuasai Bulog menipis, biasanya kran impor beras dibuka. Meskipun saya kurang setuju dengan impor, karena selain menguras devisa, juga dapat mengabaikan kekuatan petani dalam negeri.

Namun, dalam keadaan terpaksa, impor beras harus dilakukan pemerintah dalam mengamankan cadangan nasional. Nah, saya mendapatkan informasi bahwa pemerintah sudah berniat melakukan impor. Penjajakan sudah dilakukan ke sejumlah negara pengekspor beras, seperti Thailand, Vietnam dan Laos. Akan tetapi, negara-negara produsen beras itu kabarnya menolak permintaan Indonesia. Alasannya, karena pemerintah negara-negara tersebut lebih mengutamakan kebutuhan pangan rakyatnya ketimbang mengekspor.

Apakah benar penolakan itu karena negara-negara produsen beras tidak mengekspor beras? Jangan-jangan, pemerintah Indonesia tidak memiliki uang untuk membelinya. Jangan-jangan, bukan mau membeli, tetapi tukar-menukar komoditas. Atau bisa jadi, pinjam beras, seperti yang pernah dilakukan Indonesia di masa Orde Baru.

Sebab, membeli beras dalam jumlah banyak tentu membutuhkan dana kontan dalam nilai besar. Apakah ada uangnya untuk membeli beras impor? Sebab, di tengah pandemi Corona Virus Disaesa 2019 (Covid-19), keuangan Indonesia tekor alias defisit Rp 1.000 triliun lebih.

Berdasarkan perkiraan Kementerian Keuangan, defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 semakin melebar akibat penerimaan pajak yang sulit mencapai target. Di sisi lain, beban utang dan bunga utang pemerintah terus meningkat untuk membiayai APBN.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor72 tahun 2020, defisit APBN ditargetkan Rp 1.039,2 triliin atau 6, 34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini cukup mengkhawatirkan, di tengah resesi ekonomi yang melanda dunia.

Mengkhawatirkan, karena Indonesia yang juga mengalami resesi ekonomi masih sangat membutuhkan pinjaman, termasuk pinjaman membiayai kebutuhan pangan. Sementara, lembaga donor dan negara donor dalam posisi kesulitan keuangan akibat banyaknya negara yang juga sama-sama membutuhkan pinjaman luar negeri. **

Penulis, Pemimpin Redaksi FNN.co.id.

358

Related Post