Strategi Kontraproduktif BNPT dan Budi Gunawan Tidak Sejalan dengan Asta Cita Prabowo
Oleh Faisal S Sallatalohy | Kandidat Doktor Hukum Trisakti
Poin pertama Asta Cita rezim Prabowo-Gibran, memuat ketentuan memperkokoh ajaran Pancasila.
Dalam merealisasikan ketentuan tersebut, Prabowo mengedepankan strategi dan langkah-langkah produktif. Intinya, mengokohkan ajaran Pancasila dengan meningkatkan penerapan nilai-nilai Pancasila dalam rangka memaksimalkan pelayanan terhadap masyarakat.
Asta Cita dijadikan sebagai platform untuk mengintgrasikan Pancasila ke dalam kebijakan publik Prabowo. Dimulai dengan desain kebijakan untuk menguatkan sistem pertahanan keamanan, mendorong kemandirian dan pemerataan pembangunan ekonomi, industrialisasi, penyerapan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, peningkatan sumber daya manusia, melanjutkan pembangunan infrastruktur, reformasi politik, hukum dan birokrasi serta toleransi umat beragama (poin 2 sampai 8 Asta Cita).
Hal itu menunjukkan, upaya memperkokoh ajaran Pancasila sebagai dasar negara yang ditempuh Prabowo sangat produktif, sangat kompeherensif. Dilakukan dengan strategi menjamin peningkatan penerapan nilai-nilai pancasila untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat.
Strategi ini didasarkan pada keyakinan, bahwa semakin kuat pemerintah menjalankan komitmennya menerapkan ajaran Pancasila untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka akan memicu peningkatan simpati, dukungan dan kepatuhan masyarakat terhadap pemerintah dan ajaran Pancasila.
Namun di balik strategi profuktif yang digagas Prabowo, ada sejumlah pihak yang berusaha menyusun narasi, mengkampanyekan kajian akademik dan sosialosasi politik terselubung untuk menyempitkan makna "pengokohan ajaran Pancasila" ke dalam perspektif yang cenderung kontraproduktif.
Bahwa dalam upaya mengokohkan ajaran Pancasila, semata-mata dilakukan melalui pendekatan penindakan secara pidana kelompok atau orang-orang yang mengemban, meyakini, menerapkan, menyebarkan dan memprovokasi masyarakat luas untuk meyakini dan turut menyebarkan ajaran dan paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Salah satunya adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Bahwa penindakan terhadap paham dan kelompok yang bertentangan dengan ajaran Pancasila, perlu diarusutamakan dalam upaya penguatan ajaran Pancasila.
Hal tersbut dimuat dalam dokumen BNPT yang turut dirilis Menkopolkam, Budi Gunawan pada 4 Desember kemarin dengan judul "Outlook Indonesia Knowledge Hub on Counter Terrorism and Violent Extremism (I-KHub CT/VE) 2024 dan Peta Jalan Komunikasi Strategis Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme (Komstra PE) 2024".
Riset ini menggarisbawahi masifnya pergeseran aksi terorisme dari ruang kehidupan nyata ke jaringan siber. Bahwa selama 5 tahun terakhir, ruang siber digital menjadi wadah atau tempat bagi jaringan teror melakukan rekruitmen, propaganda hingga pendanaan terorisme secara masif.
Hasil riset turut mengukur tingginya risiko penyalahgunaan ruang siber untuk aktivitas ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, meskipun pada faktanya tidak terjadi aksi terorisme secara nyata.
Salah satu strategi utama kelompok radikal-ekstrim-teror adalah menyebarkan paham dan ajaran yg memprovokasi masyarakat luas untuk anti terhadap Pancasila dan NKRI. Hal ini didukung penyebaran informasi dengan tujuan menciptakan kekacauan politik dan menggerus kepercayaan masyarakat terhadapat pemerintah Indonesia.
Narasi yang dipandang sangat menonjol selama setahun belakangan yakni soal disinformasi tentang pemilihan umum, krisis kemanusiaan Palestina dan narasi anti pemerintah.
Dalam konteks pemilu, kelompok (radikal-ekstrim-teror) menyebarkan narasi: Daulah Islam atau Khilafah melawan Demokrasi, larangan memilih pemimpin kafir, syubhat demokrasi dan pentingnya memilih pemimpin sesuai syariat Islam.
Terkait konflik Palestina, narasi yg disebarkan adalah ajakan persatuan ummah. Bahwa umat Islam harus bersatu di bawah Khilafah untuk mengakhiri penderitaan Palestina.
Selain itu, turut disebarkan narasi, bahwa semua persoalan negara muncul sebagai bentuk azab karena Indonesia tidak menganut syariah Islam atau menggunaka dasar negara yg sekuler. Bahwa pemilu demi pemilu tidak akan menjawab keadaan. Siapapun yang terpilih lewat pemilu demokrasi hakikatnya hanya menggantikan toghut lama dengan toghut baru.
Semua narasi provokasi tersebut disebar secara konsisten oleh beberapa kelompok ekstrim-teror. Misalnya HTI dan FPI. HTI konsisten dengan kampanye ajaran Khilafah yang menegaskan perjuangan menggantikan sistem kenegaraan dari Pancasila dan NKRI menjadi negara yang berasaskan ajaran Islam.
Sepanjang eksistensinya, kelompok HTI memang belum pernah terlibat aksi kekerasan kriminal dan tindak teror apapun. Hanya saja, vokalnya kampanye ajaran khilafah dipandang sebagai upaya provokasi masyarakat luas anti terhadap NKRI dan Pancasila dinilai sebagai kejahatan terhadap ideologi Pancasila.
Bagi BNPT, temuan ini menjadi penguatan konsistensi dalam melakukan pencegahan secara komprehensif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mengintensifkan kontra narasi dan kontra propaganda hingga mengimplementasikan peta jalan komstra penanggulangan terorisme secara menyeluruh.
Menurut hemat kami, riset dan penilaian BNPT terkait perkembangan paham radikalisme, ekstrimisme dan aksi terorisme sangat premature serta lemah landasan akademik.
BNPT dan Menkopolkam terlalu jauh melakukan penilaian terhadap ajaran dan tindakan kekerasan yang dikategorikan ke dalam makna radikalisme, ekstrimisme dan aksi terorisme. Tapi di satu sisi, tidak ada satupun landasan akademik serta aturan perundang-undangan di Indonesia yang sejauh ini mampu mendifinisikan radikalisme, ekstrimisme dan terorisme.
Lalu apa yang menjadi landasan akademik dan regulasi tertulis yang dijadikan dasar BNPT menyusun riset dengan hasil mendapuk ajaran Islam, misalnya khilafah dan kelompok Islam, misalnya HTI sebagai ajaran dan kelompok radikal, ekstrim dan teror?
Dalam outloknya, BNPT masih konsisten mengulang kesalahannya. Menyasar ajaran Islam dan kelompok Islam ke dalam makna radikalisme, ekstrimisme dan terorisme tanpa didasarkan pada landasan akademik dan undang-undang tertulis dapat dikatakan sebagai bentuk kejahatan, represifitas, dan pembatasan hak asasi manusia yang dijaminkan dalam pasal 28e ayat (2) UUD 1945.
Merujuk pada UU No. 1 Tahun 2023, dalam Buku Kedua Tindak Pidana, BAB I (Tindak Pidana Terhadap Kemanan Negara), Bagian Kesatu dengan judul "Tindak Pidana Terhadap Ideologi Negara", Paragraf I meliputi pasal 188, pasal 189 dan pasal 190, tidak ada satupun ketentuan yang mengatur tentang ajaran Islam, termasuk khilafah sebagai ajaran yang bertentangan dengan Pancasila.
Secara khusus pasal 188, hanya menyebutkan Sosialisme, Marxisme, Leninisme dan ajaran lainnya yg bertentangan dengan Pancasila. Ketentuan dalam BAB I ini juga tidak mendefinksikan apa yg dimaksud dengan Radikalisme, Ekstrimisme dan Terorisme.
Selain UU Ini, UU No 5 Tahun 2018 dan PP No 77 Tahun 2019 tidak memuat definisi tentang radikalisme, ekstrimsime dan terorisme.
Artinya, proses penilaian ajaran dan kelompok-kelompok Islam yg didapuk radikal, ekstrim dan teror oleh BNPT dalam Outloknya, menggunakan model penafsiran, pemaknaan dan penilaian dengan rujukan di luar landasan akademik dan norma regulasi resmi negara.
Inilah celah kekosongan asas ilmiah dan hukum yg perlu diatensi dengan serius. Jika tidak, maka selamanya BNPT akan terus memaksakan motif politik untuk menilai dan menetapkan ajaran dan kelompok Islam ke dalam makna radikal dan ekstrim yang tidak profesional.
Semua orang di dunia tau. Radikalimse, ekstrimisme dan Terorisme: No global consensus. Hal ini menunjukan, sejatinya radikalisme terorisme adalah fenomena komplek yg lahir dari beragam faktor yang juga komplek.
Ada faktor domestik, seperti kesenjangan ekonomi (kemiskinan), ketidak-adilan,
Ada pula faktor internasional seperti ketidak-adilan global, politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis (AS), imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di negara jajahan, standar ganda negara superpower sehingga mengakibatkan tata hubungan dunia yg tidak berkembang sebagaimana mestinya (unipolar).
Selain itu, ada pula realitas kultural terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran bUdaya dan agama yang dalam interpretasinya cukup variatif.
Ketiga faktor tersebut (lokal, global dan kultural) kemudian bertemu dengan faktor-faktor situasional yg sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, akhirnya menjadi titik stimulan lahirnya radikalisme dan ekstrimisme yg mengarah pada aksi kekerasan ataupun terorisme.
Oleh sebab itu, menjadi sangat gegabah, premature dan tidak profesional, jika BNPT langsung menilai, menghubungkan dan menetapkan ajaran Islam dan kelompok Islam tertentu dengan sebutan radikalisme, ekstrimisme yg mengarah pada aksi terorisme.
Oleh karena itu, untuk menjelaskan fenomena teror di Indonesia, setidaknya dibutuhkan framework analisis (analytical framework) yang tepat. Sehingga bisa ditemukan pemahaman tentang radikalisme dan terorisme serta solusinya (A.C. Manullang, 2006).
Harits Abu Ulya (CIIA), mengklasifikasikan Framework analisa ke dalam dua kategori, yakni Frame Work Kultural dan rasional.
Frame Work Kultural, membedah perilaku, sikap dan perbuatan sebagai penjelmaan nilai, sistem kepercayaan atau ideologi.
Metodologi ini fokus membaca korelasi antara nilai atau ideologi dengan teroris, intinya adalah interpretasi nilai terhadap aksi. Framework kultural berasumsi nilai menghasikan tindakan, tindakan sangat tergantung persepsi dan pemahaman (ideologi) yang dimiliki teroris.
Dengan framework ini semata akan berdampak parsial memahami terorisme dan menyeret publik kepada profil teroris dan tindakan terornya saja. sementara sasaran teror diabaikan. Dampak turunannya adalah solusi yang dilahirkan bersifat temporer dan parsial.
Dari framework inilah Islam dan umatnya seringkali menjadi fokus perhatian (seperti yang konsisten dilakukan BPNT). Bahkan sering kali lahir simplifikasi tentang ideologi radikal atau kelompok radikal sebagai akar terorisme. Radikalisme seolah menjadi inheren dengan Islam dan umatnya.
Jika terlalu terjebak pada framework ini, sebenarnya akan makin sulit menjelaskan secara tuntas, lengkap dan obyektif tentang sebab terjadinya teror. Karena pendekatan ini, hanya memfokuskan perhatian pada pelaku teror dan mengabaikan sasaran teror.
Dengannya, Framework Kultural ini akan sangat bermanfaat dalam menjelaskan modus teror. Sangat mudah untuk menjustifikasi ajaran Islam sebagai paham radikal yang dapat mengarah pada aksi teror. Tapi tidak akan mampu menjawab mengapa sekelompok orang memilih melakulan teror? Dan mengapa pihak tertentu harus menjadi sasaran terornya?
Pendekatan ini juga tidak akan mampu menjawab, kenapa sekelompok orang memilih melakulan teror di waktu-waktu tertentu. Padahal variabel kultural (menyangkut doktrin nilai, ideologi atau agama seperti jihad dan semisalnya) sudah eksis berabad-abad yg lalu?
Di sinilah pentingnya menggunakan framework rasional. Metodologi ini mengkaji korelasi antara ajaran yang dinilai radikal, ekstrim yang dapat mengarah pada tindak teroris dan sasaran dalam aspek kesamaan kepentingan, konflik kepentingan dan pola interaksi di antara keduanya. Asumsinya, kalkulasi strategis antar aktor menghasilkan teror.
Dalam Framework ini teroris dan sasaran terornya diletakkan sebagai aktor rasional dan strategis. Rasional dalam arti, tindakan mereka konsisten dengan kepentingan dan tujuannya. Sementara strategis dalam artian, pilihan tindakan mereka dipengaruhi oleh langkah aktor lainnya (lawan) dan dibatasi oleh kendala (constrain) yang dimilikinya.
Frame ini mengharuskan evaluasi terhadap langkah, kebijakan, strategi yang digunakan oleh kedua belah pihak, yakni teroris dan sasaran teror. Penggunaan metodologi ini akan melahirkan hasil analisis yang obyektif. Tapi di satu sisi, siapapun yang menggunakan metode ini, akan dinilai atau dituduh sebagai simpatisan teroris karena manganalisa secara kritis sasaran teror, di saat “sasaran” sedang menjadi “korban”.
Namun bagaimanapun juga, penggunaan framework rasional sangat penting karena mampu menjawab dua hal penting: kondisi yang dapat memunculkan dan kondisi yang dapat meredam terjadinya teror.
Belajar paska penyerangan WTC di AS yang disusul dengan kampanye Global War on Terrorism, membuat dunia berfokus menuduh 'the evil ediology' sebagai penyebab terorisme namun abai pada faktor penyebab lain.
Akhirnya solusi yang digelar justru malahirkan spiral kekerasan yg tidak berujung. “Teroris” dengan aksi terornya konfrontatif dengan teror oleh kekuatan negara (state terrorism).
Dalam wajah yang hampir sama, di Indonesia menempuh dua strategi kontra terorisme. Tapi keduanya terjebak dalam framework kultural (paradigm entrapment), mengidentifikasi kekerasan dan teror inheren dalam Islam dan kelompok-kelompok yang dicap radikal.
Akibatnya baik strategi hard power maupun soft power yang diemban pemerintah, BNPT dan Densus 88 seperti menjadi pemantik kekerasan demi kekerasan. Karena menempatkan kelompok-kelompok yang dicap radikal secara tidsk rasional sebagai ancaman aktual dan potensial.
Sementara pendekatan soft power-nya, justru melahirkan kontraksi pemikiran dan membuat kutub radikal-liberal makin kontradiksi diametrikal.
Sejauh ini, baik BNPT dan Densus 88, konsisten menggunakan framework kultural dalam menilai dan menetapkan secara premature ajaran Islam dan kelompok Islam ke dalam mankna radikal-teror.
Hasil penilaian itu kemudian diterjemahkan ke dalam kerangka solusi basis program Hard-power dan Soft Power yang disusun dan dijalankan dengan mengesampingkan landasan akademik dan kaidah-kaidah hukum yg justru makin membuat antipati dan distrush terhadap nilai keadilan.
Eksesnya, ajaran dan kelompok Islam yg tidak mampu terjelaskan secara akademik dan hukum sebagai kejahatan terhadap ajaran Pancasila, terus dipaksakan untuk ditindak, dikriminalkan secara tidak profesional dan tidak adil.
Selain itu, belajar dari kasus-kasus teror yg muncul di Indonesia sejauh ini, sejatinya lebih dominan sebagai bentuk respon dan interaksi antara pelaku teror terhadap pemerintah dalam hal ini institusi kepolisian RI dikarenakan penindakan hard power secara arogan lebih diutamakan dalam menindak terduga teror. Kebanyakan mati tanpa diberikan hak dan kesempatan melakukan pembelaan secara hukum.
Dalam konteks ini, dendam dari para simpatisan, terutama keluarga menjadi stimulan lahirnya aksi teror tanpa ujung meski “doktrin” agama tetap menjadi bumbu pelengkap dari pilihan aksi teror yg dilakukan oleh individu atau sekelompok orang.
Kesalahan BNPT dalam Outlok 2024 berikutnya adalah ajaran Islam dan kelompok Islam yg dicap radikal, dinilai sebagai kontributor bahkan menjadi inspirator utama lahirnya tindakan terorisme.
Ini adalah kesimpulan yang sangat premature. Irasional !!!
Kelompok radikal sendiri dinamika perjuangannya dalam dua arus besar, radikal pemikiran dan ada yang radikal fisik atau aksi. Tidak pasti sebangun dan korelatif bahwasanya individu dan atau kelompok yang radikal pada aspek pemikiran kemudian menjadi radikal dalam aksi atau tindakan.
Dalam konteks kelompok yang radikal secara pemikiran, faktanya merupakan respon atas serangan sekularisme dan modernitas yang agresif. Serangan ini, sangat jauh meminggirkan agama, memutus kesempatan dan hak mereka menjalankan ajaran agama. Dalam kaitan ini, kelompok radikal secara pemikiran, lahir dan bergerak untuk memelihara agama dari pemusnahan oleh sekularisme dan modernitas (Karen Amstrong, 2001).
Maka tumbuhnya individu-individu dan kelompok-kelompok yg dicap radikal secara pemikiran dengan ideologi yang dikembangkan, maupun sikap bias dalam merespons perkembangan yang dianggap menyimpang dari agama hanyalah satu faktor disamping faktor-faktor struktural, kultural, dan situasional yg memicu lahirnya tindakan kekerasan terorisme.
Jika BNPT memaksa memposisikan kelompok yang dinilai radikal secara pemikiran sebagai akar terjadinya terorisme itu sama artinya terlalu over simplikasi dan generalisasi tanpa verifikasi secara rigid. Dalam keadaan represif seperti ini, tidak salah juga jika kemudian kelompok yang dicap radikal merasakan suasana psikologis terdzalimi secara sistemik baik dalam skala domestik maupun global.
Maka dapat dikatakan, fenomena terorisme tetap dengan kompleksitasnya, tidak ada faktor tunggal yang menjadi pemicunya. Sekalipun di Indonesia tumbuh kelompok radikal yg mengambil metode “fisik” (seperti JM/JI) sebagai “manhaj” perjuangannya, tetap saja variabel pelengkapnya harus ada untuk bisa memunculkan aksi teror.
Maka riset BNPT yang menuduh ajaran Islam dan kelompok Islam tertentu dengan cap radikal yg dapat mengarah pada aksi terorisme adalah kesalahan yang terus diulang.
Maka saya sangat sepakat dengan cara berifkir Prabowo dalam Asta Cita. Bahwa langkah bijak untuk mereduksi bahkan mangaborsi radikalisme, ekstrimisme dan terorisme yang dapat mengancam Pancasila, dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran dan upaya serius pemerintah untuk bekerja menjawab faktor-faktor penyebabnya secara komprehensif.
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kekayaan, penyerapan lapangan kerja, industrialisasi, infrastruktur, pengembangan ekonomi desa, ekonomi kreatif, UMKM, pengentasan kemiskinan, lenyapkan korupsi, politkk dan hukum yang adil, birokrasi yg melayani masyarakat dengan baik, tingkatkan kualitas SDM, kerukunan umat beragama.
Inilah langkah kompeherensif sebagai wujud penerapan nilai Pancasila dalam mereduksi radikalisme, ekstrimisme dan terorisme.
BNPT berhentilah menyempitkan makan penguatan pancasila dengan cara menilai, menuduh dan memaksa menindak ajaran dan kelompok Islam secara tidak profesional. Hal ini justru dapat memantik ketidakstabilan politik dan menjatuhkan simpati, membangkitkan perlawanan kelompok yg merasa terdzalimi terhadap pemerintahan Prabowo.
BNPT hentikanlah kampanye terselebung lewat Menkopolkam Budi Gunawan untuk memberi rekomendasi dan mempengaruhi Prabowo sepakati aksi penangangan dan penanggulangan radikalisme, ekstrimisme dan teror yg kontraproduktif.
Meminjam sindiran cerdas Kurzman, di tengah hiruk-pikuk besarnya kampanye dan perhatian terhadap radikalisme, ekstrimisme dan terorisme, dunia aslinya telah jauh lebih aman. Dalam tulisan bersama Neil Englehart: “Welcome to World Peace,” (Social Forces, Volume 84, Number 4, June 2006), menyindir: Boleh jadi respon terbaik terhadap radikalisme, ekstrimisme dan terorisme adalah membiarkannya !!
BNPT sebagaiknya berhenti membuat gerakan tambahan dan fokus mengikuti strategi Prabowo. Bahwa mengokohkan ajaran Pancasila bukan dengan melawan radikalisme, ekstrimisme dan terorisme. Tapi mulailah memperbaiki kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, menerapkan nilai-nilai Pancasila, terutama pada bidang ekonomi, hukum, politik, sosial kebudayaan, agama, pendidikan. Dengan sendirinya radikalisme, ekstrimise, terorisme akan lenyap. (*).