Sumpah Pemuda?

Pergulatan Ideologi HOS Tjokroaminoto dan Tiga Muridnya: Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo. (Foto: Google).

Sentimen-sentimen primordial kesukuan justru mulai marak akhir-akhir ini. Langkah ini adalah sebuah langkah mundur, jika bukan pengkhianatan, Soempah Pemoeda.

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya. @Rosyid College of Arts

HARI ini, 28 Oktober 2022, kita mengenang Soempah Pemoeda 94 tahun silam. Peristiwa itu menandai kelahiran sebuah bangsa baru, yaitu Bangsa Indonesia. Segera perlu dicermati bahwa Bangsa Indonesia tidak lahir secara alami, tapi buah imajinasi anak-anak muda dari berbagai suku yang tinggal di sebuah bentang alam yang semula disebut sebagai Hindia-Belanda.

Imajinasi tersebut kemudian disebut anak-anak muda itu sebagai bangsa Indonesia. Peristiwa Soempah Pemoeda itu dengan demikian melahirkan dua imajinasi baru : bangsa sebagai entitas baru yang melampaui suku, dan Indonesia yang menggantikan Hindia-Belanda.

Peristiwa itu sangat penting karena terbukti kemudian memungkinkan Proklamasi Kemerdekaan bangsa terjajah itu 17 tahun kemudian oleh Soekarno-Hatta. Imajinasi para pemoeda itu yang menjelaskan mengapa Emanuel Macron tidak lama ini mengkhawatirkan kemunduran Barat sebagai kekuatan imajinasi yang selama 200 tahun lebih mendominasi dunia.

Macron mengatakan bahwa konflik Rusia-Ukraina merupakan bukti pengeringan imajinasi Barat vis-a-vis Timur yang dengan susah payah didaku oleh China. Permusuhan NATO vs Rusia adalah blunder geostrategi karena membiarkan AS untuk mendorong terus permusuhannya dengan Rusia itu sebagai permusuhan Barat dengan tetangga dekat Eropa sendiri.

Rusia semakin menempatkan diri sebagai Eurasia karena dimusuhi terus-menerus oleh NATO.

Kejadian Kamis pagi kemarin di sebuah SMA swasta di kawasan Juwingan Surabaya menjadi penting bagi saya dalam memaknai Sumpah Pemuda hari ini. Bersama istri dan juga Kepala Sekolahnya, kami menyaksikan putra-putri SMA Kertajaya bercerita tentang foto-foto di sekitar rumah mereka yang mereka ambil sendiri beberapa waktu sebelumnya.

Rumah-rumah pemuda-pemudi ini tersebar luas sejak di Jojoran, Sidotopo, Benowo, Menganti, hingga Gubeng Kertajaya. Beberapa diantaranya tinggal di Homesantren di kawasan Tambaksari. Rumah-rumah itu pada umumnya sederhana, dalam kampung yang padat penduduk.

Rico yang tuna netra tinggal di Homesantren. Sebagian lagi yatim atau bahkan yatim piatu seperti Yunita yang bercita-cita jadi dokter. Zuhair yang tinggal di sekitar Gelora Bung Tomo berkisah tentang mengintip pertandingan sepakbola dari atas loteng rumahnya.

Bercerita di depan teman-temannya tentang rumah mereka masing-masing beserta kenangan indah bersama keluarga adalah sebuah proses memaknai pengalaman sebagai imajinasi yang dikonstruksi kembali. Belajar adalah proses memaknai pengalaman sebagai imajinasi, sebagai dongeng.

Banyak yang tidak menyadari bahwa bangsa ini, dan juga Indonesia adalah dongeng kolektif, sebuah imagined community, bukan in factu, tapi in statu nascendi yang terus dilahirkan dalam imajinasi. Begitu imajinasi kolektif para pemuda ini hilang, maka hilang pula bangsa dan Indonesia. Begitulah tingkat kerapuhan bangsa Indonesia ini.

Tentu sangat berbahaya sekali jika para penguasa dengan sembrono memberi pengalaman buruk berbangsa dan bernegara melalui berbagai maladministrasi publik di mana banyak hukum dibuat bukan untuk kepentingan masyarakat kecil, tapi untuk mempertahankan kekuasaan para elit politik dan segelintir taipan.

Hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Pendidikan melalui persekolahan massal paksa dijadikan instrumen pencetakan buruh trampil bagi kejayaan invetasi para pemilik modal asing dan kaki tangan domestiknya.

Pemilu hanya menjadi istrumen transfer bersih hak-hak politik publik pemilih ke para elit partai politik, bukan untuk memastikan siklus kepemimpinan yang semakin meritokratik yang menghasilkan pelayanan publik yang semakin pula memberdayakan, mencerdaskan, dan memerdekakan bangsa ini.

Polarisasi yang makin tajam antara kelompok cebong dan kampret alias kadrun tidak bisa dibiarkan menghancurkan imajinasi kolektif bangsa ini. Sayang sekali rezim saat ini justru memelihara tidak sedikit kanker medsos buzzer bayaran untuk mempertajam keterbelahan bangsa ini.

Jika Sumpah Pemuda membuka sebuah spektrum baru bagi barisan suku-suku yang menjadi sebuah bangsa baru, rezim oligarki saat ini justru menempuh jalan sebaliknya: membiarkan keterbelahan ini untuk tetap berkuasa sambil menjadi kaki tangan kekuatan-kekuatan nekolimik asing.

Sentimen-sentimen primordial kesukuan justru mulai marak akhir-akhir ini. Langkah ini adalah sebuah langkah mundur, jika bukan pengkhianatan, Soempah Pemoeda.

Kegiatan Zuhair, Yunita, dan Rico dkk bercerita di depan kelas di sebuah kampung di Surabaya itu penting dari perspektif pemuda Indonesia saat ini. Di kampung Peneleh yang tidak jauh dari Juwingan, dulu HOS Tjokroaminoto mulai membangun imajinasi kolektif bangsa ini bersama Soekarno muda.

Ingatlah bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah imajinasi kolektif yang rapuh. Pemuda Indonesia saat ini, sejak millenials sampai Gen-Z tidak boleh membiarkan diri menjadi korban kemiskinan imajinasi segelintir orang yang sok berkuasa.

Jemursari, 28 Oktober 2022. (*)

384

Related Post