Swasembada Bawang Putih bukan Ilusi

Biaya produksi yang sangat tinggi mustahil Indonesia bisa swasembada bawang putih. Karena masalah utamanya adalah tidak kompetitif biaya produksi yang jauh lebih tinggi dari China. Alokasi lahan tanam seluas-luasnya hanya sia-sia.

Oleh Anthony Budiawan

Jakarta, FNN - Kebutuhan bawang putih konsumsi nasional sekitar 550.000 - 600.000 ton per tahun. Hampir semua kebutuhan tersebut dipenuhi dari impor, khususnya dari China. Akibatnya, Indonesia mendapat predikat sebagai importir bawang putih terbesar. Market share sekitar 17,6 persen dari total pasar impor dunia pada tahun 2016. Devisa yang dikeluarkan sekitar U$ 674 juta dolar atau setara sekitar Rp 9,5 triliun, bila menggunakan kurs yang berlaku saat ini.

Pemerintah sangat menyadari kondisi yang miris ini. Oleh karena itu, tahun 2017 pemerintah menargetkan swasembada bawang putih dapat dicapai pada tahun 2019. Target swasembada ini dimajukan dari target sebelumnya tahun 2023. Target tersebut kemudian direvisi kembali menjadi 2021. Dengan melihat waktu yang semakin dekat, banyak pihak pesimis swasembada bawang putih dapat tercapai tahun 2021.

Untuk bisa mencapai swasembada bawang putih, syarat utama adalah harus kompetitif. Indonesia harus bisa bersaing dengan negara produsen bawang putih lainnya. Artinya, Indonesia harus bisa produksi bawang putih dengan biaya yang lebih rendah dari para pesaing, khususnya China.

Biaya produksi bawang putih di China rata-rata sekitar U$ 520 dolar per ton, atau sekitar Rp 7.500 per kilogram. Biaya produksi ini tiga kali lipat lebih rendah dari biaya produksi bawang putih di Amerika Serikat yang mencapai U$ 1.600 dolar per ton, atau lebih dari Rp 22.000 per kilogram. Seperti Amerika, biaya produksi bawang putih Indonesia juga termasuk tinggi. Bervarisasi antara Rp 18.000 - Rp 24.000 per kilogram.

Dengan biaya produksi yang tinggi seperti ini, mustahil Indonesia bisa swasembada. Meskipun pemerintah mengalokasikan lahan tanam seluas-luasnya. Karena masalah utamanya adalah tidak kompetitif biaya produksi yang jauh lebih tinggi dari China.

Untuk bisa kompetitif, Indonesia harus berupaya keras menurunkan biaya produksi secara signifikan. Upaya ke arah ini bisa dilakukan dengan menurunkan biaya tanam di satu sisi, dan meningkatkan produktivitas tanam di lain sisi. Dengan demikian, biaya produksi akan turun drastis dan kompetitif.

Sebagai ilustrasi, biaya tanam bawang putih di Indonesia paling rendah sekitar Rp 65 juta per hektar. Hasil panen adalah sekitar enam ton bawang putih basah, termasuk daun, atau sekitar tiga ton bawang putih kering yang tanpa daun. Dengan demikian, maka biaya produksi bawang putih kering tanpa daun menjadi Rp 21.667 per kilogram. Biaya produksi besar ini tentu saja tidak kompetitif.

Biaya tanam bawang putih di Indonesia bisa setinggi ini karena biaya benih sangat mahal sekali. Komponen biaya benih bisa lebih dari 35 persen dari total biaya tanam. Oleh karena itu, harga benih harus bisa ditekan lebih murah, bahkan menjadi setengah dari harga sekarang.

Kemudian, benih bawang putih yang ditanam di Indonesia umumnya sangat kecil, oleh karena itu sangat ringan. Hanya sekitar 1 - 1,2 gram per benih (siung). Akibatnya, hasil panen, atau produktivitas, menjadi rendah. Beratnya hasil panen bawang putih pada dasarnya akan mengikuti berat benih yang ditanam. Oleh karena itu, benih yang dipilih untuk tanam harus lebih besar, dan lebih berat, dari yang sekarang.

Kalau berat benih ditingkatkan menjadi rata-rata dua kali dari berat benih yang umumnya ditanam sekarang. Hasil panen per hektar diperkirakan juga akan meningkat menjadi dua kali lipat, yaitu dari tiga ton per hektar bawang putih kering tanpa daun menjadi enam ton. Dengan demikian, biaya produksi akan turun menjadi Rp 10.833 per kilogram. Hasil ini sudah cukup kompetitif.

Produktivitas enam ton bawang putih kering per hektar termasuk sangat rendah. China bisa menghasilkan 25 ton per hektar bawang putih kering tanpa daun yang siap konsumsi. Sedangkan Amerika bisa mencapai 20 ton per hektar. Salah satu sebabnya karena umbi bawang putih China, dan juga Amerika, jauh lebih besar dari umbi bawang putih Indonesia.

Kalau pemerintah dapat membuat umbi bawang putih Indonesia sebesar mereka, maka produktivitas akan meningkat tajam. Bisa mencapai 15 ton bawang putih kering per hektar. Sehingga biaya produksi dapat ditekan secara signifikan. Dampaknya, biaya produksi Rp 7.500 per kilogram bukanlah khayalan. Kalau ini tercapai, maka swasembada bawang putih akan terwujud, bahkan ekspor bukan hal mustahil untuk bisa dicapai

Total produksi bawang putih dunia pada 2016 mencapai 26,6 juta ton. China menguasai 79,8 persen, dengan total produksi 21,2 juta ton. Sedangkan nilai ekspor dunia pada 2016 mencapai U$ 3,84 miliar dolar. Dari jumlah tersebut, China menguasai 71,5 persen dengan total nilai ekspor U$ 2,74 miliar dolar.

Indonesia menjadi menyerap impor paling besar perdagangan global bawang putih ini, dengan menguasai 17,6 persen pasar impor, senilai U$ 674 juta dolar. Peringkat kedua, impor global dipegang oleh Brazil dengan pangsa impor sebesar 9 persen, senilai U$ 344 juta dolar. Sedangkan negara tetangga kita sesama ASEAN, Vietnam dan Malaysia, juga melakukan impor cukup besar, masing-masing 6,3 persen dan 6,1 persen, dengan nilai impor U$ 241,5 juta dolar dan U$ 235,5 juta dolar.

Data di atas menunjukkan pasar global bawang putih ternyata sangat menarik, namun sekaligus juga menjanjikan. Kalau Indonesia bisa menekan biaya produksi bawang putih menjadi Rp 10.000 per kilogram atau lebih rendah, maka Indonesia pasti bisa mewujudkan swasembada Bawang Putih. Bahkan menerobos pasar ekspor. Karena, selama budidaya bawang putih menguntungkan para petani, maka petani akan ramai-ramai menanam.

Khusus untuk pasar ekspor, pemerintah, yang dalam hal ini Kementerian Pertanian berkewajiban membantu para petani bawang putih menjalankan teknik budidaya dan pasca panen sesuai standar internasional yang dikenal dengan Good Agricultural Practices(GAP).

Swasembada bawang putih untuk konsumsi dapat dicapai melalui dua tahap. Pertama, swasembada benih, dengan total produksi (hasil panen) cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi bawang putih konsumsi. Namun, swasembada benih tahun 2021 menghadapi kendala ketersediaan benih yang ternyata masih cukup langka di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus segera membuka impor benih bawang putih sebesar-besarnya, dan secepat-cepatnya. Tujuannya, agar ketersediaan benih terjamin, sehingga swasembada benih bawang utih benih, dan swasembada konsumsi bawang putih segera dapat terwujud.

Untuk itu, pemerintah untuk sementara ini harus mempertahankan kebijakan wajib tanam lima persen bagi para importir yang ingin melakukan impor. Malah harus ditingkatkan menjadi 10 persen, atau bahkan 20 persen, di tahun depan. Karena kebijakan wajib tanam ini sebenarnya adalah inti dari keberhasilan swasembada bawang putih. Selain itu, pemerintah pusat, bekerja sama dengan pemerintah daerah, harus membantu penyediaan lahan tanam untuk bawang putih benih maupun konsumsi. Dengan demikian, swasembada bawang putih dapat dipastikan bukan hanya ilusi lagi.

Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

372

Related Post