Tamsil Linrung: “Indikator Ketidakadilan Negara Sangat Mudah Diukur”

Oleh Rahmi Aries Nova *)

HANYA segelintir anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang berani bersuara, lebih sedikit lagi yang memang berbuat dan berpikir untuk rakyat.

Dari yang segelintir itu senator asal Sulawesi Selatan Tamsil Linrung adalah satu diantaranya. Mantan anggota DPR tiga periode yang kini memimpin kelompok DPD di MPR RI tak pernah berhenti untuk memperjuangkan apa yang menjadi hak rakyat. Terus meminta masukan dan menjalin hubungan baik dengan masyarakat, aktivis, ulama dan tokoh-tokoh di dalam dan di luar pemerintahan.

Tamsil tak canggung berhubungan bahkan bersilaturahmi dengan tokoh-tokoh oposisi bahkan dengan ulama yang paling dimusuhi pemerintah Habib Rizieq Syihab. Ia juga ikut datang ke rumah Rocky Gerung yang hendak digusur, dan akrab Gatot Nurmantyo dan anggota KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) lainnya. Suatu yang mungkin sangat dihindari bahkan ditakuti oleh anggota-anggota dewan yang lain, meski mereka mengaku wakil rakyat.

Di masa lalu Tamsil juga dekat dengan Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat almarhum Taufik Kiemas dan Presiden RI ke-4 almarhum Abdurrahman Wahid, di masa kini tetap membina pemuda dan mahasiswa lewat Yayasan Tali Foundation dan beberapa organisasi lain.

Saat ini kecuali tengah memperjuangkan nasib-nasib guru honorer, Tamsil juga mengumpulkan sebanyak mungkin masukan dari para pakar/ahli, aktivis, mantan pejabat, tentang perlu atau tidaknya Amandemen Undang Undang Dasar 1945 untuk kelima kalinya? Kalau perlu apakah sifatnya komprehensif atau parsial?

Dalam acara Dengar Pendapat Masyarakat (DPM) yang ia selenggarakan di ICM Serpong pada Ahad (3/10) dihadiri oleh mahasiswa dan umum terkuak latar belakang mengapa saat ini konsitusi kita sudah berubah 98%. Menurut mantan anggota dewan Hatta Taliwang hal itu bermula dari krisis moneter, krisis ekonomi, krisis sosial di akhir era Presiden Soeharto, dimana Presiden AS Bill Clinton mendesak Soeharto untuk menandatangi perjanjian dengan IMF. “Itulah dokumen penjajahan baru, pemerasan politik, liberalisasi politik. Pak Harto sempat ingin membatalkan, tapi akhirnya malah jatuh,” ungkap Hatta dalam diskusi.

Hatta menyebut saat ini kita sudah tersesat, dan UUD yang kita miliki sudah kehilangan roh tidak bisa disebut sebagai UUD 1945 tapi UUD 2002, yang ratusan UU draftnya sudah jadi alias disiapkan oleh ‘penjajah baru’.

Tak heran pengamat yang juga kolumnis FNN Rizal Fadilah menyebut yang terpenting saat ini adalah kembali ke UUD 1945. Sementara wartawan senior Hersubeno Arief melihat ada yang mengatur DPR dan Presiden saat ini ialah oligarki. Jadi saat ini sesungguhnya bukan pemerintah lagi yang berkuasa.

Padahal menurut Anton Permana (Alumni Lemhannas PPRA LVIII Tahun 2018) konstitusi dibuat untuk menekan kekuasaan. Dan perubahan yang terjadi pada UUD dasar kita adalah sangat radikal bahkan bisa disebut sebagai kudeta konstitusi. Hasilnya saat ini kita bukan lagi menjadi negara demokrasi (rakyat mengontrol pemerintah) tapi otoriter (pemerintah mengontrol rakyat).

Dalam sesi kedua diskusi juga dibahas ‘Hilangnya Arah Ekonomi Pancasila’ lewat paparan cerdas salah satu anggota Tim Perumus Ekonomi Jokowi-JK Awalil Rizky, yang menyebut bahwa saat ini angka pengangguran 46 juta jiwa dan angka kemiskinan (orang miskin) mencapai 110 juta jiwa. Dan disimpulkan oleh Salamuddin Daeng, pengamat ekonomi Indonesia for global justice, bahwa jika amandemen UUD 1945 adalah transfer kekuasaan ke oligarki, dan kini diikuti dengan transfer kekuasaan ke rezim internasional.

“Jangan pakai Pancasila untuk membungkus bangkai”, tegas Muhammad Said Didu, mantan Sekretaris Kementrian BUMN, di akhir diskusi.

Sebagai penutup Tamsil mengungkapkan bahwa indikator ketidakadilan negara sangat mudah diukur, yaitu dengan kenyataan bahwa kewajiban negara dan hak rakyat yang belum terpenuhi saat ini.

Sungguh sebuah acara DPM yang harusnya juga didengar oleh seluruh anggota DPR dan DPD yang ada di Senayan. Jangan mereka merasa seolah negara sedang baik-baik saja, padahal saat ini kita nyata-nyata tengah di jajah oligarki dan dalam proses menyerahkan diri ke rezim internasional (asing).

*) Wartawan senior FNN

335

Related Post