Tebet: Tempat Betawi?
Oleh Ridwan Saidi, Budayawan
Toponim di Jakarta sering diolah sebagai akronim. Misal Tebet itu tempat Betawi.
Toponim di Jakarta tak jarang diperlakukan sebagai onomotope, tiruan bunyi. Misal Glodok dari grojok-grojok suara air.
Pendekatan tafsir seperti ini menggambarkan index kecerdasan yang merisaukan hati. Tak pernah ada di dunia manapun pembentukan toponim berdasar akronim atau onomotope.
Tebet itu logat Betawi untuk tebat, rawa-rawa. Glodok itu batu bukit. Di Minangkabau disebut galodo.
Pembentukan toponim
1. Flora, atau fauna, di lokasi. Misal Cilincing. Lincing jenis rumput pesisir. Condet, jenis ulat
2. Countur tanah lokasi. Misal Poncol, bukit kecil. Kali Pasir, bukit pinggir kali. Kampung Bali, areal tanah yang mengeliling .
3. Roa, tanda. Benda yang jadi penanda. Gondangdia, patung wanita. Cikini, bangunan tempat kumpul orang Inca. Pecenongan monumen stone.
4. Penghuni awal. Misal Kampung Lima Peru, Kampung Jawa, Tana Mera, Maya, Rorotan Malaka, turunan Malaka
5. Fungsi. Cengkareng, minor power system. Pinangsia, financien, lembaga keuangan.
Tafsir toponim ada methodenya. Tidak dapat dilakukan sekehendak hati. Usia toponim dapat ribuan tahun macam Klender, Jakarta Timur, yang artinya meninggalkan goa, yang di Pandeglang disebut ngadeglang.
Gejala kemerosotan index kecerdasan, merujuk cara tafsir toponim, justru dipertonton oleh orang-orang bersekolah tinggi dan bahkan ada yang di LN . Tingkatan sekolah tak selalu relevan mengukur index kecerdasan.
(Foto atas Tana Mera, Bandengan, Kota, kampung awal migran Maya di Jakarta) (*).