Terjebak Ilusi Terra Incognita
by Jusman Dalle
Jakarta FNN – Jum’at (21/08). Kita cemas. Disergap situasi menegangkan. Menghadapi kondisi yang tak pernah terjadi sebelumnya. Terjebak dalam situasi terra incognita. Krisis kesehatan menjelma jadi krisis ekonomi. Bahkan berpotensi menjadi bola salju krisis politik. Bila tidak ditangani dengan cermat, tampaknya memang itu yang terjadi.
Kekuatan politik ekstra parlementer terkonsolidasi. Elemen kritis dari corak yang heterogen berbaris dalam satu baris visi dan misi KAMI. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang baru-baru ini mendeklarasikan eksistensi.
Dengan sigap, gerakan opisisi ini membuka daftar dosa pemerintah secara transparan. Deretan kesalahan yang berbungkus rapi dalam kemasan konstitusi. UU No 2 tahun 2020 misalnya, yang mempreteli fungsi anggaran DPR. Fungsi yang jadi puncak refleksi kedaulatan rakyat dalam mengelola uang pajaknya. Kedaulatan itu direnggut.
Masih banyak daftar dosa pemerintah yang lain. Termasuk gagal mengendalikan Covid-19 yang muluk-muluk dijanjikan melandai pada bulan Juni. Yang terjadi malah sebaliknya. Rekor-rekor anyar tercatat. Rekor buruk yang menjerumuskan Indonesia ke kelompok negara yang gagal menangani pandemi.
Indonesia bahkan nangkring di peringkat 3 dari terbuncit. Di antara 100 negara yang disigi oleh Deep Knowledge Group. Dalam penelitian bertajuk The 100 Safest Countries In The World For Covid-19. Sekelumit fakta itu mengingatkan kita pada pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Direktur Jenderal WHO. Tedros Adhanom Gebreyesus bilang, bahwa ancaman terbesar kita adalah Covid-19. Apalagi kita berhadapan dengan kepemimpinan yang lemah.
Sialnya, kepemimpinan yang lemah itu tersaji vulgar. Sengkarut problem yang membelit tak bisa disembunyikan. Apalagi sekadar dipoles citra dan pariwara. Mengerahkan buzzer rupiah untuk manipulasi opini. Masalah tidak bakal selesai hanya di situ. Malah tambah runyam. Pembekuan ekonomi dan pandemi ini dirasakan ke sumsum kehidupan masyarakat. Merata. Hingga ke pelosok daerah.
Negara-negara tetangga sudah berjatuhan. Terperosok ke klub resesi. Thailand paling baru. Menyusul Singapura dan Filipina. Malaysia juga sudah mengalami resesi teknikal. Seperti nasib Indonesia.
Kini, di bawah bayang-bayang resesi pemerintah mengerahkan energi. Berupaya menggenjot sektor konsumsi rumah tangga. Pembatasan sosial dolonggarkan. Aktivitas publik dibuka terbatas dengan tetap berpedoman pada protokol kesehatan. Terutama mal, pasar dan kegiatan perkantoran.
Pertanyaannya, kenapa konsumsi menjadi penting? Lantaran, sektor inilah yang menjadi tumpuan ekonomi Indonesia. Konsumsi rumah tangga menyumbang 57,85% kue ekonomi nasional. Selebihnya terbagi ke investasi (30,6%), belanja pemerintah (8,67%), belanja lembaga non pemerintah (1,36%), serta ekspor dan impor (1,4%).
Begitu konsumsi mandek, ekonomi anjlok. Itu pasti. Itulah yang terjadi pada kuartal II. Sepanjang April-Juni, ekonomi mengalami kontraksi -5,32%. Ekonomi tersungkur. Jatuh akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dicanangkan sejak pandemi Covid-19 mulai merebak.
PSBB mengakibatkan aktivitas ekonomi membeku. Momentum puasa dan lebaran dilewatkan tanpa capaian mengesankan. Biasanya, di sinilah periode puncak konsumsi. Tahun ini momentum tersebut dilampaui dengan catatan jauh di bawah espektasi.
Namun upaya pemerintah memacu sektor konsumsi rumah tangga, terbentur kenyataan krisis yang menggerogoti. Imunitas finansial masyarakat mulai ambruk. Roboh terinfeksi Covid-19. Maka dibuatlah berbagai program jaring pengaman sosial. Ada program keluarga harapan. Bantuan langsung tunai desa. Insentif Rp 600 ribu perbulan untuk pekerja swasta dan berbagai jenis bantuan lainnya. Untuk satu tujuan. Memompa konsumsi.
Masuk Jebakan
Jaring pengaman sosial itu memang sangat layak diapresiasi. Jika penerimaan negara dan APBN terkendali. Skema bansos jadi sekoci penyelamat daya beli. Redistribusi kekayaan. Persis konsep zakat dalam ajaran Islam. Dalam konteks bansos ini, melalui instrumen APBN.
Persoalannya, saat ini pemerintah tidak punya uang. Terjepit di ruang fiskal yang sempit. Sehingga jurus klasik dikeluarkan. Menganggarkan bantuan sosial dengan sumber pendanaan dari utang. Akibatnya, rasio utang terhadap output perekonomian RI tahun 2020 melompat. Diperkirakan jadi sebesar 38% terhadap PDB. Sehingga pembiayaan pandemi Covid-19 dipastikan menimbulkan beban di masa depan.
Masalah berikutnya, memacu konsumsi justru berakibat menciptakan efek semu pemulihan ekonomi. Ekonomi kelihatan bergerak. Tapi bermuara ke sektor industri dan konglomerasi. Karena pemicunya konsumsi. Dampaknya, upaya pemulihan ekonomi itu tidak konkret menyelesaikan problem mendasar di level masyarakat bawah. Ketimpangan terjadi. Problem kesenjangan ini bahkan diperkirakan bertambah dalam akibat pandemi.
Perlu dicatat, Indonesia selalu masuk dalam daftar negara dengan tingkat ketimpangan yang parah. Data Credit Suisse tahun 2019, 1% konglomerat menguasai 45% kekayaan nasional. Data INDEF malah 75% pendapatan nasional terakumulasi ke 10% penduduk.
Menggenjot konsumsi bakal semakin memperdalam jurang ketimpangan tersebut. Sebab energi konsumsi yang mengalir dari kantong jutaan rakyat, bermuara ke segelintir industrialis. Yang jumlahnya 1%-10% penduduk. Mereka yang mendominasi perekonomian dari hulu sampai hilir.
Mereka menguasai mulai ari sektor perkebunan, perdagangan hingga fast moving consumer goods (FMCG). Produk konglomerasi ini yang menguasai rak-rak minimarket dan etalase di warung-warung pinggir jalan. Mulai dari odol, rokok, mie instan hingga sabun mandi.
Konsumsi yang dipacu akhirnya menciptakan efek semu. Kita seolah menyaksikan orkestrasi ekonomi yang dipicu konsumsi. Tapi itu hanya ilusi. Gemuruh ekonomi yang semu. Deru akumulasi kapital terkonsentrasi kepada para oligarki ekonomi.
Sementara pada saat yang sama, elit ekonomi itu, juga menikmati insentif seperti keringanan pajak dan berbagai jenis bantuan lain dari pemerintah. Idiom lawas, “yang kaya makin kaya yang miskin kian melarat” terbukti terjadi.
Angus Deaton, peraih nobel ekonomi tahun 2015 sudah mewanti-wanti. Pandemi memperparah disparitas. Tanpa kehati-hatian, kebijakan pemerintah di berbagai belahan dunia memperkaya sekelompok kecil konglomerasi bisnis. Itu yang terjadi.
Yang lebih parah, pemerintah ikut andil. Secara aktif dalam menciptakan situasi pelik. BUMN-BUMN diinjeksi dana jumbo. Agar bisa tetap eksis di tengah krisis. Termasuk dibiarkan berkompetisi dengan usaha-usaha rakyat. Sementara UMKM dan sektor riil dibiarkan bertaruh keberuntungan. Memang insentif dijanjikan. Serta berbagai jenis bantuan. Tapi melalui proses yang rumit.
Insentif dan bantuan belum juga cair. Usaha yang menggerakkan sektor riil itu sudah menggelepar duluan. Bertekuk di hadapan Covid-19 yang diperparah sistem birokrasi dan data yang amburadul. Ini realitas yang memilukan. Indikasi jika negara ini memang salah kelola.
Akhirnya, kita tidak bisa berharap banyak di balik agenda pengendalian Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Semua energi pemulihan yang dikerahkan akan terbuang percuma. Karena memang tidak punya pijakan kuat. Rapuh dari atas dan kekuasaan.
Sialnya, pemerintah tampak menganggap kebijakan-kebijakan itu sudah on the track. Padahal, bangsa tengah digiring terjebak fantasi. Tersesat di wilayah asing tak bertuan. Fatamorgana yang selamanya tak menyelesaikan masalah. Ilusi terra incognita.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Tali Foundation.