Terompet Harapan

Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Tragedi harus digunakan sebagai sumber kekuatan. Tak peduli jenis kesulitan apa pun dan pengalaman sepedih apa pun, jika kita kehilangan harapan maka itulah malapetaka sesungguhnya.

Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

SAUDARAKU, jelang tahun baru momen tepat untuk bersiaga membunyikan trompet harapan.

“Harapan itu,” tulis Emily Dickinson, “adalah sesuatu bersayap yang hinggap di jiwa, menyanyikan nada tanpa kata dan tak pernah henti sama sekali.” Dan harapan itu melantunkan nyanyian kehidupan dalam dua jenis nada.

Nada mayor membangkitkan “harapan positif”, yang merangsang gairah orang untuk berbuat kebajikan. Nada minor membangkitkan “harapan negatif”, yang menyentuh lara keinsyafan orang agar terhindar dari keburukan.

Harapan positif tersebut bergema dari jiwa-jiwa altruis, bak “semut-semut” komunitas yang bergotong-royong meringankan derita sesama dalam alunan nada mayor yang sepi ing pamrih, rame ing gawe.

Meski nada mayor masih terdengar, arus deras pengharapan bangsa masih menggemakan nada minor. “Harapan negatif” menjadi koor sehari-sehari,  mengharapkan oligarki tak terlalu rakus, penyelenggara negara tak salah urus dan salah tingkah dengan tendensi cuma ramai dalam klaim-pamrih, tetapi sepi dalam kerja-kinerja (gawe).

Betapapun, pada setiap gumpalan awan hitam selalu ada pendar cahaya. Segala tragedi dan krisis yang merundung kita harus jadi tumpuan harapan kebangkitan.

Tragedi harus digunakan sebagai sumber kekuatan. Tak peduli jenis kesulitan apa pun dan pengalaman sepedih apa pun, jika kita kehilangan harapan maka itulah malapetaka sesungguhnya.

Tragedi itu ibarat larutan asam kuat. Ia akan meluluhkan semua hal, kecuali (menyisakan) emas kebenaran sejati. Dengan tragedi kita bisa mengenali borok dan kualitas kita sesungguhnya. Tragedi adalah mahkamah yang membuat kita tak bisa mengelak dari tanggung jawab; karena pengelakan bisa membuat banyak orang terperosok ke lubang yang sama berulang-ulang.

Kendati menyakitkan, tragedi dan kegagalan bisa jadi sarana untuk mengukur daya lenting kita. Seperti diingatkan Nelson Mandela, “Jangan menakarku dengan keberhasilanku, takarlah aku dengan melihat berapa kali aku terjatuh dan sanggup bangkit kembali.”

Sungguh pedih atas kehilangan. Namun, lebih pedih lagi jika hidup dalam kematian harapan. Daun-daun yang gugur semoga jadi pupuk kehidupan. Kelalaian dan kebodohan harus diberi pelajaran untuk perbaikan. Nasib adalah ketetapan yang terpahat lewat ikhtiar. (*)

472

Related Post