Teroris Absurd di Depan Istana, Rocky Gerung: Indonesia Memang Rapuh, Siapapun Bisa Masuk ke Wilayah Strategis
SEORANG wanita berhijab dan bercadar berinisial SE tiba-tiba melintas di depan Istana Negara, Selasa (25/10/2022). Ia kemudian “menodongkan” senjata pistol jenis FN ke arah Paspampres yang tengah berjaga. Dengan sigapnya, salah seorang anggota Paspampres langsung membekuknya.
Kemudian, seorang Paspampres lainnya tampak memanggil anggota Polantas yang sedang bertugas di depan Istana. Tampaknya video singkat ini diambil dari CCTV Istana.
Rekaman video singkat tersebut seolah menjawab rekaman video yang viral di media sosial yang menggambarkan SE ditangkap oleh beberapa Polantas yang sedang bertugas di depan Istana. Video itu pun direkam melalui handphone.
Direktur Pencegahan BNPT A. Nurwakhid dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (25/10/2022), langsung menyimpulkan wanita yang berusaha masuk istana dengan senjata pistol itu diklaim memiliki pemahaman radikal serta diketahui sebagai pendukung ormas radikal, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang telah dibubarkan pemerintah pada 19 Juli 2017 lalu.
Aneh! Meski belum ada hasil pemeriksaan polisi, BNPT sudah mengedarkan spekulasi bahkan fitnah keji terhadap HTI. Padahal, belum ada hasil BAP dari si wanita yang diklaim radikal tersebut, oleh pihak kepolisian.
Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran malah meminta semua pihak untuk bersabar dan tidak menimbulkan spekulasi terkait peristiwa penodongan pistol yang dilakukan oleh seorang perempuan di depan Istana Negara itu.
Irjen Fadil mengatakan bahwa kasus tersebut belum tentu ada kaitannya dengan terorisme yang biasanya terjadi. ”Masih banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Belum tentu teror,” katanya, Selasa (25/10/2022).
Peristiwa ini sulit dilepaskan dari pernyataan KSP Moeldoko perihal radikal. Sebelumnya, sekitar sepekan lalu, Moeldoko menyebut radikalisme akan meningkat menjelang penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024. Ia mengutip data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai dasar pernyataannya.
“Survei BNPT pada tahun 2020 potensi radikalisme 14 persen. Itu data dalam kondisi anomali saat pandemi. Tahun politik 2023-2024 ada kecenderungan meningkat,” kata Moeldoko di Istana Jakarta, Kamis (20/10/2022).
Bagaimana pengamat politik Rocky Gerung melihat peristiwa tersebut? Ikuti dialog wartawan senior FNN Hersubeno Arief dengan Rocky Gerung di Kanal Rocky Gerung Official, Rabu (26/10/2022).
Halo halo, apa kabar Anda semua. Semoga selalu dalam keadaan sehat walafiat. Tetap semangat, seperti kami berdua dengan Bung Rocky Gerung selalu semangat. Setiap kali mau mengupdate informasi dan bertemu dengan Anda semua ya Bung Rocky.
Ya, kita semangat untuk analisis hal-hal yang absurd sebetulnya. Soal 0%, soal macam-macam tuh. Orang Jawa harus jadi Presiden kemarin. Dan juga Erick Thohir pastikan itu. Ya macam-macamlah.
Yang lebih absurd penangkapan seorang perempuan yang kita nggak tahu itu apa sebetulnya dia di depan Istana itu, mau ngapain. Nunggu ojek atau apa.
Nah, kita fokus itu saja ya. Nanti soal orang Jawa dan sebagainya itu kita bahas di konten berikutnya ya. Ini menarik saya kira, bukan menarik karena peristiwanya, tetapi mengapa ada kejadian absurd semacam itu. Jujur ini membingungkan.
Kalau mau diframing bahwa ini teroris, masa ada teroris yang datang sendirian ke depan Istana dan sebagainya gitu. Dan senjatanya pun enggak jelas. Apalagi penjelasan Pak Moeldoko itu enggak ada peluru tajamnya itu di dalam pistolnya. Jadi, ya ini apakah kemudian mengacungkan pistol, menodong atau menunjukkan pistol itu kan dua hal yang berbeda itu.
Kalau Pak Moedoko yang bereaksi pertama, saya ingat juga Pak Moeldoko seminggu lalu mengatakan akan ada kekerasan, akan ada teror, akan ada ancaman ini, bersamaan dengan politik identitas waktu itu. Kalau kita mau lihat ilmu framing ya musti dibuktikan bahwa ada potensi itu maka datanglah seorang perempuan ke Istana sendirian lenggang kangkung.
Jadi, kita melihat ini adalah wacana istana untuk menutupi hal yang sudah dia ucapkan ternyata salah atau memang ada upaya baru untuk membuat berita yang sebetulnya juga sulit diverifikasi kan. Tapi dari segi absurd, karena orang perempuan datang di situ pas di depan pintu istana itu.
Itu artinya CCTV mati dong semua dari awal. Logikanya begitu kan? Mungkin saja dia melintas di situ segala macam, tapi nggak mungkin ada seorang perempuan di wilayah bahkan ring setengah itu, tidak terpantau oleh CCTV. Intel di situ kan macam-macam. Tapi, ini sinyal bahwa siapa yang mau klaim itu. Tiba-tiba polisi bilang tangkap, itu agak aneh juga.
Polisi lalu lintas menangkap itu. Itu artinya penjaga istana itu lalai sehingga polisi lalu lintas yang justru menemui. Kan logikanya begitu. Ya, kita percaya saja bahwa itu sudah diterangkan oleh Komandan Paspampres bahwa tidak ada upaya untuk menerobos istana. Itu lebih masuk akal sebetulnya.
Jadi, kan itu juga kalau sampai lolos 20 meter dari istana, Paspampres mestinya dipecat dong, nggak bisa antisipasi. Tapi sekali lagi, kekacauan-kekacauan atau absurditas semacam ini akan jadi berita. Ya kalau netizen bilang ini pengalihan isu iya. Pengalihan isu untuk semua isu yang enggak bisa dialihkan lagi kan. Isu bersiliweran kok, apa yang mau dialihkan tuh.
Saya membayangkan ada dua dilema setidaknya tuh. Kalau mau digunakan untuk menjastifikasi wacana yang disampaikan oleh pemerintah meningkatnya kekerasan karena politik identitas gitu, karena identitasnya jelas nih pakai jilbab dan pakai cadar, kan kita tahu itu identitas ke mana.
Ini kan di satu sisi sudah kelihatan sudah mulai digoreng-goreng juga oleh-oleh buzer walaupun mereka agak ragu-ragu soal itu karena di luar itu kan harus diingat bahwa Indonesia ini mau jadi tuan rumah G20. Kalau ada teroris yang mau ngamprokin istana itu kan bisa batal pertemuan G20 itu.
Ya, kalau dari segi itu, kita bisa bahkan buat imajinasi bahwa itu sangat mungkin juga agen asing yang diselundupkan untuk menguji Indonesia mampu nggak. Kan G20 tinggal 2 minggu. Itu artinya, KGB mungkin sudah tambah 3 kali lipat agen Putin di Indonesia.
Mungkin juga agen CIA pasti juga sudah beroperasi di Indonesia. Karena nggak mungkin peristiwa sebesar G20 dalam keadaan dunia lagi tegang, dalam keadaan ekonomi lagi buruk, dalam keadaan Indonesia lagi berantakan, nggak ada operasi intelijen asing, itu pasti itu.
Ini mungkin juga kita bisa bikin prokes di BIN bahwa ini semacam agen yang dibina oleh agen-agen luar, untuk menguji security alertness dari Indonesia. Dan kira-kira itu sebetulnya. Kan kita bisa membayangkan spay.
Ini makin serem.
Cuma kita tahu bahwa keadaan Indonesia memang rapuh dan siapapun bisa masuk ke wilayah-wilayah strategis. Dan itu bukan cuma istana. Kalau istana mungkin jauh sekali itu, jauh sekali dari kemungkinan diintervensi karena pasti ada detektor langkah di Merdeka Utara pasti dipasang sensor mobil, sensor langkah orang, metal detektor pasti, kira-kira 20 meter dari Monas sudah dipasang.
Itu mudah sekali kan kita juga tahu soal-soal semacam itu. Tetapi, yang lebih berbahaya adalah daya tahan bangsa ini yang terpecah karena tadi sinyal politik identitas muncul lagi. Itu justru yang membahayakan. Jadi, hal-hal yang sifatnya primordial dieksploitasi terus.
Pakai cadar, segala macam, jilbab, seorang perempuan lagi. Itu standar operasi intelijen sebetulnya. Seorang perempuan nanti dianggap ya itu suruhan atau sakit jiwa segala macam. Tapi, di atas keterangan-keterangan itu, kita harus pastikan faktanya kita dengan mudah tersulut oleh isu-isu politik identitas. Itu bahayanya.
Dan ini ada kecenderungan karena sering sekali pemerintah memainkan isu itu. Jadi begitu ada isu semacam itu, publik terutama yang ini, langsung waspada juga, ada apa ini. Kan gitu. Langsung ya.
Itu yang paling bagus, publik akhirnya belajar dari pass event, peristiwa-peristiwa sebelumnya yang menganggap apa sebetulnya. Orang mulai diingatkan lagi. Pak Wiranto dulu kasusnya apa yang ditusuk. Terus yang menyerbu kantor polisi itu perempuan atau apa.
Jadi banyak black number yang kemudian disamarkan, lalu kita diingatkan lagi. Jadi ini semacam kalau dalam teori Nazi itu, propaganda yang disiapkan untuk menguji kesiapsiagaan. Dan, propaganda itu pasti didesain. Itu kan teknik-teknik begini kan kita ngerti. Itu yang jago adalah ketika Perang Dunia ke-2, semua intelijen bikin mockup untuk menghidupkan kecemasan publik. Itu intinya.
Tetapi kan gini. Yang selalu kita bahas itu ya, seringkali kita ulang-ulang, bahkan mungkin orang sampai bosan, soal public disthrust yang meluas. Bahkan misalnya begini. Kan harusnya, ini idealnya, sekecil apapun ancaman terhadap istana, kalau dalam sebuah negara yang serius, tetap saja mesti dianggap sebagai sebuah alert. Tapi, yang di kita justru itu jusrtu jadi perdebatan gitu. Ada yang membesar-besarkan, tapi satu sisi ada yang malah menertawakan gitu.
Yang menertawan lebih banyak, karena nggak ada satupun orang Indonesia yang berpikir membunuh Presiden Jokowi. Kan Presiden Jokowi wajahnya wajah nelangsa, wajah yang kadang kala wajah semacam itu menurut saya apa, itu nggak ada sikap otoriter dari Presiden Jokowi, tetapi sebaliknya orang anggap dalam wajah Pak Jokowi itu ada kepemimpinan otoriter.
Karena mengendalikan partai politik, memaksakan kebijakan. Jadi semacam ada soft otoritersm di dalam istana. Tetapi, orang bikin kalkulasi apa gunanya itu misalnya ada seorang perempuan di situ. Terus ngapain? Kan dia mesti ada skenario besar.
Kalau individu yang nggak. Itu masuk istana kan panjang sekali jalannya. Menteri-menteri saja mesti disuruh tes urine dulu, apakah si teroris ini mau dites urine dulu tuh supaya bisa masuk istana. Jadi, hal-hal yang absurd, buat sementara kita anggap saja karena menerangkan itu saja sudah banyak versi.
Ini polisi nangkap, polisi mencurigai dari jauh, terus Paspampres rampas senjatanya atau petugas Polantas yang rampas. Dan, kalau di video kita lihat rampasnya itu ya biasa saja gitu. Kan bukan teroris yang dikepung segala macam. Jadi, mungkin saja itu juga senjata air. (ida/sws)