Tidak Belajar Dari Orla & Orba, Malapetaka Pak Jokowi
by Kisman Latumakulita
Jakarta FNN – Ahad (11/10). Presiden telah mengambil sikap. Presiden tidak mau menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk mencabut UU Omnibus Cipate Kerja, yang sialan itu. Para guru besar hukum, dan lainnya dari berbagai Perguruan Tinggi, juga pelajar, pekerja dan siswa yang berdemonstrasi di seluruh Indonesia, disepelekan saja.
Presiden punya hitung-hitungan? Itu pasti. Paling tidak Presiden menganggap penolakan berbagai kalangan atas UU sialan ini, sebagai ekspresi biasa dalam dunia demokrasi. Sampai disini oke. Tetapi bagaimana kalau rakyat, sekalipun hanya sebagian menganggap Presiden angkuh, sombong, ngaco ngawur, amburadul, asal-asalan dan picisan?
Keangkuhan Seokarno & Soaharto
Orde Lama dan Orde Baru, diketahui berbagai kalangan, dulu dan sekarang sebagai dua orde yang sangat memonopli kebenaran publik. Kebenaran hanya datang dari penguasa. Di luar penguasa, itu ngaco dan ngawur semua. Suara-suara kebenaran di luar penguasa Orde baru dan Ode Lama dianggap menggoyan stabilitas politik, mengganggu pemerintah dan lain sebagainya.
Begitulah catatan beta sebagai wartawan yunior sejak awal 1990 dulu. Pemerintah tak boleh dikritik. Praktis pemerintah menjadi lumbung kebenaran yang mutlak-mutlakan. Kebenaran hanya punya mereka yang di kekasaan. Kenyataan itu juga yang menguat, tak terbandingi diujung kejayaan palsu Orde Lama.
Siapapun yang merasa bahwa kritiknya itu benar dan masuk akal. Sehingga ada alasan yang kuat untuk tetap mengeritik pemerintah, maka harus berakhir dipenjara. Tragisnya lagi, dipenjara tanpa proses pemeriksaan di pengadilan. Orde Baru juga sama. Gampang untuk melupakan kenyataan sejarah yang sangat bernilai saat Orde Lama berkuasa itu.
Bahkan Orde Baru tetap angkuh, pongah, sombong, suka mengentengkan masalah. Senang untuk bembanggakan sendiri kenyataan pembangunan, yang ternyata rapuh tersebut. Akibatnya, temboklah yang bicara. Untuk menunjukan betapa hebatnya Pemerintah Pak Harto mengontrol rakyat. Harus memastikan bahwa stabilitas terus bekerja sesuai defenisi penguasa.
Stabiltas berada dalam kendalinya penguasa Orde Batu. Untuk itu, semua yang bebentuk gangguan harus disikat, dan dibereskan. Tetapi sejarah berbicara dengan fakta yang tak dapat dikoreksi. Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, dua orang paling hebat, berkuasa pada masanya, terjungkal dengan cara yang sangat menyakitkan dan menyayat hati.
Dua orang besar yang tidak bisa dikatakan bawha mereka berdua bukan penyelamat bangsa ini, harus mengakhiri jabatannya setelah diolok-olok oleh rakyatnya sendiri. Sangat menyedihkan sekali. Namun itu kenyataan. Gurihnya kekuasaan memang membutakan segalanya.
Begitulah sejarah menunjukan kepada kita. Itu juga yang terjadi di pemerintah keduanya. Bung Karno tak bisa dikoreksi. Begitu juga dengan Pak Harto. PKI yang terus menggila dalam politik Bung Karno, tak bisa dikoreksi. Dukungan mereka pada kebijakan Pak Karno, membuat PKI dilihat sebagai loyalis. Kaum revolusioner sejati. Yang lain seperti misalnya Masyumi? Itu Neokolim semua.
Sedih memang, melihat catatan sejarah bagaimana keduanya diolok-olok oleh rakyat sendiri. Yang boleh jadi pernah mengagung-agungkan mereka dulu. Begitulah hukum politik. Selalu menemuikan cara untuk menghukum, mengolok-olok orang besar. Berpihak kepada orang pada saatu saat, lalu berpindah memihak orang kecil, yang biasa terhina di sisi lain pada waktu yang lain. Itulah hukum abadi politik.
Jokowi di Jalan Yang Sama
Presiden Jokowi yang tidak cukup punya bekal politik sekelas dengan Bung Karno dan pak Harto, juga Pak Habibie, dan Gus Dur. Jokowi sedang dan terus berada dijalan yang sama yang pernah dilalui Bung Karno dan pak Harto. Menyepelekan orang-orang pintar di kampus-kampus, sedang menjadi tabiat yang peling menonjol dari pemerintahannya.
Persis seperti Pak Harto diujung kejayaan dulu. Saat di tepi waktu kejatuhan yang memilukannya, Jokowi telah dengan berani menyepelekan ratusan guru besar, para Doktor dan Profesor. Jokowi malah tegas meminta polisi memejarakan para demonstran. Tindakan ini persis sama dengan yang dilakukan oleh Pak Harto menjelang kejatuhannya dulu.
Masih ingatkah bagaimana pemerintah Pak Harto mengarahkan kampus-kampus? Tidak ingatkah bagaimana pemerintah Pak harto memperlakukan mahasiswa menjelang kejatuhannya? Masih ingatkah bahwa ketika itu keadaan memang buruk, tetapi rakyat tidak sesusah secara ekonomi seperti sekarang ini. Sekarang malah luarbiasa susahnya.
Pemerintah Orde Baru jago dalam mempromosikan konsep pertumbuhan ekonomi, sebagai mantra mensejahterakan rakyat. Pemerintah Pak Harto juga mengistimewakan kaum pengusaha. Masih ingat bagaimana kasus Marsina, perempuan pekerja yang mati terbunuh secara sadis itu?
Masih ingat kasus Udin, jurnalis yang mati terbunuh setelah memberitakan kebobrokan pemerintahan? Sekarang ada jurnalis yang hilang ditengah liputan demonstrasi kemarin. Edan, ko bisa itu terjadi dalam demokrasi di eranya Jokowi? Atau itulah demokrasi ala Jokowi? Hanya waktu yang akan bicara.
Jokowi tidak mengekspresikan sikapnya sebagai sosok yang sebenarnya ikut bertanggung jawabn atas demokstrasi kemarin. Bagaimana bilang informasi yang beredar hoax, sampai sekarang pun boleh jadi Jokowi belum memperoleh UU itu secara utuh. Persis seperti dialami Fraksi PKS dan Fraksi Denmokrat.
Lalu atas dasar apa Jokowi bilang hoax? Presiden Jokowi hanya bisa berbicara secara umum sekali. Sama dengan semua orang yang bicara. Tetapi Jokowi cukup berani mengatakan orang-orang berdemonstrasi itu memperoleh informasi hoax. Hebat sekali Pak Jokowi kita ini. Meskipun belum baca utuh ini UU, tetapi sudah mampu mengklaim kebenaran. Sama persis eranya Orde Lama dan Orde Baru dulu.
Pemerintahan Jokowi juga mengcopy-paste cara orde baru menghadapi keadaan politik yang panas. Caranya adalah menuduh orang, tanpa menyebut nama sebagai otak keributan. Pemerintah ini masuk ke cara kuno dan primitif. Tentu saja untuk menekan orang-orang berkelas yang kritis.
Demonstran mau dipenjarakan. Tetapi tindak pidana pemukulan yang dilakukan oleh penegak hukum kepada para demonstran, didiamkan Jokowi. Sikap ini diskriminatif. Semau gue, juga angkuh dan sombong. Jokowi melukai para orang tua yang anaknya ditelanjangi itu. Sedih melihatnya. Ini juga cara terlalu kotor, primitif an bar-baran.
Jokowi boleh saja berjaya saat ini. Boleh saja sepelekan guru besar, dan mencampakan dialog, serta terus kukuh, angkuh dan sombong menjalankan UU, yang para Guru Besar telah menolaknya. Pak Jokokwi, kalau UU ini hebat, mangapa musti disepakati malam-malam? Mengapa juga harus cepat-cepat disahkan? Padahal drafnya saja belum tuntas?
Ada apa Pak Jokowi? Ada yang disembunyikan atau ada yang dihindari? Oke Pak Jokowi bilang silahkan uji ke Mahkamah Konsitusi. Beta bukan ahli hukum. Beta hanya jurnalis hukum, sehingga cuma bisa ajukan pertanyaan kepada bapak. Pernahkah sekalipun hanya sedetik saja, bapak bayangkan berapa jumlah permohonan yang harus disiapkan pemohon?
Sampai sekarang Pak Jokowi tidak mampu menjawab pertanyaan PKS dan Demokrat, tentang dimana draf akhir UU itu berada? Tetapi Pak Jokowi telah dengan meyakinkan menyalahkan orang-orang. Saya sarankan jawablah segera. Dimana itu barang? Sedang diapakan itu barang?
Pak Jokowi tak bisa dianggap tidak bertanggung jawab terhadap keributan sekarang ini. Barang tidak jelas, tetap disahkan. Apakah Pak Jokwi sedang menyusun bata pasir rapuh untuk mengundang kejengkelan yang lebih dari rakyat negeri ini? Hanya Pak Jokowi yang tahu itu.
Sekarang bapak menolak untuk berdialog. Tidak mau mengikuti kemauan rakyat. Kalau bapak buka dialog saat ini, toh untuk apa? Tetapi sejarah telah menunjukan bahwa Pak harto yang sebelumnya tidak mau berdialog, akhirnya dijepit waktu dan memanggil untuk berdialog dengan para tokoh.
Hasilnya? Pak Harto akhirnya berhenti. Apakah itu yang diharapkan oleh Pak Jokowi? Waktu yang menjadi saksi dan hakim untuk kita semua.
Penulis adalah Wartawan Senior FNN.Co.id.