Tri Risma, Tiga Menguak Takdir
TIGA Menguak Takdir di sini bukan buku kumpulan puisi tiga sastrawan legendaris, Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin. Akan tetapi, tentang sosok Risma dan pejabat lainnya yang ternyata ditakdirkan sebagai pejabat unik, lucu, dan kasihan.
Unik karena sosok Tri Rismaharini selalu menjadi perbincangan. Lucu karena, meski perempuan, tingkahnya enerjik, sepak terjangnya apik. Kasihan karena ia selalu menjadi sorotan kamera ke mana pun melangkah.
Ia dicitrakan sebagai pendobrak, tahan banting, dan manusia paling peduli. Maka, ia dituntut untuk selalu memproduksi kehebohan demi kehebohan. Ia harus menampilkan peran itu secara kaffah, total. Tanpa rasa malu.
Saat menjadi Wali Kota Surabaya Risma tak pernah sepi heboh. Dari heboh soal mencaci-maki stafnya yang tak becus memprogram komputer hingga heboh mengatur lalu lintas di tengah hujan. Jika cuma menyapu jalanan adalah hal yang biasa. Masyarakat Surabaya sudah mafhum. "Wali kota edan kok," begitu komen arek Suroboyo bercanda.
Risma juga membikin heboh saat meninjau banjir di salah satu sudut Kota Surabaya. Dia katakan banjir itu disebabkan oleh air yang sedang mengantre masuk selokan. Pernyataan ini serius, bukan sedang berkelakar.
Wajar jika kemudian warganet pun heboh memberi komentar. Di media sosial, Risma dibully habis. Logikanya tentang banjir mengejek akal sehat. Pun demikian, Risma tetap melaju kencang dengan kehebohannya, tak peduli salah atau melanggar kepatutan.
Kehebohan kedua adalah ketika Risma berkomentar soal erupsi Gunung Semeru yang disebabkan oleh global warming (pemanasan global). Komentar konyol ini melahirkan cibiran masyarakat. Bagaimana hubungan pemanasan global dengan gunung meletus? “Gunungnya gak pakai rumah kaca sih,” begitu salah satu komentar.
Kehebohan berikutnya, saat Risma ditugasi Jokowi sebagai Menteri Sosial. Minggu pertama menggantikan posisi Juliari Peter Batubara yang ditangkap KPK karena korupsi dana bantuan sosial (Bansos), Risma langsung bikin gebrakan. Aksi heroik Risma adalah menyantuni gelandangan yang mengemis di Jalan Sudirman Jakarta. Dalam dialog dengan gelandangan, Risma berjanji akan membelikan rumah. Dermawan sekali. Tapi apakah tawaran itu membuat masyarakat berdecak kagum? Tidak. Yang terjadi justru, masyarakat ramai-ramai ingin menjadi gelandangan biar dibelikan rumah oleh menteri. Tentu saja ini sindiran yang sangat menohok.
Aksi petakilan Risma ini bukan melahirkan simpati masyarakat, tetapi sebaliknya, ia diserang oleh warganet sebagai tukang tipu adegan. Publik jelas menampakkan kesinisannya. Julukan drakor (drama kotor) menempel pada sosok Risma. Apalagi diketahui belakangan, ternyata pengemis yang dipasang di pinggir jalan, cuma dijadikan model belaka. Risma nyomot tukang koran yang berjualan di sekitar Manggarai. Di sini Risma ditakdirkan sebagai orang yang tidak paham situasi. Ia bermaksud meraih simpati atas tingkahnya yang sok peduli, tetapi salah setting dan salah tempat yang akhirnya salah kaprah.
Ada pula yang berpendapat Risma ingin menampar wajah Gubernur Jakarta, Anies Baswedan. Dengan adegan itu, Risma ingin mengajak masyarakat ramai-ramai memojokkan Gubernur DKI Jakarta yang dianggapnya tidak peduli terhadap gelandangan yang ada di jalan protokol. Akan tetapi apa yang terjadi, justru Rismalah yang tertampar. Ia seharusnya malu telah berbuat gaduh dan naif di daerah yang belum satu bulan ia tempati. Risma tak pernah membayangkan bakal terjadi persepsi publik yang menyesalkan ulah dirinya.
Sebagai orang beradab, mestinya Risma minta maaf telah melakukan sesuatu yang memalukan dirinya. Akan tetapi, permintaan maaf itu tak pernah ada. Apakah karakter pemimpin bangsa ini memang egois dan sulit meminta maaf?
Risma hanyalah salah satu dari banyak pejabat di negeri ini yang agak sulit mengakui kekeliruannya. Boro-boro menyesali perilakunya lalu memperbaikinya, meminta maaf saja amat sulit. Ia tetap melenggang dengan kenaifannya. Toh, lama-lama masyarakat melupakannya. Tabiat buruk pejabat kita bertolak belakangan dengan pejabat di negara lain.
Lihat saja Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe. Ia memilih mengundurkan diri dari jabatannya pada Jumat 28 Agustus 2020 karena sakit. Mundur dari sebuah jabatan menjadi hal yang lumrah, bahkan dianggap sebagai langkah terakhir menjaga 'kehormatan' sebagai pemimpin. Hal yang boleh dikatakan tak pernah dilakukan pemimpin di Indonesia.
Michael Bates salah satu menteri utama di Inggris mengundurkan diri hanya gara-gara telat satu menit dalam sebuah rapat. Bates memilih mundur karena merasa malu atas ketidaksopanan yang telah ia lakukan. Semua peserta rapat menyatakan ketidakrelaan dan penolakan atas aksi pengunduran diri Bates ini. Menurut mereka, permintaan maaf darinya sudah cukup dan semua mengapresiasi rasa tanggung jawab besar yang dia miliki.
Bayangkan kalau di Indonesia, jangankan terlambat, tidak hadir dalam rapat saja sudah menjadi hal biasa. Bahkan, di gedung parlemen kita sering melihat bangku kosong saat rapat-rapat penting, bahkan saat rapat paripurna.
Masih di Inggris, mantan menteri Inggris David Blunkett, juga mengundurkan diri dengan alasan malu lantaran ketahuan membantu mantan pacarnya dalam mengurus visa. Padahal, bantuan itu berkaitan dengan kemanusiaan pengasuh bayi sang mantan pacar. Karena pingin cepat, mantan pacar David minta bantuan mengurus paspornya. Namun sayang aksi “mempercepat” visa ini sudah tercium publik, yang mengakibatkan David memilih mengundurkan diri.
Di Indonesia, jangankan membantu mengurus paspor, membantu mendudukkan anak dan menantunya menjadi wali kota saja, ogah mundur. Ada saja cara untuk mencari permakluman agar tidak dipaksa mundur.
Berapa jumlah pejabat Indonesia yang telah mengundurkan diri? Ada, tapi sangat sedikit, terutama yang tersangkut kasus korupsi, seperti Andi Malarangeng, Idrus Marham, dan beberapa orang lainnya. Mereka bersedia mundur jika terbukti korupsi tangkap tangan. Jika masih ada celah untuk berkilah, mereka akan gunakan jurus itu untuk tetap bercokol di pemerintahan.
Pencitraan tampaknya telah menjadi ritual wajib rezim ini. Karena dengan pola inilah wajah pejabat kita akan selamat. Mereka tidak malu. Padahal rasa malu akan mencegah manusia dari perbuatan yang tidak layak dan tercela. Rasa malu membuat manusia tidak suka mengada-ada dan bertindak berlebihan. Oleh karena itu, orang yang memiliki rasa malu tidak akan pernah bermain sandiwara untuk menutupi kekurangannya.
Tidak hanya Risma, banyak pejabat lain melakukannya. Sang presiden pun tak pernah lupa membangun citra. Jika citra itu dibangun atas dasar realita, tentu tidak masalah. Yang bikin mual dan eneg adalah ketika citra itu dibangun atas dasar settingan, sandiwara, dan kepalsuan. Kepalsuan itu dikemas dengan biaya mahal secara demonstratif sarkastik. Rakyat telah muak sebenar-benar muak. Benarkah pejabat di negeri ini ditakdirkan tak punya malu? **