Tujuh Tahun Jokowi, Kemiskinan dan Ketidakadilan Ekonomi Makin Memprihatinkan

Jakarta, FNN – Mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo merasakan keprihatinan yang mendalam menyikapi perjalanan bangsa tujuh tahun terakhir.

“Hari ini saya ingin mengatakan bahwa di negeri yang kita cintai ini ada kemiskinan dan ketidakadilan sekonomi. Kehidupan sosial dan ekonomi bangsa Indonesia semakin hari semakin memprihatinkan. Jauh dari harapan mayoritas bangsa Indonesia,” kata Gatot dalam diskusi bertajuk “Tujuh Tahun Pemerintahan Jokowi: Ekonomi Meroket atau Nyungsep” Rabu, 20 Oktober 2021 di Jakarta.

Diskusi yang digagas KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) bekerja sama dengan Forum News Network ini menghadirkan pembicara Faisal Basri (Pengamat Ekonomi), Anthony Budiawan (Direktur Political Ekonomy & Policy Studies), Awalil Rizki (Chief Economist Institute Harkat Negeri), Rusli Abdullah (Penelitik Indef), dan Hersubeno Arief sebagai moderator.

Gatot dalam keynote speaker-nya menegaskan, saat ini ada sebagian kecil masyarakat Indonesia bisa menjadi sangat kaya raya. Ironisnya sebagian besar masyarakat masih hidup dalam kemiskinan. Sangat kontras sekali!

Artinya, terjadi ketidakadilan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Hal ini juga tercermin di dalam angka statistik. Jumlah rakyat miskin Indonesia menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta penduduk. Setara dengan 10,14% dari jumlah populasi.

Jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 ini naik 1,12 juta jiwa dibandingkan Maret 2020. Karena dampak pandemi Covid-19?

Di satu sisi, memang benar pandemi dapat menurunkan pendapatan masyarakat akibat PHK atau kegiatan ekonomi rakyat terhenti akibat Pembatasan Sosial, sehingga membuat angka kemiskinan meningkat.

Tetapi di lain sisi, hal ini juga bisa menunjukkan bahwa kebijakan stimulus pandemi fiskal telah gagal menahan angka kemiskinan nasional. Kegagalan kebijakan ini dapat dilihat dari jumlah penduduk kaya dan super kaya Indonesia justru meningkat selama Pandemi.

Menurut data dari lembaga keuangan Credit Suisse, jumlah penduduk Indonesia dengan kekayaan bersih 1 juta dolar AS atau lebih mencapai 171.740 orang pada tahun 2020. Angka tersebut naik sekitar 62% dibandingkan tahun 2019 yang berjumlah 106.215 orang.

Sedangkan jumlah orang Super Kaya Indonesia dengan kekayaan lebih dari 100 juta dolar AS, atau lebih dari Rp1,4 triliun, mencapai 417 orang pada 2020, atau naik 22,29% dari tahun 2019.

Tentu saja kondisi di atas sangat kontras dan ironis, dan menunjukkan kebijakan stimulus pandemi fiskal gagal berpihak kepada masyarakat umum dan penduduk miskin, tetapi lebih memanjakan orang kaya dan super kaya.

Apakah Indonesia Lebih Miskin dari Negara Tetangga?

Data kemiskinan di atas berdasarkan data dari BPS. Garis kemiskinan menurut BPS sangat rendah yaitu pendapatan di bawah Rp.472.525/orang per bulan, atau sekitar Rp.15.750 per hari.

Pendapatan tersebut harus bisa memenuhi biaya kebutuhan hidup, pangan maupun non-pangan seperti pakaian, tempat tinggal, sekolah, kesehatan, transportasi, dan lainnya.

Hampir dapat dipastikan pendapatan Rp15.750/harI/orang menurut garis kemiskinan BPS tersebut sangat rendah dan sulit dapat memenuhi biaya hidup minimum.

Kalau kita mau bandingkan tingkat kemiskinan antar negara maka kita harus menggunakan data dari Bank Dunia.

Untuk negara berpendapatan menengah seperti Indonesia, Bank Dunia menetapkan dua garis kemiskinan internasional yaitu 3,2 dolar AS dan 5,5 dolar AS per orang per hari (dengan menggunakan kurs daya beli paritas konstan atau Purchasing Power Parity tahun 2011).

Sedangkan menurut kriteria kemiskinan internasional dengan pendapatan di bawah 5,5 dolar AS/orang/hari (Purchasing Power Parity tahun 2011), jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2018 mencapai 53,2% dari populasi, atau 142,42 juta penduduk.

Sedangkan Vietnam dan Thailand masing-masing 22,4% dan 8,4% dari populasi, atau masing-masing hanya 21,4 juta dan 5,83 juta penduduk.

Dengan demikian, sangat ironis dan menyedihkan bahwa Indonesia yang merupakan negara terbesar di Asia Tenggara, dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah, tetapi tingkat kesejahteraan rakyatnya jauh di bawah beberapa negara tetangga: Singapore, Brunei, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Philipina. Kemiskinan rakyat Indonesia sesungguhnya bukanlah kemiskinan yang alamiah!

Sebabnya adalah Penguasaan Ekonomi oleh Sekelompok Kecil Masyarakat

Kekayaan sumber daya alam tidak digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia seperti dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara pasal 33. Tetapi, pemberdayaan ekonomi dan kekayaan sumber daya alam dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat dengan penguasaan luas lahan perkebunan dan pertambangan yang sangat besar

Sedangkan masyarakat daerah sebagai pemilik sumber daya alam tersebut hanya menjadi buruh perkebunan dan pertambangan yang mayoritas hanya mendapat upah harian berdasarkan upah minimum.

Padahal jumlah lahan perkebunan sawit bertambah pesat, yaitu dari 3,9 juta ha pada 1999 menjadi 14,7 juta ha pada 2019. Atau bertambah 10,8 juta ha dalam waktu 20 tahun, di mana perusahaan swasta besar menguasai sekitar 55%.

Total ekspor minyak kepala sawit sejak 1999-2019 mencapai 209 miliar dolar AS. Hasil komoditas sawit ini seharusnya memberi manfaat ekonomi sangat besar kepada rakyat di daerah, tetapi ironisnya hanya dinikmati oleh sekelompok kecil pengusaha sawit besar sehingga mengakibatkan kemiskinan di daerah dan ketimpangan sosial sangat tajam.

Jumlah produksi komoditas batubara lebih spektakuler lagi. Produksi batubara melonjak 10x lipat dalam 20 tahun dari 62,1 juta ton (1999) menjadi 616,2 juta ton (2019). Sedangkan total eskpor batu bara mencapai 245,3 miliar dolar AS dalam waktu 20 tahun (2000-2019).

Seharusnya hasil SDA ini dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia, sehingga kehidupan akyat menjadi lebih sejahtera. Tetapi sekali lagi, ironisnya, manfaat ekonomi dari kekayaan SDA ini lebih banyak dinikmati oleh segelintir pengusaha tambang.

Di lain pihak, meski produksi SDA dari sawit dan batubara meningkat tajam, justru rasio penerimaan negara dari pajak terhadap PDB terus turun sampai di bawah 10% pada 2019, dan hanya 8,3% pada 2020. Rasio pajak terhadap PDB ini merupakan salah satu yang terendah di ASEAN.

Konsekuensinya utang negara semakin besar, dan rasio beban bunga utang terhadap PDB sudah mencapai 1,7% pada 2019 dan 2% pada 2020.

Kondisi keuangan negara yang seperti ini, terus memburuk dan semakin mengkhawatirkan, pada akhirnya rakyat yang harus menanggung beban keuangan negara.

Antara lain melalui pungutan pajak. DPR belum lama ini menyetujui kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% yang akan berlaku efektif pada 1 April mendatang (2022), dan kemudian akan naik lagi menjadi 12% paling lambat pada 1 Januari 2025. Bagaimanapun juga kenaikan PPN akan menambah beban ekonomi masyarakat.

Selain itu, pemerintah juga memperluas barang kena pajak termasuk sembako, jasa pendidikan tertentu, jasa kesehatan tertentu, serta pajak karbon. Semua ini tentu saja menambah beban biaya hidup masyarakat serta mengurangi daya beli, sehingga dikhawatirkan akan menambah angka kemiskinan.

Di lain sisi, UU perpajakan yang baru tersebut, yang dinamakan UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan), kembali memberi pengampunan pajak yang kini dinamakan Program Pengungkapan (harta bersih secara) sukarela.

Dengan kondisi ketimpangan ekonomi, di mana masih cukup besar jumlah orang miskin di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa program pengampunan pajak tersebut untuk memfasilitasi kelompok masyarakat mampu dengan hanya membayar tarif pajak sebesar 6% atau 8% dari harta bersih yang akan dilaporkannya, yang mana selama ini harta tersebut baik yang ada di dalam negeri atau di luar negeri tidak pernah dilaporkan kepada negara.

UU dalam bidang perpajakan yang terbaru ini tentu saja menimbulkan rasa ketidakadilan ekonomi melalui perpajakan. Kenaikan tarif PPN di satu sisi memberatkan masyarakat golongan bawah terutama di tengah kondisi ekonomi yang masih sulit akibat pandemi. Sedangkan di lain sisi masyarakat golongan atas diberikan berbagai fasilitas keringanan pajak.

Mengapa ketidakadilan ekonomi bisa terjadi? Dan dibiarkan berlarut-larut. Karena biaya politik yang semakin tinggi di era Digital-Politics mempererat hubungan timbal-balik antara kekuasaan politik dan kekuasaan uang. “Politik perlu uang & Uang membeli kekuasaan. Kekuasaan mengakumulasikan uang & dengan Uang mempertahankan kekusaan.”

Lalu siapa yang memikirkan rakyat?

Sumbernya ada di Politik, sedangkan Ekonomi itu akibatnya saja. Dengan kata lain, produk-produk regulasi yang dikendalikan para elit politik hanya menciptakan segelintir orang kaya yang ingin terus menerus mengakumulasikan kekayaannya.

Akibatnya penumpukan kekayaan ada di elit, baik itu elit politik maupun elit pengusaha. Bisa di-cek dari kepemilikan uang di bank, berapa persen yang dimiliki oleh para elit. Belum lagi kekayaan para elit yang disimpan di luar negeri.

Seharusnya pemerintah dan DPR yang menguasai kunci untuk akses politik dapat lebih menunjukkan keberpihakan kepada masyarakatgolongan bawah dan menengah dalam membuat kebijakan dan UU dalam bidang ekonomi termasuk regulasi perpajakan, pertanian, kehutanan, dan SDA.

Negeri ini diproklamasikan bukan untuk memanjakan segelintir orang kaya, tetapi untuk seluruh bangsa Indonesia agar dapat merubah kehidupannya lebih baik setelah lama mengalami penderitaan penjajahan.

Sebelum mengakhiri, saya ingin mengingatkan lagi bahwa melawan ketidakadilan ekonomi merupakan amanat Reformasi 98 yang menyuarakan anti-KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

Ketidakadilan ekonomi bukan saja akan menciptakan kemiskinan struktural, tetapi juga kesenjangan sosial di masyarakat dan ancaman dis-integrasi daerah-daerah.

Saya juga ingin mengingatkan lagi jangan meremehkan bahaya dari utang-utang negara saat ini. Beban cicilan utang negara yang membengkak dapat membuat rakyat lebih miskin, karena seharusnya cicilan utang dapat digunakan untuk mensubsidi kehidupan rakyat seperti air, listrik, pangan, pendidikan, kesehatan, jalan tol dll.

Sedangkan penggunaan utang tersebut, tidak banyak membantu meringankan kehidupan rakyat sehari-hari. Utang negara yang dilandasi nafsu rakus dan serakah, yaitu utang yang hanya menciptakan segelintir orang kaya, tetapi secara konstitusional menjadi beban seluruh rakyat Indonesia, bahkan sampai beberapa generasi mendatang. Ini yang saya sebut sebagai Ranjau Utang.

Hari ini ranjaunya tidak terlihat, tetapi besok-besok dapat meledak kapan saja, dan memakan banyak korban. Sementara yang menikmati utang itu, entah sudah pergi di mana.

Penutup

Sebagai penutup, semoga diskusi ini dapat mengupas lebih dalam kondisi ekonomi dan keuangan negara hari ini dari berbagai sektor sehingga mencerahkan kita semua tentang apa yang sedang terjadi di negeri ini, sehingga mengingatkan kita apa yang akan terjadi jika kondisi ini dibiarkan terus karena kita tidak melakukan sesuatu apapun. (sws)

703

Related Post