Ubah Saja BNPT Menjadi BNPO Atau BNP-PKI!
Tentu semuanya memang hanya sekadar dugaan belaka tapi bisa jadi benar adanya. Kenyataan dan realitas yang terjadi saat ini negara dalam ancaman Oligarki dan indikasi kuat akan bangkitnya kembali PKI.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
TOKOH Muhammadiyah Din Syamsuddin mengaku sudah menduga bakal terjadi sesuatu saat Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko bicara tentang radikalisme dan politik identitas jelang Pemilu 2024, kata Din Syamsuddin dalam keterangan, Rabu, 26 Oktober 2022.
Sebaiknya Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) diubah menjadi Badan Nasional Penanggulangan Oligarki (BNPO) atau Badan Nasional Penanggulangan Kebangkitan Partai Komunis Indonesia (BNPK-PKI).
Cabut dan ubah UU Nomor 5 Tahun 2018 tanggal 21 Juni 2018, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sesuai kondisi aktual negara dalam ancaman Oligarki dan kebangkitan PKI.
Pada masa perkembangan virus Covid dengan program PPKM dan macam- macam aturan untuk pencerahan virus Covid, BNPT seperti pensiun dari kerjanya, sunyi senyap tenang dalam posisinya.
Akhir-akhir ini menjelang tahun politik 2023, narasi radikalisme dan terorisme kembali digulirkan bak gorengan lama yang berusaha dipanaskan kembali keberadaannya. Bahkan sudah beranak lahirnya narasi Politik Identitas di aduk dengan khilafah.
Di balik getolnya pemerintah untuk memerangi paham radikalisme-terorisme ini muncul opini, sebenarnya persoalan radikalisme-terorisme itu diduga kuat hanya merupakan sebuah proyek yang berbahaya karena bisa memecah-belah persatuan umat dan bangsa Indonesia.
Sangat mungkin ini hanya untuk menutup beberapa situasi negara dalam kondisi gawat akibat ulah Oligarki yang telah memporak-porandakan tata kelola negara dan bersamaan sangat kuat diduga akan munculnya kembali kebangkitan PKI.
- Apa itu radikalisme begitu penting untuk diwaspadai?
- Apakah radikalisme ini sebenarnya hanya sebuah proyek belaka?
- Siapa sebenarnya yang menjadi korban terbesarnya?
- Apa agenda terselubung di balik getolnya kampanye anti radikalisme-terorisme di Indonesia?
Sampai detik ini, narasi radikalisme belum mendapatkan pengertian dan makna yang jelas di tengah-tengah masyarakat kita. Sebab tudingan yang didengungkan mengenai radikalisme acapkali sarat dengan kepentingan politik tertentu yang menyertainya.
Bahkan, seringkali tudingan-tudingan tersebut dialamatkan kepada pihak-pihak yang dianggap telah mengancam eksistensi penguasa atau ditujukan kepada mereka yang katanya bermaksud mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan arah tembakan lurus kepada umat Islam.
Ancaman terhadap penggantian Pancasila dan UUD 1945 itu sangat jelas dan terang benderang bukan datang dari umat Islam. Ancaman tersebut justru datang dari rezim bersama kekuatan Dewan Perwakilan Rakyat atas remot kaum kapitalis Oligarki yang telah berkali-kali mengamandemen UUD 1945 menjadi UUD 2002.
Kekuatan itulah yang saat ini riil telah mengganti UUD 1945 menjadi UUD 2002. Tiba-tiba urusannya melesat jauh ke soal radikalisme, teroris, khilafah dan politik identitas.
Secara yuridis dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, memang berulangkali digunakan diksi “radikalisasi”. Tidak dijelaskan definisi dari radikalisme itu sendiri sendiri sehingga tidak jelas makna yang dimaksudkannya.
Selain itu hingga saat ini belum ada lembaga negara yang secara sah dapat menentukan siapa saja yang bisa disebut radikal dan tindakan apa yang bisa dilakukan kepadanya.
Karena radikalisme tidaklah sama dengan terorisme, bahkan BNPT pun sebenarnya tak punya legitimasi untuk menentukan kriteria radikal maupun ekstrem dan siapa saja yang harus diwaspadainya.
Terlalu banyak analisa kalau persoalan radikalisme – terorisme hanya merupakan sebuah proyek, antara lain oleh mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Hafidz Abbas dikutip beberapa media menyebut bahwa kasus terorisme di Indonesia selama ini terkesan seperti proyek belaka.
Jauh sebelumnya, sinyalemen radikalisme-terorisme telah dijadikan proyek juga disampaikan oleh Mantan Ketua Umum PBNU dua periode (1999-2009), KH Hasyim Muzadi (sebelum beliau meninggal dunia). Secara tersirat menilai bahwa permanenisasi isu radikalisme-terorisme di Indonesia ini sepertinya sudah dijadikan proyek-proyek yang permanen sifatnya.
Laksamana TNI Purnawirawan Mulyo Wibisono, mantan Komandan Satgas Intel Badan Intelijen Strategis (BAIS) ini bahkan tanpa tedeng aling-aling menyebut ada kemungkinan kemunculan teroris Solo beberapa waktu yang lalu sebagai rekayasa pihak BNPT untuk mendapatkan kucuran dana, dana dari si polisi dunia, seperti dikutip itoday, Sabtu (8/9/2012).
Membaca narasi soal radikalisme-terorisme di atas memang memunculkan sebuah tanda tanya benarkah persoalan radikalisme-terorisme di Indonesia itu hanya sekadar proyek belaka?
Terlepas dari benar atau tidaknya sinyalemen yang menyatakan program pemberantasan radikalisme dan terorisme sebagai proyek semata, yang jelas program ini sasaran dan korbannya kepada umat Islam.
Wajar Muhammadiyah yang secara tegas menolak ajakan BNPT untuk bersama-sama memerangi radikalisme dan terorisme di Indonesia atau menolak untuk bergabung dalam program deradikalisasi di Indonesia.
“Muhammadiyah berdiri sejak 1912, jauh sebelum Republik ini berdiri, apalagi BNPT. Kami sudah berpengalaman menangani soal radikalisme,” papar Pak Din.
Benar apa yang dikatakan oleh Jhon Pilgers, seorang jurnalis Australia bahwa korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tak ada perang terhadap radikalisme-terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme sebagai kedoknya.
Untuk umat Islam, mereka membaginya menjadi 4 golongan:1) Muslim Fundamentalis; 2) Muslim Tradisionalis; 3) Muslim moderat (liberal); Dan, 4) Muslim Sekuler. Dengan adanya penggolongan ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan pihak yang berkepentingan dalam memecah-belah umat islam atau politik devide et empera.
Melalui skema pembagian ini dengan mudah akan diperuncing perbedaannya dan saling dibenturkan satu dengan lainnya. Sehingga, tidak perlu susah payah menyerang kaum muslimin, cukup memakai politik devide et empera.
Selain mengandung nuansa proyek yang merugikan kepentingan umat Islam, isu radikalisme dan terorisme juga dicurigai mengandung misi terselubung yang merugikan bukan hanya umat Islam tapi bangsa Indonesia pada umumnya. Agenda terselubung itu diantaranya:
- Mendangkalkan keyakinan umat Islam yang menjalankan syariat agamanya.
- Patut dicurigai bahwa narasi radikalisme hanya alat untuk memukul pihak-pihak yang dinilai tidak sejalan dengan penguasa.
- Stigmatisasi radikal sengaja disematkan kepada ulama (ustadz) dan tokoh masyarakat yang lantang menyuarakan kebenaran dan berani menantang kebijakan rezim yang tidak menjalankan amanah yang diberikan rakyat kepadanya.
- Kampanyekan kalau syariat dan khilafah Islam dianggap sebagai sistem yang tidak toleran terhadap non muslim atau yang berbeda agama.
- Narasi radikalisme yang dikembangkan saat ini bisa jadi merupakan upaya untuk menutupi kebobrokan sistem neoliberal kapitalisme yang telah menggurita di Indonesia yang merugikan rakyat, bangsa dan negara.
Digaungkan untuk Pengalihan Isu? Menayangkan drama radikalisme seolah menjadi ‘end game’ dari pemerintah untuk menutupi masalah-masalah yang ada dan ketidakmampuannya dalam menangani permasalahan yang menjadi kewajibannya.
Tentu semuanya memang hanya sekadar dugaan belaka tapi bisa jadi benar adanya. Kenyataan dan realitas yang terjadi saat ini negara dalam ancaman Oligarki dan indikasi kuat akan bangkitnya kembali PKI.
Ini waktunya UU terkait Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) diubah menjadi Badan Nasional Penanggulangan Oligarki (BNPO) atau Badan Nasional Penanggulangan Kebangkitan Partai Komunis Indonesia (BNPK-PKI).
BNPT yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Kita harus melihat dengan jernih persoalan radikal-radikul ini, sehingga nantinya tidak terjebak pada konflik horizontal yang panjang dan melelahkan diantara anak-anak bangsa.
Karena akan sangat merugikan integritas, persatuan dan kesatuan bangsa. Banyak permasalahan bangsa dan negara ini yang perlu ditangani segera, sehingga isu radikalisme, terorisme, khilafah dan politik indentitas sangat berbahaya kalau direkaya hanya untuk menutupi masalah negara dari bahaya Oligargi dan perkembangan PKI saat ini. (*)