Vaksin Nusantara Dijamin Unggul vs Sinovac Cina

by Mochamad Toha

Surabaya, FNN - Dahlan Iskan, Menteri BUMN semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam tulisan di DisWay, 13 April 2021, menulis, kemarin pagi orang antre di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta: menjalani vaksinasi mandiri lewat Vaksin Nusantara.

Salah satu yang kelihatan di situ adalah tokoh ini: Sudi Silalahi. Bersama istri. Mantan Sekab itu percaya betul pada keahlian Dr. Dr. Terawan Agus Putranto, SpRad – Letnan Jenderal dan baru saja berhenti dari jabatan menteri kesehatan.

Kemarin pagi itu tahapnya baru untuk pengambilan darah. Sekitar 20 cc. Tepatnya 8 ampul kecil. Darah tersebut diberi antigen. Lalu disimpan di lab Selama 2 minggu.

Setelah muncul antibodi di darah itu, Sudi harus kembali ke RSPAD lagi. Darah tersebut akan dimasukkan kembali ke tubuhnya. “Saya tadi diberi tahu untuk datang lagi tanggal 28 April,” ujar Sudi Silalahi.

Itulah cara yang disebut menimbulkan antibodi Covid-19 melalui sistem sel dendritik. Sel dendritik itu kemudian '”mengajar”' sel-sel darah kita. Yakni bagaimana cara memunculkan antibodi – yang lebih awet bertahan di dalam badan, bahkan bisa jadi seumur hidup.

Minggu ini tiap hari 40 orang dulu. Ia mengetahui bahwa yang antre untuk divaksinasi lewat Vaksin Nusantara begitu banyak. Mulai minggu depan satu hari sudah bisa 80 orang.

Rupanya Terawan – sebagai inisiator Vaksin Nusantara – akan menempuh jalan mirip sukses DSA (Digital Substraction Angiography). Yang dulunya juga ditentang begitu hebat – sampai ia diberhentikan sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia – tapi akhirnya diterima secara luas.

Sampai saat ini sudah lebih 40.000 orang yang menjalani DSA – termasuk Dahlan dan istri. Itulah terapi untuk membersihkan saluran darah di dalam otak. Yang secara populer lantas disebut “brain wash”' – cuci otak dalam arti harfiah.

Terapi “cuci otak” Terawan dengan menggunakan alat DSA banyak dipakai masyarakat Indonesia, baik dari kalangan pejabat hingga masyarakat biasa yang menikmati terapi ini.

Biaya terapi “cuci otak” dengan alat DSA ini pada 2018 kisaran Rp 23 juta atau Rp 25 juta. “Sebenarnya untuk DSA-nya sendiri cuma 23 juta atau 25 juta (rupiah), sekitar itu,” ungkap Terawan saat ditemui di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, Senin (12/11/2018).

Yang membuat biayanya membengkak, menurutnya, justru disebabkan biaya pemeriksaan-pemeriksaan lainnya. Seperti pemeriksaan yang berkaitan dengan penyakit lain. Itulah yang membuat membengkak. Sebenarnya DSA sendiri murah.

Sampai saat ini, Terawan pun tak membedakan biaya terapi DSA pada masyarakat Indonesia dan warga negara asing. Menurut Terawan, semua orang harus diperlakukan sama dalam hal pelayanan maupun biaya.

Sebelumnya, banyak orang yang telah melakukan dan disembuhkan oleh terapi DSA itu. Sebut saja beberapa nama besar diantaranya seperti Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Bagaimana dengan Vaksin Nusantara yang sedang dikembangkan Terawan? Apakah juga ada antusiasme masyarakat untuk disuntik Vaksin Nusantara? Sejak adanya penolakan untuk uji coba fase II Vaksin Nusantara, Terawan langsung memindahkan peralatan laboratorium dendritiknya dari Semarang, dibawa kembali lagi ke RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.

Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena, mantan Panglima TNI Jenderal Purn Gatot Nurmantyo, dan pengamat politik senior Fahri Ali tampak mengantri di RSPAD Gatot Subroto sebagai peserta Vaksin Nusantara.

Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan sejumlah anggota Komisi IX DPR RI mendatangi RSPAD, juga tampak ada di RSPAD Gatot Subroto.

Mereka itu untuk sementara diambil sampel darahnya. Sehingga, pengambilan sampel darah bagian dari proses vaksinasi. “Jangan dianggap tadi vaksin. Itu bagian dari prosesnya. Jadi, ngambil darah bagian dari proses,” kata Melkiades, Rabu (14/4/2021).

“Kamis depan itu disuntik ke masing-masing orang sesuai dengan pengambilan darah tadi,” lanjut politisi Partai Golkar yang akrab disapa Melki itu.

Vaksin Nusantara merupakan produk perusahaan obat asal Amerika Serikat (AS), AIVITA Biomedical yang dikembangkan oleh perusahaan Indonesia PT Rama Emerald Multi Sukses.

Vaksin ini hanya digunakan bagi orang yang diambil komponen sel darah putihnya dan disuntikkan kembali. Saat sel diambil terjadi proses inkubasi dengan antigen protein S virus SARS-CoV-2.

Lantas usai tujuh hari, sel itu dimasukkan lagi ke tubuh orang yang diambil selnya. Cara ini diklaim bisa bentuk pertahanan terhadap Covid-19. Penelitian klinis fase I melibatkan 28 relawan di RSUP Dr Kariadi. BPOM menyatakan penelitian Vaksin Nusantara belum memenuhi syarat, sehingga mereka belum mengeluarkan izin persetujuan penelitian uji klinis (PPUK) fase 2.

BPOM merilis hasil uji klinis fase I atas Vaksin Nusantara yang digelar pada 23 Desember – 6 Januari 2021 di RSUD Kariadi Semarang atas 28 subjek. Hasilnya sebagian besar relawan mengalami kejadian tak diinginkan mulai dari level ringan, sedang, hingga berat.

“Sebanyak 20 dari 28 subjek (71,4 persen) mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan, meskipun dalam grade 1 dan 2,” kata Kepala BPOM Penny Lukito, dilansir Tirto.id, Selasa (13/4/2021).

Efek samping yang dirasakan antara lain, nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal. Bandingkan dengan efek samping pada Vaksin Sinovac yang hanya dilaporkan sekitar 0,1-1 persen pada uji klinis fase 3.

Seluruh subjek mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant.

Di luar 20 subjek tersebut, terdapat 6 subjek penelitian yang mengalami efek samping derajat berat. Sebanyak 1 subjek mengalami hipernatremi, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol.

Menurut Penny, KTD grade 3 merupakan salah satu pada kriteria penghentian pelaksanaan uji klinis yang tercantum pada protokol uji klinik. Namun, berdasarkan informasi Tim Peneliti saat inspeksi yang dilakukan BPOM, ternyata tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinis dan analisis yang dilakukan oleh Tim Peneliti terkait kejadian tersebut.

Penny menjelaskan, itu menjadi satu alasan bagi BPOM enggan menerbitkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) tahap 2 bagi vaksin nusantara. Terawan dan Vaksin Nusantara harus bisa menunjukkan efikasi tinggi dibanding Sinovac yang diakui pejabat China memang rendah!

Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

563

Related Post