Virus China, Bisnis Oligarki Puluhan Triliun

Abdullah Hehamahua, mantan Penasehat KPK

Oligarki, penguasa yang pengusaha atau pengusaha sebagai penguasa, dapat dilihat dari teve, radio, dan surat kabar mainstream dikuasai koalisi Jokowi. Wajar jika artis meninggal dunia, diberitakan seluruh media mainstream, berhari-hari.

Oleh: Abdullah Hehamahua, Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

KETUA Bappenas, Suharso Monoarfa dalam rapat dengan DPR (30 Agustus 2021) menyebutkan, rakyat miskin di Indonesia meningkat tajam, dampak virus China, Corona. Menurutnya, 50 persen rakyat Indonesia mengalami penurunan pendapatan. Bahkan, 26% tulang punggung keluarga, berhenti kerja. Anehnya, presiden masih bernafsu untuk memindahkan ibu kota yang akan menghabiskan Rp 466 triliun.

ICW menyebutkan, keuntungan yang diperoleh oligarki dalam bisnis PCR, 10 triliun rupiah. Namun, akun @dalamIstana menyebutkan, omzet aktivitas PCR bisa mencapai puluhan triliun rupiah. Akun ini menyebutkan, Januari hingga Juli, 2021 saja, nilai impor tes PCR mencapai 6,4 triliun rupiah.

Total keuntungan tes PCR sejak awal pandemi, menurutnya, mencapai 30 hingga 50 triliun rupiah. Apakah hal ini ada kaitannya dengan pengumuman KPK yang mengatakan, selama setahun pandemi, pejabat mengalami kenaikan harta. Kalau begitu, KPK harus segera turun tangan.

Rejim Oligarki

Oligarki menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari kelompok tertentu. Kabinet sekarang berasal dari koalisi presiden Joko Widodo yang dikomandoi PDIP. Hanya PKS dan Demokrat yang tidak masuk dalam kabinet.

PAN, sebelumnya masuk dalam kelompok oposisi bersama PKS dan Demokrat. Namun, partai besutan Amin Rais ini sedang merapat ke Istana. Jokowi menunggu waktu yang tepat untuk menaklukkan lawan-lawan politiknya, termasuk PAN. Mungkin pula, Jokowi sebagai Petugas Partai, belum mendapat perintah dari “majikan’ sebagai konsekuensi logis dari sistem oligarki.

Pengaruh oligarki dapat dilihat dari janji-janji Jokowi dan realisasinya. Jokowi mengatakan, kabinetnya akan ramping. Tidak boleh rangkap jabatan di partai. Tidak lagi impor buah dan sayur. Bahkan, tidak akan berutang ke luar negeri.

Faktanya, seperti biasa, Jokowi mengkhianati janjinya. Hal ini dapat dilihat dari bercokolnya beberapa ketua umum partai dalam kabinet. Impor buah dan sayur terus meningkat. Bahkan, utang luar negeri Jokowi mengalahkan seluruh presiden yang pernah berkuasa di Indonesia.

Utang luar negeri 2021 (pemerintah dan swasta) mencapai sembilan ribu triliun rupiah. Utang pemerintah sendiri, 38,2% dari PDB. Padahal, batas psikologi sebaiknya tidak melebihi 30%. Namun, seperti yang dilansir anggota legislatif dari PKS, DPR adalah kantor cabang presiden di Senayan. (Pada waktu orde baru, DPR disebut tukang stempel).

Wajar jika Jokowi merasa aman. Makanya, tujuh partai koalisi dan anggota DPR-nya harus bertanggung jawab jika terjadi prahara sebagaimana tragedi 1967 dan 1998.

Satu hal yang pasti, Nabi Muhammad tidak mau menyolatkan jenazah sahabat yang punya utang. Maknanya, sahabat ini masuk neraka. Berdasarkan hadits ini, Jokowi akan masuk neraka jika beliau tidak melunasi utang pemerintah sebelum meninggal dunia.

Bahkan, presiden dan menteri keuangan akan masuk neraka karena menerapkan riba. Tahun 2021 saja, bunga utang, Rp 343,5 triliun. Tahun sebelumnya, Rp 301 triliun. Mengapa mereka masuk neraka? Sebab, menurut Nabi Muhammad, memakan riba, sama dengan menzinahi ibu kandung sendiri.

Keanehan lain dari Jokowi, dalam kampanye Pilpres 2019, tidak menyinggung masalah perpindahan ibu kota negara. Faktanya, Jokowi memaksakan pemindahan ibu kota dalam suasana pandemi meski biaya yang diperlukan sebesar 466 miliar rupiah.

Maknanya, perpindahan ibu kota adalah konsep oligarki yang sarat aspek bisnisnya. Sebab, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, biaya pemindahan ibu kota hanya 19,2% berasal dari APBN, 54,4% dari Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan 26,4% dari swasta.

Swasta di Indonesia berasal dari mana lagi kalau bukan 9 naga. Semuanya non-muslim. Menteri keuangan bilang, salah satu sumber dana pembangunan ibu kota baru adalah menjual aset yang ada di Jakarta. Aset itu, antara lain berupa gedung-gedung kementerian dan lembaga negara.

Mereka akan dijual dengan cara lelang. Tahukah presiden dan menterinya, kasus korupsi yang ditangani KPK, 43 sampai 60 persen berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa. Siapa yang mampu beli gedung-gedung itu kalau bukan konglomerat sembilan naga dengan partnernya dari China. Maknanya, Jakarta akan menjadi Beijing kedua.

Keganjilan lain yang mungkin hanya ada di Indonesia, para profesor dan doktor di pemerintahan dan DPR tiba-tiba menjadi dungu. Bukankah untuk menetapkan ibu kota baru itu harus ada undang-undangnya? Bahkan, negara primitif pun, pendapat rakyat perlu dimintai sebelum ada putusan final. Faktanya, lokasi sudah ditetapkan. Pembangunan awal pun telah dilaksanakan, 2019. Padahal, RUU Ibu Kota Negara (IKN), baru dimajukan ke DPR, 29 September 2021.

Lebih dungu lagi, salah satu alasan, ibu kota dipindahkan karena Jakarta sering banjir, tapi calon ibu kota baru tersebut pun, kebanjiran. Bahkan, 101 rumah di dua desa dan satu kelurahan, Penajam Paser Utara, 17 Desember yang lalu, kebanjiran karena hujan dan naiknya air laut.

Fakta lain tentang pengaruh oligarki, 17 anggota kabinet adalah orang parpol. Tiga ketua umum (Golkar, Gerindra, dan PPP) berada dalam kabinet. Menariknya, Prabowo yang ketika kampanye menyatakan, hidup dan mati bersama umat, ternyata menghambakan diri terhadap rivalnya. Menteri-menteri lain dijabat oleh fungsionaris PDIP (5 orang), Nasdem, PKB, dan Golkar, masing-masing tiga orang.

Oligarki, penguasa yang pengusaha atau pengusaha sebagai penguasa, dapat dilihat dari teve, radio, dan surat kabar mainstream dikuasai koalisi Jokowi. Wajar jika artis meninggal dunia, diberitakan seluruh media mainstream, berhari-hari.

Namun, meninggalnya tujuh ratusan petugas KPPS dan 11 pengunjuk rasa di depan kantor Bawaslu, sepi dari media mainstream. Apalagi, pembunuhan sadis 6 laskar FPI oleh pemerintah, jauh dari pemberitaan media mainstream.

Dampak Bisnis Oligarki

Menteri PPN/Ketua Bappenas Bappenas Suharso Monoarfa  dalam pertemuan dengan DPR juga mengatakan, dampak virus China selama dua tahun, cukup dahsyat: (a) Mereka yang berpendapatan di bawah Rp 1,8 juta (70,5%), mengalami penurunan penghasilan; (b) Komposisi rakyat Indonesia berdasarkan penghasilan: 46,8% pekerja berpenghasilan Rp 1,8 sampai dengan Rp 3 juta per bulan; 37,2% pekerja berpenghasilan Rp 3 – Rp 4,8 juta; 31,7% pekerja berpenghasilan diantara Rp 4,8 – Rp 7,2 juta; Hanya 30.3% pekerja yang penghasilannya di atas Rp 7,2 juta/bulan.

Menurut BPS, jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang (10,14%). Namun, penduduk desa yang miskin mencapai angka 13,10%. Angka tersebut berdasarkan kriteria BPS yang mengatakan, orang miskin adalah mereka yang pendapatannya kurang dari satu dollar/hari. Namun, menurut PBB, orang miskin adalah mereka yang penghasilannya kurang dari dua dollar/hari. Maknanya, orang kota di Indonesia yang miskin sebanyak 20,28%, sedangkan penduduk desa, 26,20%.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan bersama ICW, YLBHI, LaporCovid-19, dan Lokataru, 31 Oktober 2021, mengungkapkan data-data berikut: (a) Seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR, setidaknya lebih dari Rp 23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut; (b) Total potensi keuntungan yang didapatkan sekitar Rp 10 triliun lebih; (c) Ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan meningkat tajam; (d) Kondisi tersebut menunjukkan, Pemerintah gagal memberi jaminan keselamatan bagi warga.

Koalisi juga menyebutkan data-data berikut: (a) Anggaran penanganan Covid-19 sektor kesehatan tahun 2020, sebesar Rp 99,5 triliun. Namun, realisasinya hanya 63,6%; (b) Tahun 2021, anggarannya lebih besar, Rp 193,9 triliun. Namun, pada 15 Oktober, hanya terserap 53,9%; (c) Ada dua masalah menurut Koalisi:

Pertama, penurunan harga PCR karena sejumlah barang yang telah dibeli, baik oleh pemerintah maupun perusahaan, akan memasuki masa kadaluarsa. Pemerintah membantu penyedia jasa untuk menghabiskan reagen PCR. Sebab, kondisi tersebut pernah ditemukan ICW saat melakukan investigasi bersama Klub Jurnalis Investigasi.

Kedua, ketertutupan informasi mengenai komponen biaya pembentuk harga pemeriksaan PCR. Dalam sejumlah pemberitaan, BPKP dan Kementerian Kesehatan tidak pernah menyampaikan informasi apa pun mengenai jenis komponen dan besarannya. Sejak Oktober 2020 lalu, harga reagen PCR hanya sebesar Rp 180.000.

Ketika Pemerintah menetapkan harga Rp 900.000, maka komponen harga reagen PCR hanya 20 persen. Komponen harga lainnya tidak dibuka secara transparan. Dengan demikian, penurunan harga menjadi Rp 900.000 juga tidak memiliki landasan yang jelas.

Begitu pula dengan penurunan harga PCR menjadi Rp 350.000 juga tidak dilandaskan keterbukaan informasi. Maknanya, kebijakan yang diambil sejak Oktober 2020, mengakomodir sejumlah kepentingan kelompok tertentu.

Virus China sebagai Bisnis

Memerhatikan informasi Deputi Pencegahan KPK tahun lalu, maka masyarakat bertanya-tanya, apakah kenaikan kekayaan PN ada kaitannya dengan Virus China? Salah satu fakta, Mensos yang dalam suasana pandemi, berhasil mengumpulkan 14,6 miliar rupiah. Uang itu hasil korupsi dana Bansos. Ketua Bappenas juga menyebutkan virus China erat kaitannya dengan bisnis.       

Bisnis jenis ini merupakan salah satu sumber pemasukan pemerintah dan oligarki. Sebab, menurut WHO, setelah vaksin 1 dan 2, vaksin booster hanya perpanjang pandemi virus China, tidak mengakhirinya. Apalagi, bisnis ini antara lain meliputi: pengenaan masker, hand sanitizer, rapid test anti body, rapid test antigen, dan PCR. Jika 10 juta rakyat Indonesia melakukan perjalanan sekali dalam sebulan, maka perusahaan menerima pemasukan sebanyak 1,5 miliar rupiah.

Pada Juli 2020, Kementerian Kesehatan telah menetapkan biaya maksimal untuk rapid test antibody, Rp 150.000. Biaya ini berlaku untuk seluruh layanan kesehatan bagi pasien mandiri. "Biaya Rp 150.000 itu untuk pasien mandiri. Intinya bukan untuk screening yang bantuan pemerintah," ujar Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes Tri Hesty Widyastoeti. Di stasiun, PT KAI mematok tarif rapid test antibodi, Rp 85.000. Rapid test di bandara, Rp 150.000.

Kemenkes juga menetapkan harga tertinggi untuk PCR, Rp 900.000, meliputi jasa layanan SDM yang terdiri dari dokter spesialis mikrobiologi. Pada awal pandemi, harga PCR belum dikontrol Pemerintah sehingga harganya sangat tinggi. Bahkan mencapai Rp 2,5 juta. Pemerintah, Oktober 2020 baru mengontrol harga menjadi Rp 900.000. 

Pemerintah, 10 bulan kemudian menurunkan lagi harga PCR menjadi Rp 495.000 - Rp 525.000. Sebab, masyarakat membandingkan harga di India yang hanya Rp 160 ribu. Terakhir, 27 Oktober lalu, Pemerintah menurunkan harga PCR menjadi Rp 275.000 – Rp 300.000. Demikian penjelasan Wana Alamsyah, anggota ICW kepada publik.

KPK Perlu Turun Tangan

KPK sewaktu masa jayanya, menangkap sejumlah Menteri dan pimpinan lembaga negara. Bahkan ketua partai penguasa, turut ditangkap. Besan presiden SBY pun ditangkap. Namun, KPK dalam pemerintahan Jokowi, kehilangan jati diri. Salah satu indikator, IPK turun jadi 3,9. Sebelumnya, 4,1.

Masyarakat gembira ketika KPK menangkap Mensos, Wakil Bendahara Umum PDIP, partai penguasa. KPK akan memeroleh kepercayaan masyarakat seperti sediakala jika kasus PCR yang melibatkan pejabat tinggi negara dan menteri, diusut tuntas. Semoga! (Depok, 5 Januari 2022). (*)

 

313

Related Post