WMO: Dampak Perubahan Iklim Terlihat dari Cuaca Ekstrem di Dunia
Jakarta, FNN - Sekretaris Jenderal World Meteorological Organization (WMO), Prof. Petteri Taalas mengungkapkan bahwa dampak perubahan iklim sudah sangat terlihat melalui cuaca yang lebih ekstrem di seluruh belahan dunia.
Di peringatan meteorologi dunia tahun ini, WMO mencanangkan tema “Early Warning and Early Action” yang memiliki arti peringatan dini dengan lebih dini bertindak dalam mitigasi terkait bencana akibat cuaca, iklim dan kondisi air yang kini cenderung ekstrem.
"Kami melihat gelombang panas yang lebih intens dan kekeringan serta kebakaran hutan. Kami memiliki lebih banyak uap air di atmosfer, yang menyebabkan curah hujan ekstrem dan banjir mematikan. lautan memicu badai tropis yang lebih kuat dan naiknya permukaan laut meningkatkan dampaknya," ujar dia dalam sambutannya di acara Puncak Hari Meteorologi Dunia ke-72 diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Laporan WMO tentang statistik bencana selama 50 tahun terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 11.000 bencana terkait dengan cuaca, iklim, dan bahaya terkait air antara tahun 1970 dan 2019, hampir sama dengan satu bencana per hari.
Ada 2 juta kematian atau 115 per hari. Jumlah bencana telah meningkat lima kali lipat dalam 50 tahun terakhir, dan biaya ekonomi melonjak. Hal itu diperkirakan akan terus berlanjut, ujarnya.
Senada, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan perubahan iklim yang menjadi faktor penguat mengapa cuaca ekstrem makin sering terjadi di Indonesia. Mulai dari hujan lebat disertai kilat dan petir, siklon tropis, gelombang tinggi, hingga hujan es atau kekeringan panjang.
Situasi ekstrem ini, kata dia, ketika bertemu dengan kerentanan lingkungan, tidak jarang mengakibatkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, angin puting beliung, dan tanah longsor serta kebakaran lahan.
Perubahan iklim pulalah yang memporak porandakan keteraturan iklim dan cuaca di Indonesia, dan berdampak serius pada keberlanjutan sektor pertanian dan perikanan, yang dapat berujung pada ancaman terhadap ketahanan pangan Indonesia.
Dwikorita mengatakan untuk menekan laju perubahan iklim, perlu aksi kolaboratif dan kolektif dalam Perencanaan yang Tepat di setiap Program Pembangunan, yang disertai dengan Penyiapan Tata Ruang yang Berwawasan Lingkungan serta berketahanan terhadap Perubahan Iklim dan Bencana.
Menurut dia, strategi tersebut perlu didukung oleh upaya Adaptasi dan Inovasi Teknologi berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Kolaborasi pentaheliks diantaranya melalui Pemerintah, akademisi/ilmuwan, pihak swasta, masyarakat dan media, menjadi kunci solusi dalam menghadapi seluruh kompleksitas dan ketidakpastian tersebut.
"Selanjutnya, sistem Peringatan Dini pun perlu terus diperkuat dengan panduan edukatif untuk memberikan kemampuan masyarakat agar dapat merespons dengan aksi dini yang cepat dan tepat," ujar dia. (mth/Antara)