Demo #SaveBabi Di Medan Beraspek Politis dan Tak Sensitif

By Asyari Usman

Jakarta, FNN - Kemarin, Senin (10 Februari 2020), berlangsung unjuk rasa menentang pemusnahan ternak babi di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Ribuan orang turun ke jalan di Medan. Mereka datang dari berbagai daerah. Aksi demo terpusat di depan gedung DPRD provinsi.

Mungkin sebagian orang merasa kok tiba-tiba ada pemusnahan babi. Sebagian lain mungkin merasa kok muncul unjuk rasa #SaveBabi.

Supaya bisa memahami persoalan yang tarjadi, berikut ini kronologi yang berujung pada wacana (bukan rencana) tindakan pemusnahan babi ternak di Sumut.

Sekitar awal November 2019, ribuan bangkai babi dibuang di sungai-sungai dan berbagai situ (waduk, oase) yang ada di provinsi Sumatera Utara (Sumut). Pada pendataan awal, tercatat 4,682 babi mati dan diduga terkena virus Hog Cholera. Mulanya ditermukan di 11 kabupaten/kota. Kemudian menjadi 16, yaitu kabupaten-kabupaten Dairi, Humbang Hasudutan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tanah Karo, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, dan Langkat. Tiga kota yang terkena adalah Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Medan.

Pemprov mengidentifikasi 61 pemilik ternak babi di Sumut yang membuang bangkai secara sembarangan. Mereka membuang seenaknya tanpa memikirkan dampak kesehatan dan lingkungan.

Ribaun bangkai babi yang dibuang semberono itu sampai juga ke laut lepas. Banyak nelayan di kawasan pantai sepanjang Selat Melaka mengeluhkan banyaknya bangkai babi di laut. Ini menyebabkan masyarakat tidak mau mengkonumsikan ikan. Selama hampir sebulan lebih penjualan ikan menurun drastis di Sumut.

Hingga akhir November 2019, masih ditemukan bangkai babi yang dibuang secara sembarangan. Bahkan, ada bangkai babi yang ditemukan di Jalan Sumarsoso, kawasan Helvetia, Medan, pada 25 November.

Sampai 15 Desember 2019, jumlah babi yang mati di 16 daerah tingkat dua di Sumut mencapai hampir 30,000 ekor. Kemennterian Pertanian menyimpulkan bahwa kematian massal babi ternak itu disebabkan virus African Swine Fever (demam flu Afrika atau ASF).

Kesimpulan bahwa penyakit yang melanda babi itu adalah ASF dikonformasikan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam Surat Keputusan Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019 tertanggal 12 Desember 2019.

Salah satu cara pencegahan penyebaran ASF adalah pemusanahan babi. Tetapi, Pemprov Sumut berpendapat cara ini bukanlah tindakan terbaik. Selain memerlukan biaya dan logistik yang besar, pemusnahan babi melanggar aturan tentang “animal welfare” (kemaslahatan hewan).

Entah bagaimana, berbagai elemen masyarakat menyangka pemusanahan akan dilakukan oleh Pemprov Sumut. Ini yang memicu mereka turun berunjuk rasa hari Senin (10/2/2020) dengan tagar #SaveBabi.

Diantara pengnjuk rasa, ada yang mengatakan bahwa pemusnahan babi akan menghilangkan kebudayaan sebagian masyarakat. Tidak jelas masyarakat yang mana. Tetapi, kalau dilihat dari massa yang turun, kemungkinan besar yang dimaksudkan adalah kebudayaan warga tanah Batak yang selalu terkait dengan babi.

Perlukah unjuk rasa #SaveBabi?

Saya berpendapat, sama sekali tidak perlu. Pertama, demo itu menunjukkan ketidakpekaan (insensitivitas) para pendukung #SaveBabi terhadap perasaan orang-orang di luar komunitas mereka. Sangat tidak sensitif. Kalau saya ditanya, saya akan mengatakan ada terselip unsur “show of force”. Unjuk gigi, kata sebuah idiom.

Kedua, saya menduga demo #SaveBabi adalah “coded message” (pesan berkode) yang ditujukan kepada Gubernur Edy Rahmayadi. Dalam arti, bahwa bagi komunitas #SaveBabi, Edy Rahmayadi mengambil garis partisan ketika pernah muncul wacana pemusnahan babi di seluruh Sumatera Utara. Padahal, kalaupun langkah pemusnhan itu diambil, itu semua dilandaskan pada hasil analisis ilmiah tentang penyakit hewan menular.

Ketiga, kalau aksi demo itu didalami, saya melihat ada penampakan aspek politis juga. Lihat saja fakta yang berlangsung di lapangan pada hari unjuk rasa, kemarin. Misalnya, ada ormas yang dasumsikan “connected” dengan Edy Rahmayadi turun berjaga-jaga di kawasan kantor Gubernur Sumut. Aspek politis ini tidak bisa ditutup-tutupi. Pasti akan ada terus. Aspek ini berhulu pada setiap agenda elektoral (pemilu) di Sumut. Baik itu pemilu tingkat provinsi maupun pemilu tingkat kabupaten-kota. Orang Sumut sudah sangat “familiar” (paham).

Jadi, meskipun unjuk rasa #SaveBabi berjalan tertib dan aman, aktivitas ini jelas menunjukkan adanya ramuan (ingredient) politik. Selain itu, demo ini terasa, atau tanpa terasa, mengusik sensitivitas sebagian warga Sumut terhadap babi.

Semoga saja ada semacam “lesson learned” dari aksi kemarin itu.

Penulis adalah wartawan senior

500

Related Post