EKONOMI
Esemka: Proyek Tipu-tipu?
Para pegiat medsos juga mencurigai mobil Esemka Bima mirip dengan mobil pabrikan asal China, Changan Star Truck. Kembaran itu mulai dari tampak depan, samping hingga bagian belakang mobil. Hingga akhirnya muncul tanda pagar atau tagar #ChanganJiplakEsemka dan menjadi trending topik di jagat maya. Para netizen ramai-ramai mengomentari kemiripan mobil tersebut. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Penantian mobil yang dijanjikan Joko Widodo pada tahun 2012 akhirnya terkabul juga. Selamat, selamat, selamat. Ternyata Jokowi nggak nggedebus, omdo, omong doang. Jokowi menunaikan janjinya. Pada Jumat, 6 September 2019 lalu, Presiden Jokowi meresmikan pabrik mobil Esemka yang terletak di Desa Demangan, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Abrakadabra, hanya dengan investasi Rp600 miliar berdirilah pabrik mobil seluas 12.500 meter per segi di atas 115.000 meter per segi lahan sewa dengan jangka waktu 30 tahun. Pabrik ini dilengkapi dengan ruang pamer, pengecatan, perakitan kendaraan, perakitan mesin, pengetesan mesin, pengetesan kendaraan, dan inspeksi. Presiden Direktur Esemka, Eddy Wirajaya, mengatakan investasi pabrik mobil Esemka ini seluruhnya murni swasta nasional. "Tidak ada campur tangan perusahaan asing. Investasinya 100% Indonesia," ujarnya, sebelum peresmian. Nilai invetasi Rp600 miliar untuk industri otomotif dibilang mini. Coba saja bandingkan dengan investasi yang dikeluarkan PT SAIC General Motors Wuling (SGMW) Motor Indonesia, produsen mobil China merek Wuling. Perusahaan ini merogoh kocek Rp9 triliun lebih atau US$700 juta pada 2015 lalu untuk membangun pabrik Greendland International Industrial Center, Desa Sukamahi, Kecamatan Cikarang Pusat, Kota Deltamas, Bekasi, (Jawa Barat). Di wilayah yang sama, tak jauh dari pabrik Wuling, Mitsubhisi juga membenamkan US$600 juta (Rp7,1 triliun) untuk membangun pabrik baru. Memang sih, besar kecilnya nilai investasi tentu tergantung kapasitas pabrik yang dibangun. Esemka hanya akan memprodusi puluhan ribu unit per tahun, sedangkan Wuling dan Mitsubhisi memproduksi ratusan ribu unit tiap tahunnya. Jadi deh, investasi Esemka murah meriah. Masalahnya, lantaran kecilnya nilai investasi itulah mengundang kecurigaan banyak pihak ini pabrik mobil beneran apa Cuma bohong-bohongan? “Ini memproduksi mobil, perakitan atau hanya menempel merek saja,” sendir Muhammad Said Didu, eks Sekretaris Jenderal Kementerian BUMN dalam rekaman video di Youtube. Said mencurigai Esemka merupakan produk dari perusahaan mobil lain yang kemudian diberi merk Esemka. Sebab itu, mobil yang diluncurkan kemarin beda dengan mobil yang sebelumnya pernah dimunculkan Jokowi waktu menjadi Wali Kota Solo. "Alhamdulillah ada produsen mobil yang berkenan produknya diberi merek Esemka. Walau beda dengan Esemka Walikota Solo - itulah Esemka bisa berubah kapan saja,' ledek Said. Para pegiat medsos juga mencurigai mobil Esemka Bima mirip dengan mobil pabrikan asal China, Changan Star Truck. Kembaran itu mulai dari tampak depan, samping hingga bagian belakang mobil. Hingga akhirnya muncul tanda pagar atau tagar #ChanganJiplakEsemka dan menjadi trending topik di jagat maya. Para netizen ramai-ramai mengomentari kemiripan mobil tersebut. Esemka Bima boleh jadi memang rebadge mobil asal China, Changan Star Truck. Hal seperti itu sesungguhnya tak menjadi soal. Rebadge merupakan hal lumrah di industri otomotif, seperti terjadi pada Nissan Livina dan Mitsubishi Xpander, Holden Gemini-Isuzu Gemini, Ford Laser-Mazda 323, Mitsubishi Colt T120SS-Suzuki Carry Futura. Terbaru, adalah Wuling Almaz yang merupakan rebadge dari Baojun 530. Lalu, tinggal ditambahi saja Esemka- Changan Star Truck. Menjadi persoalan, jika Esemka itu diproduksi pabrik Changan di China, lalu dikirim ke Indonesia, selanjutnya pabrik Boyolali itu mengganti emblemnya menjadi Esemka. Kalau itu dilakukan, ya mirip proyek mobil nasional di zaman Orde Baru dulu. KIA disulap menjadi Timor di Indonesia. Mobil Korea itu diklaim sebagai mobnas dan bebas pajak impor setelah ditempeli merek Timor. Eddy tentu saja membantah hal itu. Suku cadang Esemka dipasok dari produsen dalam negeri. Esemka sampai saat ini telah menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan lokal untuk pengadaan suku cadang kendaraan seperti ban, velg, kaca, accu, altenator, starter, filter-filter, jok, grill, knalpot, van belt, bak kargo, tangki bahan bakar, chassis, dan per daun. Jadi Esemka bukan proyek tipu-tipu. Ya, kalau ada kurang-kurangnya harap dimaklumi. "Kalau ada kurang-kurang dikit, ya namanya juga pertama," ungkap Jokowi, saat menjajal mobil pikap Esemka Bima 1.200 cc warna putih.
Sri, Sebenarnya Kamu Kerja untuk Siapa?
Surat terbuka buat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Aku mau to the point saja. Sri, sebenarnya kamu kerja untuk siapa? Sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia, bukankah semestinya kamu kerja untuk rakyat Indonesia? Bukankah gaji dan seabrek fasilitas serba wah yang kamu nikmati itu dibayari oleh rakyat Indonesia? Bukankah dalam sumpah yang kamu ucapkan waktu dilantik sebagai menteri antara lain berbunyi: “Saya bersumpah, bahwa saya, setia kepada UUD Negara Republik Indonesia19945 dan akan memelihara segala undang-undang dan peraturan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia. Bahwa saya, dengan sekuat tenaga akan mengusahakan kesejahteraan Republik Indonesia.” Sri, sumpahmu itu berat, lho. Apalagi kalau tidak salah, sebelum bersumpah, kalian para menteri yang muslim, termasuk kamu, mengatakan “demi Allah aku bersumpah...” Sumpah itu menyebut-nyebut asma Allah Yang Maha Agung dan Maha Perkasa. Sumpah itu berimplikasi pada tanggungjawab dunia dan akhirat. Allah pasti akan mintai pertanggungjawabannya. Maksudku, itu kalau kamu percaya adanya kehidupan setelah mati, di akhirat. Tapi, terlepas kamu percaya atau tidak dengan balasan di akhirat kelak atas segala perbuatan di dunia, yang pasti kamu sudah bersumpah. Kamu juga sudah menikmati gaji dan bergelimang fasilitas sebagai menteri yang dibayari semuanya oleh rakyat Indonesia. Secara etik, mestinya kamu harusnya merasa punya utang budi kepada rakyat Indonesia. Kamu punya tanggungjawab moral untuk memenuhi sumpah kamu itu. Tapi Sri, kenapa justru perilakumu menabrak sumpah suci itu? Kenapa segala kebijakanmu justru banyak menyusahkan rakyat? Aku tidak mau membahas bagaimana kamu gigih memperjuangkan dan mengusung ekonomi neolib yang terbukti di banyak negara, dan juga di negeri kita, gagal mensejahterakan rayat. Aku juga tidak berminat menyoal hobimu membuat utang ribuan triliun dengan bunga supertinggi. Aku pun tidak mau singgung soal dari tahun ke tahun kamu alokasikan sebagian besar dana di APBN untuk membayar utang. Aku juga ogah ngomongin kenapa kamu justru rajin memangkas belanja sosial (subsidi) Pemerintah untuk rakyat Indonesia yang berakibatnya naiknya harga-harga kebutuhan dasar. Aku pula tidak ingin bicara tentang kepanikanmu dalam menggenjot penerimaan pajak, dengan cara sibuk memajaki aneka hal remeh-temeh yang membebani UMKM dan rakyat kecil. Padahal, pada saat yang sama kamu justru mengurangi bahkan membebaskan bermacam pajak ( tax holiday) barang-barang mewah dan bagi pengusaha dan asing dengan dalih investasi. Kenapa semua kali ini aku tidak berminat membahas itu semua? Karena kamu orang yang kopeg, ndableg. Tidak mempan masukan, apa lagi kritik. Berapa banyak orang dan pihak yang berteriak soal-soal tersebut? Tapi kan kamu selalu ngeles dengan berbagai dalih. Utang terkendali, lah. Mengelola APBN secara prudent, lah. Dan serenceng jurus berkelit lainnnya yang jadi andalanmu. Kamu abaikan semua kekhawatiran dan ketakutan akan kebijakanmu yang lebih banyak menyenangkan ‘pasar’ sekaligus pada saat yang sama justru menyusahkan rakyat Indonesia sendiri. Jadi, pertanyaan di pembuka surat ini sekali lagi aku ajukan kepadamu. Pertanyaan ini makin menemukan konteksnya, ketika kamu mengusulkan agar penunggak iuran BPJS dikenai sanksi tidak bisa mengurus SIM dan sekolah anaknya. Sadarkah kamu ketika mengucapkan usul ini? Sehatkah kamu saat mulutmu berucap seperti ini? Sri, kamu kan menteri. Mosok kamu tidak tahu, bahwa perpanjangan SIM itu penting banget, khususnya bagi para sopir dan pengendara motor, termasuk tukang ojek. Kamu bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada mereka kalau saat bekerja di atas roda tanpa mengantongi SIM yang masih berlaku? Jika lagi apes, mereka akan ketanggor polisi. Mereka bisa kena tilang atau memberi ‘uang damai’ kepada Polantas. Mereka harus keluar uang tambahan, Sri. Kamu tahu, kan, bahwa mereka adalah orang-orang kecil yang mengandalkan duit receh agar bisa menghidupi anak, istri dan keluarganya. Dengan uang recehan itu mereka membeli beras, membayar tagihan dan atau pulsa listrik, membeli gas ukuran tiga kg, membayar uang sekolah anak-anak, membayar belanjaan di pasar-pasar tradisional, dan membayar segala kebutuhan dasar mereka. Jadi, kalau rakyat telat atau tidak sanggup membayar iuran BPJS, karena uang mereka sudah habis untuk berbagai kebutuhan dasar tadi. Jangankan membayar denda, untuk membayar iuran rutin bulanan saja mereka tidak sanggup. Mereka tidak punya duit, Sri! Kamu tahu konsekwensi bagi para penunggak iuran BPJS? Pasti kamu baca berita, ada yang tidak bisa membawa pulang jenazah keluarganya dari rumah sakit karena menunggak iuran BPJS seperti yang dialami Lilik Puryani, anak Suparni. Dia terpaksa menjaminkan sepeda motor untuk mengambil jenazah ayahnya yang dirawat dan meninggal dunia di RSI Madiun yang menyodorkan pembayaran sebesar Rp6.800.000. Padahal, sangat boleh jadi, sepeda motor itu menjadi tulang punggung keluarga tadi dalam mengais nafkah yang receh-receh. Kamu pasti tahu persis, rakyat kecil tidak sama dengan kamu yang menteri. Buat kamu, Rp6,8 juta pasti tidak berarti, bahkan jika deretan nolnya ditambah beberapa lagi. Rakyat harus berjuang ekstra keras agar bisa sekadar bertahan hidup di tengah gempuran harga-harga yang terus merangkak naik. Sedangkan kamu, gajimu besar. Kekuasan dan kewenanganmu lebih besar lagi. Listrik dan kebutuhanmu yang lainnya ditanggung oleh negara. Supirmu dibayari negara. BBM mobil supermewahmu dibayari negara. Baju dinas di kementerinmu yang mentereng itu, juga dibeli dengan uang rakyat. Perjalanan dinasmu yang terbang dengan kelas eksekutif, kamar hotel mewahmu, kartu kreditmu semua dibayari negara. Kamu hidup dengan serba gratisan, Sri. Dan semua itu dibayari oleh rakyat. Kamu tahu persis, kan, Sri? Satu lagi. Sri, kamu kan intelektual. Gelar akademismu doktor lulusan luar negeri, Amerika Serikat pula. Keren sekali. Sebagai intelektual, kamu pasti paham betul pentingnya pendidikan. Kamu pasti tahu persis, bahwa dengan pendidikan peluang seseorang memperbaiki nasibnya lebih terbuka lebar ketimbang orang yang tidak atau kurang berpendidikan. Tapi, Sri, sebagai intelektual dan menteri kenapa kamu tega mengusulkan agar penunggak iuran BPJS dikenai sanksi tidak bisa mengurus sekolah anaknya. Jahat sekali kamu! Kalau dulu penjajah Belanda melarang rakyat Indonesia yang mereka sebut inlander untuk bersekolah, aku masih bisa memahami alasannya. Belanda tidak ingin rakyat Indonesia pintar, agar mereka bisa melestarikan penjajahannya atas negeri yang berjuluk rangkaian Jamrud Katulistiwa. Tapi Sri, usul yang berimpilkasi menghalangi rakyat Indonesia bersekolah dan menjadi pintar kali ini datang dari kamu. Seorang menteri, intelektual sekaligus WNI asli keturunan Indonesia. Aku harus bilang apa dengan fakta seperti ini? Kamu benar-benar jahat. Kamu sadis terhadap rakyat Indonesia yang sudah menanggung gaji dan bermacam fasilitasmu sebagai menteri. Atau, barangkali kamu mau mengelak, bahwa tidak semua kebutuhan hidupmu dibayari rakyat? Mungkin kamu juga dapat penghasilan dari jasa atau sebagai pembicara di aneka forum bergengsi karena intelektulitas dan atau pengalamanmu. Tapi Sri, biarkan aku mengingatkanmu, bahwa betapa pun dan bagaimana pun, kamu tetaplah WNI. Kamu tetap rakyat Indonesia asli, bukan keturunan. Mosok kamu tega dan jahat kepada saudara-saudaramu sesamat rakyat Indonesia? Sri, sebagai menteri dan intelektual, kamu pasti tahu, bahwa ada amanat konstitusi yang mewajibkan negara mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalau kamu lupa, aku kutipkan sebagian dari paragraf empat UUD 1945: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,..” Cetak miring dan bold sengaja kulakukan untuk memberi penekanan, barangkali kamu luput memperhatikan. Pertanyaannya, bagaimana rakyat bisa cerdas jika kamu yang jadi menteri justru menghalang-halangi mereka bersekolah hanya karena mengunggak iuran BPJS? Di mana hati nuranimu? Masih adakah? Kalau pun ada, masihkah hati nuranimu itu hidup? Tidakkah cukup penderitaan rakyat saat bosmu yang presiden itu akan menaikkan iuran BPJS dua kali lipat? Di mana juga hatimu, ketika dengan enteng kamu bermaksud menaikkan gaji direksi BPJS? Padahal, fakta dan bukti menunjukkan mereka tidak becus mengelola perusahaan asuransi yang di-back-up kekuasaan. Terakhir, sebagai menteri keuangan, tentu kamu paham betul bahwa BPJS bukanlah pajak atau pendapatan negara bukan pajak (PNBP) . Tidak ada secuil pun aturan apalagi UU yang mewajibkan rakyat membayar iuran BPJS. Kalau sekarang rakyat dipaksa ikut dan membayar iuran BPJS, dengan segala sanksinya yang tidak masuk akal dan kejam, itu karena kalian para pejabat publik telah berlaku sangat zalim kepada rakyatnya sendiri. Bagaimana mungkin menteri keuangan dan intelektual seperti kamu tidak paham perbedaan antara pajak, PNBP, dan iuran? Namanya saja iuran, mana bisa dijadikan kewajiban. Iuran itu hanya berlaku bagi yang terlibat. Iuran RT, misalnya, hanya wajib bagi warga lingkungan RT yang bersangkutan. Lagi pula, BPJS sejatinya adalah manipulasi negara terhadap rakyat. BPJS bukanlaah jaminan kesehatan oleh negara kepada rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 ayat 2 UUD 1945. Di situ disebutkan, “ negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.” BPJS hanyalah perusahaan asuransi yang berlindung di balik ketiak penguasa, ya di antaranya kamu. BPJS adalah bentuk kesewenang-wenangan negara yang amat luar biasa terhadap rakyatnya. Tolong tunjukkan kepadaku, di belahan bumi mana ada negara yang mewajibkan rakyatnya untuk menjadi peserta asuransi? Sudahlah Sri, bertobatlah. Jabatan yang kamu banggakan itu sama sekali tidak abadi. Cepat atau lambat akan selesai. Berakhir. Dan, yang lebih penting lagi, kalau kamu orang yang beragama, tentu kamu yakin adanya akhirat. Kelak, kamu harus mempertanggungjawabkannya di hadapan mahkamah yang anti suap dan KKN. Ngeri, lho Sri! [*] Jakarta, 6 September 2019
Industri Tekstil Kita di Pintu Kebangkrutan
Tekstil dan pakaian jadi dari China menjadi petaka bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia. Pemerintah terkesan melakukan pembiaran. Kini, industri tekstil dalam negeri berada di pintu kebangkrutan. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Stok TPT menumpuk di gudang-gudang akibat barang tak bisa dijual. Ada sekitar 1,5 juta bal benang dan 970 juta meter kain menumpuk di gudang-gudang industri tekstil. Barang sebanyak itu nilainya kira-kira Rp30 triliun atau setara dengan 2-3 bulan stok. Stok yang menggunung, membuat industri tekstil kesulitan memutar modal kerja. Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI), Suharno Rusdi, memperkirakan jika ini dibiarkan maka 2-3 bulan ke depan akan ada perusahaan yang tidak mampu membayar upah karyawan bahkan tidak mampu membayar pesangon untuk karyawan yang di-PHK. “Hanya beberapa perusahaan yang bermodal kerja kuat saja yang mampu bertahan,” ujarnya, Kamis (29/8). IKATSI telah menyampaikan secara resmi kepada beberapa menteri terkait atas kondisi itu dengan harapan keran izin impor ditutup. Jika banjir produk impor dikurangi maka produk dalam negeri yang menumpuk dapat terjual. "Intinya kami meminta pemerintah mengubah kebijakan perdagangan agar lebih pro produk dalam negeri dan bisa menguasai pasar domestik, sambil kita tingkatkan daya saing agar bisa lebih bersaing untuk ekspor," kata Suharno. Sekjen Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengganggap biang kerok lonjakan impor TPT adalah Permendag 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil. "Impor seharusnya tidak diterapkan untuk bahan baku yang bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri," katanya. Sebelum aturan tersebut terbit, impor sudah membanjiri pasar dalam negeri. Kondisi semakin kritis pasca beleid tersebut berlaku. Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan impor TPT melonjak 13,8%. Sektor yang paling terpukul oleh barang impor adalah sektor pembuatan kain, sementara sektor yang masih cukup baik adalah industri paling hilir atau industri pakaian jadi. Di sisi lain, kondisi makin tak terkendali sejak perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS). Produk China yang tadinya mengalir ke negeri Paman Sam sejak Mei lalu sebagian membanjiri pasar Indonesia. Berdasarkan catatan S&P, bea masuk baru senilai 25% yang dikenakan oleh AS untuk produk impor asal China, termasuk tekstil, telah membuat produsen tekstil asal Negeri Panda itu merelokasi penjualannya ke negara-negara yang lebih bersahabat seperti Indonesia. Gempuran produk dari China itu membuat pasar tekstil dalam negeri kebanjiran pasokan (oversupply) sehingga harga pun jatuh. Di saat yang bersamaan, S&P mencatat, konsumsi masyarakat Indonesia sedang relatif lemah. Pemutusan Hubungan Kerja Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (DPN-FKSPN), Ristadi, menyebut ada tiga juta pekerja di industri tekstil. Pada saat ini sudah sekitar 40 ribuan karyawan yang dirumahkan. "PT PIR ada 14 ribu yang di PHK belum lagi PT IKM dan PT UNL bahkan sudah tutup," sebutnya. Wakil Sekretaris Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, Rizal Tanzil mengungkap tengah terjadi gelombang merumahkan pekerja dan PHK di industri tekstil Jawa Barat khususnya di wilayah Bandung Raya. "Laporan dari anggota kami per Juli kemarin, total sudah 36 ribu karyawan yang dirumahkan," katanya. Hitungan itu sepanjang dua tahun terakhir, 2017-2019. PHK terjadi menyusul langkah perusahaan menurunkan produksi. Kini banyak perusahaan pada tingkat utilisasi di kisaran 30- 40%. Selain kalah bersaing dengan barang murah dari China, dalam kasus industri TPT Bandung Raya, karena ada kebijakan menutup Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) bagi industri yang dianggap mencemari sebagai bagian dari program Sungai Citarum Harum. "Bahkan beberapa sudah ada yang stop produksi seluruhnya, terutama IKM," tambahnya. Berlebihan API menganggap masalah impor memang sudah berlebihan. Soalnya, barang dari manca negara tersebut sudah diproduksi di Tanah Air. Itu sebabnya ia meminta Menteri Perdagangan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.64/2017. Revisi itu diperlukan dalam hal pengetatan ketentuan kepada para importir pemegang angka pengenal importir umum (API-U). Pasalnya selama ini ketentuan impor yang diberikan kepada API-U terlalu longgar sehingga memicu lonjakan impor produk jadi melalui pusat logistik berikat (PLB). Menteri Perindustrian (Menperin), Airlangga Hartarto, juga mengakui ada impor berlebih pada produk TPT sehingga terjadi PHK. "Ijin impor ditutup saja dulu, kecuali impor bahan baku untuk kepentingan ekspor yang melalui Kawasan Berikat (KB) dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE)," tambah Redma. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono, mengungkap industri tekstil mengalami penurunan sekitar 1% karena banyak impor bahan baku yang masuk selama 3 bulan pertama tahun ini. Padahal pada kuartal akhir tahun lalu sektor ini masih mampu tumbuh sebesar 6%. Salah satu yang menjadi perhatian Kemenperin adalah impor yang masuk melalui pusat logistik berikat. Menperin berjanji akan mereview lagi karena sekarang ada importir umum melalui PLB. “Apalagi perang dagang China-AS dan devaluasi China sehingga produk dari China akan kompetitif," kata Airlangga. PLB selama ini memudahkan bagi eksportir maupun importir dalam menyimpan barang mereka, sebagai kawasan berikat. Namun, Airlangga tak merinci persoalan apa yang terjadi pada PLB dan kaitannya dengan impor TPT yang berlebihan. “Dulu yang boleh impor API-P [angka pengenal impor-produsen] saja, sekarang API-U [angka pengenal impor-umum] boleh impor lewat PLB dan aturan di PLB tidak jelas. Semua barang bisa masuk PLB, jadi keblabasan,” imbuh Redma. Redma memberikan beberapa usulan revisi. Salah satunya terkait ketentuan impor. Produk TPT yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri HS 52, 54 sampai 62, diusulkan agar dimpor oleh hanya oleh importir yang mengantongi Angka Pengenal Impor-Produsen (API-P) yang mendapat pengenal impor tekstil saja. “Yang kami minta antara lain revisi Permendag No.64/2017 dan perbaikan impor melalui PLB serta perlindungan safeguard untuk produk hulu hingga hilir seperti yang dilakukan pemerintah Turki,” ujar Redma. Sedangkan untuk peningkatan daya saing, ia mengatakan pemerintah dapat membantu dengan memberikan insentif. Namun, insentif yang dimaksud, katanya, sebaiknya dipakai untuk meringankan ongkos produksi. Kementerian Perdagangan selalu berdalih impor diperlukan sebagai bahan baku ekspor. Padahal, dalam kasus impor tektil tidak begitu. Pasalnya pemerintah telah memberikan fasilitas kawasan berikat dan kemudahan impor tujuan ekspor (KITE). Adapun untuk UKM garmen bahan bakunya bisa dipenuhi oleh UKM tenun dan rajut. Kini, industri tesktil sudah megap-megap. Hanya kepada Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukito, mereka berharap. Atur impor tekstil dengan benar. End.
Awas, Duniatex Group Bisa Jadi Pusat Tsunami Baru Perbankan
Oleh Hudzaifah (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Reputasi Duniatex Group sebagai raja tekstil dari Solo mulai goyah, terutama sejak 10 Juli 2019 obligasi dolarnya mengalami default (gagal bayar) senilai US$11 juta dan kredit Rp17 triliun di 29 bank mulai mengalami eskalasi kolektabilitas 1, 2 dan 3 dan tidak menutup kemungkinan menjadi 4 dan 5. Di pasar keuangan juga mulai ramai kabar bahwa kontrak forward valas Duniatex Group dianggap tidak settle (tidak dibayar) di Maybank Indonesia. Bahkan kabar missed payment kredit banknya cukup menjadi cerita dari mulut ke mulut di kalangan bankir. Situasi ini diperparah dengan adanya perang dagang China dengan Amerika yang berdampak ke Indonesia, ditandai dengan gempuran tekstil dan produk tekstil murah ke Indonesia. Situasi ini menambah buruk kinerja kolektabilitas kredit Duniatex Group di industri perbankan. Pertanyaannya, kondisi yang bisa menjerumuskan Duniatex Group ke potensi kredit macet dan gagal bayar obligasi apakah murni karena situasi krisis atau ada kesalahan langkah bisnis. Atau bahkan buah dari keserakahan grup bisnis yang dibangun Hartono, pengusaha tekstil asal Solo, sejak 1974 itu? Kini dilanjutkan oleh anaknya, Sumitro. Teka-teki mengapa Duniatex Group mengalami eskalasi kolektabilitas kredit, default obligasi valas dan kontrak forward valas yang tidak dibayar, belakangan makin terkuak. Setidaknya dari bocoran beberapa bankir yang menghindari kredit ke Duniatex Group, maupun dari bankir yang sudah terlanjur menggelontorkan kredit ke anak-anak perusahaan grup tekstil itu. Duniatex Group memiliki 25 pabrik yang terdiri atas enam entitas perusahaan di tiga lini produksi dan mempekerjakan sedikitnya 45.000 pekerja Duniatex Group mendirikan PT Delta Merlin Dunia Tekstil (DMDT) pada 1998 yang memiliki lini bisnis penenunan (weaving) atau proses mengolah benang menjadi kain, menjadi satu dari enam perusahaan utama yang dikonsolidasikan di laporan keuangan Grup Duniatex. Perusahaan yang dikonsolidasikan Grup Duniatex termasuk PT Delta Dunia Tekstil (DDT) dan PT Delta Merlin Sandang Tekstil (DMST) yang sama-sama didirikan pada 2006, berdasarkan data profil perusahaan (company profile) Duniatex. DDT dan DMST bersama dengan PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST) yang didirikan pada 2010 sama-sama bergerak di bidang pemintalan (spinning) atau proses membuat benang dan serat dari kapas atau bahan lain seperti bahan sintetis. Lini bisnis lain dari Duniatex adalah bisnis pewarnaan (dyeing) dan bisnis hilir produk akhir (finishing) yang dikelola oleh PT Damaitex Ltd yang diambilalih pada 1992 dan PT Dunia Setia Sandang Asli (DSSA). Satu perusahaan yang disebut milik Duniatex tetapi tidak dikonsolidasikan di laporan keuangan kelompok usaha tersebut adalah PT Dunia Sandang Abadi yang didirikan pada 1998. Duniatex sendiri didirikan dengan nama CV Duniatex sejak 1974 di Surakarta (Solo) oleh Hartono dengan lini bisnis finishing tekstil. Dari seluruh perusahaan tersebut, artinya perusahaan belum memiliki lini bisnis garmen (garment) atau pembuatan pakaian yang merupakan produk akhir dari bisnis tekstil. Isu turunnya reputasi keuangan Duniatex Group bermula ketika anak perusahaannya di bidang penenunan, DMDT, mengalami gagal bayar (default) pembayaran kupon obligasi global. Sehingga lembaga rating Standard & Poors (S&P) memangkas habis peringkat utang jangka panjang Duniatex termasuk juga surat utang unsecured notes yang diterbitkan perusahaan dari BB- menjadi CCC-. Tentu saja isu ini merambat ke telinga para bankir, seolah memberi isyarat bahwa potensi kenaikan eskalasi kolektabilitas kreditnya sangat tinggi di 29 bank. Itu sebabnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan review sangat ketat dan memantau day to day agar kolektabilitas kredit Duniatex Group bisa dijaga dan tidak terus meningkat. Direktur Utama BRI Suprajarto mengatakan, kredit Duniatex di bank-nya masuk kategori kolektabilitas 2. Ini artinya, Duniatex sudah memiliki tunggakan kewajiban selama satu sampai dua bulan. Bila tunggakan berlanjut hingga tiga sampai empat bulan, maka kredit akan masuk kategori kolektabilitas 3 sehingga diperhitungkan sebagai kredit bermasalah (NPL). Meski begitu, Suprajarto menyatakan pihaknya tidak terlalu khawatir dengan risiko kredit Duniatex Group. Ia menjelaskan status kredit yang masih kolektabilitas 2 menunjukkan kelancaran pembayaran kredit masih cukup bagus. Selain itu, nilai jaminan cukup bila kredit tersebut macet. BRI juga sudah melakukan pencadangan untuk kredit Duniatex sebesar 20%. Saat ini, portofolio kredit BRI di Duniatex sebesar Rp1,4 triliun dan pinjaman nontunai sekitar Rp400 miliar. "Jaminan 127%, jadi kami tidak khawatir-khawatir amat. Jaminan kami relatif marketable, jadi ini yang membuat kami bisa segera mencari exit solusi-nya," ujarnya. Tapi kabarnya Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno tidak puas dengan kasus ini, sehingga posisi Suprajarto digeser menjadi Dirut PT Bank Tabungan Negara Tbk. Ia pun memilih mengundurkan diri sebagai bentuk penolakan pergeseran posisi jabatan dirut bank. Beberapa bank lain juga tercatat memiliki portofolio kredit di Duniatex Group, seperti PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau Eximbank. Pada akhir Juli, Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rohan Hafas menyatakan portofolio kredit di Duniatex sebesar Rp1,7 triliun, namun status kredit masih kolektabilitas 1, alias lancar. Ia meyakinkan risiko kredit terkendali lantaran didukung jaminan berupa aset tetap bernilai lebih dari 100% nilai kredit. Di sisi lain, manajemen Eximbank menyatakan mulai terdampak oleh problem keuangan Duniatex. Eximbank memiliki portofolio kredit sebesar Rp3,04 triliun di Duniatex Group. Rinciannya, kredit kepada Delta Dunia Tekstil Rp1,2 triliun, Delta Merlin Sandang Tekstil Rp1,5 triliun, Delta Merlin Dunia Tekstil Rp54 miliar, dan Delta Dunia Sandang Tekstil Rp289 miliar. Adapun nilai jaminan kredit dari Duniatex yang berupa aset tetap mencapai 124%. Corporate Secretary Eximbank Emalia Tisnamisastra menyatakan gagal bayar kupon obligasi oleh anak usaha Duniatex akan membuat NPL semakin bengkak. “Rasio NPL kami yang semula 14,46% hingga 30 Juni 2019 dapat menjadi 14,52%,” kata dia dalam dokumen keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia. 29 Bank Terlibat Saat ini ada 29 bank yang diketahui masih memiliki tanggungan di Grup Duniatex. Namun di sisi lain, sekurangnya ada lima bank yang justru selamat dari lingkaran kredit Duniatex. Lima bank tersebut bisa lolos karena kredit di perusahaan tekstil tersebut sudah tidak tercatat lagi pada 2018 dan sudah menyatakan bahwa kreditnya sudah dilunasi debitur. Laporan keuangan konsolidasi Grup Duniatex 2018 menunjukkan catatan kredit tiga bank yaitu PT Bank Maybank Indonesia Tbk, PT Bank Permata Tbk, dan PT Bank Index Selindo sudah nol, dari periode sebelumnya yaitu tahun 2017. Kredit bank Duniatex dari Maybank pada 2017 tercatat Rp220 juta yang berbentuk pinjaman jangka pendek dan menjadi nol pada 2018. Meskipun Maybank tidak lagi tercatat memberikan pinjaman ke Grup Duniatex per akhir 2018, seorang bankir mengatakan kabar seretnya keuangan Grup Duniatex yang justru berasal dari Maybank Indonesia. Kredit dari PT Bank Index ke Duniatex tercatat Rp24 miliar pada 2017 dan hilang pada 2018, lalu kredit dari PT Bank Permata Tbk juga tidak ada lagi pada 2018 dibanding Rp120 miliar pada 2017. Hilangnya nilai kredit dari ketiga bank tersebut kemungkinan disebabkan pelunasan oleh Duniatex dan perusahaan di kelompok usaha tersebut. Satu bank lain yaitu PT Bank Pembangunan Daerah Banten, dalam keterbukaan informasi ke otoritas bursa saham, menyatakan pinjaman perseroan ke Duniatex sudah lunas. Direktur Utama BPD Banten Fahmi Bagus Mahesa mengatakan perseroan telah memberikan fasilitas kredit modal kerja kepada salah satu perusahaan Duniatex yaitu DMDT pada Mei 2017. Pinjaman itu memiliki plafon kredit Rp75 miliar untuk jangka waktu 1 tahun dan fasilitas itu diperpanjang hingga Mei 2019. "Selama jangka waktu tersebut DMDT memiliki track record [rekam jejak] yang baik dalam hal pembayaran kewajiban, atau tidak pernah terjadi tunggakan dalam pembayaran kewajiban dan telah dinyatakan lunas oleh perseroan," ujar Fahmi dalam suratnya kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 25 Juli 2019. Namun berbondong-bondongnya 29 bank memberi kredit total hingga Rp17 triliun benar-benar mencurigakan. Kok begitu mudah bank-bank itu mengucurkan kredit dalam jumlah besar dan beramai-ramai, seperti ada heart instinct yang sedang mengerumuni gula-gula. Kabar yang berkembang di kalangan bankir, ada sesuatu dibalik ramai-ramainya bank menggelontorkan kredit hingga Rp17 triliun ke Duniatex Group. Ada yang mengatakan ada unsur kick back (pemberian ucapan terima kasih), ada juga potensi unsur kolusi, dan yang paling ekstrim menuding disengaja untuk dimacetkan. Toh sejarah perbankan di Indonesia dibobol sudah banyak dan penyelesaiannya selalu landai-landai saja. Sehingga debitur yang punya itikad tidak baik adalah ladang bisnis tersendiri lewat upaya pembobolan bank. Tentu saja pendapat ini sulit dikonfirmasi dan sulit dibuktikan, tapi selalu saja ada bank bermasalah dengan penyelesaian yang absurd. Ditambah pula pengawasan perbankan yang longgar membuat fraud di industri perbankan bak cendawan di musim dingin. Melihat begitu mudahnya Hartono mendapatkan kredit Rp17 triliun, plus penerbitan obligasi valas US$300 juta (Rp4,26 triliun), bisa saja ada kolusi debitor dengan appraisal, auditor. Sehingga seperti debitor sakti, Hartono begitu mudah mendapatkan dana dari pasar. Pertanyaannya, apakah bank-bank itu memberikan over finance, pemberian kredit yang berlebihan, sehingga 29 bank berbondong-bondong menggelontorkan kredit Rp17 triliun. Mengapa terhadap satu Duniatex, 29 bank begitu getol menggelontorkan kredit, sementara ada debitor lain mengalami kesulitan dan mengalami penolakan dari perbankan? Kalau pada akhirnya sepak terjang Duniatex ini melahirkan kredit macet, tentu saja akan ada dampak sistemik terhadap bank-bank lainnya, mengingat bank-bank yang terlibat adalah bank-bank besar. Bahkan tak menutup kemungkinan akan terjadi tsunami kredit macet industri perbankan. Bayangkan, satu PT Bank Century Tbk dengan bailout sebesar Rp6,7 triliun saja sudah menggemparkan industri perbankan. Apatah lagi 29 bank yang menggelontorkan kredit Rp17 triliun dan berpotensi macet itu menjadi benar-benar macet. Betapa gaduhnya ruang publik nantinya. Itu sebabnya perbankan mulai mencermati adanya potensi peningkatan rasio kredit macet alias (non performing loan--NPL) di semester II 2019. Apalagi setelah kasus gagal bayar utang Duniatex mencuat. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana mengatakan pihaknya terus mengamati hal tersebut. Namun, sejauh ini OJK menilai iklim industri Tanah Air masih positif. Menurut OJK, setiap bank memiliki cara tersendiri untuk memitigasi risiko termasuk pemupukan pencadangan dan restrukturisasi. Potensi side streaming Biasanya kredit macet satu debitor dipicu oleh penggunaan dana yang tidak sesuai dengan core business-nya (side streaming). Boleh jadi back up kredit Duniatex Group sebesar Rp17 triliun ke 29 bank adalah untuk pengembangan tekstil dan produk tekstil miliknya, tapi dalam praktiknya digunakan untuk kegiatan bisnis lain yang tak ada hubungan dengan bisnis tekstil. Dugaan itu mencuat di kalangan beberapa bankir yang tak mau disebutkan namanya. Lepas dari apakah ini benar atau tidak, namun jika ditelaah secara detil ada fakta-fakta bisnis lain yang digarap Duniatex. Berdasarkan catatan, pada 2011 Duniatex mulai melebarkan sayap bisnis ke sektor properti dan perhotelan dengan mendirikan PT Delta Merlin Dunia Propertindo (DMDP). Menurut salah satu bankir senior, Duniatex masuk ke sektor properti bermodalkan aset-aset yang dibeli antara lain dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Aset-aset tersebut milik bank yang direkapitulasi oleh BPPN. Duniatex banyak membeli aset-aset bank yang dilelang oleh BPPN. Nah, sekarang bakal diambil alih oleh bank lagi, kalau sampai gagal bayar. Adapun, aset properti dan perhotelan yang dimiliki oleh Duniatex adalah Bestwestern Solo Baru, Noorman Hotel Semarang, Favehotel Solo, The Alana Hotel Solo, Hartono Trade Center, Hartono Mal di Solo dan Yoyakarta, Hotel Marriot Yogyakarta, De Salvatore Art & Boutique Yogyakarta, De Rivier Hotel Jakarta Barat, dan Wisma Hartono Yogyakarta. Selain itu, Duniatex Ggroup juga masuk ke bisnis rumah sakit, yakni RS Indriati. Rumah sakit ini menggunakan nama istri Hartono, Indriati. Menurut bankir tersebut, keluarga Hartono juga memiliki lini bisnis di bank perkreditan rakyat (BPR) dan perusahaan pembiayaan (finance). Boleh jadi sebagian dana kredit untuk pertekstilan digunakan untuk menguasai non core business Duniatex Group. Atau setidaknya dana itu digunakan untuk biaya pemeliharaan, biaya renovasi ataupun biaya lain yang dikeluarkan untuk kepentingan non core business. Duniatex Group ke depan akan menjadi berita utama yang dapat memicu kredit macet perbankan di sektor pertekstilan. Namun multiplier effectnya bisa saja meluas dan pada akhirnya menjadi cerita buruk ke depan. Kecuali masing-masing bank kreditor mengambil langkah-langkah antisipasi yang cepat sehingga kredit Duniatex Group tidak menjelma menjadi kredit macet. Disamping itu OJK juga bisa mencegah kolektibilitas kredit Duniatex Group naik dari kolektibilitas 1, 2, 3, bahkan menjadi 4 dan 5 (macet total). Semua berpulang pada otoritas, pengawas, pelaku dan kalangan dunia usaha menyikapinya. Semoga saja tsunami kredit macet itu tak terjadi. End.
Sistem Politik Indonesia Ditopang Uang Kotor
Anda ingin tau dan pahami sejarah uang kotor di Indonesia ? Bagaimana cerita uang kotor menopang sistem politik Indonesia sepanjang reformasi ? Ini adalah seri pertam dari sebelas serial tulisan, yang menguraikan secara terperinci bobroknya sistem politik indonesia selama dua puluh satu tahun reformasi. Pada tempat dan sistem politik yang busuk, disanalah berkembang biak dengan subur uang kotor untuk memperkaya oligarki yang busuk. Oleh Salamuddin Daeng (Bagian Pertama) Jakarta, FNN - Untuk bisa kembali ke UUD 1945 tentu membutuhkan sumber keuangan yang besar. Uang yang sekaligus akan dipakai untuk pemulihan ekonomi indonesia setelah politik dan ekonomi Indonesia diobrak abrik dan dirusak oleh UUD amandemen. Kerana kalau tidak ada uang, maka UUD 1945 asli nantinya akan mewarisi beban kerusakan yang parah tanpa sumber pembiayaan bagi pemulihan. Beban kerusakan akibat UUD 1945 adalah sama dengan beban kerusakan yang diwariskan oleh kolonialisme dan imperialisme Indonesia. Kerusakan akibat penjajahan akhirnya dibiayai dengan harta kerajaan-kerajaan Nusantara. Sebagian besar dikusai kolonial Belanda, baik di dalam dan di luar negeri. Sekarang pertanyaannya, darimana sumber uang untuk kembali ke UUD 1945? Sumber anggaran untuk membiayai kembali kepada UUD 1945 adalah dari harta negara yang diambil oleh berbagai pihak dengan cara yang tidak legal. Harta tersebut adalah harta negara yang digunakan untuk Bantuan Liquiditas Bank Indonesia (BLBI), dan Kredit Liquidiitas Bank Indonesia (KLBI). Karena uang inilah yang dipakai untuk membiayai amandemen UUD 1945. Jika kita flasback sejarah, proses amandemen UUD 1945 adalah proses politik yang dibiayai dengan dana yang sangat besar. Dana yang digunakan untuk menyogok pimpinan Partai Politik, aparatur pemerintah, anggota parlemen bahkan intelijen asing yang berbaju LSM indonesia. Uang yang dipakai untuk membiayai amandemen UUD 1945 bersumber dari penjarahan uang negara. Namanya "BLBI dan KLBI" yang jumlahnya mencapai Rp 650 triliun. Uang tersebut diperoleh dari pencetakan uang oleh Bank Indonesia dalam tahun 1998 dan tahun 1999. Dasar pencetakan uang tersebut adalah obligasi atau surat utang Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah. Uang cetakan yang kemudian digunakan untuk membeli dollar dalam rangka menanggung beban utang dan mensubsidi para taipan yang bangkrut, karena hutang mereka dalam dollar Amerika. Keputusan pemerintah dan Bank Indonesia ketika itu untuk mengambil alih utang para taipan adalah kebijakan yang salah. Selain itu, kebijakan mensubsisi para taipan dengan dollar juga berakibat pada nilai tukar rupiah yang langsung terhadap dollar. Ambruknya nilai tukar tesebut tentu menghasilan keuntungan bagi para taipan yang melarikan uang ke luar negeri. Juga memberikan keuantungan kepada para pemberi utang kepada Indonesia, yakni para taipan dan asing. Alur ceritanya diawali dengan upaya merekayasa agar nilai rupiah ambruk. Dengan ambruknya nilai tukar rupiah, atau krisis inilah yang dijadikan alasan untuk memberikan suntikan dana besar besaran kepada para taipan. Uang negara inilah yang kemudian sebagian kecil dipakai urunan oleh para taipan dan asing dalam merusak UUD 1945. Sebagian besar uang tersebut dilarikan ke luar negeri. Mereka para taipan menyimpan uang tersebut di bank-bank asing. Sebagian lagi digunakan para taipan untuk membeli kembali aset-aset mereka yang telah sita oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Itulah sebabnya mengapa sekarang kekayaan orang-orang Indonesia yang disimpan di luar negeri bisa mencapai lebih dari Rp 11.000 triliun. Kekayaan segelintir pengusaha Indonesia yang ada di dalam negeri hanya sekitar Rp 2 triliun. Uang mereka sangat besar, dan akan terus membesar, karena ditopang oleh UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002. Sekarang negara (rakyat) harus menanggung utang mereka yang mencapai Rp 14.000 triliun. Angka ini diakui oleh mantan pejabat BPPN dalam skema pelunasan utang BLBI. Jumlah uang yang kalau disita sekarang, sebetulnya sangat cukup untuk membiayai pemulihan ekonomi Indonesia paska kerusakan akibat UUD 1945 diamandemen tahun 2002 (bersambung bag-2)
Legenda Sri Mulyani : Gali Lubang Tutup Goa
Utang pemerintah per Juni 2019 tercatat Rp4.601 triliun. Kalau seluruh nolnya ditulis adalah 4.601.000.000.000.000. Rasio utang terhadap PDB mencapai 29,5%. Saban tahun utang Indonesia selalu bertambah. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Utang terasa legit pada suapan pertama, tetapi sungguh perih tatkala harus membayar. Di era digital saat ini, tawaran utang dari para rentenir nyaris masuk ke tiap pemilik ponsel. Ada yang melalui pesan singkat SMS, WhatsAp, atau lainnya. Syarat mudah. Bunga selangit. Tapi tetap saja menggiurkan. Jika ada yang berpikir mencari utang itu sulit tentu dia kurang gaul. Nyatanya, ada orang yang berutang kepada puluhan bahkan ratusan rentenir digital. Orang itu melakukan gali lubang, tutup lubang. Lubang makin dalam, sedangkan yang digunakan untuk menutup selalu kurang. Itu dalam urusan pribadi. Utang perusahaan bahkan negara gambarannya tak jauh beda. Mudah. Makin berani membayar bunga tinggi, maka makin banyak yang menawarkan pinjaman. Utang pemerintah per Juni 2019 tercatat Rp 4.601 triliun. Kalau seluruh nolnya ditulis adalah 4.601.000.000.000.000. Rasio utang terhadap PDB mencapai 29,5%. Saban tahun utang Indonesia selalu bertambah. Cukup banyak sumber utang Indonesia. Paling anyar adalah Asian Infrastructure Invesment Bank atau AIIB. Ini adalah lembaga keuangan yang dipelopori China. Di lembaga ini Indonesia dinobatkan sebagai negara pengutang terbesar nomor dua. Total utang Indonesia tercatat US$ 950 juta atau setara Rp 13,48 triliun. Negara pengutang terbesar di AIIB adalah India. Ibarat roket, tambahan utang pemerintah di era Jokowi sungguh meroket. Apabila dibandingkan dengan pemerintah sebelumnya, di era Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo jelas juara. Pada periode pertama Presiden SBY (2005-2009), tambahan utang pemerintah hanya Rp291 triliun. Sedangkan periode Jokowi (2015-2019), tambahan utang pemerintah pusat meroket Rp 1.995 triliun. Data untuk tahun 2019 yang digunakan barulah data hingga Juli 2019. Dipastikan sampai akhir tahun 2019, tambahan utang di periode pertama Jokowi akan semakin menggelembung. Tak sulit bagi Indonesia untuk menggali lubang. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, adalah menteri berjuluk “pencetak utang”. Julukan itu diberikan Prabowo Subianto. "Kalau menurut saya, jangan disebut lagi-lah ada menteri keuangan, mungkin menteri pencetak utang. Bangga untuk utang, yang suruh bayar orang lain," ujar Prabowo, pada Januari silam. Ekonom Rizal Ramli memberikan julukan berbeda, tapi sama-sama menghinakan. Menurutnya, Menteri Sri paling tepat diberi julukan “menteri terbalik” untuk menandingi menteri terbaik. Julukan ini diberikan kepada Sri karena ia dianggap paling dermawan kepada kreditor. Bunga utang negara yang diberikan Sri kepada kreditor lebih tinggi dibandingkan negara-negara yang rating ekonominya lebih rendah dari Indonesia. Dengan Vietnam dan Filipina, misalnya, Indonesia membanyar bunga 3% lebih tinggi. Wajar saja jika bondholders atau kreditor utang Indonesia senang dengan Sri. Di sisi lain, sudah barang tentu rakyat Indonesia harus membayar beban tambahan bunga ratusan triliun. “Tragedi sekaligus kriminal,” tuding ekonom senior Rizal Ramli, Selasa (27/8). Rizal tak asal tuding. Ia mengungkap data utang bond pemerintah saat Sri menjabat menkeu, di era pemerintahan Jokowi dan era pemerintahan SBY. Pada saat menjadi meskeu era SBY (2006-2010), Sri menerbitkan utang bond sebesar Rp 454,9 triliun. Rinciannya, Fixed Coupon sebesar Rp 281,8 triliun, Variable Coupon Rp 25,6 triliun, Fixed Coupon (Islamic) Rp 25,7 triliun, dan Fixed Coupon (non tradable) Rp 121,7 triliun. Kala itu, yield yang dipasang kemahalan, sehingga beban bunga yang harus ditanggung rakyat sebesar Rp 199,7 triliun. Lalu pada saat pemerintahan Jokowi (2016-2019), Sri menerbitkan utang bond Rp 790,7 triliun. Masing-masing Fixed Coupon sebesar Rp 461 triliun, Zero Coupon Rp 49,1 triliun, Zero Coupon (Islamic) Rp 22,1 triliun, Fixed Coupon (Islamic) Rp 240,9 triliun, Variabel Coupon (non tradeble) Rp 10,7 triliun dan Fixed Coupon (non tradeble) sebesar Rp 7 triliun. Utang juga diterbitkan dengan yield kemahalan sehingga menambah beban rakyat Rp 118 triliun. Menurut Rizal, total keuntungkan yang dinikmati kreditor tapi rugikan rakyat adalah Rp 317,7 trilliun. Jumlah ini tidak kecil. Beda-beda tipis dengan anggaran biaya untuk pindah ibu kota. Hal yang berbeda ketika menkeu dijabat Agus Martowardojo dan Bambang Brodjonegoro. Keduanya memberikan yield utang lebih rendah dari negara-negara yang ratingnya lebih rendah dari Indonesia. Ketika meminjam dengan menerbitkan bonds, Agus maupun Bambang sangat proper (correct) dengan selalu berikan yield utang lebih rendah dari negara-negara yang ratingnya lebih rendah dari Indonesia, seperti Thailand dan Filipina. Utang yang dilakukan Sri, rakyat yang membayar. Maka legit bagi Sri, pahit bagi rakyat.
Sri, Indonesia Krisis. Swear!
Di tangan Sri yang pejuang neolib sejati, APBN dia susun untuk menyubsidi investor pasar uang. Sementara rakyat yang telah bekerja ekstra keras dipajaki habis-habisan. Sudah begitu pajak yang diperas dari keringat rakyat, diutamakan alokasinya untuk membayar kupon surat utang yang bunganya terlalu tinggi. Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Bukan Sri Mulyani kalau tak jago berkelit. Perempuan yang dua kali didapuk menjadi Menteri Keuangan (era Presiden SBY dan Jokowi) ini benar-benar ngeyel. Berkali-kali dia menyatakan ekonomi Indonesia aman-aman saja, jauh dari terjangan krisis. Sri juga bolak-balik mengklaim APBN dikelola dengan prudent alias hati-hati. Namun pada saat yang sama, dia terus menumpuk utang berbunga tinggi dalam jumlah superjumbo dengan segala konsekwensi dan risiko yang amat mengerikan. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan total utang luar negeri (ULN) Indonesia sampai akhir triwulan II 2019 tercatat US$ 391,8 miliar. Dengan kurs BI hari ini, Senin (2/9) yang Rp 14.190, utang tersebut setara dengan Rp 5.556 triliun. Angka ini tumbuh 10,1% (year on year /yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan periode yang sama tahun sebelumnya yang 8,1%. Yang membuat tambah miris, utang-utang itu dibuat dengan bunga yang dikerek tinggi-tinggi. Berikut contoh tujuh surat utang bertenor dua tahun yang dia terbitkan. Yaitu, SBR006 (7,95%), ST004 (7,95%), SBR005 (8,15%), ST003 (8,15%), ST002 (8,55%), SBR004 (8,55%), dan SBR003 (8,55%). Padahal bila mengacu pada kurva yield untuk surat utang SBR003-006 tenor 2 tahun untuk periode Mei 2018, Sept 2018, Januari 2019 dan April 2019, Sri yang sangat disukai kreditor asing itu menawarkan bunga/kupon 1%-1,9% lebih tinggi. Begitu juga untuk surat utang ST002-004 yang seharusnya besar bunganya mengambang (floating). Bila mengikuti kurva yield Juli 2019 di 6,2% terjadi kelebihan membayar bunga sebesar 1,7% hingga 2,23%. Bahkan jika dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand yang rating-nya lebih rendah ketimbang Indonesia, angka kelebihan bunga itu mencapai 3%. Dengan peringkat yang lebih bagus, semestinya bunga utang yang kita bayar lebih rendah daripada Vietnam dan Thailand. “Karena perilakunya yang terus-menerus menyenangkan kreditor walau menyengsarakan rakyat, Sri lebih pas disebut sebagai Menkeu Terbalik, bukan menkeu terbaik,” ujar ekonom senior Rizal Ramli. Rp 317,7 Triliun Lebih Mahal RR, begitu mantan anggota tim Panel Ahli Perserakitan Bangsa Bangsa biasa disapa, memaparkan sebagai Menkeu SBY, 2006-2010, Sri menerbitkan bond senilai Rp454,9 triliun. Rinciannya, Fixed Coupon Rp 281,8 triliun, Variable Coupon Rp25,6 triliun, Fixed Coupon (Islamic) Rp 25,7 triliun, dan Fixed Coupon (non tradable) Rp 121,7 triliun. Dengan yield kemahalan, beban yang harus ditanggung rakyat akibat ulah perempuan ini mencapai Rp 199,7 triliun. Sedangkan di era Jokowi (2016-2019), dia menerbitkan bond senilai Rp790,7 triliun. Masing-masing Fixed Coupon sebesar Rp 461 triliun, Zero Coupon Rp 49,1 triliun, Zero Coupon (Islamic) Rp 22,1 triliun, Fixed Coupon (Islamic) Rp 240,9 triliun, Variabel Coupon (non tradeble) Rp 10,7 triliun dan Fixed Coupon (non tradeble) sebesar Rp 7 triliun. Yiled kemahalan ini menambah beban rakyat dari yang semestinya sebesar Rp 118 triliun. Total jenderal, kelebihan bayar bunga utang itu mencapai Rp 317,7 triliun. Di tangan Sri yang pejuang neolib sejati, APBN dia susun untuk menyubsidi investor pasar uang. Sementara rakyat yang telah bekerja ekstra keras dipajaki habis-habisan. Sudah begitu pajak yang diperas dari keringat rakyat, diutamakan alokasinya untuk membayar kupon surat utang yang bunganya terlalu tinggi. Data yang ada menunjukkan, hingga Juni 2019 pembayaran bunga utang mencapai Rp 127,1 triliun. Angka ini naik 13% ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya. Sebaliknya, subsidi untuk keperluan dasar rakyat cuma kebagian Rp 50,6 triliun atau turun 17%. Dengan angka-angka seperti ini, Sri telah ibarat demang yang memeras rakyat demi menyenangkan penjajah Belanda yang jadi majikan asingnya. Sikap inlander Sri yang creditors first membuat sebagian besar anggaran APBN tersedot untuk membayar utang. APBN 2019 mengalokasikan pembayaran pokok utang sebesar Rp 400 triliun. Ditambah dengan pembayaran bunga yang Rp 249 triliun, maka total beban utang mencapai Rp 649 trilliun. Angka ini sekitar 150% anggaran infrastruktur maupun anggaran pendidikan yang sekitar Rp 400-an triliun. Makro-Mikro Merah Sri juga sering ngeles dengan mengatakan ekonomi kita aman-aman saja. Pada saat yang sama fakta dan data menunjukkan terjadinya deindustrialisasi yang dampak langsungnya adalah pemutusan hubungan kerja. Sejumlah indikator makro dan mikro jelas-jelas menunjukkan ekonomi kita sama sekali tidak aman-aman saja, sebagaimana yang sering diklaim Sri. Defisit Neraca Pembayaran (Current Account Deficit/CAD) hingga triwulan II-2019 menunjukkan angka US$ 8,4 miliar. Jumlah ini naik dibandingkan triwulan pertama yang US$ 7 miliar. Artinya, hanya dalam tempo tiga bulan, CAD membengkak US$ 1,4 miliar. Indikator merah lainnya, juga terjadi pada neraca perdagangan yang defisit. Pada triwulan pertama 2019, defisitnya tercatat US$ 1,450 miliar. Pada kwartal II, defisit naik menjadi US$ 1,870 miliar. Kinerja ekspor nonmigas juga melorot seiring perekonomian dunia yang melambat dan harga komoditas ekspor Indonesia yang turun. Ekspor nonmigas tercatat US$ 37,2 miliar, turun dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar US$ 38,2 miliar. Defisit neraca perdagangan migas juga meningkat menjadi US$ 3,2 miliar. Padahal, pada triwulan sebelumnya defisit itu masih U$ 2,2 miliar. Salah satu parameter sukses-tidaknya Menkeu adalah rasio pajak alias tax ratio. Ternyata, tax ratio juga terus terjun. Pada 2010, rasio pajak tercatat 9,82%. Sampai 2018, angkanya melorot menjadi 8,85%. Kalau dihitung termasuk pendapatan bea cukai dan royalti Migas-tambang, angkanya bergerak dari 14,66% pada 2011 menjadi 11,45% di 2018. Perlambatan penerimaan perpajakan ini membuat Sri uring-uringan. Pasalnya, kontribusi pajak terhadap penerimaan negara mencapai hampir 80%. Sampai akhir Juli 2019, pajak yang masuk Rp 810,7 triliun atau 45,4% dari target APBN. Terus terjunnya penerimaan pajak inilah yang membuat Sri kalap dan kalang-kabut. Maka, dia pun memajaki pempek palembang, pecel lele, gado-gado, dan UMKM. Padahal, sebelumnya UMKM sudah kena pajak final 0,5% dari omset, tidak peduli usaha rakyat kecil ini menangguk laba atau diterjang rugi. Tetap Jemawa Kendati sudah babak-belur dihajar angka-angka rapor yang merah, toh perempuan itu tetap saja berkoar Indonesia masih jauh dari krisis. Tidak tanggung-tanggung, sikap jumawa ini dia sampaikan saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (29/8). Saat itu Sri menegaskan kendati Indonesia harus waspada, itu tidak berarti bahwa krisis sudah di ambang pintu. Padahal, tiga hari sebelumnya saat menggelar konferensi pers APBN Kita, Senin (26/8), dia mengakui bahwa ekonomi dunia telah melemah dan risikonya bakal makin meningkat. Kondisi ini terkonfirmasi dalam statement atau indikator sesudah eskalasi pada Juli Agustus. Pengakuan Menteri Sri ini adalah kali kedua dalam bulan ini. Menurut dia, perlambatan ekonomi dunia ditandai dengan bertaburnya data ekonomi di berbagai negara terus membuat cemberut. Jerman, Singapura, negara-negara Amerika Latin seperti Argentina, Meksiko, Brasil dalam situasi sulit. Eropa dan China pun mengalami hal sama. Bahkan kawasan Asia, termasuk India, yang jadi lokomotif penghela ekonomi di pasar berkembang juga melemah. Tapi dasar kopeg, babak-belurnya perekonomian dunia justru membuatnya bertepuk dada.. Katanya, di tengah perekonomian dunia yang lesu, Indonesia masih bisa tumbuh 5%. Kalau saja dia mau sedikit humble, tentu pernyataan seperti itu tak bakalan keluar dari mulutnya. Terlebih lagi dengan potensi yang ada dan menanggalkan kebijakan ekonomi non neolib, seharusnya Indonesia bisa terbang di 6,5-7%. Setidaknya, begitulah jualan Jokowi waktu maju di ajang Pilpres 2014. Sebelumnya, Rizal Ramli berkali-kali memperingatkan ekonomi kita jauh dari baik-baik saja. Berdasarkan rentetan indikator yang memburuk, dia menyebut Indonesia tengah mengalami the creeping crisis, krisis yang merangkak. Seabrek indikator makro dan mikro yang disorongkannya memang dengan fasih bercerita ekonomi Indonesia terseok-seok, kalau tidak mau disebut amburadul. Tutupnya sejumlah gerai penyandang nama besar, adalah bukti melemahnya kinerja sektor ritel yang diperkirakan masih akan berlanjut. Daya beli dan consumer goods juga masih akan turun. Pukulan telak dialami sektor properti, kecuali untuk beberapa segmen. Indeks Nikkei menyebut sekitar seperempat perusahaan yang melantai di BEI telah berubah jadi zombie company. Keuntungan yang mereka terima tidak cukup untuk membayar utang. Perusahaan ini hanya bisa hidup dengan refinancing terus menerus. Gejala gagal bayar utang alias default juga melanda sejumlah perusahaan besar. Seperti tidak cukup, McKinsey & Company menyebut 25% utang valas jangka panjang swasta kita memiliki rasio penutupan bunga (interest coverage ratio /ICR) kurang dari 1,5 kali. Artinya, perseroan menggunakan mayoritas labanya untuk membayar utang. Jelas rawan. Jadi, Sri, ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Data dan fakta seperti apalagi yang bisa membuka mata-hatimu? [*]
Menteri Sri Akhirnya Ngaku Krisis Telah Datang
Sri Mulyani memprediksi makin panasnya tensi perang dagang antara AS dan China dipastikan memperbesar sinyal krisis. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ekonomi dunia kini diselimuti kondisi pahit. Sebagian negara telah mengalami krisis. Di sisi lain, ekonom senior Rizal Ramli menyebut Indonesia berada dalam tahap creeping crisis atau sedang “merangkak” untuk sampai pada kondisi krisis. Ekonom lainnya menyebut Indonesia amat rentan terhadap krisis. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, tak bisa menampik itu. Ia bilang ekonomi dunia telah terkonfirmasi melemah dan risikonya bakal makin meningkat. "Kondisi ekonomi dunia confirm melemah dan ini risikonya bahkan makin meningkat. Ini muncul di dalam statement atapun indikator sesudah eskalasi pada Juli Agustus," katanya dalam Konferensi Pers APBN Kita, Senin (26/8). Pengakuan Menteri Sri ini adalah kali kedua dalam bulan ini. Hanya saja, pengakuan ini bukan sebagai peringatan apalagi nakut-nakuti, seperti pernyataan beberapa ekonom belakangan ini. Sri membeberkan itu semua untuk membanggakan bahwa di tengah krisis dunia saja ekonomi Indonesia masih tumbuh 5%. “Indonesia terjaga di 5% ini accepsional,” tandasnya. Jadi bersyukurlah, ekonomi masih tumbuh 5%. Jangan kufur nikmat, seperti apa yang dibilang Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Menurut menteri Sri, hawa perlambatan ekonomi dunia semakin terasa. Data-data ekonomi di berbagai negara terus saja mengecewakan. Dia menyebut, Jerman, Singapura, negara Amerika Latin seperti Argentina dalam masa krisis. Meksiko, Brasil, juga dalam situasi sulit. “Amerika Latin, Eropa, China, dan bahkan kawasan Asia sendiri termasuk India yang jadi motor penggerak ekonomi di pasar berkembang juga mengalami pelemahan," ujarnya. Rentan Krisis Ekonom senior Indef, Didik J. Rachbini, memperingatkan Indonesia termasuk negara yang rentan terhadap krisis. “Setidaknya bila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia,” katanya, dalam diskusi ASEAN di antara perang dagang Amerika dan China: Bagaimana Seharusnya Respons Indonesia?, Minggu (25/8) Dalam materi diskusi yang berjudul “Dimensi Kritis dari Ekonomi Indonesia Dibandingkan Ekonomi ASEAN”, Didik antara lain mengulas soal 'Menghadapi Resesi Global'. Ia mengutip Bloomberg Vulnerability Indek, atau indeks kerentanan suatu negara. "Vietnam dan Malaysia termasuk ke dalam level yang sama tetapi sedikit lebih rendah dan mempunyai struktur ekonomi yang lebih kuat daripada Indonesia," jelasnya. Cadangan devisa, ekspor, dan industri Vietnam dan Malaysia relatif lebih kuat sehingga lebih tahan terhadap krisis. Belajar dari krisis nilai tukar 1997-98 dari Thailand, ada dua kelompok negara dalam konteks krisis. Kelompok pertama adalah kelompok yang rentan dan terkena imbas krisis nilai tukar, yaitu: Thailand, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, dan Indonesia. Kelompok kedua adalah negara yang kuat dan tahan krisis nilai tukar, yaitu Taiwan, Hong Kong, Singapura dan lainnya. Kelompok yang pertama mengalami defisit neraca berjalan (CAD) dan kelompok kedua tidak mengalaminya. Level CAD Indonesia kini memang dalam tren terus membengkak, bahkan sudah menyentuh 3% terhadap PDB. Sedangkan Thailand sebagai negara yang pernah mengalami krisis 1998, yang sama juga dialami oleh Indonesia berhasil lolos dari penyakit CAD. Sebelumnya, Rizal Ramli memperingatkan grafik transaksi berjalan semakin merosot, bahkan sudah mencapai lebih dari US$8 miliar. Kondisi CAD pada kuartal II-2019 sebesar US$8,4 miliar atau 3,04% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini adalah angka yang mengkhawatirkan. Indikator mikro juga tak kalah membahayakan. Seperti slow down sektor ritel yang diprediksi akan terus berlanjut. Daya beli dan consumer good juga masih akan turun. Begitu pun dengan properti yang diprediksi akan terpuruk, kecuali untuk beberapa segmen. Kemudian di level korporasi, mulai terjadi peningkatan default atau gagal bayar. Ini diistilahkan sebagai zombie company. Keuntungan yang diperoleh tidak bisa untuk membayar bunga utang. “Perusahaan ini hanya bisa hidup dengan refinancing terus menerus,” kata eks Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini. “Ada krisis kecil-kecil dan tidak disadari banyak orang, tetapi kalau disatukan jadi besar juga. Ini bisa dilihat dari kondisi makro, mikro, maupun korporasi. Kalau dibiarkan terus, bisa sangat membahayakan,” tambahnya. Di sisi lain, dalam laporan berjudul "Signs of Stress in The Asian Financial System", firma konsultan global McKinsey & Company menemukan bahwa 25% utang swasta valas jangka panjang di Indonesia memiliki rasio penutupan bunga (interest coverage ratio/ICR) kurang dari 1,5 kali. Posisi tersebut terhitung rawan karena perseroan menggunakan mayoritas labanya untuk membayar utang. Utang itu kebanyakan berasal dari sektor utilitas (pembangkit listrik dan jalan tol), dengan porsi 62%. Sektor energi dan bahan mentah menyusul dengan porsi 11% dan 10%. Lebih jauh, konsultan ini mengingatkan negara-negara Asia perlu mewaspadai risiko terulangnya krisis 1997. McKinsey mengingatkan sektor utilitas Indonesia dan India berpotensi memicu persoalan karena kemampuan mereka untuk membalik kinerja dan membayar kembali utangnya tidaklah mudah. Sementara itu, di belahan dunia lain, Eropa, sepanjang tahun 2019, berbagai bank investasi global telah mengurangi jumlah karyawannya hingga 30.000 orang. Beberapa bank yang melakukan pengurangan karyawan di antaranya adalah HSBC, Barclays, Société Générale, Citigroup dan Deutsche Bank. Lembaga keuangan asal Jerman Deutsche Bank bahkan memangkas jumlah karyawannya lebih dari setengah total karyawan yang di PHK, yaitu sebanyak 18.000 orang di seluruh dunia. Menurut laporan Financial Times, PHK massal ini disebabkan oleh berbagai alasan. Mulai dari penurunan suku bunga, volume perdagangan yang lemah, hingga efisiensi biaya operasional. Alasan lainnya adalah meningkatnya utang. Padahal, suku bunga saat ini negatif. Sri Mulyani memprediksi makin panasnya tensi perang dagang antara AS dan China dipastikan memperbesar sinyal krisis. Apalagi tensi adu pernyataan kedua negara adi kuasa tersebut makin mendidih beberapa hari terakhir. "Tren besar di semua negara di dunia mengalami pelemahan. Ada negara lain yang masuk bahkan (sudah) resesi," ujarnya. End
Rini Membangkang, Jokowi Tak Berdaya?
Rini terkesan tak peduli dengan peringatan Moeldoko. Ia bahkan seakan ingin menunjukkan kesaktian dan kekuasaannya. Setelah rencana RUPSLB lima BUMN, Rini juga menitahkan penyelenggaraan RUPSLB terhadap dua BUMN farmasi yakni PT Kimia Farma dan PT Indofarma. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, bikin blunder. Tanpa disadari, ia menyeret BUMN dalam ketidakpastian. Pada Kamis (29/8) kemarin, atas perintahnya, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Keputusan rapat ini salah satunya mengganti Direktur Utama Bank BTN dari Maryono kepada Suprajarto. Sang pengganti pada saat itu masih sebagai Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. Terang saja Suprajarto terkaget-kaget. Pasalnya, ia tak pernah diajak bicara apalagi musyawarah dengan kedudukan yang baru itu. Lagi pula, perpindahan dari bank besar ke bank yang asetnya sepersepuluhnya itu jelas bisa dianggap penghinaan. Suprajarto bukan buruh kecil yang bisa diputar-putar seenak udelnya oleh sang bos. Ia pun menolak. “Saya tidak dapat menerima keputusan RUPSLB itu. Saya mengundurkan diri,” ujarnya lugas, seperti dikutip Detik, Kamis (29/8). Suprajarto memilih plesir untuk melepas penat, ketimbang menuruti Rini. Kisah Suprajarto ini bisa dibilang menjadi karma bagi Rini yang oleh banyak pihak dianggap melanggar larangan Presiden Joko Widodo. Sekadar mengingatkan saja, Presiden telah mewanti-wanti agar para pembantunya untuk tidak mengambil keputusan strategis, termasuk mengganti direksi BUMN, menjelang pergantian kabinet. Menurut Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, larangan itu disampaikan Jokowi dalam sidang kabinet. Permintaan presiden itu didasari karena pemerintahan tinggal beberapa bulan sampai pelantikan. Mantan panglima TNI itu menyebut, Jokowi tak ingin ada beban pada periode keduanya nanti. "Jadi jangan sampai nanti punya beban ke depannya. Itu aja sebenarnya," tuturnya. Seperti kita tahu, Rini yang pada saat kampanye pilpres 2014 sebagai fund rising bagi capres Jokowi-Jusuf Kalla ini terkesan membandel. Ia menitahkan lima BUMN menggelar RUPSLB secara simultan dan berurutan sejak 28 Agustus hingga 2 September. Agenda RUPSLB itu sama, yakni evaluasi kinerja semester I-2019 dan perubahan susunan pengurus. Selain kepada BTN, empat BUMN lainnya yang mendapat perintah menggelar RUPSLB adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. yang sudah berlangsung pada Rabu (28/8), PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) pada 30 Agustus, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) pada 30 Agustus, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk/BBRI pada 2 September. Sebelumnya, Moeldoko sempat memperingatkan Rini terkait larangan mengganti jajaran direksi BUMN itu. "Itu perintah. Apa yang disampaikan dalam sidang kabinet kan perintah. Harus diikuti. Mestinya begitu," tambah Moeldoko, Senin (12/8). Moeldoko menegaskan setiap menteri Kabinet Kerja harus mematuhi instruksi langsung yang diberikan kepala negara. Termasuk dalam hal perombakan jabatan maupun direksi BUMN. "Itu kan moral obligation bagi pejabat negara begitu," tegasnya. Dua BUMN Farmasi Rini terkesan tak peduli dengan peringatan itu. Ia bahkan seakan ingin menunjukkan kesaktian dan kekuasaannya. Setelah rencana RUPSLB lima BUMN, Rini juga menitahkan penyelenggaraan RUPSLB terhadap dua BUMN farmasi yakni PT Kimia Farma (Persero) Tbk. (KAEF) dan PT Indofarma (Persero) Tbk. (INAF). Dua BUMN farmasi ini akan menggelar RUPSLB serentak di tempat yang sama dengan periode jam yang berbeda yakni di Hotel Borobodur Jakarta pada Rabu 18 September mendatang. KAEF dijadwalkan RUPSLB pada pukul 09.00 WIB, sementara INAF pada siangnya, pukul 14.00 WIB. Agendanya pun sama yakni perubahan anggaran dasar perseroan dan perubahan pengurus perseroan baik komisaris maupun direksi. Rencana RUPLSB ini terungkap dalam dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (29/8). Permintaan RUPLSB kedua BUMN farmasi tersebut berdasarkan surat Menteri BUMN Nomor 2-786/MBU/S/07/2019 tanggal 29 Juli 2019. Keluarnya keputusan ini makin mencerminkan bahwa larangan Jokowi tak ada artinya bagi Rini. Publik jadi menduga-duga, benarkah Rini amat sakti? Jauh sebelum ini, sudah terdengar riak-riak hubungan Rini dengan PDI Perjuangan. Konon Megawati Soekarnoputri tidak suka dengan eks tim sukses Jokowi-Kalla itu. Konon itu akibat Rini tidak memberi ruang bagi kader Banteng di lingkup BUMN. PDIP berkali-kali menyerukan agar Jokowi mencopot Rini. Tapi Jokowi kekeuh mempertahankannya. Kini, Rini sudah lolos di Kabinet Kerja I. Selanjutnya, banyak pihak menduga ia ingin bertahan dan tetap mengisi Kabinet Kerja II. Lantaran itu, peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng, menduga, Rini sengaja "menyandera" Presiden Jokowi melalui perombakan direksi BUMN. "Saya kira dia sedang berupaya menaikkan bargaining position menjelang pemilihan kabinet baru," ujarnya, Senin (26/8). Menurut Salamudin, menjelang pembentukan kabinet periode 2019 - 2024 posisi Rini belum jelas, apakah masih dipakai Jokowi atau tidak. Makanya, dia mencoba mencari cara agar tetap bisa bertahan di kabinet. "Dia seperti to be or not tobe. Kalau tak dikerjakan (rombak direksi BUMN) seperti apa, kalau tetap dikerjakan, seperti apa (reaksi Jokowi)," tuturnya. Rini memainkan strategi "menyandera" Presiden dengan cara seperti itu karena, menurut Salamudin, dia tahu peran strategis BUMN bagi pemerintah. "Misalnya posisi Menteri BUMN diganti, direksi BUMN berpotensi menimbulkan masalah karena bawaan menteri lama. Rini sepertinya sedang mencoba membuat Jokowi takut dan khawatir," paparnya. Harusnya, Jokowi bisa mencegah Rini merombak jajaran direksi BUMN. Sebab, Menteri BUMN memiliki kewenangan mengganti direksi BUMN atas mandat dari Presiden. Maknanya, Presiden bisa mencabut mandat itu. Toh itu tidak dilakukan. Mungkin benar apa kata Rini, bahwa semua nantinya akan dikomunikasikan dengan Jokowi. "Nanti, lihat aja hasilnya," ujarnya enteng. End
Krisis Sudah di Pelupuk Mata
Tanda-tanda krisis juga berhembus di Singapura. Ekonomi Negeri Jiran ini diperkirakan memasuki resesi pada kuartal ketiga 2019. Terus memanasnya perang dagang antara China dan AS, menekan pertumbuhan negara tersebut. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ekonom senior Rizal Ramli menyebut Indonesia saat ini sedang berada dalam tahap creeping crisis atau sedang “merangkak” untuk sampai pada kondisi krisis. Di sisi lain, dalam laporan berjudul "Signs of Stress in The Asian Financial System", firma konsultan global McKinsey & Company menemukan bahwa 25% utang swasta valas jangka panjang di Indonesia memiliki rasio penutupan bunga (interest coverage ratio/ICR) kurang dari 1,5 kali. Posisi tersebut terhitung rawan karena perseroan menggunakan mayoritas labanya untuk membayar utang. Utang itu kebanyakan berasal dari sektor utilitas (pembangkit listrik dan jalan tol), dengan porsi 62%. Sektor energi dan bahan mentah menyusul dengan porsi 11% dan 10%. Konsultan ini mengingatkan negara-negara Asia perlu mewaspadai risiko terulangnya krisis 1997. McKinsey mengingatkan sektor utilitas Indonesia dan India berpotensi memicu persoalan karena kemampuan mereka untuk membalik kinerja dan membayar kembali utangnya tidaklah mudah. "Kini, media keuangan dan pengamat bertanya-tanya apakah kenaikan tingkat utang di Asia bisa memicu krisis yang baru. Sayangnya, tanda-tandanya terlihat mengancam, dan kesehatan sektor keuangan dan sektor riil sedang memburuk," tulis Senior Partner McKinsey Joydeep Sengupta dan Archana Seshadrinathan dalam laporan bertanggal Juli 2019. Dia menyebut selain Indonesia dan India kondisi buruk juga terjadi di Australia, China, dan Hong Kong. "Perlu kerja-sama berbagai pemangku kepentingan-regulator, konsumer, pemerintah daerah dan pusat, dan perusahaan itu sendiri-sehingga upaya pemulihan menjadi tak mudah," tulis laporan itu seperti dikuttip CNBC Indonesia, Selasa (13/8). Bersamaan dengan itu, dampak tingkat utang korporasi dan utang rumah tangga yang tinggi terlihat di Indonesia, bersama dengan China, India, dan Thailand. Bahkan, tingkat utang Indonesia yang berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) mencapai 50% dari porsi utang yang ada, atau jauh di atas rata-rata kawasan sebesar 25%. McKinsey melakukan asesmen terhadap neraca keuangan 12.000 perusahaan di 11 negara Asia Pasifik pada kurun waktu 2007-2017. Analisis difokuskan pada porsi utang jangka panjang korporasi dengan ICR kurang dari 1,5 kali. Meski kualitas aliran dana global (inflow) yang masuk ke Asia membaik, dengan porsi penanaman modal asing langsung (foreign direct investment/FDI) meningkat dari 27% (2007) menjadi 38% (2018), pemerintah harus mencermati fakta bahwa lebih dari 40% inflow itu berupa utang valas. Jika tidak dimanajemen dengan baik, bisa muncul persoalan seperti pada tahun 1997. Resesi Singapura Tanda-tanda krisis juga berhembus di Singapura. Ekonomi Negeri Jiran ini diperkirakan memasuki resesi pada kuartal ketiga 2019. Terus memanasnya perang dagang antara China dan AS, menekan pertumbuhan negara tersebut. Angka produk domestik bruto (PDB) yang dirilis pada Selasa (13/8) menunjukan penurunan besar pada perekonomian negara itu. Pada kuartal kedua ini, pertumbuhan Singapura tertekan hingga 3,3% jika dibandingkan dengan pertumbuhan di kuartal pertama 2019 sebesar 3,8%. Angka ini merupakan yang paling buruk selama tujuh tahun terakhir. Ekonomi Singapura hanya tumbuh 0,0-1,0% dari proyeksi sebelumnya 1,5%-2,5%. "Bila melihat ke depan, pertumbuhan PDB di banyak pasar permintaan utama Singapura pada paruh kedua 2019 diperkirakan akan melambat atau tetap serupa dengan yang tercatat di periode pertama lalu, " ujar Kementerian Perdagangan dan Industri (MTI) Singapura sebagaimana dilansir Reuters. Jika pertumbuhan di kuartal ketiga nanti tetap negatif, berarti Singapura memasuki resesi teknis. Padahal, Singapura bak "kenari di tambang batu bara". Negara ini menjadi indikator apakah terjadi situasi buruk atau tidak. "Singapura adalah penentu dari perlambatan perdagangan global," kata ekonom Asia Pasifik dari Coface, Carlos Casanova. "Dengan segala sesuatu yang kita lihat, sangat mungkin bahwa akan ada resesi di kuartal ketiga tahun ini," ujarnya seperti dilansir Soth China Mornig Post. Pada Juli, International Monetary Fund (IMF) memangkas perkiraan pertumbuhan 2019 untuk Singapura menjadi 2%. Sebelumnya IMF memprediksi pertumbuhan Singapura tumbuh sebesar 2,3%. Makro dan Mikro Kembali ke ekonomi Indonesia, Rizal memberi gambaran sisi makro dan mikro yang memburuk. Dari indikator makro, grafik transaksi berjalan semakin merosot, bahkan sudah mencapai lebih dari US$8 miliar. Kondisi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) pada kuartal II-2019 sebesar US$8,4 miliar atau 3,04% dari produk domestik bruto (PDB). Indikator lainnya adalah kondisi neraca perdagangan Indonesia dan rasio pajak. Sedangkan indikator mikro juga sudah mulai terlihat membahayakan. Seperti slow down sektor ritel yang diprediksi akan terus berlanjut. Daya beli dan consumer good juga masih akan turun. Begitu pun dengan properti yang diprediksi akan terpuruk, kecuali untuk beberapa segmen. Kemudian di level korporasi, mulai terjadi peningkatan default atau gagal bayar. Ini diistilahkan sebagai zombie company. Keuntungan yang diperoleh tidak bisa untuk membayar bunga utang. “Perusahaan ini hanya bisa hidup dengan refinancing terus menerus,” kata eks Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini. “Ada krisis kecil-kecil dan tidak disadari banyak orang, tetapi kalau disatukan jadi besar juga. Ini bisa dilihat dari kondisi makro, mikro, maupun korporasi. Kalau dibiarkan terus, bisa sangat membahayakan,” ujarnya, Senin (12/8). Untuk bisa keluar dari ancaman krisis yang lebih besar ini, menurut Rizal, pemerintah harus menghentikan cara lama seperti melakukan pengetatan anggaran atau mengejar pajak dari perusahan atau pelaku usaha kecil. Pemerintah harus melakukan sesuatu yang out of the box. Antara lain dengan menggenjot pertumbuhan ekonomi menjadi 6% sampai 8%, serta meningkatkan daya beli rakyat kecil dengan cara memberikan stimulus. Yang juga penting, menurut Rizal, Indonesia perlu membuat rencana dan action agar bisa menarik manfaat dari adanya perang dagang atara Amerika Serikat dan China. “Yang namanya krisis itu ada dua sisi, satu memberi masalah dan satunya lagi memberi opportunity. Sayangnya Indonesia tidak punya frame work bagimana menarik manfaat dari adanya trade war ini,” sesal Rizal. End