EKONOMI

Serangan Siber Bisa Hancurkan Perekonomian Indonesia

Apanya yang terpercaya jika rekening saja tidak aman karena bisa berkurang tanpa diambil pemiliknya, dan bertambah tanpa harus bersusah payah mengumpulkan uang lalu menyetorkannya. Oleh Mangarahon Dongoran (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sabtu, 20 Juli 2019, sejumlah pemilik rekening Bank Mandiri mengeluh, saldo tabungannya berkurang. Tentu ada juga yang kaget, karena saldonya bertambah. Kabarnya, akibat peristiwa itu, bank plat merah tersebut mengalami kerugian triliunan rupiah. Selain itu, masih ada pemilik rekening yang saldo tabungannya bertambah belum mengembalikannya. Totalnya lumayan banyak. Ahad, 4 Agustus 2019, listrik padam/mati akibat gangguan transmisi Jawa-Bali. Akibatnya, listrik di Jakarta, Banten dan sebagian besar Jawa Barat mati total rata-rata 10 jam. Padam terjadi di daerah atau wilayah yang memiliki posisi strategis, baik secara ekonomi, sosial, keamanan dan politis. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) rugi Rp 90 miliar, ditambah tanggungan mengganti kerugian 22 juta pelanggan, yang diperkirakan mencapai Rp 900 miliar lebih. Total sementara PLN harus menanggung beban sekitar Rp 1 triliun, akibat gangguan transmisi yang kabarnya karena kayu sengon. Itu baru kerugian dari sisi PLN. Akan tetapi, dana penggantian dankerugian itu harus diawasi ketat, karena bisa-bisa angkanya di mark-up atau digelembungan. Sedangkan kerugian konsumen sulit dihitung. Sebab, berapa banyak usaha kecil, menengah dan bahkan besar tidak bisa beroperasi karena sangat tergantung pada listrik. Berapa banyak anak sekolah yang tidak bisa belajar karena listrik mati, sementara lilin sulit diperoleh. Berapa banyak anak yang tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI), karena ASI yang biasa disimpan di kulkas ( ibunya bekerja) menjadi basi. Banyak Misteri Dua peristiwa yang terjadi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut masih menyimpan sejumlah misteri. Sebab, hingga sekarang, belum ada penjelasan resmi yang transparan atau terbuka penyebab pasti kedua peristiwa tersebut. Artinya, keterangan resmi yang dikeluarkan setelah dilakukan investigasi yang melibatkan pihak lain, terutama pihak kepolisian. Keterangan yang keluar dari Bank Mandiri adalah karena sistem teknologi informasinya terganggu. Jika TI-nya terganggu, itu karena apa? Apakah karena kurang perawatan, peralatan yang digunakan sudah daluarsa? Jika itu yang terjadi, siapa yang harus bertanggungjawab? Mengapa bisa terjadi untuk sebuah bank besar seperti Mandiri? Banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Direksi Bank Mandiri. Banyak misteri yang belum terungkap dari peristiwa yang dialami bank yang terkenal dengan moto, "Terdepan, Terpercaya Tumbuh Bersama Anda," itu. Apanya yang terpercaya jika rekening saja tidak aman karena bisa berkurang tanpa diambil pemiliknya, dan bertambah tanpa harus bersusah paya mengumpulkan uang lalu menyetorkannya. Pihak Mandiri membantah jika peristiwa tersebut akibat serangan hacker. Akan tetapi, banyak yang tidak percaya akan bantahan itu. Sebab, gangguan tersebut terjadi karena adanya sistem yang bekerja tidak baik. "Perubahan kemarin terjadi karena semacam multifuntion hadware. Dalam kesempatan ini data nasabah tidak ada yang hilang. Semua aman, " ucap Direktur Bisnis dan Jaringan Bank Mandiri, Hery Gunardi, ketika menjelaskan peristiwa buruk yang dialami bank itu. Betul data nasabah aman. Yang tidak aman itu isinya alias saldonya. Kok bisa saldo nasabah berubah? Masak sekelas bank yang memiliki aset Rp 1.206 (angka 2018) triliun itu bisa terganggu TI-nya? Apa tidak ada dana pemeliharaan rutin atau dana pembelian perangkat baru? Bobol Bank Lain Tidak menutup kemungkinan, kasus yang menimpa Bank Mandiri akan terjadi pada bank lainnya, terutama bank plat merah. Kasus pembobolan ATM juga dulunya dialami sedikit bank. Tapi lama-lama dialami banyak bank, terutama bank besar, karena pembobolnya melibatkan orang dalam bank. Kasus berkurangnya saldo nasabah di Bank Mandiri hendaknya menjadi peringatan keras yang tidak bisa dianggap main-main oleh pemangku kepentingan perbankan, terutama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Sebagai sebuah objek yang sangat vital di sektor perekonomian, kasus Bank Mandiri harus mendapatkan perhatian dan pengamanan dari kepolisian, terutama yang menangani cyber atau siber. Sebab, perampokan uang nasabah tidak lagi dilakukan secara konvesional (meski masih ada). Kasus perampokan nasabah dengan cara ditodong sepulang mengambil uang dari bank, kasus menggembosi ban mobil nasabah, sudah semakin jarang terjadi. Yang sering muncul, ya pembobolan ATM dan pembobolan rekeningnya secara canggih. Kasus terakhir ini bisa semakin sering terjadi lagi seiring dengan kecanggihan teknologi. Mengapa? Patut diduga, kasus Bank Mandiri sebagai uji coba terhadap pertahanan perbankan nasional. Uji coba untuk mengganggunya. Jika pada akhirnya ditemukan gangguan yang dilakukan secara sengaja (baik dari orang dalam), apalagi dari luar (bisa bank pesaing atau bisa juga ulah asing dan aseng), maka betapa lemahnya sistem keamanan perbankan kita. Jika uji coba ini berhasil, tidak menutup kemungkinan akan terjadi gangguan terhadap sistem perbankan nasional secara berturut-turut. Hal itu akan menyebabkan perekonomian nasional porak-poranda. Misalkan, tiba-tiba sistem dalam ATM atau yang berhubungan dengan uang elektronik atau E-Money diganggu dalam waktu sehari atau dua hari atau seminggu. Akibatnya, berapa banyak masyarakat yang tidak bisa berbelanja. Bahkan, mereka yang tidak memegang uang kontan -- karena telah mempercayakan transaksi lewat E-Money -- bisa kelaparan. Mau belanja atau makan di warung sederhana tak punya uang kontan, kalau makan atau belanja di restoran atau swalayan tidak bisa karena jaringan sedang terganggu. Ya, peristiwa yang terjadi pada Bank Mandiri dan PLN perlu dicermati. Perlu investigasi yang lebih mendalam. Pihak-pihak yang bertanggunggajawab di kedua BUMN itu jangan buru-buru mengeluarkan pernyataan yang menganggap persoalannya spele. Lakukan investigasi -- jika perlu investigasi independen -- sehingga terbongkar borok-borok yang sebenarnya. Bank Mandiri dengan jumlah nasabah 83,5 juta masih rentan diganggu. Saya belum mendengar keterangan dari direksinya, apakah kasus yang baru menimpa Mandiri menyebabkan nasabah eksodus ke bank lainnya. Atau barangkali, kasus Mandiri itu menyebabkan masyarakat semakin rajin menyimpan uangnya di bawah bantal, membeli emas, menyimpan dalam bentuk mata uang asing atau tabungan dalam investasi lainnya. *

Gimana Kalau Serangan Siber Mandiri Ternyata Benar Adanya?

Sampai saat ini peristiwa “blackout” di Bank Mandiri juga tidak ada kelanjutannya. Padahal kabarnya Menteri BUMN Rini Soemarno dan pihak OJK telah memanggil Direksi Bank Mandiri. Tidak jelas, apakah pemanggilan itu terkait dengan sanksi atau siasat untuk meredam gejolak di publik. Oleh: Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sebuah website yang tulisan opininya banyak diisi oleh wartawan senior dari berbagai media bernama fnn.co.id (FNN-Forum News Network) dilaporkan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya oleh Bank Mandiri. FNN dilaporkan pihak Mandiri karena diduga menyebarkan berita hoax terkait Bank Mandiri yang akan bangkrut dan mengalami kerugian mencapai Rp 9 triliun. Inilah yang kemudian menyebar di media sosial dan grup-grup WA. “Kami menyatakan bahwa 100 persen berita yang terpampang di FNN.xx.id itu adalah berita hoax dan tidak ada yang kami alami seperti yang disampaikan,” kata Senior Vice President Bank Mandiri Rohan Hafas, Kamis (15/8/2019). Melansir Detik.com, Kamis (15 Agustus 2019, 14:20 WIB), Rohan menyebut laporan sudah dibuat pada hari Rabu (14/8/2019) lalu. Berita hoax yang menyebut Bank Mandiri rugi dan akan bangkrut merugikan perusahaannya. Sebab, kepercayaan nasabah ataupun masyarakat bisa berkurang akibat pemberitaan tersebut. “(Kerugian Bank Mandiri) kepercayaan masyarakat. Kepercayaan masyarakat paling penting dari industri perbankan,” ungkap Rohan. “Karena dengan kepercayaan itulah orang nabung di sebuah bank kan,” lanjut Rohan. Ia menyebut berita dari media online itu pertama kali muncul pada Selasa (13/8/2019). Berita itu lalu di-repost di media sosial Facebook oleh sejumlah akun. Isinya, “Bank Mandiri mengalami kerugian ada serangan cyber sehingga mengakibatkan kerugian Rp 9 triliun,” kata Rohan. “Kemudian dari dampaknya adalah Bank Mandiri akan bangkrut dan diambil oleh China,” lanjutnya. “Itu berita garis besarnya seperti itu dan nggak tahu motifnya, tapi itu sangat nggak ada dasar apa pun, tidak ada kerugian dialami dan tidak ada serangan cyber, tidak ada China yang ambil Bank Mandiri,” sambung Ronan. Dalam kesempatan yang sama, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menyebut pihaknya sudah menerima laporan itu. Pihaknya hari ini juga sudah memeriksa saksi dari pihak Bank Mandiri. “Ini pernyataan kepolisian, sudah kita terima laporannya dan kita lakukan penyelidikan. Nanti kita klarifikasi terlapor seperti apa dan saksi-saksi yang lain dan barbuknya seperti apa,” kata Argo. Latar belakang dari keluarnya pernyataan Rohan ini adalah tulisan berjudul “Dijebol Siber Rp 9 Triliun, Bank Mandiri Segera Bangkrut?” yang ditulis oleh Luqman Ibrahim Soemay di fnn.co.id, Selasa (13/8/2019). Dalam tulisan tersebut, disebutkan bahwa Bank Mandiri memang sedang menuju liang kebangkrutan. Informasi ini didasarkan pada pernyataan sumber di internal Bank Mandiri yang tidak disebutkan identitasnya di dalam tulisan. Ia juga menyebut, kebangkrutan ini terjadi karena secara teknis keamanan, sistem Informasi dan Teknologi (IT) Bank Mandiri sangat tidak mungkin untuk bisa dipulihkan. Kejadian ini pun dinilai murni akibat serangan dari dalam Bank Mandiri sendiri. Namun, yang perlu dicatat, mengutip berita Tempo.co, Rabu (14/8/2019), dalam tulisan ini sama sekali tidak disebutkan Bank Mandiri akan diambil Cina, seperti yang disampaikan Rohan. Di sini Rohan justru menyebar hoax soal “akan diambil Cina”. Menurut Rohan, Bank Mandiri merupakan bank milik pemerintah terbesar di Indonesia dan diawasi langsung oleh OJK dan BI. “Dengan kondisi ini, tidak mungkin segala kejadian tidak dimonitor dan diawasi oleh kedua institusi tersebut,” ujarnya. Saat ini, ia menyebut Bank Mandiri akan berkoordinasi dengan kepolisian untuk menindak pelaku penyebaran isu itu. Bank Mandiri pun mengimbau masyarakat tidak ikut menyebarkan berita bohong karena bisa melanggar UU Nomor Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang biasa disebut UU ITE. Raibnya 9 Triliun? Mengutip fnn.co.id, Raibnya saldo nasabah Bank Mandiri dan blackout-nya PLN Jawa-Bali bukan perkara yang saling bebas. Tetapi saling berkelindan. Namun, tulisan ini hanya mau mengungkap keanehan pada Bank Mandiri. Keanehan utamanya adalah sampai detik ini pemerintah selaku pemegang saham pengendali tidak melakukan pemecatan terhadap Direksi Bank Mandiri. Tidak juga ada pemberhentian sementara terhadap minimal Direktur Teknologi Informasi (IT) Bank Mandiri. Sampai saat ini peristiwa “blackout” di Bank Mandiri juga tidak ada kelanjutannya. Padahal kabarnya Menteri BUMN Rini Soemarno dan pihak OJK telah memanggil Direksi Bank Mandiri. Tidak jelas, apakah pemanggilan itu terkait dengan sanksi atau siasat untuk meredam gejolak di publik. Tampaknya lebih untuk meredam gejolak publik. Karena hingga saat ini belum terpublikasi soal adanya sanksi terhadap Bank Mandiri dan Direksi Bank Mandiri. Selain Kementerian BUMN dan OJK, Ombudsman Indonesia juga sudah memanggil Direksi Bank Mandiri. Namun itupun hanya sekadar penjelasan mengapa terjadi dan bagaimana pemulihannya. Terus pemulihannya bagaimana? Selentingan sumber menyebutkan, hingga saat ini Bank Mandiri konon sudah jebol Rp 9 Triliun. Bank Mandiri juga tidak mampu untuk melakukan trackback atas dana-dana yang hilang dari tabungan nasabah. Dari peristiwa blackout-nya saldo rekening nasabah Bank Mandiri, sekitar 19 – 20 Juli 2019 lalu, Bank Mandiri telah melakukan trackback berhari-hari. Bahkan sampai seminggu lebih. “Hari Sabtu dan Minggu ini (28 Juli 2019, red), tim IT Mandiri masih melakukan trackback dan belum berhasil,” ujar sumber tersebut. Sampai selesai pemanggilan di Ombudsman, Direktur Bisnis dan Jaringan Bank Mandiri Hery Gunadi menjelaskan, akibat gangguan itu, ada sekitar 2.600 nasabah yang saldonya bertambah. Sekitar 90% dari 2.600 rekening nasabah sudah kembali normal. Saat ini hanya tinggal sekitar 5-10% saldo lebih yang belum dikembalikan ke bank. “Masih tinggal 5-10% lagi yang belum kembali. Jumlah kerugiannya ya sekitar Rp 10 miliar,” kata Hery dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman, Jakarta (29/7/2019). Untuk mendapatkan kembali dana tersebut, bank gencar mendekati nasabah secara persuasif pada nasabah yang telah melakukan penarikan. “Karena rekening kan milik mereka, mereka berhak kelola. Yang kelebihan 2.600 itu sudah dikembalikan sekitar 90%. Kalau diomongin nasabah pasti mengerti,” jelas dia. Menurut sumber, Bank Mandiri bukan hanya rugi Rp 10 miliar saja. Namun, Bank Mandiri kehilangan dana pihak ketiga hingga Rp 9 triliun. Hingga minggu pertama Agustus ini, dana Rp 9 triliun itu belum bisa di-trackback ke Bank Mandiri. Kalau soal Bank Mandiri rugi Rp 10 miliar itu perkara yang mudah. Sedangkan bagaimana dengan yang Rp 9 triliun itu? Tampaknya tim IT bank pelat merah ini sepertinya memang tidak mampu mengembalikannya lagi ke Bank Mandiri. Peristiwa “blackout”, Bank Mandiri ini bermula dari kericuhan di media sosial, Sabtu 20 Juli 2019. Sejumlah nasabahnya mengeluhkan saldo tabungannya. Mereka mengeluh lantaran nominal saldonya berubah drastis. Banyak nasabah Bank Mandiri mengeluhkan saldonya berkurang. Namun, ada juga nasabah yang saldonya bertambah. Kejadian ini juga membuat nasabah bingung. Kemudian Bank Mandiri meresponnya seketika pada Sabtu, 20 Juli 2019. Bank Mandiri menggelar konferensi pers perihal gangguan jaringan Bank Mandiri yang lagi bermasalah, sehingga menyebabkan saldo nasabah berubah drastis. Ada saldo yang menjadi nol rupiah (Rp 0). Ada juga yang mendadak bertambah. Melalui akun twitter resmi, Bank Mandiri menyatakan, pihaknya telah melakukan investigasi dan meminta nasabah tidak perlu khawatir perihal saldonya. Dipastikan saldo nasabah tidak berkurang. Apa lacur, malah Bank Mandiri yang konon kehilangan Rp 9 triliun. Bank Mandiri yang terkena blackout akibat serangan siber. Menurut sumber di dalam, Bank Mandiri memang sedang menuju liang kebangkrutan. Pasalnya, secara teknis keamanan, sistem IT Bank Mandiri sangat tidak mungkin untuk bisa dipulihkan. Kejadian ini murni akibat serangan dari dalam Mandiri sendiri. Pelaku penyerangan diduga dari dalam Bank Mandiri. “Saya meyakini orang dalamlah yang menjadi pemain utamanya,” ujar seorang sumber yang sangat paham dengan seluk-buluk IT Bank Mandiri tersebut. Lalu, apakah pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN terlibat? Besar kemungkinan juga ikut terlibat. Indikasinya adalah hingga saat ini tidak ada sanksi apapun dari pemerintah sebagai pemegang saham pengendali kepada direksi Bank Mandiri. Kejadian blackout Bank Mandiri itu sangat mempengaruhi kepercayaan publik pada sistem perbankan nasional, khususnya sistem IT. Untuk itu pihak pemegang saham pengendali, yaitu pemerintah yang diwakili Kementerian Bank BUMN harus segera memberikan sanksi atau bahkan memecat Direktur IT Bank Mandiri. Manajemen Bank Mandiri seharusnya tidak gegabah dengan langsung melaporkan FNN ke Polisi. Bahkan, menuding sebagai penyebar hoax. Padahal, Ronan sendiri telah menyebar hoax soal Bank Mandiri “akan diambil Cina”. Bagaimana kalau yang ditulis oleh Luqman Ibrahim Soemay di FNN tersebut ternyata benar adanya? Hingga tulisan ini dibuat, setidaknya tulisan itu sudah 48.503 kali dilihat, 1.889 kali dilihat hari ini. Agar lebih jelas terkait dengan dugaan rabibnya duit Rp 9 triliun yang disebutkan Luqman itu, seharusnya PPATK dan BPK turun tangan. Orang bijak mengatakan, janganlah lihat siapa atau media yang menulisnya. Tapi, lihatlah apa isi tulisannya! End.

ICOR Tinggi, Pertanda Korupsi Masih Marak

Jika Indonesia akan mencapai target pertumbuhan ekonomi 7% sebagaimana dicita-citakan Jokowi pada kampanye 2014, maka nilai investasi yang harus dikumpulkan adalah sebesar Rp1.481 triliun. Oleh Hudzaifah (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Investasi Indonesia yang besar-besaran di bidang infrastruktur ternyata tak membuat pertumbuhan ekonomi beranjak dari 5%. Bahkan celakanya bersamaan dengan investasi yang begitu tinggi, justru indikator Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia makin tinggi. Gejala apakah ini? Sepertinya Pemerintahan Jokowi selama lima tahun terakhir sudah begitu jor-joran, gegap gempita dan cetar membahana. Namun selama kurun waktu itu juga pertumbuhan ekonomi stagnasi di level plus minus 5%. Bahkan ICOR Indonesia sepanjang tahun terus menanjak, pada 2018 mencapai 6,3, menunjukkan inefisiensi investasi. Artinya, untuk mencapai pertumbuhan Produk Domestik Bruto (gross domestic bruto—GDP) 1%, maka Indonesia butuh nilai investasi 6,3 kali dari nilai pertumbuhan tersebut. Bandingkan dengan ICOR Malaysia pada periode yang sama hanya berada pada level 4,6, disusul Thailand sebesar 4,5, dan yang terendah Filipina sebesar 3,7. Asian Development Bank (ADB) pernah menyusun tabulasi nilai ICOR pada tujuh negara pada 2017. Tujuh Negara yang dimaksud adalah Indonesia 5.5, Malaysia 4.6, Filipina 3.7, Thailand 4.5, Vietnam 5.2 dan India 4.9 serta Turki yang mencapai ICOR 3.9. ICOR adalah koefisien produktivitas suatu nation state yang bersaing dengan nation state lain untuk berkontestasi di pasar global. Kalau angka ICOR tinggi berarti bangsa itu tidak efisien. Untuk tumbuh satu persen memerlukan investasi 6,3 kali dari PDB. Skor ICOR dipatok pada level 1 hingga 10. Makin rendah ICOR suatu negara makin efisien investasi di negara itu, sebaliknya makin tinggi ICOR suatu negara maka semakin tidak efisien negara itu. Dalam kasus Indonesia, untuk mendapatkan input pertumbuhan ekonomi Rp1.000 maka nilai investasi yang harus disediakan adalah Rp6.300. ICOR yang baik bagi suatu negara ada pada kisaran 3 hingga 4. Jika Indonesia akan mencapai target pertumbuhan ekonomi 7% sebagaimana dicita-citakan Jokowi pada kampanye 2014, maka nilai investasi yang harus dikumpulkan adalah sebesar Rp1.481 triliun. Padahal realisasi investasi Indonesia pada 2018 hanya Rp721,3 triliun, wajar kalau hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi 5,17% atau jauh dari target 5,4% dala APBN 2018. ICOR Indonesia yang tinggi ini diawali sejak masyarakat dipungli mengurus birokrasi perizinan oleh eksekutif dan juga biaya legislatif yang ikut ditanggung lewat pungli dan pungutan diluar pajak, juga sistem yudikatif yang korup. Kemudian suku bunga bank juga relatif tinggi karena spread yang tinggi di industri perbankan. Di samping itu UMR karyawan ikut naik, sementara harus bersaing dengan tetangga dan pesaing lain. Tumpukan beban itulah yang mengungkung masyarakat awam maupun bisnis di Indonesia entah hanya sebagai karyawan maupun sebagai pengusaha. Ongkos rente politik birokrasi parpol sangat tinggi tercermin dari angka ICOR 6,3 menurut studi empiris ADB. Sementara itu berdasarkan data dalam lampiran empat tahun Jokowi-JK mengelola pemerintahan angka ICOR kita malah sejak 2014 ICOR kita berkisar sekitar enam dan tidak bergeming. Pada 2013 ICOR Indonesia masih di level 4,5, pada 2014 lompat ke level 6,8, kemudian pada 2015 sedikit memburuk ke 6,78. Padahal di tahun 2011 masih di kisaran 3,8, bahkan pada 2007 masih di level 3,5. Sejak 2009 ICOR Indonesia naik di atas kisaran 5,0 (Sumber: World Bank dan BPS). Pada 2016 turun sedikit ke 6,46. Lalu pada 2017 ke level 6,34 dan pada 2018 masih di kisaran 6,33. Faktor yang diukur ADB adalah masalah upah dan seluruh biaya sosial dari pelayanan birokrasi dikombinasikan efisiensi bangsa ini. Presiden Jokowi diketahui telah menempatkan perang lawan ICOR ini dengan Saber Pungli dan OTT KPK yang diharapkan menurunkan ICOR Indonesia dari enam ke empat atau bahkan ketiga, dengan kebijakan pelayanan satu atap (one stop service—OSS). Tetapi sistim kepartaian plural tetap merupakan sumber dan akar masalah high poltical and bureaucratic cost yang harus ditanggung masyarakat dan pebisnis maupun dalam aktivitas sosial dengan biaya public goods and service yang mahal dan tidak bisa bersaing dengan negara lain. Karena itu juga ekspor kita tidak beranjak jauh dan bahkan kalah dari Vietnam. Bila pemberantasan korupsi dan perizinan OSS gagal dan masyarakat terus dibebani dengan pungli dan suap korupsi, maka nilai rupiah tidak bisa dikomando untuk menguat. Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan inefisiensi dalam investasi yang dilakukan pemerintah yang ditandai dengan ICOR meningkat. Pertama, tidak efisiennya pembangunan ekonomi yang dijalankan. Kedua, adanya unsur pelunasan utang luar negeri yang tinggi dan didominasi dengan valuta asing. Ketiga, adanya mark up dan korupsi dalam proses pembangunan dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi berjalin berkelindan dengan sistem politik yang korup. Dulu Begawan Ekonomi Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo sempat menyindir adanya kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun sebesar 30%. Hari ini, tingkat kebocoran anggaran itu disinyalir sudah mencapai 65%. Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mochammad Jasin, Indonesia masih berada pada tingkat ICOR tertinggi di ASEAN, yakni rerata sebesar 6, sedangkan rerata ASEAN 3,5. Hal ini, menurutnya sebagai akibat dari banyaknya praktik mark-up, mark down dan korupsi di Indonesia. Selain itu kebocoran APBN atau pembangunan yang mencapai 65% juga menjadi masalah bagi kondisi Indonesia. Oleh karenanya, Jasin berpendapat, penting untuk Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra K/L) yang dituangkan dalam perencanaan dan program kerja tahunan harus disusun indikator kinerja, target capaian kinerja, evaluasi kinerja dan rekomendasi perbaikan kinerja K/L. Jasin juga menjelasakan modus operandi korupsi yang kerap dilakukan DPR dan DPRD yakni memperbesar mata anggaran untuk tunjangan dan fasilitas anggota dewan, menyalurkan dana APBN/APBD bagi anggota dewan melalui yayasan fiktif dan memanipulasi perjalanan dinas. Sedangkan modus operandi pejabat daerah kerap kali pada pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan mark up harga dan mengubah spesifikasi barang. Oleh sebab itu, pentingnya bagi lembaga audit investigasi untuk bersikap independen dalam mengidentifikasi penyebab dan kemungkinan adanya kecurangan atau fraud dalam penyelenggaraan APBN. Audit investigasi bertujuan mendapatkan keyakinan yang memadai mengenai apakah fraud tersebut benar terjadi berdasarkan bukti audit yang kuat dan valid. Salah satu indikator ICOR adalah terjadinya kebocoran anggaran. Kebocoran anggaran berpotensi terjadi dari sisi realisasi APBN setiap tahunnya. Namun berdasarkan data realisasi APBN dari Kemenkeu, dalam 10 dasawarsa terakhir, angka realisasi APBN secara rata-rata berada di atas 94%. Pada 2004 realisasi APBN mencapai 99,33%, pada 2006 mencapai 95,43%, 2008 sekitar 99,62%, 2010 mencapai 92,54%, dan 2012 sekitar 96,33%. Sementara realisasi anggaran baik penerimaan maupun belanja negara pada 2014 tercatat sebesar 94,50%, sedangkan pada 2015 langsung anjlok ke posisi 87,95% dan pada 2016 menjadi 88,2%. Setiap tahunnya, pemerintah juga terus menyempurnakan mekanisme penyusunan anggaran sekaligus mempermudah prosedur realisasi sehingga penyerapan anggaran diharapkan lebih optimal. Yang masih menjadi persoalan mungkin terkait dengan persoalan kualitas dari penyerapan anggaran itu sendiri. Meskipun sudah menerapkan sistem Performance Based Budgeting (PBB), persoalan kualitas penyerapan anggaran mau tidak mau masih menjadi kendala utama. Tidak tercapainya optimalisasi penerimaan perpajakan juga disinggung sebagai salah satu penyebab terjadinya kebocoran anggaran. Namun perlu diperhatikan bahwa melesetnya potensi penerimaan perpajakan tidak seutuhnya disebabkan oleh lemahnya kinerja aparat perpajakan melainkan juga dipengaruhi oleh faktor eksternal lainnya seperti melemahnya demand akibat resesi global. Pemerintah juga terus melakukan pengurangan potensi terjadinya penurunan potensi penerimaan perpajakan yang disebabkan perilaku moral hazard aparat penegak pajak itu sendiri melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 111/PMK.03/2014 tentang pegawai pajak yang beralih menjadi Konsultan Pajak. Potensi kebocoran anggaran lainnya yang memungkinkan adalah hilangnya potensi penerimaan negara dari hasil pengelolaan sumber daya alam (SDA) baik tambang maupun kekayaan non-tambang lainnya. Namun demikian, potensi hilangnya penerimaan dari hasil pengelolaan SDA baik tambang dan non-tambang sangat bergantung kepada kesepakatan kontrak yang sudah ditanda-tangani sebelumnya. Yang mungkin dilakukan adalah merenegosiasi kontrak kesepakatan yang sudah akan jatuh tempo untuk dilakukan perhitungan ulang demi memenuhi aspek keadilan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwasanya isu kebocoran anggaran merupakan hal sensitif yang sangat fundamental. Namun demikian, validitas data merupakan hal yang mutlak dikedepankan. Jangan sampai isu tersebut kemudian sekedar menjadi isu politik demi mengejar popularitas semata. Saatnya Presiden Jokowi mengecangkan ikat pinggang, dalam arti jangan sekadar gegap gempita membangun infrastruktur, mengejar wajib pajak, mengejar pajak dana pihak ketiga, tapi juga perlu meningkatkan efisiensi investasi agar tidak mubazir.[]

Mengapa Banyak Tikus di BUMN?

KPK menyesalkan tidak adanya sikap tegas dalam kepemimpinan di BUMN untuk menerapkan GCG. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN -Badan Usaha Milik Negara atau BUMN memang lumbung duit. Berdasarkan data Kementerian BUMN, pada tahun 2018 lalu, aset perusahaan pelat merah tercatat Rp8.092 triliun. Saban tahun duit itu beranak dan pada 2018 keuntungan BUMN mencapai Rp200 triliun. Dari keuntungan sebanyak itu, deviden yang disetor ke pemerintah Rp43 triliun. Lantaran lumbung duit, tikus sudah pasti mengincar. Tikus itu ada yang kecil ada yang besar. Teranyar adalah tertangkapnya Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II, Andra Y Agussalam, dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Andra bukan tikus, eh, orang pertama yang tertangkap basah bermain patgulipat duit BUMN. Pada kasus Andra, diduga menerima suap dari PT INTI. KPK mengamankan duit dalam pecahan dolar Singapura, jika dirupiahkan setara Rp1 miliar. Belum lama, Wisnu Kuncoro, Direktur Teknologi dan Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. juga mengalami nasib sama. Ia terjaring OTT KPK pada Maret 2019. Wisnu terjaring KPK terkait dugaan pengadaan barang dan jasa. Lalu, eks Direktur Utama PT Asuransi Jasindo (Persero), Budi Tjahjono, juga dicokok KPK karena didakwa korupsi Rp3 miliar dan US$662.891. Budi Tjahjono bersama dengan Direktur Keuangan dan Investasi Asuransi Jasindo periode 2008-2013, Solihah, dituduh melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri. Sofyan Basir, saat menjadi Dirut PLN, juga ditetapkan sebagai tersangka korupsi terkait dengan kasus suap proyek PLTU Riau-1. Deretan bos BUMN yang mencuri duit negara lumayan panjang. Sebagian dari mereka masih dalam status terangka. Sebut saja Firmansyah Arifin saat menjabat Direktur Utama PT PAL Indonesia (Persero). Lalu, RJ Lino saat menjabat Direktur Utama PT Pelindo II. Emirsyah Satar, saat menjabat Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Juga Karen Agustiawan, saat menjabat Dirut PT Pertamina (Persero). Sebelum panen koruptor di BUMN, tahun lalu, Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, juga sempat mensinyalir indikasi ada banyak direksi BUMN yang melakukan tindak pidana korupsi. Kala itu, KPK tengah menangani kasus korupsi di PT Nindya Karya yang diduga korupsi pembangunan Dermaga Bongkar pada Kawasan Perdagangan Bebas dan pelabuhan bebas Sabang yang dibiayai APBN tahun 2014-2011. Dari deretan kasus tersebut memberikan bukti bahwa pengelolaan BUMN sangat rawan korupsi. Panen koruptor di perusahaan negara ini memprihatinkan. Tentu lumayan banyak duit BUMN yang ditilep “kucing garong” itu. Sayangnya, sejauh ini belum ada penelitian berapa sejatinya kerugian BUMN akibat korupsi para direksinya. Hanya saja, Indonesia Corruption Watch ( ICW) pernah mengungkap kerugian negara akibat korupsi pada 2018 mencapai Rp9,29 triliun. Jumlah ini tentunya termasuk korupsi di BUMN. Tata Kelola Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (1/8) malam menyatakan miris terhadap praktik korupsi yang terjadi di PT AP II dan PT INTI tersebut. BUMN seharusnya bisa bekerja lebih efektif dan efisien untuk keuangan negara, tetapi malah menjadi bancakan hingga ke anak usahanya. KPK selalu menyesalkan adanya pejabat di perusahaan BUMN yang terjerat kasus korupsi. Padahal KPK selalu menekankan agar BUMN menerapkan prinsip kehati-hatian yang lebih baik dibandingkan dengan sektor swasta. Di samping itu, seharusnya ada sikap tegas di kepemimpinan BUMN untuk menerapkan GCG. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuris Rezha, mengingatkan seharusnya ada perhatian dari perusahaan pelat merah untuk meningkatkan perbaikan tata kelola. "Khususnya dalam hal pengerjaan proyek infrastruktur serta untuk mengantisipasi tindak pidana suap para pegawainya," ujarnya. Ia mengaku heran tindak pidana korupsi masih terjadi di BUMN, meski KPK sudah sejak lama mendorong BUMN agar berintegritas. Salah satunya, melalui penerapan Good Corporate Governance (GCG). Itu sebabnya, BUMN, khususnya yang sudah terjerat kasus korupsi, perlu melakukan evaluasi internal. Kaitannya apakah prinsip GCG sudah diterapkan secara maksimal atau belum. Hal ini sebenarnya sudah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategis Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Dalam dokumen itu salah satu fokusnya adalah penerapan sistem manajemen antisuap, baik di pemerintahan maupun sektor swasta termasuk BUMN.

Ketika Jokowi Tertipu Unicorn, Lembong Pun Limbung

Kepala BKPM Thomas Lembong, menyatakan empat unicorn yakni Traveloka, Tokopedia, Bukalapak, dan Gojek adalah milik Singapura. Berbeda dengan klaim Jokowi yang menyatakan keempatnya milik Indonesia. Lembong keceplosan lalu dilarat. Oleh Hudzifah (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kabar buruk dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong soal 4 unicorn milik Singapura benar-benar bak petir di siang bolong. Sebab kita mendengar informasi pertama dari Presiden Jokowi bahwa ke-4 unicorn itu adalah milik Indonesia, kebanggaan tanah air. Kok bisa? Inilah ciri jaman disrupsi informasi (disruption information), Secara garis besar, pengertian disrupsi (disruption) adalah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disrupsi berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan baru. Disrupsi bisa dilihat sebagai sesuatu yang positif karena merupakan sebuah inovasi yang dinamis. Namun kaitannya dengan disrupsi informasi, dapat berarti informasi lama digantikan dengan informasi baru. Dalam konteks inilah informasi yang disampaikan Jokowi saat menjadi calon presiden begitu ‘pede’ dan bangga sekali dengan keberadaan unicorn yang dikembangkan anak bangsa. Bahkan sedikit menyudutkan Prabowo yang seolah tak paham soal unicorn, perusahan rintisan bermodal di atas US$1 miliar di Indonesia. Informasi lama datang dari Presiden Jokowi dan tentu kemungkinan besar atas bisikan Menkominfo Rudiantara. Bahwa Indonesia memiliki 4 unicorn, perusahaan rintisan (start up) dengan valuasi di atas US$1 miliar (Rp14 triliun). Keempatnya adalah Traveloka, Tokopedia, Bukalapak, dan Gojek. Bahkan belakangan Grab baru saja akan disuntik dana oleh pemodalnya Softbank Group hingga US$2 miliar. Informasi terbaru datang dari Kepala BKPM Tom Lembong, yang menyatakan keempat unicorn, bahkan yang kelima juga, adalah milik Singapura. Menurut Lembong keempat unicorn tersebut belum masuk dalam daftar hitungan investasi dalam negeri. Artinya, belum ada investasi yang masuk ke perusahaan start-up yang beroperasi di Indonesia. Investasi justru masuk ke perusahaan induk start-up tersebut di Singapura. “Jadi yang sedikit membingungkan ada pengumuman bahwa Grab akan investasi lagi sekian (US$2 miliar) dan Gojek baru dapat fund raising, tapi tidak nongol dalam arus modal masuk dalam bentuk investasi. Yang masuk investasi ke Singapura, induknya,” demikian jelas Tom Lembong di kantornya akhir bulan lalu. Fakta itu terkuak setelah hasil riset Google dan Temasek yang dalam laporannya menyebutkan bahwa investasi keempat start-up itu masuk ke perusahaan inti di Singapura. “Malah keempat unicorn kita (yang diklaim Jokowi) diklaim sebagai unicorn mereka,” tambah Lembong. Ia menambahkan uang yang masuk ke Indonesia hanya berupa pembayaran vendor-vendor, misalnya pembayaran iklan hingga sewa kantor. Seringkali masuknya bukan dalam bentuk investasi tapi oleh induk unicorn Singapura langsung membayar ke vendor atau supplier Indonesia. Jadi ada arus modal masuk tapi tidak langsung masuk ke PT di Inodnesia. Ternyata struktur arus dananya seperti itu. Tengok saja siapa sebenarnya pemodal kelima unicorn yang sudah terlanjur diklaim Jokowi milik kita, ternyata dibantah Lembong milik Singapura. Menurut laporan Tech-Crunch, Go-Jek telah mendapat persetujuan suntikan dana dari beberapa investor: Google, JD.com, dan Tencent sebesar US$920 juta (Rp13 triliun) yang bakal menaikkan valuasi perusahaan menjadi sekitar US$9,5 miliar (Rp133 triliun). Artinya, tinggal selangkah lagi Go-Jek “naik kelas” menjadi decacorn, yaitu startup dengan valuasi USD10 miliar ke atas. Di antara puluhan investor Go-Jek, diketahui hanya ada dua perusahaan dari dalam negeri, yakni Astra International Tbk (Indonesia) dengan kucuran dana US$150 juta (Rp2 triliun) dan Global Digital Niaga, anak perusahaan modal ventura Global Digital Prima (GDP) milik Djarum Group. Mereka tergabung dalam konsorsium investor yang menyuntikkan dana ke Go-Jek pada putaran penggalangan dana mulai akhir 2017 hingga awal 2018. Para investor lain Go-Jek kebanyakan perusahaan Amerika Serikat, China, dan Singapura. Dominasi kekuatan ekonomi asing di balik start-up lokal yang telah menjelma menjadi unicorn juga bisa dilihat di Tokopedia. Hanya ada satu investor lokal di perusahaan ini, yaitu Indonusa Dwitama, di antara sembilan perusahaan yang terdata oleh crunchbase.com. Indonusa Dwitama merupakan pemodal pertama Tokopedia serta menjadi bagian tak terlepaskan dari sejarah awal perjalanan e-commerce yang didirikan William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison ini. Kucuran dana terbaru yang diterima Tokopedia berasal dari Alibaba Group (China) dan Softbank Vision Fund (Inggris) senilai US$1,1 miliar melalui penjualan saham seri G pada 21 November 2018. Unicorn lokal lain, Traveloka, juga berkembang dengan kucuran dana dari investor AS, China, Jepang, dan India. Sedangkan info terbaru Soft Bank Group baru saja berencana menyuntik modal ke Grab senilai US$2 miliar (Rp28 triliun). Praktis semua unicorn di Indonesia kelaminnya adalah milik asing, bukan kelamin lokal sebagaimana yang digembar-gemborkan Presiden Jokowi. Tak tercatat satu pun investor lokal di perusahaan agregasi jasa perjalanan online ini. Beda dengan itu, mayoritas saham Bukalapak masih dikuasai PT Emtek yang masuk ke e-commerce besutan Achmad Zaky dan Nugroho Heru cahyono ini sejak 2014. Emtek, melalui anak perusahaannya, PT Kreatif Media Karya (KMK) memiliki 49,15% saham Buka lapak dari beberapa putaran investasi yang nilainya ditaksir hampir mencapai Rp500 miliar. Namun, Emtek hanya satu dari dua investor lokal Bukalapak. Satu investor lokal lainnya adalah Batavia Incubator, perusahaan join Corfina Group dengan mitranya, Rebright Partners, spesialis inkubator dari Negeri Matahari Terbit. Dari lima investor asing Bukalapak, tiga perusahaan dari Jepang, satu dari AS, dan satu perusahaan Korea Selatan yang baru saja mengucurkan US$50 juta pada pekan lalu. Lantas apa hikmah dibali unicorn yang sudah kadung kesohor milik lokal namun nyatanya milik asing itu? Pertama, jangan cepat percaya dan bangga dengan informasi fantastis kendati berasal dari presiden atau menteri sekalipun. Check dan re-check kembali dengan teliti sebelum menyesal di kemudian hari. Kedua, start-up raksasa atau unicorn ‘asal’ Indonesia, mayoritas sahamnya dikuasai asing yg berkedudukan di Singapore. Status perusahaan unicorn yang berkedudukan di Indonesia tersebut berubah fungsi menjadi kendaraan bisnis (special purpose vehicle--SPV) yang induknya ada di Singapura. Ketiga, Temasek sebagai Holding BUMN Singapura yang mengendalikan operasional kelima unicorn di Indonesia. Pola transfer pricing digunakan sehingga barang yang dipesan relatif lebih murah dibanding barang sejenis yg ada di mall-mall dan retailer di tanah air. Keempat, Indonesia hanya dijadikan pasar, industri manufaktur di tanah air menjadi mati suri, gaya hedonis menjadi life style rakyat Indonesia pada gilirannya mematikan karya anak bangsa. Lihat saja 187 gerai 7-Eleven, 32 gerai Giant, 80 gerai Matahari, Debenhams, Metro, dan lainnya harus tutup. Kelima, unicorn yang diklaim ‘asal’ Indonesia itu kini praktis menjadi "mesin sedot" uang perusahaan-perusahaan kelompok UMKM, retailer-retailer yang terkena dampak terpaksa tutup dan melakukan PHK. Keenam, akibat bisnis unicorn dan gegacorn di Indonesia, dipastikan ekonomi berbasis kerakyatan akan hancur alias kalah bersaing, terjadi capital outflow terselubung yang menggerus cadangan devisa dan memperlebar defisit transaksi perdagangan kita. Mengingat sebagian besar barang yang di-display di unicorn itu adalah impor dengan harga subsidi. Ketujuh, sebagai perusahaan yang berbasis teknologi informasi (IT), para unicorn itu tentu memiliki pusat data para pengakses aplikasinya. Dengan kepemilikan mayoritas, para investor asing itu dapat memanfaatkan database unicorn tersebut untuk kepentingan bisnis maupun kepentingan intelijen lainnya. Karena di industri IT dikenal idiom data is the new oil. Kedelapan, dominasi asing dalam bisnis yang berbasis penguasaan data publik secara jangka panjang bisa berisiko terhadap kedaulatan ekonomian nasional. Kesembilan, dengan pola-pola kebijakan yang ditempuh pemerintah selama ini tak hanya kedaulatan ekonomi yang menjadi taruhan, namun juga kedaulatan keamanan, kedaulatan informasi semakin terbuka. Semua tentang Indonesia sudah telanjang, terang benderan, tak ada lagi rahasia negara ini yang disembunyikan. Terlihat dengan terang benderang, dalan konteks informasi unicorn, Presiden Jokowi sebagai pihak yang tertipu. Entah siapa pembisiknya. Wajar kalau kemudian Tom Lembong menjadi Limbung. Kasihan Ibu Pertiwi, seperti sedang hamil tua, menunggu lahirnya Sang Pembela Negara. Karena tak ada lagi penjaga pilar bangsa, yang ada adalah para penjual negara.[] CAPTION FOTO: Data Unicorn Indonesia berdasarkan besaran valuasi (Sumber: iNews)

Cina Pengganggu Baja, Semen, dan Tekstil Kita

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Indonesia memang butuh investasi, terutama investasi asing. Hanya saja, jika penanaman modal asing itu datang ke sini untuk merebut pasar dalam negeri lalu membunuh industri milik bangsa Indonesia, itu sama saja kita menyerahkan leher bangsa ini ke asing. Gejala itu sudah mulai terjadi pada industri semen kita. Naga-naganya, industri baja juga segera menyusul. Beberapa tahun yang lalu, para investor China membawa Yuan ke sini. Mereka mendirikan pabrik semen. Selanjutnya untuk merangsang mereka, pemerintah membuka keran impor klinker, bahan baku utama semen. Dengan begitu pabrik-pabrik baru tersebut bisa langsung berproduksi karena bahan baku melimpah. Pemerintah berharap Yuan yang ditanam di sini bisa menyerap tenaga kerja lokal lalu, tentu saja, menambah devisa. Harapan selanjutnya, hasil produksi mereka nantinya diekspor. Benar. Pabrik-pabrik asal Negeri Tirai Bambu itu kini beroperasi. Beberapa orang bekerja di pabrik itu. Hanya saja, tanpa disadari, pemerintah telah menyerahkan pasar dalam negeri kepada mereka. Mestinya pada saat Pemerintahan Joko Widodo menggeber proyek infrastrutur, industri semen berpesta pora. Semen laris manis. Nyatanya, kondisi yang terjadi justru sebaliknya, industri semen nasional babak belur. Semen China membanjiri pasar dalam negeri dengan harga murah. Kini, beberapa pabrik besar menghentikan beberapa unit pabriknya. Pabrik itu antara lain milik PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Dua pabrik itu berhenti produksi karena produksi bubuk abu-abu ini di dalam negeri sudah melebihi permintaan nasional. Politisi yang juga pengusaha, Andre Rosiade, mengungkap selain dua pabrik itu, pabrik Semen di Aceh, Semen Padang, Semen Baturaja, Semen Gresik, dan Semen Tonasa juga terpaksa menurunkan kapasitas produksinya, karena semen mereka tidak laku. Mereka kalah bersaing dengan semen China. Di sisi lain ada tiga pabrik semen baru lagi yang bakal beroperasi pada 2020/2021 di Jember, Jawa Timur; Grobogan, Jawa Tengah; dan Kalimantan Timur. “Ini akan menyulitkan lagi para produsen semen sebelumnya karena oversupply-nya bertambah lagi. Semoga kabinet yang baru nanti bisa mengerti dan bijak terhadap situasi dan kondisi industri semen ke depan,” tutur Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI), Widodo Santoso. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan kapasitas produksi di pabrik semen saat ini mencapai sekitar 100 juta ton, sementara itu tingkat konsumsi berkisar 60-68 juta ton. Jadi ada oversupply sekitar 40 juta ton. Anehnya, di tengah kondisi susah itu PT Conch Cement Indonesia, anak usaha dari pabrikan semen kelas kakap dunia Anhui Conch Cement Company (China), berencana meningkatkan kapasitas produksi hingga mencapai 25 juta ton dari saat ini hanya 2,3 juta ton per tahun. Anhui Conch Cement merupakan salah satu perusahaan terbesar di dunia versi Forbes, berada di peringkat 522 dalam daftar The World's Largest Public Companies 2018. Bos Anhui bilang konsumsi semen per kapita Indonesia masih kecil sehingga perlu ditingkatkan. Selain Conch Cement dengan merek dagang Conch, beberapa nama produk semen yang prinsipalnya dari investor China adalah Jui Shin dengan merek dagang semen Garuda. Lalu, Semen Hippo, Semen Jakarta, Semen Merah Putih dan lainnya. Merek-merek ini dijual lebih murah ketimbang semen produk perusahaan dalam negeri. Andre mengatakan industri semen lokal itu terancam karena semen dari prinsipal China diduga menjual dengan menggunakan predatory pricing atau menjual rugi. "Pasar semen lokal dalam kondisi sangat memprihatinkan atau terancam bangkrut. Kenapa itu bisa terjadi karena ada kebijakan predatory pricing, di mana investor semen China yakni semen Conchdengan sengaja menjual semen di Indonesia dengan harga merugi," katanya. Baja Pemerintah tampaknya tidak belajar dari kasus semen. Buktinya, di tengah kondisi pabrik baja dalam negeri yang sekarat pemerintah menggelar karpet merah untuk perusahaan asal China, Hebei Bishi Steel Group. Perusahaan ini membangun pabrik baja di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, dengan nilai investasi US$2,54 miliar. Pabrik tersebut rencananya yang terbesar di Asia karena mampu menyerap 6.000 hingga 10.000 tenaga kerja. Serta direncanakan beroperasi pada 2019 ini atau paling lambat 2020. Bisa dibayangkan, bila pabrik ini nanti berproduksi. Pasar baja tentu akan makin keras. PT Krakatau Steel Tbk. (KS) yang kini sedang megap-megap karena impor baja dari China akan makin sekarat. Perusahaan baja China ini mendirikan pabrik baja di Indonesia berarti telah memasuki jantungnya pasar. Nantinya, mereka tak perlu lagi mengirim baja dari negerinya. Kebutuhan baja untuk pembangunan infrastruktur di sini langsung mereka layani. Kini, Krakatau Steel memiliki utang yang sangat besar, yakni US$2,49 miliar atau Rp34,86 triliun (kurs Rp14.000) pada akhir 2018. Utang yang menggunung itu memaksa KS berencana melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada 1.300 karyawan organiknya. Menurut The South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI), pada tahun 2018, jumlah impor baja Indonesia mencapai 7,6 juta ton. Sedangkan berdasar Badan Pusat Statistik (2018), impor besi dan baja merupakan komoditas impor terbesar ketiga Indonesia. Impor benda keras ini 6,45% dari total impor. Indonesia merogoh kocek US$10,25 miliar untuk impor komoditas ini. BPS juga mencatat pada Januari hingga April 2019 Indonesia mengimpor besi dan baja dari China sebesar US$768,62 juta. Para periode tersebut neraca perdagangan Indonesia defisit sebesar US$2,56 miiar. Defisit ini tercatat lebih besar ketimbang periode yang sama tahun lalu US$1,4 miliar. Tekstil Barang China sudah menjadi pengganggu pasar bagi produk anak negeri. Selain semen dan baja, sejumlah pengusaha tekstil dan produk tekstil atau TPT belakangan ini juga secara seragam mengeluhkan membanjirnya pakaian impor dari China. Pengusaha domestik kewalahan bersaing. Harga barang China itu dijual lebih murah. Tekstil China masuk pasar Indonesia sejak perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS). Produk Negeri Panda itu yang tadinya mengalir ke negeri Paman Sam sejak Mei lalu sebagian membanjiri pasar Indonesia. Berdasarkan catatan S&P, bea masuk baru senilai 25% yang dikenakan oleh AS untuk produk impor asal China, termasuk tekstil, telah membuat produsen tekstil asal China merelokasi penjualannya ke negara-negara yang lebih bersahabat seperti Indonesia. Gempuran produk dari China itu membuat pasar tekstil dalam negeri kebanjiran pasokan (oversupply) sehingga harga pun jatuh. Di saat yang bersamaan, S&P mencatat, konsumsi masyarakat Indonesia sedang relatif lemah. Produk China kini menjadi pengganggu pasar produk-produk dalam negeri. Ini adalah masalah. Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang adil untuk melindungi industry dalam negeri. Jangan lantaran dekat dengan China, lalu dikorbankan industri bangsa sendiri. End

Tanda-Tanda Krisis Itu Makin Tegas

Oleh Hudzaifah (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tidak bisa dipungkiri roda perekonomian sepanjang Januari hingga Juli 2019 menunjukkan fenomena menarik. Terutama terjadi berbagai penurunan kinerja baik di level APBN, BUMN, korporasi hingga di level masyarakat, seolah sepakat mengatakan kita sudah memasuki periode krisis ekonomi. Narasi di atas seolah menggambarkan bahwa krisis akan datang, tidak. Justru krisis sudah datang dan menghantam seluruh infrastruktur perekonomian kita. Sehingga hanya orang-orang yang mengerti perekonomian baik dari sisi mikro maupun makro yang memahami bahwa sesungguhnya kita sedang berada dalam siklus krisis. Coba tengok saja release Badan Pusat Statistik (BPS) soal angka pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal II-2019. Release data ini menjadi begitu penting jika mengingat perekonomian Indonesia tumbuh jauh di bawah target para ekonom pada tiga bulan pertama tahun ini. Untuk periode kuartal I-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan (year-on-year--YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus ekonom sebesar sebesar 5,19% YoY. Bila pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 kembali berada di bawah ekspektasi, tentu pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2019 hampir bisa dipastikan akan mengecewakan. Asal tahu saja, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 di level 5,3%. Sejumlah perusahaan sekuritas asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group, memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%. Kalau kita berkaca ke belakang, sudah lama sekali perekonomian Indonesia tumbuh stagnasi. Bahkan, loyonya perekonomian Indonesia sudah terjadi di masa awal kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden. Diduga pertumbuhan tidak bisa eksplosif lantaran terlalu berat beban utang yang harus ditanggung APBN, sehingga penerimaan yang ada bukan digunakan untuk menggenjot pertumbuhan, tapi habis tertelan angin untuk membayar pokok dan bunga utang. Sinyal bahwa krisis itu memang ada dan sinyalnya cukup kuat datang dari pasar modal. PT Merryll Lynch Sekuritas Indonesia dan PT Deutsche Sekuritas Indonesia, sebuah perusahaan asal Amerika dan Jerman, menutup bisnis brokernya di Indonesia. Itu artinya kedua broker asing itu berhenti sebagai Anggota Broker (AB) di Bursa Efek Indonesia (BEI) per 11 Juli 2019. Padahal untuk menjadi AB di BEI tidak mudah dan tidak pula murah. Alasannya, selain sedang melakukan restrukturisasi di kantor pusat, likuiditas di pasar modal Indonesia sudah kering sehingga tak menarik lagi bagi kedua perusahaan sekuritas asing tersebut. Ini juga merupakan sinyal buruk bahwa terjadi crowding out effect di pasar. Dimana Pemerintah Indonesia begitu getol mencari likudiitas di pasar lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan bunga tinggi. Akibatnya industri perbankan, industri pasar modal, industri asuransi dan industri finance harus bersaing dengan regulator dan sekaligus operator, yang sudah pasti akan kalah. Pasar pun dikuasai Pemerintah, bank-bank, perusahaan emiten, perusahaan asuransi dan perusahan finance lambat laun tersingkir dari pasar Indonesia. Padahal tugas pemerintah seharusnya melakukan pendalaman pasar, bukannya memperkeruh pasar, sehingga likudiitas begitu sulit diperoleh oleh selain pemain Pemerintah. Tanda-tanda lain yang menunjukkan adanya krisis adalah kasus gagal bayar (default) obligasi mendera perusahaan tekstil terbesar Indonesia, PT Delta Merlin Dunia Textile. Anak usaha perusahaan tekstil ternama Duniatex Group ini dikabarkan gagal bayar bunga dan pokok surat utang senilai US$11 juta atau ekuivalen dengan Rp154 miliar (dengan kurs 14.015). Terang saja, gagal bayar ini membuat bank ketar-ketir. Setidaknya ada 10 bank kreditur yang telah menyalurkan kredit kepada anak Duniatex itu. Pada 2018 saja, duit yang mengalir dari bank-bank itu ke perusahaan tersebut senilai Rp5,25 triliun dan US$362 juta. Delta bermaksud menerbitkan obligasi senilai US$300 juta. Pada Rabu (24/7) Bloomberg melaporkan, lembaga pemeringkat S&P menurunkan peringkat utang Delta sebanyak 6 level hingga menyentuh skor CCC-, skor yang dapat dikatakan obligasi sampah (junk bond). Tidak hanya S&P, Fitch Ratings juga menurunkan peringkat utang perusahaan menjadi B- pada Kamis pekan lalu. Dalam catatan J.P Morgan, ada tiga bank plat merah yang turut menjadi kreditur anak perusahaan, salah satunya PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, yang menjadi bank terbesar dalam penyaluran kredit kedua setelah Bank Exim pada 2018. Sebelumnya potensi gagal bayar juga mengepung PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) pimpinan Setyono Djuandi Dharmono, sang penggagas penghapusan pendidikan agama di sekolah. Perusahaan ini berpotensi default atas surat utang anak perusahaan senilai US$300 juta berikut dengan bunga. Bukan hanya mereka saja yang begitu, PT Agung Podomoro Land Tbk juga sedang panik. Pemain properti ini tengah berupaya memperoleh suntikan pendanaan dari pemegang saham untuk dapat melakukan pembayaran dari sejumlah kewajiban yang jatuh tempo pada tahun ini. Selain Perjanjian Fasilitas I yang jatuh tempo Juni lalu, terdapat beberapa utang lainnya yang juga akan jatuh tempo di tahun ini antara lain obligasi sebesar Rp451 miliar yang jatuh tempo pada Desember 2019 dan obligasi senilai Rp99 miliar yang jatuh tempo pada bulan Maret 2020. Selain menunggu suntikan dari pemegang saham, perusahaan juga tengah mencari pinjaman lainnya bersama dengan kreditor yang berasal dari Perjanjian Fasilitas II. Pada 17 Juli, Fitch Ratings menurunkan rating perusahaan dan obligasi yang diterbitkan perseroan menjadi CCC- dari sebelumnya B- akibat risiko pendanaan ulang (refinancing) dan risiko likuiditas. “Penurunan peringkat mencerminkan risiko refinancing dan risiko likuiditas yang meningkat, seiring dengan penundaan rencananya mencari pendanaan pada Mei 2019 yang berniat digunakan untuk mendanai kembali obligasi domestik jangka pendek dan melunasi kredit sindikasi Rp1,17 triliun,” tulis rilis Direktur Fitch Ratings Singapore Pte Ltd Erlin Salim dalam risetnya. Dari BUMN sinyal krisis itu juga hadir. Kasus PT Krakatau Steel Tbk yang membukukan rugi Rp1,06 triliun dengan total utang mencapai Rp40 triliun, menunjukkan adanya krisis di industri baja. Bagaimana mungkin Krakatau Steel dapat bersaing dengan baja China, dimana dari negaranya sudah mendapat potongan pajak (tax rebate) 10% plus tax holiday dari Pemerintah Indonesia berupa pembebasan bea masuk 15%. Praktis baja China di Indonesia sudah unggul 25% atas Krakatau Steel, sebuah level playing field yang tidak seimbang. Anehnya situasi ini dinikmati sebagai sebuah keberhasilan mengundang investor. Investor mana yang tidak tertarik kalau dalam 5 hingga 10 tahun ke depan dapat membunuh industri baja nasional? Padahal di negara manapun selalu berusaha melindungi industri strategisnya, baja adalah industri strategis yang harus dilindungi. Andai saja founding father kita Presiden Soekarno masih hidup, dia akan memaki-maki pemerintah saat ini. Bagaimana mungkin Krakatau Steel yang dibangunnya harus diperlakukan secara diskriminatif oleh pemerintahnya sendiri. Belum lagi PT Garuda Indonesia Tbk yang ngebet membukukan laba bersih lewat window dressing. Pat gulipat laporan keuangan berhasil membuat Garuda seolah-olah membukukan laba bersih Rp70 miliar pada 2018. Ternyata setelah diaudit BPKP, pada 2018 Garuda masih harus membukukan rugi bersih Rp2,4 triliun, sungguh terlalu sandiwara keuangan yang dilakukan I Gusti Ngurah Ashkara Danadiputra dan kawan-kawan. Dirut Garuda itupun harus kena sanksi denda atas upaya minteri rakyat Indonesia lewat laporan keuangan palsu, lewat financial engineering, bahkan saham Garuda pun tergelincir dibuatnya. Belum lagi PT Pertamina yang seharusnya menyumbang dividen laba paling besar ke APBN, justru mendapati ketidakjelasan berapa laba bersih yang sebenarnya. Presiden Jokowi menyebut laba bersih Pertamina sedikitnya Rp20 triliun, sementara laporan internal Pertamina menyebutkan sekitar Rp5 triliun. Padahal di 2016 Pertamina pernah mengalahkan Petronas dengan membukukan laba bersih Rp42 triliun, saat itu Petronas hanya membukukan laba bersih Rp36 triliun. Apa yang terjadi hari ini, di tengah ketidakjelasan laba bersih Pertamina? Petronas yang 25 tahun lalu belajar ke Pertamina, pada 2018 berhasil membukukan laba bersih Rp189 triliun atau 55,3 miliar ringgit. Sungguh sebuah ironi yang sulit dihindari, seluruh laba BUMN jika dikumpulkan hanya Rp188 triliun, masih lebih besar laba bersih satu Petronas. Ironi yang mencolok mata kita. Lepas dari problematika yang melanda ekonomi nasional, ekonomi mikro dan makro, yang jelas krisis itu sudah berlangsung. Dan itu direpresentasikan dari data-data yang kami urai di atas. Tinggal seberapa serius Pemerintah untuk membenahi krisis ini, sebab jika asumsi para menteri masih yang itu-itu juga, maka kita sangat meyakini krisis ini akan semakin luas dan dalam. Itu sebabnya Presiden Jokowi harus memilih menteri yang tepat, yakni yang memiliki track record membenahi APBN. Bukan sebaliknya melanjutkan tradisi menambal APBN yang defisit dengan utang, utang dan utang. Bisa-bisa Republik Indonesia tenggelam dibuatnya. End.

Kasus Gagal Bayar, Tanda-tanda Awal Krisis?

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Krisis ekonomi mulai mengintip. Sejumlah perusahaan menunjukkan gejala gagal bayar. Kasus terbaru gagal bayar obligasi mendera perusahaan tekstil terbesar Indonesia, PT Delta Merlin Dunia Textile. Anak usaha perusahaan tekstil ternama Duniatex Group ini dikabarkan gagal bayar bunga dan pokok surat utang senilai US$11 juta alias Rp154 miliar (estimasi kurs 14.015). Terang saja, gagal bayar ini membuat bank ketar-ketir. Setidaknya ada 10 bank kreditur yang telah menyalurkan kredit kepada anak Duniatex itu. Pada 2018 saja, duit yang mengalir dari bank-bank itu ke perusahaan tersebut senilai Rp5,25 triliun dan US$362 juta. Delta bermaksud menerbitkan obligasi senilai US$300 juta. Pada Rabu (24/7) Bloomberg melaporkan, lembaga pemeringkat S&P menurunkan peringkat utang Delta sebanyak 6 level hingga menyentuh skor CCC-, skor yang dapat dikatakan "junk" alias sampah. Tidak hanya S&P, Fitch Ratings juga menurunkan peringkat utang perusahaan menjadi B- pada Kamis pekan lalu. Dalam catatan J.P Morgan, ada tiga bank plat merah yang turut menjadi kreditur anak perusahaan, salah satunya PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., yang menjadi bank terbesar dalam penyaluran kredit kedua setelah Bank Exim pada 2018. Sebelumnya potensi gagal bayar juga mengepung PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA). Perusahaan ini berpotensi default atas surat utang anak perusahaan senilai us$300 juta berikut dengan bunga. Bukan hanya mereka saja yang begitu. PT Agung Podomoro Land Tbk. juga sedang panik. Pemain properti ini tengah berupaya memperoleh suntikan pendanaan dari pemegang saham untuk dapat melakukan pembayaran dari sejumlah kewajiban yang jatuh tempo pada tahun ini. Selain Perjanjian Fasilitas I yang jatuh tempo Juni lalu, terdapat beberapa utang lainnya yang juga akan jatuh tempo di tahun ini antara lain obligasi sebesar Rp451 miliar yang jatuh tempo pada Desember 2019 dan obligasi senilai Rp99 miliar yang jatuh tempo pada bulan Maret 2020. Selain menunggu suntikan dari pemegang saham, perusahaan juga tengah mencari pinjaman lainnya bersama dengan kreditor yang berasal dari Perjanjian Fasilitas II. Pada 17 Juli pekan lalu, Fitch Ratings menurunkan rating perusahaan dan obligasi yang diterbitkan perseroan menjadi CCC- dari sebelumnya B- akibat risiko pendanaan ulang (refinancing) dan risiko likuiditas. "Penurunan peringkat mencerminkan risiko refinancing dan risiko likuiditas yang meningkat, seiring dengan penundaan rencananya mencari pendanaan pada Mei 2019 yang berniat digunakan untuk mendanai kembali obligasi domestik jangka pendek dan melunasi kredit sindikasi Rp1,17 triliun," tulis rilis Direktur Fitch Ratings Singapore Pte Ltd Erlin Salim dalam risetnya. Pintu Krisis Fuad Bawazier menilai di banyak negara krisis ekonomi sering diawali dengan gagal bayar utang, baik utang negara ataupun utang swasta. Lalu, belakangan, sejumlah ekonom juga mencemaskan besarnya utang badan usaha milik negara atau BUMN. "Kecemasan-kecemasan itu bisa dipahami mengingat umumnya proyek yang dibiayai utang kurang ekonomis pembangunannya dan kurang produktif setelahnya," kata Menkeu Kabinet Pembangunan VII ini, dalam keterangannya, Rabu (24/7). Ekonom senior Rizal Ramli sekendang sepenarian dengan Fuad. “Kalau ekonomi tidak segera dibenahi dikhawatirkan krisis 1998 kembali terjadi,” katanya seperti dikutip RMOL, Rabu (24/7). Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur ini menyampaikan kalau tidak ada langkah-langkan cepat dan jitu memperbaiki ekonomi, dikhawatirkan akan banyak perusahaan yang menyusul. "Kalau tidak hati-hati bisa menyeret yang lainnya. Belajarlah dari krisis 1998," katanya. Kegaduhan di PT Krakatau Steel, Asuransi Jiwasraya, PT Garuda, isu membengkaknya utang BUMN Karya, dan besarnya kredit bermasalah di bank pelat merah juga dinilai Fuad masih menjadi sorotan. Meski begitu menurutnya sejauh ini belum ada berita kegagalan BUMN bayar utang. Fuad justru heran gagal bayar utang justru diawali oleh pihak swasta. Khusus gagal Grup Duniatex, dia menilai kegagalan perusahaan ini membayar obligasi merupakan hal tidak wajar. "Tetapi di luar dugaan, gagal bayar utang justru diawali oleh pihak swasta dari industri tekstil. PT DMDT dari Group Duniatex yang menerbitkan obligasi US$300 juta pada bulan Maret tahun ini gagal bayar kupon obligasinya. Aneh sekali obligasi yang baru berumur 3-4 bulan sudah gagal bayar kupon," kata Fuad curiga. Fuad mengatakan hal ini bisa jadi penipuan. Duniatex juga sudah berutang dari sindikasi bank, termasuk Indonesian Eximbank sebesar Rp17 triliun. Belum lagi kredit yang didapatkan pada tahun 2018. "Menjadi lebih mengejutkan lagi ketika JP Morgan mengabarkan bahwa dalam tahun 2018 Group Duniatex telah menerima kredit US$362,3 juta dan Rp5,25 triliun," lanjutnya. Kegagalan bayar utang ini, meski baru kupon, tentu menghancurkan nilai obligasi tersebut sebagai junk, dan mau tidak mau pemegangnya membukukan sebagian kerugian. Kejadian ini, bisa mencemaskan pasar modal dan meningkatkan kredit macet perbankan. Bukan cuma Duniatex saja yang penilaiannya menurun, kredit rating Indonesia pun bisa saja terkena imbasnya. "Jika itu terjadi, merupakan signal awal krisis ekonomi Indonesia," tegasnya. Menurut Fuad, pemerintah tidak pada posisi yang mampu menolong pada saat ini. Berbeda dengan saat krisis moneter tahun 1998 ketika pemerintah mampu bertindak sebagai penolong swasta yang gagal bayar utang. Jadi, sebaiknya semua pihak, khususnya pemerintah waspada dan sedia payung sebelum hujan. Jangan jumawa bilang ekonomi sedang kuat. "Sekali lagi jangan berasumsi apalagi berkoar bahwa ekonomi kita kuat, dan ketika krisis benar- benar terjadi cari kambing hitam. Selalu ada solusi asal mau mikir," ujar Fuad.

Untung Saldo Rekening Eror, bukan Rush

Oleh Iriani Pinontoan (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ekonomi nasional memang dalam kondisi parah. Seharusnya tidak diperparah transaksi perbankan carut marut dalam dua hari terakhir. Nasabah bank plat merah terkaget-kaget. Sejak Sabtu pagi (20/7), nasabah melaporkan rekening mereka bertambah. Sebagian lainnya berkurang. Buat yang bertambah, tentu menyenangkan. Sebaliknya, berkurang bisa panik.Apalagi jika kurangnya banyak. Meskipun sudah ada penjelasan resmi dari Corporate Secretary Bank Mandiri, Rohan Hafas tentang terjadinya perubahan drastis saldo akibat sistem eror, tetap menyisakan tanya. Mengapa terjadi jika proses tutup buku akhir minggu itu rutin? Investigasi sementara, ada memory deffect atau cacat pada sistem perangkat keras (hardware). Saat data nasabah, sekitar 15 juta dipindahkan dalam sebuah backup server, kemudian core server memproses transaksi yang terjadi sehari sebelumnya, ketika dipindahkan kembali ke backup server terjadi eror. Saldo nasabah pun tertukar. Nasabah panik. Tiba-tiba saldo mereka berkurang drastis,tapi juga ada yang bertambah drastis sampai Rp 95.000.000 juta. Luar biasa.Pencatatan janggal itu memicu nasabah ramai-ramai mendatangi Bank Mandiri, seperti terjadi di Balikpapan. Mereka antri bukan menarik tabungan, tapi memastikan rekennig mereka aman-aman saja. Sekitar 1,5 juta nasabah (10%) Bank Mandiri mengalami perubahan drastis saldo rekening. Saldo mereka tertukar. Sejak Sabtu sore pukul 15.30 WIB, normalisasi transaski pelayanan sudah pulih kembali. Internet banking, SMS banking, Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan electronic data capture. Meski normal, tapi semalam dapat informasi dari netizen di Perancis, hanya untuk mentransfer masing-masing Rp 1.000.000 ke Bank Mandiri dan BCA, ternyata gagal. Rohan Hafas menjelaskan, meski sudah normal, namun sebanyak 2.670 rekening nasabah tetap diblokir. Kantor cabang diperintahkan menghubungi nasabah yang melakukan penarikan dan transfer karena tidak mengetahui permasalahan sistem yang eror. Kejadian ini bisa menimbulkan berbagai spekulasi. Ada netizen menulis, jangan-jangan peretas membobol perangkat perbankan. Ada juga pendapat, sengaja dibuat agar nasabah tidak menarik dana serentak (rush).Bank bisa collaps. Beberapa waktu belakangan ini, warga net ramai-ramai menyuarakan agar segera menarik tabungan. Kenapa, karena pemerintah sedang mengalami kesulitan keuangan, termasuk bank milik pemerintah ( BUMN). Sebagian menyarankan invetasi emas atau membeli dinar.Rush sangat menakutkan bagi perbankan. Era digital memang memaksa perbankan melakukan perubahan ekstrim, jika tidak ingin tergilas. Sepuluh tahun lalu, bank ramai perbanyak cabang di dalam maupun luar negeri. Sejalan perkembangan smartphone cukup bertransaksi dari mana saja tanpa harus ke bank. Mau atau tidak,bank harus mengurangi kantor cabangnya. Kalau pun dipertahankan, hanya cabang di luar negeri. Dilematis. Belum lagi makin banyak pilihan aplikasi bertransaksi, seperti dilakukan perusahaan-perusahaan online. Makin mudah, semudah memencet tombol smartphone.

Apakah Konsumsi MSG Berbahaya Bagi Kesehatan?

JAKARTA, FNN - Untuk meningkatkan rasa makanan menjadi lebih gurih, sering kali digunakan zat tambahan, di antaranya MSG. Tapi apa sebenarnya efek MSG dan amankah untuk dikonsumsi? Pakar Gizi Prof. Dr. M. Hardinsyah. M.S mengatakan, munculnya anggapan tentang bahaya MSG bagi kesehatan pertama kali dikemukakan oleh Dr. Ho Man Kwok setelah berkirim surat ke New England Journal of Medicine pada tahun 1988. Dalam surartnya dia menceritakan kemungkinan penyebab gejala yang dia alami setiap kali makan di restoran Cina di Amerika Serikat. Belakangan gejala itu dikenal dengan istilah “Sindrom Restoran China”. Namun, dia bilang, MSG atau monosodium glutamat atau oleh masyarakat tanah air dikenal vetsin sama sekali tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. Apa yang dirasakan oleh Ho Man Kwok merupakan reaksi dari tubuhnya yang alergi dengan bahan yang terkandung dalam zat glutamate tersebut. "Berdasarkan sebuah penelitian memang ditemukan ada sebagian orang merasa alergi dengan MSG," kata Hardi, sapaan akrabnya ketika menjadi pembicara dalam diskusi "Gizi Seimbang dari Bahan Tambahan Pangan Halal" yang diselanggarakan oleh Forum Warta Pena (FWP) dan Persatuan Pabrik Monosodium Glutamate dan Glutamic Acid Indonesia (P2MI) di Hotel Ibis Tamarin, Sabang, Jakarta Pusat, Rabu (19/6/2019). Pada perkembangannya, pihak produsen MSG -Ajinomoto,SASA, miwon yang merupakan anggota P2MI, menciptakan penyebab rasa lainnya yang dikenal dengan nama UMAMI. UMAMI ini terdiri dari tiga zat gizi, yaitu glutamat, natrium, dan air. Sama halnya dengan MSG, penyedap rasa ini juga tidak berbahanya bagi tubuh manusia. Bahkan jika zat glutamate ini dikomsusmsi secara terus menurus, tak akan ada pengaruh kesehatan bagi pemakainya. “Dikomsumsi hingga Sampai 5 gram pun tak ada pengaruh terhadap kesehatan dan kondisi ini sama dengan manusia yang tidak mengkomsumsi MSG,” kata dia. Peryataan Hardinsyah ini diperkuat oleh Tetty R. Sihombing, pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM RI. Dia yang hadir menjadi pembicara di diskusi ini memaparkan berdasarkan hasil penelitian Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) dari Badan Pangan Dunia milik PBB serta WHO, menempatkan MSG dalam kategori bahan penyedap masakan yang aman dokonsumsi dan tidak berpengaruh pada kesehatan tubuh. Temuan ini diperkuat oleh European Communities Scientific Committee for foods pada tahun 1991. Selanjutnya, Badan Penagwas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) pada tahun 1995 menyatakan bahwa MSG termasuk sebagai bahan bumbu masakan, seperti halnya garam, merica, dan gula, sehingga aman bagi tubuh. “MSG tidak menimbulkan bahaya terhadap kesehatan karena memiliki Acceptable Daily Intake (ADI) not specified,” terang Tetty. ADI not specified adalah istilah yang digunakan untuk bahan tambahan pangan yang mempunyai toksisitas yang sangat rendah, berdasarkan data--kimia, biokimia, toksikologi, dan data lainnya. Sementara, Ketua Persatuan Pabrik MSG & GA Indonesia (P2MI) M. Fachrurozy mengatakan, Bahan Tambahan Pangan (BTP) seperti, MSG atau vetsin di industri pangan diatur dengan ketat dan baik oleh BPOM dengan kaidah penggunaan batas maksimum. Sebagai contoh MSG, merupakan BTP yang berfungsi untuk menguatkan rasa UMAMI atau gurih. Menurutnya, MSG yang komponen terbesarnya adalah 78% glutamat merupakan asam amino esensial yang juga dihasilkan oleh tubuh. MSG sebagai BTP memiliki ADI (acceptable daily intake) not specified. Kelompok BTP dengan ADI not specified, menunjukkan bahwa BTP tsb digolongkan pada BTP yang toksisitasnya sangat rendah berdasarkan data kimia, biokimia, toksikologi dan data lainnya. Jumlah asupan BTP tersebut menurut WHO tidak menimbulkan bahaya . (rob)