EKONOMI

Kalau Ahok Kangen Bentak-bentak, Kerja di Swasta Saja

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Nama Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok kembali menghebohkan publik. Kali ini penyulutnya adalah kemungkinan besar dia masuk ke salah satu BUMN. Bisa sebagai komisaris utama, bisa juga sebagai direktur utama (dirut). Bahkan sudah banyak yang menyebut Ahok akan menjadi dirut Pertamina atau PLN. Dia sudah dipanggil Menteri BUMN Erick Thohir. Pokoknya, hampir pasti Ahok menjadi petinggi BUMN. Apalagi, Presiden juga mendukung penuh. Jokowi malah salut dan yakin pada kemampuan Ahok. Tapi, publik bereaksi keras. Ada tiga hal yang menjadi sorotan. Pertama, soal kemampuan (profesionalisme) Ahok di bidang bisnis. Dan kedua, soal dugaan keterlibatan Ahok di sejumlah kasus korupsi. Ketiga, watak dan sifat-sifat Ahok. Mengingat ketiga hal inilah, publik berpendapat Ahok tidak layak bekerja di BUMN. Pertama, soal kemampuan bisnis. Menurut para pengamat ekonomi-bisnis, Ahok tidak punya rekam jejak dalam mengelola sebuah perusahaan. Apalagi perusahaan besar yang beraset besar pula –seperti Pertamina. Kalau Ahok dipaksakan masuk ke BUMN, diperkirakan akan menimbulkan kegaduhan. Misalnya, dia akan mengatakan begini, sementara para staf senior mengatakan harus begitu. Yang kedua, soal dugaan keterlibatan Ahok di sejumlah kasus korupsi. Ada kasus RS Sumber Waras. Di kasus ini, hasil audit BPK menunjukkan ada kerugian negara yang cukup besar. Ada kasus Taman BMW dan kasus lahan Cengkareng Barat. Ketiga kasus ini terkait soal lahan. Patut diduga negara mengalami kerugian ratusan miliar rupiah di dalam ketiga kasus ini. Kemudian, ada pula dugaan korupsi terkait penyaluran dana CSR (corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan) yang melibat Ahok Centre sekitar 2016. Patut juga diduga ada korupsi dalam proyek reklamasi yang melibatkan Ahok. Semua dugaan korupsi itu masih menggantung di atas langit Ahok. Dan juga akan terus membayangi langkah-langkah mantan wagub DKI era Jokowi itu. Inilah salah satu aspek yang akan memberatkan Ahok. Yang ketiga, soal watak Ahok yang terbiasa memaki-maki bawahannya. Suka membentak-bentak stafnya di depan umum. Penuh keangkuhan. Dia memang hebat di bidang bentak-membentak. Juga maki-memaki orang. Itulah yang dia tunjukkan semasa menjabat gubernur. Tidak diragukan kemampuannya untuk urusan teriak-teriak menggunakan kata-kata kasar dan kotor. Ahok tidak segan-segan mengucapkan kata t*ik, dll. Kekasaran dan keangkuhan Ahok bisa menyulut kegaduhan besar. Di Pertamina, serikat pekerja di situ awal-awal menyatakan penolakan terhadap Ahok. Di kalangan akar rumput pun, penolakan Ahok masuk BUMN sangat gencar. Banyak sekali artikel argumentatif di media sosial yang menjelaskan agar Ahok tidak diangkat menjadi petinggi BUMN. Bahkan berbagai diskusi berlangsung di banyak tempat. Dengan pembicara para pakar bisnis dan manajemen. Rata-rata pengamat berkesimpulan bahwa Ahok tidak pas memegang posisi di BUMN. Itulah yang menjadi fakta. Penolakan terhadap Ahok sangat keras dan meluas. Tapi, kelihatannya, para penguasa diperkirakan justru akan meremehkan penolakan itu. Jokowi dan Erick tak akan hirau dengan protes publik. Tinggal Ahok sendirilah yang berpikir. Bijak atau tidak masuk ke BUMN. Kita hanya bisa mengatakan, kalau Ahok kangen membantak-bentak orang atau memaki-maki seenaknya dengan teriakan keras, sebaiknya dia bekerja di perusahaan swasta saja. Bukankah banyak perusahaan yang cocok dengan gaya Ahok?[] 21 November 2019 Penulis wartawan senior.

Pajak Jeblok, Begini Tanggapan Komisi XI DPR RI

By M H Minanan Jakarta, FNN – Anggota Komisi XI DPR RI, M. Sarmuji membuka suara menanggapi perihal pendapatan penerimaan pajak oleh pemerintah Indonesia yang mengalami penurunan pada kuartal III 2019 di ruang kerjanya, Rabu (18/11). Menurutnya, dengan kondisi kondisi ekonomi saat ini Pemerintah harus berupaya untuk menggenjot penerimaan pajak Indonesia yang menurun atau mengalami kondisi kurang baik. “Penerimaan pajak Indonesia pada kuartal III 2019 mengalami kondisi yang tidak aman,” tuturnya pada pembukaan wawancara singkat diruang kerjanya. Kalau dibandingkan dengan januari – oktober 2018. Saat itu penerimaan perpajakan secara nominal memang lebih rendah yaitu Rp. 1.160,66 Triliun, namun secara presentasi terhadap target jauh lebih baik yaitu mencapai 71,73%. Mengutip riset CNBC Indonesia, Selasa (19/11/2019). Perolehan pajak yang meleset jauh dari target ini, memicu tafsir yang tak berkesudahan. Mengingat waktu yang ditempuh sangat sempit sehingga butuh kerja ekstra untuk dapat memenuhi target. “melakukan sesuatu untuk mencapai target setahun dalam satu setengah bulan itu tidaklah mudah, sudah sangat terbatas apa yang mau dilakukan”, pungkasnya pada pembukaan obrolan. Saat ini per Januari – Oktober 2019 tercatat Rp. 1.173,9 triliun. Angka ini hanya 65,7% dari target yang ditetapkan dalam APBN 2019 sebesar Rp. 1.786,4 triliun atau 82,5%. Artinya pemerintah bekerja ekstra keras mengumpulkan Rp. 612,5 triliun dalam tempo satu setengah bulan sebelum 2019 berakhir. Dia pun menambahkan, dengan fakta ini, suka tidak suka memang harus diakui, pertumbuhan penerimaan pajak mengalami penurunan 16.8% dari target APBN yang ditentukan oleh Pemerintah. “Setidak-tidaknya itu, ada beberapa yang mungkin masih bisa dipacu, misalkan dengan cara memanfaatkan automatic change of information pertukaran data dari Negara lain, tentang warga Negara Indonesia yang memiliki uang (kekayaan) diluar negeri. Kalau itu bisa memajukan potensi pajak, itu bisa dikejar”, ujar Sarmuji menyarankan, disampaikan saat diwawancarai diruang kerjanya Gedung Nusantara I DPR RI, Rabu (20/11/2019). Dewan dari Fraksi Golkar ini mengatakan, haru ada upaya dari pemerintah secara cerdas dalam memperhatikan sektor – sektor potensial, yang memberikan inkam kepada Negara. “Yang bisa dilakukan ialah menggali sektor – sektor potensial, misalkan sektor perdagangan, industry, konstruksi masih bisa di optimalkan penerimaannya serta mengggali wajib pajak potensial seperti profesi yang menghasilkan duit banyaklah,” tandasnya menyarankan. Dalam pemaparan dia juga menyinggung pola dan cara Negara – Negara maju membangun tumpuan pajak Negara. Optimalisasi pajak banyak dihasilkan dari wajib pajak perorangan dan bukan wajib pajak badan. Hal ini disebabkan, kesadaran membayar pajak dari masing – masing orang itu sudah cukup tinggi sehingga potensi pajak secara individual pun menjadi besar. Sehingga penyelesaian pajak di Indonesia saat ini yang dapat dilakukan adalah pengendalian sektor wajib pajak NPWP yang efektif dan keterbukaan pelaporan serta ketaatan membayar wajib pajak pribadi itu yang memungkinkan untuk dilakukan dalam waktu satu setengah bulan ini, untuk mengejar target penerimaan perpajakan tahun 2019 ini.

Biar Bagaimana Anies Lebih Jago Soal Anggaran

Oleh Hudzaifah Jakarta, FNN - Dua pekan terakhir Partai Solidaritas Indonesia (PSI) getol menyoroti anggaran aneh dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta untuk tahun 2020. Saking getolnya, sampai-sampai jatuh pada asumsi bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terperangkap korupsi atau setidaknya akan melakukan korupsi. Sinyalemen demi sinyalemen, pernyataan di televisi dan media cetak, sampai kiriman bunga pujian kepada PSI. Tampak adanya onani dan serangan politik yang tak bermutu, dengan substansi yang kosong dan modus yang amatiran. Celakanya media mainstream seperti kerbau dicucuk hidung, membebek dan membeo atas arus broken image atas prestasi Anies Baswedan di DKI Jakarta. Tengok saja kritik PSI, mereka sudah mengirim surat kepada Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI untuk meminta dokumen Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran (KUA-PPAS) diunggah di website resmi apbd.jakarta.go.id. Bahkan pihaknya menawarkan untuk membuka dokumen anggaran sampai level komponen. Agar ada transparansi. Penemuan PSI terkait anggaran lem aibon sebesar Rp82,8 miliar dan ballpoint sebesar Rp124 miliar dianggap PSI menjadi hal yang mengkhawatirkan. Soal proses penganggaran DKI, menurut PSI, bukanlah yang pertama kali bagi Anies. Seharusnya ada pemeriksaan yang berjenjang yang dilakukan jajaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). "Itu sebenarnya agak gawat ya kondisi penganggaran DKI Jakarta saat ini. Polemik lem aibom hanya pemantik saja. Lalu Pak Anies bilang masalah ini karena sistemnya enggak smart. Ini Saya pikir ada proses mengalihkan tanggung jawab. Harusnya ada pemeriksaan berjenjang," tutur Juru Bicara PSI Rian Ernest Tanudjaja. Ia juga menyinggung temuan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran soal usulan anggaran DKI 2020 yang tidak wajar. Misalnya seperti penganggaran buku folio untuk program wajib belajar sebesar Rp78,8 miliar. Sampai di sini teriakan PSI sepertinya meyakinkan, tapi sesungguhnya seperti pahlawan kesiangan. Paling tidak ada beberapa hal yang perlu disoroti dari laku politik partai ingusan ini memainkan isu. Pertama, beberapa hari sebelum PSI berteriak lantang di ruang publik, Anies di internal sudah memarahi dan meminta menghapus anggaran aneh dimaksud. Bahkan dalam beberapa video penjelasan Anies, bahwa anggaran itu pada gilirannya akan hilang kalau tidak bisa disuguhkan secara wajar dan rasional. Bahkan kejadian ini sudah terjadi hampir setiap tahun dan kritik Anies sangat keras pada SKPD-SKPD. Artinya, teriakan PSI itu bukan sebuah temuan baru, justru Gubernur Anies yang lebih dahulu mengetahui. Tapi membeo atas temuan Anies tapi dalam narasinya seolah-olah Anies yang berniat melakukan korupsi anggaran. Sampai di sini ruang publik sangat paham, sampai-sampai mantan Gubernur Sutiyoso mengeluh atas laku politik karbitan PSI yang sok lantang tapi kopong. Kedua, periodesasi anggaran yang diributkan masih dalam periode dummy APBD. Artinya baik angka maupun nama anggaran masih bisa berubah, bahkan bisa hilang sama sekali. Itu sebabnya periode ini tidak elok untuk dilepas ke ruang publik, karena belum memasuki pembahasan anggaran dan masih menjadi dokumen internal. Setelah memasuki pembahasan anggaran, disitulah PSI dan fraksi lain dipersilakan menyoal, mengkritisi, bahkan memblow-up seluas-luasnya kalau memang ada keanehan. Selah itu dilakukan MoU antara eksekutif dan legislatif atas nama dan besaran anggaran yang akhirnya disepakati. Sampai di sini pun masih ada peluang adanya revisi anggaran yang dinamakan APBD-Perubahan. Dan siklus anggaran seperti ini hal biasa di kalangan politisi DPRD setiap tahunnya. Tapi PSI seolah ingin jadi pahlawan kesiangan dia teriak untuk sesuatu yang sifatnya internal dan dummy di ruang publik. Tentu saja publik kaget, campur bertanya-tanya, apa karena partai ingusan sehingga belum tahu sequences anggaran. Itu sebabnya William Aditya Sarana sebagai peniup peluit pertama bocoran dummy anggaran dilaporkan ke Badan Kehormatan DPRD DKI Jakarta atas keluguan dan kebingungannya soal sequences anggaran. Ketiga, sistem penganggaran elektronik (e-budgeting) yang didesain dimasa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak smart. Sistem digital e-budgeting didesain secara smart ini ternyata tidak smart, yakni tidak mampu mendeteksi kesalahan input. "Ini ada problem, sistemnya digital tetapi tidak smart. Kalau smart system, dia bisa melakukan pengecekan dan verifikasi. Dia [sistem] bisa menguji," ujar Anies. Dia menuturkan sistem e-budgeting saat ini memang sudah menerapkan digitalisasi, tetapi masih mengandalkan verifikasi manual. Imbasnya, SKPD harus menurunkan bentuk kegiatan ketika menyusun Rancangan Kegiatan Pemerintah Daerah (RKPD). Seperti diketahui, e-budgeting direncanakan sejak zaman Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2013, lewat Peraturan Gubernur (Pergub) No 145 tahun 2013. Sistem dijalankan ketika Ahok menjadi Gubernur DKI dan melakukan pembahasan APBD DKI 2015. Pergub tersebut mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005. Kala itu, Ahok sempat berseteru dengan anggota DPRD DKI terkait adanya anggaran tidak jelas atau "siluman". Pasalnya, dua versi APBD-P DKI 2014 sehingga memunculkan kasus korupsi pengadaan uninterruptible power supply (UPS) senilai Rp120 miliar. Keempat, kesalahan input anggaran bukan pertama terjadi, bahkan dimasa Gubernur DKI Joko Widodo dan Wagub Ahok, kesalahan input anggaran mencapai Rp1,8 triliun. Badan Pengelola Keuangan (BPK) Daerah DKI Jakarta pada 2014 menemukan 18.000 mata anggaran ganda. Sebagian anggaran ini dialihkan ke alokasi anggaran lain. Potensi kebocoran APBD DKI Jakarta saat itu mencapai Rp1,8 triliun jika saat itu tidak dibenahi. Khusus di Dinas Pendidikan DKI, jumlah anggaran yang dicoret Jokowi mencapai Rp1 triliun. Jadi temuan PSI ini selain tak ada seujung kuku dibandingkan temuan dimasa Jokowi-Ahok, juga bukan semacam temuan baru. Kelima, tampaknya para politisi ingusan dari PSI perlu lebih banyak belajar soal anggaran, terutama etika mengkritisi anggaran. Agar jangan sampai berniat bak pahlawan, tapi keluarannya justru menunjukkan mereka adalah pahlawan kesiangan. Anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) bidang Pencegahan Korupsi Ibu Kota Nursyahbani Katjasungkana yang dikenal orang vokal sejak zaman Soeharto hingga hari ini, menyarankan politikus PSI belajar lagi mengenai proses penganggaran Kritik PSI terhadap rancangan anggaran Pemprov DKI Jakarta dikatakan tidak tepat karena baru berupa draf pagu anggaran yang masih harus melewati tahapan panjang dan bisa diubah. "PSI mesti belajar proses penganggaran, yang dibahas ke publik [mestinya] bukan draf pagu anggaran," kata Nursyahbani. Draf pagu anggaran atau dummy anggaran itu masih tahap awal sekali, artinya kalau di Bappeda, stafnya memberikan istilah itu komponen dummy. Dan itu bukan hanya praktik di era Anies. Masa Ahok itu kan membeli penghapus sekian miliar. Nursyahbani menekankan bahwa data yang dikritik PSI dan diributkan publik masih berupa pengajuan KUA-PPAS 2020 DKI Jakarta. Komponen yang dimasukkan bukan yang sebenarnya dan hanya patokan awal saja. Sebab, kata dia, setelah itu masih ada penentuan detail komponen anggaran yang sesungguhnya, proses review, hingga perbaikan-perbaikan. Mungkin satu lagi yang belum pernah didengar politisi ingusan dari PSI, bahwa sepanjang Jokowi-Ahok memimpin Jakarta, APBD DKI selalu mendapat opini audit wajar dengan pengecualian (WDP) sejak 2014-2017 oleh BPK DKI. APBD dibawah Jokowi-Ahok dianggap wajar, tapi ada beberapa perkecualian yang harus diperbaiki. Begitu setahun Anies memimpin DKI, opini audit DKI Jakarta langsung naik kelas ke wajar tanpa pengecualian (WTP). Pengelolaan APBD DKI dianggap BPK DKI selain wajar, tak ada lagi yang dikecualikan. Artinya pengelolaan APBD di tangan Anies lebih advance dibandingkan Jokowi-Ahok yang menjadi junjungan para politisi PSI. Pendek kata, hei PSI, sekadar tahu saja ya, Anies lebih jagolah dibandingkan junjungan kalian kalau soal menyusun dan merealisasikan anggaran...! Penulis adalah wartawan senior.

Pertumbuhan Stagnasi Pemerintahan Jokowi

Oleh Hudzaifah Jakarta, FNN - Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2019 hanya 5,02%. Angka ini semakin mempertebal keyakinan publik bahwa Presiden Jokowi gagal merealisasikan janji politiknya untuk menjaga pertumbuhan ekonomi minimal 7%. Realisasi pertumbuhan 5,02% itu di bawah target pertumbuhan 2019 sebesar 5,3%, juga lebih rendah dari pencapaian kuartal III 2018 yakni sebesar 5,17%. Bahkan juga lebih rendah dari pencapaian kuartal II 2019 di level 5,05%. Dari capaian pertumbuhan ekonomi tersebut, sebenarnya 55,03% disumbang oleh konsumsi rumah tangga. Pertanyaanya, mengapa realisasi pertumbuhan ekonomi Pemerintahan Jokowi seperti stagnasi di kisaran 5%? Apa yang salah dan solusi apa yang harus ditempuh Pemerintah Jokowi ke depan. Kepala BPS Kecuk Suhariyanto mengungkapkan, "Saya ulangi lagi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2019 sebesar 5,02%." Dari sumber pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2019, ada sembilan sumber pertumbuhan yang mengalami kontraksi. Jika dibandingkan dengan kuartal III 2019, pertumbuhan tertinggi dari industri pengolahan ini bersumber dari lapangan industri pengolahan sebesar 0,86% (yoy). Pertumbuhan ini diikuti perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 0,63% (yoy), sektor konstruksi sebesar 0,56% (yoy), dan informasi komunikasi sebesar 0,47 persen (yoy). Sisanya, pertumbuhan ekonomi kuartal III/2019 bersumber dari lapangan usaha lain sebesar 2,50% (yoy). Suhariyanto mengatakan industri makanan dan minuman, tumbuh sebesar 8,33% (yoy), didukung peningkatan crude palm oil (CPO) yang meningkat sejalan dengan konsumsi domestik CPO. Industri furnitur juga tercatat tumbuh 6,93% (yoy) didorong oleh meningkatnya permintaan dari luar negeri. Dia menambahkan, kontraksi terjadi pada industri karet, barang dari karet dan plastik karena menurunnya permintaan ekspor akibat perang dagang. BPS menyebut sektor ini mengalami kontraksi minus 3,42% (yoy). Sektor lain yang juga mengalami kontraksi adalah industri alat angkutan, sebesar minus 1,23% (yoy), dan industri pengolahan secara khusus untuk industri batu bara dan pengilangan migas pada kuartal III 2019 juga tercatat kontraksi sebesar minus 0,74% akibat menurunnya produksi LNG, LPG, dan BBM. “Selama kuartal III 2019 ini harga komoditas migas dan non migas di pasar internasional juga mengalami penurunan secara year-on-year, maupun quarter-to-quarter,” demikian Suhariyanto. Sebenarnya trend penurunan pertumbuhan ekonomi menurun ini tak hanya menjadi monopoli Indonesia. China yang pada kuartal III tahun lalu masih mampu tumbuh 6,5%, pada kuartal tahun ini tinggal 6%. Sementara pertumbuhan Amerika Serikat pada periode yang sama turun dari 3,1% menjadi 2%. Begitu pula pertumbuhan ekonomi Singapura pada periode yang sama turun dari 2,6% menjadi 0,1%. Sedangkan Korea Selatan turun tipis 2,1% menjadi 2%. Jika dibandingkan Asean, pertumbuhan Indonesia lebih rendah dibandingkan Laos (6,8%), Kaboja (6,5%), Filipina (5,7%), dan Vietnam (7,3%). Tapi memang pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi dibandingkan Thailand (3,5%), Malaysia (4,5%), dan Brunei (0,5%). Jika melihat lebih makro, setidaknya ada beberapa penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III 2019 melemah. Pertama, dampak perang dagang antara China dan Amerika yang meluas ke Eropa, India, Jepang dan Korea Selatan. Hal ini tentu saja berdampak pada Indonesai sebagai partner dagang negara-negara sahabat tersebut. Defisit Indonesia Kedua, terjadi penurunan harga minyak dalam beberapa bulan terakhir, berdasarkan harga ICP dari US$71,64 menjadi 59,81 per barel. Hal ini menyebabkan penerimaan dari sektor migas ikut menurun. Ketiga, realisasi belanja APBN pada kuartal III 2019 hanya 22,75% dari pagu anggaran. Sehingga tidak mampu memompa pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Keempat, realisasi investasi dalam tiga bulan paruh ketiga tahun ini hanya 14% hingga 15%. Sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami stagnasi. Kelima, tingkat pencapaian penerimaan pajak yang rendah, terutama dari sektor pertambangan. Sampai akhir September 2019 penerimaan sektor ini baru mencapai Rp 43,2 triliun. Angka ini, tumbuh negatif 20,6% dan lebih rendah dibandingkan periode yang sama 2018 yang mampu tumbuh 69,9%. Total penerimaan pajak sampai Agustus 2019 baru Rp801,16 triliun atau 50,78% dari target penerimaan pajak sepanjang 2019 sebesar Rp1.577,65 triliun. Diperkirakan penerimaan pajak hingga Desember 2019 antara 85% hingga 88%, lebih rendah dibandingkan tahun 2018 sebesar 92%. “Kondisinya memang berat,” kata Dirjen Pajak Robert Pakpahan. Dengan melihat track record pertumbuhan ekonomi Pemerintahan Jokowi pada 2014 hingga 2019 rerata plus minus 5%, bahkan pada 2015 sempat 4,78%, menunjukkan bahwa terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi. Padahal Pemerintahan Jokowo sudah bekerja keras membangun infrastruktur, menggelontorkan ratusan triliun dana desa, membagikan berbagai dana sosial untuk rakyat. Melihat kondisi 2020 ke depan kondisi krisis akan datang lebih nyata, tampaknya target pertumbuhan 5,4% tahun depan, dapat dipastikan semakin sulit dicapai. Itu sebabnya Pemerintah Jokowi dengan kabinet barunya harus melakukan terobosan yang keras namun bersahabat dengan pasar dan tidak menyusahkan rakyat, agar pertumbuhan ekonomi bisa dijaga di level 5,4%. Meskipun berat. Tampaknya gambaran Presiden Jokowi kepada wartawan di istana negara bahwa ekonomi akan meroket, sambil memperagakan tangannya ke atas, tampaknya hanya tinggal mimpi. Saatnya wake up, sadarlah! Penulis adalah wartawan senior.

Ekonomi dan Korupsi, Bukan Radikalisme!

Oleh Edy Mulyadi *) Jakarta, FNN - Saya seharusnya marah kepada Presiden Joko Widodo dan para menterinya. Ada beberapa alasan penting kenapa saya layak marah kepada mereka. Antara lain, sebagai rakyat dan pembayar pajak saya berhak berharap punya Presiden dan menteri yang benar-benar profesional, mengerti tugas dan fungsinya, serta berintegritas. Sebagai Presiden, Joko tidak membuktikan dirinya seorang profesional. Buktinya, dia abai terhadap kapasitas dan kapabilitas para pembantunya. Di periode kedua kekuasaannya, dia masih saja memilih orang-orang yang terbukti gagal menjalankan tugasnya. Sri Mulyani, Luhut Binsar Panjaitan, dan Airlangga Hartarto, misalnya. Mereka adalah barisan pejabat publik yang terbukti gagal tapi kembali dipercaya menghela perekonomian, agar negara maju dan rakyat sejahtera. Mantan pengusaha mebel itu juga mengabaikan aspek integritas yang harus melekat pada para pembantunya. Dari 34 menteri, ada sembilan yang pernah terseret kasus korupsi. Mereka adalah Airlangga Hartato (Menko Perekonomian), Agus Gumiwang (Menteri Perindustrian), Tito Karnavian (Menteri Dalam Negeri), Luhut Binsar Panjaitan (Menko Maritim dan Investasi), dan Ida Fauziah (Menteri Ketenagakerjaan). Empat nama lainnya, Yasonna Laoly (Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia), Abdul Halim Iskandar (Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi), Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian), dan Zainudin Amali (Menteri Pemuda dan Olah Raga). Ekonomi jeblok Pada tulisan kali ini, saya tak hendak menyentuh aspek hukum yang menyeret sembilan nama tadi pada kasus korupsi. Joko dan para hulubalangnya akan gampang mengelak, dengan mengatakan semuanya belum terbukti di pengadilan. Tentu saja, argumen itu benar. Tapi siapa pun tahu, di negeri ini politik bisa mengendalikan dan mempermainkan hukum. Jadi, sudahlah... Sejatinya, masalah yang kini Indonesia hadapi adalah ekonomi yang jeblok. Pertumbuhan yang macet. Utang yang tembus Rp5.000 triliun. Terjadi deindustrialiasi yang tak terbendung. Pengangguran yang membangkak dan lapangan kerja yang entah untuk siapa. Kita juga mengalami kemiskinan yang tak kunjung turun secara berarti. Harga-harga yang terus melambung. Pajak yang mencekik. Joko sepertinya tahu benar fakta ini. Tapi pada pidato pelantikannya, dia telanjur mengumbar mimpi, bahwa pendapatan rakyat Indonesia bakal mencapai Rp27 juta per bulan. Pertanyaanya, apakah dia tahu bahwa agar penduduk berpendapatan Rp27 juta per bulan pada 2045, itu artinya Indonesia harus tumbuh 7,5% sampai 8% setiap tahun berturut-turut selama 26 tahun ke depan? Padahal, fakta menunjukkan selama lima tahun terakhir (dan itu artinya, selama pemerintahan Joko periode pertama) ekonomi kita cuma berkutat di angka 5%? Stigma radikalisme Tapi, entah karena bisikan siapa, Joko kini sibuk mengalihkan perhatian rakyat pada isu radikalisme. Itulah sebabnya, para menterinya rajin menggonggong soal ini di kementerian masing-masing. Dan, yang membuat darah naik ke ubun-ubun, tudingan radikalisme para pejabat publik tersebut diarahkan kepada Islam dan ummat Islam. Bahkan, Fachrul Razi yang jadi menteri agama pun mengaku secara khusus mendapat perintah dari mantan Walo Kota Solo itu untuk memerangi radikalisme. Razi, misalnya, begitu diangkat langsung proklamasi bahwa dia bukanlah menteri agama Islam. “Saya adalah Menteri Agama Republik Indonesia. Di dalamnya ada agama-agama lain,” ujarnya kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (23/10). Tapi anehnya, tak lama berselang, dia langsung menebar ancaman kepada para ustadz dan penceramah yang dianggapnya menebar radikalisme dan perpecahan. Pertanyaan mendasar buat Razi, katanya anda bukan menteri agama (hanya) Islam melainkan juga agama-agama lain, tapi kenapa tudingan radikalisme dan perpercahan bangsa hanya anda tujukan kepada para ustad dan kyai? Bagaimana dengan para pendeta di gereja, biksu di vihara, tokoh agama di pura dan lainnya? Apa menurut anda mereka pasti tidak radikal? Lalu parameter radikal seperti apa? Apakah ustadz yang menyampaikan dalil Qur'an dan Sunnah kepada kaum muslimin masuk katagori radikal? Bagaimana dengan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu? Apakah ini juga pasal ini termasuk radikal? Setali tiga uang, Mahfud MD yang diangkat sebagai Menko Politik Hukum dan Keamanan pun berkoar seputar memerangi radikalisme. Profesor hukum tata negara ini terbilang rajin menebar stigma negatif kepada Islam dan ummatnya. Bahkan sikap ‘permusuhannya’ kepada agamanya sendiri telah tampak jauh sebelum diangkat sebagai menterinya Joko. Masih ingat ketika dia mengatakan, Prabowo menang di provinsi-provinsi yang radikal? Narasi yang dikembangkan sesaat usai dilantik jadi menteri, sama dengan Razi, soal masjid yang dia stigma jadi ajang penyebaran kebencian. Sebetulnya sangat mengherankan, jika seorang Mahfud yang berlatar belakang madrasah dan nahdiyin bisa begitu memusuhi Islam. Itu barangkali seorang warganet beragama nasrani Sad Ronin @wawat_kurniawan menulis, “pak @mahfudmd kalau anda tidak yakin agama yang anda yakini itu benar dan baik serta pembawa kedamaian, mending ikut saya pak ke gereja.” Pengalihan isu Heboh narasi radikalisme yang dinyanyikan para menteri baru tentu bukan tanpa sebab. Tokoh nasional Rizal Ramli menenggarai hal ini sebagai upaya pengalihan isu dari ketidakmampuan pemerintah mengatasi masalah ekonomi yang nyungsep. “Setahun ke depan agaknya akan digoreng terus isu 3R (radikalisasi, radikulisasi & radikolisasi),” tulis RR, begitu dia biasa disapa, di akun twitternya @RamliRrizal, Ahad (27/10). Pada titik ini, kemarahan rakyat, terutama yang beragama Islam, memang layak disemburkan kepada Joko, tim ekonomi, khususnya Machfud dan Razi. Sebagai orang Islam, sudah semestinya saya akan mengerahkan semua kemampuan dan sumber daya yang saya miliki agar bisa melaksanakan semua ajaran Islam. Ini wajar dan normal. Sewajar dan senormal warga negara Indonesia yang beragama lain. Dan, kini rezim Joko menjadikan Islam dan ummatnya sebagai musuh yang musti ditumpas. Wahai penguasa, kalau benar orang Islam radikal, tentu tidak akan ada WNI yang beragama selain Islam karena semua sudah dibunuhi olang orang Islam. Tidak ada rumah ibadah selain masjid dan mushola karena yang lain sudah dirubuhkan oleh orang Islam. Faktanya justru sebaliknya. Kendati muslim mayoritas, agama lain bisa tumbuh dan berkembang secara baik. Pemeluk agama lain bukan cuma dilindungi dan dihormati, mereka bahkan bisa dan boleh meraih puncak jenjang karir dalam pangkat dan jabatan. Tak terhitung jumlah kepala daerah, jenderal dan menteri yang beragama bukan Islam. Soal toleran dan cinta mati NKRI, ummat Islam sudah khatam, bahkan sejak negara ini belum berdiri. Sebagian besar, kalau tidak disebut semua, pahlawan beragama Islam. Banyak dari mereka yang ulama, kyai, dan santri. Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Sentot Alibasyah, dan lainnya jelas berpakaian ulama. Dengan pidato menggelegar dan berulang menyebut Allahu akbar, Bung Tomo menggelorakan semangat jihad arek-arek Suroboyo mengusir tentara sekutu dari Surabaya. Hasilnya, sekutu pergi walau harus ditebus dengan lebih dari 6.000 anak muda yang mati syahid, in sya Allah. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Hasjim Asyhari, Ahmad Dahlan, Agus Salim, Natsir, Wahid Hasyim, Kasman, Abikusno, Roem, Soepomo, dan teramat banyak yang lain adalah muslim. Lalu, apakah mereka ngotot menghendaki dan memaksa Islam sebagai dasar negara? Tidak, kan? Cuma segitu? Mosok profesor sekelas Mahfud tidak bisa melihat kenyataan ini? Mosok jenderal seperti Razi tidak tahu fakta ini? Terus terang, selain marah saya kasihan kepada kalian. Profesor dan jenderal kok cuma segitu! Jadi, sudahlah. Berhentilah rezim ini menebar stigma radikalisme terhadap Islam dan ummat Islam. Masalah yang Indonesia hadapi sama sekali bukan radikalisme. Masalah kita adalah ekonomi yang terpuruk, pendapatan rakyat merosot, beban hidup yang teramat berat. Problem superberat lain adalah korupsi. Korupsi yang begitu massif telah merenggut hak-hak rakyat. Jangan lupa, para pelaku korupsi adalah merekaa yang selama ini paling nyaring berteriak saya pancasila, NKRI harga mati. Mereka itulah yang radikal yang sesungguhnya. Baiknya mulai sekarang, kalian bekerja bahu-membahu meningkatkan ekonomi kita. Joko dan kabinetnya harus ekstra sungguh-sungguh memerangi korupsi. Bukan sebaliknya malah melemahkan KPK. Dengan begitu, barulah kita boleh berharap rakyat bisa hidup sejahtera! [*] Jakarta, 29 Oktober 2019 Edy Mulyadi, wartawan senior

Sri dan Luhut Jadi Menteri Lagi, Bagus Itu

Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo pagi tadi sudah mengumumkan dan melantik para menteri yang jadi pembantunya. Komentar dan respon pun berhamburan. Ada yang pro, juga kontra. Biasa. Seperti telah diduga sebelumnya, masuknya Prabowo Subianto dalam jajaran pembantu Joko menyita porsi lumayan dominan dalam parade komentar. Yang pro bilang, Prabowo masuk untuk memperbaiki dari dalam, untuk meningkatkan kualitas pertahanan dan kedaulatan NKRI dari rongrongan musuh eksternal, dan seterusnya, dan sebagainya. Sedangkan buat yang kontra, aneka respon tersebut bermuara pada tamsil macan yang sudah benar-benar menjadi kucing. Meong, meoong, meoooong.... Tulisan kali ini sama sekali tak hendak menyinggung perkara Prabowo. Saya sama sekali tidak tertarik. Komposisi tim ekonomi Kabinet Joko jilid dua justru lebih menarik. Posisi Menteri Keuangan yang kembali dijabat Sri Mulyani Indrawati, misalnya. Tak kurang menariknya adalah, Luhut Binsar Panjaitan, yang ternyata bukan saja tetap di posisinya sebagai Menko Kemaritiman. Dia bahkan dapat _job_ (baca: wewenang) tambahan, yakni investasi. Nomenklatur resminya, Menko Maritim dan Investasi. Gaya sekaligus powerful! Banyak pihak, khususnya ekonom garis lurus yang jauh-jauh hari sudah mengingatkan Joko, agar tidak memakai dua orang ini. Sebagai Menkeu, Sri Mulyani terbukti tidak mampu membuat ekonomi Indonesia meninggalkan angka ‘kutukan’ 5%. Selain itu, pejuang neolib di garda depan ini, juga selalu menerapkan prinsip investor first dalam penyusunan APBN dan kebijkan fiskalnya. Buat investor, khususnya asing, dia rajin mengobral berbagai keringanan bahkan pembebasan pajak. Sebaliknya, untuk UMKM, Sri justru hobi menggebuk mereka dengan berbagai pungutan. Prinsip mengutamakan investor yang diterapkan Sri bukanlah hal ganjil. Memang begitu karakteristik mazhab neolib. Siapa pun penganutnya, pasti akan mematuhinya. Apalagi bila yang bersangkutan punya posisi superpenting semisal menteri keuangan, tentu prinsip ini kian menemukan wujudnya. Ketatkan Anggaran Buktinya, ya Sri ini. Saat didapuk menjadi Menkeu di Kabinet Kerja tiga tahun silam, dia langsung melakukan pemangkas sejumlah pos anggaran. Dalihnya, untuk mengamankan APBN agar defisit tidak menganga lebar. Tidak tanggung-tanggung, perempuan ini memotong anggaran hingga Rp137 triliun di APBN. Para ekonom menyebut ini sebagai kebijakan pengetatan alias austerity yang pertama. Pos angaran apa sajakah yang kena gunting tajam Sri? Dalam tempo empat periode sekaligus (kuartal IV 2016-III 2017) pos Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib menjadi korban. Khusus di kuartal II-2017, sektor pengeluaran pemerintah ini tumbuh negatif, yaitu -0,03%. Padahal, ketiga pos ini terbukti menjadi penyumbang yang cukup dominan dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan tahunan dari sektor tersebut terjun bebas dari 7% pada 2016, menjadi hanya 2% setahun berikutnya. Akibatnya, kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi keseluruhan juga turun dari 0,23% di tahun 2016 jadi cuma 0,07% pada 2017. Buat rakyat awam, tentu angka-angka tadi sangat asing. Namun dampaknya langsung mereka rasakan. Daya beli masyarakat anjlog dan mengurangi pembelian produk industri. Kalau sudah begini, tentu saja sektor industri pengolahan yang langsung berhubungan dengan daya beli masyarakat jadi lesu darah. Pertumbuhan industri pengolahan tembakau remuk-redam, dari 3,52% (2016) jadi -0,64% (2017). Begitu juga dengan tekstil dan pakaian tekstil (TPT) yang anjlok dari 8,7% (2016) ke 3,8% (2017). Hal serupa terjadi pada industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki yang terjun dari 9,4% (2016) ke 2,2% (2017). Angka-angka bertabur merah tadi bermuara pada PDB yang menciut dari 5,17% pada 2016 menjadi 5,07% di tahun 2017. Sri dan jajarannya juga terbukti gagal memanfaatkan faktor menggeliatnya sektor konstruksi dan real estat sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi. Kini, di kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi kembali mencetak posisi terendah dalam tiga tahun terakhir, 5,06%. Peneliti Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra, mencatat sejumlah kegagalan Sri sebagai Menteri Keuangan. Rasio pajak Indonesia hanya 9%-10%, termasuk yang terendah di kawasan Asia dan Afrika. Terjadi deindustrialisasi yang tak terbendung. Industri baja yang pernah menjadi andalan dan kebanggaan nasional, terus berdarah-darah digempur baja impor dari Cina. Bahkan Batam yang digadang-gadang sebagai kawasan industri unggulan hanya mampu tumbuh 2%. Sri selalu mengklaim APBN disusun dengan sangat prudent hingga sangat stabil. Padahal faktanya, APBN kita lumayan rentan. Defisit transaksi berjalan sangat besar, US$8,4 miliar. Belum lagi data yang ada menunjukkan 50% lebih surat utang Pemerintah dimiliki asing. Sedikit saja asing berulah dan melepas obligasi Pemerintah, kita bisa dibuat jungkir-balik karenanya. Masih tentang surat utang negara (SUN), sebagai pejuang neolib yang gigih, Sri selalu memberi kupon/bunga yang kelewat tinggi. Angkanya berkisar 2-3% lebih tinggi ketimbang negara-negara yang credit rating-nya di bawah Indonesia. Kalau saja Sri mau bersikap profesional, Indonesia sudah selayaknya memperoleh bunga jauh lebih murah ketimbang Filipina dan Vietnam, misalnya. Sayangnya, jangankan lebih murah, berusaha dapat bunga pada harga yang sama dengan kedua negara itu pun dia tidak lakukan. Lalu, kalau saja dia mau menegosiasikan ulang, tentu sangat bermanfaat. Tidak usah banyak, cukup 1,5% bunganya berhasil diturunkan. Maka, hasilnya setiap tahun kita bisa menghemat anggaran sekitar Rp29 triliun. Jumlah ini bisa dimanfaatkan untuk menambal BPJS kesehatan yang compang-camping. Tapi, lagi-lagi hal itu tidak dia lakukan. Memang watak neolib selalu lebih mengutamakan kepentingan majikan asing ketimbang kesejahteraan rakyatnya sendiri. Kebiasaannya mengobral surat utang dengan bunga supertinggi inilah yang amat menyenangkan para investor. Ini pula yang menjelaskan mengapa mereka tidak segan-segan menghadiahi Sri dengan gelar sebagai Menkeu terbaik dunia. Bukan itu saja, tangan-tangan asing yang tak terlihat pula yang menyelamatkan Sri dari pusaran kasus Bank Century yang menghebohkan itu. Padahal, di dalam negeri prestasi dan kinerjanya justru membuat perekonomian mandeg dan beban rakyat kian berat saja. Pada titik ini, gelar Menkeu ‘terbalik’ justru jauh lebih pas baginya. Kembalinya Sri di posisi Menkeu sudah hampir pasti buah dari titipan (tekanan?) Bank Dunia dan IMF. Paling tidak, kita bisa membaca hal ini sebagai upaya kompromi sekaligus kompensasi yang diberikan Joko atas keberatan Amerika terhadap kian dominannya pengaruh Cina pada periode pertama kekuasaannya. Sebagai petugas yang baik, Sri tentu akan menjalankan kehendak majikan asingnya, IMF dan Bank Dunia. Guna memastikan prinsip investor first berjalan dengan baik, sangat mungkin dia akan lebih eksesif dalam mengetatkan anggaran sebagai babak lanjutan. Semua itu dimaksudkan agar APBN punya dana yang cukup untuk membayar pokok dan cicilan utang yang tiap tahun mencapai Rp680an triliun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan anggaran infrastruktur yang dibangga-banggakan, dan anggaran pendidikan sebagaimana diamanatkan Undang Udang yang minimal 20%. Seperti yang sudah-sudah, Sri juga tidak akan peduli kalau untuk itu dia harus memangkas anggaran sosial berupa subsidi bagi rakyat. Itulah yang menjelaskan mengapa harga BBM, listrik, gas dan berbagai kebutuhan dasar rakyat terus melonjak-lonjak. Makelar Cina Kini, kita lihat sosok menteri ekonomi yang ‘cukup fenomenal’ lainnya, Luhut Binsar Panjaitan. Sepak terjangnya selama menjadi menteri terkesan serampangan. Semua hal dia urus. Akibatnya, banyak warga net alas netizen menjulukinya sebagai Menteri ASU (Atasi Segala Urusan). Hobinya yang suka cawe-cawe di luar tugas pokok dan fungsi (Tupoksi)nya itu, membuat Faisal Basri Faisal menghujaninya dengan kritik. Kebijakan Luhut dinilai kerap tumpang-tindih dengan kementerian-kementerian yang tidak ada kaitannya dengan sektornya. Contohnya, Luhut bernafsu sibuk di mobil listrik. Padahal, harusnya, program itu jadi domain Kementerian Perindustrian di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Luhut juga dikenal sebagai menteri yang China minded. Apa-apa Cina. Sedikit ada masalah, solusinya Cina. Dia pula yang rajin memakelari aneka proyek raksasa di negeri ini kepada para pengusaha asal Negeri Tirai Bambu. Bahkan, untuk mengatasi kemelut keuangan BPJS pun, si Opung lagi-lagi menawarkan perusahaan asal Cina sebagai solusi. Selain sebagai pejabat publik, Luhut juga dikenal sebagai pebisnis. Jaringan usahanya mengurita ke bidang pertambangan, energi, listrik, dan lainnya. Banyak pihak menuding pensiunan jenderal ini punya konflik kepentingan, terutama di area pertambangan dan listrik. Kita tentu masih ingat, bagaimana dia berupaya menghapuskan aturan kewajiban pengusaha menjual 25% batubaranya kepada PLN. Maklum, harga ekspor sedang supergurih. Dia juga yang sangat bernafsu menentang pemberlakuan harga domestik untuk batubara yang dijual ke PLN. Persoalannya kini, Joko ternyata mengabaikan semua saran dan masukan seputar figur calon menteri di periode kedua kekuasaannya. Banyak orang pun jadi uring-uringan, misuh-misuh. Tak Independen Buat saya justru sebaliknya. Sikap ndegil bin kopeg Joko ini justru bagus. Ini menunjukkan sebagai presiden dia sama sekali tidak independen. Soal Sri, misalnya, sulit dibantah bahwa posisinya kembali sebagai Menkeu adalah hasil permintaan (tekanan?) IMF dan Bank Dunia. Begitu pula dengan mempertahankan Luhut di posisi semula plus wewenang di bidang investasi juga menjadi konfirmasi betapa Joko telanjur jatuh dalam cengkeraman Cina. Dengan posisinya sebagai Menko Maritim saja Luhut sudah jadi calo bagi perusahaan-perusahaan Cina, kok. Apalagi setelah ada embel-embel investasi, dengan sendirinya dia password bagi kian derasnya serbuan pengusaha Cina ke sini. Perbedaan investor Cina dengan Jepang, Amerika, Eropa dan sejumlah negara lain adalah pada pola bedol desanya. Cina bukan cuma membuka pabrik atau membangun infrastruktur di sini, tapi juga menggerojok utang dengan jumlah fantastis, membawa bahan baku plus tenaga kerja di semua level. Kombinasi duet Sri dan Luhut dipastikan akan membuat Indonesia semakin tidak bisa kemana-mana. Pertumbuhan akan ajeg di kisaran 5% bahkan lebih rendah lagi. Mimpi Joko bahwa rakyat akan punya pengasilan Rp27 juta per bulan pada 2045 benar-benar akan jadi impian belaka. Sebaliknya, beban hidup rakat makin berat. Ketimpangan sosial kian menganga lebar. Kalau sudah begini, tinggal seberapa kuat rakyat menahan beban dan sabar. Tapi ekadar mengingatkan, sejarah Indonesia modern bercerita Soekarno dan Soeharto tumbang karena krisis ekonomi. Padahal, keduanya dikenal sebagai penguasa yang kuat. Sudah, gitu aja! Jakarta, 23 Oktober 2019

Alipay dan WeChat Pay Masih Menanti Tahun Depan

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Belakangan ini viral di media sosial tentang beroperasinya dompet digital China, Alipay. Dalam berita viral itu menyebut Alipay, anak perusahaan Alibaba China, disahkan menjadi alat bayar nontunai di Indonesia. Mereka tidak menggunakan nama "Alipay" di sini tapi menggunakan nama "DANA" supaya tidak dicurigai rakyat. Serta menggandeng EMTEK Group. “Dengan disahkan Alipay maka sirnalah kedaulatan keuangan di Republik Indonesia karena Alipay adalah e-money asing pertama yang disetujui pemerintah,” begitu sang pemosting kabar itu yang viral di Facebook dan WhattApps. Benarkah kabar itu? Kerja sama PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTEK) dan Ant Financial (Alipay) memang sudah terjadi sejak tahun lalu. Pada 21 Maret 2018, keduanya meluncurkan aplikasi uang elektronik bertajuk DANA. Ini adalah sistem yang terintegrasi dengan aplikasi lain atau open platform. Uang yang disimpan di DANA bisa digunakan di merchant lain yang menjadi mitranya. DANA memanfaatkan lisensi e-money PT Espay Debit Indonesia Koe (Espay) yang telah diakuisisi Emtek pada awal 2017. Oleh sebab itu, untuk isi ulang (top up) DANA, baru bisa dilakukan melalui Bank Virtual Account. Sejauh ini, DANA masih memproses perizinan ke Bank Indonesia (BI) agar bisa melakukan top up secara tunai atau offline seperti Alfamart, Alfamidi, dan sebagainya. EMTEK juga mengajukan izin untuk kode Quick Response (QR) supaya bisa menyasar pelanggan offline. Saat ini, DANA baru hadir dalam versi beta di BBM (Blackberry Messenger). Dengan begitu, pengguna harus mengunduh BBM terlebih dulu, baru bisa mengakses DANA pada tab ‘discover’. Masa Transisi Dompet elektronik asal China tak cuma Alipay. WeChat Pay juga sudah masuk ke sini. Kedua dompet digital ini beroperasi di Indonesia bekerjasama dengan PT Alto Halo Network Digital (ADHI), entitas anak lembaga switching PT Alto Network. Alto Halo telah menjadi mitra resmi WeChat Pay sejak 2017, meski operasinya baru berlangsung pada Januari 2018. Sedangkan dengan Alipay, perseroan telah bekerjasama sejak November 2018 dan langsung memulai operasinya. Operasi Alipay dan WeChat Pay memang kontroversial, sebab dua dompet elektronik berbasis QR Code asing ini wajib bekerjasama dengan bank umum kegiatan usaha (BUKU) 4 untuk beroperasi di Indonesia. Sementara Alto Halo adalah merchant agregator. Kerjasama dengan BUKU 4 dilakukan guna menjamin kepastian penyelesaian transaksi, sebab pelaku asing punya kewajiban untuk menempatkan dana floating minimum 30% di BUKU 4. Deputi Gubernur Bank Indonesia, Sugeng, mengatakan mereka diberikan waktu untuk menyesuaikan ketentuan yang berlaku hingga Januari 2020 mendatang. Ini seiring dengan terbitnya Peraturan Dewan Gubernur Bank Indonesia 21/18/PADG/2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code untuk pembayaran. “Semua transaksi pembayaran berbasis kode QR mesti memenuhi standar QRIS (QR Code Indonesia Standard) di mana kewajibannya akan mulai berlaku pada Januari 2020. Selama masa transisi, pelaku asing mesti meminta izin ke BI, dan memenuhi ketentuan bekerjasama dengan BUKU 4,” ujar Sugeng seperti dikutip Kontan, belum lama ini. Urusan Teknis Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik telah mengatur penerbit asing mesti bekerja sama dengan BUKU 4 salah satunya untuk menyimpan floating money minimum 30% dari portofolionya di BUKU 4. Ketentuan ini bertujuan agar transaksi penerbit asing juga masuk dalam sistem keuangan nasional. Ada dua BUKU IV yang ingin bekerja sama dengan Alipay dan WeChat Pay. Bank itu adalah BRI dan BCA. Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, mengatakan belum dapat memastikan kapan finalisasi kerja sama itu. “Pembahasan teknikal dan pola kerja samanya masih berlangsung sambil kita mempersiapkan proses izin ke regulator,” ujar Jahja kepada Bisnis, Minggu (13/10). Sedangkan Direktur Bisnis Konsumer PT Bank Rakyat Indonesia Tbk., Handayani, mengatakan tengah menunggu izin dari bank sentral untuk menjadi acquiring dan accpetance atas kerja samanya dengan penerbit asing. Ia memperkirakan akhir tahun ini, izin tersebut bisa didapatkan. Jika proses perizinan berjalan lancar, nantinya setiap mesin electronic data capture (EDC) BCA maupun BRI dapat digunakan untuk transaksi menggunakan Alipay dan WePay. Kedua aplikasi ini juga bisa digunakan untuk bertransaksi menggunakan Quick Response (QR) Code Indonesian Standard (QRIS) yang digagas BI jika sudah resmi menjalin kerja sama dengan bank di Indonesia. Sistem QRIS akan berlaku secara nasional mulai 1 Januari 2020. Sistem ini akan fokus pada penerapan QR Code payment model merchant presented mode (MPM), yakni penjual menampilkan QR Code pembayaran untuk dipindai pembeli ketika melakukan transaksi pembayaran. Nantinya seluruh aplikasi penyedia jasa pembayaran digital harus menyeragamkan QR Code mereka agar bisa membaca QRIS. Sederhananya, jika kebijakan ini berjalan para merchant tak perlu lagi memasang beragam QR Code karena hanya perlu satu QRIS yang bisa dibaca seluruh layanan pembayaran digital. Pasar uang elektronik nasional memang terakselerasi sedemikian cepat. Dari Januari 2019 hingga Juli 2019 nilai transaksi uang elektronik mencapai Rp69,04 triliun dengan volume transaksi sebanyak 2,73 miliar kali. Nilai transaksi tersebut tumbuh 184% dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai Rp24,25 triliun. Sedangkan volume transaksinya tumbuh 83,99% dibandingkan periode Januari 2018-Juli 2018 sebanyak 1,48 miliar kali. Di pasar yang terbuka, pemain dompet digital pun akan bisa masuk ke mana saja. Jadi, kenapa mesti tergaget-kaget?

Tantangan Besar Mewujudkan Swasembada Bawang Putih

Permasalahan produktivitas rendah bukan kesalahan petani. Juga bukan kesalahan lahan bumi pertiwi yang tidak cocok. Masih banyak lahan di Indonesia yang bisa, dan sangat layak untuk ditanami bawang putih. Dan ini sudah terbukti dengan Indonesia swasembada bawang putih pada tahun 1994. Tetapi, permasalahan utama produktivitas rendah kemungkinan besar disebabkan oleh kualitas benih bawang putih Indonesia kurang baik, dan kurang layak. Oleh Anthony Budiawan Jakarta, FNN - Indonesia adalah negara importir bawang putih terbesar dunia. “Menguasai” 17,6 persen pasar impor dunia pada tahun 2016. Devisa yang dikeluarkan sekitar U$ 674 juta dolar. Jumlah tersebut setara dengan Rp 9,5 triliun, bila menggunakan kurs yang berlaku saat ini. Banyak pihak merasa tidak masalah dengan kenyataan pahit ini. Karena Indonesia dianggap tidak mampu bersaing dengan produsen bawang putih asing, khususnya China. Ada pihak yang menyuarakan nada sumbang. Bahwa bawang putih tidak cocok ditanam dibumi pertiwi ini. Padahal sampai dengan tahun 1994, Indonesia dapat memenuhi seluruh kebutuhan nasionalnya dari dalam negeri. Dari hasil produksi dan penanaman di Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia ketika itu sudah mampu swasembada bawang putih. Bawang putih Indonesia saat ini kalah bersaing dengan bawang putih luar negeri adalah suatu fakta yang harus dicarikan solusinya. Tidak harus menyerah begitu saja. Pada hakekatnya, daya saing, dalam banyak bidang, bisa dibangun. Misalnya Toyota, yang mampu mematahkan hegemoni industri otomotif Barat pada tahun 1980-an. Masalah utama rendahnya daya saing bawang putih Indonesia karena produktivitas penanaman (budidaya) bawang putih sangat rendah. Dan produktivitas ini terus menurun. Hal ini mengakibatkan biaya produksi bawang putih Indonesia menjadi sangat mahal sekali. Dan terus meningkat seiring menurunnya produktivitas. Biaya produksi bisa mencapai Rp 20.000 per kilogram, bahkan bisa lebih. Di China, biaya produksi bawang putih hanya sekitar Rp 7.500 per kilogram saja. Permasalahan produktivitas rendah bukan kesalahan petani. Juga bukan kesalahan lahan bumi pertiwi yang tidak cocok. Masih banyak lahan di Indonesia yang bisa, dan sangat layak untuk ditanami bawang putih. Dan ini sudah terbukti dengan Indonesia swasembada bawang putih pada tahun 1994. Tetapi, permasalahan utama produktivitas rendah kemungkinan besar disebabkan oleh kualitas benih bawang putih Indonesia kurang baik, dan kurang layak. Bawang putih adalah tanaman yang dibudidayakan secara vegetatif. Yaitu, benih yang ditanam berasal dari siung bawang putih tersebut. Karena kemampuan bawang putih untuk melakukan reproduksi secara alami (sexually reproduction) sangat buruk. Sehingga penanaman dari benih biji-bijian, atau secara generatif, sulit dilakukan. Penanaman bawang putih secara vegetatif mempunyai kelemahan mendasar. Yaitu, rentan terjangkit virus. Dan virus tersebut akan ikut terbawa ke tanaman berikutnya. Dengan kata lain, terbawa turun menurun. Virus-virus tersebut, antara lain LYSV (Leek Yellow Stripe Virus), OYDV (Onion Yellow Dwarf Virus), atau secara keseluruhan disebut Garlic Viral Complex (GVC). Bisa mengakibatkan pertumbuhan umbi bawang putih menyusut hingga 50 - 70 persen. Artinya, umbi bawang putih yang terkena vitus akan mengecil. Dan produktivitas turun drastis. Berat umbi bawang putih Indonesia ada yang hanya 15 gram saja, bahkan kurang. Dan paling besar mungkin sekitar 25 gram. Sedangkan bawang putih China bisa mencapai 45 - 50 gram. Apakah perbedaan berat yang menyolok ini karena perbedaan varitas? Atau karena bawang putih Indonesia memang sudah terjangkit virus secara turun temurun yang membuat umbi mengecil? Mengingat penanaman bawang putih Indonesia dilakukan secara vegetatif terus menerus. Dan selama ini tidak ada pemurnian benih. Besar kemungkinan bawang putih Indonesia sudah terjangkit virus yang membuat pertumbuhannya umbinya tidak maksimal, dan kecil. Untuk bisa meningkakan daya saing bawang putih Indonesia di pasar global, Indonesia harus melakukan pemurnian benih bawang putih agar terbebas dari virus. Sehingga membuat umbi menjadi lebih besar, dan lebih berat. Selain itu, membuat produktivitas tanam meningkat tajam. Dampaknya, biaya produksi bawang putih turun drastis. Tanpa pemurnian benih, niscaya target swasembada bawang putih 2021 sulit tercapai. Bisa saja mungkin selamanya tidak akan pernah tercapai. Akibat dari produktivitas rendah, dan biaya produksi tinggi. Artinya, pemurnian benih yang terbebas virus merupakan prasyarat utama untuk bisa swasembada. Dengan benih yang terbebas dari virus, produktivitas bisa meningkat dua sampai tiga kali lipat. Petani akan lebih sejahtera. Dan, ini merupakan tantangan utama bagi kita semua untuk bisa mewujudkan swasembada bawang putih scepat-cepatnya. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Swasembada Bawang Putih bukan Ilusi

Biaya produksi yang sangat tinggi mustahil Indonesia bisa swasembada bawang putih. Karena masalah utamanya adalah tidak kompetitif biaya produksi yang jauh lebih tinggi dari China. Alokasi lahan tanam seluas-luasnya hanya sia-sia. Oleh Anthony Budiawan Jakarta, FNN - Kebutuhan bawang putih konsumsi nasional sekitar 550.000 - 600.000 ton per tahun. Hampir semua kebutuhan tersebut dipenuhi dari impor, khususnya dari China. Akibatnya, Indonesia mendapat predikat sebagai importir bawang putih terbesar. Market share sekitar 17,6 persen dari total pasar impor dunia pada tahun 2016. Devisa yang dikeluarkan sekitar U$ 674 juta dolar atau setara sekitar Rp 9,5 triliun, bila menggunakan kurs yang berlaku saat ini. Pemerintah sangat menyadari kondisi yang miris ini. Oleh karena itu, tahun 2017 pemerintah menargetkan swasembada bawang putih dapat dicapai pada tahun 2019. Target swasembada ini dimajukan dari target sebelumnya tahun 2023. Target tersebut kemudian direvisi kembali menjadi 2021. Dengan melihat waktu yang semakin dekat, banyak pihak pesimis swasembada bawang putih dapat tercapai tahun 2021. Untuk bisa mencapai swasembada bawang putih, syarat utama adalah harus kompetitif. Indonesia harus bisa bersaing dengan negara produsen bawang putih lainnya. Artinya, Indonesia harus bisa produksi bawang putih dengan biaya yang lebih rendah dari para pesaing, khususnya China. Biaya produksi bawang putih di China rata-rata sekitar U$ 520 dolar per ton, atau sekitar Rp 7.500 per kilogram. Biaya produksi ini tiga kali lipat lebih rendah dari biaya produksi bawang putih di Amerika Serikat yang mencapai U$ 1.600 dolar per ton, atau lebih dari Rp 22.000 per kilogram. Seperti Amerika, biaya produksi bawang putih Indonesia juga termasuk tinggi. Bervarisasi antara Rp 18.000 - Rp 24.000 per kilogram. Dengan biaya produksi yang tinggi seperti ini, mustahil Indonesia bisa swasembada. Meskipun pemerintah mengalokasikan lahan tanam seluas-luasnya. Karena masalah utamanya adalah tidak kompetitif biaya produksi yang jauh lebih tinggi dari China. Untuk bisa kompetitif, Indonesia harus berupaya keras menurunkan biaya produksi secara signifikan. Upaya ke arah ini bisa dilakukan dengan menurunkan biaya tanam di satu sisi, dan meningkatkan produktivitas tanam di lain sisi. Dengan demikian, biaya produksi akan turun drastis dan kompetitif. Sebagai ilustrasi, biaya tanam bawang putih di Indonesia paling rendah sekitar Rp 65 juta per hektar. Hasil panen adalah sekitar enam ton bawang putih basah, termasuk daun, atau sekitar tiga ton bawang putih kering yang tanpa daun. Dengan demikian, maka biaya produksi bawang putih kering tanpa daun menjadi Rp 21.667 per kilogram. Biaya produksi besar ini tentu saja tidak kompetitif. Biaya tanam bawang putih di Indonesia bisa setinggi ini karena biaya benih sangat mahal sekali. Komponen biaya benih bisa lebih dari 35 persen dari total biaya tanam. Oleh karena itu, harga benih harus bisa ditekan lebih murah, bahkan menjadi setengah dari harga sekarang. Kemudian, benih bawang putih yang ditanam di Indonesia umumnya sangat kecil, oleh karena itu sangat ringan. Hanya sekitar 1 - 1,2 gram per benih (siung). Akibatnya, hasil panen, atau produktivitas, menjadi rendah. Beratnya hasil panen bawang putih pada dasarnya akan mengikuti berat benih yang ditanam. Oleh karena itu, benih yang dipilih untuk tanam harus lebih besar, dan lebih berat, dari yang sekarang. Kalau berat benih ditingkatkan menjadi rata-rata dua kali dari berat benih yang umumnya ditanam sekarang. Hasil panen per hektar diperkirakan juga akan meningkat menjadi dua kali lipat, yaitu dari tiga ton per hektar bawang putih kering tanpa daun menjadi enam ton. Dengan demikian, biaya produksi akan turun menjadi Rp 10.833 per kilogram. Hasil ini sudah cukup kompetitif. Produktivitas enam ton bawang putih kering per hektar termasuk sangat rendah. China bisa menghasilkan 25 ton per hektar bawang putih kering tanpa daun yang siap konsumsi. Sedangkan Amerika bisa mencapai 20 ton per hektar. Salah satu sebabnya karena umbi bawang putih China, dan juga Amerika, jauh lebih besar dari umbi bawang putih Indonesia. Kalau pemerintah dapat membuat umbi bawang putih Indonesia sebesar mereka, maka produktivitas akan meningkat tajam. Bisa mencapai 15 ton bawang putih kering per hektar. Sehingga biaya produksi dapat ditekan secara signifikan. Dampaknya, biaya produksi Rp 7.500 per kilogram bukanlah khayalan. Kalau ini tercapai, maka swasembada bawang putih akan terwujud, bahkan ekspor bukan hal mustahil untuk bisa dicapai Total produksi bawang putih dunia pada 2016 mencapai 26,6 juta ton. China menguasai 79,8 persen, dengan total produksi 21,2 juta ton. Sedangkan nilai ekspor dunia pada 2016 mencapai U$ 3,84 miliar dolar. Dari jumlah tersebut, China menguasai 71,5 persen dengan total nilai ekspor U$ 2,74 miliar dolar. Indonesia menjadi menyerap impor paling besar perdagangan global bawang putih ini, dengan menguasai 17,6 persen pasar impor, senilai U$ 674 juta dolar. Peringkat kedua, impor global dipegang oleh Brazil dengan pangsa impor sebesar 9 persen, senilai U$ 344 juta dolar. Sedangkan negara tetangga kita sesama ASEAN, Vietnam dan Malaysia, juga melakukan impor cukup besar, masing-masing 6,3 persen dan 6,1 persen, dengan nilai impor U$ 241,5 juta dolar dan U$ 235,5 juta dolar. Data di atas menunjukkan pasar global bawang putih ternyata sangat menarik, namun sekaligus juga menjanjikan. Kalau Indonesia bisa menekan biaya produksi bawang putih menjadi Rp 10.000 per kilogram atau lebih rendah, maka Indonesia pasti bisa mewujudkan swasembada Bawang Putih. Bahkan menerobos pasar ekspor. Karena, selama budidaya bawang putih menguntungkan para petani, maka petani akan ramai-ramai menanam. Khusus untuk pasar ekspor, pemerintah, yang dalam hal ini Kementerian Pertanian berkewajiban membantu para petani bawang putih menjalankan teknik budidaya dan pasca panen sesuai standar internasional yang dikenal dengan Good Agricultural Practices(GAP). Swasembada bawang putih untuk konsumsi dapat dicapai melalui dua tahap. Pertama, swasembada benih, dengan total produksi (hasil panen) cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi bawang putih konsumsi. Namun, swasembada benih tahun 2021 menghadapi kendala ketersediaan benih yang ternyata masih cukup langka di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus segera membuka impor benih bawang putih sebesar-besarnya, dan secepat-cepatnya. Tujuannya, agar ketersediaan benih terjamin, sehingga swasembada benih bawang utih benih, dan swasembada konsumsi bawang putih segera dapat terwujud. Untuk itu, pemerintah untuk sementara ini harus mempertahankan kebijakan wajib tanam lima persen bagi para importir yang ingin melakukan impor. Malah harus ditingkatkan menjadi 10 persen, atau bahkan 20 persen, di tahun depan. Karena kebijakan wajib tanam ini sebenarnya adalah inti dari keberhasilan swasembada bawang putih. Selain itu, pemerintah pusat, bekerja sama dengan pemerintah daerah, harus membantu penyediaan lahan tanam untuk bawang putih benih maupun konsumsi. Dengan demikian, swasembada bawang putih dapat dipastikan bukan hanya ilusi lagi. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Tahun 2022 Ekonomi Tumbuh 4.6%, Jokowi Harus Batalkan Pindah Ibukota

Oleh Gde Siriana Yusuf Bank dunia di hadapan Jokowi saat bertandang ke istana Negara 2 September 2019 lalu, memaparkan prediksi ekonomi Indonesia pada tahun 2022. Diperkirakan ekonomi Indonesia pada tahun tersebut hanya akan tumbuh pada angka 4,6%. Prediksi Bank Dunia juga menunjukkan tren negatif sejak 2018 (5.17%), 2019 (5.1%), 2020 (4.9%). Sementara sejak Agustus lalu, Jokowi justru mengumumkan rencana pindah Ibukota ke pulau Kalimantan yang membutuhkan dana tidak sedikit. Permasalahannya, bukan hanya anggaran yang besar. Namun apakah rencana pindah ibukota itu proper dalam situasi ekonomi nasional yang sedang sulit. Kondisi ini diperparah dengan gejolak ekonomi global yang diprediksi banyak lembaga ekonomi dan keuangan internasional sedang menuju resesi. Jika mengamati kondisi ekonomi saat ini saja, dengan pertumbuhan hanya berkisar 5%, maka pemerintah masih menghadapi trio defisit (neraca dagang, CAD & anggaran negara). Selain itu, masalah keuangan atau likuiditas seperti defisit BPJS. Bahkan pada tahun 2020 nanti, pemerintah merencanakan mengurangi subsidi energi, yang sangat mungkin diikuti dengan kenaikan harga (Tempo.com 6 Sep 2019). Jadi, dapat dikatakan rencana memulai pembangunan ibukota baru pada tahun 2022 sangat tidak relevan lagi. Sebaliknya, pemerintah harus segera membenahi ekonomi nasional di masa jelang krisis globa. Targetnya untuk menyelamatkan negara dari krisis yang lebih besar. Paradigma ini jauh lebih rasional ketimbang urusan pemindahan ibukota yang masih belum jelas dampaknya secara ekonomi dalam waktu dekat. Jokowi harus segera umumkan penundaan pemindahan ibukota hingga ekonomi nasional membaik. Langkah ini perlu dilakukan, agar semua kementerian, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pengusaha dan masyarakat fokus pada penyelematan ekonomi nasional. Semua komponen bangsa harus dalam kebijakan yang sama menghadapi resesi ekonomi dunia Untuk itu, dipererlukan kebijakan yang efektif berdampak langsung pada persoalan mendasar yang sesungguhnya. Misalnya, produktifitas yang rendah dan perlambatan pertumbuhan angkatan kerja. Juga perlu reindustrialisasi dan relokasi industri ke lima pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua harus segera dimulai. Tanggalkan dulu mimpi pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur. Penundaan pindah ibukota oleh Jokowi juga dapat mencegah keraguan dan sikap menunggu para investor, baik asing maupun domestik tentang kapan kepastian pindah ibukota. Belum lagi jika reasoning Jokowi tentang pemindahahan ibukota seperti scheme pembiayaan BUMN-Swasta dan full swasta. Petimbangan lokasi di tengah-tengah wilayah Indonesia juga bisa saja akan ditiru oleh pemerintah propinsi. Misalnya, Jawa Timur akan pindahkan ibukota lebih ke tengah-tengah dengan scheme pembiayaan swasta dan tidak gunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Siapa pihak swasta yang tidak tergiur dengan Tera Project? Penulis adalah Direktur Eksekutif Government & Political Studies (GPS)