EKONOMI

Legenda Sri Mulyani : Gali Lubang Tutup Goa

Utang pemerintah per Juni 2019 tercatat Rp4.601 triliun. Kalau seluruh nolnya ditulis adalah 4.601.000.000.000.000. Rasio utang terhadap PDB mencapai 29,5%. Saban tahun utang Indonesia selalu bertambah. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Utang terasa legit pada suapan pertama, tetapi sungguh perih tatkala harus membayar. Di era digital saat ini, tawaran utang dari para rentenir nyaris masuk ke tiap pemilik ponsel. Ada yang melalui pesan singkat SMS, WhatsAp, atau lainnya. Syarat mudah. Bunga selangit. Tapi tetap saja menggiurkan. Jika ada yang berpikir mencari utang itu sulit tentu dia kurang gaul. Nyatanya, ada orang yang berutang kepada puluhan bahkan ratusan rentenir digital. Orang itu melakukan gali lubang, tutup lubang. Lubang makin dalam, sedangkan yang digunakan untuk menutup selalu kurang. Itu dalam urusan pribadi. Utang perusahaan bahkan negara gambarannya tak jauh beda. Mudah. Makin berani membayar bunga tinggi, maka makin banyak yang menawarkan pinjaman. Utang pemerintah per Juni 2019 tercatat Rp 4.601 triliun. Kalau seluruh nolnya ditulis adalah 4.601.000.000.000.000. Rasio utang terhadap PDB mencapai 29,5%. Saban tahun utang Indonesia selalu bertambah. Cukup banyak sumber utang Indonesia. Paling anyar adalah Asian Infrastructure Invesment Bank atau AIIB. Ini adalah lembaga keuangan yang dipelopori China. Di lembaga ini Indonesia dinobatkan sebagai negara pengutang terbesar nomor dua. Total utang Indonesia tercatat US$ 950 juta atau setara Rp 13,48 triliun. Negara pengutang terbesar di AIIB adalah India. Ibarat roket, tambahan utang pemerintah di era Jokowi sungguh meroket. Apabila dibandingkan dengan pemerintah sebelumnya, di era Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo jelas juara. Pada periode pertama Presiden SBY (2005-2009), tambahan utang pemerintah hanya Rp291 triliun. Sedangkan periode Jokowi (2015-2019), tambahan utang pemerintah pusat meroket Rp 1.995 triliun. Data untuk tahun 2019 yang digunakan barulah data hingga Juli 2019. Dipastikan sampai akhir tahun 2019, tambahan utang di periode pertama Jokowi akan semakin menggelembung. Tak sulit bagi Indonesia untuk menggali lubang. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, adalah menteri berjuluk “pencetak utang”. Julukan itu diberikan Prabowo Subianto. "Kalau menurut saya, jangan disebut lagi-lah ada menteri keuangan, mungkin menteri pencetak utang. Bangga untuk utang, yang suruh bayar orang lain," ujar Prabowo, pada Januari silam. Ekonom Rizal Ramli memberikan julukan berbeda, tapi sama-sama menghinakan. Menurutnya, Menteri Sri paling tepat diberi julukan “menteri terbalik” untuk menandingi menteri terbaik. Julukan ini diberikan kepada Sri karena ia dianggap paling dermawan kepada kreditor. Bunga utang negara yang diberikan Sri kepada kreditor lebih tinggi dibandingkan negara-negara yang rating ekonominya lebih rendah dari Indonesia. Dengan Vietnam dan Filipina, misalnya, Indonesia membanyar bunga 3% lebih tinggi. Wajar saja jika bondholders atau kreditor utang Indonesia senang dengan Sri. Di sisi lain, sudah barang tentu rakyat Indonesia harus membayar beban tambahan bunga ratusan triliun. “Tragedi sekaligus kriminal,” tuding ekonom senior Rizal Ramli, Selasa (27/8). Rizal tak asal tuding. Ia mengungkap data utang bond pemerintah saat Sri menjabat menkeu, di era pemerintahan Jokowi dan era pemerintahan SBY. Pada saat menjadi meskeu era SBY (2006-2010), Sri menerbitkan utang bond sebesar Rp 454,9 triliun. Rinciannya, Fixed Coupon sebesar Rp 281,8 triliun, Variable Coupon Rp 25,6 triliun, Fixed Coupon (Islamic) Rp 25,7 triliun, dan Fixed Coupon (non tradable) Rp 121,7 triliun. Kala itu, yield yang dipasang kemahalan, sehingga beban bunga yang harus ditanggung rakyat sebesar Rp 199,7 triliun. Lalu pada saat pemerintahan Jokowi (2016-2019), Sri menerbitkan utang bond Rp 790,7 triliun. Masing-masing Fixed Coupon sebesar Rp 461 triliun, Zero Coupon Rp 49,1 triliun, Zero Coupon (Islamic) Rp 22,1 triliun, Fixed Coupon (Islamic) Rp 240,9 triliun, Variabel Coupon (non tradeble) Rp 10,7 triliun dan Fixed Coupon (non tradeble) sebesar Rp 7 triliun. Utang juga diterbitkan dengan yield kemahalan sehingga menambah beban rakyat Rp 118 triliun. Menurut Rizal, total keuntungkan yang dinikmati kreditor tapi rugikan rakyat adalah Rp 317,7 trilliun. Jumlah ini tidak kecil. Beda-beda tipis dengan anggaran biaya untuk pindah ibu kota. Hal yang berbeda ketika menkeu dijabat Agus Martowardojo dan Bambang Brodjonegoro. Keduanya memberikan yield utang lebih rendah dari negara-negara yang ratingnya lebih rendah dari Indonesia. Ketika meminjam dengan menerbitkan bonds, Agus maupun Bambang sangat proper (correct) dengan selalu berikan yield utang lebih rendah dari negara-negara yang ratingnya lebih rendah dari Indonesia, seperti Thailand dan Filipina. Utang yang dilakukan Sri, rakyat yang membayar. Maka legit bagi Sri, pahit bagi rakyat.

Sri, Indonesia Krisis. Swear!

Di tangan Sri yang pejuang neolib sejati, APBN dia susun untuk menyubsidi investor pasar uang. Sementara rakyat yang telah bekerja ekstra keras dipajaki habis-habisan. Sudah begitu pajak yang diperas dari keringat rakyat, diutamakan alokasinya untuk membayar kupon surat utang yang bunganya terlalu tinggi. Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Bukan Sri Mulyani kalau tak jago berkelit. Perempuan yang dua kali didapuk menjadi Menteri Keuangan (era Presiden SBY dan Jokowi) ini benar-benar ngeyel. Berkali-kali dia menyatakan ekonomi Indonesia aman-aman saja, jauh dari terjangan krisis. Sri juga bolak-balik mengklaim APBN dikelola dengan prudent alias hati-hati. Namun pada saat yang sama, dia terus menumpuk utang berbunga tinggi dalam jumlah superjumbo dengan segala konsekwensi dan risiko yang amat mengerikan. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan total utang luar negeri (ULN) Indonesia sampai akhir triwulan II 2019 tercatat US$ 391,8 miliar. Dengan kurs BI hari ini, Senin (2/9) yang Rp 14.190, utang tersebut setara dengan Rp 5.556 triliun. Angka ini tumbuh 10,1% (year on year /yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan periode yang sama tahun sebelumnya yang 8,1%. Yang membuat tambah miris, utang-utang itu dibuat dengan bunga yang dikerek tinggi-tinggi. Berikut contoh tujuh surat utang bertenor dua tahun yang dia terbitkan. Yaitu, SBR006 (7,95%), ST004 (7,95%), SBR005 (8,15%), ST003 (8,15%), ST002 (8,55%), SBR004 (8,55%), dan SBR003 (8,55%). Padahal bila mengacu pada kurva yield untuk surat utang SBR003-006 tenor 2 tahun untuk periode Mei 2018, Sept 2018, Januari 2019 dan April 2019, Sri yang sangat disukai kreditor asing itu menawarkan bunga/kupon 1%-1,9% lebih tinggi. Begitu juga untuk surat utang ST002-004 yang seharusnya besar bunganya mengambang (floating). Bila mengikuti kurva yield Juli 2019 di 6,2% terjadi kelebihan membayar bunga sebesar 1,7% hingga 2,23%. Bahkan jika dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand yang rating-nya lebih rendah ketimbang Indonesia, angka kelebihan bunga itu mencapai 3%. Dengan peringkat yang lebih bagus, semestinya bunga utang yang kita bayar lebih rendah daripada Vietnam dan Thailand. “Karena perilakunya yang terus-menerus menyenangkan kreditor walau menyengsarakan rakyat, Sri lebih pas disebut sebagai Menkeu Terbalik, bukan menkeu terbaik,” ujar ekonom senior Rizal Ramli. Rp 317,7 Triliun Lebih Mahal RR, begitu mantan anggota tim Panel Ahli Perserakitan Bangsa Bangsa biasa disapa, memaparkan sebagai Menkeu SBY, 2006-2010, Sri menerbitkan bond senilai Rp454,9 triliun. Rinciannya, Fixed Coupon Rp 281,8 triliun, Variable Coupon Rp25,6 triliun, Fixed Coupon (Islamic) Rp 25,7 triliun, dan Fixed Coupon (non tradable) Rp 121,7 triliun. Dengan yield kemahalan, beban yang harus ditanggung rakyat akibat ulah perempuan ini mencapai Rp 199,7 triliun. Sedangkan di era Jokowi (2016-2019), dia menerbitkan bond senilai Rp790,7 triliun. Masing-masing Fixed Coupon sebesar Rp 461 triliun, Zero Coupon Rp 49,1 triliun, Zero Coupon (Islamic) Rp 22,1 triliun, Fixed Coupon (Islamic) Rp 240,9 triliun, Variabel Coupon (non tradeble) Rp 10,7 triliun dan Fixed Coupon (non tradeble) sebesar Rp 7 triliun. Yiled kemahalan ini menambah beban rakyat dari yang semestinya sebesar Rp 118 triliun. Total jenderal, kelebihan bayar bunga utang itu mencapai Rp 317,7 triliun. Di tangan Sri yang pejuang neolib sejati, APBN dia susun untuk menyubsidi investor pasar uang. Sementara rakyat yang telah bekerja ekstra keras dipajaki habis-habisan. Sudah begitu pajak yang diperas dari keringat rakyat, diutamakan alokasinya untuk membayar kupon surat utang yang bunganya terlalu tinggi. Data yang ada menunjukkan, hingga Juni 2019 pembayaran bunga utang mencapai Rp 127,1 triliun. Angka ini naik 13% ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya. Sebaliknya, subsidi untuk keperluan dasar rakyat cuma kebagian Rp 50,6 triliun atau turun 17%. Dengan angka-angka seperti ini, Sri telah ibarat demang yang memeras rakyat demi menyenangkan penjajah Belanda yang jadi majikan asingnya. Sikap inlander Sri yang creditors first membuat sebagian besar anggaran APBN tersedot untuk membayar utang. APBN 2019 mengalokasikan pembayaran pokok utang sebesar Rp 400 triliun. Ditambah dengan pembayaran bunga yang Rp 249 triliun, maka total beban utang mencapai Rp 649 trilliun. Angka ini sekitar 150% anggaran infrastruktur maupun anggaran pendidikan yang sekitar Rp 400-an triliun. Makro-Mikro Merah Sri juga sering ngeles dengan mengatakan ekonomi kita aman-aman saja. Pada saat yang sama fakta dan data menunjukkan terjadinya deindustrialisasi yang dampak langsungnya adalah pemutusan hubungan kerja. Sejumlah indikator makro dan mikro jelas-jelas menunjukkan ekonomi kita sama sekali tidak aman-aman saja, sebagaimana yang sering diklaim Sri. Defisit Neraca Pembayaran (Current Account Deficit/CAD) hingga triwulan II-2019 menunjukkan angka US$ 8,4 miliar. Jumlah ini naik dibandingkan triwulan pertama yang US$ 7 miliar. Artinya, hanya dalam tempo tiga bulan, CAD membengkak US$ 1,4 miliar. Indikator merah lainnya, juga terjadi pada neraca perdagangan yang defisit. Pada triwulan pertama 2019, defisitnya tercatat US$ 1,450 miliar. Pada kwartal II, defisit naik menjadi US$ 1,870 miliar. Kinerja ekspor nonmigas juga melorot seiring perekonomian dunia yang melambat dan harga komoditas ekspor Indonesia yang turun. Ekspor nonmigas tercatat US$ 37,2 miliar, turun dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar US$ 38,2 miliar. Defisit neraca perdagangan migas juga meningkat menjadi US$ 3,2 miliar. Padahal, pada triwulan sebelumnya defisit itu masih U$ 2,2 miliar. Salah satu parameter sukses-tidaknya Menkeu adalah rasio pajak alias tax ratio. Ternyata, tax ratio juga terus terjun. Pada 2010, rasio pajak tercatat 9,82%. Sampai 2018, angkanya melorot menjadi 8,85%. Kalau dihitung termasuk pendapatan bea cukai dan royalti Migas-tambang, angkanya bergerak dari 14,66% pada 2011 menjadi 11,45% di 2018. Perlambatan penerimaan perpajakan ini membuat Sri uring-uringan. Pasalnya, kontribusi pajak terhadap penerimaan negara mencapai hampir 80%. Sampai akhir Juli 2019, pajak yang masuk Rp 810,7 triliun atau 45,4% dari target APBN. Terus terjunnya penerimaan pajak inilah yang membuat Sri kalap dan kalang-kabut. Maka, dia pun memajaki pempek palembang, pecel lele, gado-gado, dan UMKM. Padahal, sebelumnya UMKM sudah kena pajak final 0,5% dari omset, tidak peduli usaha rakyat kecil ini menangguk laba atau diterjang rugi. Tetap Jemawa Kendati sudah babak-belur dihajar angka-angka rapor yang merah, toh perempuan itu tetap saja berkoar Indonesia masih jauh dari krisis. Tidak tanggung-tanggung, sikap jumawa ini dia sampaikan saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (29/8). Saat itu Sri menegaskan kendati Indonesia harus waspada, itu tidak berarti bahwa krisis sudah di ambang pintu. Padahal, tiga hari sebelumnya saat menggelar konferensi pers APBN Kita, Senin (26/8), dia mengakui bahwa ekonomi dunia telah melemah dan risikonya bakal makin meningkat. Kondisi ini terkonfirmasi dalam statement atau indikator sesudah eskalasi pada Juli Agustus. Pengakuan Menteri Sri ini adalah kali kedua dalam bulan ini. Menurut dia, perlambatan ekonomi dunia ditandai dengan bertaburnya data ekonomi di berbagai negara terus membuat cemberut. Jerman, Singapura, negara-negara Amerika Latin seperti Argentina, Meksiko, Brasil dalam situasi sulit. Eropa dan China pun mengalami hal sama. Bahkan kawasan Asia, termasuk India, yang jadi lokomotif penghela ekonomi di pasar berkembang juga melemah. Tapi dasar kopeg, babak-belurnya perekonomian dunia justru membuatnya bertepuk dada.. Katanya, di tengah perekonomian dunia yang lesu, Indonesia masih bisa tumbuh 5%. Kalau saja dia mau sedikit humble, tentu pernyataan seperti itu tak bakalan keluar dari mulutnya. Terlebih lagi dengan potensi yang ada dan menanggalkan kebijakan ekonomi non neolib, seharusnya Indonesia bisa terbang di 6,5-7%. Setidaknya, begitulah jualan Jokowi waktu maju di ajang Pilpres 2014. Sebelumnya, Rizal Ramli berkali-kali memperingatkan ekonomi kita jauh dari baik-baik saja. Berdasarkan rentetan indikator yang memburuk, dia menyebut Indonesia tengah mengalami the creeping crisis, krisis yang merangkak. Seabrek indikator makro dan mikro yang disorongkannya memang dengan fasih bercerita ekonomi Indonesia terseok-seok, kalau tidak mau disebut amburadul. Tutupnya sejumlah gerai penyandang nama besar, adalah bukti melemahnya kinerja sektor ritel yang diperkirakan masih akan berlanjut. Daya beli dan consumer goods juga masih akan turun. Pukulan telak dialami sektor properti, kecuali untuk beberapa segmen. Indeks Nikkei menyebut sekitar seperempat perusahaan yang melantai di BEI telah berubah jadi zombie company. Keuntungan yang mereka terima tidak cukup untuk membayar utang. Perusahaan ini hanya bisa hidup dengan refinancing terus menerus. Gejala gagal bayar utang alias default juga melanda sejumlah perusahaan besar. Seperti tidak cukup, McKinsey & Company menyebut 25% utang valas jangka panjang swasta kita memiliki rasio penutupan bunga (interest coverage ratio /ICR) kurang dari 1,5 kali. Artinya, perseroan menggunakan mayoritas labanya untuk membayar utang. Jelas rawan. Jadi, Sri, ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Data dan fakta seperti apalagi yang bisa membuka mata-hatimu? [*]

Menteri Sri Akhirnya Ngaku Krisis Telah Datang

Sri Mulyani memprediksi makin panasnya tensi perang dagang antara AS dan China dipastikan memperbesar sinyal krisis. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ekonomi dunia kini diselimuti kondisi pahit. Sebagian negara telah mengalami krisis. Di sisi lain, ekonom senior Rizal Ramli menyebut Indonesia berada dalam tahap creeping crisis atau sedang “merangkak” untuk sampai pada kondisi krisis. Ekonom lainnya menyebut Indonesia amat rentan terhadap krisis. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, tak bisa menampik itu. Ia bilang ekonomi dunia telah terkonfirmasi melemah dan risikonya bakal makin meningkat. "Kondisi ekonomi dunia confirm melemah dan ini risikonya bahkan makin meningkat. Ini muncul di dalam statement atapun indikator sesudah eskalasi pada Juli Agustus," katanya dalam Konferensi Pers APBN Kita, Senin (26/8). Pengakuan Menteri Sri ini adalah kali kedua dalam bulan ini. Hanya saja, pengakuan ini bukan sebagai peringatan apalagi nakut-nakuti, seperti pernyataan beberapa ekonom belakangan ini. Sri membeberkan itu semua untuk membanggakan bahwa di tengah krisis dunia saja ekonomi Indonesia masih tumbuh 5%. “Indonesia terjaga di 5% ini accepsional,” tandasnya. Jadi bersyukurlah, ekonomi masih tumbuh 5%. Jangan kufur nikmat, seperti apa yang dibilang Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Menurut menteri Sri, hawa perlambatan ekonomi dunia semakin terasa. Data-data ekonomi di berbagai negara terus saja mengecewakan. Dia menyebut, Jerman, Singapura, negara Amerika Latin seperti Argentina dalam masa krisis. Meksiko, Brasil, juga dalam situasi sulit. “Amerika Latin, Eropa, China, dan bahkan kawasan Asia sendiri termasuk India yang jadi motor penggerak ekonomi di pasar berkembang juga mengalami pelemahan," ujarnya. Rentan Krisis Ekonom senior Indef, Didik J. Rachbini, memperingatkan Indonesia termasuk negara yang rentan terhadap krisis. “Setidaknya bila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia,” katanya, dalam diskusi ASEAN di antara perang dagang Amerika dan China: Bagaimana Seharusnya Respons Indonesia?, Minggu (25/8) Dalam materi diskusi yang berjudul “Dimensi Kritis dari Ekonomi Indonesia Dibandingkan Ekonomi ASEAN”, Didik antara lain mengulas soal 'Menghadapi Resesi Global'. Ia mengutip Bloomberg Vulnerability Indek, atau indeks kerentanan suatu negara. "Vietnam dan Malaysia termasuk ke dalam level yang sama tetapi sedikit lebih rendah dan mempunyai struktur ekonomi yang lebih kuat daripada Indonesia," jelasnya. Cadangan devisa, ekspor, dan industri Vietnam dan Malaysia relatif lebih kuat sehingga lebih tahan terhadap krisis. Belajar dari krisis nilai tukar 1997-98 dari Thailand, ada dua kelompok negara dalam konteks krisis. Kelompok pertama adalah kelompok yang rentan dan terkena imbas krisis nilai tukar, yaitu: Thailand, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, dan Indonesia. Kelompok kedua adalah negara yang kuat dan tahan krisis nilai tukar, yaitu Taiwan, Hong Kong, Singapura dan lainnya. Kelompok yang pertama mengalami defisit neraca berjalan (CAD) dan kelompok kedua tidak mengalaminya. Level CAD Indonesia kini memang dalam tren terus membengkak, bahkan sudah menyentuh 3% terhadap PDB. Sedangkan Thailand sebagai negara yang pernah mengalami krisis 1998, yang sama juga dialami oleh Indonesia berhasil lolos dari penyakit CAD. Sebelumnya, Rizal Ramli memperingatkan grafik transaksi berjalan semakin merosot, bahkan sudah mencapai lebih dari US$8 miliar. Kondisi CAD pada kuartal II-2019 sebesar US$8,4 miliar atau 3,04% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini adalah angka yang mengkhawatirkan. Indikator mikro juga tak kalah membahayakan. Seperti slow down sektor ritel yang diprediksi akan terus berlanjut. Daya beli dan consumer good juga masih akan turun. Begitu pun dengan properti yang diprediksi akan terpuruk, kecuali untuk beberapa segmen. Kemudian di level korporasi, mulai terjadi peningkatan default atau gagal bayar. Ini diistilahkan sebagai zombie company. Keuntungan yang diperoleh tidak bisa untuk membayar bunga utang. “Perusahaan ini hanya bisa hidup dengan refinancing terus menerus,” kata eks Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini. “Ada krisis kecil-kecil dan tidak disadari banyak orang, tetapi kalau disatukan jadi besar juga. Ini bisa dilihat dari kondisi makro, mikro, maupun korporasi. Kalau dibiarkan terus, bisa sangat membahayakan,” tambahnya. Di sisi lain, dalam laporan berjudul "Signs of Stress in The Asian Financial System", firma konsultan global McKinsey & Company menemukan bahwa 25% utang swasta valas jangka panjang di Indonesia memiliki rasio penutupan bunga (interest coverage ratio/ICR) kurang dari 1,5 kali. Posisi tersebut terhitung rawan karena perseroan menggunakan mayoritas labanya untuk membayar utang. Utang itu kebanyakan berasal dari sektor utilitas (pembangkit listrik dan jalan tol), dengan porsi 62%. Sektor energi dan bahan mentah menyusul dengan porsi 11% dan 10%. Lebih jauh, konsultan ini mengingatkan negara-negara Asia perlu mewaspadai risiko terulangnya krisis 1997. McKinsey mengingatkan sektor utilitas Indonesia dan India berpotensi memicu persoalan karena kemampuan mereka untuk membalik kinerja dan membayar kembali utangnya tidaklah mudah. Sementara itu, di belahan dunia lain, Eropa, sepanjang tahun 2019, berbagai bank investasi global telah mengurangi jumlah karyawannya hingga 30.000 orang. Beberapa bank yang melakukan pengurangan karyawan di antaranya adalah HSBC, Barclays, Société Générale, Citigroup dan Deutsche Bank. Lembaga keuangan asal Jerman Deutsche Bank bahkan memangkas jumlah karyawannya lebih dari setengah total karyawan yang di PHK, yaitu sebanyak 18.000 orang di seluruh dunia. Menurut laporan Financial Times, PHK massal ini disebabkan oleh berbagai alasan. Mulai dari penurunan suku bunga, volume perdagangan yang lemah, hingga efisiensi biaya operasional. Alasan lainnya adalah meningkatnya utang. Padahal, suku bunga saat ini negatif. Sri Mulyani memprediksi makin panasnya tensi perang dagang antara AS dan China dipastikan memperbesar sinyal krisis. Apalagi tensi adu pernyataan kedua negara adi kuasa tersebut makin mendidih beberapa hari terakhir. "Tren besar di semua negara di dunia mengalami pelemahan. Ada negara lain yang masuk bahkan (sudah) resesi," ujarnya. End

Rini Membangkang, Jokowi Tak Berdaya?

Rini terkesan tak peduli dengan peringatan Moeldoko. Ia bahkan seakan ingin menunjukkan kesaktian dan kekuasaannya. Setelah rencana RUPSLB lima BUMN, Rini juga menitahkan penyelenggaraan RUPSLB terhadap dua BUMN farmasi yakni PT Kimia Farma dan PT Indofarma. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, bikin blunder. Tanpa disadari, ia menyeret BUMN dalam ketidakpastian. Pada Kamis (29/8) kemarin, atas perintahnya, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Keputusan rapat ini salah satunya mengganti Direktur Utama Bank BTN dari Maryono kepada Suprajarto. Sang pengganti pada saat itu masih sebagai Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. Terang saja Suprajarto terkaget-kaget. Pasalnya, ia tak pernah diajak bicara apalagi musyawarah dengan kedudukan yang baru itu. Lagi pula, perpindahan dari bank besar ke bank yang asetnya sepersepuluhnya itu jelas bisa dianggap penghinaan. Suprajarto bukan buruh kecil yang bisa diputar-putar seenak udelnya oleh sang bos. Ia pun menolak. “Saya tidak dapat menerima keputusan RUPSLB itu. Saya mengundurkan diri,” ujarnya lugas, seperti dikutip Detik, Kamis (29/8). Suprajarto memilih plesir untuk melepas penat, ketimbang menuruti Rini. Kisah Suprajarto ini bisa dibilang menjadi karma bagi Rini yang oleh banyak pihak dianggap melanggar larangan Presiden Joko Widodo. Sekadar mengingatkan saja, Presiden telah mewanti-wanti agar para pembantunya untuk tidak mengambil keputusan strategis, termasuk mengganti direksi BUMN, menjelang pergantian kabinet. Menurut Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, larangan itu disampaikan Jokowi dalam sidang kabinet. Permintaan presiden itu didasari karena pemerintahan tinggal beberapa bulan sampai pelantikan. Mantan panglima TNI itu menyebut, Jokowi tak ingin ada beban pada periode keduanya nanti. "Jadi jangan sampai nanti punya beban ke depannya. Itu aja sebenarnya," tuturnya. Seperti kita tahu, Rini yang pada saat kampanye pilpres 2014 sebagai fund rising bagi capres Jokowi-Jusuf Kalla ini terkesan membandel. Ia menitahkan lima BUMN menggelar RUPSLB secara simultan dan berurutan sejak 28 Agustus hingga 2 September. Agenda RUPSLB itu sama, yakni evaluasi kinerja semester I-2019 dan perubahan susunan pengurus. Selain kepada BTN, empat BUMN lainnya yang mendapat perintah menggelar RUPSLB adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. yang sudah berlangsung pada Rabu (28/8), PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) pada 30 Agustus, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) pada 30 Agustus, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk/BBRI pada 2 September. Sebelumnya, Moeldoko sempat memperingatkan Rini terkait larangan mengganti jajaran direksi BUMN itu. "Itu perintah. Apa yang disampaikan dalam sidang kabinet kan perintah. Harus diikuti. Mestinya begitu," tambah Moeldoko, Senin (12/8). Moeldoko menegaskan setiap menteri Kabinet Kerja harus mematuhi instruksi langsung yang diberikan kepala negara. Termasuk dalam hal perombakan jabatan maupun direksi BUMN. "Itu kan moral obligation bagi pejabat negara begitu," tegasnya. Dua BUMN Farmasi Rini terkesan tak peduli dengan peringatan itu. Ia bahkan seakan ingin menunjukkan kesaktian dan kekuasaannya. Setelah rencana RUPSLB lima BUMN, Rini juga menitahkan penyelenggaraan RUPSLB terhadap dua BUMN farmasi yakni PT Kimia Farma (Persero) Tbk. (KAEF) dan PT Indofarma (Persero) Tbk. (INAF). Dua BUMN farmasi ini akan menggelar RUPSLB serentak di tempat yang sama dengan periode jam yang berbeda yakni di Hotel Borobodur Jakarta pada Rabu 18 September mendatang. KAEF dijadwalkan RUPSLB pada pukul 09.00 WIB, sementara INAF pada siangnya, pukul 14.00 WIB. Agendanya pun sama yakni perubahan anggaran dasar perseroan dan perubahan pengurus perseroan baik komisaris maupun direksi. Rencana RUPLSB ini terungkap dalam dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (29/8). Permintaan RUPLSB kedua BUMN farmasi tersebut berdasarkan surat Menteri BUMN Nomor 2-786/MBU/S/07/2019 tanggal 29 Juli 2019. Keluarnya keputusan ini makin mencerminkan bahwa larangan Jokowi tak ada artinya bagi Rini. Publik jadi menduga-duga, benarkah Rini amat sakti? Jauh sebelum ini, sudah terdengar riak-riak hubungan Rini dengan PDI Perjuangan. Konon Megawati Soekarnoputri tidak suka dengan eks tim sukses Jokowi-Kalla itu. Konon itu akibat Rini tidak memberi ruang bagi kader Banteng di lingkup BUMN. PDIP berkali-kali menyerukan agar Jokowi mencopot Rini. Tapi Jokowi kekeuh mempertahankannya. Kini, Rini sudah lolos di Kabinet Kerja I. Selanjutnya, banyak pihak menduga ia ingin bertahan dan tetap mengisi Kabinet Kerja II. Lantaran itu, peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng, menduga, Rini sengaja "menyandera" Presiden Jokowi melalui perombakan direksi BUMN. "Saya kira dia sedang berupaya menaikkan bargaining position menjelang pemilihan kabinet baru," ujarnya, Senin (26/8). Menurut Salamudin, menjelang pembentukan kabinet periode 2019 - 2024 posisi Rini belum jelas, apakah masih dipakai Jokowi atau tidak. Makanya, dia mencoba mencari cara agar tetap bisa bertahan di kabinet. "Dia seperti to be or not tobe. Kalau tak dikerjakan (rombak direksi BUMN) seperti apa, kalau tetap dikerjakan, seperti apa (reaksi Jokowi)," tuturnya. Rini memainkan strategi "menyandera" Presiden dengan cara seperti itu karena, menurut Salamudin, dia tahu peran strategis BUMN bagi pemerintah. "Misalnya posisi Menteri BUMN diganti, direksi BUMN berpotensi menimbulkan masalah karena bawaan menteri lama. Rini sepertinya sedang mencoba membuat Jokowi takut dan khawatir," paparnya. Harusnya, Jokowi bisa mencegah Rini merombak jajaran direksi BUMN. Sebab, Menteri BUMN memiliki kewenangan mengganti direksi BUMN atas mandat dari Presiden. Maknanya, Presiden bisa mencabut mandat itu. Toh itu tidak dilakukan. Mungkin benar apa kata Rini, bahwa semua nantinya akan dikomunikasikan dengan Jokowi. "Nanti, lihat aja hasilnya," ujarnya enteng. End

Krisis Sudah di Pelupuk Mata

Tanda-tanda krisis juga berhembus di Singapura. Ekonomi Negeri Jiran ini diperkirakan memasuki resesi pada kuartal ketiga 2019. Terus memanasnya perang dagang antara China dan AS, menekan pertumbuhan negara tersebut. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ekonom senior Rizal Ramli menyebut Indonesia saat ini sedang berada dalam tahap creeping crisis atau sedang “merangkak” untuk sampai pada kondisi krisis. Di sisi lain, dalam laporan berjudul "Signs of Stress in The Asian Financial System", firma konsultan global McKinsey & Company menemukan bahwa 25% utang swasta valas jangka panjang di Indonesia memiliki rasio penutupan bunga (interest coverage ratio/ICR) kurang dari 1,5 kali. Posisi tersebut terhitung rawan karena perseroan menggunakan mayoritas labanya untuk membayar utang. Utang itu kebanyakan berasal dari sektor utilitas (pembangkit listrik dan jalan tol), dengan porsi 62%. Sektor energi dan bahan mentah menyusul dengan porsi 11% dan 10%. Konsultan ini mengingatkan negara-negara Asia perlu mewaspadai risiko terulangnya krisis 1997. McKinsey mengingatkan sektor utilitas Indonesia dan India berpotensi memicu persoalan karena kemampuan mereka untuk membalik kinerja dan membayar kembali utangnya tidaklah mudah. "Kini, media keuangan dan pengamat bertanya-tanya apakah kenaikan tingkat utang di Asia bisa memicu krisis yang baru. Sayangnya, tanda-tandanya terlihat mengancam, dan kesehatan sektor keuangan dan sektor riil sedang memburuk," tulis Senior Partner McKinsey Joydeep Sengupta dan Archana Seshadrinathan dalam laporan bertanggal Juli 2019. Dia menyebut selain Indonesia dan India kondisi buruk juga terjadi di Australia, China, dan Hong Kong. "Perlu kerja-sama berbagai pemangku kepentingan-regulator, konsumer, pemerintah daerah dan pusat, dan perusahaan itu sendiri-sehingga upaya pemulihan menjadi tak mudah," tulis laporan itu seperti dikuttip CNBC Indonesia, Selasa (13/8). Bersamaan dengan itu, dampak tingkat utang korporasi dan utang rumah tangga yang tinggi terlihat di Indonesia, bersama dengan China, India, dan Thailand. Bahkan, tingkat utang Indonesia yang berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) mencapai 50% dari porsi utang yang ada, atau jauh di atas rata-rata kawasan sebesar 25%. McKinsey melakukan asesmen terhadap neraca keuangan 12.000 perusahaan di 11 negara Asia Pasifik pada kurun waktu 2007-2017. Analisis difokuskan pada porsi utang jangka panjang korporasi dengan ICR kurang dari 1,5 kali. Meski kualitas aliran dana global (inflow) yang masuk ke Asia membaik, dengan porsi penanaman modal asing langsung (foreign direct investment/FDI) meningkat dari 27% (2007) menjadi 38% (2018), pemerintah harus mencermati fakta bahwa lebih dari 40% inflow itu berupa utang valas. Jika tidak dimanajemen dengan baik, bisa muncul persoalan seperti pada tahun 1997. Resesi Singapura Tanda-tanda krisis juga berhembus di Singapura. Ekonomi Negeri Jiran ini diperkirakan memasuki resesi pada kuartal ketiga 2019. Terus memanasnya perang dagang antara China dan AS, menekan pertumbuhan negara tersebut. Angka produk domestik bruto (PDB) yang dirilis pada Selasa (13/8) menunjukan penurunan besar pada perekonomian negara itu. Pada kuartal kedua ini, pertumbuhan Singapura tertekan hingga 3,3% jika dibandingkan dengan pertumbuhan di kuartal pertama 2019 sebesar 3,8%. Angka ini merupakan yang paling buruk selama tujuh tahun terakhir. Ekonomi Singapura hanya tumbuh 0,0-1,0% dari proyeksi sebelumnya 1,5%-2,5%. "Bila melihat ke depan, pertumbuhan PDB di banyak pasar permintaan utama Singapura pada paruh kedua 2019 diperkirakan akan melambat atau tetap serupa dengan yang tercatat di periode pertama lalu, " ujar Kementerian Perdagangan dan Industri (MTI) Singapura sebagaimana dilansir Reuters. Jika pertumbuhan di kuartal ketiga nanti tetap negatif, berarti Singapura memasuki resesi teknis. Padahal, Singapura bak "kenari di tambang batu bara". Negara ini menjadi indikator apakah terjadi situasi buruk atau tidak. "Singapura adalah penentu dari perlambatan perdagangan global," kata ekonom Asia Pasifik dari Coface, Carlos Casanova. "Dengan segala sesuatu yang kita lihat, sangat mungkin bahwa akan ada resesi di kuartal ketiga tahun ini," ujarnya seperti dilansir Soth China Mornig Post. Pada Juli, International Monetary Fund (IMF) memangkas perkiraan pertumbuhan 2019 untuk Singapura menjadi 2%. Sebelumnya IMF memprediksi pertumbuhan Singapura tumbuh sebesar 2,3%. Makro dan Mikro Kembali ke ekonomi Indonesia, Rizal memberi gambaran sisi makro dan mikro yang memburuk. Dari indikator makro, grafik transaksi berjalan semakin merosot, bahkan sudah mencapai lebih dari US$8 miliar. Kondisi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) pada kuartal II-2019 sebesar US$8,4 miliar atau 3,04% dari produk domestik bruto (PDB). Indikator lainnya adalah kondisi neraca perdagangan Indonesia dan rasio pajak. Sedangkan indikator mikro juga sudah mulai terlihat membahayakan. Seperti slow down sektor ritel yang diprediksi akan terus berlanjut. Daya beli dan consumer good juga masih akan turun. Begitu pun dengan properti yang diprediksi akan terpuruk, kecuali untuk beberapa segmen. Kemudian di level korporasi, mulai terjadi peningkatan default atau gagal bayar. Ini diistilahkan sebagai zombie company. Keuntungan yang diperoleh tidak bisa untuk membayar bunga utang. “Perusahaan ini hanya bisa hidup dengan refinancing terus menerus,” kata eks Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini. “Ada krisis kecil-kecil dan tidak disadari banyak orang, tetapi kalau disatukan jadi besar juga. Ini bisa dilihat dari kondisi makro, mikro, maupun korporasi. Kalau dibiarkan terus, bisa sangat membahayakan,” ujarnya, Senin (12/8). Untuk bisa keluar dari ancaman krisis yang lebih besar ini, menurut Rizal, pemerintah harus menghentikan cara lama seperti melakukan pengetatan anggaran atau mengejar pajak dari perusahan atau pelaku usaha kecil. Pemerintah harus melakukan sesuatu yang out of the box. Antara lain dengan menggenjot pertumbuhan ekonomi menjadi 6% sampai 8%, serta meningkatkan daya beli rakyat kecil dengan cara memberikan stimulus. Yang juga penting, menurut Rizal, Indonesia perlu membuat rencana dan action agar bisa menarik manfaat dari adanya perang dagang atara Amerika Serikat dan China. “Yang namanya krisis itu ada dua sisi, satu memberi masalah dan satunya lagi memberi opportunity. Sayangnya Indonesia tidak punya frame work bagimana menarik manfaat dari adanya trade war ini,” sesal Rizal. End

Serangan Siber Bisa Hancurkan Perekonomian Indonesia

Apanya yang terpercaya jika rekening saja tidak aman karena bisa berkurang tanpa diambil pemiliknya, dan bertambah tanpa harus bersusah payah mengumpulkan uang lalu menyetorkannya. Oleh Mangarahon Dongoran (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sabtu, 20 Juli 2019, sejumlah pemilik rekening Bank Mandiri mengeluh, saldo tabungannya berkurang. Tentu ada juga yang kaget, karena saldonya bertambah. Kabarnya, akibat peristiwa itu, bank plat merah tersebut mengalami kerugian triliunan rupiah. Selain itu, masih ada pemilik rekening yang saldo tabungannya bertambah belum mengembalikannya. Totalnya lumayan banyak. Ahad, 4 Agustus 2019, listrik padam/mati akibat gangguan transmisi Jawa-Bali. Akibatnya, listrik di Jakarta, Banten dan sebagian besar Jawa Barat mati total rata-rata 10 jam. Padam terjadi di daerah atau wilayah yang memiliki posisi strategis, baik secara ekonomi, sosial, keamanan dan politis. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) rugi Rp 90 miliar, ditambah tanggungan mengganti kerugian 22 juta pelanggan, yang diperkirakan mencapai Rp 900 miliar lebih. Total sementara PLN harus menanggung beban sekitar Rp 1 triliun, akibat gangguan transmisi yang kabarnya karena kayu sengon. Itu baru kerugian dari sisi PLN. Akan tetapi, dana penggantian dankerugian itu harus diawasi ketat, karena bisa-bisa angkanya di mark-up atau digelembungan. Sedangkan kerugian konsumen sulit dihitung. Sebab, berapa banyak usaha kecil, menengah dan bahkan besar tidak bisa beroperasi karena sangat tergantung pada listrik. Berapa banyak anak sekolah yang tidak bisa belajar karena listrik mati, sementara lilin sulit diperoleh. Berapa banyak anak yang tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI), karena ASI yang biasa disimpan di kulkas ( ibunya bekerja) menjadi basi. Banyak Misteri Dua peristiwa yang terjadi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut masih menyimpan sejumlah misteri. Sebab, hingga sekarang, belum ada penjelasan resmi yang transparan atau terbuka penyebab pasti kedua peristiwa tersebut. Artinya, keterangan resmi yang dikeluarkan setelah dilakukan investigasi yang melibatkan pihak lain, terutama pihak kepolisian. Keterangan yang keluar dari Bank Mandiri adalah karena sistem teknologi informasinya terganggu. Jika TI-nya terganggu, itu karena apa? Apakah karena kurang perawatan, peralatan yang digunakan sudah daluarsa? Jika itu yang terjadi, siapa yang harus bertanggungjawab? Mengapa bisa terjadi untuk sebuah bank besar seperti Mandiri? Banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Direksi Bank Mandiri. Banyak misteri yang belum terungkap dari peristiwa yang dialami bank yang terkenal dengan moto, "Terdepan, Terpercaya Tumbuh Bersama Anda," itu. Apanya yang terpercaya jika rekening saja tidak aman karena bisa berkurang tanpa diambil pemiliknya, dan bertambah tanpa harus bersusah paya mengumpulkan uang lalu menyetorkannya. Pihak Mandiri membantah jika peristiwa tersebut akibat serangan hacker. Akan tetapi, banyak yang tidak percaya akan bantahan itu. Sebab, gangguan tersebut terjadi karena adanya sistem yang bekerja tidak baik. "Perubahan kemarin terjadi karena semacam multifuntion hadware. Dalam kesempatan ini data nasabah tidak ada yang hilang. Semua aman, " ucap Direktur Bisnis dan Jaringan Bank Mandiri, Hery Gunardi, ketika menjelaskan peristiwa buruk yang dialami bank itu. Betul data nasabah aman. Yang tidak aman itu isinya alias saldonya. Kok bisa saldo nasabah berubah? Masak sekelas bank yang memiliki aset Rp 1.206 (angka 2018) triliun itu bisa terganggu TI-nya? Apa tidak ada dana pemeliharaan rutin atau dana pembelian perangkat baru? Bobol Bank Lain Tidak menutup kemungkinan, kasus yang menimpa Bank Mandiri akan terjadi pada bank lainnya, terutama bank plat merah. Kasus pembobolan ATM juga dulunya dialami sedikit bank. Tapi lama-lama dialami banyak bank, terutama bank besar, karena pembobolnya melibatkan orang dalam bank. Kasus berkurangnya saldo nasabah di Bank Mandiri hendaknya menjadi peringatan keras yang tidak bisa dianggap main-main oleh pemangku kepentingan perbankan, terutama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Sebagai sebuah objek yang sangat vital di sektor perekonomian, kasus Bank Mandiri harus mendapatkan perhatian dan pengamanan dari kepolisian, terutama yang menangani cyber atau siber. Sebab, perampokan uang nasabah tidak lagi dilakukan secara konvesional (meski masih ada). Kasus perampokan nasabah dengan cara ditodong sepulang mengambil uang dari bank, kasus menggembosi ban mobil nasabah, sudah semakin jarang terjadi. Yang sering muncul, ya pembobolan ATM dan pembobolan rekeningnya secara canggih. Kasus terakhir ini bisa semakin sering terjadi lagi seiring dengan kecanggihan teknologi. Mengapa? Patut diduga, kasus Bank Mandiri sebagai uji coba terhadap pertahanan perbankan nasional. Uji coba untuk mengganggunya. Jika pada akhirnya ditemukan gangguan yang dilakukan secara sengaja (baik dari orang dalam), apalagi dari luar (bisa bank pesaing atau bisa juga ulah asing dan aseng), maka betapa lemahnya sistem keamanan perbankan kita. Jika uji coba ini berhasil, tidak menutup kemungkinan akan terjadi gangguan terhadap sistem perbankan nasional secara berturut-turut. Hal itu akan menyebabkan perekonomian nasional porak-poranda. Misalkan, tiba-tiba sistem dalam ATM atau yang berhubungan dengan uang elektronik atau E-Money diganggu dalam waktu sehari atau dua hari atau seminggu. Akibatnya, berapa banyak masyarakat yang tidak bisa berbelanja. Bahkan, mereka yang tidak memegang uang kontan -- karena telah mempercayakan transaksi lewat E-Money -- bisa kelaparan. Mau belanja atau makan di warung sederhana tak punya uang kontan, kalau makan atau belanja di restoran atau swalayan tidak bisa karena jaringan sedang terganggu. Ya, peristiwa yang terjadi pada Bank Mandiri dan PLN perlu dicermati. Perlu investigasi yang lebih mendalam. Pihak-pihak yang bertanggunggajawab di kedua BUMN itu jangan buru-buru mengeluarkan pernyataan yang menganggap persoalannya spele. Lakukan investigasi -- jika perlu investigasi independen -- sehingga terbongkar borok-borok yang sebenarnya. Bank Mandiri dengan jumlah nasabah 83,5 juta masih rentan diganggu. Saya belum mendengar keterangan dari direksinya, apakah kasus yang baru menimpa Mandiri menyebabkan nasabah eksodus ke bank lainnya. Atau barangkali, kasus Mandiri itu menyebabkan masyarakat semakin rajin menyimpan uangnya di bawah bantal, membeli emas, menyimpan dalam bentuk mata uang asing atau tabungan dalam investasi lainnya. *

Gimana Kalau Serangan Siber Mandiri Ternyata Benar Adanya?

Sampai saat ini peristiwa “blackout” di Bank Mandiri juga tidak ada kelanjutannya. Padahal kabarnya Menteri BUMN Rini Soemarno dan pihak OJK telah memanggil Direksi Bank Mandiri. Tidak jelas, apakah pemanggilan itu terkait dengan sanksi atau siasat untuk meredam gejolak di publik. Oleh: Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sebuah website yang tulisan opininya banyak diisi oleh wartawan senior dari berbagai media bernama fnn.co.id (FNN-Forum News Network) dilaporkan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya oleh Bank Mandiri. FNN dilaporkan pihak Mandiri karena diduga menyebarkan berita hoax terkait Bank Mandiri yang akan bangkrut dan mengalami kerugian mencapai Rp 9 triliun. Inilah yang kemudian menyebar di media sosial dan grup-grup WA. “Kami menyatakan bahwa 100 persen berita yang terpampang di FNN.xx.id itu adalah berita hoax dan tidak ada yang kami alami seperti yang disampaikan,” kata Senior Vice President Bank Mandiri Rohan Hafas, Kamis (15/8/2019). Melansir Detik.com, Kamis (15 Agustus 2019, 14:20 WIB), Rohan menyebut laporan sudah dibuat pada hari Rabu (14/8/2019) lalu. Berita hoax yang menyebut Bank Mandiri rugi dan akan bangkrut merugikan perusahaannya. Sebab, kepercayaan nasabah ataupun masyarakat bisa berkurang akibat pemberitaan tersebut. “(Kerugian Bank Mandiri) kepercayaan masyarakat. Kepercayaan masyarakat paling penting dari industri perbankan,” ungkap Rohan. “Karena dengan kepercayaan itulah orang nabung di sebuah bank kan,” lanjut Rohan. Ia menyebut berita dari media online itu pertama kali muncul pada Selasa (13/8/2019). Berita itu lalu di-repost di media sosial Facebook oleh sejumlah akun. Isinya, “Bank Mandiri mengalami kerugian ada serangan cyber sehingga mengakibatkan kerugian Rp 9 triliun,” kata Rohan. “Kemudian dari dampaknya adalah Bank Mandiri akan bangkrut dan diambil oleh China,” lanjutnya. “Itu berita garis besarnya seperti itu dan nggak tahu motifnya, tapi itu sangat nggak ada dasar apa pun, tidak ada kerugian dialami dan tidak ada serangan cyber, tidak ada China yang ambil Bank Mandiri,” sambung Ronan. Dalam kesempatan yang sama, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menyebut pihaknya sudah menerima laporan itu. Pihaknya hari ini juga sudah memeriksa saksi dari pihak Bank Mandiri. “Ini pernyataan kepolisian, sudah kita terima laporannya dan kita lakukan penyelidikan. Nanti kita klarifikasi terlapor seperti apa dan saksi-saksi yang lain dan barbuknya seperti apa,” kata Argo. Latar belakang dari keluarnya pernyataan Rohan ini adalah tulisan berjudul “Dijebol Siber Rp 9 Triliun, Bank Mandiri Segera Bangkrut?” yang ditulis oleh Luqman Ibrahim Soemay di fnn.co.id, Selasa (13/8/2019). Dalam tulisan tersebut, disebutkan bahwa Bank Mandiri memang sedang menuju liang kebangkrutan. Informasi ini didasarkan pada pernyataan sumber di internal Bank Mandiri yang tidak disebutkan identitasnya di dalam tulisan. Ia juga menyebut, kebangkrutan ini terjadi karena secara teknis keamanan, sistem Informasi dan Teknologi (IT) Bank Mandiri sangat tidak mungkin untuk bisa dipulihkan. Kejadian ini pun dinilai murni akibat serangan dari dalam Bank Mandiri sendiri. Namun, yang perlu dicatat, mengutip berita Tempo.co, Rabu (14/8/2019), dalam tulisan ini sama sekali tidak disebutkan Bank Mandiri akan diambil Cina, seperti yang disampaikan Rohan. Di sini Rohan justru menyebar hoax soal “akan diambil Cina”. Menurut Rohan, Bank Mandiri merupakan bank milik pemerintah terbesar di Indonesia dan diawasi langsung oleh OJK dan BI. “Dengan kondisi ini, tidak mungkin segala kejadian tidak dimonitor dan diawasi oleh kedua institusi tersebut,” ujarnya. Saat ini, ia menyebut Bank Mandiri akan berkoordinasi dengan kepolisian untuk menindak pelaku penyebaran isu itu. Bank Mandiri pun mengimbau masyarakat tidak ikut menyebarkan berita bohong karena bisa melanggar UU Nomor Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang biasa disebut UU ITE. Raibnya 9 Triliun? Mengutip fnn.co.id, Raibnya saldo nasabah Bank Mandiri dan blackout-nya PLN Jawa-Bali bukan perkara yang saling bebas. Tetapi saling berkelindan. Namun, tulisan ini hanya mau mengungkap keanehan pada Bank Mandiri. Keanehan utamanya adalah sampai detik ini pemerintah selaku pemegang saham pengendali tidak melakukan pemecatan terhadap Direksi Bank Mandiri. Tidak juga ada pemberhentian sementara terhadap minimal Direktur Teknologi Informasi (IT) Bank Mandiri. Sampai saat ini peristiwa “blackout” di Bank Mandiri juga tidak ada kelanjutannya. Padahal kabarnya Menteri BUMN Rini Soemarno dan pihak OJK telah memanggil Direksi Bank Mandiri. Tidak jelas, apakah pemanggilan itu terkait dengan sanksi atau siasat untuk meredam gejolak di publik. Tampaknya lebih untuk meredam gejolak publik. Karena hingga saat ini belum terpublikasi soal adanya sanksi terhadap Bank Mandiri dan Direksi Bank Mandiri. Selain Kementerian BUMN dan OJK, Ombudsman Indonesia juga sudah memanggil Direksi Bank Mandiri. Namun itupun hanya sekadar penjelasan mengapa terjadi dan bagaimana pemulihannya. Terus pemulihannya bagaimana? Selentingan sumber menyebutkan, hingga saat ini Bank Mandiri konon sudah jebol Rp 9 Triliun. Bank Mandiri juga tidak mampu untuk melakukan trackback atas dana-dana yang hilang dari tabungan nasabah. Dari peristiwa blackout-nya saldo rekening nasabah Bank Mandiri, sekitar 19 – 20 Juli 2019 lalu, Bank Mandiri telah melakukan trackback berhari-hari. Bahkan sampai seminggu lebih. “Hari Sabtu dan Minggu ini (28 Juli 2019, red), tim IT Mandiri masih melakukan trackback dan belum berhasil,” ujar sumber tersebut. Sampai selesai pemanggilan di Ombudsman, Direktur Bisnis dan Jaringan Bank Mandiri Hery Gunadi menjelaskan, akibat gangguan itu, ada sekitar 2.600 nasabah yang saldonya bertambah. Sekitar 90% dari 2.600 rekening nasabah sudah kembali normal. Saat ini hanya tinggal sekitar 5-10% saldo lebih yang belum dikembalikan ke bank. “Masih tinggal 5-10% lagi yang belum kembali. Jumlah kerugiannya ya sekitar Rp 10 miliar,” kata Hery dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman, Jakarta (29/7/2019). Untuk mendapatkan kembali dana tersebut, bank gencar mendekati nasabah secara persuasif pada nasabah yang telah melakukan penarikan. “Karena rekening kan milik mereka, mereka berhak kelola. Yang kelebihan 2.600 itu sudah dikembalikan sekitar 90%. Kalau diomongin nasabah pasti mengerti,” jelas dia. Menurut sumber, Bank Mandiri bukan hanya rugi Rp 10 miliar saja. Namun, Bank Mandiri kehilangan dana pihak ketiga hingga Rp 9 triliun. Hingga minggu pertama Agustus ini, dana Rp 9 triliun itu belum bisa di-trackback ke Bank Mandiri. Kalau soal Bank Mandiri rugi Rp 10 miliar itu perkara yang mudah. Sedangkan bagaimana dengan yang Rp 9 triliun itu? Tampaknya tim IT bank pelat merah ini sepertinya memang tidak mampu mengembalikannya lagi ke Bank Mandiri. Peristiwa “blackout”, Bank Mandiri ini bermula dari kericuhan di media sosial, Sabtu 20 Juli 2019. Sejumlah nasabahnya mengeluhkan saldo tabungannya. Mereka mengeluh lantaran nominal saldonya berubah drastis. Banyak nasabah Bank Mandiri mengeluhkan saldonya berkurang. Namun, ada juga nasabah yang saldonya bertambah. Kejadian ini juga membuat nasabah bingung. Kemudian Bank Mandiri meresponnya seketika pada Sabtu, 20 Juli 2019. Bank Mandiri menggelar konferensi pers perihal gangguan jaringan Bank Mandiri yang lagi bermasalah, sehingga menyebabkan saldo nasabah berubah drastis. Ada saldo yang menjadi nol rupiah (Rp 0). Ada juga yang mendadak bertambah. Melalui akun twitter resmi, Bank Mandiri menyatakan, pihaknya telah melakukan investigasi dan meminta nasabah tidak perlu khawatir perihal saldonya. Dipastikan saldo nasabah tidak berkurang. Apa lacur, malah Bank Mandiri yang konon kehilangan Rp 9 triliun. Bank Mandiri yang terkena blackout akibat serangan siber. Menurut sumber di dalam, Bank Mandiri memang sedang menuju liang kebangkrutan. Pasalnya, secara teknis keamanan, sistem IT Bank Mandiri sangat tidak mungkin untuk bisa dipulihkan. Kejadian ini murni akibat serangan dari dalam Mandiri sendiri. Pelaku penyerangan diduga dari dalam Bank Mandiri. “Saya meyakini orang dalamlah yang menjadi pemain utamanya,” ujar seorang sumber yang sangat paham dengan seluk-buluk IT Bank Mandiri tersebut. Lalu, apakah pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN terlibat? Besar kemungkinan juga ikut terlibat. Indikasinya adalah hingga saat ini tidak ada sanksi apapun dari pemerintah sebagai pemegang saham pengendali kepada direksi Bank Mandiri. Kejadian blackout Bank Mandiri itu sangat mempengaruhi kepercayaan publik pada sistem perbankan nasional, khususnya sistem IT. Untuk itu pihak pemegang saham pengendali, yaitu pemerintah yang diwakili Kementerian Bank BUMN harus segera memberikan sanksi atau bahkan memecat Direktur IT Bank Mandiri. Manajemen Bank Mandiri seharusnya tidak gegabah dengan langsung melaporkan FNN ke Polisi. Bahkan, menuding sebagai penyebar hoax. Padahal, Ronan sendiri telah menyebar hoax soal Bank Mandiri “akan diambil Cina”. Bagaimana kalau yang ditulis oleh Luqman Ibrahim Soemay di FNN tersebut ternyata benar adanya? Hingga tulisan ini dibuat, setidaknya tulisan itu sudah 48.503 kali dilihat, 1.889 kali dilihat hari ini. Agar lebih jelas terkait dengan dugaan rabibnya duit Rp 9 triliun yang disebutkan Luqman itu, seharusnya PPATK dan BPK turun tangan. Orang bijak mengatakan, janganlah lihat siapa atau media yang menulisnya. Tapi, lihatlah apa isi tulisannya! End.

ICOR Tinggi, Pertanda Korupsi Masih Marak

Jika Indonesia akan mencapai target pertumbuhan ekonomi 7% sebagaimana dicita-citakan Jokowi pada kampanye 2014, maka nilai investasi yang harus dikumpulkan adalah sebesar Rp1.481 triliun. Oleh Hudzaifah (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Investasi Indonesia yang besar-besaran di bidang infrastruktur ternyata tak membuat pertumbuhan ekonomi beranjak dari 5%. Bahkan celakanya bersamaan dengan investasi yang begitu tinggi, justru indikator Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia makin tinggi. Gejala apakah ini? Sepertinya Pemerintahan Jokowi selama lima tahun terakhir sudah begitu jor-joran, gegap gempita dan cetar membahana. Namun selama kurun waktu itu juga pertumbuhan ekonomi stagnasi di level plus minus 5%. Bahkan ICOR Indonesia sepanjang tahun terus menanjak, pada 2018 mencapai 6,3, menunjukkan inefisiensi investasi. Artinya, untuk mencapai pertumbuhan Produk Domestik Bruto (gross domestic bruto—GDP) 1%, maka Indonesia butuh nilai investasi 6,3 kali dari nilai pertumbuhan tersebut. Bandingkan dengan ICOR Malaysia pada periode yang sama hanya berada pada level 4,6, disusul Thailand sebesar 4,5, dan yang terendah Filipina sebesar 3,7. Asian Development Bank (ADB) pernah menyusun tabulasi nilai ICOR pada tujuh negara pada 2017. Tujuh Negara yang dimaksud adalah Indonesia 5.5, Malaysia 4.6, Filipina 3.7, Thailand 4.5, Vietnam 5.2 dan India 4.9 serta Turki yang mencapai ICOR 3.9. ICOR adalah koefisien produktivitas suatu nation state yang bersaing dengan nation state lain untuk berkontestasi di pasar global. Kalau angka ICOR tinggi berarti bangsa itu tidak efisien. Untuk tumbuh satu persen memerlukan investasi 6,3 kali dari PDB. Skor ICOR dipatok pada level 1 hingga 10. Makin rendah ICOR suatu negara makin efisien investasi di negara itu, sebaliknya makin tinggi ICOR suatu negara maka semakin tidak efisien negara itu. Dalam kasus Indonesia, untuk mendapatkan input pertumbuhan ekonomi Rp1.000 maka nilai investasi yang harus disediakan adalah Rp6.300. ICOR yang baik bagi suatu negara ada pada kisaran 3 hingga 4. Jika Indonesia akan mencapai target pertumbuhan ekonomi 7% sebagaimana dicita-citakan Jokowi pada kampanye 2014, maka nilai investasi yang harus dikumpulkan adalah sebesar Rp1.481 triliun. Padahal realisasi investasi Indonesia pada 2018 hanya Rp721,3 triliun, wajar kalau hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi 5,17% atau jauh dari target 5,4% dala APBN 2018. ICOR Indonesia yang tinggi ini diawali sejak masyarakat dipungli mengurus birokrasi perizinan oleh eksekutif dan juga biaya legislatif yang ikut ditanggung lewat pungli dan pungutan diluar pajak, juga sistem yudikatif yang korup. Kemudian suku bunga bank juga relatif tinggi karena spread yang tinggi di industri perbankan. Di samping itu UMR karyawan ikut naik, sementara harus bersaing dengan tetangga dan pesaing lain. Tumpukan beban itulah yang mengungkung masyarakat awam maupun bisnis di Indonesia entah hanya sebagai karyawan maupun sebagai pengusaha. Ongkos rente politik birokrasi parpol sangat tinggi tercermin dari angka ICOR 6,3 menurut studi empiris ADB. Sementara itu berdasarkan data dalam lampiran empat tahun Jokowi-JK mengelola pemerintahan angka ICOR kita malah sejak 2014 ICOR kita berkisar sekitar enam dan tidak bergeming. Pada 2013 ICOR Indonesia masih di level 4,5, pada 2014 lompat ke level 6,8, kemudian pada 2015 sedikit memburuk ke 6,78. Padahal di tahun 2011 masih di kisaran 3,8, bahkan pada 2007 masih di level 3,5. Sejak 2009 ICOR Indonesia naik di atas kisaran 5,0 (Sumber: World Bank dan BPS). Pada 2016 turun sedikit ke 6,46. Lalu pada 2017 ke level 6,34 dan pada 2018 masih di kisaran 6,33. Faktor yang diukur ADB adalah masalah upah dan seluruh biaya sosial dari pelayanan birokrasi dikombinasikan efisiensi bangsa ini. Presiden Jokowi diketahui telah menempatkan perang lawan ICOR ini dengan Saber Pungli dan OTT KPK yang diharapkan menurunkan ICOR Indonesia dari enam ke empat atau bahkan ketiga, dengan kebijakan pelayanan satu atap (one stop service—OSS). Tetapi sistim kepartaian plural tetap merupakan sumber dan akar masalah high poltical and bureaucratic cost yang harus ditanggung masyarakat dan pebisnis maupun dalam aktivitas sosial dengan biaya public goods and service yang mahal dan tidak bisa bersaing dengan negara lain. Karena itu juga ekspor kita tidak beranjak jauh dan bahkan kalah dari Vietnam. Bila pemberantasan korupsi dan perizinan OSS gagal dan masyarakat terus dibebani dengan pungli dan suap korupsi, maka nilai rupiah tidak bisa dikomando untuk menguat. Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan inefisiensi dalam investasi yang dilakukan pemerintah yang ditandai dengan ICOR meningkat. Pertama, tidak efisiennya pembangunan ekonomi yang dijalankan. Kedua, adanya unsur pelunasan utang luar negeri yang tinggi dan didominasi dengan valuta asing. Ketiga, adanya mark up dan korupsi dalam proses pembangunan dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi berjalin berkelindan dengan sistem politik yang korup. Dulu Begawan Ekonomi Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo sempat menyindir adanya kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun sebesar 30%. Hari ini, tingkat kebocoran anggaran itu disinyalir sudah mencapai 65%. Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mochammad Jasin, Indonesia masih berada pada tingkat ICOR tertinggi di ASEAN, yakni rerata sebesar 6, sedangkan rerata ASEAN 3,5. Hal ini, menurutnya sebagai akibat dari banyaknya praktik mark-up, mark down dan korupsi di Indonesia. Selain itu kebocoran APBN atau pembangunan yang mencapai 65% juga menjadi masalah bagi kondisi Indonesia. Oleh karenanya, Jasin berpendapat, penting untuk Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra K/L) yang dituangkan dalam perencanaan dan program kerja tahunan harus disusun indikator kinerja, target capaian kinerja, evaluasi kinerja dan rekomendasi perbaikan kinerja K/L. Jasin juga menjelasakan modus operandi korupsi yang kerap dilakukan DPR dan DPRD yakni memperbesar mata anggaran untuk tunjangan dan fasilitas anggota dewan, menyalurkan dana APBN/APBD bagi anggota dewan melalui yayasan fiktif dan memanipulasi perjalanan dinas. Sedangkan modus operandi pejabat daerah kerap kali pada pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan mark up harga dan mengubah spesifikasi barang. Oleh sebab itu, pentingnya bagi lembaga audit investigasi untuk bersikap independen dalam mengidentifikasi penyebab dan kemungkinan adanya kecurangan atau fraud dalam penyelenggaraan APBN. Audit investigasi bertujuan mendapatkan keyakinan yang memadai mengenai apakah fraud tersebut benar terjadi berdasarkan bukti audit yang kuat dan valid. Salah satu indikator ICOR adalah terjadinya kebocoran anggaran. Kebocoran anggaran berpotensi terjadi dari sisi realisasi APBN setiap tahunnya. Namun berdasarkan data realisasi APBN dari Kemenkeu, dalam 10 dasawarsa terakhir, angka realisasi APBN secara rata-rata berada di atas 94%. Pada 2004 realisasi APBN mencapai 99,33%, pada 2006 mencapai 95,43%, 2008 sekitar 99,62%, 2010 mencapai 92,54%, dan 2012 sekitar 96,33%. Sementara realisasi anggaran baik penerimaan maupun belanja negara pada 2014 tercatat sebesar 94,50%, sedangkan pada 2015 langsung anjlok ke posisi 87,95% dan pada 2016 menjadi 88,2%. Setiap tahunnya, pemerintah juga terus menyempurnakan mekanisme penyusunan anggaran sekaligus mempermudah prosedur realisasi sehingga penyerapan anggaran diharapkan lebih optimal. Yang masih menjadi persoalan mungkin terkait dengan persoalan kualitas dari penyerapan anggaran itu sendiri. Meskipun sudah menerapkan sistem Performance Based Budgeting (PBB), persoalan kualitas penyerapan anggaran mau tidak mau masih menjadi kendala utama. Tidak tercapainya optimalisasi penerimaan perpajakan juga disinggung sebagai salah satu penyebab terjadinya kebocoran anggaran. Namun perlu diperhatikan bahwa melesetnya potensi penerimaan perpajakan tidak seutuhnya disebabkan oleh lemahnya kinerja aparat perpajakan melainkan juga dipengaruhi oleh faktor eksternal lainnya seperti melemahnya demand akibat resesi global. Pemerintah juga terus melakukan pengurangan potensi terjadinya penurunan potensi penerimaan perpajakan yang disebabkan perilaku moral hazard aparat penegak pajak itu sendiri melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 111/PMK.03/2014 tentang pegawai pajak yang beralih menjadi Konsultan Pajak. Potensi kebocoran anggaran lainnya yang memungkinkan adalah hilangnya potensi penerimaan negara dari hasil pengelolaan sumber daya alam (SDA) baik tambang maupun kekayaan non-tambang lainnya. Namun demikian, potensi hilangnya penerimaan dari hasil pengelolaan SDA baik tambang dan non-tambang sangat bergantung kepada kesepakatan kontrak yang sudah ditanda-tangani sebelumnya. Yang mungkin dilakukan adalah merenegosiasi kontrak kesepakatan yang sudah akan jatuh tempo untuk dilakukan perhitungan ulang demi memenuhi aspek keadilan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwasanya isu kebocoran anggaran merupakan hal sensitif yang sangat fundamental. Namun demikian, validitas data merupakan hal yang mutlak dikedepankan. Jangan sampai isu tersebut kemudian sekedar menjadi isu politik demi mengejar popularitas semata. Saatnya Presiden Jokowi mengecangkan ikat pinggang, dalam arti jangan sekadar gegap gempita membangun infrastruktur, mengejar wajib pajak, mengejar pajak dana pihak ketiga, tapi juga perlu meningkatkan efisiensi investasi agar tidak mubazir.[]

Mengapa Banyak Tikus di BUMN?

KPK menyesalkan tidak adanya sikap tegas dalam kepemimpinan di BUMN untuk menerapkan GCG. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN -Badan Usaha Milik Negara atau BUMN memang lumbung duit. Berdasarkan data Kementerian BUMN, pada tahun 2018 lalu, aset perusahaan pelat merah tercatat Rp8.092 triliun. Saban tahun duit itu beranak dan pada 2018 keuntungan BUMN mencapai Rp200 triliun. Dari keuntungan sebanyak itu, deviden yang disetor ke pemerintah Rp43 triliun. Lantaran lumbung duit, tikus sudah pasti mengincar. Tikus itu ada yang kecil ada yang besar. Teranyar adalah tertangkapnya Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II, Andra Y Agussalam, dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Andra bukan tikus, eh, orang pertama yang tertangkap basah bermain patgulipat duit BUMN. Pada kasus Andra, diduga menerima suap dari PT INTI. KPK mengamankan duit dalam pecahan dolar Singapura, jika dirupiahkan setara Rp1 miliar. Belum lama, Wisnu Kuncoro, Direktur Teknologi dan Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. juga mengalami nasib sama. Ia terjaring OTT KPK pada Maret 2019. Wisnu terjaring KPK terkait dugaan pengadaan barang dan jasa. Lalu, eks Direktur Utama PT Asuransi Jasindo (Persero), Budi Tjahjono, juga dicokok KPK karena didakwa korupsi Rp3 miliar dan US$662.891. Budi Tjahjono bersama dengan Direktur Keuangan dan Investasi Asuransi Jasindo periode 2008-2013, Solihah, dituduh melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri. Sofyan Basir, saat menjadi Dirut PLN, juga ditetapkan sebagai tersangka korupsi terkait dengan kasus suap proyek PLTU Riau-1. Deretan bos BUMN yang mencuri duit negara lumayan panjang. Sebagian dari mereka masih dalam status terangka. Sebut saja Firmansyah Arifin saat menjabat Direktur Utama PT PAL Indonesia (Persero). Lalu, RJ Lino saat menjabat Direktur Utama PT Pelindo II. Emirsyah Satar, saat menjabat Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Juga Karen Agustiawan, saat menjabat Dirut PT Pertamina (Persero). Sebelum panen koruptor di BUMN, tahun lalu, Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, juga sempat mensinyalir indikasi ada banyak direksi BUMN yang melakukan tindak pidana korupsi. Kala itu, KPK tengah menangani kasus korupsi di PT Nindya Karya yang diduga korupsi pembangunan Dermaga Bongkar pada Kawasan Perdagangan Bebas dan pelabuhan bebas Sabang yang dibiayai APBN tahun 2014-2011. Dari deretan kasus tersebut memberikan bukti bahwa pengelolaan BUMN sangat rawan korupsi. Panen koruptor di perusahaan negara ini memprihatinkan. Tentu lumayan banyak duit BUMN yang ditilep “kucing garong” itu. Sayangnya, sejauh ini belum ada penelitian berapa sejatinya kerugian BUMN akibat korupsi para direksinya. Hanya saja, Indonesia Corruption Watch ( ICW) pernah mengungkap kerugian negara akibat korupsi pada 2018 mencapai Rp9,29 triliun. Jumlah ini tentunya termasuk korupsi di BUMN. Tata Kelola Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (1/8) malam menyatakan miris terhadap praktik korupsi yang terjadi di PT AP II dan PT INTI tersebut. BUMN seharusnya bisa bekerja lebih efektif dan efisien untuk keuangan negara, tetapi malah menjadi bancakan hingga ke anak usahanya. KPK selalu menyesalkan adanya pejabat di perusahaan BUMN yang terjerat kasus korupsi. Padahal KPK selalu menekankan agar BUMN menerapkan prinsip kehati-hatian yang lebih baik dibandingkan dengan sektor swasta. Di samping itu, seharusnya ada sikap tegas di kepemimpinan BUMN untuk menerapkan GCG. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuris Rezha, mengingatkan seharusnya ada perhatian dari perusahaan pelat merah untuk meningkatkan perbaikan tata kelola. "Khususnya dalam hal pengerjaan proyek infrastruktur serta untuk mengantisipasi tindak pidana suap para pegawainya," ujarnya. Ia mengaku heran tindak pidana korupsi masih terjadi di BUMN, meski KPK sudah sejak lama mendorong BUMN agar berintegritas. Salah satunya, melalui penerapan Good Corporate Governance (GCG). Itu sebabnya, BUMN, khususnya yang sudah terjerat kasus korupsi, perlu melakukan evaluasi internal. Kaitannya apakah prinsip GCG sudah diterapkan secara maksimal atau belum. Hal ini sebenarnya sudah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategis Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Dalam dokumen itu salah satu fokusnya adalah penerapan sistem manajemen antisuap, baik di pemerintahan maupun sektor swasta termasuk BUMN.

Ketika Jokowi Tertipu Unicorn, Lembong Pun Limbung

Kepala BKPM Thomas Lembong, menyatakan empat unicorn yakni Traveloka, Tokopedia, Bukalapak, dan Gojek adalah milik Singapura. Berbeda dengan klaim Jokowi yang menyatakan keempatnya milik Indonesia. Lembong keceplosan lalu dilarat. Oleh Hudzifah (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kabar buruk dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong soal 4 unicorn milik Singapura benar-benar bak petir di siang bolong. Sebab kita mendengar informasi pertama dari Presiden Jokowi bahwa ke-4 unicorn itu adalah milik Indonesia, kebanggaan tanah air. Kok bisa? Inilah ciri jaman disrupsi informasi (disruption information), Secara garis besar, pengertian disrupsi (disruption) adalah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disrupsi berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan baru. Disrupsi bisa dilihat sebagai sesuatu yang positif karena merupakan sebuah inovasi yang dinamis. Namun kaitannya dengan disrupsi informasi, dapat berarti informasi lama digantikan dengan informasi baru. Dalam konteks inilah informasi yang disampaikan Jokowi saat menjadi calon presiden begitu ‘pede’ dan bangga sekali dengan keberadaan unicorn yang dikembangkan anak bangsa. Bahkan sedikit menyudutkan Prabowo yang seolah tak paham soal unicorn, perusahan rintisan bermodal di atas US$1 miliar di Indonesia. Informasi lama datang dari Presiden Jokowi dan tentu kemungkinan besar atas bisikan Menkominfo Rudiantara. Bahwa Indonesia memiliki 4 unicorn, perusahaan rintisan (start up) dengan valuasi di atas US$1 miliar (Rp14 triliun). Keempatnya adalah Traveloka, Tokopedia, Bukalapak, dan Gojek. Bahkan belakangan Grab baru saja akan disuntik dana oleh pemodalnya Softbank Group hingga US$2 miliar. Informasi terbaru datang dari Kepala BKPM Tom Lembong, yang menyatakan keempat unicorn, bahkan yang kelima juga, adalah milik Singapura. Menurut Lembong keempat unicorn tersebut belum masuk dalam daftar hitungan investasi dalam negeri. Artinya, belum ada investasi yang masuk ke perusahaan start-up yang beroperasi di Indonesia. Investasi justru masuk ke perusahaan induk start-up tersebut di Singapura. “Jadi yang sedikit membingungkan ada pengumuman bahwa Grab akan investasi lagi sekian (US$2 miliar) dan Gojek baru dapat fund raising, tapi tidak nongol dalam arus modal masuk dalam bentuk investasi. Yang masuk investasi ke Singapura, induknya,” demikian jelas Tom Lembong di kantornya akhir bulan lalu. Fakta itu terkuak setelah hasil riset Google dan Temasek yang dalam laporannya menyebutkan bahwa investasi keempat start-up itu masuk ke perusahaan inti di Singapura. “Malah keempat unicorn kita (yang diklaim Jokowi) diklaim sebagai unicorn mereka,” tambah Lembong. Ia menambahkan uang yang masuk ke Indonesia hanya berupa pembayaran vendor-vendor, misalnya pembayaran iklan hingga sewa kantor. Seringkali masuknya bukan dalam bentuk investasi tapi oleh induk unicorn Singapura langsung membayar ke vendor atau supplier Indonesia. Jadi ada arus modal masuk tapi tidak langsung masuk ke PT di Inodnesia. Ternyata struktur arus dananya seperti itu. Tengok saja siapa sebenarnya pemodal kelima unicorn yang sudah terlanjur diklaim Jokowi milik kita, ternyata dibantah Lembong milik Singapura. Menurut laporan Tech-Crunch, Go-Jek telah mendapat persetujuan suntikan dana dari beberapa investor: Google, JD.com, dan Tencent sebesar US$920 juta (Rp13 triliun) yang bakal menaikkan valuasi perusahaan menjadi sekitar US$9,5 miliar (Rp133 triliun). Artinya, tinggal selangkah lagi Go-Jek “naik kelas” menjadi decacorn, yaitu startup dengan valuasi USD10 miliar ke atas. Di antara puluhan investor Go-Jek, diketahui hanya ada dua perusahaan dari dalam negeri, yakni Astra International Tbk (Indonesia) dengan kucuran dana US$150 juta (Rp2 triliun) dan Global Digital Niaga, anak perusahaan modal ventura Global Digital Prima (GDP) milik Djarum Group. Mereka tergabung dalam konsorsium investor yang menyuntikkan dana ke Go-Jek pada putaran penggalangan dana mulai akhir 2017 hingga awal 2018. Para investor lain Go-Jek kebanyakan perusahaan Amerika Serikat, China, dan Singapura. Dominasi kekuatan ekonomi asing di balik start-up lokal yang telah menjelma menjadi unicorn juga bisa dilihat di Tokopedia. Hanya ada satu investor lokal di perusahaan ini, yaitu Indonusa Dwitama, di antara sembilan perusahaan yang terdata oleh crunchbase.com. Indonusa Dwitama merupakan pemodal pertama Tokopedia serta menjadi bagian tak terlepaskan dari sejarah awal perjalanan e-commerce yang didirikan William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison ini. Kucuran dana terbaru yang diterima Tokopedia berasal dari Alibaba Group (China) dan Softbank Vision Fund (Inggris) senilai US$1,1 miliar melalui penjualan saham seri G pada 21 November 2018. Unicorn lokal lain, Traveloka, juga berkembang dengan kucuran dana dari investor AS, China, Jepang, dan India. Sedangkan info terbaru Soft Bank Group baru saja berencana menyuntik modal ke Grab senilai US$2 miliar (Rp28 triliun). Praktis semua unicorn di Indonesia kelaminnya adalah milik asing, bukan kelamin lokal sebagaimana yang digembar-gemborkan Presiden Jokowi. Tak tercatat satu pun investor lokal di perusahaan agregasi jasa perjalanan online ini. Beda dengan itu, mayoritas saham Bukalapak masih dikuasai PT Emtek yang masuk ke e-commerce besutan Achmad Zaky dan Nugroho Heru cahyono ini sejak 2014. Emtek, melalui anak perusahaannya, PT Kreatif Media Karya (KMK) memiliki 49,15% saham Buka lapak dari beberapa putaran investasi yang nilainya ditaksir hampir mencapai Rp500 miliar. Namun, Emtek hanya satu dari dua investor lokal Bukalapak. Satu investor lokal lainnya adalah Batavia Incubator, perusahaan join Corfina Group dengan mitranya, Rebright Partners, spesialis inkubator dari Negeri Matahari Terbit. Dari lima investor asing Bukalapak, tiga perusahaan dari Jepang, satu dari AS, dan satu perusahaan Korea Selatan yang baru saja mengucurkan US$50 juta pada pekan lalu. Lantas apa hikmah dibali unicorn yang sudah kadung kesohor milik lokal namun nyatanya milik asing itu? Pertama, jangan cepat percaya dan bangga dengan informasi fantastis kendati berasal dari presiden atau menteri sekalipun. Check dan re-check kembali dengan teliti sebelum menyesal di kemudian hari. Kedua, start-up raksasa atau unicorn ‘asal’ Indonesia, mayoritas sahamnya dikuasai asing yg berkedudukan di Singapore. Status perusahaan unicorn yang berkedudukan di Indonesia tersebut berubah fungsi menjadi kendaraan bisnis (special purpose vehicle--SPV) yang induknya ada di Singapura. Ketiga, Temasek sebagai Holding BUMN Singapura yang mengendalikan operasional kelima unicorn di Indonesia. Pola transfer pricing digunakan sehingga barang yang dipesan relatif lebih murah dibanding barang sejenis yg ada di mall-mall dan retailer di tanah air. Keempat, Indonesia hanya dijadikan pasar, industri manufaktur di tanah air menjadi mati suri, gaya hedonis menjadi life style rakyat Indonesia pada gilirannya mematikan karya anak bangsa. Lihat saja 187 gerai 7-Eleven, 32 gerai Giant, 80 gerai Matahari, Debenhams, Metro, dan lainnya harus tutup. Kelima, unicorn yang diklaim ‘asal’ Indonesia itu kini praktis menjadi "mesin sedot" uang perusahaan-perusahaan kelompok UMKM, retailer-retailer yang terkena dampak terpaksa tutup dan melakukan PHK. Keenam, akibat bisnis unicorn dan gegacorn di Indonesia, dipastikan ekonomi berbasis kerakyatan akan hancur alias kalah bersaing, terjadi capital outflow terselubung yang menggerus cadangan devisa dan memperlebar defisit transaksi perdagangan kita. Mengingat sebagian besar barang yang di-display di unicorn itu adalah impor dengan harga subsidi. Ketujuh, sebagai perusahaan yang berbasis teknologi informasi (IT), para unicorn itu tentu memiliki pusat data para pengakses aplikasinya. Dengan kepemilikan mayoritas, para investor asing itu dapat memanfaatkan database unicorn tersebut untuk kepentingan bisnis maupun kepentingan intelijen lainnya. Karena di industri IT dikenal idiom data is the new oil. Kedelapan, dominasi asing dalam bisnis yang berbasis penguasaan data publik secara jangka panjang bisa berisiko terhadap kedaulatan ekonomian nasional. Kesembilan, dengan pola-pola kebijakan yang ditempuh pemerintah selama ini tak hanya kedaulatan ekonomi yang menjadi taruhan, namun juga kedaulatan keamanan, kedaulatan informasi semakin terbuka. Semua tentang Indonesia sudah telanjang, terang benderan, tak ada lagi rahasia negara ini yang disembunyikan. Terlihat dengan terang benderang, dalan konteks informasi unicorn, Presiden Jokowi sebagai pihak yang tertipu. Entah siapa pembisiknya. Wajar kalau kemudian Tom Lembong menjadi Limbung. Kasihan Ibu Pertiwi, seperti sedang hamil tua, menunggu lahirnya Sang Pembela Negara. Karena tak ada lagi penjaga pilar bangsa, yang ada adalah para penjual negara.[] CAPTION FOTO: Data Unicorn Indonesia berdasarkan besaran valuasi (Sumber: iNews)