EKONOMI

Sri dan Luhut Jadi Menteri Lagi, Bagus Itu

Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo pagi tadi sudah mengumumkan dan melantik para menteri yang jadi pembantunya. Komentar dan respon pun berhamburan. Ada yang pro, juga kontra. Biasa. Seperti telah diduga sebelumnya, masuknya Prabowo Subianto dalam jajaran pembantu Joko menyita porsi lumayan dominan dalam parade komentar. Yang pro bilang, Prabowo masuk untuk memperbaiki dari dalam, untuk meningkatkan kualitas pertahanan dan kedaulatan NKRI dari rongrongan musuh eksternal, dan seterusnya, dan sebagainya. Sedangkan buat yang kontra, aneka respon tersebut bermuara pada tamsil macan yang sudah benar-benar menjadi kucing. Meong, meoong, meoooong.... Tulisan kali ini sama sekali tak hendak menyinggung perkara Prabowo. Saya sama sekali tidak tertarik. Komposisi tim ekonomi Kabinet Joko jilid dua justru lebih menarik. Posisi Menteri Keuangan yang kembali dijabat Sri Mulyani Indrawati, misalnya. Tak kurang menariknya adalah, Luhut Binsar Panjaitan, yang ternyata bukan saja tetap di posisinya sebagai Menko Kemaritiman. Dia bahkan dapat _job_ (baca: wewenang) tambahan, yakni investasi. Nomenklatur resminya, Menko Maritim dan Investasi. Gaya sekaligus powerful! Banyak pihak, khususnya ekonom garis lurus yang jauh-jauh hari sudah mengingatkan Joko, agar tidak memakai dua orang ini. Sebagai Menkeu, Sri Mulyani terbukti tidak mampu membuat ekonomi Indonesia meninggalkan angka ‘kutukan’ 5%. Selain itu, pejuang neolib di garda depan ini, juga selalu menerapkan prinsip investor first dalam penyusunan APBN dan kebijkan fiskalnya. Buat investor, khususnya asing, dia rajin mengobral berbagai keringanan bahkan pembebasan pajak. Sebaliknya, untuk UMKM, Sri justru hobi menggebuk mereka dengan berbagai pungutan. Prinsip mengutamakan investor yang diterapkan Sri bukanlah hal ganjil. Memang begitu karakteristik mazhab neolib. Siapa pun penganutnya, pasti akan mematuhinya. Apalagi bila yang bersangkutan punya posisi superpenting semisal menteri keuangan, tentu prinsip ini kian menemukan wujudnya. Ketatkan Anggaran Buktinya, ya Sri ini. Saat didapuk menjadi Menkeu di Kabinet Kerja tiga tahun silam, dia langsung melakukan pemangkas sejumlah pos anggaran. Dalihnya, untuk mengamankan APBN agar defisit tidak menganga lebar. Tidak tanggung-tanggung, perempuan ini memotong anggaran hingga Rp137 triliun di APBN. Para ekonom menyebut ini sebagai kebijakan pengetatan alias austerity yang pertama. Pos angaran apa sajakah yang kena gunting tajam Sri? Dalam tempo empat periode sekaligus (kuartal IV 2016-III 2017) pos Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib menjadi korban. Khusus di kuartal II-2017, sektor pengeluaran pemerintah ini tumbuh negatif, yaitu -0,03%. Padahal, ketiga pos ini terbukti menjadi penyumbang yang cukup dominan dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan tahunan dari sektor tersebut terjun bebas dari 7% pada 2016, menjadi hanya 2% setahun berikutnya. Akibatnya, kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi keseluruhan juga turun dari 0,23% di tahun 2016 jadi cuma 0,07% pada 2017. Buat rakyat awam, tentu angka-angka tadi sangat asing. Namun dampaknya langsung mereka rasakan. Daya beli masyarakat anjlog dan mengurangi pembelian produk industri. Kalau sudah begini, tentu saja sektor industri pengolahan yang langsung berhubungan dengan daya beli masyarakat jadi lesu darah. Pertumbuhan industri pengolahan tembakau remuk-redam, dari 3,52% (2016) jadi -0,64% (2017). Begitu juga dengan tekstil dan pakaian tekstil (TPT) yang anjlok dari 8,7% (2016) ke 3,8% (2017). Hal serupa terjadi pada industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki yang terjun dari 9,4% (2016) ke 2,2% (2017). Angka-angka bertabur merah tadi bermuara pada PDB yang menciut dari 5,17% pada 2016 menjadi 5,07% di tahun 2017. Sri dan jajarannya juga terbukti gagal memanfaatkan faktor menggeliatnya sektor konstruksi dan real estat sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi. Kini, di kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi kembali mencetak posisi terendah dalam tiga tahun terakhir, 5,06%. Peneliti Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra, mencatat sejumlah kegagalan Sri sebagai Menteri Keuangan. Rasio pajak Indonesia hanya 9%-10%, termasuk yang terendah di kawasan Asia dan Afrika. Terjadi deindustrialisasi yang tak terbendung. Industri baja yang pernah menjadi andalan dan kebanggaan nasional, terus berdarah-darah digempur baja impor dari Cina. Bahkan Batam yang digadang-gadang sebagai kawasan industri unggulan hanya mampu tumbuh 2%. Sri selalu mengklaim APBN disusun dengan sangat prudent hingga sangat stabil. Padahal faktanya, APBN kita lumayan rentan. Defisit transaksi berjalan sangat besar, US$8,4 miliar. Belum lagi data yang ada menunjukkan 50% lebih surat utang Pemerintah dimiliki asing. Sedikit saja asing berulah dan melepas obligasi Pemerintah, kita bisa dibuat jungkir-balik karenanya. Masih tentang surat utang negara (SUN), sebagai pejuang neolib yang gigih, Sri selalu memberi kupon/bunga yang kelewat tinggi. Angkanya berkisar 2-3% lebih tinggi ketimbang negara-negara yang credit rating-nya di bawah Indonesia. Kalau saja Sri mau bersikap profesional, Indonesia sudah selayaknya memperoleh bunga jauh lebih murah ketimbang Filipina dan Vietnam, misalnya. Sayangnya, jangankan lebih murah, berusaha dapat bunga pada harga yang sama dengan kedua negara itu pun dia tidak lakukan. Lalu, kalau saja dia mau menegosiasikan ulang, tentu sangat bermanfaat. Tidak usah banyak, cukup 1,5% bunganya berhasil diturunkan. Maka, hasilnya setiap tahun kita bisa menghemat anggaran sekitar Rp29 triliun. Jumlah ini bisa dimanfaatkan untuk menambal BPJS kesehatan yang compang-camping. Tapi, lagi-lagi hal itu tidak dia lakukan. Memang watak neolib selalu lebih mengutamakan kepentingan majikan asing ketimbang kesejahteraan rakyatnya sendiri. Kebiasaannya mengobral surat utang dengan bunga supertinggi inilah yang amat menyenangkan para investor. Ini pula yang menjelaskan mengapa mereka tidak segan-segan menghadiahi Sri dengan gelar sebagai Menkeu terbaik dunia. Bukan itu saja, tangan-tangan asing yang tak terlihat pula yang menyelamatkan Sri dari pusaran kasus Bank Century yang menghebohkan itu. Padahal, di dalam negeri prestasi dan kinerjanya justru membuat perekonomian mandeg dan beban rakyat kian berat saja. Pada titik ini, gelar Menkeu ‘terbalik’ justru jauh lebih pas baginya. Kembalinya Sri di posisi Menkeu sudah hampir pasti buah dari titipan (tekanan?) Bank Dunia dan IMF. Paling tidak, kita bisa membaca hal ini sebagai upaya kompromi sekaligus kompensasi yang diberikan Joko atas keberatan Amerika terhadap kian dominannya pengaruh Cina pada periode pertama kekuasaannya. Sebagai petugas yang baik, Sri tentu akan menjalankan kehendak majikan asingnya, IMF dan Bank Dunia. Guna memastikan prinsip investor first berjalan dengan baik, sangat mungkin dia akan lebih eksesif dalam mengetatkan anggaran sebagai babak lanjutan. Semua itu dimaksudkan agar APBN punya dana yang cukup untuk membayar pokok dan cicilan utang yang tiap tahun mencapai Rp680an triliun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan anggaran infrastruktur yang dibangga-banggakan, dan anggaran pendidikan sebagaimana diamanatkan Undang Udang yang minimal 20%. Seperti yang sudah-sudah, Sri juga tidak akan peduli kalau untuk itu dia harus memangkas anggaran sosial berupa subsidi bagi rakyat. Itulah yang menjelaskan mengapa harga BBM, listrik, gas dan berbagai kebutuhan dasar rakyat terus melonjak-lonjak. Makelar Cina Kini, kita lihat sosok menteri ekonomi yang ‘cukup fenomenal’ lainnya, Luhut Binsar Panjaitan. Sepak terjangnya selama menjadi menteri terkesan serampangan. Semua hal dia urus. Akibatnya, banyak warga net alas netizen menjulukinya sebagai Menteri ASU (Atasi Segala Urusan). Hobinya yang suka cawe-cawe di luar tugas pokok dan fungsi (Tupoksi)nya itu, membuat Faisal Basri Faisal menghujaninya dengan kritik. Kebijakan Luhut dinilai kerap tumpang-tindih dengan kementerian-kementerian yang tidak ada kaitannya dengan sektornya. Contohnya, Luhut bernafsu sibuk di mobil listrik. Padahal, harusnya, program itu jadi domain Kementerian Perindustrian di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Luhut juga dikenal sebagai menteri yang China minded. Apa-apa Cina. Sedikit ada masalah, solusinya Cina. Dia pula yang rajin memakelari aneka proyek raksasa di negeri ini kepada para pengusaha asal Negeri Tirai Bambu. Bahkan, untuk mengatasi kemelut keuangan BPJS pun, si Opung lagi-lagi menawarkan perusahaan asal Cina sebagai solusi. Selain sebagai pejabat publik, Luhut juga dikenal sebagai pebisnis. Jaringan usahanya mengurita ke bidang pertambangan, energi, listrik, dan lainnya. Banyak pihak menuding pensiunan jenderal ini punya konflik kepentingan, terutama di area pertambangan dan listrik. Kita tentu masih ingat, bagaimana dia berupaya menghapuskan aturan kewajiban pengusaha menjual 25% batubaranya kepada PLN. Maklum, harga ekspor sedang supergurih. Dia juga yang sangat bernafsu menentang pemberlakuan harga domestik untuk batubara yang dijual ke PLN. Persoalannya kini, Joko ternyata mengabaikan semua saran dan masukan seputar figur calon menteri di periode kedua kekuasaannya. Banyak orang pun jadi uring-uringan, misuh-misuh. Tak Independen Buat saya justru sebaliknya. Sikap ndegil bin kopeg Joko ini justru bagus. Ini menunjukkan sebagai presiden dia sama sekali tidak independen. Soal Sri, misalnya, sulit dibantah bahwa posisinya kembali sebagai Menkeu adalah hasil permintaan (tekanan?) IMF dan Bank Dunia. Begitu pula dengan mempertahankan Luhut di posisi semula plus wewenang di bidang investasi juga menjadi konfirmasi betapa Joko telanjur jatuh dalam cengkeraman Cina. Dengan posisinya sebagai Menko Maritim saja Luhut sudah jadi calo bagi perusahaan-perusahaan Cina, kok. Apalagi setelah ada embel-embel investasi, dengan sendirinya dia password bagi kian derasnya serbuan pengusaha Cina ke sini. Perbedaan investor Cina dengan Jepang, Amerika, Eropa dan sejumlah negara lain adalah pada pola bedol desanya. Cina bukan cuma membuka pabrik atau membangun infrastruktur di sini, tapi juga menggerojok utang dengan jumlah fantastis, membawa bahan baku plus tenaga kerja di semua level. Kombinasi duet Sri dan Luhut dipastikan akan membuat Indonesia semakin tidak bisa kemana-mana. Pertumbuhan akan ajeg di kisaran 5% bahkan lebih rendah lagi. Mimpi Joko bahwa rakyat akan punya pengasilan Rp27 juta per bulan pada 2045 benar-benar akan jadi impian belaka. Sebaliknya, beban hidup rakat makin berat. Ketimpangan sosial kian menganga lebar. Kalau sudah begini, tinggal seberapa kuat rakyat menahan beban dan sabar. Tapi ekadar mengingatkan, sejarah Indonesia modern bercerita Soekarno dan Soeharto tumbang karena krisis ekonomi. Padahal, keduanya dikenal sebagai penguasa yang kuat. Sudah, gitu aja! Jakarta, 23 Oktober 2019

Alipay dan WeChat Pay Masih Menanti Tahun Depan

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Belakangan ini viral di media sosial tentang beroperasinya dompet digital China, Alipay. Dalam berita viral itu menyebut Alipay, anak perusahaan Alibaba China, disahkan menjadi alat bayar nontunai di Indonesia. Mereka tidak menggunakan nama "Alipay" di sini tapi menggunakan nama "DANA" supaya tidak dicurigai rakyat. Serta menggandeng EMTEK Group. “Dengan disahkan Alipay maka sirnalah kedaulatan keuangan di Republik Indonesia karena Alipay adalah e-money asing pertama yang disetujui pemerintah,” begitu sang pemosting kabar itu yang viral di Facebook dan WhattApps. Benarkah kabar itu? Kerja sama PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTEK) dan Ant Financial (Alipay) memang sudah terjadi sejak tahun lalu. Pada 21 Maret 2018, keduanya meluncurkan aplikasi uang elektronik bertajuk DANA. Ini adalah sistem yang terintegrasi dengan aplikasi lain atau open platform. Uang yang disimpan di DANA bisa digunakan di merchant lain yang menjadi mitranya. DANA memanfaatkan lisensi e-money PT Espay Debit Indonesia Koe (Espay) yang telah diakuisisi Emtek pada awal 2017. Oleh sebab itu, untuk isi ulang (top up) DANA, baru bisa dilakukan melalui Bank Virtual Account. Sejauh ini, DANA masih memproses perizinan ke Bank Indonesia (BI) agar bisa melakukan top up secara tunai atau offline seperti Alfamart, Alfamidi, dan sebagainya. EMTEK juga mengajukan izin untuk kode Quick Response (QR) supaya bisa menyasar pelanggan offline. Saat ini, DANA baru hadir dalam versi beta di BBM (Blackberry Messenger). Dengan begitu, pengguna harus mengunduh BBM terlebih dulu, baru bisa mengakses DANA pada tab ‘discover’. Masa Transisi Dompet elektronik asal China tak cuma Alipay. WeChat Pay juga sudah masuk ke sini. Kedua dompet digital ini beroperasi di Indonesia bekerjasama dengan PT Alto Halo Network Digital (ADHI), entitas anak lembaga switching PT Alto Network. Alto Halo telah menjadi mitra resmi WeChat Pay sejak 2017, meski operasinya baru berlangsung pada Januari 2018. Sedangkan dengan Alipay, perseroan telah bekerjasama sejak November 2018 dan langsung memulai operasinya. Operasi Alipay dan WeChat Pay memang kontroversial, sebab dua dompet elektronik berbasis QR Code asing ini wajib bekerjasama dengan bank umum kegiatan usaha (BUKU) 4 untuk beroperasi di Indonesia. Sementara Alto Halo adalah merchant agregator. Kerjasama dengan BUKU 4 dilakukan guna menjamin kepastian penyelesaian transaksi, sebab pelaku asing punya kewajiban untuk menempatkan dana floating minimum 30% di BUKU 4. Deputi Gubernur Bank Indonesia, Sugeng, mengatakan mereka diberikan waktu untuk menyesuaikan ketentuan yang berlaku hingga Januari 2020 mendatang. Ini seiring dengan terbitnya Peraturan Dewan Gubernur Bank Indonesia 21/18/PADG/2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code untuk pembayaran. “Semua transaksi pembayaran berbasis kode QR mesti memenuhi standar QRIS (QR Code Indonesia Standard) di mana kewajibannya akan mulai berlaku pada Januari 2020. Selama masa transisi, pelaku asing mesti meminta izin ke BI, dan memenuhi ketentuan bekerjasama dengan BUKU 4,” ujar Sugeng seperti dikutip Kontan, belum lama ini. Urusan Teknis Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik telah mengatur penerbit asing mesti bekerja sama dengan BUKU 4 salah satunya untuk menyimpan floating money minimum 30% dari portofolionya di BUKU 4. Ketentuan ini bertujuan agar transaksi penerbit asing juga masuk dalam sistem keuangan nasional. Ada dua BUKU IV yang ingin bekerja sama dengan Alipay dan WeChat Pay. Bank itu adalah BRI dan BCA. Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, mengatakan belum dapat memastikan kapan finalisasi kerja sama itu. “Pembahasan teknikal dan pola kerja samanya masih berlangsung sambil kita mempersiapkan proses izin ke regulator,” ujar Jahja kepada Bisnis, Minggu (13/10). Sedangkan Direktur Bisnis Konsumer PT Bank Rakyat Indonesia Tbk., Handayani, mengatakan tengah menunggu izin dari bank sentral untuk menjadi acquiring dan accpetance atas kerja samanya dengan penerbit asing. Ia memperkirakan akhir tahun ini, izin tersebut bisa didapatkan. Jika proses perizinan berjalan lancar, nantinya setiap mesin electronic data capture (EDC) BCA maupun BRI dapat digunakan untuk transaksi menggunakan Alipay dan WePay. Kedua aplikasi ini juga bisa digunakan untuk bertransaksi menggunakan Quick Response (QR) Code Indonesian Standard (QRIS) yang digagas BI jika sudah resmi menjalin kerja sama dengan bank di Indonesia. Sistem QRIS akan berlaku secara nasional mulai 1 Januari 2020. Sistem ini akan fokus pada penerapan QR Code payment model merchant presented mode (MPM), yakni penjual menampilkan QR Code pembayaran untuk dipindai pembeli ketika melakukan transaksi pembayaran. Nantinya seluruh aplikasi penyedia jasa pembayaran digital harus menyeragamkan QR Code mereka agar bisa membaca QRIS. Sederhananya, jika kebijakan ini berjalan para merchant tak perlu lagi memasang beragam QR Code karena hanya perlu satu QRIS yang bisa dibaca seluruh layanan pembayaran digital. Pasar uang elektronik nasional memang terakselerasi sedemikian cepat. Dari Januari 2019 hingga Juli 2019 nilai transaksi uang elektronik mencapai Rp69,04 triliun dengan volume transaksi sebanyak 2,73 miliar kali. Nilai transaksi tersebut tumbuh 184% dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai Rp24,25 triliun. Sedangkan volume transaksinya tumbuh 83,99% dibandingkan periode Januari 2018-Juli 2018 sebanyak 1,48 miliar kali. Di pasar yang terbuka, pemain dompet digital pun akan bisa masuk ke mana saja. Jadi, kenapa mesti tergaget-kaget?

Tantangan Besar Mewujudkan Swasembada Bawang Putih

Permasalahan produktivitas rendah bukan kesalahan petani. Juga bukan kesalahan lahan bumi pertiwi yang tidak cocok. Masih banyak lahan di Indonesia yang bisa, dan sangat layak untuk ditanami bawang putih. Dan ini sudah terbukti dengan Indonesia swasembada bawang putih pada tahun 1994. Tetapi, permasalahan utama produktivitas rendah kemungkinan besar disebabkan oleh kualitas benih bawang putih Indonesia kurang baik, dan kurang layak. Oleh Anthony Budiawan Jakarta, FNN - Indonesia adalah negara importir bawang putih terbesar dunia. “Menguasai” 17,6 persen pasar impor dunia pada tahun 2016. Devisa yang dikeluarkan sekitar U$ 674 juta dolar. Jumlah tersebut setara dengan Rp 9,5 triliun, bila menggunakan kurs yang berlaku saat ini. Banyak pihak merasa tidak masalah dengan kenyataan pahit ini. Karena Indonesia dianggap tidak mampu bersaing dengan produsen bawang putih asing, khususnya China. Ada pihak yang menyuarakan nada sumbang. Bahwa bawang putih tidak cocok ditanam dibumi pertiwi ini. Padahal sampai dengan tahun 1994, Indonesia dapat memenuhi seluruh kebutuhan nasionalnya dari dalam negeri. Dari hasil produksi dan penanaman di Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia ketika itu sudah mampu swasembada bawang putih. Bawang putih Indonesia saat ini kalah bersaing dengan bawang putih luar negeri adalah suatu fakta yang harus dicarikan solusinya. Tidak harus menyerah begitu saja. Pada hakekatnya, daya saing, dalam banyak bidang, bisa dibangun. Misalnya Toyota, yang mampu mematahkan hegemoni industri otomotif Barat pada tahun 1980-an. Masalah utama rendahnya daya saing bawang putih Indonesia karena produktivitas penanaman (budidaya) bawang putih sangat rendah. Dan produktivitas ini terus menurun. Hal ini mengakibatkan biaya produksi bawang putih Indonesia menjadi sangat mahal sekali. Dan terus meningkat seiring menurunnya produktivitas. Biaya produksi bisa mencapai Rp 20.000 per kilogram, bahkan bisa lebih. Di China, biaya produksi bawang putih hanya sekitar Rp 7.500 per kilogram saja. Permasalahan produktivitas rendah bukan kesalahan petani. Juga bukan kesalahan lahan bumi pertiwi yang tidak cocok. Masih banyak lahan di Indonesia yang bisa, dan sangat layak untuk ditanami bawang putih. Dan ini sudah terbukti dengan Indonesia swasembada bawang putih pada tahun 1994. Tetapi, permasalahan utama produktivitas rendah kemungkinan besar disebabkan oleh kualitas benih bawang putih Indonesia kurang baik, dan kurang layak. Bawang putih adalah tanaman yang dibudidayakan secara vegetatif. Yaitu, benih yang ditanam berasal dari siung bawang putih tersebut. Karena kemampuan bawang putih untuk melakukan reproduksi secara alami (sexually reproduction) sangat buruk. Sehingga penanaman dari benih biji-bijian, atau secara generatif, sulit dilakukan. Penanaman bawang putih secara vegetatif mempunyai kelemahan mendasar. Yaitu, rentan terjangkit virus. Dan virus tersebut akan ikut terbawa ke tanaman berikutnya. Dengan kata lain, terbawa turun menurun. Virus-virus tersebut, antara lain LYSV (Leek Yellow Stripe Virus), OYDV (Onion Yellow Dwarf Virus), atau secara keseluruhan disebut Garlic Viral Complex (GVC). Bisa mengakibatkan pertumbuhan umbi bawang putih menyusut hingga 50 - 70 persen. Artinya, umbi bawang putih yang terkena vitus akan mengecil. Dan produktivitas turun drastis. Berat umbi bawang putih Indonesia ada yang hanya 15 gram saja, bahkan kurang. Dan paling besar mungkin sekitar 25 gram. Sedangkan bawang putih China bisa mencapai 45 - 50 gram. Apakah perbedaan berat yang menyolok ini karena perbedaan varitas? Atau karena bawang putih Indonesia memang sudah terjangkit virus secara turun temurun yang membuat umbi mengecil? Mengingat penanaman bawang putih Indonesia dilakukan secara vegetatif terus menerus. Dan selama ini tidak ada pemurnian benih. Besar kemungkinan bawang putih Indonesia sudah terjangkit virus yang membuat pertumbuhannya umbinya tidak maksimal, dan kecil. Untuk bisa meningkakan daya saing bawang putih Indonesia di pasar global, Indonesia harus melakukan pemurnian benih bawang putih agar terbebas dari virus. Sehingga membuat umbi menjadi lebih besar, dan lebih berat. Selain itu, membuat produktivitas tanam meningkat tajam. Dampaknya, biaya produksi bawang putih turun drastis. Tanpa pemurnian benih, niscaya target swasembada bawang putih 2021 sulit tercapai. Bisa saja mungkin selamanya tidak akan pernah tercapai. Akibat dari produktivitas rendah, dan biaya produksi tinggi. Artinya, pemurnian benih yang terbebas virus merupakan prasyarat utama untuk bisa swasembada. Dengan benih yang terbebas dari virus, produktivitas bisa meningkat dua sampai tiga kali lipat. Petani akan lebih sejahtera. Dan, ini merupakan tantangan utama bagi kita semua untuk bisa mewujudkan swasembada bawang putih scepat-cepatnya. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Swasembada Bawang Putih bukan Ilusi

Biaya produksi yang sangat tinggi mustahil Indonesia bisa swasembada bawang putih. Karena masalah utamanya adalah tidak kompetitif biaya produksi yang jauh lebih tinggi dari China. Alokasi lahan tanam seluas-luasnya hanya sia-sia. Oleh Anthony Budiawan Jakarta, FNN - Kebutuhan bawang putih konsumsi nasional sekitar 550.000 - 600.000 ton per tahun. Hampir semua kebutuhan tersebut dipenuhi dari impor, khususnya dari China. Akibatnya, Indonesia mendapat predikat sebagai importir bawang putih terbesar. Market share sekitar 17,6 persen dari total pasar impor dunia pada tahun 2016. Devisa yang dikeluarkan sekitar U$ 674 juta dolar atau setara sekitar Rp 9,5 triliun, bila menggunakan kurs yang berlaku saat ini. Pemerintah sangat menyadari kondisi yang miris ini. Oleh karena itu, tahun 2017 pemerintah menargetkan swasembada bawang putih dapat dicapai pada tahun 2019. Target swasembada ini dimajukan dari target sebelumnya tahun 2023. Target tersebut kemudian direvisi kembali menjadi 2021. Dengan melihat waktu yang semakin dekat, banyak pihak pesimis swasembada bawang putih dapat tercapai tahun 2021. Untuk bisa mencapai swasembada bawang putih, syarat utama adalah harus kompetitif. Indonesia harus bisa bersaing dengan negara produsen bawang putih lainnya. Artinya, Indonesia harus bisa produksi bawang putih dengan biaya yang lebih rendah dari para pesaing, khususnya China. Biaya produksi bawang putih di China rata-rata sekitar U$ 520 dolar per ton, atau sekitar Rp 7.500 per kilogram. Biaya produksi ini tiga kali lipat lebih rendah dari biaya produksi bawang putih di Amerika Serikat yang mencapai U$ 1.600 dolar per ton, atau lebih dari Rp 22.000 per kilogram. Seperti Amerika, biaya produksi bawang putih Indonesia juga termasuk tinggi. Bervarisasi antara Rp 18.000 - Rp 24.000 per kilogram. Dengan biaya produksi yang tinggi seperti ini, mustahil Indonesia bisa swasembada. Meskipun pemerintah mengalokasikan lahan tanam seluas-luasnya. Karena masalah utamanya adalah tidak kompetitif biaya produksi yang jauh lebih tinggi dari China. Untuk bisa kompetitif, Indonesia harus berupaya keras menurunkan biaya produksi secara signifikan. Upaya ke arah ini bisa dilakukan dengan menurunkan biaya tanam di satu sisi, dan meningkatkan produktivitas tanam di lain sisi. Dengan demikian, biaya produksi akan turun drastis dan kompetitif. Sebagai ilustrasi, biaya tanam bawang putih di Indonesia paling rendah sekitar Rp 65 juta per hektar. Hasil panen adalah sekitar enam ton bawang putih basah, termasuk daun, atau sekitar tiga ton bawang putih kering yang tanpa daun. Dengan demikian, maka biaya produksi bawang putih kering tanpa daun menjadi Rp 21.667 per kilogram. Biaya produksi besar ini tentu saja tidak kompetitif. Biaya tanam bawang putih di Indonesia bisa setinggi ini karena biaya benih sangat mahal sekali. Komponen biaya benih bisa lebih dari 35 persen dari total biaya tanam. Oleh karena itu, harga benih harus bisa ditekan lebih murah, bahkan menjadi setengah dari harga sekarang. Kemudian, benih bawang putih yang ditanam di Indonesia umumnya sangat kecil, oleh karena itu sangat ringan. Hanya sekitar 1 - 1,2 gram per benih (siung). Akibatnya, hasil panen, atau produktivitas, menjadi rendah. Beratnya hasil panen bawang putih pada dasarnya akan mengikuti berat benih yang ditanam. Oleh karena itu, benih yang dipilih untuk tanam harus lebih besar, dan lebih berat, dari yang sekarang. Kalau berat benih ditingkatkan menjadi rata-rata dua kali dari berat benih yang umumnya ditanam sekarang. Hasil panen per hektar diperkirakan juga akan meningkat menjadi dua kali lipat, yaitu dari tiga ton per hektar bawang putih kering tanpa daun menjadi enam ton. Dengan demikian, biaya produksi akan turun menjadi Rp 10.833 per kilogram. Hasil ini sudah cukup kompetitif. Produktivitas enam ton bawang putih kering per hektar termasuk sangat rendah. China bisa menghasilkan 25 ton per hektar bawang putih kering tanpa daun yang siap konsumsi. Sedangkan Amerika bisa mencapai 20 ton per hektar. Salah satu sebabnya karena umbi bawang putih China, dan juga Amerika, jauh lebih besar dari umbi bawang putih Indonesia. Kalau pemerintah dapat membuat umbi bawang putih Indonesia sebesar mereka, maka produktivitas akan meningkat tajam. Bisa mencapai 15 ton bawang putih kering per hektar. Sehingga biaya produksi dapat ditekan secara signifikan. Dampaknya, biaya produksi Rp 7.500 per kilogram bukanlah khayalan. Kalau ini tercapai, maka swasembada bawang putih akan terwujud, bahkan ekspor bukan hal mustahil untuk bisa dicapai Total produksi bawang putih dunia pada 2016 mencapai 26,6 juta ton. China menguasai 79,8 persen, dengan total produksi 21,2 juta ton. Sedangkan nilai ekspor dunia pada 2016 mencapai U$ 3,84 miliar dolar. Dari jumlah tersebut, China menguasai 71,5 persen dengan total nilai ekspor U$ 2,74 miliar dolar. Indonesia menjadi menyerap impor paling besar perdagangan global bawang putih ini, dengan menguasai 17,6 persen pasar impor, senilai U$ 674 juta dolar. Peringkat kedua, impor global dipegang oleh Brazil dengan pangsa impor sebesar 9 persen, senilai U$ 344 juta dolar. Sedangkan negara tetangga kita sesama ASEAN, Vietnam dan Malaysia, juga melakukan impor cukup besar, masing-masing 6,3 persen dan 6,1 persen, dengan nilai impor U$ 241,5 juta dolar dan U$ 235,5 juta dolar. Data di atas menunjukkan pasar global bawang putih ternyata sangat menarik, namun sekaligus juga menjanjikan. Kalau Indonesia bisa menekan biaya produksi bawang putih menjadi Rp 10.000 per kilogram atau lebih rendah, maka Indonesia pasti bisa mewujudkan swasembada Bawang Putih. Bahkan menerobos pasar ekspor. Karena, selama budidaya bawang putih menguntungkan para petani, maka petani akan ramai-ramai menanam. Khusus untuk pasar ekspor, pemerintah, yang dalam hal ini Kementerian Pertanian berkewajiban membantu para petani bawang putih menjalankan teknik budidaya dan pasca panen sesuai standar internasional yang dikenal dengan Good Agricultural Practices(GAP). Swasembada bawang putih untuk konsumsi dapat dicapai melalui dua tahap. Pertama, swasembada benih, dengan total produksi (hasil panen) cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi bawang putih konsumsi. Namun, swasembada benih tahun 2021 menghadapi kendala ketersediaan benih yang ternyata masih cukup langka di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus segera membuka impor benih bawang putih sebesar-besarnya, dan secepat-cepatnya. Tujuannya, agar ketersediaan benih terjamin, sehingga swasembada benih bawang utih benih, dan swasembada konsumsi bawang putih segera dapat terwujud. Untuk itu, pemerintah untuk sementara ini harus mempertahankan kebijakan wajib tanam lima persen bagi para importir yang ingin melakukan impor. Malah harus ditingkatkan menjadi 10 persen, atau bahkan 20 persen, di tahun depan. Karena kebijakan wajib tanam ini sebenarnya adalah inti dari keberhasilan swasembada bawang putih. Selain itu, pemerintah pusat, bekerja sama dengan pemerintah daerah, harus membantu penyediaan lahan tanam untuk bawang putih benih maupun konsumsi. Dengan demikian, swasembada bawang putih dapat dipastikan bukan hanya ilusi lagi. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Tahun 2022 Ekonomi Tumbuh 4.6%, Jokowi Harus Batalkan Pindah Ibukota

Oleh Gde Siriana Yusuf Bank dunia di hadapan Jokowi saat bertandang ke istana Negara 2 September 2019 lalu, memaparkan prediksi ekonomi Indonesia pada tahun 2022. Diperkirakan ekonomi Indonesia pada tahun tersebut hanya akan tumbuh pada angka 4,6%. Prediksi Bank Dunia juga menunjukkan tren negatif sejak 2018 (5.17%), 2019 (5.1%), 2020 (4.9%). Sementara sejak Agustus lalu, Jokowi justru mengumumkan rencana pindah Ibukota ke pulau Kalimantan yang membutuhkan dana tidak sedikit. Permasalahannya, bukan hanya anggaran yang besar. Namun apakah rencana pindah ibukota itu proper dalam situasi ekonomi nasional yang sedang sulit. Kondisi ini diperparah dengan gejolak ekonomi global yang diprediksi banyak lembaga ekonomi dan keuangan internasional sedang menuju resesi. Jika mengamati kondisi ekonomi saat ini saja, dengan pertumbuhan hanya berkisar 5%, maka pemerintah masih menghadapi trio defisit (neraca dagang, CAD & anggaran negara). Selain itu, masalah keuangan atau likuiditas seperti defisit BPJS. Bahkan pada tahun 2020 nanti, pemerintah merencanakan mengurangi subsidi energi, yang sangat mungkin diikuti dengan kenaikan harga (Tempo.com 6 Sep 2019). Jadi, dapat dikatakan rencana memulai pembangunan ibukota baru pada tahun 2022 sangat tidak relevan lagi. Sebaliknya, pemerintah harus segera membenahi ekonomi nasional di masa jelang krisis globa. Targetnya untuk menyelamatkan negara dari krisis yang lebih besar. Paradigma ini jauh lebih rasional ketimbang urusan pemindahan ibukota yang masih belum jelas dampaknya secara ekonomi dalam waktu dekat. Jokowi harus segera umumkan penundaan pemindahan ibukota hingga ekonomi nasional membaik. Langkah ini perlu dilakukan, agar semua kementerian, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pengusaha dan masyarakat fokus pada penyelematan ekonomi nasional. Semua komponen bangsa harus dalam kebijakan yang sama menghadapi resesi ekonomi dunia Untuk itu, dipererlukan kebijakan yang efektif berdampak langsung pada persoalan mendasar yang sesungguhnya. Misalnya, produktifitas yang rendah dan perlambatan pertumbuhan angkatan kerja. Juga perlu reindustrialisasi dan relokasi industri ke lima pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua harus segera dimulai. Tanggalkan dulu mimpi pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur. Penundaan pindah ibukota oleh Jokowi juga dapat mencegah keraguan dan sikap menunggu para investor, baik asing maupun domestik tentang kapan kepastian pindah ibukota. Belum lagi jika reasoning Jokowi tentang pemindahahan ibukota seperti scheme pembiayaan BUMN-Swasta dan full swasta. Petimbangan lokasi di tengah-tengah wilayah Indonesia juga bisa saja akan ditiru oleh pemerintah propinsi. Misalnya, Jawa Timur akan pindahkan ibukota lebih ke tengah-tengah dengan scheme pembiayaan swasta dan tidak gunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Siapa pihak swasta yang tidak tergiur dengan Tera Project? Penulis adalah Direktur Eksekutif Government & Political Studies (GPS)

Esemka: Proyek Tipu-tipu?

Para pegiat medsos juga mencurigai mobil Esemka Bima mirip dengan mobil pabrikan asal China, Changan Star Truck. Kembaran itu mulai dari tampak depan, samping hingga bagian belakang mobil. Hingga akhirnya muncul tanda pagar atau tagar #ChanganJiplakEsemka dan menjadi trending topik di jagat maya. Para netizen ramai-ramai mengomentari kemiripan mobil tersebut. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Penantian mobil yang dijanjikan Joko Widodo pada tahun 2012 akhirnya terkabul juga. Selamat, selamat, selamat. Ternyata Jokowi nggak nggedebus, omdo, omong doang. Jokowi menunaikan janjinya. Pada Jumat, 6 September 2019 lalu, Presiden Jokowi meresmikan pabrik mobil Esemka yang terletak di Desa Demangan, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Abrakadabra, hanya dengan investasi Rp600 miliar berdirilah pabrik mobil seluas 12.500 meter per segi di atas 115.000 meter per segi lahan sewa dengan jangka waktu 30 tahun. Pabrik ini dilengkapi dengan ruang pamer, pengecatan, perakitan kendaraan, perakitan mesin, pengetesan mesin, pengetesan kendaraan, dan inspeksi. Presiden Direktur Esemka, Eddy Wirajaya, mengatakan investasi pabrik mobil Esemka ini seluruhnya murni swasta nasional. "Tidak ada campur tangan perusahaan asing. Investasinya 100% Indonesia," ujarnya, sebelum peresmian. Nilai invetasi Rp600 miliar untuk industri otomotif dibilang mini. Coba saja bandingkan dengan investasi yang dikeluarkan PT SAIC General Motors Wuling (SGMW) Motor Indonesia, produsen mobil China merek Wuling. Perusahaan ini merogoh kocek Rp9 triliun lebih atau US$700 juta pada 2015 lalu untuk membangun pabrik Greendland International Industrial Center, Desa Sukamahi, Kecamatan Cikarang Pusat, Kota Deltamas, Bekasi, (Jawa Barat). Di wilayah yang sama, tak jauh dari pabrik Wuling, Mitsubhisi juga membenamkan US$600 juta (Rp7,1 triliun) untuk membangun pabrik baru. Memang sih, besar kecilnya nilai investasi tentu tergantung kapasitas pabrik yang dibangun. Esemka hanya akan memprodusi puluhan ribu unit per tahun, sedangkan Wuling dan Mitsubhisi memproduksi ratusan ribu unit tiap tahunnya. Jadi deh, investasi Esemka murah meriah. Masalahnya, lantaran kecilnya nilai investasi itulah mengundang kecurigaan banyak pihak ini pabrik mobil beneran apa Cuma bohong-bohongan? “Ini memproduksi mobil, perakitan atau hanya menempel merek saja,” sendir Muhammad Said Didu, eks Sekretaris Jenderal Kementerian BUMN dalam rekaman video di Youtube. Said mencurigai Esemka merupakan produk dari perusahaan mobil lain yang kemudian diberi merk Esemka. Sebab itu, mobil yang diluncurkan kemarin beda dengan mobil yang sebelumnya pernah dimunculkan Jokowi waktu menjadi Wali Kota Solo. "Alhamdulillah ada produsen mobil yang berkenan produknya diberi merek Esemka. Walau beda dengan Esemka Walikota Solo - itulah Esemka bisa berubah kapan saja,' ledek Said. Para pegiat medsos juga mencurigai mobil Esemka Bima mirip dengan mobil pabrikan asal China, Changan Star Truck. Kembaran itu mulai dari tampak depan, samping hingga bagian belakang mobil. Hingga akhirnya muncul tanda pagar atau tagar #ChanganJiplakEsemka dan menjadi trending topik di jagat maya. Para netizen ramai-ramai mengomentari kemiripan mobil tersebut. Esemka Bima boleh jadi memang rebadge mobil asal China, Changan Star Truck. Hal seperti itu sesungguhnya tak menjadi soal. Rebadge merupakan hal lumrah di industri otomotif, seperti terjadi pada Nissan Livina dan Mitsubishi Xpander, Holden Gemini-Isuzu Gemini, Ford Laser-Mazda 323, Mitsubishi Colt T120SS-Suzuki Carry Futura. Terbaru, adalah Wuling Almaz yang merupakan rebadge dari Baojun 530. Lalu, tinggal ditambahi saja Esemka- Changan Star Truck. Menjadi persoalan, jika Esemka itu diproduksi pabrik Changan di China, lalu dikirim ke Indonesia, selanjutnya pabrik Boyolali itu mengganti emblemnya menjadi Esemka. Kalau itu dilakukan, ya mirip proyek mobil nasional di zaman Orde Baru dulu. KIA disulap menjadi Timor di Indonesia. Mobil Korea itu diklaim sebagai mobnas dan bebas pajak impor setelah ditempeli merek Timor. Eddy tentu saja membantah hal itu. Suku cadang Esemka dipasok dari produsen dalam negeri. Esemka sampai saat ini telah menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan lokal untuk pengadaan suku cadang kendaraan seperti ban, velg, kaca, accu, altenator, starter, filter-filter, jok, grill, knalpot, van belt, bak kargo, tangki bahan bakar, chassis, dan per daun. Jadi Esemka bukan proyek tipu-tipu. Ya, kalau ada kurang-kurangnya harap dimaklumi. "Kalau ada kurang-kurang dikit, ya namanya juga pertama," ungkap Jokowi, saat menjajal mobil pikap Esemka Bima 1.200 cc warna putih.

Sri, Sebenarnya Kamu Kerja untuk Siapa?

Surat terbuka buat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Aku mau to the point saja. Sri, sebenarnya kamu kerja untuk siapa? Sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia, bukankah semestinya kamu kerja untuk rakyat Indonesia? Bukankah gaji dan seabrek fasilitas serba wah yang kamu nikmati itu dibayari oleh rakyat Indonesia? Bukankah dalam sumpah yang kamu ucapkan waktu dilantik sebagai menteri antara lain berbunyi: “Saya bersumpah, bahwa saya, setia kepada UUD Negara Republik Indonesia19945 dan akan memelihara segala undang-undang dan peraturan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia. Bahwa saya, dengan sekuat tenaga akan mengusahakan kesejahteraan Republik Indonesia.” Sri, sumpahmu itu berat, lho. Apalagi kalau tidak salah, sebelum bersumpah, kalian para menteri yang muslim, termasuk kamu, mengatakan “demi Allah aku bersumpah...” Sumpah itu menyebut-nyebut asma Allah Yang Maha Agung dan Maha Perkasa. Sumpah itu berimplikasi pada tanggungjawab dunia dan akhirat. Allah pasti akan mintai pertanggungjawabannya. Maksudku, itu kalau kamu percaya adanya kehidupan setelah mati, di akhirat. Tapi, terlepas kamu percaya atau tidak dengan balasan di akhirat kelak atas segala perbuatan di dunia, yang pasti kamu sudah bersumpah. Kamu juga sudah menikmati gaji dan bergelimang fasilitas sebagai menteri yang dibayari semuanya oleh rakyat Indonesia. Secara etik, mestinya kamu harusnya merasa punya utang budi kepada rakyat Indonesia. Kamu punya tanggungjawab moral untuk memenuhi sumpah kamu itu. Tapi Sri, kenapa justru perilakumu menabrak sumpah suci itu? Kenapa segala kebijakanmu justru banyak menyusahkan rakyat? Aku tidak mau membahas bagaimana kamu gigih memperjuangkan dan mengusung ekonomi neolib yang terbukti di banyak negara, dan juga di negeri kita, gagal mensejahterakan rayat. Aku juga tidak berminat menyoal hobimu membuat utang ribuan triliun dengan bunga supertinggi. Aku pun tidak mau singgung soal dari tahun ke tahun kamu alokasikan sebagian besar dana di APBN untuk membayar utang. Aku juga ogah ngomongin kenapa kamu justru rajin memangkas belanja sosial (subsidi) Pemerintah untuk rakyat Indonesia yang berakibatnya naiknya harga-harga kebutuhan dasar. Aku pula tidak ingin bicara tentang kepanikanmu dalam menggenjot penerimaan pajak, dengan cara sibuk memajaki aneka hal remeh-temeh yang membebani UMKM dan rakyat kecil. Padahal, pada saat yang sama kamu justru mengurangi bahkan membebaskan bermacam pajak ( tax holiday) barang-barang mewah dan bagi pengusaha dan asing dengan dalih investasi. Kenapa semua kali ini aku tidak berminat membahas itu semua? Karena kamu orang yang kopeg, ndableg. Tidak mempan masukan, apa lagi kritik. Berapa banyak orang dan pihak yang berteriak soal-soal tersebut? Tapi kan kamu selalu ngeles dengan berbagai dalih. Utang terkendali, lah. Mengelola APBN secara prudent, lah. Dan serenceng jurus berkelit lainnnya yang jadi andalanmu. Kamu abaikan semua kekhawatiran dan ketakutan akan kebijakanmu yang lebih banyak menyenangkan ‘pasar’ sekaligus pada saat yang sama justru menyusahkan rakyat Indonesia sendiri. Jadi, pertanyaan di pembuka surat ini sekali lagi aku ajukan kepadamu. Pertanyaan ini makin menemukan konteksnya, ketika kamu mengusulkan agar penunggak iuran BPJS dikenai sanksi tidak bisa mengurus SIM dan sekolah anaknya. Sadarkah kamu ketika mengucapkan usul ini? Sehatkah kamu saat mulutmu berucap seperti ini? Sri, kamu kan menteri. Mosok kamu tidak tahu, bahwa perpanjangan SIM itu penting banget, khususnya bagi para sopir dan pengendara motor, termasuk tukang ojek. Kamu bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada mereka kalau saat bekerja di atas roda tanpa mengantongi SIM yang masih berlaku? Jika lagi apes, mereka akan ketanggor polisi. Mereka bisa kena tilang atau memberi ‘uang damai’ kepada Polantas. Mereka harus keluar uang tambahan, Sri. Kamu tahu, kan, bahwa mereka adalah orang-orang kecil yang mengandalkan duit receh agar bisa menghidupi anak, istri dan keluarganya. Dengan uang recehan itu mereka membeli beras, membayar tagihan dan atau pulsa listrik, membeli gas ukuran tiga kg, membayar uang sekolah anak-anak, membayar belanjaan di pasar-pasar tradisional, dan membayar segala kebutuhan dasar mereka. Jadi, kalau rakyat telat atau tidak sanggup membayar iuran BPJS, karena uang mereka sudah habis untuk berbagai kebutuhan dasar tadi. Jangankan membayar denda, untuk membayar iuran rutin bulanan saja mereka tidak sanggup. Mereka tidak punya duit, Sri! Kamu tahu konsekwensi bagi para penunggak iuran BPJS? Pasti kamu baca berita, ada yang tidak bisa membawa pulang jenazah keluarganya dari rumah sakit karena menunggak iuran BPJS seperti yang dialami Lilik Puryani, anak Suparni. Dia terpaksa menjaminkan sepeda motor untuk mengambil jenazah ayahnya yang dirawat dan meninggal dunia di RSI Madiun yang menyodorkan pembayaran sebesar Rp6.800.000. Padahal, sangat boleh jadi, sepeda motor itu menjadi tulang punggung keluarga tadi dalam mengais nafkah yang receh-receh. Kamu pasti tahu persis, rakyat kecil tidak sama dengan kamu yang menteri. Buat kamu, Rp6,8 juta pasti tidak berarti, bahkan jika deretan nolnya ditambah beberapa lagi. Rakyat harus berjuang ekstra keras agar bisa sekadar bertahan hidup di tengah gempuran harga-harga yang terus merangkak naik. Sedangkan kamu, gajimu besar. Kekuasan dan kewenanganmu lebih besar lagi. Listrik dan kebutuhanmu yang lainnya ditanggung oleh negara. Supirmu dibayari negara. BBM mobil supermewahmu dibayari negara. Baju dinas di kementerinmu yang mentereng itu, juga dibeli dengan uang rakyat. Perjalanan dinasmu yang terbang dengan kelas eksekutif, kamar hotel mewahmu, kartu kreditmu semua dibayari negara. Kamu hidup dengan serba gratisan, Sri. Dan semua itu dibayari oleh rakyat. Kamu tahu persis, kan, Sri? Satu lagi. Sri, kamu kan intelektual. Gelar akademismu doktor lulusan luar negeri, Amerika Serikat pula. Keren sekali. Sebagai intelektual, kamu pasti paham betul pentingnya pendidikan. Kamu pasti tahu persis, bahwa dengan pendidikan peluang seseorang memperbaiki nasibnya lebih terbuka lebar ketimbang orang yang tidak atau kurang berpendidikan. Tapi, Sri, sebagai intelektual dan menteri kenapa kamu tega mengusulkan agar penunggak iuran BPJS dikenai sanksi tidak bisa mengurus sekolah anaknya. Jahat sekali kamu! Kalau dulu penjajah Belanda melarang rakyat Indonesia yang mereka sebut inlander untuk bersekolah, aku masih bisa memahami alasannya. Belanda tidak ingin rakyat Indonesia pintar, agar mereka bisa melestarikan penjajahannya atas negeri yang berjuluk rangkaian Jamrud Katulistiwa. Tapi Sri, usul yang berimpilkasi menghalangi rakyat Indonesia bersekolah dan menjadi pintar kali ini datang dari kamu. Seorang menteri, intelektual sekaligus WNI asli keturunan Indonesia. Aku harus bilang apa dengan fakta seperti ini? Kamu benar-benar jahat. Kamu sadis terhadap rakyat Indonesia yang sudah menanggung gaji dan bermacam fasilitasmu sebagai menteri. Atau, barangkali kamu mau mengelak, bahwa tidak semua kebutuhan hidupmu dibayari rakyat? Mungkin kamu juga dapat penghasilan dari jasa atau sebagai pembicara di aneka forum bergengsi karena intelektulitas dan atau pengalamanmu. Tapi Sri, biarkan aku mengingatkanmu, bahwa betapa pun dan bagaimana pun, kamu tetaplah WNI. Kamu tetap rakyat Indonesia asli, bukan keturunan. Mosok kamu tega dan jahat kepada saudara-saudaramu sesamat rakyat Indonesia? Sri, sebagai menteri dan intelektual, kamu pasti tahu, bahwa ada amanat konstitusi yang mewajibkan negara mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalau kamu lupa, aku kutipkan sebagian dari paragraf empat UUD 1945: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,..” Cetak miring dan bold sengaja kulakukan untuk memberi penekanan, barangkali kamu luput memperhatikan. Pertanyaannya, bagaimana rakyat bisa cerdas jika kamu yang jadi menteri justru menghalang-halangi mereka bersekolah hanya karena mengunggak iuran BPJS? Di mana hati nuranimu? Masih adakah? Kalau pun ada, masihkah hati nuranimu itu hidup? Tidakkah cukup penderitaan rakyat saat bosmu yang presiden itu akan menaikkan iuran BPJS dua kali lipat? Di mana juga hatimu, ketika dengan enteng kamu bermaksud menaikkan gaji direksi BPJS? Padahal, fakta dan bukti menunjukkan mereka tidak becus mengelola perusahaan asuransi yang di-back-up kekuasaan. Terakhir, sebagai menteri keuangan, tentu kamu paham betul bahwa BPJS bukanlah pajak atau pendapatan negara bukan pajak (PNBP) . Tidak ada secuil pun aturan apalagi UU yang mewajibkan rakyat membayar iuran BPJS. Kalau sekarang rakyat dipaksa ikut dan membayar iuran BPJS, dengan segala sanksinya yang tidak masuk akal dan kejam, itu karena kalian para pejabat publik telah berlaku sangat zalim kepada rakyatnya sendiri. Bagaimana mungkin menteri keuangan dan intelektual seperti kamu tidak paham perbedaan antara pajak, PNBP, dan iuran? Namanya saja iuran, mana bisa dijadikan kewajiban. Iuran itu hanya berlaku bagi yang terlibat. Iuran RT, misalnya, hanya wajib bagi warga lingkungan RT yang bersangkutan. Lagi pula, BPJS sejatinya adalah manipulasi negara terhadap rakyat. BPJS bukanlaah jaminan kesehatan oleh negara kepada rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 ayat 2 UUD 1945. Di situ disebutkan, “ negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.” BPJS hanyalah perusahaan asuransi yang berlindung di balik ketiak penguasa, ya di antaranya kamu. BPJS adalah bentuk kesewenang-wenangan negara yang amat luar biasa terhadap rakyatnya. Tolong tunjukkan kepadaku, di belahan bumi mana ada negara yang mewajibkan rakyatnya untuk menjadi peserta asuransi? Sudahlah Sri, bertobatlah. Jabatan yang kamu banggakan itu sama sekali tidak abadi. Cepat atau lambat akan selesai. Berakhir. Dan, yang lebih penting lagi, kalau kamu orang yang beragama, tentu kamu yakin adanya akhirat. Kelak, kamu harus mempertanggungjawabkannya di hadapan mahkamah yang anti suap dan KKN. Ngeri, lho Sri! [*] Jakarta, 6 September 2019

Industri Tekstil Kita di Pintu Kebangkrutan

Tekstil dan pakaian jadi dari China menjadi petaka bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia. Pemerintah terkesan melakukan pembiaran. Kini, industri tekstil dalam negeri berada di pintu kebangkrutan. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Stok TPT menumpuk di gudang-gudang akibat barang tak bisa dijual. Ada sekitar 1,5 juta bal benang dan 970 juta meter kain menumpuk di gudang-gudang industri tekstil. Barang sebanyak itu nilainya kira-kira Rp30 triliun atau setara dengan 2-3 bulan stok. Stok yang menggunung, membuat industri tekstil kesulitan memutar modal kerja. Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI), Suharno Rusdi, memperkirakan jika ini dibiarkan maka 2-3 bulan ke depan akan ada perusahaan yang tidak mampu membayar upah karyawan bahkan tidak mampu membayar pesangon untuk karyawan yang di-PHK. “Hanya beberapa perusahaan yang bermodal kerja kuat saja yang mampu bertahan,” ujarnya, Kamis (29/8). IKATSI telah menyampaikan secara resmi kepada beberapa menteri terkait atas kondisi itu dengan harapan keran izin impor ditutup. Jika banjir produk impor dikurangi maka produk dalam negeri yang menumpuk dapat terjual. "Intinya kami meminta pemerintah mengubah kebijakan perdagangan agar lebih pro produk dalam negeri dan bisa menguasai pasar domestik, sambil kita tingkatkan daya saing agar bisa lebih bersaing untuk ekspor," kata Suharno. Sekjen Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengganggap biang kerok lonjakan impor TPT adalah Permendag 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil. "Impor seharusnya tidak diterapkan untuk bahan baku yang bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri," katanya. Sebelum aturan tersebut terbit, impor sudah membanjiri pasar dalam negeri. Kondisi semakin kritis pasca beleid tersebut berlaku. Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan impor TPT melonjak 13,8%. Sektor yang paling terpukul oleh barang impor adalah sektor pembuatan kain, sementara sektor yang masih cukup baik adalah industri paling hilir atau industri pakaian jadi. Di sisi lain, kondisi makin tak terkendali sejak perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS). Produk China yang tadinya mengalir ke negeri Paman Sam sejak Mei lalu sebagian membanjiri pasar Indonesia. Berdasarkan catatan S&P, bea masuk baru senilai 25% yang dikenakan oleh AS untuk produk impor asal China, termasuk tekstil, telah membuat produsen tekstil asal Negeri Panda itu merelokasi penjualannya ke negara-negara yang lebih bersahabat seperti Indonesia. Gempuran produk dari China itu membuat pasar tekstil dalam negeri kebanjiran pasokan (oversupply) sehingga harga pun jatuh. Di saat yang bersamaan, S&P mencatat, konsumsi masyarakat Indonesia sedang relatif lemah. Pemutusan Hubungan Kerja Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (DPN-FKSPN), Ristadi, menyebut ada tiga juta pekerja di industri tekstil. Pada saat ini sudah sekitar 40 ribuan karyawan yang dirumahkan. "PT PIR ada 14 ribu yang di PHK belum lagi PT IKM dan PT UNL bahkan sudah tutup," sebutnya. Wakil Sekretaris Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, Rizal Tanzil mengungkap tengah terjadi gelombang merumahkan pekerja dan PHK di industri tekstil Jawa Barat khususnya di wilayah Bandung Raya. "Laporan dari anggota kami per Juli kemarin, total sudah 36 ribu karyawan yang dirumahkan," katanya. Hitungan itu sepanjang dua tahun terakhir, 2017-2019. PHK terjadi menyusul langkah perusahaan menurunkan produksi. Kini banyak perusahaan pada tingkat utilisasi di kisaran 30- 40%. Selain kalah bersaing dengan barang murah dari China, dalam kasus industri TPT Bandung Raya, karena ada kebijakan menutup Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) bagi industri yang dianggap mencemari sebagai bagian dari program Sungai Citarum Harum. "Bahkan beberapa sudah ada yang stop produksi seluruhnya, terutama IKM," tambahnya. Berlebihan API menganggap masalah impor memang sudah berlebihan. Soalnya, barang dari manca negara tersebut sudah diproduksi di Tanah Air. Itu sebabnya ia meminta Menteri Perdagangan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.64/2017. Revisi itu diperlukan dalam hal pengetatan ketentuan kepada para importir pemegang angka pengenal importir umum (API-U). Pasalnya selama ini ketentuan impor yang diberikan kepada API-U terlalu longgar sehingga memicu lonjakan impor produk jadi melalui pusat logistik berikat (PLB). Menteri Perindustrian (Menperin), Airlangga Hartarto, juga mengakui ada impor berlebih pada produk TPT sehingga terjadi PHK. "Ijin impor ditutup saja dulu, kecuali impor bahan baku untuk kepentingan ekspor yang melalui Kawasan Berikat (KB) dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE)," tambah Redma. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono, mengungkap industri tekstil mengalami penurunan sekitar 1% karena banyak impor bahan baku yang masuk selama 3 bulan pertama tahun ini. Padahal pada kuartal akhir tahun lalu sektor ini masih mampu tumbuh sebesar 6%. Salah satu yang menjadi perhatian Kemenperin adalah impor yang masuk melalui pusat logistik berikat. Menperin berjanji akan mereview lagi karena sekarang ada importir umum melalui PLB. “Apalagi perang dagang China-AS dan devaluasi China sehingga produk dari China akan kompetitif," kata Airlangga. PLB selama ini memudahkan bagi eksportir maupun importir dalam menyimpan barang mereka, sebagai kawasan berikat. Namun, Airlangga tak merinci persoalan apa yang terjadi pada PLB dan kaitannya dengan impor TPT yang berlebihan. “Dulu yang boleh impor API-P [angka pengenal impor-produsen] saja, sekarang API-U [angka pengenal impor-umum] boleh impor lewat PLB dan aturan di PLB tidak jelas. Semua barang bisa masuk PLB, jadi keblabasan,” imbuh Redma. Redma memberikan beberapa usulan revisi. Salah satunya terkait ketentuan impor. Produk TPT yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri HS 52, 54 sampai 62, diusulkan agar dimpor oleh hanya oleh importir yang mengantongi Angka Pengenal Impor-Produsen (API-P) yang mendapat pengenal impor tekstil saja. “Yang kami minta antara lain revisi Permendag No.64/2017 dan perbaikan impor melalui PLB serta perlindungan safeguard untuk produk hulu hingga hilir seperti yang dilakukan pemerintah Turki,” ujar Redma. Sedangkan untuk peningkatan daya saing, ia mengatakan pemerintah dapat membantu dengan memberikan insentif. Namun, insentif yang dimaksud, katanya, sebaiknya dipakai untuk meringankan ongkos produksi. Kementerian Perdagangan selalu berdalih impor diperlukan sebagai bahan baku ekspor. Padahal, dalam kasus impor tektil tidak begitu. Pasalnya pemerintah telah memberikan fasilitas kawasan berikat dan kemudahan impor tujuan ekspor (KITE). Adapun untuk UKM garmen bahan bakunya bisa dipenuhi oleh UKM tenun dan rajut. Kini, industri tesktil sudah megap-megap. Hanya kepada Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukito, mereka berharap. Atur impor tekstil dengan benar. End.

Awas, Duniatex Group Bisa Jadi Pusat Tsunami Baru Perbankan

Oleh Hudzaifah (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Reputasi Duniatex Group sebagai raja tekstil dari Solo mulai goyah, terutama sejak 10 Juli 2019 obligasi dolarnya mengalami default (gagal bayar) senilai US$11 juta dan kredit Rp17 triliun di 29 bank mulai mengalami eskalasi kolektabilitas 1, 2 dan 3 dan tidak menutup kemungkinan menjadi 4 dan 5. Di pasar keuangan juga mulai ramai kabar bahwa kontrak forward valas Duniatex Group dianggap tidak settle (tidak dibayar) di Maybank Indonesia. Bahkan kabar missed payment kredit banknya cukup menjadi cerita dari mulut ke mulut di kalangan bankir. Situasi ini diperparah dengan adanya perang dagang China dengan Amerika yang berdampak ke Indonesia, ditandai dengan gempuran tekstil dan produk tekstil murah ke Indonesia. Situasi ini menambah buruk kinerja kolektabilitas kredit Duniatex Group di industri perbankan. Pertanyaannya, kondisi yang bisa menjerumuskan Duniatex Group ke potensi kredit macet dan gagal bayar obligasi apakah murni karena situasi krisis atau ada kesalahan langkah bisnis. Atau bahkan buah dari keserakahan grup bisnis yang dibangun Hartono, pengusaha tekstil asal Solo, sejak 1974 itu? Kini dilanjutkan oleh anaknya, Sumitro. Teka-teki mengapa Duniatex Group mengalami eskalasi kolektabilitas kredit, default obligasi valas dan kontrak forward valas yang tidak dibayar, belakangan makin terkuak. Setidaknya dari bocoran beberapa bankir yang menghindari kredit ke Duniatex Group, maupun dari bankir yang sudah terlanjur menggelontorkan kredit ke anak-anak perusahaan grup tekstil itu. Duniatex Group memiliki 25 pabrik yang terdiri atas enam entitas perusahaan di tiga lini produksi dan mempekerjakan sedikitnya 45.000 pekerja Duniatex Group mendirikan PT Delta Merlin Dunia Tekstil (DMDT) pada 1998 yang memiliki lini bisnis penenunan (weaving) atau proses mengolah benang menjadi kain, menjadi satu dari enam perusahaan utama yang dikonsolidasikan di laporan keuangan Grup Duniatex. Perusahaan yang dikonsolidasikan Grup Duniatex termasuk PT Delta Dunia Tekstil (DDT) dan PT Delta Merlin Sandang Tekstil (DMST) yang sama-sama didirikan pada 2006, berdasarkan data profil perusahaan (company profile) Duniatex. 

DDT dan DMST bersama dengan PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST) yang didirikan pada 2010 sama-sama bergerak di bidang pemintalan (spinning) atau proses membuat benang dan serat dari kapas atau bahan lain seperti bahan sintetis. Lini bisnis lain dari Duniatex adalah bisnis pewarnaan (dyeing) dan bisnis hilir produk akhir (finishing) yang dikelola oleh PT Damaitex Ltd yang diambilalih pada 1992 dan PT Dunia Setia Sandang Asli (DSSA). Satu perusahaan yang disebut milik Duniatex tetapi tidak dikonsolidasikan di laporan keuangan kelompok usaha tersebut adalah PT Dunia Sandang Abadi yang didirikan pada 1998. Duniatex sendiri didirikan dengan nama CV Duniatex sejak 1974 di Surakarta (Solo) oleh Hartono dengan lini bisnis finishing tekstil. Dari seluruh perusahaan tersebut, artinya perusahaan belum memiliki lini bisnis garmen (garment) atau pembuatan pakaian yang merupakan produk akhir dari bisnis tekstil. Isu turunnya reputasi keuangan Duniatex Group bermula ketika anak perusahaannya di bidang penenunan, DMDT, mengalami gagal bayar (default) pembayaran kupon obligasi global. Sehingga lembaga rating Standard & Poors (S&P) memangkas habis peringkat utang jangka panjang Duniatex termasuk juga surat utang unsecured notes yang diterbitkan perusahaan dari BB- menjadi CCC-. Tentu saja isu ini merambat ke telinga para bankir, seolah memberi isyarat bahwa potensi kenaikan eskalasi kolektabilitas kreditnya sangat tinggi di 29 bank. Itu sebabnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan review sangat ketat dan memantau day to day agar kolektabilitas kredit Duniatex Group bisa dijaga dan tidak terus meningkat. Direktur Utama BRI Suprajarto mengatakan, kredit Duniatex di bank-nya masuk kategori kolektabilitas 2. Ini artinya, Duniatex sudah memiliki tunggakan kewajiban selama satu sampai dua bulan. Bila tunggakan berlanjut hingga tiga sampai empat bulan, maka kredit akan masuk kategori kolektabilitas 3 sehingga diperhitungkan sebagai kredit bermasalah (NPL). Meski begitu, Suprajarto menyatakan pihaknya tidak terlalu khawatir dengan risiko kredit Duniatex Group. Ia menjelaskan status kredit yang masih kolektabilitas 2 menunjukkan kelancaran pembayaran kredit masih cukup bagus. Selain itu, nilai jaminan cukup bila kredit tersebut macet. BRI juga sudah melakukan pencadangan untuk kredit Duniatex sebesar 20%. Saat ini, portofolio kredit BRI di Duniatex sebesar Rp1,4 triliun dan pinjaman nontunai sekitar Rp400 miliar. "Jaminan 127%, jadi kami tidak khawatir-khawatir amat. Jaminan kami relatif marketable, jadi ini yang membuat kami bisa segera mencari exit solusi-nya," ujarnya. Tapi kabarnya Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno tidak puas dengan kasus ini, sehingga posisi Suprajarto digeser menjadi Dirut PT Bank Tabungan Negara Tbk. Ia pun memilih mengundurkan diri sebagai bentuk penolakan pergeseran posisi jabatan dirut bank. Beberapa bank lain juga tercatat memiliki portofolio kredit di Duniatex Group, seperti PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau Eximbank. Pada akhir Juli, Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rohan Hafas menyatakan portofolio kredit di Duniatex sebesar Rp1,7 triliun, namun status kredit masih kolektabilitas 1, alias lancar. Ia meyakinkan risiko kredit terkendali lantaran didukung jaminan berupa aset tetap bernilai lebih dari 100% nilai kredit. Di sisi lain, manajemen Eximbank menyatakan mulai terdampak oleh problem keuangan Duniatex. Eximbank memiliki portofolio kredit sebesar Rp3,04 triliun di Duniatex Group. Rinciannya, kredit kepada Delta Dunia Tekstil Rp1,2 triliun, Delta Merlin Sandang Tekstil Rp1,5 triliun, Delta Merlin Dunia Tekstil Rp54 miliar, dan Delta Dunia Sandang Tekstil Rp289 miliar. Adapun nilai jaminan kredit dari Duniatex yang berupa aset tetap mencapai 124%. Corporate Secretary Eximbank Emalia Tisnamisastra menyatakan gagal bayar kupon obligasi oleh anak usaha Duniatex akan membuat NPL semakin bengkak. “Rasio NPL kami yang semula 14,46% hingga 30 Juni 2019 dapat menjadi 14,52%,” kata dia dalam dokumen keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia. 29 Bank Terlibat Saat ini ada 29 bank yang diketahui masih memiliki tanggungan di Grup Duniatex. Namun di sisi lain, sekurangnya ada lima bank yang justru selamat dari lingkaran kredit Duniatex.

Lima bank tersebut bisa lolos karena kredit di perusahaan tekstil tersebut sudah tidak tercatat lagi pada 2018 dan sudah menyatakan bahwa kreditnya sudah dilunasi debitur. Laporan keuangan konsolidasi Grup Duniatex 2018 menunjukkan catatan kredit tiga bank yaitu PT Bank Maybank Indonesia Tbk, PT Bank Permata Tbk, dan PT Bank Index Selindo sudah nol, dari periode sebelumnya yaitu tahun 2017. 
Kredit bank Duniatex dari Maybank pada 2017 tercatat Rp220 juta yang berbentuk pinjaman jangka pendek dan menjadi nol pada 2018. Meskipun Maybank tidak lagi tercatat memberikan pinjaman ke Grup Duniatex per akhir 2018, seorang bankir mengatakan kabar seretnya keuangan Grup Duniatex yang justru berasal dari Maybank Indonesia. Kredit dari PT Bank Index ke Duniatex tercatat Rp24 miliar pada 2017 dan hilang pada 2018, lalu kredit dari PT Bank Permata Tbk juga tidak ada lagi pada 2018 dibanding Rp120 miliar pada 2017. 

Hilangnya nilai kredit dari ketiga bank tersebut kemungkinan disebabkan pelunasan oleh Duniatex dan perusahaan di kelompok usaha tersebut. Satu bank lain yaitu PT Bank Pembangunan Daerah Banten, dalam keterbukaan informasi ke otoritas bursa saham, menyatakan pinjaman perseroan ke Duniatex sudah lunas. Direktur Utama BPD Banten Fahmi Bagus Mahesa mengatakan perseroan telah memberikan fasilitas kredit modal kerja kepada salah satu perusahaan Duniatex yaitu DMDT pada Mei 2017. Pinjaman itu memiliki plafon kredit Rp75 miliar untuk jangka waktu 1 tahun dan fasilitas itu diperpanjang hingga Mei 2019. "Selama jangka waktu tersebut DMDT memiliki track record [rekam jejak] yang baik dalam hal pembayaran kewajiban, atau tidak pernah terjadi tunggakan dalam pembayaran kewajiban dan telah dinyatakan lunas oleh perseroan," ujar Fahmi dalam suratnya kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 25 Juli 2019. Namun berbondong-bondongnya 29 bank memberi kredit total hingga Rp17 triliun benar-benar mencurigakan. Kok begitu mudah bank-bank itu mengucurkan kredit dalam jumlah besar dan beramai-ramai, seperti ada heart instinct yang sedang mengerumuni gula-gula. Kabar yang berkembang di kalangan bankir, ada sesuatu dibalik ramai-ramainya bank menggelontorkan kredit hingga Rp17 triliun ke Duniatex Group. Ada yang mengatakan ada unsur kick back (pemberian ucapan terima kasih), ada juga potensi unsur kolusi, dan yang paling ekstrim menuding disengaja untuk dimacetkan. Toh sejarah perbankan di Indonesia dibobol sudah banyak dan penyelesaiannya selalu landai-landai saja. Sehingga debitur yang punya itikad tidak baik adalah ladang bisnis tersendiri lewat upaya pembobolan bank. Tentu saja pendapat ini sulit dikonfirmasi dan sulit dibuktikan, tapi selalu saja ada bank bermasalah dengan penyelesaian yang absurd. Ditambah pula pengawasan perbankan yang longgar membuat fraud di industri perbankan bak cendawan di musim dingin. Melihat begitu mudahnya Hartono mendapatkan kredit Rp17 triliun, plus penerbitan obligasi valas US$300 juta (Rp4,26 triliun), bisa saja ada kolusi debitor dengan appraisal, auditor. Sehingga seperti debitor sakti, Hartono begitu mudah mendapatkan dana dari pasar. Pertanyaannya, apakah bank-bank itu memberikan over finance, pemberian kredit yang berlebihan, sehingga 29 bank berbondong-bondong menggelontorkan kredit Rp17 triliun. Mengapa terhadap satu Duniatex, 29 bank begitu getol menggelontorkan kredit, sementara ada debitor lain mengalami kesulitan dan mengalami penolakan dari perbankan? Kalau pada akhirnya sepak terjang Duniatex ini melahirkan kredit macet, tentu saja akan ada dampak sistemik terhadap bank-bank lainnya, mengingat bank-bank yang terlibat adalah bank-bank besar. Bahkan tak menutup kemungkinan akan terjadi tsunami kredit macet industri perbankan. Bayangkan, satu PT Bank Century Tbk dengan bailout sebesar Rp6,7 triliun saja sudah menggemparkan industri perbankan. Apatah lagi 29 bank yang menggelontorkan kredit Rp17 triliun dan berpotensi macet itu menjadi benar-benar macet. Betapa gaduhnya ruang publik nantinya. Itu sebabnya perbankan mulai mencermati adanya potensi peningkatan rasio kredit macet alias (non performing loan--NPL) di semester II 2019. Apalagi setelah kasus gagal bayar utang Duniatex mencuat. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana mengatakan pihaknya terus mengamati hal tersebut. Namun, sejauh ini OJK menilai iklim industri Tanah Air masih positif. Menurut OJK, setiap bank memiliki cara tersendiri untuk memitigasi risiko termasuk pemupukan pencadangan dan restrukturisasi. Potensi side streaming Biasanya kredit macet satu debitor dipicu oleh penggunaan dana yang tidak sesuai dengan core business-nya (side streaming). Boleh jadi back up kredit Duniatex Group sebesar Rp17 triliun ke 29 bank adalah untuk pengembangan tekstil dan produk tekstil miliknya, tapi dalam praktiknya digunakan untuk kegiatan bisnis lain yang tak ada hubungan dengan bisnis tekstil. Dugaan itu mencuat di kalangan beberapa bankir yang tak mau disebutkan namanya. Lepas dari apakah ini benar atau tidak, namun jika ditelaah secara detil ada fakta-fakta bisnis lain yang digarap Duniatex. Berdasarkan catatan, pada 2011 Duniatex mulai melebarkan sayap bisnis ke sektor properti dan perhotelan dengan mendirikan PT Delta Merlin Dunia Propertindo (DMDP). Menurut salah satu bankir senior, Duniatex masuk ke sektor properti bermodalkan aset-aset yang dibeli antara lain dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Aset-aset tersebut milik bank yang direkapitulasi oleh BPPN. Duniatex banyak membeli aset-aset bank yang dilelang oleh BPPN. Nah, sekarang bakal diambil alih oleh bank lagi, kalau sampai gagal bayar. Adapun, aset properti dan perhotelan yang dimiliki oleh Duniatex adalah Bestwestern Solo Baru, Noorman Hotel Semarang, Favehotel Solo, The Alana Hotel Solo, Hartono Trade Center, Hartono Mal di Solo dan Yoyakarta, Hotel Marriot Yogyakarta, De Salvatore Art & Boutique Yogyakarta, De Rivier Hotel Jakarta Barat, dan Wisma Hartono Yogyakarta. Selain itu, Duniatex Ggroup juga masuk ke bisnis rumah sakit, yakni RS Indriati. Rumah sakit ini menggunakan nama istri Hartono, Indriati. Menurut bankir tersebut, keluarga Hartono juga memiliki lini bisnis di bank perkreditan rakyat (BPR) dan perusahaan pembiayaan (finance). Boleh jadi sebagian dana kredit untuk pertekstilan digunakan untuk menguasai non core business Duniatex Group. Atau setidaknya dana itu digunakan untuk biaya pemeliharaan, biaya renovasi ataupun biaya lain yang dikeluarkan untuk kepentingan non core business. Duniatex Group ke depan akan menjadi berita utama yang dapat memicu kredit macet perbankan di sektor pertekstilan. Namun multiplier effectnya bisa saja meluas dan pada akhirnya menjadi cerita buruk ke depan. Kecuali masing-masing bank kreditor mengambil langkah-langkah antisipasi yang cepat sehingga kredit Duniatex Group tidak menjelma menjadi kredit macet. Disamping itu OJK juga bisa mencegah kolektibilitas kredit Duniatex Group naik dari kolektibilitas 1, 2, 3, bahkan menjadi 4 dan 5 (macet total). Semua berpulang pada otoritas, pengawas, pelaku dan kalangan dunia usaha menyikapinya. Semoga saja tsunami kredit macet itu tak terjadi. End.

Sistem Politik Indonesia Ditopang Uang Kotor

Anda ingin tau dan pahami sejarah uang kotor di Indonesia ? Bagaimana cerita uang kotor menopang sistem politik Indonesia sepanjang reformasi ? Ini adalah seri pertam dari sebelas serial tulisan, yang menguraikan secara terperinci bobroknya sistem politik indonesia selama dua puluh satu tahun reformasi. Pada tempat dan sistem politik yang busuk, disanalah berkembang biak dengan subur uang kotor untuk memperkaya oligarki yang busuk. Oleh Salamuddin Daeng (Bagian Pertama) Jakarta, FNN - Untuk bisa kembali ke UUD 1945 tentu membutuhkan sumber keuangan yang besar. Uang yang sekaligus akan dipakai untuk pemulihan ekonomi indonesia setelah politik dan ekonomi Indonesia diobrak abrik dan dirusak oleh UUD amandemen. Kerana kalau tidak ada uang, maka UUD 1945 asli nantinya akan mewarisi beban kerusakan yang parah tanpa sumber pembiayaan bagi pemulihan. Beban kerusakan akibat UUD 1945 adalah sama dengan beban kerusakan yang diwariskan oleh kolonialisme dan imperialisme Indonesia. Kerusakan akibat penjajahan akhirnya dibiayai dengan harta kerajaan-kerajaan Nusantara. Sebagian besar dikusai kolonial Belanda, baik di dalam dan di luar negeri. Sekarang pertanyaannya, darimana sumber uang untuk kembali ke UUD 1945? Sumber anggaran untuk membiayai kembali kepada UUD 1945 adalah dari harta negara yang diambil oleh berbagai pihak dengan cara yang tidak legal. Harta tersebut adalah harta negara yang digunakan untuk Bantuan Liquiditas Bank Indonesia (BLBI), dan Kredit Liquidiitas Bank Indonesia (KLBI). Karena uang inilah yang dipakai untuk membiayai amandemen UUD 1945. Jika kita flasback sejarah, proses amandemen UUD 1945 adalah proses politik yang dibiayai dengan dana yang sangat besar. Dana yang digunakan untuk menyogok pimpinan Partai Politik, aparatur pemerintah, anggota parlemen bahkan intelijen asing yang berbaju LSM indonesia. Uang yang dipakai untuk membiayai amandemen UUD 1945 bersumber dari penjarahan uang negara. Namanya "BLBI dan KLBI" yang jumlahnya mencapai Rp 650 triliun. Uang tersebut diperoleh dari pencetakan uang oleh Bank Indonesia dalam tahun 1998 dan tahun 1999. Dasar pencetakan uang tersebut adalah obligasi atau surat utang Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah. Uang cetakan yang kemudian digunakan untuk membeli dollar dalam rangka menanggung beban utang dan mensubsidi para taipan yang bangkrut, karena hutang mereka dalam dollar Amerika. Keputusan pemerintah dan Bank Indonesia ketika itu untuk mengambil alih utang para taipan adalah kebijakan yang salah. Selain itu, kebijakan mensubsisi para taipan dengan dollar juga berakibat pada nilai tukar rupiah yang langsung terhadap dollar. Ambruknya nilai tukar tesebut tentu menghasilan keuntungan bagi para taipan yang melarikan uang ke luar negeri. Juga memberikan keuantungan kepada para pemberi utang kepada Indonesia, yakni para taipan dan asing. Alur ceritanya diawali dengan upaya merekayasa agar nilai rupiah ambruk. Dengan ambruknya nilai tukar rupiah, atau krisis inilah yang dijadikan alasan untuk memberikan suntikan dana besar besaran kepada para taipan. Uang negara inilah yang kemudian sebagian kecil dipakai urunan oleh para taipan dan asing dalam merusak UUD 1945. Sebagian besar uang tersebut dilarikan ke luar negeri. Mereka para taipan menyimpan uang tersebut di bank-bank asing. Sebagian lagi digunakan para taipan untuk membeli kembali aset-aset mereka yang telah sita oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Itulah sebabnya mengapa sekarang kekayaan orang-orang Indonesia yang disimpan di luar negeri bisa mencapai lebih dari Rp 11.000 triliun. Kekayaan segelintir pengusaha Indonesia yang ada di dalam negeri hanya sekitar Rp 2 triliun. Uang mereka sangat besar, dan akan terus membesar, karena ditopang oleh UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002. Sekarang negara (rakyat) harus menanggung utang mereka yang mencapai Rp 14.000 triliun. Angka ini diakui oleh mantan pejabat BPPN dalam skema pelunasan utang BLBI. Jumlah uang yang kalau disita sekarang, sebetulnya sangat cukup untuk membiayai pemulihan ekonomi Indonesia paska kerusakan akibat UUD 1945 diamandemen tahun 2002 (bersambung bag-2)