EKONOMI

Ayo BUMN, Mudiklah ke Daerah!

By Dr. Tito Sulistio, SE. MAF Jakarta, FNN - Ini soal keberpihakan dan wawasan ke depan. Bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat merata di seluruh nusantara? Caranya, menggunakan bisnis dan asset negara sebagai instrument untuk mencapai pemerataan. Siapa lagi kalau bukan BUMN. Sebagai sebuah “Badan Usaha” atau lembaga bisnis, BUMN harus bergerak mengikuti kaidah dan prinsip bisnis yang modern dan efisien. Sebagai “Milik Negara” tentu BUMN harus tunduk dan patuh pada tujuan-tujuan bernegara. Salah satu tujuan bernegara dalam UUD 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, memajukan pemerataan ekonomi di berbagai daerah. Memajukan kesejahteraan umum, dan menjadikan swasta sebagai patner dan bukan pesaing. Hingga kini, masih banyak yang belum paham. Mengapa 70 lebih dari 115 kantor pusat BUMN berada di Jakarta? Belum pernah terdengar argumen dan penjelasan yang rasional mengapa BUMN harus selalu mempunyai kantor operasi di Jakarta. Apakah dengan berkantor pusat di Jakarta, BUMN tersebut berkembang menjadi Multi National Corporation (MNC) yang berkelas dunia? Ternyata tidak juga. Selain tidak efisien, terkadang sangat mewah, menjulang tinggi. Sayangnya tidak menambah value yang strategis bagi BUMN dan negara. Hanya menjadi “simbol kebanggaan” perseroan semata. Coba ini kita renungkan! Akal sehat dan logika bisnis korporasi saya sering bertanya-tanya. Mengapa BUMN seperti Pupuk Kaltim misalnya, yang material dasarnya di Kalimantan, pabriknya di Kalimantan, pasarnya terutama di Kalimantan, harus mempunyai kantor yang cukup mewah di Jakarta? Begitu juga RNI, yang mempunyai pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dekat dengan lahan perkebunannya. Pasarnya yang tersebar di Jawa, tetapi juga beroperasi dengan kantor gagah di Jakarta. Apakah artinya para Direksi dan Petinggi BUMN ingin selalu dekat dengan kekuasaan? Bukannya mereka harus berinteraksi mengayomi pegawai dan mengawasi kerja operasional hari ke hari perseroan? Aneh memang. Jika semua operasi teknis perseroan berlokasi di luar Jakarta, tetapi fisik para pengelolanya berada dan dibiayai dengan mahal untuk menikmati harumnya kekuasaan di Jakarta. BUMN, seharusnya dapat menjadi lokomotif pembangunan daerah. BUMN memiliki posisi tawar yang sangat tinggi terhadap disinsentif usaha. Selain itu, BUMN juga efektif sebagai alat untuk mentransformasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkadang masih sulit diimplementasikan di lapangan. BUMN seharusnya mampu menciptakan stimulan yang dapat membangun infrastruktur di daerah. Termasuk sarana pendidikan dan sentra ekonomi lainnya. Dengan BUMN lebih terfokus, pindah dan berkonsentrasi di daerah-daerah, maka diharapkan terjadi multiplier efek yang mampu meningkatkan size perekonomian daerah. Baik melalui accumulated creating capital maupun efek ikutan dari pelaku usaha swasta yang masuk setelah resiko mulai menurun. Sebagai contoh paling sederhana, perusahaan rokok Gudang Garam misalnya. Terlihat dengan jelas bahwa satu perusahaan dapat menggerakkan satu perekonomian daerah (Kota Kediri) di Jawa Timur. Bayangkan jika BUMN melakukan hal yang sama seperti Gudang Garam, yang notabene perusahaan swasta. Dampaknya clustering industry di Indonesia dapat terbentuk. Dengan adanya entitas bisnis yang besar di daerah, diharapkan mendorong desentraliasasi sumberdaya manusia yang unggul ke daerah. Sumberdaya yang selama ini lari ke Jakarta, dapat ditahan karena terdapat tantangan dan kesempatan kerja yang setara di daerah. Jika Direksi RNI dan keluarganya diwajibkan berkantor serta bekerja di dekat pabrik Jawa Tengah, Pupuk Kaltim ke Kalimantan, Angakasa Pura 1 ke Bali, Bukit Asam ke Sumatera Selatan, Pertamina ke Riau, BNI ke Sumatera Utara dan seterusnya, maka dapat dibayangkan bagaimana semua pegawai inti yang berpendidikan serta mapan, pindah ke daerah membawa keluarga. Dipastikan para Komisaris, Direksi dan General Maneger yang pindah ke daerah, otomatis akan ikut pindah membawa kemakmuran yang mereka miliki. Maka clustering pupuk akan terbentuk di Kalimantan, clustering minyak di Riau, seperti clustering kerajinan yang telah terbentuk di Bali. Semua pemasok utama pun pindah. Sekolah sebagai penunjang otomatis berdiri atau menyempurnakan diri. Sentra perekonomian akan bergerak dan yang menarik. Akan terjadi interaksi antar komponen bangsa yang tadinya tidak saling mengenal. Disintegrasi bangsa akan minimal dan kluster industri secara strategis akan terbentuk. Kemajuan teknologi komunikasi dan peningkatan industri transportasi memfasilitasi perseroan untuk beroperasi dengan efisien. Levis telah memindahkan kantor pusatnya jauh ke pinggiran kota. Lippo Group secara taktis memindahkan kantor pusat. Lippo dengan konsisten memaksa semua jajaran SDM-nya pindah ke Karawaci. Lippo Grup berhasil. Lingkungan daerahnya pun berkembang. Tidak ada alasan bagi BUMN untuk kembali memfungsikan dirinya sebagai ’agent of development’, dan mengurangi fungsi komersialnya yang mampu dilakukan pihak swasta. Diperlukan keberanian untuk bertindak dan memerintahkan BUMN yang selama ini merajalela di ibukota. BUMN yang selalu bergaul, bersentuhan langsung dengan pusat kekuasaan, agar dipindahkan secara fisik ke daerah. BUMN harus tampil menjadi ganda terdepan, atau menjadi ujung tombak pemberdayaan ekonomi daerah. Daerah memang tidak mempunyai entitas bisnis besar. Untuk itu, daerah sangat membutuhkan entitas bisnis besar sebagai lokomitif untuk menggali keunggulan komparatifnya. Perpindahan yang juga bisa diartikan berupa ’hijrah’. Perpindahan yang jangan diartikan sebagai kemunduran bahkan pengorbanan. Namun perpindahan yang dirasakan sebagai perjalanan pulang kampung untuk membangun tempat asal. Bahasan kampungnya “mudik”. Dengan berani “Go Daerah” alias “Pulang Kampung”, berarti Pemerintah dan BUMN ikut membuka kesempatan yang lebih luas kepada pihak swasta dan korporasi lokal untuk semakin berkiprah. Ekonomi Indonesia akan terhindar dari bahaya “crowding out”. Perlu dihindari swasta merasa tak ada ruang untuk berusaha dan mengalami demotivasi untuk berinvestasi. Akibatnya, mereka pun menghimpun dana mereka untuk investasi di mana pun di muka bumi ini. Yang penting tempat untuk investasi itu, dinilainya lebih efisien. Seperti kata pepatah, “uang tidak mengenal nasionalisme”. Bukan tidak mungkin, jika mereka melihat BUMN semakin efisien dengan pindah kantor pusatnya ke daerah, maka swasta pun berbondong-bondong ikut berinvestasi di BUMN. Harga saham BUMN pun akan meningkat. Ini dampak dari saham BUMN yang terus dilirik investor. Investor tidak pernah tertarik dengan “simbol kebanggaan” berupa gedung operasional atau kantor pusat yang megah dan mewah. Mereka hanya tertarik dengan efisiensi. Semakin efisien sebuah perusahaan, semakin profitable dan menambah return bagi investor. Pemerintah telah banyak membangun infrastruktur di daerah. Mempunyai komitmen “membangun dari pinggiran”. Saatnya ditindaklanjuti dengan mendorong BUMN untuk kembali ke daerah secara strategis. Diperlukan keberanian pemerintah atau Presiden yang “tanpa beban” untuk memerintahkan Menteri BUMN mendorong “BUMN Mudik ”. Kebijakan “BUMN Mudik” menjadi mendesak. Jika tidak, siapa yang akan mempercepat pemanfaatan infrastruktur di daerah? Pemerintah telah berani merencanakan “pindah ibukota negara”. Saatnya Presiden juga memerintahkan “BUMN Mudik”. Ayu, pindahkan kantor operasional BUMN ke ke seluruh penjuru daerah. Saatnya BUMN menjadi agen pembangunan di setiap daerah. Berani, dan pasti bernai! Penulis adalah Ketua Alumni Dokter Hukum Universitas Pelita Harapan

Bersih-bersih di PT Pupuk Indonesia, Like and Dislike?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Menteri BUMN Erick Thohir mencopot Komisaris Independen PT Pupuk Indonesia (Persero) Yanuar Rizky. Yanuar resmi dicopot mulai Kamis (9/1/2020). Perihal alasan pencopotannya, ia tak menerangkan secara rinci. Yanuar hanya mengatakan normatif 'pergantian pemain'. Yanuar resmi dicopot mulai Kamis (9/1/2020). Perihal alasan pencopotannya, ia tak menerangkan secara rinci. “Normatif saja karena ganti pemain,” katanya, mengutip Detik.com, Kamis (9/1/2020). Meski begitu, ia menuturkan ada sejumlah hal yang perlu disikapinya. Namun, ia tak menerangkan secara rinci. “Saya menentukan sikap karena ada serentetan peristiwa yang perlu saya sikapi,” tegas Yanuar. “Saya tak bisa kemukakan secara detil ke publik, tapi like and dislike terkait dengan cara mengelola korporasi,” ungkapnya. Yanuar Rizky bercerita mengenai pencopotannya sebagai Komisaris Independen PT Pupuk Indonesia lewat akun Facebook pribadinya. Yanuar resmi dicopot dari jabatannya hari ini. Dia memberikan tanggapan berupa enam poin dan sebuah penjelasan panjang. Dari enam poin, setidaknya ada dua poin yang menyita perhatian. Dua poin itu yakni terkait masa jabatan dan mengenai akhlak yang sering digaungkan Menteri BUMN Erick Thohir. Yanuar mengatakan, pergantian dan pemberhentian merupakan hal yang lumrah. Lantaran, itu merupakan perusahaan negara bukan perusahaan keluarga. “Namun menjadi tidak lumrah, jika diberhentikan sebelum waktunya. Hanya saya sendiri yang kena pergantian,” tulisnya. Ia melanjutkan, pergantian ini tak ada kaitannya dengan masalah akhlak. “Framing etika dan moral dengan kemasan bersih-bersih BUMN, ingin saya tegaskan, saya tidak terkait akhlak dan etika," tambahnya. Di bagian penjelasan, Yanuar kembali menyinggung soal akhlak. Melansir Detik.com, Kamis (9/1/2020), ia menunjukkan akhlaknya melalui parameter kerja dan tidak korupsi. “Kalau Erick Tohir selaku Menteri BUMN di mana-mana ceramah soal akhlak, saya (ingin) menunjukkan akhlak saya dengan parameter kerja dan juga tak sepeser pun saya ingkar dan korupsi,” lanjutnya. Ia tak membawa kawan atau pasukan untuk masuk ke Pupuk Indonesia. Bahkan, ia menolak kawan yang ingin dikenalkan direksi terkait proyek. “Silakan tanya sobat-sobat saya soal ini saya selalu bilang 'Ini perusahaan negara, janji gw (saya) sama anak dan istri, kehormatan tidak dekat-dekat korupsi, kolusi, nepotisme,” tegas Yanuar. “Kinerja dan kerja saya menunjukkan, berbekal kompetensi, integritas dan kepemimpinan yang tanpa catatan negatif,” ungkapnya. Maka itu, Yanuar merasa bangga. Ia bisa pulang tersenyum ketika diberhentikan dari Pupuk Indonesia. “Sehingga, ketika saya diberhentikan dari Pupuk, saya bisa pulang dengan senyum, menyapa anak, istri dan Ibu saya (orang yang selalu mendoakan saya selamat dunia akhirat) dengan bangga, saya pulang tanpa cela,” kata Yanuar. Tanggapan datang dari Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga. Menurutnya, Yanuar akan ditempatkan sebagai komisaris di perusahaan lain.“Ini kan Pak Yanuar juga akan habis masa tugasnya di Pupuk, tapi kita percayakan di tempat lain, komisaris di tempat lain, refreshing aja,” katanya di Kementerian BUMN, Jakarta Pusat, Kamis (9/1/2020). Tak secara rinci, ia hanya menyebut Yanuar ditempatkan sebagai komisaris di anak usaha BUMN bidang energi. “Di energi ya, anak perusahaan BUMN energi,” imbuhnya. Arya kembali mengatakan alasan pencopotan ini sebagai bentuk penyegaran. Arya mengatakan, hal tersebut sesuatu yang normal. “Refreshing aja kan mau habis 5 tahun, dia tempat lain kita butuhkan, dikasih jabatan komisaris tempat lain. Bukan sesuatu, normal aja,” ujarnya. Klarifikasi Yanuar Berikut kutipannya penjelasan Yanuar. Ya, saya akan selesai 5 juni 2020. Tapi, tidak hanya saya, kami paket Dekom akan selesai di Juni. Tapi, kenapa saya digeser lebih cepat? Kami di Komisaris, bahkan sebelum ini membahas organ dekom juga diganti oleh pemegang saham. Saya menyatakan untuk menunda permintaan pergantian tim inti karena sedang proses Audit oleh Akuntan Publik terkait Laporan Keuangan. Dimana, saya sebagai Komisaris Independen sekaligus Ketua Komite Audit bertanggung-jawab dalam proses Laporan Keuangan Auditan. Lalu, bukan hanya organ yang ditarik? Saya pun diberhentikan. Apa yang bisa dibaca? Tampaknya ada kepentingan mendesak, bahwa Finalisasi Laporan Keuangan Auditan berada di “pemain pengganti”. Itu perlu saya kemukakan, agar masalah ini jadi jelas. Bahwa saya bukan anak kecil yang merengek kehilangan mainan. Saya mempunyai tanggungjawab moral kepada publik, karena saya warga negara yang mendapat mandat dari negara di perusahaan negara. Saya kembalikan kepada publik, bahwa ini semua terkait dengan grasak-grusuk yang ada tujuannya. Apa tujuannya? Saya tak akan kemukakan apa yang terjadi secara detil. Tapi, itu yang saya rasakan dan kembalikan kepada publik menilai. Pemain pengganti saya adalah birokrat, Deputi di BKPM. Saya harap ini bisa dijelaskan kepada publik, katena posisi saya insdependen bukan birokrat, kenapa unsur profesional dikurangi? Kemudian Independen juga diserahkan ke staf khusus menteri. Saya sedikit bertanya (sebagai warga negara) arah debirokratisasi dari Menteri BUMN dalam setiap ceramahnya, kok malah makin birokrat di pupuk? Semangat saya sama dengan Menteri. Ini uang rakyat, etikanya mana? Maka, saya rasa rakyat harus tahu realisasi kata dan perbuatan. Itu saja. Semua ini saya kemukakan karena ini perusahaan negara bukan perusahaan keluarga. Ada drama, dan ini terkait periode finalisasi Laporan Keuangan Auditan. #enjoyAja. *

Permasalahan Jiwasraya dan Industri Asuransi

By Andi Rahmat * Jakarta, FNN - Diluar soal dugaan tindak pidana dalam praktek bisnis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Asuransi Jiwasraya, kita sedang menyaksikan bayangan “mengancam” industri ini. Dengan total Asset per November 2019 senilai Rp 1. 346 triliun, industri ini dengan segala dinamikanya sedang mengalami tekanan perubahan yang signifikan. Bagaimana otoritas bertindak mengatasi persoalan yang dihadapi Jiwasraya, akan mempengaruhi landscape industri asuransi kita di masa datang. Relaksasi kebijakan moneter global (Quantitative Easing), Tren Inverted Yield Curve (kurva yield obligasi jangka pendek lebih tinggi dari kurva yield obligasi jangka panjang ) menjadi masalah sendiri. Kondisi ditambah bayang- bayang resiko default hutang global yang tersembunyi, memberi pengaruh kuat dalam kinerja industri asuransi global. Belum lagi pilihan-pilihan instrumen investasi di dalam negeri yang sesuai dengan sifat asuransi yang masih terbatas, dan tidak ditopang pasar keuangan yang dalam. Meski demikian, dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhan industri asuransi di indonesia mencatat tren positif. Baik Asuransi Umum maupun Asuransi Jiwa. Pertumbuhan positif ini menjadi catatan tersendiri di tengah krisis yang menimpa Jiwasraya. Namun di tengah pertumbuhan yang positif itu, perubahan landscape perekonomian global dan domestik, juga meningkatkan kompetitif di industri ini. Jiwasraya adalah cerminan betapa kompetitifnya industri ini sekarang. Upaya mengatasi mismatch antara kewajiban jangka pendek pada produk JS Protection Plan, yang dirilis tahun 2012. Sementara profile keuangan Jiwasraya berujung pada dalamnya perusahaan ini masuk limbo insolvabilitas. Langkah ini dilakukan, sebagai upaya jangka pendek mengatasi krisis yang dimulai sejak 2004. Ingat, kendati semua upaya itu dilakukan dengan bantuan skema reasuransi, sebagai satu bantalan utama industri asuransi dalam menghadapi shock, tetap saja Jiwasraya tak keluar dari kesulitannya. Jika otoritas hanya terkonsentrasi dalam penyelesaian isu kriminalitas, yang ditangani Kejaksaan Agung terkait dugaan kerugian negara, maka problem utama menjadi tidak tersentuh. Padahal masalah secara keseluruhan yang terkait dengan masa depan industri asuransi makin tidak terjamah. Berangkat dari kasus Jiwasraya, maka dibutuhkan langkah penyelesaian yang lebih komprehensif dari otoritas terhadap problem industrinya. Ini sesuai dengan perintah undang-undang perasuransian. Ingat, bagi otoritas, khususnya pemerintah, masih ada masalah sama yang menggantung di Asuransi Bumiputera, yang juga memerlukan perhatian serius. Sebagai mantan Ketua Panja RUU Perasuransian, yang menghasilkan UU No. 40 Tahun 2014, saya berharap ada upaya yang lebih luas dan sistematis. Otoritas agar mengatasi masalah ini dengan menata ulang industri asuransi kita. Dari sudut pandang ini, yang sedang dihadapi otoritas adalah kenyataan bahwa industri asuransi kita secara keseluruhan sedang mengalami tantangan yang sangat signifikan. Dalah penyelesaian permasalan Jiwasraya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan memiliki pilihan-pilihan yang sulit. UU No, 40 tentang Perasuransian, pasal 15 menempatkan posisi pemerintah sebagai pengendali Jiwasraya. Posisi sebagai pengendali ini, mengharuskan pemeritah memperkuat Risk Base Capital (RBC) Jiwasraya. Selain itu, juga memperkuat Dana Jaminan yang diperlukan untuk mengatasi kewajiban yang jatuh tempo di Jiwasraya. Sampai disini, muncul pertanyaan,seandainya Jiwasraya adalah perusahaan asuransi swasta, apakah perlakuan yang linient terhadap persoalan yang melilitnya akan sama? Pertanyaan ini terkait dengan bangunan industri asuransi secara luas. Jawabannya, akan berhubungan langsung dengan soal menjaga level of playing field otoritas terhadap industri secara keseluruhan. Dalam skala yang lebih luas, tentu juga terkait dengan kemampuan otoritas memberi sinyal positif terhadap keampuhan dan keabsahan regulasi kita dalam mengelola sektor keuangan. Sayangnya, di tengah situasi sulit ini, suatu Lembaga Penjaminan Oolis (yang sepadan dengan Lembaga Penjaminan Simpanan untuk industri Perbankan) sampai sekarang belum juga dibentuk. Pembentukan Lembaga Penjaminan Polis itu diperintahkan oleh UU No. 40 tahun 2014. Sayangnya, sampai sekarang belum ada kabar beritanya. Saya dengar sudah ada upaya memasukkannya kedalam Program Legislasi Nasional di DPR. Saya kira, pemerintah dan DPR dapat menggunakan momentum ini untuk segera memprioritaskan pembahasan dan penyelesaian peraturan perundang-undangannya. Terkait dengan semua itu, di meja Menteri Keuangan hanya ada dua pilihan penyelesaian. Sekali lagi, Posisi Menteri Keuangan dalam hal ini bukanlah regulator, melainkan sebagai pengendali. Tugas dan kewajibannya sudah diatur jelas di dalam Undang-Undang. Pilihan pertamanya adalah menghentikan kegiataan usaha Jiwasraya. Pilihan keduanya adalah melanjutkan kegiatan usaha Jiwasraya. Pilihan pertama memiliki konsekuensi yang tidak mudah. Sebab sebelum meghentikan usahanya, sesuai dengan ketentuan UU No. 40 tahun 2014, Bab X pasal 42, kewajiban Jiwasraya mesti diselesaikan lebih dahulu. Tentu mengandung konsekuensi fiskal yang tidak kecil. Selain itu, akan menimbulkan dampak yang bisa saja berkonsekuensi contagion terhadap bangunan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Lagi-lagi, ini tentu saja memerlukan perhitungan yang cermat. Pilihan kedua adalah tetap melanjutkan kegiatan usaha Jiwasraya. Yang artinya, Menteri Keuangan memenuhi kewajiban standarnya. Kewajiban itu untuk memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh Jiwasraya sebagai Asuransi Jiwa untuk dapat beroperasi secara normal dalam bingkai regulasi yang ada. Langkah ini juga mengandung konsekuensi fiskal yang tidak mudah. Dalam pilihan-pilihan ini, juga terdapat kemungkinan bagi pengendali untuk menggunakan lembaga mediasi yang sudah diatur didalam undang-undang. Tujuannya untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi pemegang polis dalam mendapatkan manfaat asuransi. Dengan begitu, mungkin bisa ditemukan pola restrukturisasi yang dapat membantu Jiwasraya dalam memenuhi kewajibannya. Saya menganjurkan Menteri Keuangan mengambil pilihan ini. Tentu dengan bersungguh- sungguh pula, memproses secara hukum pihak- pihak yang telah merugikan keuangan negara. Jika pilihan ini yang diambil, maka DPR harus dapat diyakinkan untuk mengambil posisi yang sama. Pilihan pertama dan pilihan kedua sama-sama mengandung konsekuensi fiskal. Adapun regulator, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) juga memiliki pekerjaan rumah yang tidak gampang. Apalagi sejak berada di bawah pengawasan Bapepam-LK, persoalan Jiwasraya sudah mengemuka dan terus berlangsung hingga berdirinya OJK. Sejarah Jiwasraya sama tuanya dengan sejarah industri asuransi di Indonesia. Dimulai sejak tahun 1859 di masa kolonial Belanda, hingga dinasionalisasinya semua perusahaan asuransi jiwa milik Belanda di tahun 1957. Secara resmi menjadi perusahaan asuransi jiwa milik negara di tahun 1960, dan beroperasi hingga sekarang. Jiwasraya adalah pionir historis asuransi jiwa di Indonesia. Dapat dibayangkan betapa sulitnya regulator dalam menghadapi perusahaan asuransi yang sudah arkaik ini. OJK dalam hemat saya seyogyanya memberi kesempatan kepada Pengendali (Menteri Keuangan) mencari solusi permasalah Jiwasraya. Dengan catatan menilik histori upaya penyelesain masalah Jiwasraya sejak 2004, toleransi yang linient oleh regulator pada hemat kami sudah lebih dari cukup. Seperti yang sudah kami kemukan diawal. Industri asuransi sedang mengalami perubahan dan juga tekanan yang kuat. Laporan tren industri asuransi tahun 2018 yang dirilis oleh OECD menunjukkan beberapa tren umum yang dialami oleh industri asuransi. Diantara tren peningkatan premi, eksposure investasi yang dominan adalah di obligasi. Selain itu, tren kerugian investasi (investment losses) dan besarnya gross kewajiban yang mesti dibayarkan. Eksposure masing-masing negara terhadap tren ini memang variatif. Mc Kinsey dan Deloitte dalam rilisnya mengenai tren industry asuransi global, menunjukkan performa kinerja yang positif. Di kawasan Asia Pasifik, India dan China menjadi faktor utama dalam menggerakkan tren positif itu. Menurut laporan Mc Kinsey, sejak tahun 2010 hingga tahun 2017, pertumbuhan industri asuransi global rata-rata di atas 4% per tahun. Di tahun 2017 malahan tumbuh hingga 4.7 %. Dengan tren yang positif itu, khususnya industri asurnasi jiwa, dalam menyelesaikan Jiwasraya, OJK dituntut untuk bisa menginsulasi dampaknya terhadap kinerja industri secara keseluruhan. Termasuk dalam menjaga tingkat kepercayaan publik terhadap keamanan dan kemampuan industri asuransi dalam menjalankan bisnisnya. Persoalan insolvensi yang dialami Jiwasraya, seyogyanya makin memperkuat penerapan market conduct policy di industri asuransi kita. Sebab menurut laporan Deloitte, ini sudah merupakan tren regulasi asuransi global. Untuk itu, diperlukan pengawasan dan stress test yang memadai dalam menguji solvabilitas industri asuransi. Pengawasan seperti ini diperlukan untuk memastikan bahwa kinerja industri betul-betul ditopang oleh profile bisnis yang kuat. Bukan disebabkan oleh tindak spekulatif jangka pendek yang membahayakan kesinambungan neraca bisnis asuransi dalam jangka panjang. Sejak krisis tahun 1997-1998, kita juga sudah mengalami krisis-krisis sektoral dalam industri keuangan. Seperti krisis redemption besar-besaran reksadana di tahun 2006. Tekanan keuangan pada perbankan tidak sehat, yang tidak signifikan secara ukuran, yang berbuah bailout bank Century di tahun 2008-2009. Sekarang kita juga dihadapkan pada krisis yang dialami Jiwasraya. Semua krisis itu muncul, diantaranya disebabkan oleh komplasensi kebijakan kita sendiri. OJK yang oleh undang-undang diberi kewenangan penuh untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan di sektor keuangan, khususnya industri asuransi, sudah waktunya menggunakan kewenangan itu. Kewenangan Kejaksaan Agung adalah perkara dugaan pidana kerugian negara pada BUMN. Sedang OJK memiliki kewenangan khusus utk melidik dan menyidik kejahatan perasuransiannya. Delik dan sanksi adminitratif dan pidana perasuransian, sudah diatur didalam UU No 40 tahun 2014. Mengapa demikian?. Sebab, selain merupakan BUMN, Jiwasraya juga merupakan perusahaan asuransi jiwa yang sama dengan perusahaan asuransi jiwa lainnya. Buah dari hasil lidik dan sidik itu sendiri, bagi industri asuransi adalah rambu-rambu yang lebih pasti dalam menjalankan bisnisnya. Harus dibuat terang, mana yang bisa menjadi ranah pidana asuransi dan mana yang bukan. Ini menjadi penting, karena bagi pelaku industri, kalkulasi terhadap resiko hukum menjadi lebih pasti. Semoga saja. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usah dan Mantan Wakil Ketua Ketua Komisi XI DPR RI

Shortfall Penerimaan Perpajakan

Saya berani mengatakan dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa melebihi 5,5%, maka situasi shortfall ini akan menjadi makanan tahunan APBN kita. Shortfall akan persisten dan iminen. Karenanya, target pajak yang ekspansif dan optimis menjadi tidak rasional dan realistis. By Andi Rahmat Jakarta, FNN - Pencapaian penerimaan perpajakan hingga akhir tahun 2019 mencatatkan pencapaian historik. Shortfall 19% dari target APBN Rp 1.577 triliun, atau secara absolut berkisar Rp 200 triliun. Meskipun demikian, saya tidak sedang membicarakan soal konsekuensi hutang ini. Tetapi diskusinya adalah menelisik soal atau sebab-musabah, dan pembacaan terhadap kinerja ekonomi. Cerita Shortfall ini bukan barang baru dalam catatan penerimaan perpajakan kita. Setidaknya sejak tahun 2017 hingga 2019, shortfall absolut penerimaan perpajakan selalu melampui angka Rp 100 triliun. Bahkan berturut-turut di tahun 2017 shortfallnya Rp 130 triliun, dan pada tahun 2018 Rp 108 triliun. Konsekuensinya, target defisit APBN selalu mengalami overshoot. Atau dengan kata lain terjadi penambahan hutang di luar perkiraan pembuat kebijakan fiskal. Yang utama dalam tulisan ini adalah soal simpulan terhadap pelambatan kinerja ekonomi kita. Supaya lebih netral dari segi istilah, ada bagusnya menggunakan istilah International Monetary Fund (IMF), sluggisnya kondisi perekonomian kita. Dua istilah itu, sama-sama tercermin dalam pencapaian pertumbuhan Pruduk Demontik Bruto (PDB) kita yang bergerak dibawah 5,2 % dalam emat tahun terakhir. Memang ada satu model perkiraan penerimaan perpajakan yang selama ini diterapkan oleh pembuat kebijakan ekonomi, baik di DPR maupun di Kementerian Keuangan. Tampaknya kebijakan dibuat selalu overestimate terhadap target penerimaan perpajakan. Yang sebagiannya disumbangkan oleh simplifikasi terhadap simpulan posisi tax ratio ketimbang menelisik kinerja sektor ekonomi. Dari sisi fundamental APBN, shortfall atau target yang besar itu memang masih bisa dimitigasi resikonya. Bahkan dengan pendekatan mitigatif yang ekspansif sekalipun. Sebab, harus diakui, sejak periode SBY hingga Jokowi, penguatan fondasi struktural APBN kita memang cukup solid. Namun, shortfall perpajakan tetap merupakan suatu masalah serius yang mesti dilihat secara seksama. Kinerja penerimaan yang serial seperti itu menyalakan lampu kuning bagi kita semua. Khususnya para pembuat kebijakan di bidang ekonomi. Shortfall yang menunjukkan dua hal sekaligus. Fatiguenya fiskus dalam menyasar para objek pajak. Sementara kelelahan yang sama, juga dialami oleh objek pajak dan wajib pajak. Di level fiskus, kelelahan ini muncul karena sumber daya fiskus yang semakin ketinggalan. Perangkat administratif yang sudah mulai kadaluarsa. Selain itu, fondasi regulasi yang semakin tidak sesuai lagi dengan perkembangan objek pajak atau potensi objek pajak. Sumber daya yang dimiliki fiskus, terutama yang berkaitan dengan sumber daya manusianya, memang sudah waktunya diperkuat. Dari segi kuantitas, pertumbuhan SDM fiskus dalam sepuluh tahun terakhir sangat jauh dari ratio yang paling konservatif sekalipun. Rationya yang normal adalah 1 : 1.590 terhadap populasi dan 1 : 936 terhadap wajib pajak. Demikian juga dengan kualitas. Perkembangan sektor-sektor baru perekonomian yang justru sedang mengalami booming. Untuk itu, sopistikasi praktek ekonominya, juga membutuhkan kualitas SDM fiskus yang sebanding. Perangkat administratif perpajakan juga mengalami hal yang sama. Administrasi perpajakan masih menyulitkan fiskus dalam berinteraksi dengan perkembangan objek pajak. Ringkasnya, selain kantor atau tempat layanan perpajakan yang belum memadai, juga insentif administratif terhadap kinerja fiskus yang tidak sebanding dengan besarnya effort yang dibutuhkan. Dari sisi regulasi, sudah dua belas tahun lebih, dan terakhir kali kita melakukan overhaul menyeluruh terhadap regulasi perpajakan. Memang ada produk minor regulasi sektor perpajakan. Tetapi sifatnya lebih sektoral dan terbatas. Kebutuhan overhaul menyeluruh adalah kebutuhan yang pasti seiring dengan perkembangan sektor- sektor perekonomian. Sementara kelelahan yang dialami oleh objek pajak dan juga wajib pajak disumbangkan oleh sluggishnya perekonomian. Lapisan tarif yang juga tidak lagi kompetitif. Selain itu, perlu intensifikasi basis pajak dan untaxable objek pajak. Saya berani mengatakan dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa melebihi 5,5% saja, maka situasi shortfall ini akan menjadi makanan tahunan APBN kita. Shortfall akan persisten dan iminen. Karenanya, target pajak yang ekspansif dan optimis menjadi tidak rasional dan realistis. Dalam soal tarif, sudah jamak dimahfumi bahwa tariff bracket perpajakan kita sudah menjadi disinsentif bagi perekonomian kita sejak 12 tahun lalu. Terutama sewaktu kita melakukan overhaul, penetapan tarif itu, lebih mempertimbangkan dampaknya terhadap postur penerimaan negara dan rendahnya tingkat kepatuhan perpajakan Wajib Pajak (WP) kala itu. Ketika itu, besar tarif tidak seelastis dibanding sekarang terhadap kinerja ekonomi. Karenanya di tahun-tahun awal penerapan tarif perpajakan pasca overhaul, selain kinerja ekonomi yang positif, eksetensifikasi dan intensifikasi pajak tidak negatif terhadap kinerja perekonomian. Sedangkan intensifikasi basis pajak juga demikian. Fenomena yang terjadi pasca kebijakan Tax Amnesty adalah over regulasi pada basis pajak yang sama. Ekspansi berbau draconian terhadap wajib pajak, karena perburuan target yang irasional, menyasar hingga sektor sensitif seperti sektor keuangan dan perbankan. Objek pajak mengalami distress dan wajib pajak mengalami disinsentif yang jamak sekali dalam percakapan harian. Terakhir, masalah untaxable objek pajak. Terutama karena masalah ini terjadi pada sektor-sektor baru. Khususnya yang berbasis ekonomi digital. Selain itu, inversi perpajakan yang belum memadai antisipasinya dari sisi regulasi. Sebagai penutup. Saya hanya ingin menegaskan tentang perlunya kita sama-sama melihat ketimpangan ekonomi yang makin melebar. Kondisi ini disertai dengan pelemahan pertumbuhan kualitas kelas menengah yang taxable. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Bisnis dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Tahun 2019: Kehancuran Indonesia Persneling Tiga

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Tidak ada yang bisa dikenang sebagai sesuatu yang baik sepanjang 2019. Semua bidang kehidupan: ekonomi, bisnis, sosial, politik, penegakan hukum, peranan media, dlsb. Bidang politik mencatat rangkaian peristiwa yang semuanya sangat memprihatinkan. Ada penipuan kolosal suara rakyat di pilpres 2019. KPU yang dikangkangi oleh pemegang kekuasaan. Inilah penjaga demokrasi yang dikooptasi oleh para penguasa. Begitu juga Mahkamah Konstitusi (MK) yang cenderung tidak independen. Ada dua lagi lembaga yang juga menghamba kepada misi politik pribadi. Yaitu, Polri dan media massa. Di bawah pimpinan Tito Karnavian, Kepolisian tidak segan-segan memihak kepada Jokowi sebagai capres petahana. Polisi mengemban tugas untuk memenangkan Capres 01 di pilpes 2019. Begitu pula media massa mainstream. Tidak ada yang tak memihak Jokowi kecuali tvOne. Selebihnya bergerombol mendukung Jokowi. Tanpa akal sehat sama sekali. Media mainstream terang-terangan melacurkan diri untuk kepentingan Jokowi. Penyelenggaraan pilpres 2019 sendiri penuh dengan kecurangan dan malapetaka. Banyak muslihat dalam penghitungan suara cepat (quick count). Tak bisa dipercaya. Ada tangan-tangan kotor. Sementara itu, 600 orang petugas KPPS meninggal dunia tanpa ada penyelidikan independen. Baru pertama kali pemilu yang memangsa begitu banyak nyawa petugas. KPU hanya memberikan santunan 37 juta yang sebenarnya identik dengan penghinaan. Noda pilpres tak sampai di situ. Ada rekonsiliasi yang paling aneh di dunia. Capres 02 bergabung ke kabinet Jokowi dan menjadi salah seorang bawahan presiden yang sangat diragukan kemurnian kemenangannya itu. Aliansi ini memberikan pendidikan politik yang sangat buruk. Tapi, para pelaku mengatakan semua itu strategi. Sedangkan publik melihatnya sebagai “penyimpangan orientasi seksual di dunia politik”. Minimal bencong politik. Rekonsiliasi aneh ini bertujuan untuk menyatukan kedua kubu. Tapi, itu tak terjadi. Sebab, akal sehat dan akal sakit tak mungkin berbaur. Yang sangat fatal adalah nasib demokrasi. Rusak berat gara-gara manuver konyol para politisi sinting. Rakyat sekarang menjadi apriori dan tak percaya lagi pada demokrasi. Dari bidang politik, kehancuran Indonesia di 2019 berlanjut ke bidang ekonomi dan bisnis. Utang luar negeri bertambah terus. Pada akhir 2019, utang pemerintah ada pada posisi 4,750 (empat ribu tujuh ratus lima puluh) triliun. Tiap tahun harus disediakan hampir 400 triliun untuk cicilan. Impor menjadi “amalan rutin” pemerintah. Boleh dikatakan, tidak ada yang tak diimpor. Beras, gula, garam, kedelai, bahkan jagung. Semen dan baja. Dua komoditas terakhir ini terasa “lucu dan tak masuk akal” diimpor. Stok beras tidak kurang, tapi terus saja diimpor. Lain lagi dengan baja. Produsen baja nasional, BUMN Krakatu Steel (KS), sengaja dibunuh. Baja impor dari China menghancurkan KS. Perekonomian hanya tumbuh 5%, kata Sri Mulyani. Para ekonom mengatakan, kalau cuma 5%, tak perlu ada menteri keuangan dan institusi Ekuin lainnya. Yang paling celaka adalah pemberantasan korupsi. KPK dibonsai oleh DPR dan Jokowi. Mulai dari perangkat peraturan-perundangan KPK yang dihajar hingga babak-belur sampai pimpinan barunya yang disesuaikan dengan kebutuhan para politisi busuk. Terutama dicocokkan dengan skenario PDIP. Tentu bisa Anda tebak mengapa PDIP habis-habisan menghancurkan KPK. Di bidang sosial, kehancuran yang berlangsung sepanjang 2019 sangat dahsyat. Pengedaran dan konsumsi narkoba semakin tak terkendali. Jumlah pengguna aktif jenis Sabu, tidak berkuang dari angka 4.2 juta orang. Bahkan cenderung bertambah. Keterbelahan masyarakat semakin meruncing antara pendukung rezim zalim dan rakyat yang melawan kezaliman itu. Ini terjadi karena penguasa memihak pada pendukung mereka. Penegakan hukum sangat cepat terhadap lawan penguasa. Sebaliknya tak pernah berproses terhadap orang-orang yang mendukung penguasa. Penista agama Islam selalu bisa melenggang. Pengkritik pejabat mendekam di penjara. Belum lagi kita bicara korupsi BUMN. PT Garuda bonyok. Pimpinannya berlagak seperti pemilik. Perusahaan Asuransi tertua, Jiwasraya, kini hancur berantakan. Dengan utang puluhan triliun. Diduga, orang-orang kuat mencuri duit BUMN ini. Dalam jumlah besar. Bukan ratusa miliar, melainkan belasan triliun. Ada pula indikasi uang Jiwasraya dipakai untuk biaya pilpres 2019. Sebegitu hancurkah Indonesia? Itulah yang terjadi. Semua dalam kondisi yang mencemaskan. Laju kerusakan pada 2019 cukup tinggi. Bisakah kehancuran itu diperbaiki? Persoalannya, rem negara ini sudah blong. Rem itu adalah DPR, MPR, media massa, para tokoh bangsa. Tak berfungsi lagi. Kekuasaan presiden berjalan tanpa rem. Kehancuran itu kini berada di persneling tiga. Satu gigi lagi ke atas, masuklah kecepatan penuh. Tinggal menunggu apa yang akan ditabrak.[] 1 Januari 2020 Penulis wartawan senior.

Skandal Jiwasraya: Obsesi Jokowinomics yang Berantakan

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Sebuah akun twiter atas nama Christ Wamea @ChristWamea mencatat, negara rugi Rp 13,7 triliun akibat korupsi di Jiwasraya, Garuda butuh Rp 12 triliun untuk bayar utang, dan BPJS mengalami defisit Rp 32 triliun. Apa BUMN lain tidak ada masalah? “Utang negara naik tiga kali lipat. Ekonomi Hancur. Ini semua karena rezim ini hanya sibuk dengan isu siapa yg paling Pancasilais dan siapa yang radikalisme,” begitu isi twiter Christ Wamea @ChristWamea beberapa waktu lalu yang ramai di WAG. Dari Pergerakan Total Utang Emiten 20 BUMN pada 2014 dan H12019 terlihat komparasi besarannya. Pada 2014 Rp 9,234.300 sedangkan H12019 Rp 13,984.200. Itulah Data Utang PGAS dan ANTM terakhir adalah Q1-2019, Chart: RTI Analytics. Lima dari 20 BUMN tersebut tercatat pergerakannya, antara lain PT Perusahaan Gas Negara (2014) Rp 3,252.4 triliun, (2019) Rp 4,214.1 triliun; PT Garuda Indonesia Tbk (2014) Rp 2.184.1 triliun, (2019) Rp 3,568.2 triliun; PT Krakarau Steel Tbk (2014) Rp 1,706.6 triliun, (2019) Rp 2,572.1 triliun; PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (2014) Rp 704.2 triliun, (2019) Rp 1,097.4 triliun; PT Bank Mandiri Tbk (2014) Rp 750.2 triliun, (2019) Rp 1,045.9 triliun. Jadi, menjawab pertanyaan Christ Wamea @ChristWamea tadi, tentu saja jika dilihat dari Pergerakan Total Utang Emiten 20 BUMN pada 2014 dan 2019 itu, ternyata BUMN yang lain terdapat “masalah”, yakni utangnya meningkat. Skandal Jiwasraya (Jiwasrayagate) yang kini ramai dibicarakan sejak terungkap, jelas beda masalahnya dengan ke-20 BUMN yang “terlilit” utang itu. Karena, dalam Jiwasrayagate ini diduga kuat terdapat unsur pidana korupsinya. Jiwasrayagate ini terungkap bermula dari adanya klaim nasabah peserta program Saving Plan yang gagal dibayar oleh Jiwasraya. Di sini terkuaklah defisit luar biasa besar yang ditanggung oleh BUMN bidang jasa asuransi tersebut. Totalnya menyentuh angka Rp 13,74 triliun, bukan sebuah nominal yang kecil! Bukan hanya nasabah yang panik klaimnya tak dibayar! Betapa tidak, 13 ribu 740 miliar rupiah menjadi defisit dalam kurun waktu hanya 2 tahun terakhir saja. Sebab, pada tahun buku 2017 meski kinerja keuangan Jiwasraya mulai tertekan, tapi masih mampu membukukan laba bersih sebesar Rp 328,43 miliar dan nilai equitasnya positif Rp 5.608,88 miliar atau Rp 5,6 triliun. Tercatat, Jiwasraya mulai membukukan kerugian sampai belasan triliun sejak 2018. Begitu juga equity-nya mulai negatif sebesar Rp 10 triliun sejak 2018 dan hingga September 2019 sudah minus mencapai nominal Rp 23,9 triliun! Menariknya, Presiden Joko Widodo langsung bereaksi atas indikasi meruginya Jiwasraya tersebut. Padahal, dalam kasus indikasi kerugian BUMN lain sampai puluhan triliun rupiah, Presiden Jokowi tidak bereaksi langsung, bahkan nyaris tak ada komentar. Dalam kasus Jiwasraya ini Presdien Jokowi langsung menyatakan di hadapan pers bahwa kasus meruginya Jiwasraya ini sudah berlangsung lama, “Sudah 10 tahunan,” ungkapnya. Jelas, Presiden Jokowi mencoba mencari “aman”. Menarik mundur 10 tahun itu sama artinya dengan melempar tanggung jawab Jiwasrayagate kepada presiden pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono, yang menjabat presiden untuk periode keduanya (2009-2014). Jokowi pertama kali menjadi presiden 5 tahun yang lalu. Jadi kalau mau “lepas tangan”, maka dia harus tarik mundur lebih dari 5 tahun lalu. Jokowi akan jauh lebih aman, maka blame it to 10 tahun yang lalu, saat SBY masih menjadi presiden periode kedua. Tapi benarkah demikian?! Benarkah Jiwasraya sudah merugi sejak 10 tahun yang lalu, yaitu sejak 2009? Mantan Sekretaris Menteri BUMN saat pemerintahan SBY, Said Didu menyatakan, memang betul Jiwasraya masih merugi saat periode pertama SBY menjadi presiden karena “warisan” dari krisis keuangan tahun 1998 yang belum tertangani. Tapi, kemudian Jiwasraya membaik. Catatan yang dibuat Tirto.id menunjukkan bahwa pada 2009 Jiwasraya mencatatkan laba sebesar Rp 356 miliar dan equity-nya + Rp 799,6 miliar. Serah terima dari SBY kepada Jokowi, 20 Oktober 2014. Dan, pada akhir 2014 Jiwasraya masih membukukan laba Rp 669 miliar dengan ekuitas Rp 2,4 triliun. Laba mulai menurun drastis pada 2017, meski masih positif. Dan, mulai merugi pada 2018 – 2019. Ekuitas menjadi negatif sejak 2018. Jadi, pernyataan Jokowi sama sekali tidak terbukti! Yang menjadi pertanyaan, mengapa Presiden Jokowi sedemikian sensitif menyikapi kerugian Jiwasraya yang nilainya fantastis, melebihi bail-out untuk Century sebesar Rp 6,7 triliun. Mengapa Presiden Jokowi harus sedemikian defence sampai harus melempar masalah ini sejauh mungkin hingga mundur 10 tahun ke belakang?! Padahal data keuangan sama sekali tidak menunjukkan demikian! Ada apa gerangan?! Berbeda dengan Jokowi yang buru-buru membuat statement, Menteri BUMN Erick Tohir justru sebaliknya: nyaris tak bersuara! Erick lebih memilih diam, bungkam, tak seperti kala menguak adanya penyelundupan moge Harley Davidson dan sepeda Brompton itu. Padahal, dalam kasus penyelundupan itu kerugian negara hanya beberapa miliar saja. Tapi, Erick dengan gagah berani melakukan konpers bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengungkap pelanggaran itu dan meminta pelakunya untuk mundur atau diberhentikan. Kasus kerugian Jiwasraya ini meruakkan bau tak sedap. Konon, mantan Direktur Keuangan Jiwasraya, Hary Prasetyo, yang sempat menjadi Tenaga Ahli Utama Kedeputian III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di KSP diisukan kabur ke luar negeri. Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengaku dirinya tak melindungi Hary. Bahkan, dia mengaku tidak tahu-menahu jika Hary diduga terlibat dalam kasus gagal bayar Jiwasraya. Harry mulai masuk KSP pada Mei 2018, setahun sebelum Pilpres 2019. Hary hanya di KSP sampai Jokowi selesai menjabat presiden periode pertama. Sekarang, karena tugas Hary sudah selesai, maka KSP pun bisa menyatakan diri tidak tahu-menahu. Ada aroma tak sedap lainnya yang menyeruak ke publik. Kabarnya, di balik meruginya Jiwasraya, BUMN itu diduga dananya ikut dipakai mendanai pemenangan Pilpres 2019 kemarin. Hal ini mengingatkan kita pada Skandal Bank Century, yang mengalami gagal clearing pada 2008. Dengan alasan untuk mencegah kerugian yang lebih besar karena Century bisa berdampak sistemik, maka negara melakukan bail-out untuk Century sebesar Rp 6,7 triliun. Saat itu Menteri Keuangannya Sri Mulyani – seperti sekarang dan periode lalu. Sementara Gubernur BI kala itu dijabat Boediono yang kemudian menjadi wapres. Ketika itu kuat dugaan ambruknya Century dan skenario bail-out terkait dengan gelontoran dana untuk Pilpres 2009, SBY saat itu presiden petahana akan maju lagi untuk periode kedua. Akankah Jiwasrayagate ini bakal menjadi heboh seperti Centurygate? Jika mau berlaku adil dan fair sudah seharusnya lembaga rasuah KPK dan Kejagung bersinergi untuk membongkar kedua skandal keuangan ini sehingga isunya tidak menjadi liar. *Jokowi Effect* Apa yang sebenarnya terjadi dengan Jiwasraya itu? Dana Jiwasraya raib akibat salah investasi pada 2018 dan 2019. Jiwasraya membeli saham Reksadana yang pada akhir 2017 mengalami kemerosotan harga. Itulah fakta yang sebenarnya terjadi. Misalnya, Jiwasraya membeli saham Rp 200/lembar, tapi harga saham pada 2019 ternyata turun menjadi Rp 125/lembar. Seharusnya Jiwasraya tak mengulang membeli, tapi harus jual saham. Sehingga, hanya rugi Rp 75/lembar. Atau dijual saat saham bergerak turun, meski baru dibuka lagi dalam waktu dua jam. Namun, anehnya Jiwasrayagate tak jual, justru beli saham lagi yang turun pada 2019. Padahal, sudah dalam kondisi merugi. Mungkin Jiwasraya berharap setelah beli akan bergerak naik. Mereka yakin 2019, saham akan naik jika Jokowi menjadi Presiden kedua kalinya. Faktanya saham justru menurun terus. Meraka mimpi 2019 Pasca Pilpres 2019, saham akan naik. Faktanya terus merosot. Artinya, Jiwasrayagate merupakan korban obsesi Jokowi Effect di bidang ekonomi. Ironisnya sebelum harga saham naik, ternyata ada klaim dari nasabah yang saatnya melakukan klaim. Tapi, kas Jiwasraya kosong! Sehingga terbongkar. Secara kelembagaan, cara Jiwasraya sebagai perusahaan BUMN itu jelas melanggar hukum. Kesalahan tidak bisa ditimpahkan kepada petinggi Jiwasraya saja. Ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang juga harus dibongkar. Jiwasrayagate ini hanya puncak gunung es. Bahwa OJK sebenarnya tidak melaksanakan tugas sesuai dengan SOP-nya. Juga menjadi bukti, bukan kemuskilan main saham yang dilakukan Jiwasraya itu juga dilakukan perusahaan BUMN lain. Kabarnya, saham perusahaan Erick Thohir tak dijual di Reksadana. Tapi, melayani sendiri di pasar saham. Kalau pun Jiwasraya membeli saham perusahaan Erick, yang salah itu pembeli, bukan pemilik saham! Mengapa beli saham yang turun?! *** Penulis wartawan senior.

Jiwasraya yang Diperkosa oleh Jiwaserakah

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Seandianya kata “sraya” berarti “belahan”, maka “jiwasraya” adalah “belahan-jiwa”. Dan, pantaslah perusahaan asuransi Jiwasraya sangat dicintai oleh para penguasa. Sebab, “belahan-jiwa” akan selalu menyerahkan segalanya untuk siapa saja yang mencintainya. Itulah yang, agaknya, terjadi dalam dua tahun ini atas diri Jiwasraya. Si belahan-jiwa, PT Jiwasraya, menyerahkan semua yang ada padanya untuk orang-orang yang mencintainya. Yang menjadi masalah, para pencinta Belahan-jiwa ternyata adalah orang-orang yang memiliki Jiwaserakah. Dia tidak tulus mencintai Jiwasraya. Jiwaserakah hanya berpura-pura. Dia hanya ingin kekayaan Jiwasraya. Sekarang, kekayaan Jiwasraya sudah ludes. Dalam dua tahun saja, Jiwasraya menjadi kurus-kering diisap oleh Jiwaserakah. Mula-mula Jiwaserakah menguras Jiwasraya dengan cara halus. Tetapi, setelah itu dia memperkosa Jiwasraya. Bahkan, setelah diperkosa, Jiwaserakah kini terindikasi mau membunuh Jiwasraya. Jiwaserakah memang kejam dan brutal. Dia memiliki kekuasaan besar. Kekuasaan yang sangat tinggi. Setinggi penguasa tertinggi. Tapi, Jiwaserakah tidak hanya kejam dan brutal. Dia juga pintar. Sangat smart. Dia ajak para penguasa otoritas keuangan dan para penguasa politik untuk ikut memperkosa Jiwasraya. Belahan-jiwa yang sangat berpengalaman ini kolaps dalam kondisi yang mengenaskan. Hari ini, setelah pemerkosaan Belahan-jiwa terungkap, para petugas rendahan mulai melakukan pengusutan. Karena rendahan, para petugas itu tak ada yang berani membeberkan siapa-siapa saja pelaku pemerkosaan Jiwasraya. Jaksa Agung tak berani. Pak Jaksa mengatakan identitas pemerkosa akan dirahasiakan. Induk semang Jiwasraya, yaitu Menteri BUMN Erick Thohir, juga tutup mulut. Tampaknya, mereka itu takut. Para mantan manajer “wanita kaya” (Belahan-jiwa) itu dirumorkan kabur ke luar negeri. Tapi, hebatnya, dia menantang. Dia katakan, “saya ada di sini”. Maksudnya, dia tidak lari. Dia bagaikan menantang, “Tangkaplah aku, kau kukejar”. Mungkin si mantan manajer merasa lelaki perkasa yang memperkosa Belahan-jiwa adalah orang kuat yang tak akan tersentuh hukum. Nah, siapa yang berani? Tampaknya tidak ada. Para kekasih palsu Jiwasraya banyak jumlahnya. Mereka semua adalah orang-orang kuat. Dekat dengan pusat kekuasaan. Bisakah publik mengharapkan skandal pemerkosaan Belahan-jiwa (Jiwasraya) terungkap tuntas tanpa ada yang dilindungi? Kelihatannya Anda meletakkan panggang Anda jauh dari api. Tak mungkin masak. Panggang Anda akan busuk. Akan dibuang ke gorong-gorong dekat Monas. Kembali ke laptop. Lembaga asuransi jiwa tertua di Indonesia, Jiwasraya, kemungkinan besar akan bangkrut. Kolaps. Dengan utang 13 koma sekian triliun. Kata para ahli keuangan, perlu 30 triliun untuk mengobati Jiwasraya. Ada yang mengatakan perlu 50 T. Mengapa tiba-tiba saja perusahaan asurani milik BUMN ini hancur berantakan? Jangankah Anda, Erick Thohir saja bingung. Tapi, menteri BUMN itu, konon, kebingungan mau buat apa. Dia pasti sudah tahu para pelaku korupsi Jiwasraya. Persoalannya, di depan Erick ada preman-preman eksekutif dan legislatif. Mereka inilah yang diduga sebagai pelaku pemerkosaan Jiwasraya. Erick hanya bisa menatap Jiwasraya dengan perasaan sedih. Neraca keuangan Jiwasraya ajlok sangat dalam di tahun politik, 2018. Dari posisi positif 5.61 triliuan pada 2017, terjun bebas ke posisi negatif 10.2 triliun pada 2018. Kemudian, di tahun 2019 ini semakin terpuruk. Neraca keuangan Jiwasraya berada pada posisi minus 23.8 triliun. Tidak berlebihan untuk mengumumkan bahwa Jiwasraya tinggal menunggu hari. Dia akan segera menghembuskan nafas terakhir. Rakyat ingin agar para pelaku perampokan dan pemerkosaan Jiwasraya diungkap, ditangkap, dan disekap. Tapi itu hampir tak mungkin. Sebab, para perampok dan pemerkosa itu adalah orang-orang yang mengendalikan pengungkap, penangkap dan penyekap. Sebagai penutup. Adakah kaitan antara skandal Jiwasraya dengan kegiatan pilpres 2019? Banyak yang percaya begitu. Orang-orang menduga kuat uang Jiwasraya digunakan untuk menyukseskan misi politik Jiwaserakah.[] 26 Desember 2019 Penulis wartawan senior.

Uang Nasabah Jiwasraya Dirampok, Negara Disuruh Tombok

By Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Kerja Asuransi itu menjual janji kepada nasabah, nasabah membeli janji dengan membayar sejumlah premi. Janji asuransi itu macam-macam : ada janji kalau mati dapat duit, kalau lulus SMA mau kuliah dapat duit, kalau sakit dapat duit, kalau kecelakaan dapat duit, dan janji lain yang semisalnya. Ingat ya, asuransi itu tidak menjual barang atau jasa, asuransi itu hanya menjual janji dengan syarat tertentu. Jika syarat tertentu terpenuhi, maka janji tadi baru ditunaikan. Nasabah akan memberi janji secara berkala melalui pembayaran premi. Perusahaan Asuransi itu akan untung, jika jumlah klaim lebih kecil ketimbang penerimaan premi. Karena itu, jika dalam satu produk Asuransi terjadi keadaan dimana klaim Asuransi melebihi batas, atau melebihi besaran premi yang dipungut, maka produk Asuransi ini dinilai produk gagal. Asuransi akan menutup biaya klaim Asuransi dari kumulasi premi yang dibayarkan nasabah. Karenanya, penting bagi Asuransi untuk memperketat klaim dengan membuat sejumlah syarat rumit, agar jumlah klaim tak melebihi batas rasio yang ditetapkan. Bahkan, kalau bisa klaim tak bisa dicairkan. Modusnya banyak. Sederhananya, jika ada 100 peserta asuransi kecelakaan kerja, maka asumsinya perusahaan akan untung jika tren kecelakaan tidak melebihi jumlah premi yang dikumpulkan. Jika ada 100 peserta asuransi kecelakaan, pada saat bersamaan naik kapal laut, tenggelam dan mati, bisa dipastikan perusahaan asuransi pasti bangkrut. Pada perkembangannya, perusahaan Asuransi tidak mengandalkan kumpulan premi yang dikumpulkan untuk membayar klaim Asuransi. Uang yang terkumpul, kemudian di investasikan dalam bisnis tertentu. Bisnis inilah yang menghasilkan untung bagi perusahaan Asuransi, yang sebagian keuntungan digunakan untuk membayar klaim Asuransi secara berkala. Al hasil, Asuransi telah berkembang dari sekedar instrumen untuk jualan janji menjadi instrumen untuk mengumpulkan dana publik untuk modal investasi. Untuk itu, agar perusahaan Asuransi bisa bertahan dan dinilai sehat, harus memenuhi syarat. Termasuk ketersediaan modal untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah. Permasalahan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menyedot perhatian publik dalam beberapa waktu terakhir. Pasalnya, perseroan menunggak pembayaran klaim polis jatuh tempo kepada nasabah hingga Rp12,4 triliun untuk periode Oktober-Desember 2019. Kenapa Jiwasraya tak mampu membayar klaim ? Jawabnya karena tidak ada modal tersedia. Kenapa tidak ada modal tersedia ? Bukankah semua peserta asuransi yang terdaftar membayar premi ? Kemanakah kumpulan uang premi yang dikumpulkan asuransi dari nasabah ? Jawabnya, digunakan untuk bisnis borong saham dan hangus. Ikut pasar saham ecek-ecek, modus untuk 'menggarong duit peserta' dengan membeli saham gorengan, sehingga duit nasabah itu ambyar. Apa itu saham gorengan ? Yakni saham yang tidak memiliki nilai intrinsik sesuai dengan keadaan real bisnis yang digeluti, saham yang nilainya melejit bukan karena kinerja perseroan tapi karena ada 'permainan para penggoreng di bursa saham' sehingga nilainya naik fantastis. Misalnya, saham itu nilainya Rp. 120 per lembar, lantas ada para penjudi saham (mafia saham, biasanya kalau mau menggoreng saham mereka telah menyiapkan minyak berupa modal besar untuk memborong sejumlah saham gorengan). Mereka ini kemudian memborong saham dengan jumlah fantastis, karena ada permintaan yang tinggi nilai saham otomatis melejit. Melejitnya nilai saham ini tergantung seberapa tinggi permintaan (demand) di bursa saham. Semakin besar modal minyak gorengan saham, semakin tinggi permintaan, semakin melejit nilai saham. Pada titik tertentu, saham lemah yang digoreng nilainya naik dari Rp. 120 menjadi Rp. 3000,- per lembar. Saat saham sudah memiliki harga mahal, saat itulah jiwasraya memborong saham dengan harga mahal. Aksi borong saham ini jelas sudah ada niat mau merampok jiwasraya, karena pembeli saham jelas sudah tahu saham yang ditempatkan adalah saham gorengan. Setelah dana jiwasraya masuk memborong saham gorengan, para penggoreng saham dibursa saham segera melakukan aksi ambil untung (capital gain) dengan menjual seluruh sahamnya yang nilainya telah naik beratus hingga ribuan kali lipat. Pindahlah, uang dari jiwasraya yang masuk ke pasar saham, berpindah kepada para penggoreng saham. Karena ada aksi jual besar-besaran, yang dilakukan para penggoreng saham akhirnya nilai saham itu jatuh dan kembali kepada nilai normalnya yakni 120 per lembar. Jiwasraya, mengalami kerugian karena beli saham 3000 perlembar, namun dalam sekejap nilai saham anjlok menjadi 120 per lembar. Tinggal dikalikan berapa juta lembar saham yang diborong. Aksi ini tak mungkin terjadi kecuali ada otoritas pejabat di jiwasraya yang bermain dengan para penggoreng saham. Aksi penempatan investasi dana jiwasraya itu hanyalah cara, untuk memindahkan uang nasabah asuransi jiwasraya kepada para penggoreng saham di bursa saham. Jadi, uang nasabah dirampok oleh para penggoreng saham, sementara yang membukakan pintu rumah agar dirampok adalah otoritas pejabat jiwasraya yang menempatkan dana nasabah pada pasar saham. Sampai disini jelas ya. Kita lanjutkan... Fakta pada kasus jiwasraya, Hasil penyidikan Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan manajemen Jiwasraya menaruh 22,4 persen dana investasi atau senilai Rp5,7 triliun di keranjang saham. Tidak hanya itu, 98 persen dari dana investasi di reksa dana atau senilai Rp14,9 triliun dititipkan pengelolaannya kepada perusahaan manajer investasi dengan kinerja buruk. Sisanya, hanya 2 persen yang dikelola oleh perusahaan manajer investasi dengan kinerja baik. Imbasnya, ekuitas perseroan tercatat negatif Rp23,92 triliun per September 2019. Jiwasraya membutuhkan dana sebesar Rp32,89 triliun untuk memenuhi rasio solvabilitas atau Risk Based Capital (RBC) 120 persen. Keadaan inilah, yang menyebabkan jiwasraya tak mampu membayar klaim polis jatuh tempo kepada nasabah hingga Rp12,4 triliun untuk periode Oktober-Desember 2019. Inilah fase perampokan jiwasraya. Fase berikutnya, rezim Jokowi melalui Erick Tohir bukannya mencari otoritas pejabat jiwasraya yang membuka pintu rumah sehingga jiwasraya dirampok para penggoreng saham, tetapi justru meminta BUMN asuransi bikin holding, tanggung renteng membayar kewajiban jiwasraya kepada nasabah. Padahal, anggaran BUMN itu terkategori uang negara. Berarti, rezim Jokowi telah menggunakan uang negara untuk tombok (ganti bayar) atas dana yang dirampok mafia penggoreng saham yang berkolaborasi dengan pejabat jiwasraya. Celakanya, ada bau 'amis' perampokan uang nasabah jiwasraya ini digunakan untuk kampanye Pilpres 2019. Jika hal ini terjadi, sangat wajar karena otoritas bursa saham tentu tidak akan membiarkan terjadinya transaksi yang tak wajar, kecuali ada intervensi kekuasaan. Jiwasraya ini hampir sama dengan kasus century. Sama-sama merampok. Bedanya ? Century bikin wacana bank gagal yang berdampak sistemik, kemudian negara melakukan bail out dengan menginjeksi duit sebesar 7 triliun untuk menyelamatkan century. Duit itulah, yang dijadikan bancakan para mafia dan politisi. Jadi ada dua bancakan, pertama bancakan dana nasabah bank century yang digelapkan. Kedua, bancakan duit bail out bank century yang dikorupsi rame-rame. Sedangkan kasus jiwasraya, yakni bancakan duit dari hasil goreng-gorengan saham yang nilainya menyebabkan jiwasraya rugi 13,7 T. Kemungkinan, akan ada bancakan kedua ketika rencana holding BUMN asuransi terealisasi. Boleh jadi, nanti modusnya dengan menambah nilai Penyertaan Saham Negara pada BUMN asuransi. Tapi ada kesamaan antara century dan jiwasraya. Sama-sama bau amis Pilpres. Century bau amis rezim SBY, jiwasraya bau amis rezim Jokowi. Ada satu lagi, skandal BLBI. Ini juga sama, bau amis. Tapi BLBI bukan karya SBY atau Jokowi, skandal BLBI adalah karya Megawati. Penulis adalah Wartawan Senior

Habib Rizieq Kekuatan Trust Fund

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Ceramah saya pada tokoh-tokoh muda Islam di Jakarta beberapa waktu lalu dinaikkan oleh Professor Musni Umar, sosiolog yang juga Rektor Universitas Ibnu Chaldun, dalam tweeter nya beberapa waktu lalu sebagai berikut, "Dr. syahganda Nainggolan dalam diskusi siang ini (20/12) berkata Habib Rizieq Shihab merupakan tokoh yang memiliki pengaruh dan kepercayaan yang tinggi dimata publik. Jika pendukungnya bersama pakar dirikan Trust Fund guna dirikan lembaga keuangan bisa himpun dana triliunan rupiah" (https://t.co/zn5cuyBFis). Sosiolog Musni Umar kebetulan saja mampir ketempat diskusi tersebut. Dia mampir bukan sebagai pembicara. Bukan pula sebagai peserta. Namun, ketika mengamati serangkaian ceramah yang saya sampaikan dalam tema "Radikalisme dalam Perspektif Demokrasi", justru bagian pembahasan bagaimana mem "break down" kekuatan ummat Islam yang ada selama ini, dari 212 dan Habib Rizieq menjadi kekuatan finansial dan lembaga pembiayaan ummat yang di quote Professor Musni. Habib Rizieq & Kepercayaan Kepercayaan adalah harta yang paling mahal di dunia. Kepercayaan itu dapat dimiliki individu, kelompok maupun institusi. Kepercayaan adalah sumber interaksi sosial yang kuat. Dalam sebuah masyarakat, semakin banyak individu2 yang dipercaya, akan semakin meningkat soliditas masyarakat tersebut. Meskipun, soliditas palsu dapat dilakukan dengan tangan besi oleh rezim yang otoriter. Soliditas yang alami sangat berbeda dengan yang terpaksa. Karena soliditas yang alami tersebut dapat menciptakan solidaritas social yang besar. Yang alami akan memunculkan "high trust society", di mana kepercayaan diantara masyarakat begitu tinggi. Sebaliknya, soliditas yang palsu, karena tekanan kekuasaan menyimpan banyak kecurigaan diantara masyarakat. Terjadi fenomena individual selalu mengambil lebih banyak keuntungan dari interaksi sosial (sistem sosial) terhadap individu atau kelompok masyarakat lainnya. Dengan kata lain, prilaku curang selalu menonjol dalam masyarakat. Munculnya orang-orang yang dapat dipercaya masyarakatnya haruslah melalui mekanisme hubungan-hubungan sosial yang terjadi. Dimana individual selalu disaksikan konsistensinya dalam bertindak. Godaan kekuasaan, harta dan wanita yang datang secara kasat mata maupun dalam bungkusan yang terselubung dapat menghentikan atau mengurangi konsistensi ucapan, sikap dan tindakan seseorang dalam menjalankan cita-citanya. Habib Muhammad Rizieq Shihab adalah manusia yang paling dipercaya di Indonesia saat ini. Pernyataan yang paling bersifat relatif terhadap figur figur lain yang ada. Relatif artinya banyak figur-figur yang dapat dipercaya, khususnya oleh sub-sub kelompok masyarakat. Sayangnya, secara nasional, hanya sedikit figur yang bisa dipercaya oleh masyarakat. Apa bedanya secara nasional versus sub-sub tersebut di atas? Maksudnya, sebuah skala ketika kita membuat ruang lingkup pada dimensi yang hanya bisa diukur secara nasional. Apa misalnya? Jika kita ingin berbicara keadilan sosial, hak-hak berpolitik dan berserikat, pembangunan nasional. Sedangkan yang menyangkut sub-sub seperti urusan perbedaan mazhab, dimensi tertentu kehidupan, seperti urusan pendidikan, atau lainnya tentu mempunyai tokoh-tokoh sendiri yang dipercaya. Habib Rizieq adalah satu yang paling utama dibanding ulama lainnya. Habib Rizieq mampu meyakinkan rakyat dalam skala besar. Contohnya seperti pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017 lagi. Begitu juga pada Pilpres 2019. Dia mampu mayakinkan orang untuk memilih pemimpin. Dua hal itu adalah gambaran nyata hasil dari konsistensi Habib Rizieq dalam berucap, bersikap dan bertindak. Habib Rizieq telah mengalami tawaran-tawaran uang "pembangunan" triliunan untuk kompromi. Namun semua tawaran itu dia tolak. Lalu dipenjarakan, dan yang terakhir di pengasingan (in exile). Semua resiko ini telah menciptakan kepercayan rakyat yang sangat besar kepadanya. Sebuah balasan dan pengakuan rakyat atas konsistensi sikapnya. Potensi Trust Fund Trust Fund hanyalah salah satu konversi dari kepercayaan rakyat pada Habib Rizieq yang dapat dibreak down. Ummat Islam tentu telah mencoba mengkonversi 212 menjadi koperasi 212. Namun belum mencapai hasil yang maksimal. Ketika Valentino Dinsi, tokoh koperasi 212, ke rumah saya berdiskusi membangun kekuatan "Syarikat Dagang Islam", saya katakan potensi itu ada. Saat ini, dibanding jaman Habibie dan ICMI menggalang dana ummat untuk membangun koran Republika dan Bank Muamalat, jauh lebih hebat sekarang ini. Baik dari sisi soliditas ummat maupun dari sisi munculnya jutaan urban muslim middle class. Trust bisa juga merupakan waqaf (lihat : waqaf vs. trust, https://islamicmarkets.com/education/waqf-vs-trusts). Kisah Waqaf Habib Bugak dari Aceh di Madinah ratusan tahun lalu, telah berbuah bagi para haji dari Aceh saat ini. Selain Trust Fund, berbagai instrument financial Islam juga dapat dikembangkan seperti Habib Rizieq Insurance, Habib Rizieq Islamic Bank, dan Habib Rizieq Mutual Fund. Jika sepuluh juta massa 212 menjadi pemilik Trust Fund itu dengan rata-rata menitipkan uangnya Rp. 100.000,-, maka Habib Rizieq Trust Fund akan memiliki kekayaan Rp. 1 triliun. Ini langkah kecil bagi Habib Rizieq dan kelompok ulama 212 dalam membangun lembaga pembiayaan Islam ke depan. Pekerjaan ini bukan pekerjaan susah dijaman internet of things (IOT) saat ini. Meskipun secara teknikal harus dikerjakan praktisi-praktisi keuangan muslim yang muda dan ikhlas. Penutup Habib Rizieq adalah manusia yang bisa dipercaya Bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam Indonesia ini. Tweets Professor Musni Umar mengenai pikiran saya untuk mem "break down" kepercayaan tersebut menjadi lembaga pembiayaan ummat harus dapat dikembangkan, dibanding sekedar "show of force" massa jutaan umat untuk reuni 212. Deputi Gubernur BI, Dody Waluyo mengatakan pada Juli 2019 total "Islamic Finacial Assets" sebesar Rp 1.359 triliun atau 8,7% dari total aset keuangan nasional. (Jakarta Post, 13/11/2019). Kelemahan dalam pengembangan ekonomi syariah terletak pada kekurangan memproduksi produk dan servis halal. Kita malah lebih banyak sebagai konsumen. Lalu, dalam sumber yang sama, Ventje Rahardjo, ketua KNKN (Komite Nasional Keuangan Syariah) mengatakan pungutan amal dan zakat hanya Rp 8 Triliun, sedangkan potensi yang dihitung oleh The Islamic Development Bank berkisar Rp. 200 tiliun. Ini sangat memprihatinkan. Kelemahan sektor keuangan Syariah ini di atas tentu berkaitan dengan kepercayaan masyarakat pada institusi keuangan resmi yang ada. Pertanyaan masyarakat saat ini berkisar pada kehalalan produk keuangan dan pengelolaannya. Selian itu, kepercayaan atas manajemen institusi keuangan yang ada. Hal ini akan mempunyai dampak keinginan rakyat mencari lembaga keuangan baru yang menjamin kehalalan dan jaminan resiko atas harta mereka. Apalagi di sektor finansial non Islamic, seperti isu korupsi melanda dan mengguncang asuransi Jiwasraya dan Bumiputra, baru baru ini. Dimana Jiwasraya dikaitkan dengan dana politik, begitu menghancurkan kepercayaan masyarakat pada institusi dan prilaku moral dan akhlak kaum profesional yang ada. Saatnya Habib Rizieq dan ulama 212 mengembangkan kekuatan umat di sektor keuangan untuk membiayai pembangunan umat Islam di luar sektor negara. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle, Mantan Staf Khusus Dirut PT. Jamsostek

Defisit APBN 2019 Melangar UU, Jokowi Tamat?

Sepanjang tahun 2019, sampai dengan bulan Oktober 2019, utang pemerintan telah bertambah Rp. Sebanyak Rp 426,5 triliun. Dalam bulan November dan Desember 2019, pemerintah aktif menawarkan Surat Utang Negara (SUN). Penjualan SUN besar-besaran ini untuk menutupi kekurangan Aanggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2019. By Salamuddin Daeng Jakarta, FNN- “Kami tidak memiliki kepercayaan yang banyak terhadap angka Produk Demostik Bruto (PDB) Indonesia. Sebab PDB Indonesia telah stabil selama beberapa tahun terakhir. Pelacakan bulanan terhadap aktivitas ekonomi dan modal, telah menunjukan indikator pertumbuhan ekoniomi Indonesia melambat selama setahun terakhir, ”ujar ekonom Gareth Leather dari Captal Economics Ltd. London. Petumbuhan ekonomi Indonesia hampir tidak bergerak naik atau stagnan dalam tiga kuartal terakhir ini. Kenyataan ini juga telah mendorong beberapa analis dan ekonom dunia meragukan data-data pertumbuhan ekonomi yang disampaikan pihak Indonesia. Dengan demikian, angka pertumbuhan GDP Indonesia juga tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Artinya, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebenarnya sudah berada di bawah lima persen. Bukan lagi di atas lima persen, seperti yang diakui pemerintah salama ini Pertanyataan Gareth Leather ini dimuat oleh bloomberg.com pada edisi 5 November 2019 lalu. Pernyataan Gareth Leather ini cukup membuat kita terkaget-kaget dan terperangah. Lembaga ekonomi yang berkantor di London, Inggris ini meragukan angka PDB Indonesia yang sampai sekarang belum berani diumumkan oleh Badan Pusat Statitik (BPS) Indonesia. Bila BPS salah mengumumkan angka resmi PDB Indonesia, maka akan sangat berpengaruh terhadap nasib pemerintahan Presiden Jokowi. Sebab defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 tidak boleh lebih dari 3%. Jika defisit APBN lebih dari 3%, itu artinya pemerintahan Presiden Jokowi telah melanggar undang-undang keuangan negara. Batas besarnya utang pemerintah setiap tahun menurut undang-undang keuangan Negara, maksimum hanya 3% dari PDB. Sedanagkan batas total utang pemerintah secara keseluruhan, ditetapkan maksimum adalah 60% dari PDB. Tidak boleh lebih. Batas utang itu ditetapkan melalui undang-undang. Besaran defisit yang diperbolehkan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 12 Ayat (3). Pada bagian penjelasan pasal ini berbunyi “defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Sedangkan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto". Bagaimana kenyataan sekarang? Apakah pemerintah sudah melanggar UU keuangan negara? Kalau pemerintah sudah melanggar undang-undang, berarti DPR bisa melakukan proses menuju impeachment untuk menjatuhkan Presiden Jokowi di tengah jalan. Alasannya, karena Presiden Jokowi melanggar telah melanggar undang-undang. Untuk itu, marilah kita hitung-hitung. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), sejak awal tahun 2019 sampai dengan kwartal III, utang luar negeri pemerintah bertambah U$ 10,84 miliar dollar, atau setara dengan Rp. 152,07 triliun. Selanjutnya, utang pemerintah dari Surat Utang Negara (SUN) bertambah dari Januari sampai Oktober 2019 sebesar Rp. 274,4 triliun. Jadi, sepanjang tahun 2019, sampai dengan bulan Oktober 2019, utang pemerintan telah bertambah sebanyak Rp 426,5 triliun. Dalam bulan November dan Desember 2019 ini, pemerintah sedang aktif menawarkan Surat Utang Negara (SUN). Penjualan SUN besar-besaran ini ini untuk menutupi kekurangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2019. Kalau penambahan utang sepanjang tahun ini dibagi 0,03 sebagai batas 3% dari PDB, maka sampai dengan bulan Oktober 2019, angka PDB Indonesia seharusnya minimal Rp. 14.216 triliun. Lantas, berdasarkan perkiraan, berapa sebenarnya PDB Indonesia di tahun 2019 ini? Jawabannya sekitar Rp 15.000 triliun sampai dengan Rp. 15.500 triliun. Gross Demostic Produc (GDP) tidak bisa mencapai angka yang sesui dengan peningkatan utang pemerintan. Atau jika utang pemerintan melebihi batas yang ditetapkan oleh undang-undang, maka itu berarti nyata-nyata pemerintah sudah melanggar undang-undang. Sampai disini Presiden Jokowi bisa diimpeachment, karena anggaran tahun 2019 belum berakhir. PDB adalah angka ekonomi yang dihasilkan dari survey. Perhitungan besarnya PDB diperoleh dengan menggunakan metodologi tertentu. PDB juga dimonitor oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Dengan demikian PDB itu bukan angka pasti. Lembaga keuangan internasional memiliki angka perkiraan yang berbeda-beda mengenai jumlah PDB Indonesia sekarang. Demikian juga dengan BPS Indonesia, yang juga memiliki angka PDB berbeda. Menurut perkiraan International Monetary Fund (IMF), PDB Indonesia adalah USD 1.110 miliar atau setara dengan Rp. 15.540 triliun. Sedangkan menurut World Bank, PDB Indonesia tahun 2019 sekitar Rp. 15.300 triliun. Sementara BPS sampai belum merilis angka resmi PDB tahun 2019 Jika dikalikan 3% batasan yang diberikan oleh undang-undang, maka Ibu Menteri Sri Mulyani hanya bisa mencari utang baru untuk menutupi defisit APBN 2019 maksimal Rp. 466 triliun. Sementara, sampai dengan Oktober lalu, utang yang sudah didapat Ibu Sri adalah Rp. 426,5 triliun. Artinya, Ibu Menteri Sri masih hanya bisa mencari utang baru Rp. 40 triliun. Tidak boleh lebih. Waktu yang hanya tersisa hanya satu bulan lagi. Sementara kekurangan penerimaan negara dari dalam negeri diperkirakan sebesar Rp 500 triliun. Jika ditambah dengan defisit sebesar Rp 466 triliun, maka Ibu Sri Mulyani harus mencari utang baru untuk tahun 2019 sebesar 966 trliun. Lagi-lagi ini nyata-nyata telah melanggar undang-undang keuangan negara. Masalah lainnya, Pemerintah Jokowi berhutang satu dolar dengan bunga 8%. Maka sekian banyak itulah nilai utang dan bunga utang yang harus dibayar oleh pemerintah. Menjadi masalah ketika utang yang adalah angka pasti itu harus dibandingkan dengan PDB yang merupakan angka perkiraan untuk menentukan apakah pemerintah telah melanggar undang-undang atau tidak. Karena angka pembandingnya PDB bersifat perkiraan, maka boleh menggunakan perkiraan sebagai acuan. Padahal angka PDB yang merupakan perkiraan itu, bisa saja dilebih-lebihkan. Atau bisa pula dikurangi. Ini hal yang kurang masuk akal, karena bisa dimanipulasi untuk menghindar dari tuduhan telah melanggar undang-undang. Jadi, implikasinya berapapun Sri Mulyani berhutang, tidak mungkin Pemerintahan Jokowi dinyatakan melanggar undang-undang keuangan negara. Karena angka perkiraan PDB bisa saja diatur-atur. Sebab masing-masing lembaga internasional memiliki angka perkiraan PDB Indonesia yang berbeda-beda. Penulis adalah Penelisi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia