EKONOMI

Skandal Jiwasraya: Obsesi Jokowinomics yang Berantakan

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Sebuah akun twiter atas nama Christ Wamea @ChristWamea mencatat, negara rugi Rp 13,7 triliun akibat korupsi di Jiwasraya, Garuda butuh Rp 12 triliun untuk bayar utang, dan BPJS mengalami defisit Rp 32 triliun. Apa BUMN lain tidak ada masalah? “Utang negara naik tiga kali lipat. Ekonomi Hancur. Ini semua karena rezim ini hanya sibuk dengan isu siapa yg paling Pancasilais dan siapa yang radikalisme,” begitu isi twiter Christ Wamea @ChristWamea beberapa waktu lalu yang ramai di WAG. Dari Pergerakan Total Utang Emiten 20 BUMN pada 2014 dan H12019 terlihat komparasi besarannya. Pada 2014 Rp 9,234.300 sedangkan H12019 Rp 13,984.200. Itulah Data Utang PGAS dan ANTM terakhir adalah Q1-2019, Chart: RTI Analytics. Lima dari 20 BUMN tersebut tercatat pergerakannya, antara lain PT Perusahaan Gas Negara (2014) Rp 3,252.4 triliun, (2019) Rp 4,214.1 triliun; PT Garuda Indonesia Tbk (2014) Rp 2.184.1 triliun, (2019) Rp 3,568.2 triliun; PT Krakarau Steel Tbk (2014) Rp 1,706.6 triliun, (2019) Rp 2,572.1 triliun; PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (2014) Rp 704.2 triliun, (2019) Rp 1,097.4 triliun; PT Bank Mandiri Tbk (2014) Rp 750.2 triliun, (2019) Rp 1,045.9 triliun. Jadi, menjawab pertanyaan Christ Wamea @ChristWamea tadi, tentu saja jika dilihat dari Pergerakan Total Utang Emiten 20 BUMN pada 2014 dan 2019 itu, ternyata BUMN yang lain terdapat “masalah”, yakni utangnya meningkat. Skandal Jiwasraya (Jiwasrayagate) yang kini ramai dibicarakan sejak terungkap, jelas beda masalahnya dengan ke-20 BUMN yang “terlilit” utang itu. Karena, dalam Jiwasrayagate ini diduga kuat terdapat unsur pidana korupsinya. Jiwasrayagate ini terungkap bermula dari adanya klaim nasabah peserta program Saving Plan yang gagal dibayar oleh Jiwasraya. Di sini terkuaklah defisit luar biasa besar yang ditanggung oleh BUMN bidang jasa asuransi tersebut. Totalnya menyentuh angka Rp 13,74 triliun, bukan sebuah nominal yang kecil! Bukan hanya nasabah yang panik klaimnya tak dibayar! Betapa tidak, 13 ribu 740 miliar rupiah menjadi defisit dalam kurun waktu hanya 2 tahun terakhir saja. Sebab, pada tahun buku 2017 meski kinerja keuangan Jiwasraya mulai tertekan, tapi masih mampu membukukan laba bersih sebesar Rp 328,43 miliar dan nilai equitasnya positif Rp 5.608,88 miliar atau Rp 5,6 triliun. Tercatat, Jiwasraya mulai membukukan kerugian sampai belasan triliun sejak 2018. Begitu juga equity-nya mulai negatif sebesar Rp 10 triliun sejak 2018 dan hingga September 2019 sudah minus mencapai nominal Rp 23,9 triliun! Menariknya, Presiden Joko Widodo langsung bereaksi atas indikasi meruginya Jiwasraya tersebut. Padahal, dalam kasus indikasi kerugian BUMN lain sampai puluhan triliun rupiah, Presiden Jokowi tidak bereaksi langsung, bahkan nyaris tak ada komentar. Dalam kasus Jiwasraya ini Presdien Jokowi langsung menyatakan di hadapan pers bahwa kasus meruginya Jiwasraya ini sudah berlangsung lama, “Sudah 10 tahunan,” ungkapnya. Jelas, Presiden Jokowi mencoba mencari “aman”. Menarik mundur 10 tahun itu sama artinya dengan melempar tanggung jawab Jiwasrayagate kepada presiden pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono, yang menjabat presiden untuk periode keduanya (2009-2014). Jokowi pertama kali menjadi presiden 5 tahun yang lalu. Jadi kalau mau “lepas tangan”, maka dia harus tarik mundur lebih dari 5 tahun lalu. Jokowi akan jauh lebih aman, maka blame it to 10 tahun yang lalu, saat SBY masih menjadi presiden periode kedua. Tapi benarkah demikian?! Benarkah Jiwasraya sudah merugi sejak 10 tahun yang lalu, yaitu sejak 2009? Mantan Sekretaris Menteri BUMN saat pemerintahan SBY, Said Didu menyatakan, memang betul Jiwasraya masih merugi saat periode pertama SBY menjadi presiden karena “warisan” dari krisis keuangan tahun 1998 yang belum tertangani. Tapi, kemudian Jiwasraya membaik. Catatan yang dibuat Tirto.id menunjukkan bahwa pada 2009 Jiwasraya mencatatkan laba sebesar Rp 356 miliar dan equity-nya + Rp 799,6 miliar. Serah terima dari SBY kepada Jokowi, 20 Oktober 2014. Dan, pada akhir 2014 Jiwasraya masih membukukan laba Rp 669 miliar dengan ekuitas Rp 2,4 triliun. Laba mulai menurun drastis pada 2017, meski masih positif. Dan, mulai merugi pada 2018 – 2019. Ekuitas menjadi negatif sejak 2018. Jadi, pernyataan Jokowi sama sekali tidak terbukti! Yang menjadi pertanyaan, mengapa Presiden Jokowi sedemikian sensitif menyikapi kerugian Jiwasraya yang nilainya fantastis, melebihi bail-out untuk Century sebesar Rp 6,7 triliun. Mengapa Presiden Jokowi harus sedemikian defence sampai harus melempar masalah ini sejauh mungkin hingga mundur 10 tahun ke belakang?! Padahal data keuangan sama sekali tidak menunjukkan demikian! Ada apa gerangan?! Berbeda dengan Jokowi yang buru-buru membuat statement, Menteri BUMN Erick Tohir justru sebaliknya: nyaris tak bersuara! Erick lebih memilih diam, bungkam, tak seperti kala menguak adanya penyelundupan moge Harley Davidson dan sepeda Brompton itu. Padahal, dalam kasus penyelundupan itu kerugian negara hanya beberapa miliar saja. Tapi, Erick dengan gagah berani melakukan konpers bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengungkap pelanggaran itu dan meminta pelakunya untuk mundur atau diberhentikan. Kasus kerugian Jiwasraya ini meruakkan bau tak sedap. Konon, mantan Direktur Keuangan Jiwasraya, Hary Prasetyo, yang sempat menjadi Tenaga Ahli Utama Kedeputian III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di KSP diisukan kabur ke luar negeri. Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengaku dirinya tak melindungi Hary. Bahkan, dia mengaku tidak tahu-menahu jika Hary diduga terlibat dalam kasus gagal bayar Jiwasraya. Harry mulai masuk KSP pada Mei 2018, setahun sebelum Pilpres 2019. Hary hanya di KSP sampai Jokowi selesai menjabat presiden periode pertama. Sekarang, karena tugas Hary sudah selesai, maka KSP pun bisa menyatakan diri tidak tahu-menahu. Ada aroma tak sedap lainnya yang menyeruak ke publik. Kabarnya, di balik meruginya Jiwasraya, BUMN itu diduga dananya ikut dipakai mendanai pemenangan Pilpres 2019 kemarin. Hal ini mengingatkan kita pada Skandal Bank Century, yang mengalami gagal clearing pada 2008. Dengan alasan untuk mencegah kerugian yang lebih besar karena Century bisa berdampak sistemik, maka negara melakukan bail-out untuk Century sebesar Rp 6,7 triliun. Saat itu Menteri Keuangannya Sri Mulyani – seperti sekarang dan periode lalu. Sementara Gubernur BI kala itu dijabat Boediono yang kemudian menjadi wapres. Ketika itu kuat dugaan ambruknya Century dan skenario bail-out terkait dengan gelontoran dana untuk Pilpres 2009, SBY saat itu presiden petahana akan maju lagi untuk periode kedua. Akankah Jiwasrayagate ini bakal menjadi heboh seperti Centurygate? Jika mau berlaku adil dan fair sudah seharusnya lembaga rasuah KPK dan Kejagung bersinergi untuk membongkar kedua skandal keuangan ini sehingga isunya tidak menjadi liar. *Jokowi Effect* Apa yang sebenarnya terjadi dengan Jiwasraya itu? Dana Jiwasraya raib akibat salah investasi pada 2018 dan 2019. Jiwasraya membeli saham Reksadana yang pada akhir 2017 mengalami kemerosotan harga. Itulah fakta yang sebenarnya terjadi. Misalnya, Jiwasraya membeli saham Rp 200/lembar, tapi harga saham pada 2019 ternyata turun menjadi Rp 125/lembar. Seharusnya Jiwasraya tak mengulang membeli, tapi harus jual saham. Sehingga, hanya rugi Rp 75/lembar. Atau dijual saat saham bergerak turun, meski baru dibuka lagi dalam waktu dua jam. Namun, anehnya Jiwasrayagate tak jual, justru beli saham lagi yang turun pada 2019. Padahal, sudah dalam kondisi merugi. Mungkin Jiwasraya berharap setelah beli akan bergerak naik. Mereka yakin 2019, saham akan naik jika Jokowi menjadi Presiden kedua kalinya. Faktanya saham justru menurun terus. Meraka mimpi 2019 Pasca Pilpres 2019, saham akan naik. Faktanya terus merosot. Artinya, Jiwasrayagate merupakan korban obsesi Jokowi Effect di bidang ekonomi. Ironisnya sebelum harga saham naik, ternyata ada klaim dari nasabah yang saatnya melakukan klaim. Tapi, kas Jiwasraya kosong! Sehingga terbongkar. Secara kelembagaan, cara Jiwasraya sebagai perusahaan BUMN itu jelas melanggar hukum. Kesalahan tidak bisa ditimpahkan kepada petinggi Jiwasraya saja. Ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang juga harus dibongkar. Jiwasrayagate ini hanya puncak gunung es. Bahwa OJK sebenarnya tidak melaksanakan tugas sesuai dengan SOP-nya. Juga menjadi bukti, bukan kemuskilan main saham yang dilakukan Jiwasraya itu juga dilakukan perusahaan BUMN lain. Kabarnya, saham perusahaan Erick Thohir tak dijual di Reksadana. Tapi, melayani sendiri di pasar saham. Kalau pun Jiwasraya membeli saham perusahaan Erick, yang salah itu pembeli, bukan pemilik saham! Mengapa beli saham yang turun?! *** Penulis wartawan senior.

Jiwasraya yang Diperkosa oleh Jiwaserakah

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Seandianya kata “sraya” berarti “belahan”, maka “jiwasraya” adalah “belahan-jiwa”. Dan, pantaslah perusahaan asuransi Jiwasraya sangat dicintai oleh para penguasa. Sebab, “belahan-jiwa” akan selalu menyerahkan segalanya untuk siapa saja yang mencintainya. Itulah yang, agaknya, terjadi dalam dua tahun ini atas diri Jiwasraya. Si belahan-jiwa, PT Jiwasraya, menyerahkan semua yang ada padanya untuk orang-orang yang mencintainya. Yang menjadi masalah, para pencinta Belahan-jiwa ternyata adalah orang-orang yang memiliki Jiwaserakah. Dia tidak tulus mencintai Jiwasraya. Jiwaserakah hanya berpura-pura. Dia hanya ingin kekayaan Jiwasraya. Sekarang, kekayaan Jiwasraya sudah ludes. Dalam dua tahun saja, Jiwasraya menjadi kurus-kering diisap oleh Jiwaserakah. Mula-mula Jiwaserakah menguras Jiwasraya dengan cara halus. Tetapi, setelah itu dia memperkosa Jiwasraya. Bahkan, setelah diperkosa, Jiwaserakah kini terindikasi mau membunuh Jiwasraya. Jiwaserakah memang kejam dan brutal. Dia memiliki kekuasaan besar. Kekuasaan yang sangat tinggi. Setinggi penguasa tertinggi. Tapi, Jiwaserakah tidak hanya kejam dan brutal. Dia juga pintar. Sangat smart. Dia ajak para penguasa otoritas keuangan dan para penguasa politik untuk ikut memperkosa Jiwasraya. Belahan-jiwa yang sangat berpengalaman ini kolaps dalam kondisi yang mengenaskan. Hari ini, setelah pemerkosaan Belahan-jiwa terungkap, para petugas rendahan mulai melakukan pengusutan. Karena rendahan, para petugas itu tak ada yang berani membeberkan siapa-siapa saja pelaku pemerkosaan Jiwasraya. Jaksa Agung tak berani. Pak Jaksa mengatakan identitas pemerkosa akan dirahasiakan. Induk semang Jiwasraya, yaitu Menteri BUMN Erick Thohir, juga tutup mulut. Tampaknya, mereka itu takut. Para mantan manajer “wanita kaya” (Belahan-jiwa) itu dirumorkan kabur ke luar negeri. Tapi, hebatnya, dia menantang. Dia katakan, “saya ada di sini”. Maksudnya, dia tidak lari. Dia bagaikan menantang, “Tangkaplah aku, kau kukejar”. Mungkin si mantan manajer merasa lelaki perkasa yang memperkosa Belahan-jiwa adalah orang kuat yang tak akan tersentuh hukum. Nah, siapa yang berani? Tampaknya tidak ada. Para kekasih palsu Jiwasraya banyak jumlahnya. Mereka semua adalah orang-orang kuat. Dekat dengan pusat kekuasaan. Bisakah publik mengharapkan skandal pemerkosaan Belahan-jiwa (Jiwasraya) terungkap tuntas tanpa ada yang dilindungi? Kelihatannya Anda meletakkan panggang Anda jauh dari api. Tak mungkin masak. Panggang Anda akan busuk. Akan dibuang ke gorong-gorong dekat Monas. Kembali ke laptop. Lembaga asuransi jiwa tertua di Indonesia, Jiwasraya, kemungkinan besar akan bangkrut. Kolaps. Dengan utang 13 koma sekian triliun. Kata para ahli keuangan, perlu 30 triliun untuk mengobati Jiwasraya. Ada yang mengatakan perlu 50 T. Mengapa tiba-tiba saja perusahaan asurani milik BUMN ini hancur berantakan? Jangankah Anda, Erick Thohir saja bingung. Tapi, menteri BUMN itu, konon, kebingungan mau buat apa. Dia pasti sudah tahu para pelaku korupsi Jiwasraya. Persoalannya, di depan Erick ada preman-preman eksekutif dan legislatif. Mereka inilah yang diduga sebagai pelaku pemerkosaan Jiwasraya. Erick hanya bisa menatap Jiwasraya dengan perasaan sedih. Neraca keuangan Jiwasraya ajlok sangat dalam di tahun politik, 2018. Dari posisi positif 5.61 triliuan pada 2017, terjun bebas ke posisi negatif 10.2 triliun pada 2018. Kemudian, di tahun 2019 ini semakin terpuruk. Neraca keuangan Jiwasraya berada pada posisi minus 23.8 triliun. Tidak berlebihan untuk mengumumkan bahwa Jiwasraya tinggal menunggu hari. Dia akan segera menghembuskan nafas terakhir. Rakyat ingin agar para pelaku perampokan dan pemerkosaan Jiwasraya diungkap, ditangkap, dan disekap. Tapi itu hampir tak mungkin. Sebab, para perampok dan pemerkosa itu adalah orang-orang yang mengendalikan pengungkap, penangkap dan penyekap. Sebagai penutup. Adakah kaitan antara skandal Jiwasraya dengan kegiatan pilpres 2019? Banyak yang percaya begitu. Orang-orang menduga kuat uang Jiwasraya digunakan untuk menyukseskan misi politik Jiwaserakah.[] 26 Desember 2019 Penulis wartawan senior.

Uang Nasabah Jiwasraya Dirampok, Negara Disuruh Tombok

By Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Kerja Asuransi itu menjual janji kepada nasabah, nasabah membeli janji dengan membayar sejumlah premi. Janji asuransi itu macam-macam : ada janji kalau mati dapat duit, kalau lulus SMA mau kuliah dapat duit, kalau sakit dapat duit, kalau kecelakaan dapat duit, dan janji lain yang semisalnya. Ingat ya, asuransi itu tidak menjual barang atau jasa, asuransi itu hanya menjual janji dengan syarat tertentu. Jika syarat tertentu terpenuhi, maka janji tadi baru ditunaikan. Nasabah akan memberi janji secara berkala melalui pembayaran premi. Perusahaan Asuransi itu akan untung, jika jumlah klaim lebih kecil ketimbang penerimaan premi. Karena itu, jika dalam satu produk Asuransi terjadi keadaan dimana klaim Asuransi melebihi batas, atau melebihi besaran premi yang dipungut, maka produk Asuransi ini dinilai produk gagal. Asuransi akan menutup biaya klaim Asuransi dari kumulasi premi yang dibayarkan nasabah. Karenanya, penting bagi Asuransi untuk memperketat klaim dengan membuat sejumlah syarat rumit, agar jumlah klaim tak melebihi batas rasio yang ditetapkan. Bahkan, kalau bisa klaim tak bisa dicairkan. Modusnya banyak. Sederhananya, jika ada 100 peserta asuransi kecelakaan kerja, maka asumsinya perusahaan akan untung jika tren kecelakaan tidak melebihi jumlah premi yang dikumpulkan. Jika ada 100 peserta asuransi kecelakaan, pada saat bersamaan naik kapal laut, tenggelam dan mati, bisa dipastikan perusahaan asuransi pasti bangkrut. Pada perkembangannya, perusahaan Asuransi tidak mengandalkan kumpulan premi yang dikumpulkan untuk membayar klaim Asuransi. Uang yang terkumpul, kemudian di investasikan dalam bisnis tertentu. Bisnis inilah yang menghasilkan untung bagi perusahaan Asuransi, yang sebagian keuntungan digunakan untuk membayar klaim Asuransi secara berkala. Al hasil, Asuransi telah berkembang dari sekedar instrumen untuk jualan janji menjadi instrumen untuk mengumpulkan dana publik untuk modal investasi. Untuk itu, agar perusahaan Asuransi bisa bertahan dan dinilai sehat, harus memenuhi syarat. Termasuk ketersediaan modal untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah. Permasalahan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menyedot perhatian publik dalam beberapa waktu terakhir. Pasalnya, perseroan menunggak pembayaran klaim polis jatuh tempo kepada nasabah hingga Rp12,4 triliun untuk periode Oktober-Desember 2019. Kenapa Jiwasraya tak mampu membayar klaim ? Jawabnya karena tidak ada modal tersedia. Kenapa tidak ada modal tersedia ? Bukankah semua peserta asuransi yang terdaftar membayar premi ? Kemanakah kumpulan uang premi yang dikumpulkan asuransi dari nasabah ? Jawabnya, digunakan untuk bisnis borong saham dan hangus. Ikut pasar saham ecek-ecek, modus untuk 'menggarong duit peserta' dengan membeli saham gorengan, sehingga duit nasabah itu ambyar. Apa itu saham gorengan ? Yakni saham yang tidak memiliki nilai intrinsik sesuai dengan keadaan real bisnis yang digeluti, saham yang nilainya melejit bukan karena kinerja perseroan tapi karena ada 'permainan para penggoreng di bursa saham' sehingga nilainya naik fantastis. Misalnya, saham itu nilainya Rp. 120 per lembar, lantas ada para penjudi saham (mafia saham, biasanya kalau mau menggoreng saham mereka telah menyiapkan minyak berupa modal besar untuk memborong sejumlah saham gorengan). Mereka ini kemudian memborong saham dengan jumlah fantastis, karena ada permintaan yang tinggi nilai saham otomatis melejit. Melejitnya nilai saham ini tergantung seberapa tinggi permintaan (demand) di bursa saham. Semakin besar modal minyak gorengan saham, semakin tinggi permintaan, semakin melejit nilai saham. Pada titik tertentu, saham lemah yang digoreng nilainya naik dari Rp. 120 menjadi Rp. 3000,- per lembar. Saat saham sudah memiliki harga mahal, saat itulah jiwasraya memborong saham dengan harga mahal. Aksi borong saham ini jelas sudah ada niat mau merampok jiwasraya, karena pembeli saham jelas sudah tahu saham yang ditempatkan adalah saham gorengan. Setelah dana jiwasraya masuk memborong saham gorengan, para penggoreng saham dibursa saham segera melakukan aksi ambil untung (capital gain) dengan menjual seluruh sahamnya yang nilainya telah naik beratus hingga ribuan kali lipat. Pindahlah, uang dari jiwasraya yang masuk ke pasar saham, berpindah kepada para penggoreng saham. Karena ada aksi jual besar-besaran, yang dilakukan para penggoreng saham akhirnya nilai saham itu jatuh dan kembali kepada nilai normalnya yakni 120 per lembar. Jiwasraya, mengalami kerugian karena beli saham 3000 perlembar, namun dalam sekejap nilai saham anjlok menjadi 120 per lembar. Tinggal dikalikan berapa juta lembar saham yang diborong. Aksi ini tak mungkin terjadi kecuali ada otoritas pejabat di jiwasraya yang bermain dengan para penggoreng saham. Aksi penempatan investasi dana jiwasraya itu hanyalah cara, untuk memindahkan uang nasabah asuransi jiwasraya kepada para penggoreng saham di bursa saham. Jadi, uang nasabah dirampok oleh para penggoreng saham, sementara yang membukakan pintu rumah agar dirampok adalah otoritas pejabat jiwasraya yang menempatkan dana nasabah pada pasar saham. Sampai disini jelas ya. Kita lanjutkan... Fakta pada kasus jiwasraya, Hasil penyidikan Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan manajemen Jiwasraya menaruh 22,4 persen dana investasi atau senilai Rp5,7 triliun di keranjang saham. Tidak hanya itu, 98 persen dari dana investasi di reksa dana atau senilai Rp14,9 triliun dititipkan pengelolaannya kepada perusahaan manajer investasi dengan kinerja buruk. Sisanya, hanya 2 persen yang dikelola oleh perusahaan manajer investasi dengan kinerja baik. Imbasnya, ekuitas perseroan tercatat negatif Rp23,92 triliun per September 2019. Jiwasraya membutuhkan dana sebesar Rp32,89 triliun untuk memenuhi rasio solvabilitas atau Risk Based Capital (RBC) 120 persen. Keadaan inilah, yang menyebabkan jiwasraya tak mampu membayar klaim polis jatuh tempo kepada nasabah hingga Rp12,4 triliun untuk periode Oktober-Desember 2019. Inilah fase perampokan jiwasraya. Fase berikutnya, rezim Jokowi melalui Erick Tohir bukannya mencari otoritas pejabat jiwasraya yang membuka pintu rumah sehingga jiwasraya dirampok para penggoreng saham, tetapi justru meminta BUMN asuransi bikin holding, tanggung renteng membayar kewajiban jiwasraya kepada nasabah. Padahal, anggaran BUMN itu terkategori uang negara. Berarti, rezim Jokowi telah menggunakan uang negara untuk tombok (ganti bayar) atas dana yang dirampok mafia penggoreng saham yang berkolaborasi dengan pejabat jiwasraya. Celakanya, ada bau 'amis' perampokan uang nasabah jiwasraya ini digunakan untuk kampanye Pilpres 2019. Jika hal ini terjadi, sangat wajar karena otoritas bursa saham tentu tidak akan membiarkan terjadinya transaksi yang tak wajar, kecuali ada intervensi kekuasaan. Jiwasraya ini hampir sama dengan kasus century. Sama-sama merampok. Bedanya ? Century bikin wacana bank gagal yang berdampak sistemik, kemudian negara melakukan bail out dengan menginjeksi duit sebesar 7 triliun untuk menyelamatkan century. Duit itulah, yang dijadikan bancakan para mafia dan politisi. Jadi ada dua bancakan, pertama bancakan dana nasabah bank century yang digelapkan. Kedua, bancakan duit bail out bank century yang dikorupsi rame-rame. Sedangkan kasus jiwasraya, yakni bancakan duit dari hasil goreng-gorengan saham yang nilainya menyebabkan jiwasraya rugi 13,7 T. Kemungkinan, akan ada bancakan kedua ketika rencana holding BUMN asuransi terealisasi. Boleh jadi, nanti modusnya dengan menambah nilai Penyertaan Saham Negara pada BUMN asuransi. Tapi ada kesamaan antara century dan jiwasraya. Sama-sama bau amis Pilpres. Century bau amis rezim SBY, jiwasraya bau amis rezim Jokowi. Ada satu lagi, skandal BLBI. Ini juga sama, bau amis. Tapi BLBI bukan karya SBY atau Jokowi, skandal BLBI adalah karya Megawati. Penulis adalah Wartawan Senior

Habib Rizieq Kekuatan Trust Fund

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Ceramah saya pada tokoh-tokoh muda Islam di Jakarta beberapa waktu lalu dinaikkan oleh Professor Musni Umar, sosiolog yang juga Rektor Universitas Ibnu Chaldun, dalam tweeter nya beberapa waktu lalu sebagai berikut, "Dr. syahganda Nainggolan dalam diskusi siang ini (20/12) berkata Habib Rizieq Shihab merupakan tokoh yang memiliki pengaruh dan kepercayaan yang tinggi dimata publik. Jika pendukungnya bersama pakar dirikan Trust Fund guna dirikan lembaga keuangan bisa himpun dana triliunan rupiah" (https://t.co/zn5cuyBFis). Sosiolog Musni Umar kebetulan saja mampir ketempat diskusi tersebut. Dia mampir bukan sebagai pembicara. Bukan pula sebagai peserta. Namun, ketika mengamati serangkaian ceramah yang saya sampaikan dalam tema "Radikalisme dalam Perspektif Demokrasi", justru bagian pembahasan bagaimana mem "break down" kekuatan ummat Islam yang ada selama ini, dari 212 dan Habib Rizieq menjadi kekuatan finansial dan lembaga pembiayaan ummat yang di quote Professor Musni. Habib Rizieq & Kepercayaan Kepercayaan adalah harta yang paling mahal di dunia. Kepercayaan itu dapat dimiliki individu, kelompok maupun institusi. Kepercayaan adalah sumber interaksi sosial yang kuat. Dalam sebuah masyarakat, semakin banyak individu2 yang dipercaya, akan semakin meningkat soliditas masyarakat tersebut. Meskipun, soliditas palsu dapat dilakukan dengan tangan besi oleh rezim yang otoriter. Soliditas yang alami sangat berbeda dengan yang terpaksa. Karena soliditas yang alami tersebut dapat menciptakan solidaritas social yang besar. Yang alami akan memunculkan "high trust society", di mana kepercayaan diantara masyarakat begitu tinggi. Sebaliknya, soliditas yang palsu, karena tekanan kekuasaan menyimpan banyak kecurigaan diantara masyarakat. Terjadi fenomena individual selalu mengambil lebih banyak keuntungan dari interaksi sosial (sistem sosial) terhadap individu atau kelompok masyarakat lainnya. Dengan kata lain, prilaku curang selalu menonjol dalam masyarakat. Munculnya orang-orang yang dapat dipercaya masyarakatnya haruslah melalui mekanisme hubungan-hubungan sosial yang terjadi. Dimana individual selalu disaksikan konsistensinya dalam bertindak. Godaan kekuasaan, harta dan wanita yang datang secara kasat mata maupun dalam bungkusan yang terselubung dapat menghentikan atau mengurangi konsistensi ucapan, sikap dan tindakan seseorang dalam menjalankan cita-citanya. Habib Muhammad Rizieq Shihab adalah manusia yang paling dipercaya di Indonesia saat ini. Pernyataan yang paling bersifat relatif terhadap figur figur lain yang ada. Relatif artinya banyak figur-figur yang dapat dipercaya, khususnya oleh sub-sub kelompok masyarakat. Sayangnya, secara nasional, hanya sedikit figur yang bisa dipercaya oleh masyarakat. Apa bedanya secara nasional versus sub-sub tersebut di atas? Maksudnya, sebuah skala ketika kita membuat ruang lingkup pada dimensi yang hanya bisa diukur secara nasional. Apa misalnya? Jika kita ingin berbicara keadilan sosial, hak-hak berpolitik dan berserikat, pembangunan nasional. Sedangkan yang menyangkut sub-sub seperti urusan perbedaan mazhab, dimensi tertentu kehidupan, seperti urusan pendidikan, atau lainnya tentu mempunyai tokoh-tokoh sendiri yang dipercaya. Habib Rizieq adalah satu yang paling utama dibanding ulama lainnya. Habib Rizieq mampu meyakinkan rakyat dalam skala besar. Contohnya seperti pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017 lagi. Begitu juga pada Pilpres 2019. Dia mampu mayakinkan orang untuk memilih pemimpin. Dua hal itu adalah gambaran nyata hasil dari konsistensi Habib Rizieq dalam berucap, bersikap dan bertindak. Habib Rizieq telah mengalami tawaran-tawaran uang "pembangunan" triliunan untuk kompromi. Namun semua tawaran itu dia tolak. Lalu dipenjarakan, dan yang terakhir di pengasingan (in exile). Semua resiko ini telah menciptakan kepercayan rakyat yang sangat besar kepadanya. Sebuah balasan dan pengakuan rakyat atas konsistensi sikapnya. Potensi Trust Fund Trust Fund hanyalah salah satu konversi dari kepercayaan rakyat pada Habib Rizieq yang dapat dibreak down. Ummat Islam tentu telah mencoba mengkonversi 212 menjadi koperasi 212. Namun belum mencapai hasil yang maksimal. Ketika Valentino Dinsi, tokoh koperasi 212, ke rumah saya berdiskusi membangun kekuatan "Syarikat Dagang Islam", saya katakan potensi itu ada. Saat ini, dibanding jaman Habibie dan ICMI menggalang dana ummat untuk membangun koran Republika dan Bank Muamalat, jauh lebih hebat sekarang ini. Baik dari sisi soliditas ummat maupun dari sisi munculnya jutaan urban muslim middle class. Trust bisa juga merupakan waqaf (lihat : waqaf vs. trust, https://islamicmarkets.com/education/waqf-vs-trusts). Kisah Waqaf Habib Bugak dari Aceh di Madinah ratusan tahun lalu, telah berbuah bagi para haji dari Aceh saat ini. Selain Trust Fund, berbagai instrument financial Islam juga dapat dikembangkan seperti Habib Rizieq Insurance, Habib Rizieq Islamic Bank, dan Habib Rizieq Mutual Fund. Jika sepuluh juta massa 212 menjadi pemilik Trust Fund itu dengan rata-rata menitipkan uangnya Rp. 100.000,-, maka Habib Rizieq Trust Fund akan memiliki kekayaan Rp. 1 triliun. Ini langkah kecil bagi Habib Rizieq dan kelompok ulama 212 dalam membangun lembaga pembiayaan Islam ke depan. Pekerjaan ini bukan pekerjaan susah dijaman internet of things (IOT) saat ini. Meskipun secara teknikal harus dikerjakan praktisi-praktisi keuangan muslim yang muda dan ikhlas. Penutup Habib Rizieq adalah manusia yang bisa dipercaya Bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam Indonesia ini. Tweets Professor Musni Umar mengenai pikiran saya untuk mem "break down" kepercayaan tersebut menjadi lembaga pembiayaan ummat harus dapat dikembangkan, dibanding sekedar "show of force" massa jutaan umat untuk reuni 212. Deputi Gubernur BI, Dody Waluyo mengatakan pada Juli 2019 total "Islamic Finacial Assets" sebesar Rp 1.359 triliun atau 8,7% dari total aset keuangan nasional. (Jakarta Post, 13/11/2019). Kelemahan dalam pengembangan ekonomi syariah terletak pada kekurangan memproduksi produk dan servis halal. Kita malah lebih banyak sebagai konsumen. Lalu, dalam sumber yang sama, Ventje Rahardjo, ketua KNKN (Komite Nasional Keuangan Syariah) mengatakan pungutan amal dan zakat hanya Rp 8 Triliun, sedangkan potensi yang dihitung oleh The Islamic Development Bank berkisar Rp. 200 tiliun. Ini sangat memprihatinkan. Kelemahan sektor keuangan Syariah ini di atas tentu berkaitan dengan kepercayaan masyarakat pada institusi keuangan resmi yang ada. Pertanyaan masyarakat saat ini berkisar pada kehalalan produk keuangan dan pengelolaannya. Selian itu, kepercayaan atas manajemen institusi keuangan yang ada. Hal ini akan mempunyai dampak keinginan rakyat mencari lembaga keuangan baru yang menjamin kehalalan dan jaminan resiko atas harta mereka. Apalagi di sektor finansial non Islamic, seperti isu korupsi melanda dan mengguncang asuransi Jiwasraya dan Bumiputra, baru baru ini. Dimana Jiwasraya dikaitkan dengan dana politik, begitu menghancurkan kepercayaan masyarakat pada institusi dan prilaku moral dan akhlak kaum profesional yang ada. Saatnya Habib Rizieq dan ulama 212 mengembangkan kekuatan umat di sektor keuangan untuk membiayai pembangunan umat Islam di luar sektor negara. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle, Mantan Staf Khusus Dirut PT. Jamsostek

Defisit APBN 2019 Melangar UU, Jokowi Tamat?

Sepanjang tahun 2019, sampai dengan bulan Oktober 2019, utang pemerintan telah bertambah Rp. Sebanyak Rp 426,5 triliun. Dalam bulan November dan Desember 2019, pemerintah aktif menawarkan Surat Utang Negara (SUN). Penjualan SUN besar-besaran ini untuk menutupi kekurangan Aanggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2019. By Salamuddin Daeng Jakarta, FNN- “Kami tidak memiliki kepercayaan yang banyak terhadap angka Produk Demostik Bruto (PDB) Indonesia. Sebab PDB Indonesia telah stabil selama beberapa tahun terakhir. Pelacakan bulanan terhadap aktivitas ekonomi dan modal, telah menunjukan indikator pertumbuhan ekoniomi Indonesia melambat selama setahun terakhir, ”ujar ekonom Gareth Leather dari Captal Economics Ltd. London. Petumbuhan ekonomi Indonesia hampir tidak bergerak naik atau stagnan dalam tiga kuartal terakhir ini. Kenyataan ini juga telah mendorong beberapa analis dan ekonom dunia meragukan data-data pertumbuhan ekonomi yang disampaikan pihak Indonesia. Dengan demikian, angka pertumbuhan GDP Indonesia juga tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Artinya, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebenarnya sudah berada di bawah lima persen. Bukan lagi di atas lima persen, seperti yang diakui pemerintah salama ini Pertanyataan Gareth Leather ini dimuat oleh bloomberg.com pada edisi 5 November 2019 lalu. Pernyataan Gareth Leather ini cukup membuat kita terkaget-kaget dan terperangah. Lembaga ekonomi yang berkantor di London, Inggris ini meragukan angka PDB Indonesia yang sampai sekarang belum berani diumumkan oleh Badan Pusat Statitik (BPS) Indonesia. Bila BPS salah mengumumkan angka resmi PDB Indonesia, maka akan sangat berpengaruh terhadap nasib pemerintahan Presiden Jokowi. Sebab defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 tidak boleh lebih dari 3%. Jika defisit APBN lebih dari 3%, itu artinya pemerintahan Presiden Jokowi telah melanggar undang-undang keuangan negara. Batas besarnya utang pemerintah setiap tahun menurut undang-undang keuangan Negara, maksimum hanya 3% dari PDB. Sedanagkan batas total utang pemerintah secara keseluruhan, ditetapkan maksimum adalah 60% dari PDB. Tidak boleh lebih. Batas utang itu ditetapkan melalui undang-undang. Besaran defisit yang diperbolehkan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 12 Ayat (3). Pada bagian penjelasan pasal ini berbunyi “defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Sedangkan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto". Bagaimana kenyataan sekarang? Apakah pemerintah sudah melanggar UU keuangan negara? Kalau pemerintah sudah melanggar undang-undang, berarti DPR bisa melakukan proses menuju impeachment untuk menjatuhkan Presiden Jokowi di tengah jalan. Alasannya, karena Presiden Jokowi melanggar telah melanggar undang-undang. Untuk itu, marilah kita hitung-hitung. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), sejak awal tahun 2019 sampai dengan kwartal III, utang luar negeri pemerintah bertambah U$ 10,84 miliar dollar, atau setara dengan Rp. 152,07 triliun. Selanjutnya, utang pemerintah dari Surat Utang Negara (SUN) bertambah dari Januari sampai Oktober 2019 sebesar Rp. 274,4 triliun. Jadi, sepanjang tahun 2019, sampai dengan bulan Oktober 2019, utang pemerintan telah bertambah sebanyak Rp 426,5 triliun. Dalam bulan November dan Desember 2019 ini, pemerintah sedang aktif menawarkan Surat Utang Negara (SUN). Penjualan SUN besar-besaran ini ini untuk menutupi kekurangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2019. Kalau penambahan utang sepanjang tahun ini dibagi 0,03 sebagai batas 3% dari PDB, maka sampai dengan bulan Oktober 2019, angka PDB Indonesia seharusnya minimal Rp. 14.216 triliun. Lantas, berdasarkan perkiraan, berapa sebenarnya PDB Indonesia di tahun 2019 ini? Jawabannya sekitar Rp 15.000 triliun sampai dengan Rp. 15.500 triliun. Gross Demostic Produc (GDP) tidak bisa mencapai angka yang sesui dengan peningkatan utang pemerintan. Atau jika utang pemerintan melebihi batas yang ditetapkan oleh undang-undang, maka itu berarti nyata-nyata pemerintah sudah melanggar undang-undang. Sampai disini Presiden Jokowi bisa diimpeachment, karena anggaran tahun 2019 belum berakhir. PDB adalah angka ekonomi yang dihasilkan dari survey. Perhitungan besarnya PDB diperoleh dengan menggunakan metodologi tertentu. PDB juga dimonitor oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Dengan demikian PDB itu bukan angka pasti. Lembaga keuangan internasional memiliki angka perkiraan yang berbeda-beda mengenai jumlah PDB Indonesia sekarang. Demikian juga dengan BPS Indonesia, yang juga memiliki angka PDB berbeda. Menurut perkiraan International Monetary Fund (IMF), PDB Indonesia adalah USD 1.110 miliar atau setara dengan Rp. 15.540 triliun. Sedangkan menurut World Bank, PDB Indonesia tahun 2019 sekitar Rp. 15.300 triliun. Sementara BPS sampai belum merilis angka resmi PDB tahun 2019 Jika dikalikan 3% batasan yang diberikan oleh undang-undang, maka Ibu Menteri Sri Mulyani hanya bisa mencari utang baru untuk menutupi defisit APBN 2019 maksimal Rp. 466 triliun. Sementara, sampai dengan Oktober lalu, utang yang sudah didapat Ibu Sri adalah Rp. 426,5 triliun. Artinya, Ibu Menteri Sri masih hanya bisa mencari utang baru Rp. 40 triliun. Tidak boleh lebih. Waktu yang hanya tersisa hanya satu bulan lagi. Sementara kekurangan penerimaan negara dari dalam negeri diperkirakan sebesar Rp 500 triliun. Jika ditambah dengan defisit sebesar Rp 466 triliun, maka Ibu Sri Mulyani harus mencari utang baru untuk tahun 2019 sebesar 966 trliun. Lagi-lagi ini nyata-nyata telah melanggar undang-undang keuangan negara. Masalah lainnya, Pemerintah Jokowi berhutang satu dolar dengan bunga 8%. Maka sekian banyak itulah nilai utang dan bunga utang yang harus dibayar oleh pemerintah. Menjadi masalah ketika utang yang adalah angka pasti itu harus dibandingkan dengan PDB yang merupakan angka perkiraan untuk menentukan apakah pemerintah telah melanggar undang-undang atau tidak. Karena angka pembandingnya PDB bersifat perkiraan, maka boleh menggunakan perkiraan sebagai acuan. Padahal angka PDB yang merupakan perkiraan itu, bisa saja dilebih-lebihkan. Atau bisa pula dikurangi. Ini hal yang kurang masuk akal, karena bisa dimanipulasi untuk menghindar dari tuduhan telah melanggar undang-undang. Jadi, implikasinya berapapun Sri Mulyani berhutang, tidak mungkin Pemerintahan Jokowi dinyatakan melanggar undang-undang keuangan negara. Karena angka perkiraan PDB bisa saja diatur-atur. Sebab masing-masing lembaga internasional memiliki angka perkiraan PDB Indonesia yang berbeda-beda. Penulis adalah Penelisi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

Kalau Ahok Kangen Bentak-bentak, Kerja di Swasta Saja

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Nama Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok kembali menghebohkan publik. Kali ini penyulutnya adalah kemungkinan besar dia masuk ke salah satu BUMN. Bisa sebagai komisaris utama, bisa juga sebagai direktur utama (dirut). Bahkan sudah banyak yang menyebut Ahok akan menjadi dirut Pertamina atau PLN. Dia sudah dipanggil Menteri BUMN Erick Thohir. Pokoknya, hampir pasti Ahok menjadi petinggi BUMN. Apalagi, Presiden juga mendukung penuh. Jokowi malah salut dan yakin pada kemampuan Ahok. Tapi, publik bereaksi keras. Ada tiga hal yang menjadi sorotan. Pertama, soal kemampuan (profesionalisme) Ahok di bidang bisnis. Dan kedua, soal dugaan keterlibatan Ahok di sejumlah kasus korupsi. Ketiga, watak dan sifat-sifat Ahok. Mengingat ketiga hal inilah, publik berpendapat Ahok tidak layak bekerja di BUMN. Pertama, soal kemampuan bisnis. Menurut para pengamat ekonomi-bisnis, Ahok tidak punya rekam jejak dalam mengelola sebuah perusahaan. Apalagi perusahaan besar yang beraset besar pula –seperti Pertamina. Kalau Ahok dipaksakan masuk ke BUMN, diperkirakan akan menimbulkan kegaduhan. Misalnya, dia akan mengatakan begini, sementara para staf senior mengatakan harus begitu. Yang kedua, soal dugaan keterlibatan Ahok di sejumlah kasus korupsi. Ada kasus RS Sumber Waras. Di kasus ini, hasil audit BPK menunjukkan ada kerugian negara yang cukup besar. Ada kasus Taman BMW dan kasus lahan Cengkareng Barat. Ketiga kasus ini terkait soal lahan. Patut diduga negara mengalami kerugian ratusan miliar rupiah di dalam ketiga kasus ini. Kemudian, ada pula dugaan korupsi terkait penyaluran dana CSR (corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan) yang melibat Ahok Centre sekitar 2016. Patut juga diduga ada korupsi dalam proyek reklamasi yang melibatkan Ahok. Semua dugaan korupsi itu masih menggantung di atas langit Ahok. Dan juga akan terus membayangi langkah-langkah mantan wagub DKI era Jokowi itu. Inilah salah satu aspek yang akan memberatkan Ahok. Yang ketiga, soal watak Ahok yang terbiasa memaki-maki bawahannya. Suka membentak-bentak stafnya di depan umum. Penuh keangkuhan. Dia memang hebat di bidang bentak-membentak. Juga maki-memaki orang. Itulah yang dia tunjukkan semasa menjabat gubernur. Tidak diragukan kemampuannya untuk urusan teriak-teriak menggunakan kata-kata kasar dan kotor. Ahok tidak segan-segan mengucapkan kata t*ik, dll. Kekasaran dan keangkuhan Ahok bisa menyulut kegaduhan besar. Di Pertamina, serikat pekerja di situ awal-awal menyatakan penolakan terhadap Ahok. Di kalangan akar rumput pun, penolakan Ahok masuk BUMN sangat gencar. Banyak sekali artikel argumentatif di media sosial yang menjelaskan agar Ahok tidak diangkat menjadi petinggi BUMN. Bahkan berbagai diskusi berlangsung di banyak tempat. Dengan pembicara para pakar bisnis dan manajemen. Rata-rata pengamat berkesimpulan bahwa Ahok tidak pas memegang posisi di BUMN. Itulah yang menjadi fakta. Penolakan terhadap Ahok sangat keras dan meluas. Tapi, kelihatannya, para penguasa diperkirakan justru akan meremehkan penolakan itu. Jokowi dan Erick tak akan hirau dengan protes publik. Tinggal Ahok sendirilah yang berpikir. Bijak atau tidak masuk ke BUMN. Kita hanya bisa mengatakan, kalau Ahok kangen membantak-bentak orang atau memaki-maki seenaknya dengan teriakan keras, sebaiknya dia bekerja di perusahaan swasta saja. Bukankah banyak perusahaan yang cocok dengan gaya Ahok?[] 21 November 2019 Penulis wartawan senior.

Pajak Jeblok, Begini Tanggapan Komisi XI DPR RI

By M H Minanan Jakarta, FNN – Anggota Komisi XI DPR RI, M. Sarmuji membuka suara menanggapi perihal pendapatan penerimaan pajak oleh pemerintah Indonesia yang mengalami penurunan pada kuartal III 2019 di ruang kerjanya, Rabu (18/11). Menurutnya, dengan kondisi kondisi ekonomi saat ini Pemerintah harus berupaya untuk menggenjot penerimaan pajak Indonesia yang menurun atau mengalami kondisi kurang baik. “Penerimaan pajak Indonesia pada kuartal III 2019 mengalami kondisi yang tidak aman,” tuturnya pada pembukaan wawancara singkat diruang kerjanya. Kalau dibandingkan dengan januari – oktober 2018. Saat itu penerimaan perpajakan secara nominal memang lebih rendah yaitu Rp. 1.160,66 Triliun, namun secara presentasi terhadap target jauh lebih baik yaitu mencapai 71,73%. Mengutip riset CNBC Indonesia, Selasa (19/11/2019). Perolehan pajak yang meleset jauh dari target ini, memicu tafsir yang tak berkesudahan. Mengingat waktu yang ditempuh sangat sempit sehingga butuh kerja ekstra untuk dapat memenuhi target. “melakukan sesuatu untuk mencapai target setahun dalam satu setengah bulan itu tidaklah mudah, sudah sangat terbatas apa yang mau dilakukan”, pungkasnya pada pembukaan obrolan. Saat ini per Januari – Oktober 2019 tercatat Rp. 1.173,9 triliun. Angka ini hanya 65,7% dari target yang ditetapkan dalam APBN 2019 sebesar Rp. 1.786,4 triliun atau 82,5%. Artinya pemerintah bekerja ekstra keras mengumpulkan Rp. 612,5 triliun dalam tempo satu setengah bulan sebelum 2019 berakhir. Dia pun menambahkan, dengan fakta ini, suka tidak suka memang harus diakui, pertumbuhan penerimaan pajak mengalami penurunan 16.8% dari target APBN yang ditentukan oleh Pemerintah. “Setidak-tidaknya itu, ada beberapa yang mungkin masih bisa dipacu, misalkan dengan cara memanfaatkan automatic change of information pertukaran data dari Negara lain, tentang warga Negara Indonesia yang memiliki uang (kekayaan) diluar negeri. Kalau itu bisa memajukan potensi pajak, itu bisa dikejar”, ujar Sarmuji menyarankan, disampaikan saat diwawancarai diruang kerjanya Gedung Nusantara I DPR RI, Rabu (20/11/2019). Dewan dari Fraksi Golkar ini mengatakan, haru ada upaya dari pemerintah secara cerdas dalam memperhatikan sektor – sektor potensial, yang memberikan inkam kepada Negara. “Yang bisa dilakukan ialah menggali sektor – sektor potensial, misalkan sektor perdagangan, industry, konstruksi masih bisa di optimalkan penerimaannya serta mengggali wajib pajak potensial seperti profesi yang menghasilkan duit banyaklah,” tandasnya menyarankan. Dalam pemaparan dia juga menyinggung pola dan cara Negara – Negara maju membangun tumpuan pajak Negara. Optimalisasi pajak banyak dihasilkan dari wajib pajak perorangan dan bukan wajib pajak badan. Hal ini disebabkan, kesadaran membayar pajak dari masing – masing orang itu sudah cukup tinggi sehingga potensi pajak secara individual pun menjadi besar. Sehingga penyelesaian pajak di Indonesia saat ini yang dapat dilakukan adalah pengendalian sektor wajib pajak NPWP yang efektif dan keterbukaan pelaporan serta ketaatan membayar wajib pajak pribadi itu yang memungkinkan untuk dilakukan dalam waktu satu setengah bulan ini, untuk mengejar target penerimaan perpajakan tahun 2019 ini.

Biar Bagaimana Anies Lebih Jago Soal Anggaran

Oleh Hudzaifah Jakarta, FNN - Dua pekan terakhir Partai Solidaritas Indonesia (PSI) getol menyoroti anggaran aneh dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta untuk tahun 2020. Saking getolnya, sampai-sampai jatuh pada asumsi bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terperangkap korupsi atau setidaknya akan melakukan korupsi. Sinyalemen demi sinyalemen, pernyataan di televisi dan media cetak, sampai kiriman bunga pujian kepada PSI. Tampak adanya onani dan serangan politik yang tak bermutu, dengan substansi yang kosong dan modus yang amatiran. Celakanya media mainstream seperti kerbau dicucuk hidung, membebek dan membeo atas arus broken image atas prestasi Anies Baswedan di DKI Jakarta. Tengok saja kritik PSI, mereka sudah mengirim surat kepada Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI untuk meminta dokumen Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran (KUA-PPAS) diunggah di website resmi apbd.jakarta.go.id. Bahkan pihaknya menawarkan untuk membuka dokumen anggaran sampai level komponen. Agar ada transparansi. Penemuan PSI terkait anggaran lem aibon sebesar Rp82,8 miliar dan ballpoint sebesar Rp124 miliar dianggap PSI menjadi hal yang mengkhawatirkan. Soal proses penganggaran DKI, menurut PSI, bukanlah yang pertama kali bagi Anies. Seharusnya ada pemeriksaan yang berjenjang yang dilakukan jajaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). "Itu sebenarnya agak gawat ya kondisi penganggaran DKI Jakarta saat ini. Polemik lem aibom hanya pemantik saja. Lalu Pak Anies bilang masalah ini karena sistemnya enggak smart. Ini Saya pikir ada proses mengalihkan tanggung jawab. Harusnya ada pemeriksaan berjenjang," tutur Juru Bicara PSI Rian Ernest Tanudjaja. Ia juga menyinggung temuan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran soal usulan anggaran DKI 2020 yang tidak wajar. Misalnya seperti penganggaran buku folio untuk program wajib belajar sebesar Rp78,8 miliar. Sampai di sini teriakan PSI sepertinya meyakinkan, tapi sesungguhnya seperti pahlawan kesiangan. Paling tidak ada beberapa hal yang perlu disoroti dari laku politik partai ingusan ini memainkan isu. Pertama, beberapa hari sebelum PSI berteriak lantang di ruang publik, Anies di internal sudah memarahi dan meminta menghapus anggaran aneh dimaksud. Bahkan dalam beberapa video penjelasan Anies, bahwa anggaran itu pada gilirannya akan hilang kalau tidak bisa disuguhkan secara wajar dan rasional. Bahkan kejadian ini sudah terjadi hampir setiap tahun dan kritik Anies sangat keras pada SKPD-SKPD. Artinya, teriakan PSI itu bukan sebuah temuan baru, justru Gubernur Anies yang lebih dahulu mengetahui. Tapi membeo atas temuan Anies tapi dalam narasinya seolah-olah Anies yang berniat melakukan korupsi anggaran. Sampai di sini ruang publik sangat paham, sampai-sampai mantan Gubernur Sutiyoso mengeluh atas laku politik karbitan PSI yang sok lantang tapi kopong. Kedua, periodesasi anggaran yang diributkan masih dalam periode dummy APBD. Artinya baik angka maupun nama anggaran masih bisa berubah, bahkan bisa hilang sama sekali. Itu sebabnya periode ini tidak elok untuk dilepas ke ruang publik, karena belum memasuki pembahasan anggaran dan masih menjadi dokumen internal. Setelah memasuki pembahasan anggaran, disitulah PSI dan fraksi lain dipersilakan menyoal, mengkritisi, bahkan memblow-up seluas-luasnya kalau memang ada keanehan. Selah itu dilakukan MoU antara eksekutif dan legislatif atas nama dan besaran anggaran yang akhirnya disepakati. Sampai di sini pun masih ada peluang adanya revisi anggaran yang dinamakan APBD-Perubahan. Dan siklus anggaran seperti ini hal biasa di kalangan politisi DPRD setiap tahunnya. Tapi PSI seolah ingin jadi pahlawan kesiangan dia teriak untuk sesuatu yang sifatnya internal dan dummy di ruang publik. Tentu saja publik kaget, campur bertanya-tanya, apa karena partai ingusan sehingga belum tahu sequences anggaran. Itu sebabnya William Aditya Sarana sebagai peniup peluit pertama bocoran dummy anggaran dilaporkan ke Badan Kehormatan DPRD DKI Jakarta atas keluguan dan kebingungannya soal sequences anggaran. Ketiga, sistem penganggaran elektronik (e-budgeting) yang didesain dimasa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak smart. Sistem digital e-budgeting didesain secara smart ini ternyata tidak smart, yakni tidak mampu mendeteksi kesalahan input. "Ini ada problem, sistemnya digital tetapi tidak smart. Kalau smart system, dia bisa melakukan pengecekan dan verifikasi. Dia [sistem] bisa menguji," ujar Anies. Dia menuturkan sistem e-budgeting saat ini memang sudah menerapkan digitalisasi, tetapi masih mengandalkan verifikasi manual. Imbasnya, SKPD harus menurunkan bentuk kegiatan ketika menyusun Rancangan Kegiatan Pemerintah Daerah (RKPD). Seperti diketahui, e-budgeting direncanakan sejak zaman Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2013, lewat Peraturan Gubernur (Pergub) No 145 tahun 2013. Sistem dijalankan ketika Ahok menjadi Gubernur DKI dan melakukan pembahasan APBD DKI 2015. Pergub tersebut mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005. Kala itu, Ahok sempat berseteru dengan anggota DPRD DKI terkait adanya anggaran tidak jelas atau "siluman". Pasalnya, dua versi APBD-P DKI 2014 sehingga memunculkan kasus korupsi pengadaan uninterruptible power supply (UPS) senilai Rp120 miliar. Keempat, kesalahan input anggaran bukan pertama terjadi, bahkan dimasa Gubernur DKI Joko Widodo dan Wagub Ahok, kesalahan input anggaran mencapai Rp1,8 triliun. Badan Pengelola Keuangan (BPK) Daerah DKI Jakarta pada 2014 menemukan 18.000 mata anggaran ganda. Sebagian anggaran ini dialihkan ke alokasi anggaran lain. Potensi kebocoran APBD DKI Jakarta saat itu mencapai Rp1,8 triliun jika saat itu tidak dibenahi. Khusus di Dinas Pendidikan DKI, jumlah anggaran yang dicoret Jokowi mencapai Rp1 triliun. Jadi temuan PSI ini selain tak ada seujung kuku dibandingkan temuan dimasa Jokowi-Ahok, juga bukan semacam temuan baru. Kelima, tampaknya para politisi ingusan dari PSI perlu lebih banyak belajar soal anggaran, terutama etika mengkritisi anggaran. Agar jangan sampai berniat bak pahlawan, tapi keluarannya justru menunjukkan mereka adalah pahlawan kesiangan. Anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) bidang Pencegahan Korupsi Ibu Kota Nursyahbani Katjasungkana yang dikenal orang vokal sejak zaman Soeharto hingga hari ini, menyarankan politikus PSI belajar lagi mengenai proses penganggaran Kritik PSI terhadap rancangan anggaran Pemprov DKI Jakarta dikatakan tidak tepat karena baru berupa draf pagu anggaran yang masih harus melewati tahapan panjang dan bisa diubah. "PSI mesti belajar proses penganggaran, yang dibahas ke publik [mestinya] bukan draf pagu anggaran," kata Nursyahbani. Draf pagu anggaran atau dummy anggaran itu masih tahap awal sekali, artinya kalau di Bappeda, stafnya memberikan istilah itu komponen dummy. Dan itu bukan hanya praktik di era Anies. Masa Ahok itu kan membeli penghapus sekian miliar. Nursyahbani menekankan bahwa data yang dikritik PSI dan diributkan publik masih berupa pengajuan KUA-PPAS 2020 DKI Jakarta. Komponen yang dimasukkan bukan yang sebenarnya dan hanya patokan awal saja. Sebab, kata dia, setelah itu masih ada penentuan detail komponen anggaran yang sesungguhnya, proses review, hingga perbaikan-perbaikan. Mungkin satu lagi yang belum pernah didengar politisi ingusan dari PSI, bahwa sepanjang Jokowi-Ahok memimpin Jakarta, APBD DKI selalu mendapat opini audit wajar dengan pengecualian (WDP) sejak 2014-2017 oleh BPK DKI. APBD dibawah Jokowi-Ahok dianggap wajar, tapi ada beberapa perkecualian yang harus diperbaiki. Begitu setahun Anies memimpin DKI, opini audit DKI Jakarta langsung naik kelas ke wajar tanpa pengecualian (WTP). Pengelolaan APBD DKI dianggap BPK DKI selain wajar, tak ada lagi yang dikecualikan. Artinya pengelolaan APBD di tangan Anies lebih advance dibandingkan Jokowi-Ahok yang menjadi junjungan para politisi PSI. Pendek kata, hei PSI, sekadar tahu saja ya, Anies lebih jagolah dibandingkan junjungan kalian kalau soal menyusun dan merealisasikan anggaran...! Penulis adalah wartawan senior.

Pertumbuhan Stagnasi Pemerintahan Jokowi

Oleh Hudzaifah Jakarta, FNN - Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2019 hanya 5,02%. Angka ini semakin mempertebal keyakinan publik bahwa Presiden Jokowi gagal merealisasikan janji politiknya untuk menjaga pertumbuhan ekonomi minimal 7%. Realisasi pertumbuhan 5,02% itu di bawah target pertumbuhan 2019 sebesar 5,3%, juga lebih rendah dari pencapaian kuartal III 2018 yakni sebesar 5,17%. Bahkan juga lebih rendah dari pencapaian kuartal II 2019 di level 5,05%. Dari capaian pertumbuhan ekonomi tersebut, sebenarnya 55,03% disumbang oleh konsumsi rumah tangga. Pertanyaanya, mengapa realisasi pertumbuhan ekonomi Pemerintahan Jokowi seperti stagnasi di kisaran 5%? Apa yang salah dan solusi apa yang harus ditempuh Pemerintah Jokowi ke depan. Kepala BPS Kecuk Suhariyanto mengungkapkan, "Saya ulangi lagi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2019 sebesar 5,02%." Dari sumber pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2019, ada sembilan sumber pertumbuhan yang mengalami kontraksi. Jika dibandingkan dengan kuartal III 2019, pertumbuhan tertinggi dari industri pengolahan ini bersumber dari lapangan industri pengolahan sebesar 0,86% (yoy). Pertumbuhan ini diikuti perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 0,63% (yoy), sektor konstruksi sebesar 0,56% (yoy), dan informasi komunikasi sebesar 0,47 persen (yoy). Sisanya, pertumbuhan ekonomi kuartal III/2019 bersumber dari lapangan usaha lain sebesar 2,50% (yoy). Suhariyanto mengatakan industri makanan dan minuman, tumbuh sebesar 8,33% (yoy), didukung peningkatan crude palm oil (CPO) yang meningkat sejalan dengan konsumsi domestik CPO. Industri furnitur juga tercatat tumbuh 6,93% (yoy) didorong oleh meningkatnya permintaan dari luar negeri. Dia menambahkan, kontraksi terjadi pada industri karet, barang dari karet dan plastik karena menurunnya permintaan ekspor akibat perang dagang. BPS menyebut sektor ini mengalami kontraksi minus 3,42% (yoy). Sektor lain yang juga mengalami kontraksi adalah industri alat angkutan, sebesar minus 1,23% (yoy), dan industri pengolahan secara khusus untuk industri batu bara dan pengilangan migas pada kuartal III 2019 juga tercatat kontraksi sebesar minus 0,74% akibat menurunnya produksi LNG, LPG, dan BBM. “Selama kuartal III 2019 ini harga komoditas migas dan non migas di pasar internasional juga mengalami penurunan secara year-on-year, maupun quarter-to-quarter,” demikian Suhariyanto. Sebenarnya trend penurunan pertumbuhan ekonomi menurun ini tak hanya menjadi monopoli Indonesia. China yang pada kuartal III tahun lalu masih mampu tumbuh 6,5%, pada kuartal tahun ini tinggal 6%. Sementara pertumbuhan Amerika Serikat pada periode yang sama turun dari 3,1% menjadi 2%. Begitu pula pertumbuhan ekonomi Singapura pada periode yang sama turun dari 2,6% menjadi 0,1%. Sedangkan Korea Selatan turun tipis 2,1% menjadi 2%. Jika dibandingkan Asean, pertumbuhan Indonesia lebih rendah dibandingkan Laos (6,8%), Kaboja (6,5%), Filipina (5,7%), dan Vietnam (7,3%). Tapi memang pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi dibandingkan Thailand (3,5%), Malaysia (4,5%), dan Brunei (0,5%). Jika melihat lebih makro, setidaknya ada beberapa penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III 2019 melemah. Pertama, dampak perang dagang antara China dan Amerika yang meluas ke Eropa, India, Jepang dan Korea Selatan. Hal ini tentu saja berdampak pada Indonesai sebagai partner dagang negara-negara sahabat tersebut. Defisit Indonesia Kedua, terjadi penurunan harga minyak dalam beberapa bulan terakhir, berdasarkan harga ICP dari US$71,64 menjadi 59,81 per barel. Hal ini menyebabkan penerimaan dari sektor migas ikut menurun. Ketiga, realisasi belanja APBN pada kuartal III 2019 hanya 22,75% dari pagu anggaran. Sehingga tidak mampu memompa pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Keempat, realisasi investasi dalam tiga bulan paruh ketiga tahun ini hanya 14% hingga 15%. Sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami stagnasi. Kelima, tingkat pencapaian penerimaan pajak yang rendah, terutama dari sektor pertambangan. Sampai akhir September 2019 penerimaan sektor ini baru mencapai Rp 43,2 triliun. Angka ini, tumbuh negatif 20,6% dan lebih rendah dibandingkan periode yang sama 2018 yang mampu tumbuh 69,9%. Total penerimaan pajak sampai Agustus 2019 baru Rp801,16 triliun atau 50,78% dari target penerimaan pajak sepanjang 2019 sebesar Rp1.577,65 triliun. Diperkirakan penerimaan pajak hingga Desember 2019 antara 85% hingga 88%, lebih rendah dibandingkan tahun 2018 sebesar 92%. “Kondisinya memang berat,” kata Dirjen Pajak Robert Pakpahan. Dengan melihat track record pertumbuhan ekonomi Pemerintahan Jokowi pada 2014 hingga 2019 rerata plus minus 5%, bahkan pada 2015 sempat 4,78%, menunjukkan bahwa terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi. Padahal Pemerintahan Jokowo sudah bekerja keras membangun infrastruktur, menggelontorkan ratusan triliun dana desa, membagikan berbagai dana sosial untuk rakyat. Melihat kondisi 2020 ke depan kondisi krisis akan datang lebih nyata, tampaknya target pertumbuhan 5,4% tahun depan, dapat dipastikan semakin sulit dicapai. Itu sebabnya Pemerintah Jokowi dengan kabinet barunya harus melakukan terobosan yang keras namun bersahabat dengan pasar dan tidak menyusahkan rakyat, agar pertumbuhan ekonomi bisa dijaga di level 5,4%. Meskipun berat. Tampaknya gambaran Presiden Jokowi kepada wartawan di istana negara bahwa ekonomi akan meroket, sambil memperagakan tangannya ke atas, tampaknya hanya tinggal mimpi. Saatnya wake up, sadarlah! Penulis adalah wartawan senior.

Ekonomi dan Korupsi, Bukan Radikalisme!

Oleh Edy Mulyadi *) Jakarta, FNN - Saya seharusnya marah kepada Presiden Joko Widodo dan para menterinya. Ada beberapa alasan penting kenapa saya layak marah kepada mereka. Antara lain, sebagai rakyat dan pembayar pajak saya berhak berharap punya Presiden dan menteri yang benar-benar profesional, mengerti tugas dan fungsinya, serta berintegritas. Sebagai Presiden, Joko tidak membuktikan dirinya seorang profesional. Buktinya, dia abai terhadap kapasitas dan kapabilitas para pembantunya. Di periode kedua kekuasaannya, dia masih saja memilih orang-orang yang terbukti gagal menjalankan tugasnya. Sri Mulyani, Luhut Binsar Panjaitan, dan Airlangga Hartarto, misalnya. Mereka adalah barisan pejabat publik yang terbukti gagal tapi kembali dipercaya menghela perekonomian, agar negara maju dan rakyat sejahtera. Mantan pengusaha mebel itu juga mengabaikan aspek integritas yang harus melekat pada para pembantunya. Dari 34 menteri, ada sembilan yang pernah terseret kasus korupsi. Mereka adalah Airlangga Hartato (Menko Perekonomian), Agus Gumiwang (Menteri Perindustrian), Tito Karnavian (Menteri Dalam Negeri), Luhut Binsar Panjaitan (Menko Maritim dan Investasi), dan Ida Fauziah (Menteri Ketenagakerjaan). Empat nama lainnya, Yasonna Laoly (Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia), Abdul Halim Iskandar (Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi), Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian), dan Zainudin Amali (Menteri Pemuda dan Olah Raga). Ekonomi jeblok Pada tulisan kali ini, saya tak hendak menyentuh aspek hukum yang menyeret sembilan nama tadi pada kasus korupsi. Joko dan para hulubalangnya akan gampang mengelak, dengan mengatakan semuanya belum terbukti di pengadilan. Tentu saja, argumen itu benar. Tapi siapa pun tahu, di negeri ini politik bisa mengendalikan dan mempermainkan hukum. Jadi, sudahlah... Sejatinya, masalah yang kini Indonesia hadapi adalah ekonomi yang jeblok. Pertumbuhan yang macet. Utang yang tembus Rp5.000 triliun. Terjadi deindustrialiasi yang tak terbendung. Pengangguran yang membangkak dan lapangan kerja yang entah untuk siapa. Kita juga mengalami kemiskinan yang tak kunjung turun secara berarti. Harga-harga yang terus melambung. Pajak yang mencekik. Joko sepertinya tahu benar fakta ini. Tapi pada pidato pelantikannya, dia telanjur mengumbar mimpi, bahwa pendapatan rakyat Indonesia bakal mencapai Rp27 juta per bulan. Pertanyaanya, apakah dia tahu bahwa agar penduduk berpendapatan Rp27 juta per bulan pada 2045, itu artinya Indonesia harus tumbuh 7,5% sampai 8% setiap tahun berturut-turut selama 26 tahun ke depan? Padahal, fakta menunjukkan selama lima tahun terakhir (dan itu artinya, selama pemerintahan Joko periode pertama) ekonomi kita cuma berkutat di angka 5%? Stigma radikalisme Tapi, entah karena bisikan siapa, Joko kini sibuk mengalihkan perhatian rakyat pada isu radikalisme. Itulah sebabnya, para menterinya rajin menggonggong soal ini di kementerian masing-masing. Dan, yang membuat darah naik ke ubun-ubun, tudingan radikalisme para pejabat publik tersebut diarahkan kepada Islam dan ummat Islam. Bahkan, Fachrul Razi yang jadi menteri agama pun mengaku secara khusus mendapat perintah dari mantan Walo Kota Solo itu untuk memerangi radikalisme. Razi, misalnya, begitu diangkat langsung proklamasi bahwa dia bukanlah menteri agama Islam. “Saya adalah Menteri Agama Republik Indonesia. Di dalamnya ada agama-agama lain,” ujarnya kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (23/10). Tapi anehnya, tak lama berselang, dia langsung menebar ancaman kepada para ustadz dan penceramah yang dianggapnya menebar radikalisme dan perpecahan. Pertanyaan mendasar buat Razi, katanya anda bukan menteri agama (hanya) Islam melainkan juga agama-agama lain, tapi kenapa tudingan radikalisme dan perpercahan bangsa hanya anda tujukan kepada para ustad dan kyai? Bagaimana dengan para pendeta di gereja, biksu di vihara, tokoh agama di pura dan lainnya? Apa menurut anda mereka pasti tidak radikal? Lalu parameter radikal seperti apa? Apakah ustadz yang menyampaikan dalil Qur'an dan Sunnah kepada kaum muslimin masuk katagori radikal? Bagaimana dengan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu? Apakah ini juga pasal ini termasuk radikal? Setali tiga uang, Mahfud MD yang diangkat sebagai Menko Politik Hukum dan Keamanan pun berkoar seputar memerangi radikalisme. Profesor hukum tata negara ini terbilang rajin menebar stigma negatif kepada Islam dan ummatnya. Bahkan sikap ‘permusuhannya’ kepada agamanya sendiri telah tampak jauh sebelum diangkat sebagai menterinya Joko. Masih ingat ketika dia mengatakan, Prabowo menang di provinsi-provinsi yang radikal? Narasi yang dikembangkan sesaat usai dilantik jadi menteri, sama dengan Razi, soal masjid yang dia stigma jadi ajang penyebaran kebencian. Sebetulnya sangat mengherankan, jika seorang Mahfud yang berlatar belakang madrasah dan nahdiyin bisa begitu memusuhi Islam. Itu barangkali seorang warganet beragama nasrani Sad Ronin @wawat_kurniawan menulis, “pak @mahfudmd kalau anda tidak yakin agama yang anda yakini itu benar dan baik serta pembawa kedamaian, mending ikut saya pak ke gereja.” Pengalihan isu Heboh narasi radikalisme yang dinyanyikan para menteri baru tentu bukan tanpa sebab. Tokoh nasional Rizal Ramli menenggarai hal ini sebagai upaya pengalihan isu dari ketidakmampuan pemerintah mengatasi masalah ekonomi yang nyungsep. “Setahun ke depan agaknya akan digoreng terus isu 3R (radikalisasi, radikulisasi & radikolisasi),” tulis RR, begitu dia biasa disapa, di akun twitternya @RamliRrizal, Ahad (27/10). Pada titik ini, kemarahan rakyat, terutama yang beragama Islam, memang layak disemburkan kepada Joko, tim ekonomi, khususnya Machfud dan Razi. Sebagai orang Islam, sudah semestinya saya akan mengerahkan semua kemampuan dan sumber daya yang saya miliki agar bisa melaksanakan semua ajaran Islam. Ini wajar dan normal. Sewajar dan senormal warga negara Indonesia yang beragama lain. Dan, kini rezim Joko menjadikan Islam dan ummatnya sebagai musuh yang musti ditumpas. Wahai penguasa, kalau benar orang Islam radikal, tentu tidak akan ada WNI yang beragama selain Islam karena semua sudah dibunuhi olang orang Islam. Tidak ada rumah ibadah selain masjid dan mushola karena yang lain sudah dirubuhkan oleh orang Islam. Faktanya justru sebaliknya. Kendati muslim mayoritas, agama lain bisa tumbuh dan berkembang secara baik. Pemeluk agama lain bukan cuma dilindungi dan dihormati, mereka bahkan bisa dan boleh meraih puncak jenjang karir dalam pangkat dan jabatan. Tak terhitung jumlah kepala daerah, jenderal dan menteri yang beragama bukan Islam. Soal toleran dan cinta mati NKRI, ummat Islam sudah khatam, bahkan sejak negara ini belum berdiri. Sebagian besar, kalau tidak disebut semua, pahlawan beragama Islam. Banyak dari mereka yang ulama, kyai, dan santri. Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Sentot Alibasyah, dan lainnya jelas berpakaian ulama. Dengan pidato menggelegar dan berulang menyebut Allahu akbar, Bung Tomo menggelorakan semangat jihad arek-arek Suroboyo mengusir tentara sekutu dari Surabaya. Hasilnya, sekutu pergi walau harus ditebus dengan lebih dari 6.000 anak muda yang mati syahid, in sya Allah. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Hasjim Asyhari, Ahmad Dahlan, Agus Salim, Natsir, Wahid Hasyim, Kasman, Abikusno, Roem, Soepomo, dan teramat banyak yang lain adalah muslim. Lalu, apakah mereka ngotot menghendaki dan memaksa Islam sebagai dasar negara? Tidak, kan? Cuma segitu? Mosok profesor sekelas Mahfud tidak bisa melihat kenyataan ini? Mosok jenderal seperti Razi tidak tahu fakta ini? Terus terang, selain marah saya kasihan kepada kalian. Profesor dan jenderal kok cuma segitu! Jadi, sudahlah. Berhentilah rezim ini menebar stigma radikalisme terhadap Islam dan ummat Islam. Masalah yang Indonesia hadapi sama sekali bukan radikalisme. Masalah kita adalah ekonomi yang terpuruk, pendapatan rakyat merosot, beban hidup yang teramat berat. Problem superberat lain adalah korupsi. Korupsi yang begitu massif telah merenggut hak-hak rakyat. Jangan lupa, para pelaku korupsi adalah merekaa yang selama ini paling nyaring berteriak saya pancasila, NKRI harga mati. Mereka itulah yang radikal yang sesungguhnya. Baiknya mulai sekarang, kalian bekerja bahu-membahu meningkatkan ekonomi kita. Joko dan kabinetnya harus ekstra sungguh-sungguh memerangi korupsi. Bukan sebaliknya malah melemahkan KPK. Dengan begitu, barulah kita boleh berharap rakyat bisa hidup sejahtera! [*] Jakarta, 29 Oktober 2019 Edy Mulyadi, wartawan senior