PT Antm Tebar Pesona di Atas Nelangsa Rakyat
By Kafil Yamin
Jakarta, FNN - Sejak Januari sampai bulan Oktober 2019 lalu, PT Aneka Tambang Tbk [ANTM] mengantongi laba bersih sebesar Rp561 miliar. Sedangkan pedapatan sebelum pajak, bunga, depresiasi dan amortizasi [EBITDA] tercatat Rp2,27 trilyun.
Emas adalah komponen terbesar pendapatan perusahaan itu, dengan nilai sebesar Rp 17 triliun atau 69 persen dari total penjualan bersih sepanjang 2019.
Produksi emas keseluruhan dari tambang Pongkor dan Cabaliung mencapai 1.485 Kg, dengan volume penjualan tercatat sebesar 26.388 Kg.
Laba bersih PT Antam tahun sebelumnya [2018] adalah Rp874 miliar, melonjak dari laba tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp 136 miliar.
Ada aroma kebanggan pada direksi PT Antam setiap kali menyampaikan kinerja perusahaannya, terutama ketika memperlihatkan keuntungan yang diperoleh. Seperti terungkap pada keterangan pers ketika mengumumkan keuntungan tahun 2018: “Profitabilitas juga didukung tingkat efisiensi yang mencapai 97persen dari target efisiensi…”
Tapi, apa sebenarnya arti keuntungan sebuah perusahaan milik negara? Angka atau jumlah yang tinggi kah? Lakunya penjualan saham kah? Atau, manfaat nyatanya kepada negara, terutama masyarakat? Lebih khusus lagi, apa manfaatnya kepada masyarakat sekitar tempat perusahaan itu beroperasi?
Tahun 2018, produksi emas Antam dari Pongkor dan Cibaliung mencapai 1.957 kilogram atau nyaris mencapai 2 ton. Nilai penjualan dari produksi emas Pongkor dan Cibaliung ini menempati bagian terbesar dalam keseluruhan nilai penjualan perusahaan negara tersebut.
Kinerja ‘mempesona’ perusahaan itu toh berbanding terbalik dengan keadaan desa-desa yang mengelilinginya, yang secara ekonomi-sosial nyaris tak berubah, bahkan cenderung menurun. Perusahaan yang menguras kekayaan alam mereka tak memberi dampak kesejahteraan , bahkan lebih banyak membawa masalah.
Desa Bantarkaret, yang bersebelahan dengan konsesi tambang emas PT Antam, termasuk salah satu desa paling tertinggal di Indonesia. Fasilitas kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur tergolong memprihatinkan.
Pemantauan penulis ke desa Bantarkaret, Cisarua dan Malasari, yang tercakup dalam wilayah operasi PT Antam, menyajikan gambaran keterbelakangan dan kemiskinan. Jalan-jalan berlubang dan membahayakan, tidak ada rumah sakit, puskesmas atau layanan kesehatan yang layak.
Terdapat sejumlah Sekolah Dasar Negerei [SDN] di Kecamatan Nanggung, tapi nyaris semuanya kekurangan fasilitas, guru dan sarana penunjang lain. SMP Negeri hanya ada dua, yakni SMP 1 Negeri Nanggung dan SMP Satu Atap Nanggung. SMA negeri hanya satu.
“Cara satu-satunya masyarakat sekitar bisa ikut menikmati cadangan emas di bumi mereka sendiri adalah dengan menjadi gurandil [penambang tradisional]. Itu pun dianggap illegal,” kata Asep Hudri, Ketua Yayasan Lingkar Pongkor, kepada Forum News Network.
Bahkan, ketika mengunjungi lokasi banjir-longsor di Kecamatan Sukajaya 7 Januari lalu, Presiden Joko Widodo menuding para penambang liar itu sebagai biang keladi.
Ia meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencabut izin dan menutup tambang-tambang liar itu serta mewajibkan penambang liar tersebut merehabilitasi lubang-lubang peninggalan mereka.
Menindak lanjuti pernyataan Presiden itu, segera 700 personel gabungan Polres Bogor, Polda Jawa Barat, TNI, Polisi Kehutanan, dan puluhan sekuriti PT Antam Tbk, menutup sedikitnya 23 lubang penambangan emas rakyat di kaki Gunung Pongkor.
Jadi, untuk mencegah agar lubang-lubang rakyat itu tak menimbulkan banjir dan longsor, polisi harus menunggu pernyataan presiden dulu.
Padahal, bencana longsor di wilayah Sukajaya dan Jasinga itu masih dalam tahap kajian dari dinas ESDM. Karena aliran sungai dan batas geografis antara wilayah Kecamatan Nanggung dengan wilayah Kecamatan yang terdampak bencana longsor berjauhan.
Menurut sejumlah warga setempat, curah hujan tinggi dan berlangsung lama hingga 18 jam terus-menerus adalah sebab utama bencana longsor tersebut.
Asep Hudri menjelaskan bahwa selain emas, Bogor Barat adalah wilayah operasi sejumlah perusahaan tambang berbagai sumber daya mineral non-logam seperti bentonit, zeolite, kalsit, seng dan timbal. Kenyataan ini menjadikan bumi Bogor Barat degerogoti berbagai galian tambang.
“Mungkin perut bumi Bogor Barat sudah ‘gorowong’ [kosong] oleh galian berbagai perusahaan tambang itu,” kata Asep. “Gurandil itu apa? Cuma bikin lubang-lubang kecil di atas permukaan tanah. Mereka sudah ada sejak dahulu kala dan tak pernah jadi biang bencana,” tandasnya.
Desa-desa di sekitar wilayah tambang Pongkor, di wilayah Kecamatan Sukajaya misalnya, masih tergolong terisollir, sehingga ketika bencana banjir dan longsor melanda desa-desa terpencil tersebut, bantuan sulit dikirim. Satu-satunya jalan ke sejumlah desa tertutup longsoran, meski akhirnya ditembus setelah beberapa hari.
Desa-desa itu antara lain Desa Sukajaya, Sipayung, Cisarua, Jayaraharja, Pasir Madang, dan Desa Cileuksa. (Bersambung)
Penulis adalah Wartawan Senior