EKONOMI

Indonesia Pasca Jokowi, Belajar dari '98

Oleh Edy Mulyadi Jakarta, FNN - Ekonomi Indonesia adalah ekonomi gelembung. Ekonomi yang dibangun dengan gelembung-gelembung persepsi, doping, dan artifisial. Angka pertumbuhan yang mandeg di 5% ternyata buah dari persepsi yang dibangun dengan public relations (PR) dan perilaku tak elok dalam berbisnis. Terungkapnya skandal mega korupsi Jiwasraya, Asabri, Garuda, Bumiputera, dan sederet BUMN raksasa lain adalah beberapa contoh saja dari gelembung-gelembung ekonomi. Pada 1998 Indonesia diterjang krisis karena masalah kredit properti yang ugal-ugalan dan berujung dengan tumbangnya perbankan nasional. Kali ini, kontributor utama krisis adalah amburadulnya kinerja lembaga keuangan nonbank (LKNB) seperti asuransi, leasing, dan perusahaan-perusahaan fintech. Hal ini diperparah lagi dengan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang superjeblok. Skandal megakorupsi Jiwasraya yang merugikan negara Rp13 triliun dan Asabri Rp10 triliun, cuma puncak gunung es belaka. Masih banyak skandal lain di lingkungan BUMN yang jumlahnya ditaksir sekitar Rp150 triliun. Mereka kini antre, bakal terkuak satu per satu. Contoh ekonomi gelembung lain yang sering dibanggakan pemerintah adalah satabilnya nilai tukar rupiah. Padahal, penguatan rupiah terjadi karena doping yang dananya berasal dari utang. Bank Indonesia (BI) rajin mengintervensi pasar agar rupiah tetap bergerak di bawah Rp14.000/U$S. Padahal salah satu biang kerok terjadinya defisit transaksi berjalan ( Current Account Deficit/CAD) adalah neraca perdagangan yang njomplang­. Nilai tukar rupiah yang kuat akan menyulitkan ekspor, karena harga komoditas di pasar internasional jadi mahal. Tapi begitulah, rezim lebih mementingkan gengsi nilai tukar rupiah macho dan stabil ketimbang memperbaiki fundamental ekonomi. Singkat kata, pembangunan kita dilakukan berbasis utang dan utang. Menjaring utang bilateral maupun dari lembaga-lembaga multilateral sudah jadi hobi Sri. Dia bahkan tidak segan-segan mengobral bunga jauh di atas Vietnam, Thailand, dan Filipina yang rating mereka lebih rendah daripada Indonesia. Begitu juga dia sibuk menerbitkan surat utang negara (SUN) berbunga supertinggi dan menyebabkan kekeringan likuiditas. Ambyar Ketergantungan yang keterlaluan terhadap utang membuat jumlahnya kian menggunung. Angkanya kini telah tembus Rp5.000 triliun. Ngeri! Pembangunan bebasis utang juga membuat ekonomi tidak bisa lebih dari 5% karena akan terjadi overheating. Kalau sudah begitu, pemerintah buru-buru menginjak pedal rem agar ekonomi tidak ‘terbakar’. Bahkan hari ini (Rabu, 5 Februari 2020) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal IV-2019 hanya 4,97%. Ambyar sudah angka keramat 5% yang selama ini mati-matian pemerintah jaga. Di sini, sekali lagi, jadi menjadi bukti betapa kemampuan para menteri ekonomi Presiden Joko Widodo benar-benar di bawah banderol. Sudah tumbuh karena gelembung dan artifisial, angkanya pun hanya berkutat di 5%. Bahkan kini lebih rendah lagi pula! Status Menkeu terbaik yang disandang Sri terbukti sekadar buah kecanggihan PR dan hadiah dari pihak-pihak yang sangat diuntungkan dengan utang berbunga supertinggi yang diterbitkannya. Sejatinya dosa rezim ini bukan hanya berbohong kepada rakyat dengan angka-angka pertumbuhan imitasi. Penguasa juga terus membebani rakyat dengan aneka pajak. Pencabutan subsidi dan belanja sosial di APBN mengakibatkan harga-harga yang melambung tinggi. Rakyat sudah berusaha mati-matian menyiasati beratnya beban hidup sambil terus menabung dan memperbanyak stok kesabaran. Namun sudah menjadi sunnatullah, ban yang terus-menerus dipompa pada akhirnya bakal meledak juga. Begawan ekonomi Rizal Ramli menyebut, tidak diperlukan kampak atau golok untuk meledakkan gelembung. Cuma dibutuhkan peniti. Perlu peniti-peniti kebenaran dan fakta real agar gelembung-gelembung itu meledak. Sampai di sini saya 100% sepakat. Yang kini dibutuhkan adalah tampilnya orang-orang baik, lurus, berakal sehat, dan paham masalah. Mereka cuma perlu terus berbunyi, menyuarakan kebenaran. Orang-orang baik ini harus menyampaikan kepada publik, bahwa telah terjadi kebohongan dan ketidakadilan yang dilakukan penguasa kepada rakyatnya sendiri. Bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Bahwa terjadi salah urus negara di tangan para pejabat publik yang khianat. Bahwa bukan saja terjadi bancakan, tapi penjarahan kekayaan negara oleh tangan-tangan kotor para penjahat melalui persekongkolan yang dibalut seabreg undang undang dan peraturan. Sayangnya, di tengah kezaliman dan ketidakadilan merajalela seperti sekarang, orang-orang baik dan pintar justru tiarap. Mereka diam seribu bahasa. Mingkem. Bisu. Orang-orang baik dan lurus itu merasa jerih dengan bermacam risiko yang belum-belum sudah bermain di khayal mereka. Intimidasi, persekusi, penjara, dan kematian adalah rangkaian ketakutan yang menari-nari dalam benak mereka. Bahwa semua itu bakal saja terjadi, mungkin saja. Inilah yang disebut sebagai risiko perjuangan. Kita tidak boleh jumawa dan sesumbar menyatakan tidak takut dengan bermacam risiko. Itu sombong. Allah tidak suka dengan orang yang sombong. Tapi kalau kita niatkan beribadah dalam menyuarakan kebenaran dan melawan kezaliman, maka Allah Yang Maha Perkasa tentu tidak tinggal diam. Dia akan ikut campur tangan, sehingga bukan mustahil perjuangan akan berujung pada kemenangan dan kemuliaan. Kalau Allah sudah menolong, siapa yang bisa mengalahkan kita? Tugas kita hanya terus berusaha, berdoa, dan bersabar serta istiqomah dalam perjuangan. Kalau pun risiko-risiko seram itu benar-benar datang, Allah pasti telah menyediakan ganjaran yang teramat besar, baik di dunia maupun akhirat. Persiapkan sebaik mungkin Dan, pada akhirnya sunnatullah pun terjadi. Ketidakadilan dan kebohongan akan membuat ban meledak. Rezim tumbang. Tapi, setelah itu apa? Kali ini kita harus cerdas dan cermat. Berbekal pengalaman 1998, ketika pak Harto jatuh, gerbong reformasi telah dibajak oleh para pencoleng yang sebelumnya ada di lingkar dalam kekuasaan. Mereka berganti casing , naik ke gerbong bahkan lokomotif reformasi. Orang-orang ini lalu berteriak paling lantang tentang reformasi dan pemberantasan korupsi. Hasilnya, kendati sudah berlalu lebih dari 20 tahun, reformasi tidak membuahkan kesejahteraan rakyat, kecuali hanya bagi segilintir elit culas dan laknat. Peran sebagai pendorong gerbong reformasi pada 1998 harus dijadikan sebagai pengalaman penting dan teramat mahal. Karenanya, para penggerak perubahan dan pejuang kebenaran harus menyiapkan segala sesuatunya pasca rezim tumbang. Tidak boleh lagi orang-orang baik dan berani itu hanya sibuk berteriak di jalanan, tanpa menyiapkan segala sesuatunya untuk menyongsong Indonesia lebih baik. Langkah penting dan awal yang harus disiapkan adalah pemilihan presiden ulang. Kali ini Pilpres harus benar-benar steril dari campur tangan, apalagi dominasi partai. Pasalnya, di tangan para oportunis, partai justru menjadi bagian dan sumber masalah. Korupsi gila-gilaan banyak dilakukan orang partai, baik yang ada di DPR/DPRD maupun di kursi-kursi eksekutif, bahkan yudikatif! Buang jauh-jauh mantra presidential threshold (PT). PT terbukti telah menjadi pintu gerbang masuk dan langgengnya kekuasaan oligarkis. Biarkan semua putra terbaik bangsa mengajukan dirinya sebagai calon pemimpin. Jangan takut kalau nanti akan muncul banyak Capres. Silakan saja. Toh pada akhirnya rakyat yang akan menentukan siapa yang terbaik sebagai pemimpin bangsa pada putaran kedua. Pilpres yang steril dari hegemoni oligarki akan melahirkan pemimpin yang mumpuni. Pemimpin yang berani, punya kapasitas, kapabililtas, dan berintegritas. Pada akhirnya, Indonesia akan lahir sebagai negara berdaulat, maju, dan rakyatnya sejahtera. Dan, yang lebih penting daripada semua itu, rahmat dan berkah Allah akan melimpahi negeri. Semoga. Aamiin. [*] Jakarta, 5 Februari 2020 Edy Mulyadi, wartawan senior

“Salah Kaprah” Bila Polda Jatim Salahkan Member MeMiles

By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Mengejutkan, itulah kata yang tepat digunakan untuk menggambarkan sikap orang-orang yang menamakan dirinya sebagai member menghadapi kasus MeMiles. Tidak sembunyi-sembunyi seperti halnya Harun Masiku, tersangka dalam kasus suap terhadap seorang Komisioner KPU. Mereka member MeMiles, tentu saja tak semuanya, malah mendatangi Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur (Jatim). Mereka, seperti yang dilansir CNNIndonesia, memprotes tindakan penyidikan yang dilakukan penyidik Kriminal Khusus (Krimsus) Polda Jatim atas kasus MeMiles. Sedikitnya 25 member MeMiles asal DKI dan bekasi mendatangi Markas Polda Jatim. Mereka perotes langkah Kepolisian Daerah Polda Jatim yang membekukan aplikasi investasi Milik PT Kam and Kam tersebut. Iksan (38) salah seorang member MeMiles, mengatakan kedatangannya sebagai bentuk keprihatinan atas penahanan pendiri MeMiles yang juga Direktur PT and Kam, Kamal Trachan (47). Iksan berharap Polisi menghentikan penyidikan dan meminta akses Memiles kembali dibuka. Menurutnya, polisi seharusnya menindak oknum atau orang yang memang bersalah. Jangan malah membekukan aplikasinya. Dalam penyidikan kasus ini, penyidik telah menyita 18 unit mobil, dua sepeda motor, puluhan barang elektronik dan beberapa asset berharga lainnya (CNNIndonesia, 15/1/2020). MeMiles mengaku memadukan tiga jenis bisnis. Menurut laman resmi mereka, yaitu advertising, market place dan traveling. Mereka “menjual” (tanda petik dari saya) slot kepada pengguna aplikasi dengan cara melakukan top up mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu. Dalam praktiknya bukan slot iklan yang membuat member tergiur. Melainkan iming-iming bonus dari top up tersebut. Mulai dari ponsel, motor, hingga mobil. Angkanya bisa berkali-kali lipat dari jumlah setoran, dan sangat tidak masuk akal (Tirto. Co.id, 16 Januari 2020). Titian Terjal Menariknya menurut Ashary, Wakil Ketua Komunitas Member MeMiles (KMM) merupakan aplikasi periklanan yang manarik uang dengan batas waktu tertentu. Berkat pemasangan iklan melalui aplikasi tersebut, pihaknya merasa diuntungkan, lantaran memancing pelanggan membeli produknya. MeMiles, kata Ashary selanjutnya, adalah aplikasi periklanan untuk bisa pasang iklan dengan cara beli slot iklan dengan batas waktu tertentu. Jika tidak menggunakan slot iklannya bisa hangus. Intan Kemala, Ketua Komunitas Member (KKM), dengan nada yang sama, disisi lain menyatakan selama ini pihaknya tidak merasa dirugikan dengan aplikasi MeMiles. Dirinya dan puluhan ribuan anggota lain, justru mendapat reward atau hadiah dari MeMiles. Kami ini bukan korban. Kami justru malah diuntungkan. Makanya kami butuh Memiles diaktifkan lagi (Jawa Pos.com, 11/1/2020). Kenyataan yang disodorkan Anshary dan Intan di atas menjadi alasan yang menghalangi jalan menuju tuduhan investasi bodong, atau investasi tipu-tipu. Beralasan yang sangat jelas dan jelas. Sayangnya, dalam kenyataan penyidik Krimsus Polda Jatim menembakan pasal 24 jo pasal 106 dan atau pasal 9 jo pasal 105 UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) jo pasal 6 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan muncul sebagai peluru cadangan. Peluru pertama mengatur perdagangan tanpa izin. Ini berbeda jauh dengan peluru kedua. Sebab peluru kedua mengatur perdagangan dengan “skema piramida ponzi.” Tetapi kedua peluru ini, dengan semua argumen hukum yang tersedia memiliki kesamaan elementer, disamping satu perbedaan yang juga elementer. Perihal peluru perbankan, mustahil bisa berfungsi. Peluru pertama dan kedua sama-sama menempatkan “pelaku usaha” sebagai sasaran tembakan. Hanya itu. Tidak lebih dari itu. Tetapi peluru pertama menempatkan syarat “izin usaha.” Peluru kedua menempatkan syarat “skema piramida.” Pada titik ini, penyidik dipaksa memasuki ruang interpretasi, siapakah yang memenuhi kualifikasi sebagai pelaku usaha? Pemilik perusahaan dan menejemen? Member MeMiles juga? Jumlah member sebanyak kurang lebih 270-an ribu atau berapapun itu, jelas bukan masalah. Masalahnya terletak pada “member” dalam kenyataannya “membeli” slot iklan. Slot disediakan oleh PT Kam and Kam. Itu masalahnya. Pembeli mau dikualifikasi sama dengan pelaku usaha? Bila ya, dimanakah letak kesamaannya? Masalahnya sebab dan substansi antara pengusaha dengan pembeli? Membeli slot iklan. Lalu pembeli mengiklankan barang milik pembeli pada slot itu, dan barang yang diiklankan itu dibeli orang. Siapapun mereka itu, mau dikonstruksi sebagai sebab atau keadaan hukum yang mengubah status hukum pembeli menjadi pengusaha? Penjelasan pasal 9 mengenai “skema piramida” dimaksudkan sebagai usaha bukan dari hasil kegiatan penjualan barang. Kegiatan usaha itu memanfaatkan peluang keikutsertaan mitra usaha untuk memperoleh imbalan atau pendapatan, terutama dari biaya partisipasi orang lain yang bergabung kemudian atau setelah bergabungnya mitra usaha tersebut. Kombinasi unsur normatif pasal 9 dan penjelasannya, membawa siapapun pada satu titik. Titik itu adalah kedua pasal yang digunakan penyidik secara exprecis verbis menempatkan pengusaha, bukan pembeli-member- sebagai subyek. Orang yang bertanggung jawab. Pembelian adalah tindakan hukum perdata. Ketika barang atau jasa yang dibeli telah diserahkan, maka berakhirlah hubungan perdata antar pembeli dan penjual. Dalam hal terdapat cacat tersembunyi pada barang atau jasa yang dibeli, maka soalnya bergeser ke pidana. Bila penjualnya menolak bertanggung jawab atas cacat tersembunyi pada barang yang dijual itu, maka soalnya menajdi pidana. Siapa yang bertanggung jawab? Pasti Penjual. Bukan pembeli atau member MeMiles. Dititik ini muncul masalah lain. Masalahnya terpusat pada tindakan penyitaan terhadap mobil, dan barang lainnya dari member yang top up. Apakah hadiah top up itu beralasan disita penyidik Krimsus Polda Jatim? Bila ya, soal berikut yang muncul adalah apakah umroh juga bisa disita? Andai mobil hadiah itu dikonstruksi sebagai bukti-fakta adanya usaha MeMiles, yang saat ini dinyatakan illegal, maka harus diakui dengan tindakan itu memiliki alasan hukum? Sebatas itukah. Tak lebih dari itu? Mengapa member-member itu, sejauh ini, terlihat tidak tahu bahwa MeMiles merupakan usaha illegal. Ketidaktahuan itu menjadi alasan hukum hilangnya tanggung jawab hukum mereka. Tetapi bila mobil, hand phone dan lainnya tetap dikualifikasi barang illegal, karena usaha MeMiles dianggap illegal, sehingga top up dengan sendirinya juga illegal. Masalahnya apa pada kualifikasi hukum atas uang member yang top up itu? Illegal jugakah? Bila dinyatakan illegal, apa konstruksi hukumnya? Hukum positif tak cukup tersedia untuk diandalkan. Menariknya aplikasi MeMiles tidak disita. Dirkrimsus Polda Jatim cukup tegas dalam soal ini. Kita, kata Dirkrimsus Polda Jatim, nda menutup. Kita melakukan penyidikan, dia enggak bayar (server) ya matilah berarti. Kalau mau jalan terus, jalan terus aja, kalau bayar. Tetapi saya enggak menutup, saya memblokir rekening PT Kam and Kam (CNNIndonesia, 15/1/2020). Mengapa MeMiles tidak disita penyidik? Apa yang menghalangi penyidik menyita Memiles? Bukankah aplikasi MeMiles itulah yang memicu masalah ini? Bukan MeMiles yang menjadi bagian integral dari barang bukti? Itu satu soal. Soal kedua, uang yang disita. Soalnya apakah uang yang disita dari bank atau disita dirumah atau dikantor PT Kam and Kam? Andai disita di bank, maka tindakan penyitaan yang disediakan KUHAP adalah tidak lebih dari memblokir rekening. Memblokir rekening adalah kerangka kerja KUHAP untuk penyitaan barang bukti yang tersimpan pada rekening Bank. Tidak lebih dari itu. Menariknya lagi, uang yang disita itu diperlihatkan kepada publik. Jumlahnya sangat banyak. Apapun itu, sekali lagi, lebel penipuan terlihat tak lagi tepat disandangkan pada MeMiles. Ini nalar dari pasal yang diterapkan penyidik. Berusaha tanpa izin dan skema piramida ponzi bukan penipuan. Apalagi tak ada yang merasa dirugikan, atau tertipu. Bakal tertipu itu, pasti tidak sama dengan tertipu. Nuasa ponzi yang menggila mengiringi kasus ini dalam nada “berpotensi penipuan” sungguh jauh dari yang dapat dibayangkan. Potensi penipuan pasti bukanlah penipuan menurut bahasa hukum. Usaha tanpa izin, untuk alasan hukum, pasti juga tak dapat dianalogikan dengan penipuan. Berada di titian terjal terlihat sedang melilit gerak penuntasan kasus ini. Beberapa dimensi elementernya memiliki daya mengelincirkan. Dimensi status uang member, salah satunya, bisa menggelincirkan. Tetapi apapun itu, klaim ilmu hukum mencegah munculnya tesis titian terjal itu meliputi dan mencakup member. (Bersambung) Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Di Bawah Bayang-Bayang Chaos, Selanjutnya Apa?

Oleh Edy Mulyadi Jakarta, FNN - Pemerintah tengah memompa ban atau meniup balon. Terus dan terus. Dan, sesuai sunnatullah, balon yang terus ditiup atau ban yang terus-menerus dipompa, pada akhirnya bakal meledak. Begitulah yang terjadi selama lebih lima tahun terakhir. Rezim yang berkuasa terus-menerus membebani rakyat dengan aneka tarif dan harga yang mahal. Tarif dasar listrik (TDL) naik awal tahun ini. Hal serupa juga terjadi pada tarif premi (pemerintah ngotot menyebutnya iuran) BPJS Kesehatan naik untuk semua kelas. Padahal, penguasa sudah sepakat dengan DPR bahwa yang naik hanya untuk premi kelas 1 dan 2. Tapi begitulah kekuasaan yang dibangun dengan kebohongan dan kecurangan. Kalau kesepakatan dengan DPR, sebuah lembaga terhormat yang tercantum dalam konstitusi saja bisa pemerintah ingkari, tentu bukan hal aneh jika penguasa dengan gampang menyengsarakan rakyatnya sendiri. Zalim dan tidak adil Kezaliman dan ketidakadilan penguasa terhadap rakyatnya sendiri juga tampak jelas dari kebijakan dan struktur APBN. Di sini, berbagai alokasi anggaran belanja sosial terus dipangkas. Subsidi energi termasuk listrik dan BBM dibabat hingga ke titik nol. Rakyat dan kalangan UMKM dihisap habis-habisan lewat pajak yang digenjot gila-gilaan. Khusus untuk penerimaan pajak, pemerintah benar-benar ambyar. Realisasi penerimaan pajak 2019 yang hanya sekitar 84,4%, menunjukkan jebloknya kinerja Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan. Bahkan selama perempuan pejuang neolib ini menjadi Bendahara Negara, rasio pajak Indonesia menyentuh titik terendah. Berdasarkan data Ditjen Pajak, pada 2018 rasio pajaknya 11,5%, 2017 sebesar 10,7%, dan 10,8% pada 2016. Sedangkan tahun 2015 dan 2014 masing-masing 11,6% dan 13,7%. Angka-angka rasio pajak ini sudah memperhitungkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang bersumber dari sektor sumber daya alam (SDA) dan mineral dan batu bara (Minerba). Jika rasionya hanya dihitung berdasarkan penerimaan yang dipungut Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai, dipastikan angkanya lebih rendah lagi. Di sisi lain, sebagai hamba mazhab Neolib yang memegang teguh prinsip creditors first, Sri sangat disiplin dalam membayar cicilan dan bunga utang. Tahun ini, APBN menganggarkan pembayaran bunga utang 2020 mencapai Rp295 triliun. Jumlah itu ditambah dengan pembayaran pokok utang Rp351 trilliun. Dengan demikian, total alokasi anggaran pembayaran pokok dan bunga utang mencapai Rp646 triliun. Tingginya pembayaran cicilan pokok dan bunga utang ini disebabkan syahwat Sri dalam menjaring utang terbilang ugal-ugalan. Utang Indonesia setiap tahun bertumbuh rata-rata 20%. Padahal pertumbuhan PDB rata-rata cuma 5%. Ini artinya, utang kita naik 4 kali lebih cepat daripada pertumbuhan PDB. Di tataran kehidupan sehari-hari, pemangkasan aneka subsidi dan penggenjotan pajak yang gila-gilaan telah menyebabkan naiknya aneka harga kebutuhan pokok. Akibatnya, beban rakyat kian berat saja. Pada saat yang sama, pemerintah makin menunjukkan ketidakadilan yang luar biasa. Yang teranyar, misalnya, pemerintah memberikan tax holiday alias pembebasan pajak kepada pengusaha Prajogo Pangestu atas pabrik petrokimia yang bakal dia bangun. Tidak tanggung-tanggung, _tax holiday_ itu berlaku selama 20 tahun. Awal 2018 silam, pemerintah juga menggerojok lima perusahaan kelapa sawit besar senilai Rp7,5 triliiun. Kepada rakyat kecil dan UMKM pemerintah begitu bengis dalam memajak, sebaliknya bagi pengusaha besar penguasa cenderung memanjakan bahkan terkesan bertekuk-lutut. Kemarahan rakyat juga kian dipicu dengan parade mega korupsi yang satu per satu terkuak ke publik. Skandal mega korupsi Jiwasraya Rp13 triliun dan Asabri yang sekitar Rp10 triliun, menambah panjang daftar keserakahan elit ekonomi dan politik negeri ini. Konon, sebentar lagi juga bakal meledak kasus Bumiputra dan sejumlah BUMN lain. Belum lagi kasus kondensat yang merugikan negara hingga Rp35 triliun yang sampai kini tidak mangkrak dan tidak jelas penyelesaiannya. Seperti disebut di bagian depan tulisan ini, dengan berabagai ketidakadilan dan skandal mega korupsi tersebut, pemerintah ibarat tengah memompa ban. Terus dan terus. Pada akhirnya, ban akan meledak. Kemarahan rakyat pun bakal tak terbendung. Beratnya beban ekonomi yang harus ditanggung dan ketidakadilan yang secara telanjang dipertontonkan penguasa, bukan mustahil akan berujung pada terjadinya kerusuhan sosial. _Chaos_ bahkan revolusikah? Mungkin saja. Jika kerusuhan sosial bakal revolusi benar-benar meledak, sanggupkah rezim ini mempertahankan kekuasaan? Sejarah membuktikan, tidak ada satu pun kekuasaan zalim yang mampu bertahan dari gelombang kemarahan rakyat! Begitu pun di Indonesia. Bukan mustahil ‘ramalan’ Rocky Gerung, bahwa Joko Widodo bakal tumbang sebelum 2024 menjadi kenyataan. Pilpres ulang Pertanyaannya kemudian, jika rezim ini benar-benar tumbang sebelum 2020, apa yang selanjutnya terjadi? Dalam konstitusi dikenal istilah Triumvirat yang diatur di dalam Pasal 8 ayat (3). Pasal itu berunyi: “ _Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak melakukan kewajiban dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama_.” Jika Presiden dan Wapres secara bersamaan tidak berfungsi, maka Triumvirat menjadi pelaksana tugas kepresidenenan. Namun, dengan seabrek fakta yang terjadi, presiden dan kabinetnya ternyata selama ini justru menjadi sumber masalah. Kinerja mereka yang diberi amanat mengurus negeri dan menyejahterakan rakyat jauh di bawah banderol. Di tangan mereka, rakyat justru kian menderita dan merasakan ketidakadilan yang tak terperi. Menyerahkan kekuasaan kepada DPR adalah tindak kedunguan luar biasa. Orang-orang di Senayan itu sama sekali tidak memiliki legitimasi moral. Integritas mereka sudah lama tercampak ke comberan. Indikatornya gampang saja, pada periode silam lebih dari 300 anggota DPR yang berurusan dengan kasus korupsi. Jadi, bagaimana? Harus ada Pilpres ulang. Agar kredibel, kali ini buang jauh-jauh aturan _presidential threshold_ (PT). Di tangan hegemoni oligarki yang menguasai parlemen seperti selama ini, PT telah menjadi alat melanggengkan kekuasaan korup dan menindas. Lewat aturan ini mereka telah menyingkirkan putra-putra terbaik bangsa untuk tampil memimpin negeri. Presdiential threshold juga menjadi senjata ampuh melahirkan presiden yang sama sekali tak memiliki kapasitas dan kapabilitas. Tujuannya, agar presiden terpilih tetap bisa menjadi boneka yang patuh untuk mengamankan kepentingan bisnis dan politik para oligarki. Karenanya, pemilihan presiden pasca _chaos_ harus membuka kesempatan seluas-luasnya bagi para putra terbaik bangsa, tak peduli berapa pun jumlah calon yang muncul. Bahkan, katakanlah, akan mucul 100 Capres, tetap tidak masalah. Toh, nanti rakyat yang akan menentukan. Pada putaran kedua akan terpilih calon yang benar-benar mumpuni, berintegritas serta punya kapasitas dan kapabilitas sebagai pemimpin negara besar. Bukan seperti sekarang, planga-plongo dengan kapasitas dan kapabilitas jauh di bawah kebutuhan. [*] Jakarta, 4 Februari 2020 Penulis wartawan senior

Organisasi Pengusaha Pintu Masuk ke Dunia Politik (bag 2-habis)

Oleh : Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Di Indonesia, para pengusaha pribumi yang terjun ke arena politik umumnya memulai karirnya melalui jalur organisasi pengusaha seperti misalnya Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) atau Kadin Indonesia. Itu yang dilakukan Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Sandiaga Uno, MS. Hidayat serta pengusaha senior Abdul Latif dan Siswono Yudhohusodo di era Orde Baru. Hanya saja pengalaman berorganisasi Jusuf Kala lebih lengkap dibandingkan pengusaha lainnya. Sebelum aktif di organisasi pengusaha, Daeng Ucu panggilan akrab Jusuf Kalla sejak mahasiswa telah aktif berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bahkan setelah tidak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden, Jusuf Kalla hingga kini masih menjadi Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) yang dijabatnya sejak 2009. Keberhasilan seorang pengusaha dalam memimpin perusahaan, tidak otomatis sukses dan berhasil ketika dia terjun ke dunia politik. Walaupun di dunia politik Aburizal Bakrie berhasil menapaki kursi menteri dan Ketua Umum Partai Golkar, namun nampaknya dia tidak berhasil mempertahankan kredibilitas dan nama baiknya seperti halnya ketika dia masih menjadi seorang pengusaha. Justru setelah Ical masuk ke dunia politik praktis, kinerja dan reputasi Kelompok Usaha Bakrie semakin redup bahkan merosot. Setelah terjun ke dunia politik, Aburizal Bakrie malah menjadi figur yang kontroversial karena dianggap bertanggung jawab atas berbagai peristiwa yang menimpa perusahaannya. Misalnya seperti kasus semburan lumpur Sidoarjo di Jawa Timur. Perusahaannya juga terlibat dalam kasus tender operator Sambungan Langsung Internasional (SLI), tunggakan royalti batu bara, dan kasus pajak Bumi. Menjelang HUT ke-78 Grup Bakrie pada 10 Februari 2020, saya iseng bertanya kepada sahabat saya yang bekerja di perusahaan tersebut. "Mas, ada acara khusus nggak menjelang HUT Bakrie tahun ini?," tanya saya. Lalu sahabat saya segera menjawab melalui WA: "Sementara ini ngga ada acara besar Kang. Maklum kondisi keuangan belum sehat he...he...". Seperti halnya siklus bisnis yang naik turun, sebuah perusahaan pun bisa mengalami pasang surut tergantung situasi dan perkembangan ekonomi nasional maupun global. Namun tidak sedikit perusahaan yang bisa bertahan di tengah krisis ekonomi. Bahkan ada beberapa perusahaan yang mampu melakukan ekspansi usaha justru di saat ekonomi sedang lesu. Aburizal Bakrie adalah anak sulung dari empat bersaudara dari pasangan orangtua Achmad Bakrie (Lampung) dan Roosniah Nasution (Medan). Boleh dibilang ketika Ical lahir dari perut ibunya pada 15 November 1946, dia sudah hidup enak dan nyaman sebagai anak orang kaya. Ketika Ical lahir, perusahaan Bakrie & Brothers yang didirikan orangtuanya juga baru berumur empat tahun. Kendati demikian, ibaratnya Ical sudah menggunakan sendok dan garpu terbuat dari bahan emas untuk makan minum. Inilah yang membedakan perjuangan orangtua yang menjadi pengusaha dengan anaknya yang mewarisi perusahaan keluarganya. Perjuangan Achmad Bakrie ketika merintis usaha dan mendirikan perusahaan Bakrie & Brothers, niscaya berbeda dengan upaya Ical ketika meneruskan perusahaan keluarganya. Setiap zaman memang melahirkan generasinya sendiri-sendiri dengan karakter yang berbeda satu dengan yang lainnya. Sebelum dikenal sebagai pengusaha besar, Achmad Bakrie ternyata mengawali bisnis pertamanya dengan berjualan roti. Meski demikian, langkah awal pada usahanya itu justru menjadi tonggak sejarah penting bagi kesuksesannya di masa depan. Achmad Bakrie tidak hanya lihai dalam berbisnis, dia juga dikenal jenius karena kejeliannya melihat dan memanfaatkan peluang usaha yang ada. Sesuatu yang besar, dimulai dari hal yang kecil. Pepatah klasik ini telah diterapkan oleh Achmad Bakrie muda. Sembari mengenyam pendidikan di sekolah elit pribumi Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Menggala, Lampung, dia menyempatkan waktu untuk berjualan roti. Dengan modal beberapa rupiah di saku bajunya, Achmad Bakrie muda membeli setumpuk roti yang ditumpangkannya ke sebuah truk untuk dijual. Makanan itu ditawarkan ke Telukbetung, distrik perniagaan di selatan kota Bandar Lampung. Setelah lulus dan mengantongi ijazah dari HIS, Achmad Bakrie kemudian bekerja pada Kantor Kontrolir Lampung Tengah di Sukadana. Tak lama kemudian, dia pindah ke NV Van Gorkom, sebuah perusahaan Swasta Belanda di Bandar Lampung. Dua tahun berkarir di perusahaan tersebut, Achmad Bakrie telah mendapatkan banyak ilmu penting terutama tentang organisasi modern. Kemudian dia melanjutkan pendidikan ke Handelsinstituut Schoevers di Jakarta. Setelah belajar di Ibukota Jakarta, Achmad Bakrie kemudian bekerja di apotek Zuid Sumatera Apotheek di Telukbetung. Hingga pada masa itu, kedatangan penjajah Jepang membawa berkah bagi dirinya. Di era penjajahan Jepang di Indonesia, justru banyak membantu kelancaran usaha Achmad Bakrie. Setelah apotek dimana dia bekerja bangkrut, obat yang tersisa di apotik tersebut dibeli olehnya. Beberapa waktu kemudian saat harga kebutuhan medis naik, Achmad Bakrie menjualnya kembali. Kemudian uang hasil berdagang obat itulah yang menjadi modal awal usahanya. Pada 10 Februari 1942, Achmad Bakrie sukses merambah bisnis jual-beli kopi, lada, tepung singkong, dan hasil bumi lain. Inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Bakrie & Brother General Merchant And Commission Agent di Telukbetung. Pada tahun 1952, NV Bakrie & Brother masih digunakan sebagai simbol bisnis. Namun pada dekade 1970-an, NV berubah status menjadi sebuah Perseroan Terbatas (PT). Aburizal Bakrie sebagai anak tertua, ikut terjun mengelola bisnis milik sang ayah. Seiring dengan berjalannya waktu, kelompok usaha Bakrie pun mengalami pertumbuhan pesat hingga menjadi beberapa perusahaan. Seperti PT Bumi Resources Tbk, PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk,masing-masing di bidang pengolahan sumber daya alam, PT Bakrie & Brothers Tbk sebagai induk usaha (holding), VIVA dan MDIA sebagai perusahaan media dan PT Bakrieland Development, anak perusahaan yang bergerak di bidang properti. Semua usaha tersebut, sempat meraup pendapatan sebesar Rp 11,95 Triliun. Dari berjualan roti, Achmad Bakrie sukses mengembangkan bisnisnya hingga bernilai triliunan rupiah di masa depan. Berkat kecerdikan dan keahliannya melihat situasi, dia berhasil menjadi pengusaha besar di Indonesia. Memang, segala sesuatu yang besar, pasti dimulai dari yang kecil. Achmad Bakrie lahir di Kalianda, Lampung Selatan 11 Januari 1914. Beliau meninggal dalam usia 83 tahun, tepatnya tanggal 15 Desember 1997, di Tokyo, Jepang. Achmad Bakrie meninggal saat Indonesia dilanda krisis moneter dan krisis ekonomi. Berbeda dengan cerita perjalanan hidup orangtuanya yang penuh perjuangan, Aburizal Bakrie sebagai anak tertua dari keluarga Achmad Bakrie hidup nyaman dan mendapat pendidikan terbaik. Setelah menyelesaikan kuliah di Fakultas Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1973, Ical memilih fokus mengembangkan perusahaan keluarga, dan terakhir sebelum menjadi anggota kabinet, ia memimpin Kelompok Usaha Bakrie dari tahun 1992 hingga 2004. Dengan demikian, Ical praktis memimpin perusahaan keluarganya hanya dalam waktu 12 tahun saja. Sekarang tampuk pimpinan perusahaan dikelola oleh dua adik kandung Ical yakni Nirwan D. Bakrie dan Indra Usmansyah Bakrie. Saat ini Bakrie Group dipimpin oleh Nirwan Abkrie sebagai Chairman dan Indra U. Bakrie sebagai Co-Chairman. Berbeda dengan Ical, kedua adiknya itu jarang tampil di media. Ketika saya masih aktif sebagai wartawan ekonomi pada tahun 1990-an, kinerja kelompok usaha Bakrie sedang berjaya. Ketika itu, Bakrie Group sedang melakukan transformasi dari manajemen keluarga (family business) ke manajemen modern dan lebih mengedepankan aspek profesionalisme. Waktu itu perusahaan ini sengaja merekrut tenaga profesional papan atas yakni Tanri Abeng, dimana kala itu beliau dikenal sebagai "Manajer Satu Milyar". Di internal keluarga Bakrie waktu itu, tidak mudah melakukan transformasi perusahaan. Dalam kultur perusahaan keluarga, semua pegawai Bakrie Grup adalah juga bagian dari keluarga Bakrie. Pernah suatu waktu Tanri Abeng tidak hadir dalam acara ulang tahun Ny Roosniah Nasution, ibunda Aburizal Bakrie. Kemudian Ibu Roosniah pun mempertanyakan ketidakhadiran Tanri Abeng tersebut kepada Ical. Lalu Ical menjelaskan kepada ibunya bahwa perayaan ulang tahun ini merupakan acara keluarga, bukan acara perusahaan sehingga Tanri Abeng tidak perlu datang. Aburizal Bakrie termasuk salah satu pengusaha pribumi yang dibesarkan Pemerintah Orde Baru melalui kebijakan Ginandjar Kartasasmita yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Dalam Negeri (UP3DN) pada periode 1983-1988 dan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 1985-1988. Selain Ical, pengusaha pribumi yang besar karena fasilitas pemerintah diantaranya Arifin Panigoro (Grup Medco), dan Fadel Muhammad (Bukaka Grup). Pada periode itu, Ginandjar tak ragu mamasukkan pengusaha pribumi dalam berbagai proyek pemerintah. Para pengusaha pribumi tersebut sering pula dijuki sebagai “The Jhony Boy”. Pengusaha pribumi lainnya yang juga pernah dibesarkan melalui pemberian fasilitas dari pemerintah Orde Baru adalah Fahmi Idris, Abdul Latief, Pontjo Sutowo, dan Soegeng Sarjadi. Kelompok Usaha Bakrie di usianya ke 78 bukan hanya milik keluarga Bakrie tetapi juga merupakan tempat bekerja para tenaga profesional dan karyawan Bakrie yang kini mencapai sekitar 70.000 orang. Saat ini generasi ketiga keluarga Bakrie juga sudah ikut terlibat menangani jalannya perusahaan. Kedua anak Aburizal Bakrie yakni Anindya Bakrie dan Ardiansyah Bakrie sudah diberi tanggung jawab untuk mengelola perusahaan. Anindya Bakrie (46) saat ini menjabat sebagai Direktur Bakrie Group. Dia juga merupakan pendiri sekaligus CEO dari Visi Media Asia (VIVA) Group yang mengelola stasiun televisi TvOne dan ANTV, serta portal berita VIVA.co.id. Di samping mengurus perusahaan, Anin panggilan Anindya Bakrie juga aktif di organisasi pengusaha sebagai Wakil Ketua Kadin Indonesia. Sementara putra bungsi Ical yakni Ardiansyah Bakrie (40), dipercaya sebagai Presiden Direktur TvOne sejak tahun 2007 sampai sekarang. Akankah Kelompok Usaha Bakrie ini bisa terus maju dan berkembang hingga usia 100 tahun atau lebih ? Hal itu sangat ditentukan oleh proses regenerasi pimpinan perusahaan pribumi ini. Jika pimpinan dan pengelola Bakrie Group fokus menjalankan perusahaan, niscaya bisa tumbuh berkembang sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman. Sebaliknya jika keluarga besar Bakrie generasi pewaris perusahaan tergiur lagi dengan dunia politik praktis, jangan berharap reputasi perusahaan ini bisa moncer seperti ketika masih dikelola oleh Achmad Bakrie dulu. Semoga. Penulis wartawan senior.

Grup Bakrie di Tengah Redupnya Pengusaha Pribumi (bag 1)

Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Pada tahun 1990-an, Grup Bakrie merupakan salah satu perusahaan milik pribumi yang sedang melesat bagaikan meteor. Kinerja perusahaan yang didirikan Achmad Bakrie tanggal 10 Februari 1942 itu, memang menimbulkan decak kagum banyak kalangan sehinga wajar kalau waktu itu banyak orang yang berebut untuk memiliki saham perusahaan-perusahaan milik Bakrie&Brothers melalui pasar modal. Aburizal Bakrie atau biasa dipanggil Ical, sebagai generasi kedua penerus perusahaan merupakan figur yang merepresentasikan sosok pengusaha pribumi sekaligus sebagai nakhoda Bakrie & Brothers. Sehingga tidak heran kalau sejumlah pengusaha non pribumi merasa gelisah melihat perkembangan usaha Grup Bakrie, mereka juga khawatir menyaksikan sepak terjang Ical waktu itu. Maka kemudian pada tahun 1994, para konglomerat non pribumi tersebut melakukan manuver politik. Mereka menekan Presiden Soeharto agar Aburizal Bakrie tidak terpilih kembali menjadi Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Gerakan ini benar benar secara politis didorong oleh motivasi untuk menggusur para pengusaha pribumi dari pucuk pimpinan KADIN. Buktinya, Liem Sioe Liong dan Bob Hasan, yang sebenarnya juga pengusaha yang dibesarkan Soeharto, ikut-ikutan menekan Soeharto agar Aburizal Bakrie disingkirkan dari kepemimpinan KADIN. Untunglah, pada waktu itu para pengusaha pribumi yang dekat dengan Soeharto seperti Sukamdani Sahid Gitosarjono dan kerabat dekat Soeharto, pengusaha Probosutejo (Ketua Umum HIPPI), secara solid membela Aburizal Bakrie agar tetap memimpin KADIN untuk kedua kalinya. Namun tiga tahun kemudian atau tepatnya pada pertengahan tahun 1997, para pengusaha nasional termasuk Ical diterpa krisis moneter yang kemudian meluas menjadi krisis multidimensi yang akhirnya membawa pada proses kejatuhan rezim Orde Baru dibawah Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998. Ketika itu banyak perusahaan yang bangkrut dan gelombang PHK terjadi di mana-mana.Kebangkrutan perusahaan nasional waktu itu antara lain karena banyak perusahaan yang mengalami krisis likuiditas dan utang yang menumpuk termasuk Grup Bakrie. Bahkan akibat krisis keuangan yang dahsyat waktu itu, Ical mengibaratkan dirinya hanya tinggal memiliki “celana kolor”. Hampir semua aset perusahaan Grup Bakrie diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), lembaga khusus yang dibentuk untuk merestrukturisasi perbankan dan perusahaan-perusahaan nasional. Lembaga ini dibentuk tahun 1999 saat Presiden RI dijabat oleh Prof Dr. BJ Habibie. Krisis moneter merupakan hantaman terberat sekaligus pelajaran berharga bagi para pengusaha nasional. Waktu itu banyak perusahaan yang collapse karena struktur usahanya memang rapuh. Usaha dan bisnis mereka banyak yang didirikan hanya dengan modal utang saja. Celakanya, utang perusahaan nasional waktu itu bukan hanya bersumber dari perbankan domestik tetapi juga dari lembaga keuangan dan perbankan internasional. Kendati demikian, periode krisis tersebut berhasil dilalui perusahaan besar. Setelah direstrukturisasi BPPN, secara bertahap sejumlah perbankan dan perusahaan nasional mulai bangkit kembali tidak terkecuali perusahaan milik Kelompok Usaha Bakrie. Secara perlahan sejumlah perusahaan di dalam negeri mulai recovery dan kegiatan ekonomi dan bisnis berjalan kembali dengan normal sehingga perekonomian nasional bisa bertumbuh positif setelah sebelumnya mengalami konstraksi atau bertumbuh secara negatif. Menurut daftar yang dirilis Majalah Forbes pada tahun 2007, Bakrie adalah orang terkaya di Indonesia. Bahkan menurut majalah Globe Asia tahun 2008, Bakrie adalah orang terkaya di Asia Tenggara. Namun, krisis keuangan global yang terjadi tahun 2008, telah menjatuhkan peringkat Ical sebagai predikat orang kaya. Dan pada tahun 2012, Ical pun tidak lagi bertengger di daftar orang terkaya di Indonesia. Pada krisis ekonomi tahun 1998, Grup Bakrie berhasil lolos dan bangkit dari keterpurukan. Namun rupanya, pada krisis keuangan global tahun 2008, perusahaan ini tidak bisa melakukan recovery dengan cepat seperti halnya pasca krisis ekonomi tahun 1998. Ketika melakukan kilas balik ke belakang sambil mengingat interaksi saya sebagai wartawan dengan Kelompok Usaha Bakrie , ternyata pada tahun 1998 Aburizal Bakrie selain merasakan langsung dampak krisis ekonmi dia juga waktu itu ikut terlibat langsung dalam proses restrukturisasi dan penyelesaian utang perusahaan. Situasi tersebut berbeda dengan saat krisis keuangan global tahun 2008 dimana kala itu Ical tidak lagi in charge langsung menangani kesulitan yang dialami perusahannya karena sejak tahun 2004 ayah dari Anindya Bakrie, Ditha Bakrie dan Ardi Bakrie ini, telah memutuskan untuk mengakhiri kariernya di dunia usaha. Dia lebih tergiur dan terpincut dengan dunia politik praktis, lalu Ical pun masuk ke jajaran Kabinet Indonesia Bersatu sebagai Menko Bidang Perekonomian pada tahun 2004 bersamaan dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI ke-6. Setahun kemudian, Ical posisinya bergeser menjadi Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat. Karir politik Ical terus meroket setelah dia terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar tahun 2009, menggantikan Jusuf Kalla. Waktu dan energi Ical pun betul-betul tercurah sepenuhnya untuk mengurus partai. Lalu pada tahun 2012, dia ditetapkan sebagai calon presiden Partai Golkar pada Pemilu Presiden Indonesia tahun 2014. Sebenarnya sejak tahun 2004, sosok Ical sudah berubah dari semula sebagai pengusaha menjadi politisi atau penguasa. Sejak itu Aburizal Bakrie sudah menyatakan secara resmi mengundurkan diri dari dunia usaha. Dan khalayak umum pun menyematkan sebutan padanya sebagai pengusaha-penguasa atau Pengpeng. Adakah yang salah dengan pilihan Ical ? Tentu tidak !. Namun yang jelas, dunia usaha dan bisnis sangat berbeda jauh dengan dunia politik praktis. Salah satu perbedaan menonjol antara seorang pengusaha dan politisi adalah soal reputasi. Di dunia bisnis, reputasi dan kredibilitas seorang pengusaha merupakan modal utama dalam memperluas jejaring usaha dan bekal penting dalam berinteraksi dengan mitra usaha. Sebalikya di dunia politik praktis, reputasi seorang politisi sangat dipengaruhi oleh kepentingan kekuasaan. Sehinggaa berlakulah ungkapan yang sudah diketahui masyarakat luas: “Di dunia politik, tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan kekuasaan”. Dalam dunia politik, para politisi berlomba bahkan saling sikut-sikutan untuk meraih kursi kekuasaan sebaliknnya di dunia usaha dan bisnis para pengusaha berlomba untuk meraih keuntungan (profit). Bagi pengusaha tertentu yang memiliki idealisme, totalitas mereka dalam memajukan usaha dan bisnisnya dimaksudkan untuk membuka sebanyak-banyaknya lapangan kerja dan bukan semata untuk mengeruk keuntungan bagi dirinya sendiri dan keluarganya saja. (bersambung) Penulis wartawan senior.

Ayo BUMN, Mudiklah ke Daerah!

By Dr. Tito Sulistio, SE. MAF Jakarta, FNN - Ini soal keberpihakan dan wawasan ke depan. Bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat merata di seluruh nusantara? Caranya, menggunakan bisnis dan asset negara sebagai instrument untuk mencapai pemerataan. Siapa lagi kalau bukan BUMN. Sebagai sebuah “Badan Usaha” atau lembaga bisnis, BUMN harus bergerak mengikuti kaidah dan prinsip bisnis yang modern dan efisien. Sebagai “Milik Negara” tentu BUMN harus tunduk dan patuh pada tujuan-tujuan bernegara. Salah satu tujuan bernegara dalam UUD 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, memajukan pemerataan ekonomi di berbagai daerah. Memajukan kesejahteraan umum, dan menjadikan swasta sebagai patner dan bukan pesaing. Hingga kini, masih banyak yang belum paham. Mengapa 70 lebih dari 115 kantor pusat BUMN berada di Jakarta? Belum pernah terdengar argumen dan penjelasan yang rasional mengapa BUMN harus selalu mempunyai kantor operasi di Jakarta. Apakah dengan berkantor pusat di Jakarta, BUMN tersebut berkembang menjadi Multi National Corporation (MNC) yang berkelas dunia? Ternyata tidak juga. Selain tidak efisien, terkadang sangat mewah, menjulang tinggi. Sayangnya tidak menambah value yang strategis bagi BUMN dan negara. Hanya menjadi “simbol kebanggaan” perseroan semata. Coba ini kita renungkan! Akal sehat dan logika bisnis korporasi saya sering bertanya-tanya. Mengapa BUMN seperti Pupuk Kaltim misalnya, yang material dasarnya di Kalimantan, pabriknya di Kalimantan, pasarnya terutama di Kalimantan, harus mempunyai kantor yang cukup mewah di Jakarta? Begitu juga RNI, yang mempunyai pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dekat dengan lahan perkebunannya. Pasarnya yang tersebar di Jawa, tetapi juga beroperasi dengan kantor gagah di Jakarta. Apakah artinya para Direksi dan Petinggi BUMN ingin selalu dekat dengan kekuasaan? Bukannya mereka harus berinteraksi mengayomi pegawai dan mengawasi kerja operasional hari ke hari perseroan? Aneh memang. Jika semua operasi teknis perseroan berlokasi di luar Jakarta, tetapi fisik para pengelolanya berada dan dibiayai dengan mahal untuk menikmati harumnya kekuasaan di Jakarta. BUMN, seharusnya dapat menjadi lokomotif pembangunan daerah. BUMN memiliki posisi tawar yang sangat tinggi terhadap disinsentif usaha. Selain itu, BUMN juga efektif sebagai alat untuk mentransformasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkadang masih sulit diimplementasikan di lapangan. BUMN seharusnya mampu menciptakan stimulan yang dapat membangun infrastruktur di daerah. Termasuk sarana pendidikan dan sentra ekonomi lainnya. Dengan BUMN lebih terfokus, pindah dan berkonsentrasi di daerah-daerah, maka diharapkan terjadi multiplier efek yang mampu meningkatkan size perekonomian daerah. Baik melalui accumulated creating capital maupun efek ikutan dari pelaku usaha swasta yang masuk setelah resiko mulai menurun. Sebagai contoh paling sederhana, perusahaan rokok Gudang Garam misalnya. Terlihat dengan jelas bahwa satu perusahaan dapat menggerakkan satu perekonomian daerah (Kota Kediri) di Jawa Timur. Bayangkan jika BUMN melakukan hal yang sama seperti Gudang Garam, yang notabene perusahaan swasta. Dampaknya clustering industry di Indonesia dapat terbentuk. Dengan adanya entitas bisnis yang besar di daerah, diharapkan mendorong desentraliasasi sumberdaya manusia yang unggul ke daerah. Sumberdaya yang selama ini lari ke Jakarta, dapat ditahan karena terdapat tantangan dan kesempatan kerja yang setara di daerah. Jika Direksi RNI dan keluarganya diwajibkan berkantor serta bekerja di dekat pabrik Jawa Tengah, Pupuk Kaltim ke Kalimantan, Angakasa Pura 1 ke Bali, Bukit Asam ke Sumatera Selatan, Pertamina ke Riau, BNI ke Sumatera Utara dan seterusnya, maka dapat dibayangkan bagaimana semua pegawai inti yang berpendidikan serta mapan, pindah ke daerah membawa keluarga. Dipastikan para Komisaris, Direksi dan General Maneger yang pindah ke daerah, otomatis akan ikut pindah membawa kemakmuran yang mereka miliki. Maka clustering pupuk akan terbentuk di Kalimantan, clustering minyak di Riau, seperti clustering kerajinan yang telah terbentuk di Bali. Semua pemasok utama pun pindah. Sekolah sebagai penunjang otomatis berdiri atau menyempurnakan diri. Sentra perekonomian akan bergerak dan yang menarik. Akan terjadi interaksi antar komponen bangsa yang tadinya tidak saling mengenal. Disintegrasi bangsa akan minimal dan kluster industri secara strategis akan terbentuk. Kemajuan teknologi komunikasi dan peningkatan industri transportasi memfasilitasi perseroan untuk beroperasi dengan efisien. Levis telah memindahkan kantor pusatnya jauh ke pinggiran kota. Lippo Group secara taktis memindahkan kantor pusat. Lippo dengan konsisten memaksa semua jajaran SDM-nya pindah ke Karawaci. Lippo Grup berhasil. Lingkungan daerahnya pun berkembang. Tidak ada alasan bagi BUMN untuk kembali memfungsikan dirinya sebagai ’agent of development’, dan mengurangi fungsi komersialnya yang mampu dilakukan pihak swasta. Diperlukan keberanian untuk bertindak dan memerintahkan BUMN yang selama ini merajalela di ibukota. BUMN yang selalu bergaul, bersentuhan langsung dengan pusat kekuasaan, agar dipindahkan secara fisik ke daerah. BUMN harus tampil menjadi ganda terdepan, atau menjadi ujung tombak pemberdayaan ekonomi daerah. Daerah memang tidak mempunyai entitas bisnis besar. Untuk itu, daerah sangat membutuhkan entitas bisnis besar sebagai lokomitif untuk menggali keunggulan komparatifnya. Perpindahan yang juga bisa diartikan berupa ’hijrah’. Perpindahan yang jangan diartikan sebagai kemunduran bahkan pengorbanan. Namun perpindahan yang dirasakan sebagai perjalanan pulang kampung untuk membangun tempat asal. Bahasan kampungnya “mudik”. Dengan berani “Go Daerah” alias “Pulang Kampung”, berarti Pemerintah dan BUMN ikut membuka kesempatan yang lebih luas kepada pihak swasta dan korporasi lokal untuk semakin berkiprah. Ekonomi Indonesia akan terhindar dari bahaya “crowding out”. Perlu dihindari swasta merasa tak ada ruang untuk berusaha dan mengalami demotivasi untuk berinvestasi. Akibatnya, mereka pun menghimpun dana mereka untuk investasi di mana pun di muka bumi ini. Yang penting tempat untuk investasi itu, dinilainya lebih efisien. Seperti kata pepatah, “uang tidak mengenal nasionalisme”. Bukan tidak mungkin, jika mereka melihat BUMN semakin efisien dengan pindah kantor pusatnya ke daerah, maka swasta pun berbondong-bondong ikut berinvestasi di BUMN. Harga saham BUMN pun akan meningkat. Ini dampak dari saham BUMN yang terus dilirik investor. Investor tidak pernah tertarik dengan “simbol kebanggaan” berupa gedung operasional atau kantor pusat yang megah dan mewah. Mereka hanya tertarik dengan efisiensi. Semakin efisien sebuah perusahaan, semakin profitable dan menambah return bagi investor. Pemerintah telah banyak membangun infrastruktur di daerah. Mempunyai komitmen “membangun dari pinggiran”. Saatnya ditindaklanjuti dengan mendorong BUMN untuk kembali ke daerah secara strategis. Diperlukan keberanian pemerintah atau Presiden yang “tanpa beban” untuk memerintahkan Menteri BUMN mendorong “BUMN Mudik ”. Kebijakan “BUMN Mudik” menjadi mendesak. Jika tidak, siapa yang akan mempercepat pemanfaatan infrastruktur di daerah? Pemerintah telah berani merencanakan “pindah ibukota negara”. Saatnya Presiden juga memerintahkan “BUMN Mudik”. Ayu, pindahkan kantor operasional BUMN ke ke seluruh penjuru daerah. Saatnya BUMN menjadi agen pembangunan di setiap daerah. Berani, dan pasti bernai! Penulis adalah Ketua Alumni Dokter Hukum Universitas Pelita Harapan

Bersih-bersih di PT Pupuk Indonesia, Like and Dislike?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Menteri BUMN Erick Thohir mencopot Komisaris Independen PT Pupuk Indonesia (Persero) Yanuar Rizky. Yanuar resmi dicopot mulai Kamis (9/1/2020). Perihal alasan pencopotannya, ia tak menerangkan secara rinci. Yanuar hanya mengatakan normatif 'pergantian pemain'. Yanuar resmi dicopot mulai Kamis (9/1/2020). Perihal alasan pencopotannya, ia tak menerangkan secara rinci. “Normatif saja karena ganti pemain,” katanya, mengutip Detik.com, Kamis (9/1/2020). Meski begitu, ia menuturkan ada sejumlah hal yang perlu disikapinya. Namun, ia tak menerangkan secara rinci. “Saya menentukan sikap karena ada serentetan peristiwa yang perlu saya sikapi,” tegas Yanuar. “Saya tak bisa kemukakan secara detil ke publik, tapi like and dislike terkait dengan cara mengelola korporasi,” ungkapnya. Yanuar Rizky bercerita mengenai pencopotannya sebagai Komisaris Independen PT Pupuk Indonesia lewat akun Facebook pribadinya. Yanuar resmi dicopot dari jabatannya hari ini. Dia memberikan tanggapan berupa enam poin dan sebuah penjelasan panjang. Dari enam poin, setidaknya ada dua poin yang menyita perhatian. Dua poin itu yakni terkait masa jabatan dan mengenai akhlak yang sering digaungkan Menteri BUMN Erick Thohir. Yanuar mengatakan, pergantian dan pemberhentian merupakan hal yang lumrah. Lantaran, itu merupakan perusahaan negara bukan perusahaan keluarga. “Namun menjadi tidak lumrah, jika diberhentikan sebelum waktunya. Hanya saya sendiri yang kena pergantian,” tulisnya. Ia melanjutkan, pergantian ini tak ada kaitannya dengan masalah akhlak. “Framing etika dan moral dengan kemasan bersih-bersih BUMN, ingin saya tegaskan, saya tidak terkait akhlak dan etika," tambahnya. Di bagian penjelasan, Yanuar kembali menyinggung soal akhlak. Melansir Detik.com, Kamis (9/1/2020), ia menunjukkan akhlaknya melalui parameter kerja dan tidak korupsi. “Kalau Erick Tohir selaku Menteri BUMN di mana-mana ceramah soal akhlak, saya (ingin) menunjukkan akhlak saya dengan parameter kerja dan juga tak sepeser pun saya ingkar dan korupsi,” lanjutnya. Ia tak membawa kawan atau pasukan untuk masuk ke Pupuk Indonesia. Bahkan, ia menolak kawan yang ingin dikenalkan direksi terkait proyek. “Silakan tanya sobat-sobat saya soal ini saya selalu bilang 'Ini perusahaan negara, janji gw (saya) sama anak dan istri, kehormatan tidak dekat-dekat korupsi, kolusi, nepotisme,” tegas Yanuar. “Kinerja dan kerja saya menunjukkan, berbekal kompetensi, integritas dan kepemimpinan yang tanpa catatan negatif,” ungkapnya. Maka itu, Yanuar merasa bangga. Ia bisa pulang tersenyum ketika diberhentikan dari Pupuk Indonesia. “Sehingga, ketika saya diberhentikan dari Pupuk, saya bisa pulang dengan senyum, menyapa anak, istri dan Ibu saya (orang yang selalu mendoakan saya selamat dunia akhirat) dengan bangga, saya pulang tanpa cela,” kata Yanuar. Tanggapan datang dari Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga. Menurutnya, Yanuar akan ditempatkan sebagai komisaris di perusahaan lain.“Ini kan Pak Yanuar juga akan habis masa tugasnya di Pupuk, tapi kita percayakan di tempat lain, komisaris di tempat lain, refreshing aja,” katanya di Kementerian BUMN, Jakarta Pusat, Kamis (9/1/2020). Tak secara rinci, ia hanya menyebut Yanuar ditempatkan sebagai komisaris di anak usaha BUMN bidang energi. “Di energi ya, anak perusahaan BUMN energi,” imbuhnya. Arya kembali mengatakan alasan pencopotan ini sebagai bentuk penyegaran. Arya mengatakan, hal tersebut sesuatu yang normal. “Refreshing aja kan mau habis 5 tahun, dia tempat lain kita butuhkan, dikasih jabatan komisaris tempat lain. Bukan sesuatu, normal aja,” ujarnya. Klarifikasi Yanuar Berikut kutipannya penjelasan Yanuar. Ya, saya akan selesai 5 juni 2020. Tapi, tidak hanya saya, kami paket Dekom akan selesai di Juni. Tapi, kenapa saya digeser lebih cepat? Kami di Komisaris, bahkan sebelum ini membahas organ dekom juga diganti oleh pemegang saham. Saya menyatakan untuk menunda permintaan pergantian tim inti karena sedang proses Audit oleh Akuntan Publik terkait Laporan Keuangan. Dimana, saya sebagai Komisaris Independen sekaligus Ketua Komite Audit bertanggung-jawab dalam proses Laporan Keuangan Auditan. Lalu, bukan hanya organ yang ditarik? Saya pun diberhentikan. Apa yang bisa dibaca? Tampaknya ada kepentingan mendesak, bahwa Finalisasi Laporan Keuangan Auditan berada di “pemain pengganti”. Itu perlu saya kemukakan, agar masalah ini jadi jelas. Bahwa saya bukan anak kecil yang merengek kehilangan mainan. Saya mempunyai tanggungjawab moral kepada publik, karena saya warga negara yang mendapat mandat dari negara di perusahaan negara. Saya kembalikan kepada publik, bahwa ini semua terkait dengan grasak-grusuk yang ada tujuannya. Apa tujuannya? Saya tak akan kemukakan apa yang terjadi secara detil. Tapi, itu yang saya rasakan dan kembalikan kepada publik menilai. Pemain pengganti saya adalah birokrat, Deputi di BKPM. Saya harap ini bisa dijelaskan kepada publik, katena posisi saya insdependen bukan birokrat, kenapa unsur profesional dikurangi? Kemudian Independen juga diserahkan ke staf khusus menteri. Saya sedikit bertanya (sebagai warga negara) arah debirokratisasi dari Menteri BUMN dalam setiap ceramahnya, kok malah makin birokrat di pupuk? Semangat saya sama dengan Menteri. Ini uang rakyat, etikanya mana? Maka, saya rasa rakyat harus tahu realisasi kata dan perbuatan. Itu saja. Semua ini saya kemukakan karena ini perusahaan negara bukan perusahaan keluarga. Ada drama, dan ini terkait periode finalisasi Laporan Keuangan Auditan. #enjoyAja. *

Permasalahan Jiwasraya dan Industri Asuransi

By Andi Rahmat * Jakarta, FNN - Diluar soal dugaan tindak pidana dalam praktek bisnis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Asuransi Jiwasraya, kita sedang menyaksikan bayangan “mengancam” industri ini. Dengan total Asset per November 2019 senilai Rp 1. 346 triliun, industri ini dengan segala dinamikanya sedang mengalami tekanan perubahan yang signifikan. Bagaimana otoritas bertindak mengatasi persoalan yang dihadapi Jiwasraya, akan mempengaruhi landscape industri asuransi kita di masa datang. Relaksasi kebijakan moneter global (Quantitative Easing), Tren Inverted Yield Curve (kurva yield obligasi jangka pendek lebih tinggi dari kurva yield obligasi jangka panjang ) menjadi masalah sendiri. Kondisi ditambah bayang- bayang resiko default hutang global yang tersembunyi, memberi pengaruh kuat dalam kinerja industri asuransi global. Belum lagi pilihan-pilihan instrumen investasi di dalam negeri yang sesuai dengan sifat asuransi yang masih terbatas, dan tidak ditopang pasar keuangan yang dalam. Meski demikian, dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhan industri asuransi di indonesia mencatat tren positif. Baik Asuransi Umum maupun Asuransi Jiwa. Pertumbuhan positif ini menjadi catatan tersendiri di tengah krisis yang menimpa Jiwasraya. Namun di tengah pertumbuhan yang positif itu, perubahan landscape perekonomian global dan domestik, juga meningkatkan kompetitif di industri ini. Jiwasraya adalah cerminan betapa kompetitifnya industri ini sekarang. Upaya mengatasi mismatch antara kewajiban jangka pendek pada produk JS Protection Plan, yang dirilis tahun 2012. Sementara profile keuangan Jiwasraya berujung pada dalamnya perusahaan ini masuk limbo insolvabilitas. Langkah ini dilakukan, sebagai upaya jangka pendek mengatasi krisis yang dimulai sejak 2004. Ingat, kendati semua upaya itu dilakukan dengan bantuan skema reasuransi, sebagai satu bantalan utama industri asuransi dalam menghadapi shock, tetap saja Jiwasraya tak keluar dari kesulitannya. Jika otoritas hanya terkonsentrasi dalam penyelesaian isu kriminalitas, yang ditangani Kejaksaan Agung terkait dugaan kerugian negara, maka problem utama menjadi tidak tersentuh. Padahal masalah secara keseluruhan yang terkait dengan masa depan industri asuransi makin tidak terjamah. Berangkat dari kasus Jiwasraya, maka dibutuhkan langkah penyelesaian yang lebih komprehensif dari otoritas terhadap problem industrinya. Ini sesuai dengan perintah undang-undang perasuransian. Ingat, bagi otoritas, khususnya pemerintah, masih ada masalah sama yang menggantung di Asuransi Bumiputera, yang juga memerlukan perhatian serius. Sebagai mantan Ketua Panja RUU Perasuransian, yang menghasilkan UU No. 40 Tahun 2014, saya berharap ada upaya yang lebih luas dan sistematis. Otoritas agar mengatasi masalah ini dengan menata ulang industri asuransi kita. Dari sudut pandang ini, yang sedang dihadapi otoritas adalah kenyataan bahwa industri asuransi kita secara keseluruhan sedang mengalami tantangan yang sangat signifikan. Dalah penyelesaian permasalan Jiwasraya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan memiliki pilihan-pilihan yang sulit. UU No, 40 tentang Perasuransian, pasal 15 menempatkan posisi pemerintah sebagai pengendali Jiwasraya. Posisi sebagai pengendali ini, mengharuskan pemeritah memperkuat Risk Base Capital (RBC) Jiwasraya. Selain itu, juga memperkuat Dana Jaminan yang diperlukan untuk mengatasi kewajiban yang jatuh tempo di Jiwasraya. Sampai disini, muncul pertanyaan,seandainya Jiwasraya adalah perusahaan asuransi swasta, apakah perlakuan yang linient terhadap persoalan yang melilitnya akan sama? Pertanyaan ini terkait dengan bangunan industri asuransi secara luas. Jawabannya, akan berhubungan langsung dengan soal menjaga level of playing field otoritas terhadap industri secara keseluruhan. Dalam skala yang lebih luas, tentu juga terkait dengan kemampuan otoritas memberi sinyal positif terhadap keampuhan dan keabsahan regulasi kita dalam mengelola sektor keuangan. Sayangnya, di tengah situasi sulit ini, suatu Lembaga Penjaminan Oolis (yang sepadan dengan Lembaga Penjaminan Simpanan untuk industri Perbankan) sampai sekarang belum juga dibentuk. Pembentukan Lembaga Penjaminan Polis itu diperintahkan oleh UU No. 40 tahun 2014. Sayangnya, sampai sekarang belum ada kabar beritanya. Saya dengar sudah ada upaya memasukkannya kedalam Program Legislasi Nasional di DPR. Saya kira, pemerintah dan DPR dapat menggunakan momentum ini untuk segera memprioritaskan pembahasan dan penyelesaian peraturan perundang-undangannya. Terkait dengan semua itu, di meja Menteri Keuangan hanya ada dua pilihan penyelesaian. Sekali lagi, Posisi Menteri Keuangan dalam hal ini bukanlah regulator, melainkan sebagai pengendali. Tugas dan kewajibannya sudah diatur jelas di dalam Undang-Undang. Pilihan pertamanya adalah menghentikan kegiataan usaha Jiwasraya. Pilihan keduanya adalah melanjutkan kegiatan usaha Jiwasraya. Pilihan pertama memiliki konsekuensi yang tidak mudah. Sebab sebelum meghentikan usahanya, sesuai dengan ketentuan UU No. 40 tahun 2014, Bab X pasal 42, kewajiban Jiwasraya mesti diselesaikan lebih dahulu. Tentu mengandung konsekuensi fiskal yang tidak kecil. Selain itu, akan menimbulkan dampak yang bisa saja berkonsekuensi contagion terhadap bangunan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Lagi-lagi, ini tentu saja memerlukan perhitungan yang cermat. Pilihan kedua adalah tetap melanjutkan kegiatan usaha Jiwasraya. Yang artinya, Menteri Keuangan memenuhi kewajiban standarnya. Kewajiban itu untuk memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh Jiwasraya sebagai Asuransi Jiwa untuk dapat beroperasi secara normal dalam bingkai regulasi yang ada. Langkah ini juga mengandung konsekuensi fiskal yang tidak mudah. Dalam pilihan-pilihan ini, juga terdapat kemungkinan bagi pengendali untuk menggunakan lembaga mediasi yang sudah diatur didalam undang-undang. Tujuannya untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi pemegang polis dalam mendapatkan manfaat asuransi. Dengan begitu, mungkin bisa ditemukan pola restrukturisasi yang dapat membantu Jiwasraya dalam memenuhi kewajibannya. Saya menganjurkan Menteri Keuangan mengambil pilihan ini. Tentu dengan bersungguh- sungguh pula, memproses secara hukum pihak- pihak yang telah merugikan keuangan negara. Jika pilihan ini yang diambil, maka DPR harus dapat diyakinkan untuk mengambil posisi yang sama. Pilihan pertama dan pilihan kedua sama-sama mengandung konsekuensi fiskal. Adapun regulator, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) juga memiliki pekerjaan rumah yang tidak gampang. Apalagi sejak berada di bawah pengawasan Bapepam-LK, persoalan Jiwasraya sudah mengemuka dan terus berlangsung hingga berdirinya OJK. Sejarah Jiwasraya sama tuanya dengan sejarah industri asuransi di Indonesia. Dimulai sejak tahun 1859 di masa kolonial Belanda, hingga dinasionalisasinya semua perusahaan asuransi jiwa milik Belanda di tahun 1957. Secara resmi menjadi perusahaan asuransi jiwa milik negara di tahun 1960, dan beroperasi hingga sekarang. Jiwasraya adalah pionir historis asuransi jiwa di Indonesia. Dapat dibayangkan betapa sulitnya regulator dalam menghadapi perusahaan asuransi yang sudah arkaik ini. OJK dalam hemat saya seyogyanya memberi kesempatan kepada Pengendali (Menteri Keuangan) mencari solusi permasalah Jiwasraya. Dengan catatan menilik histori upaya penyelesain masalah Jiwasraya sejak 2004, toleransi yang linient oleh regulator pada hemat kami sudah lebih dari cukup. Seperti yang sudah kami kemukan diawal. Industri asuransi sedang mengalami perubahan dan juga tekanan yang kuat. Laporan tren industri asuransi tahun 2018 yang dirilis oleh OECD menunjukkan beberapa tren umum yang dialami oleh industri asuransi. Diantara tren peningkatan premi, eksposure investasi yang dominan adalah di obligasi. Selain itu, tren kerugian investasi (investment losses) dan besarnya gross kewajiban yang mesti dibayarkan. Eksposure masing-masing negara terhadap tren ini memang variatif. Mc Kinsey dan Deloitte dalam rilisnya mengenai tren industry asuransi global, menunjukkan performa kinerja yang positif. Di kawasan Asia Pasifik, India dan China menjadi faktor utama dalam menggerakkan tren positif itu. Menurut laporan Mc Kinsey, sejak tahun 2010 hingga tahun 2017, pertumbuhan industri asuransi global rata-rata di atas 4% per tahun. Di tahun 2017 malahan tumbuh hingga 4.7 %. Dengan tren yang positif itu, khususnya industri asurnasi jiwa, dalam menyelesaikan Jiwasraya, OJK dituntut untuk bisa menginsulasi dampaknya terhadap kinerja industri secara keseluruhan. Termasuk dalam menjaga tingkat kepercayaan publik terhadap keamanan dan kemampuan industri asuransi dalam menjalankan bisnisnya. Persoalan insolvensi yang dialami Jiwasraya, seyogyanya makin memperkuat penerapan market conduct policy di industri asuransi kita. Sebab menurut laporan Deloitte, ini sudah merupakan tren regulasi asuransi global. Untuk itu, diperlukan pengawasan dan stress test yang memadai dalam menguji solvabilitas industri asuransi. Pengawasan seperti ini diperlukan untuk memastikan bahwa kinerja industri betul-betul ditopang oleh profile bisnis yang kuat. Bukan disebabkan oleh tindak spekulatif jangka pendek yang membahayakan kesinambungan neraca bisnis asuransi dalam jangka panjang. Sejak krisis tahun 1997-1998, kita juga sudah mengalami krisis-krisis sektoral dalam industri keuangan. Seperti krisis redemption besar-besaran reksadana di tahun 2006. Tekanan keuangan pada perbankan tidak sehat, yang tidak signifikan secara ukuran, yang berbuah bailout bank Century di tahun 2008-2009. Sekarang kita juga dihadapkan pada krisis yang dialami Jiwasraya. Semua krisis itu muncul, diantaranya disebabkan oleh komplasensi kebijakan kita sendiri. OJK yang oleh undang-undang diberi kewenangan penuh untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan di sektor keuangan, khususnya industri asuransi, sudah waktunya menggunakan kewenangan itu. Kewenangan Kejaksaan Agung adalah perkara dugaan pidana kerugian negara pada BUMN. Sedang OJK memiliki kewenangan khusus utk melidik dan menyidik kejahatan perasuransiannya. Delik dan sanksi adminitratif dan pidana perasuransian, sudah diatur didalam UU No 40 tahun 2014. Mengapa demikian?. Sebab, selain merupakan BUMN, Jiwasraya juga merupakan perusahaan asuransi jiwa yang sama dengan perusahaan asuransi jiwa lainnya. Buah dari hasil lidik dan sidik itu sendiri, bagi industri asuransi adalah rambu-rambu yang lebih pasti dalam menjalankan bisnisnya. Harus dibuat terang, mana yang bisa menjadi ranah pidana asuransi dan mana yang bukan. Ini menjadi penting, karena bagi pelaku industri, kalkulasi terhadap resiko hukum menjadi lebih pasti. Semoga saja. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usah dan Mantan Wakil Ketua Ketua Komisi XI DPR RI

Shortfall Penerimaan Perpajakan

Saya berani mengatakan dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa melebihi 5,5%, maka situasi shortfall ini akan menjadi makanan tahunan APBN kita. Shortfall akan persisten dan iminen. Karenanya, target pajak yang ekspansif dan optimis menjadi tidak rasional dan realistis. By Andi Rahmat Jakarta, FNN - Pencapaian penerimaan perpajakan hingga akhir tahun 2019 mencatatkan pencapaian historik. Shortfall 19% dari target APBN Rp 1.577 triliun, atau secara absolut berkisar Rp 200 triliun. Meskipun demikian, saya tidak sedang membicarakan soal konsekuensi hutang ini. Tetapi diskusinya adalah menelisik soal atau sebab-musabah, dan pembacaan terhadap kinerja ekonomi. Cerita Shortfall ini bukan barang baru dalam catatan penerimaan perpajakan kita. Setidaknya sejak tahun 2017 hingga 2019, shortfall absolut penerimaan perpajakan selalu melampui angka Rp 100 triliun. Bahkan berturut-turut di tahun 2017 shortfallnya Rp 130 triliun, dan pada tahun 2018 Rp 108 triliun. Konsekuensinya, target defisit APBN selalu mengalami overshoot. Atau dengan kata lain terjadi penambahan hutang di luar perkiraan pembuat kebijakan fiskal. Yang utama dalam tulisan ini adalah soal simpulan terhadap pelambatan kinerja ekonomi kita. Supaya lebih netral dari segi istilah, ada bagusnya menggunakan istilah International Monetary Fund (IMF), sluggisnya kondisi perekonomian kita. Dua istilah itu, sama-sama tercermin dalam pencapaian pertumbuhan Pruduk Demontik Bruto (PDB) kita yang bergerak dibawah 5,2 % dalam emat tahun terakhir. Memang ada satu model perkiraan penerimaan perpajakan yang selama ini diterapkan oleh pembuat kebijakan ekonomi, baik di DPR maupun di Kementerian Keuangan. Tampaknya kebijakan dibuat selalu overestimate terhadap target penerimaan perpajakan. Yang sebagiannya disumbangkan oleh simplifikasi terhadap simpulan posisi tax ratio ketimbang menelisik kinerja sektor ekonomi. Dari sisi fundamental APBN, shortfall atau target yang besar itu memang masih bisa dimitigasi resikonya. Bahkan dengan pendekatan mitigatif yang ekspansif sekalipun. Sebab, harus diakui, sejak periode SBY hingga Jokowi, penguatan fondasi struktural APBN kita memang cukup solid. Namun, shortfall perpajakan tetap merupakan suatu masalah serius yang mesti dilihat secara seksama. Kinerja penerimaan yang serial seperti itu menyalakan lampu kuning bagi kita semua. Khususnya para pembuat kebijakan di bidang ekonomi. Shortfall yang menunjukkan dua hal sekaligus. Fatiguenya fiskus dalam menyasar para objek pajak. Sementara kelelahan yang sama, juga dialami oleh objek pajak dan wajib pajak. Di level fiskus, kelelahan ini muncul karena sumber daya fiskus yang semakin ketinggalan. Perangkat administratif yang sudah mulai kadaluarsa. Selain itu, fondasi regulasi yang semakin tidak sesuai lagi dengan perkembangan objek pajak atau potensi objek pajak. Sumber daya yang dimiliki fiskus, terutama yang berkaitan dengan sumber daya manusianya, memang sudah waktunya diperkuat. Dari segi kuantitas, pertumbuhan SDM fiskus dalam sepuluh tahun terakhir sangat jauh dari ratio yang paling konservatif sekalipun. Rationya yang normal adalah 1 : 1.590 terhadap populasi dan 1 : 936 terhadap wajib pajak. Demikian juga dengan kualitas. Perkembangan sektor-sektor baru perekonomian yang justru sedang mengalami booming. Untuk itu, sopistikasi praktek ekonominya, juga membutuhkan kualitas SDM fiskus yang sebanding. Perangkat administratif perpajakan juga mengalami hal yang sama. Administrasi perpajakan masih menyulitkan fiskus dalam berinteraksi dengan perkembangan objek pajak. Ringkasnya, selain kantor atau tempat layanan perpajakan yang belum memadai, juga insentif administratif terhadap kinerja fiskus yang tidak sebanding dengan besarnya effort yang dibutuhkan. Dari sisi regulasi, sudah dua belas tahun lebih, dan terakhir kali kita melakukan overhaul menyeluruh terhadap regulasi perpajakan. Memang ada produk minor regulasi sektor perpajakan. Tetapi sifatnya lebih sektoral dan terbatas. Kebutuhan overhaul menyeluruh adalah kebutuhan yang pasti seiring dengan perkembangan sektor- sektor perekonomian. Sementara kelelahan yang dialami oleh objek pajak dan juga wajib pajak disumbangkan oleh sluggishnya perekonomian. Lapisan tarif yang juga tidak lagi kompetitif. Selain itu, perlu intensifikasi basis pajak dan untaxable objek pajak. Saya berani mengatakan dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa melebihi 5,5% saja, maka situasi shortfall ini akan menjadi makanan tahunan APBN kita. Shortfall akan persisten dan iminen. Karenanya, target pajak yang ekspansif dan optimis menjadi tidak rasional dan realistis. Dalam soal tarif, sudah jamak dimahfumi bahwa tariff bracket perpajakan kita sudah menjadi disinsentif bagi perekonomian kita sejak 12 tahun lalu. Terutama sewaktu kita melakukan overhaul, penetapan tarif itu, lebih mempertimbangkan dampaknya terhadap postur penerimaan negara dan rendahnya tingkat kepatuhan perpajakan Wajib Pajak (WP) kala itu. Ketika itu, besar tarif tidak seelastis dibanding sekarang terhadap kinerja ekonomi. Karenanya di tahun-tahun awal penerapan tarif perpajakan pasca overhaul, selain kinerja ekonomi yang positif, eksetensifikasi dan intensifikasi pajak tidak negatif terhadap kinerja perekonomian. Sedangkan intensifikasi basis pajak juga demikian. Fenomena yang terjadi pasca kebijakan Tax Amnesty adalah over regulasi pada basis pajak yang sama. Ekspansi berbau draconian terhadap wajib pajak, karena perburuan target yang irasional, menyasar hingga sektor sensitif seperti sektor keuangan dan perbankan. Objek pajak mengalami distress dan wajib pajak mengalami disinsentif yang jamak sekali dalam percakapan harian. Terakhir, masalah untaxable objek pajak. Terutama karena masalah ini terjadi pada sektor-sektor baru. Khususnya yang berbasis ekonomi digital. Selain itu, inversi perpajakan yang belum memadai antisipasinya dari sisi regulasi. Sebagai penutup. Saya hanya ingin menegaskan tentang perlunya kita sama-sama melihat ketimpangan ekonomi yang makin melebar. Kondisi ini disertai dengan pelemahan pertumbuhan kualitas kelas menengah yang taxable. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Bisnis dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Tahun 2019: Kehancuran Indonesia Persneling Tiga

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Tidak ada yang bisa dikenang sebagai sesuatu yang baik sepanjang 2019. Semua bidang kehidupan: ekonomi, bisnis, sosial, politik, penegakan hukum, peranan media, dlsb. Bidang politik mencatat rangkaian peristiwa yang semuanya sangat memprihatinkan. Ada penipuan kolosal suara rakyat di pilpres 2019. KPU yang dikangkangi oleh pemegang kekuasaan. Inilah penjaga demokrasi yang dikooptasi oleh para penguasa. Begitu juga Mahkamah Konstitusi (MK) yang cenderung tidak independen. Ada dua lagi lembaga yang juga menghamba kepada misi politik pribadi. Yaitu, Polri dan media massa. Di bawah pimpinan Tito Karnavian, Kepolisian tidak segan-segan memihak kepada Jokowi sebagai capres petahana. Polisi mengemban tugas untuk memenangkan Capres 01 di pilpes 2019. Begitu pula media massa mainstream. Tidak ada yang tak memihak Jokowi kecuali tvOne. Selebihnya bergerombol mendukung Jokowi. Tanpa akal sehat sama sekali. Media mainstream terang-terangan melacurkan diri untuk kepentingan Jokowi. Penyelenggaraan pilpres 2019 sendiri penuh dengan kecurangan dan malapetaka. Banyak muslihat dalam penghitungan suara cepat (quick count). Tak bisa dipercaya. Ada tangan-tangan kotor. Sementara itu, 600 orang petugas KPPS meninggal dunia tanpa ada penyelidikan independen. Baru pertama kali pemilu yang memangsa begitu banyak nyawa petugas. KPU hanya memberikan santunan 37 juta yang sebenarnya identik dengan penghinaan. Noda pilpres tak sampai di situ. Ada rekonsiliasi yang paling aneh di dunia. Capres 02 bergabung ke kabinet Jokowi dan menjadi salah seorang bawahan presiden yang sangat diragukan kemurnian kemenangannya itu. Aliansi ini memberikan pendidikan politik yang sangat buruk. Tapi, para pelaku mengatakan semua itu strategi. Sedangkan publik melihatnya sebagai “penyimpangan orientasi seksual di dunia politik”. Minimal bencong politik. Rekonsiliasi aneh ini bertujuan untuk menyatukan kedua kubu. Tapi, itu tak terjadi. Sebab, akal sehat dan akal sakit tak mungkin berbaur. Yang sangat fatal adalah nasib demokrasi. Rusak berat gara-gara manuver konyol para politisi sinting. Rakyat sekarang menjadi apriori dan tak percaya lagi pada demokrasi. Dari bidang politik, kehancuran Indonesia di 2019 berlanjut ke bidang ekonomi dan bisnis. Utang luar negeri bertambah terus. Pada akhir 2019, utang pemerintah ada pada posisi 4,750 (empat ribu tujuh ratus lima puluh) triliun. Tiap tahun harus disediakan hampir 400 triliun untuk cicilan. Impor menjadi “amalan rutin” pemerintah. Boleh dikatakan, tidak ada yang tak diimpor. Beras, gula, garam, kedelai, bahkan jagung. Semen dan baja. Dua komoditas terakhir ini terasa “lucu dan tak masuk akal” diimpor. Stok beras tidak kurang, tapi terus saja diimpor. Lain lagi dengan baja. Produsen baja nasional, BUMN Krakatu Steel (KS), sengaja dibunuh. Baja impor dari China menghancurkan KS. Perekonomian hanya tumbuh 5%, kata Sri Mulyani. Para ekonom mengatakan, kalau cuma 5%, tak perlu ada menteri keuangan dan institusi Ekuin lainnya. Yang paling celaka adalah pemberantasan korupsi. KPK dibonsai oleh DPR dan Jokowi. Mulai dari perangkat peraturan-perundangan KPK yang dihajar hingga babak-belur sampai pimpinan barunya yang disesuaikan dengan kebutuhan para politisi busuk. Terutama dicocokkan dengan skenario PDIP. Tentu bisa Anda tebak mengapa PDIP habis-habisan menghancurkan KPK. Di bidang sosial, kehancuran yang berlangsung sepanjang 2019 sangat dahsyat. Pengedaran dan konsumsi narkoba semakin tak terkendali. Jumlah pengguna aktif jenis Sabu, tidak berkuang dari angka 4.2 juta orang. Bahkan cenderung bertambah. Keterbelahan masyarakat semakin meruncing antara pendukung rezim zalim dan rakyat yang melawan kezaliman itu. Ini terjadi karena penguasa memihak pada pendukung mereka. Penegakan hukum sangat cepat terhadap lawan penguasa. Sebaliknya tak pernah berproses terhadap orang-orang yang mendukung penguasa. Penista agama Islam selalu bisa melenggang. Pengkritik pejabat mendekam di penjara. Belum lagi kita bicara korupsi BUMN. PT Garuda bonyok. Pimpinannya berlagak seperti pemilik. Perusahaan Asuransi tertua, Jiwasraya, kini hancur berantakan. Dengan utang puluhan triliun. Diduga, orang-orang kuat mencuri duit BUMN ini. Dalam jumlah besar. Bukan ratusa miliar, melainkan belasan triliun. Ada pula indikasi uang Jiwasraya dipakai untuk biaya pilpres 2019. Sebegitu hancurkah Indonesia? Itulah yang terjadi. Semua dalam kondisi yang mencemaskan. Laju kerusakan pada 2019 cukup tinggi. Bisakah kehancuran itu diperbaiki? Persoalannya, rem negara ini sudah blong. Rem itu adalah DPR, MPR, media massa, para tokoh bangsa. Tak berfungsi lagi. Kekuasaan presiden berjalan tanpa rem. Kehancuran itu kini berada di persneling tiga. Satu gigi lagi ke atas, masuklah kecepatan penuh. Tinggal menunggu apa yang akan ditabrak.[] 1 Januari 2020 Penulis wartawan senior.