EKONOMI

Menakar Kebijakan Pelonggaran Moneter (Quantitative Easing) Masa Krisis

By Andi Rahmat Jakarta FNN – Selasa (28/04). Akhir-akhir ini ramai dibicarakan dikalangan pengambil kebijakan perekonomian nasional mengenai suatu kebijakan pelonggaran moneter/Quantitative Easing (QE ) dalam menghadapi pemburukan perekonomian akibat pandemi Covid 19. Kebijakan mencetak uang (QE ) dianggap sebagai alternatif solusi bagi upaya mempertahankan momentum perekonomian Nasional. Cerita sukses kebijakan ini dalam mengatasi krisis keuangan global tahun 2008, serta-merta menjadi semacam “panacea” bagi krisis ekonomi yang terjadi sekarang. Kesuksesan kebijakan ini di tahun 2008 bukan saja karena berhasil menahan keruntuhan sistem keuangan global di masa itu. Tapi juga mengembalikan momentum pertumbuhan ekonomi global kearah yang lebih baik. Dan yang makin membuatnya menjadi model sukses adalah karena juga terbukti tidak berakibat pada inflasi tinggi, terutama di negara-negara yang besar-besaran melakukan kebijakan ini. Seperti Inggris dan Amerika Serikat. Mencetak uang, dimana-mana memang merupakan tugas utama bank sentral. Yang membedakan QE dengan pencetakan uang dalam keadaan normal adalah karena jumlahnya yang sangat besar, di luar “kebiasaan normal”. Mencetak uang dalam keadaan normal biasanya disebut sebagai ekspansi moneter. Kebijakan ini secara siklikal dilakukan bank sentral dalam mengendalikan perkembangan perekonomian. Di luar soal jumlah, pembedanya juga adalah penggunaan instrumen penyalur (transmisi) kebijakan moneter, dimana QE menggunakan instrumen kebijakan yang tidak lazim dalam keadaan normal. Lantas bagaimana melihat kelaikan kebijakan QE di Indonesia? Secara berkala Bank Indonesia mengeluarkan laporan pelaksanaan tugas moneternya. Secara berkala pula, laporan ini disampaikan ke DPR RI, khususnya kepada Alat Kelengkapan DPR RI yang membidangi kebijakan moneter. Yang perlu dicatat, jumlah uang beredar yang dilaporkan oleh BI itu adalah Uang dalam pengertian luas/ Uang Beredar Luas atau M2 dan Uang Beredar Sempit Atau M1. M2 adalah akumulasi uang dalam bentuk kartal (tunai), uang giral dan uang kuasi. Uang Kartal atau Mo hanya dapat dan boleh dicetak oleh Bank Sentral, tetapi uang giral dan uang kuasi dicetak oleh perbankan, dan dibeberapa negara juga dicetak oleh lembaga keuangan non bank (terutama uang kuasi). Itu sebabnya Bank Umum dapat disebut juga sebagai Lembaga Pencetak Uang Giral (LPUG). Sejak tahun 2013 hingga 2019, pertumbuhan uang beredar (M2) di indonesia mengalami peningkatan hampir dua kali lipat. Pada bulan Oktober 2013, Uang Beredar Luas (M2) di Indonesia berjumlah Rp. 3.576,3 rilliun. Pada Bulan Oktober 2019, Jumlahnya sdh mencapai Rp. 6.026,9 trilliun. sepanjang kurun itu terdapat penambahan Uang Beredar Luas (M2) sebesar Rp. 2.450,6 trilliun. Selama kurun itu pula, antara 2103-2019, pertumbuhan PDB rerata di kisaran 5-5,2%. Pertumbuhan inflasi pun demikian. Tercatat, setelah tahun 2013, dimana inflasi (YoY) tumbuh tinggi 8,36%, memasuki tahun 2015 hingga 2019, inflasi masing-masing 3,35% (2015), 3,02% (2016), 3,61% (2017) 3,13% (2018) 2,72% (2019). Dapat dikatakan, sepanjang tahun 2013-2019, pertumbuhan jumlah Uang Beredar Luas menunjukkan korelasi positif dengan tugas pokok BI dalam mengendalikan inflasi tanpa menimbulkan kontraksi berlebihan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kesemua itu terjadi dalam situasi yang relatif normal. Tanpa suatu krisis berskala besar baik secara global maupun domestik. Patut pula dicatat, pertambahan jumlah uang beredar sebesar Rp. 2.450,6 trilliun itu merupakan gambaran kumulatif dalam kurun waktu tahun 2013 hingga tahun 2019. Yang sudah tentu didalam perkembangan bulanannya mengalami dinamika naik-turun. Secara teori, suatu kebijakan QE bisa saja dilakukan manakala terjadi deflasi persisten dalam perekonomian. Seperti yang dilakukan oleh Bank Of Japan (BOJ) sepanjang kurun waktu 1990-an hingga 2000-an. BOJ adalah pelopor kebijakan QE di era paska 1970-an. Uniknya, kebijakan yang ditujukan untuk merangsang perekonomian dengan mendorong inflasi ini ternyata tidak terlalu signifikan dalam menciptakan efek inflatoir bagi perekonomian Jepang. Alih-alih perekonomian Jepang terjebak dalam stagflasi (keadaan inflasi yang datar) berkepanjangan. Juga apabila terjadi kontraksi pada ukuran money velocity. Yaitu manakala daya ungkit (multiplier) uang mengalami pelambatan dalam perekonomian. Kecepatan pertukaran uang dalam perekonomian melambat. Yang bisa saja timbul oleh turunnya penawaran atau turunnya permintaan. Apabila dalam kuartal kedua tahun ini yang terjadi adalah penurunan bersamaan penawaran dan permintaan (supply and demand), yang saya duga kemungkinan besar akan terjadi karena efek ekonomi yang ditimbulkan oleh pendemi Covid 19 ini, maka kebijakan Quantitative Easing patut dipertimbangkan secara matang oleh BI. Kita tidak boleh mengulangi kekeliruan Rill Bill Doctrine yang menghalangi Bank Sentral AS untuk melakukan ekspansi moneter besar-besaran di tahun 1929, yang berujung pada krisis berkepanjangan yang kemudian kita kenal sebagai The Great Depression. Pada krisis keuangan global tahun 2008, QE dilakukan untuk mengatasi pembekuan likuiditas (Liquidity Freezing) didalam sistem keuangan. Pada waktu itu, pasar keuangan mengalami kegagalan berantai yang bersumber pada macetnya pasar uang antar bank. Kemacetan ini sendiri merupakan dampak dari keruntuhan instrumen pasar hutang beragunan aset (Collaterized Debt) yang merambat keberbagai instrumen keuangan lainnya. Jadi QE ditahun 2008 pada dasarnya adalah QE yang dilakukan dalam rangka mengatasi kekeringan likuiditas didalam sistem keuangan yang mengancam kestabilan perekonomian secara keseluruhan. Yang perlu dicatat adalah kebijakan QE ini bertujuan untuk menstimulasi perekonomian. Tidak lebih. Titik krusialnya terletak pada pengamatan yang dalam terhadap keadaan kinerja penawaran dan permintaan. Jadi bukan karena suatu pertimbangan di luar tujuannya. Terlebih-lebih oleh pertimbangan politik. Atau dengan kata lain, suatu pengamatan independen oleh BI berdasarkan analisis berbasis pengetahuan yang cermat (knowledge base policy) yang seyogyanya menjadi landasan kebijakan QE. Untuk itu, ada empat parameter yang mesti diperhatikan betul dalam hal ini. Pertama, jaminan korelatif antara pertumbuhan ekonomi yang diharapkan baik dalam masa menahan pemerosotan perekonomian, maupun pada masa recovery perekonomian, dengan besaran kebijakan QE yang dilakukan. Mencetak uang dalam jumlah sangat besar dalam suatu kurun waktu yang terbatas tentu mengandung resiko tidak ringan bagi perekonomian. Apalagi dalam suatu negara dengan ukuran PDB seperti Indonesia. Ekonomi kita memang sudah masuk dalam kategori “Trillion Dollar Economy”. Tapi tetap saja, dengan berbagai alasan yang tidak saya sebutkan dalam tulisan ini, kita tidak dapat membandingkannya begitu saja dengan perekonomian Jepang, Inggris atau bahkan Amerika Serikat. Dalam beberapa tulisan sebelumnya, saya mengutip aksi moneter negara-negara tersebut bukan untuk membandingkannya secara langsung. Tapi lebih pada penekanan mengenai pentingnya peranan yang lebih luas dan bagi BI dalam penanganan krisis ekonomi akibat pandemi Covid 19. Dimana fungsi BI yang dimaksudkan berakar pada pemahaman terhadap karakteristik fundamental perekonomian Indonesia. Kedua, kedalaman pasar keuangan di Indonesia. Di negara- negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan sebagian besar Uni Eropa (diluar negara- negara Eropa Tengah) pasar keuangan mereka sudah sangat dalam. Hingga dalam pencatatan moneter mereka, secara faktual berdasarkan aktivitas pasar keuangan, pendefinisian money supplynya hingga M4 dan M5. Menurut hemat saya, pasar keuangan kita belum seperti negara-negara tersebut. Seperti yang selalu dikemukakan oleh BI dalam berbagai kesempatan, Indonesia masih dalam situasi mode dangkal (shallow mode) dalam hal pasar keuangan. Kalau parameter pertama berhubungan dengan kuantitas, maka parameter kedua ini akan berhubungan dengan saluran transmisi dan variasi program dan alat (tools) yang dipergunakan. QE dalam keadaan pasar keuangan yang dangkal, tentu akan riskan. Dan karenanya, tidak memiliki ragam alternatif saluran sebagaimana yang dimiliki oleh negara-negara yang pasar keuangannya sudah dalam. Sebagai akibat dari parameter pertama dan kedua, maka suatu jaminan terhadap efek hyperinflatoir dalam masa QE menjadi parameter ketiga. Kisah klasik Weimar hyperinflation menjelaskan pelajaran berharga kepada kita. Bahwa mencetak uang tanpa suatu jaminan sumber daya ekonomi yang menopangnya akan sangat berbahaya. Kebijakan untuk mencetak uang yang menyebabkan devaluasi mata uang terhadap Dollar misalnya, pada batas optimalnya akan menjadi spiral terhadap inflasi. Apalagi jika suatu perekonomian begitu bergantung kepada pembiayaan hutang. Parameter yang keempat adalah ketentuan yang diatur didalam UU No.3/2004 Tentang Bank Indonesia. Terutama yang menyangkut dengan Neraca Modal Bank Indonesia yang dimuat dalam pasal (6 ) Undang-undang ini. Ketentuan dalam undang-undang ini membatasi neraca modal Bank Indonesia terhadap kewajiban moneternya. Neraca modal Bank Indonesia dibatasi maksimum 10% dari seluruh kewajiban moneter BI. Sebagai catatan akhir. Konsep mengenai Money Supply tidak memiliki keseragaman dalam pendefinisiannya di berbagai Bank Sentral. The Federal Reserve dalam mendifinisikan Uang Beredar Luas (M2) berbeda dengan Pendefinisian ECB (European Central Bank). Perbedaan ini terletak pada persepsi mengenai uang yang beredar dan uang yang potensial beredar di dalam perekonomian. Catatan ini bertujuan untuk memastikan agar apabila kebijakan QE pada akhirnya menjadi pilihan massif yang dilakukan Bank Indonesia. Kita tidak akan salah pengertian dalam memaknai Uang Beredar Luas (M2, M3, M4 dan M5) dalam prakteknya. Yang dapat dijadikan dasar adalah kesepakatan di kalangan Bank Sentral dalam hal penggunaan Uang Beredar Luas (M2) sebagai alat utama pengukur inflasi moneter. Akhirnya, kepada Allah SWT jugalah kita memohon petunjuk dan pertolongan. Wallahu Alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

PLN Berani Buka Kondisi Keuangan, Kapan BUMN Lain?

By Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Sabtu (25/04). Kita semua perlu angkat topi dan memberikan apresiasi buat Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tanpa beban, akhirnya Direksi PLN mengakui gagal bayar utang perusahaan untuk tahun ini. Untuk itu, PLN meminta kepada bank agar pembayaran utang untuk tahun 2020 dilakukan tahun depan. Mengakui gagal bayar bukan hal mudah bagi sebuah perusahaan. Langkah ini akan menjadi reputasi bagi PLN di mata pemberi pinjaman, dan investor di masa mendatang. Gagal bayar berarti jatuh peringkat utang perusahaan. Jatuh juga kepercayaan banker kepada perusahaan. Namun suatu kenyataan. Harus mengatakan apa adanya. Ini juga hebat, dan luar biasa. Langkah Berani Tahun ini PLN memotong target pendapatan. Perusahaan listrik negra ini memotong target pendapatan hampir 15%. Ini disebabkan penurunan penjualan listrik akibat pelemahan konsumsi, terutama untuk kelompok industry, cafee, restoran dan lain sebagainya yang terkena dampak covid 19. Pada saat yang sama PLN dituntut menjalankan aksi kemanusiaan dengan mengratiskan listrik untuk pelanggan 450 VA dan memberikan discount 50% untuk 900 VA. Langkah yang tepat. Tentu publik sangat berterima kasih. Meskipun ini memberi konsekuensi. Namun Dirut PLN Zulkifli Zaini kepada media menyatakan, pendapatannya akan turun menjadi Rp. 257 triliun rupiah atau setara U$ 16,7 miliar tahun ini. Turun sekitar 14,6% dari perkiraan sebelumnya sebesar Rp. 301 triliun rupiah. Setiap penurunan 1% dalam permintaan listrik memotong pendapatan PLN sebesar Rp 2,8 triliun. Memang, PLN kehilangan kesempatan untuk memotong biaya dikarenakan kontrak dalam pembelian listrik swasta. Begitu juga kontrak dalam pembelian energy primer, batubara dan gas. Sementara pemerintah tidak menghendaki revisi penurunan harga bahan bakar di tengah jatuhnya harga minyak dan batubara secara global ke posisi paling rendah sepanjang sejarah. Pemerintah bahkan menolak merevisi rumus harga BBM bagi konsumen dalam negeri saat ini. Hasilnya, harga BBM tidak berubah. Memang secara alami konsumsi listrik Indonesia mengalami penurunan. Kondisi ini seiring dengan pelemahan pada pertumbuhan ekonomi. Selain itu, juga akibat bangkrutnya Industri dan melemahnya daya beli masyarakat dalam lima tahun terakhir. Namun, pada saat yang bersamaan, PLN telah terikat tugas dari pemerintah untuk mensukseskan project listrik 35.000 MW. Ada juga kewajiban untuk membeli listrik swasta dengan skema Take Or Pay. Sementara produksi listrik Indonesia telah berlebih di Jawa Bali sejak tahun 2014 lalu. Perusahaan meminta bank apakah pembayaran utang yang jatuh tempo tahun ini dapat ditunda sampai tahun depan? Data PLN menunjukkan bahwa perusahaan memiliki sekitar Rp. 161 triliun kewajiban jangka pendek pada akhir Juni nanti, termasuk pinjaman bank jangka pendek. PLN dan Pertamina adalah dua BUMN dengan utang paling besar, terutama dalam valuta asing. Bagaimana BUMN Lain ? Bagaimana dengan BUMN lain? Apakah Direksi BUMN lain secara kesatria akan mengakui gagal bayar juga dalam tahun ini? Diketahui bahwa beberapa BUMN mengalami masalah dengan utangnya. PT Krakatau Steel misalnya, mengatakan pada bulan Januari akan merestrukturisasi utang sebesar U$ 2 miliar, karena terhuyung-huyung di ambang kebangkrutan. Kondisi PT Krakatau Steel, juga dialami oleh dua perusahaan asuransi milik negara, yaitu PT Jiwasraya dan PT Asabri yang mengalami default. Masalah Jiwasraya terungkap sepenuhnya bulan lalu. Pihak berwenang mengatakan total kerugian negara lebih dari 16 triliun rupiah. Selain itu, dua dari BUMN yang merupakan kunci untuk membangun infrastruktur telah mendorong pinjaman dalam beberapa tahun terakhir. PT Waskita Karya misalnya, yang membangun jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, dan bangunan, termasuk kantor pusat Bank Indonesia di Jakarta, terlihat kalau utangnya melambung tinggi lebih dari 10 kali menjadi Rp. 82,8 triliun. September 2015 lalu, utangnya PT Waskita Karya hanya sebesar Rp. 7,7 triliun. Kondisi yang sasma juga dialami oleh PT Wijaya Karya. Perusahaan yang banyak membangun apartemen komersial dan residensial serta sistem transportasi kereta api dan jembatan itu, hutangnya melonjak tajam. Pada September 2015 hanya Rp. 3,7 triliun, kini melonjak menjadi Rp 21,7 triliun. Jokowi telah berusaha membersihkan perusahaan-perusahaan milik negara sejak memenangkan masa jabatan kedua tahun lalu, dengan menunjuk Erik Thohir, mantan pemilik tim sepak bola Inter Milan Italia sebagai menteri BUMN. Thohir telah berjanji melikuidasi perusahaan yang gagal bayar kewajibanya. Selama lima tahun terakhir, BUMN juga telah menimbun utang luar negeri yang besar. Kebijakan ini berakibat pada meningkatnya biaya pendanaan mereka saat dolar melonjak. Resiko-resiko tersebut tercermin di pasar keuangan. Misalnya, obligasi PT Garuda Indonesia, yang menghadapi kemerosotan. Menurut Bloomberg, kemerosotan obligasi Garuda yang jatuh tempo 3 Juni nanti sebesar U$ 500 juta. Sola utang obligasi ini, PT Pertamina tercatat sebagai perusahaan BUMN yang menimbun utang paling besar. Sampai dengan tahun 2018, utang Pertamina tercatat sebesar Rp 508,4 triliun. Sepanjang 2019-2020 Pertamina juga menambah global bond sebesar U$ 3 miliar, atau setara dsengan Rp 46 triliun. Jumlah itu belum termasuk utang dalam bentuk lainnya. Meskipun gagal dalam membangun kilang-kilang minyak baru. Akusisi perusahaan asing yang habis masa kontrak dengan biaya yang mahal sekarang menjadi masalah tersendiri bagi Pertamina. Pertamina harus berhadapan dengan harga minyak mentah dunia yang paling buruk sepanjang sejarah migas ini. Padahal 70% usaha Pertamina itu adanya di hulu. Kilang-kilang yang dibaiayai mahalpun harus ditutup. Karena lebih mnguntungkan dengan melakukan impor BBM. Privatisasi atau Ditalangi Pemerintah ? Direktur pelaksana Penida Capital Advisors Ltd. Edward Gustely kepada Bloomberg di Jakarta mengatakan, pemerintah harus membuang perusahaan yang berkinerja terburuk . Yang non-strategis dan tidak menguntungkan. Caranya, melalui privatisasi, alias Jual. Namun siapa yang akan membeli ? Cara lain adalah pemerintah menalangi utang seluruh BUMN tersebut, darimana uangnya? Dengan menggunakan dana stimulus yang sekarang tengah digolkan melalui Perpu No 1 Tahun 2020 dan perpres nomor 54 tahun 2020 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P). Pemerintah telah menargetkan utang baru senilai Rp. 1006 Triliun dan sebanyak 420 triliun akan dialokasikan sebagai stumulus menghadapi Covid-19. Kementerian Keuangan mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk mendukung PLN. Pemerintah juga berencana mengumpulkan Rp. 150 triliun untuk membantu perusahaan pulih dari dampak ekonomi dan wabah koronavirus, namun rinciannya belum jelas. Sementara buat Pertamina, belum jelas berapa bantuan dari pemerintah untuk mengatasi penurunan penjualan saat ini. Namun semua akan berjalan lancar jika targer pembiayaan (utang) tercapai. Jika tidak tercapai, maka kemungkinan besar aka ada privatisasi. Ini pilihan yang buruk bagi rakyat, dan pekerja BUMN. Tetapi tampaknya ini cukup menyenangkan hati pemerintah yang tengah membutuhkan uang banyak. Saat ini utang pemerintah dan BUMN berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI) general government debt mencapai Rp. 11.250 trilun. Utang ini untuk membiayai berbagai proyek ambisus pemerintah. Mulai dari proyek infrstruktur listrik, kilang minyak, jalan tol, pelabuhan dan bandara yang sebagian besar sekarang telah menjadi beban karena tidak memberikan cashflow yang baik. Tragisnya, infrastruktur yang dibangun untuk mudik lebaran tahun ini, telah kehilangan momentum. Tidak lagi untuk menyedot daya beli masyarakat, sesuai perintah larangan mudik atau bukan pulang kampung saat lebaran Idul Fitri nanti. Penulis adalah Peneliti Pada Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).

Perppu No. 1/2020 Hanya Copy Paste Dari Perppu No. 4/2008

By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Rabu (22/04). Menjelang akhir tahun 2007, krisis finansial global pecah. Krisis ini membawa ekonomi dunia masuk resesi. Pertumbuhan ekonomi dunia 2008 negatif 1,85 persen. Kondisi ini membuat pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden, menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pada 15 Oktober 2008. Perppu adalah undang-undang (UU) yang diterbitkan secara sepihak oleh Presiden. Perpu bisa saja diterbitakan oleh Presiden tanpa melibatkan dan persetujuan DPR. Sedangkan pembentukan UU garus disetujui kedua belah pihak. Pemerintah dan DPR. Penerbitan Perppu adalah hak subyektif Presiden ketika Presiden merasa adanya ancaman yang membahayakan. Istilah di UU, kegentingan yang memaksa. Sehubungan dengan krisis finansial global, Presiden ketika itu merasa ada kegentingan yang memaksa sehingga menerbitkan tiga Perppu sekaligus. Pertama, Perppu No 2 tahun 2008 tentang Bank Indonesia yang ditetapkan 13 Oktober 2008. Kedua, Perppu No 3 tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan 13 Oktober. Dan Perppu No 4 tahun 2008 (Perppu No 4/2008) tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Perppu diterbitkan karena negara butuh UU yang harus diberlakukan seketika. Ada kegentingan yang memaksa secara mendadak. Sedangkan UU untuk itu belum ada, atau ada tetapi tidak cukup memadai. Karena itu Perppu diterbitkan secra sepihak oleh Presiden. Namun Perppu harus mendapat persetujuan DPR pada masa persidangan berikutnya. DPR bisa menerima atau menolak Perppu tersebut. Sehubungan dengan terbiatnya Perppu No 4/2008, DPR menolak mengesahkan Perppu itu menjadi UU. Penolakan umumnya terkait Pasal 29 yang memberi kekebalan hukum kepada para pejabat serta semua pihak pelaksana Perppu. Mereka para pejabatnya tidak boleh dihukum secara pidana maupun perdata. Rancangan Perppu No.4/2008 itu yang mau diulangi lagi sekarang di Perppu No.1/2020. Pasal 29 Perppu No.4/2008 itu berbunyi “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”. Perppu No 4/2008 juga dianggap memberi wewenang di sangat luar batas kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan status bank bermasalah dan penanganannya. KSSK hanya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur BI sebagai anggota. Selain itu, kekuasaan yang sangat mutlak ada pada Menteri Keuangan. Karena kalau terjadi selisih pendapat antara Menteri Keuangan sebagai ketua KSSK dengan anggota KSSK yang lain, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan keputusan sendiri. Perppu No 4/2008 juga dianggap memberi wewenang absolut kepada KSSK untuk menghilangkan fungsi dan wewenang DPR terkait keuangan negara. Karena Menteri Keuangan dapat mengeluarkan uang negara atas nama krisis tanpa minta persetujuan DPR. Padahal kewenangan DPR itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sekarang terbukti keputusan DPR ketika itu ternyata tepat. Dana pinjaman likuiditas yang diberikan kepada Bank Century ternyata bermasalah. Merugikan keuangan negara. Karena Perppu No 4/2008 tidak disahkan, maka tidak ada pihak yang kebal hukum. Beberapa pihak yang terlibat merugikan keuangan negara diproses secara hukum. Pengadilan menyatakan mereka bersalah, baik dari Bank Century maupun Bank Indonesia. Pemerintah belum lama menerbitkan Perppu No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Cakupan Perppu No 1/2020 ini jauh lebih luas dan lebih “radikal” dari Perppu No 4/2008. Perppu No 1/2020 selain mengatur Stabilitas (atau Jaring Pengaman) Sistem Keuangan juga mengatur kebijakan Keuangan Negara dalam menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional. Perppu No 1/2020 dianggap lebih “radikal” karena pemerintah dapat menentukan APBN secara sepihak tanpa perlu mendapat persetujuan DPR. Defisit anggaran yang awalnya maksimal 3% dari PDB menjadi tidak terbatas, dan berlaku selama tiga tahun. Selain itu, semua pasal yang menjadi alasan DPR menolak Perppu No 4/2008 masih ada di dalam Perppu Pandemi Covid-19 ini. Pasal tentang kekebalan hukum yang banyak mendapat sorotan publik di Perppu No.4/2008, kini nongol lagi di Perppu No.1/2008. Ada tambahan wewenang absolut pemerintah di bidang anggaran yang tidak memerlukan persetujuan DPR. Waktunya bukan saja untuk tahun 2020, tetapi selama tiga tahun. Selain itu, tentang wewenang dan kekuasaan Bank Indonesia dan pemerintah yang sangat besar dalam menentukan dan memberikan pinjaman likuiditas maupun penyertaan modal kepada semua bank yang dianggap kesulitan likuiditas. Begitu juga dengan bantuan kepada perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan. Semua itu dapat dilakukan tanpa persetujuan DPR. Sangat hebat kan Perppu No.1/2020 ini? Secara logika, seharusnya fraksi DPR yang dulu menolak Perppu No 4/2008 diperkirakan juga akan menolak Perppu Pandemi Covid-19 ini. Kalau tidak, masyarakat bisa menilai fraksi-fraksi ini sebagai petualang politik yang hanya membela kepentingan sesaat. Karena alasan untuk penolakan di Perppu No 4/2008 masih sangat valid dan berlaku untuk Perppu No 1/2020 ini. Sedangkan fraksi yang dulu menerima Perppu No 4/2008 untuk disahkan jadi UU, yaitu fraksi Demokrat dan Fraksi PKS, diperkirakan juga akan menolak Perppu Pandemi Covid-19 ini. Alasannya sederhana, yaitu taat hukum dan konsisten dengan keputusan yang lalu. Dengan perhitungan seperti ini, Perppu Pandemi covid-19 menghadapi tantangan untuk ditolak oleh semua fraksi. Dalam bidang hukum ,dikenal yang namanya “yuris prudensi”. Yaitu keputusan hukum pada periode lalu dapat dijadikan acuan untuk memutus perkara yang sama pada periode sekarang. Apakah dalam politik juga akan ada semacam “politik prudensi”? Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

APBN Ringkih Dimasa Krisis Pandemi

Surat Terbuka Kepada Pemerintah, DPR dan BPK By Andi Rahmat Jakarta FNN- Rabu (22/04). Saya membaca keterangan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan soal materi yang diatur oleh Perpres No 20/2020 Tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020. Terus terang, saya mengernyitkan dahi. Terutama karena judulnya cukup menimbulkan tanya. Sebagai mantan anggota Badan Anggaran DPR RI dan Mantan Pimpinan Komisi XI DPR RI, istilah postur dan rincian APBN sudah barang tentu menjadi menu sehari- hari saya selama kurang lebih 10 tahun mengabdi di Senayan. Postur dan Rincian APBN adalah APBN itu sendiri. Dalam hal rincian, selain “satuan tiga” (ini istilah untuk alokasi anggaran yang memuat kegiatan/ jenis belanja pemerintah), semuanya adalah bagian yang melekat dalam pembahasan RUU APBN setiap tahun. Soal “satuan tiga” ini sudah dinyatakan bukan kewenangan DPR dalam pembahasan RUU APBN oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 35/PUU-XI/2013. Selain itu, semua hal yang berkaitan APBN tetap merupakan kewenangan DPR sebagai pemegang Hak Budget menurut UUD 1945. Postur adalah bangunan esensial APBN yang mencerminkan besaran Pendapatan/ Penerimaan Negara. Juga Belanja Negara dan Sumber Pembiayaan Negara. Postur adalah hasil kesepakatan eksekutif dan legislatif dalam pembahasan RUU APBN. Postur itulah yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk pasal demi pasal di dalam UU APBN hasil pembahasan DPR dan Pemerintah. Ringkasnya, Postur yang telah diuraikan dalam bentuk pasal demi pasal itulah yang kita sebut sebagai UU APBN. Begitu aturanya mainnya. Tidak lebih. Karena itu pula, dan dalam rangka memenuhi hak konstitusionalnya, maka DPR membentuk Alat Kelengkapan yang bersifat permanen dalam membahas RUU APBN menjadi UU APBN setiap tahun. Alat kelengkapan ini berna ma “Badan Anggaran DPR”. Demikian juga dengan rincian anggaran. Rincian anggaran adalah penjabaran lanjut dari Postur APBN. Populernya sering disebut sebagai “Nomenklatura”. Yang intinya menjelaskan mengenai besaran porsi alokasi anggaran dari masing-masing institusi pengguna anggaran. Sekali lagi, mengenai jenis kegiatan/ belanja yang lazim disebut sebagai “satuan tiga” tidak termasuk dalam bagian yang dibahas di DPR. Memahami kegentingan yang dihadapi bangsa dan negara kita akibat pandemi Covid-19 ini adalah hal yang penting. Suatu tindakan berskala dan berimplikasi besar memang sepatutnya diambil Pemerintah. Dampak kesehatan dan ekonomi yang tengah kita hadapi ini belum pernah terjadi, bahkan setelah tahun 1965 sekalipun. Krisis 1998 bahkan tidak sebanding dengan apa yang kita hadapi saat ini. Dari kacamata perekonomian, skala persoalan yang dihadapi sekarang ini berpotensi memutus hubungan supply dan demand dalam perekonomian. Masalah yang paling mendasar dalam praktek perekonomian. Diperlukan konsentrasi kebijakan yang extraordinary untuk mempertahankan perekonomian dari kerusakan yang sulit dipulihkan. Itulah sebabnya mengapa tulisan ini berjudul “ APBN Ringkih di Tengah Krisis”. Sebab fundamen dasar dari semua tindakan yang diambil otoritas sudah seharusnya memiliki landasan yang kuat dan tidak mengundang polemik baru. Sumber keringkihannya adalah dasar dari semua tindakan Budgetary otoritas. Bisakah semua tindakan Budgetary pemerintah itu tidak bersumber dari UU APBN? Apakah bisa suatu peraturan dibawah UU seperti Perpres bisa menjadi dasar tindakan Budgetary pemerintah? Sejak kapan pelaksanaan Budgetary Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan Perpu? Sejak kapan Postur dan Rincian Anggaran selain “satuan tiga” bukan merupakan esensi UU APBN? Semua pertanyaan itu adalah sumber keringkihan penanganan krisis. Membiarkan pemerintah dalam “perangkap kebijakan” bukankah merupakan suatu kekeliruan yang fatal? Sejak awal saya mendorong agar Pemerintah mengajukan suatu RUU APBN Perubahan dengan menggunakan Perpu 1/ 2020 sebagai dasar pembahasannya dengan DPR. Yang terjadi adalah, perubahan postur dan rincian anggaran melalui perpres. Perpu itu sendiri diperlakukan sebagai UU APBN. Bukankah ini suatu hal yang sangat ringkih? Kehidupan bernegara yang sehat adalah kehidupan berkonstitusi. Kita memiliki konstitusi yang kuat dan bisa berfungsi secara normal. Bahkan dalam keadaan paling krisis sekalipun. Konstitusi adalah kekuatan ketahanan kita sebagai bangsa dan negara. Saya meyakini, dengan kepala dingin, problematika krisis yang kita hadapi ini bisa kita lewati di atas dasar konstitusi kita. Belum terlambat untuk merevisi apa yang kurang kuat dan ringkih. Krisis tidak akan menenggelamkan jiwa yang optimis dan sadar pada warisan bersejarah pendiri bangsa. Segera ajukanlah APBN saja Perubahan. Dengan modal dukungan kuat di DPR dan mandat kuat yang dimiliki pemerintah, Pembahasan APBN Perubahan tidak akan berlarut-larut. Bisa cepat selesai. Saya pernah di Senayan. Saya tahu, kalau perangkat pengalaman pemerintah dan pimpinan, serta anggota DPR bisa membahas APBN Perubahan ini dalam waktu yang singkat. Jangan biarkan tindakan extraordinary dan bersejarah bangsa kita ini, berpijak pada landasan yang ringkih. Kepada Allah SWT semuanya berpulang. Semoga bangsa kita segera bisa segera keluar dari krisis ini. Wallahu ‘alam Bishawab. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Obligasi Khusus Untuk Informal dan UMKM Tidak Bisa Ditunda

Kesadaran atmosferik ini tidak lagi tertutup. Tapi direspon terbuka dan cepat oleh banyak otoritas keuangan di berbagai belahan dunia. The Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat, merespon situasi ini dengan menggelontorkan paket kebijakan moneter sebesar U$ 2.3 trillion dolar. Sebagian besarnya digunakan untuk memitigasi sektor informal dan UMKM mereka. Padahal, dibanding banyak negara di dunia, infrasturktur politik dan keamanan Amerika jauh lebih memadai. By Andi Rahmat Jakarta FNN- Minggu (19/04). Selain kebijakan yang berhubungan dengan aspek penanganan kesehatan. Ada dua pokok kebijakan bidang ekonomi yang menonjol dari kebijakan yang telah dan akan dikeluarkan pemerintah terkait dengan pandemi Covid 19. Yang pertama, peningkatan dan penggunaan kebijakan pelebaran defisit. Dan yang kedua, perluasan kewenangan Bank Indonesia dalam skema open ended policy, terutama dan termasuk dalam pemberian kewenangan kepada BI untuk masuk ke pasar primer obligasi. Tulisan saya sebelumnya sudah membicarakan mengenai perlunya mengarus-utamakan ekonomi informal dalam kebijakan ekonomi. Juga perlunya menegaskan skala “keberpihakan” kepada UMKM dalam penanganan krisis ekonomi sebagai dampak paralel dari Pandemi Covid 19. Dalam tulisan ini, saya mengajukan proposal tentang perlunya “Obligasi Sektor Informal dan UMKM”. Ini sebagai wujud keberpihakan dan pengaruh mengutamakan kebijakan ekonomi. Pelebaran defisit dan skema Open Ended Policy BI adalah modal utama untuk menjalankan kebijakan ini. Apalagi, Kementerian Keuangan telah mendeklarasikan keinginannya untuk menerbitkan Pandemic Bond dalam upaya memitigasi resiko industri yang terpapar dampak Pandemi Covid 19. Andreas Kluth dalam artikelnya yang berjudul “ This Pandemic Will Lead to Social Revolution” (Bloomberg 11/04/2020) menuliskan “as the coronavirus sweeps the world, it’s hits the poorer much harder than the better off. One Consequence will be social unrest. Even Revolution”. Peringatan artikel Andreas Kluth ini seharusnya menyadarkan kita semua betapa dalamnya resiko krisis yang tengah kita hadapi ini. Bukan hanya krisis kesehatan, tapi juga krisis ekonomi yang bisa berujung pada kegelisahan sosial. Bahkan bisa memicu revolusi. Kesadaran atmosferik ini tidak lagi tertutup. Tapi direspon terbuka dan cepat oleh banyak otoritas di berbagai belahan dunia. The Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat, merespon situasi ini dengan menggelontorkan paket kebijakan moneter sebesar USD 2.3 trillion, yang sebagian besarnya digunakan untuk memitigasi sektor informal dan UMKM mereka. Padahal, dibanding banyak negara, infrasturktur politik dan keamanan Amerika jauh lebih memadai. Terus terang, tulisan saya ini membawa kekhawatiran yang mendalam terhadap tradisi dan pola penangan krisis ekonomi yang selama ini telah dipraktekkan oleh otoritas ekonomi kita. Baik itu di sisi kebijakan Fiskal, maupun kebijakan Moneter. Sensitifitas terhadap problem ekonomi yang dialami sektor informal dan UMKM dalam catatan ingatan kita, selalu berwujud dalam bentuk kebijakan “charity” negara terhadap sektor ini. Dalam kondisi seperti ini, yang diperlukan adalah memberikan penghormatan mutlak terhadap peran dan daya ungkit sektor ini dalam menggerakkan roda perekonomian nasional. Lantas apa yang menjadi konsepsi dasar dari Obligasi Sektor Informal dan UMKM ini? Didalam paket kebijakan Stimulus senilai Rp 405 T, pemerintah memgalokasikan tidak kurang dari Rp 70,1 Triliun untuk Kredit Usaha Rakyat ( KUR). Secara jumlah, fasilitas KUR ini adalah fasilitas terbesar yang pernah dikeluarkan pemerintah sejak krisis 1998. Sebagai permulaan, alokasi ini setidaknya menunjukkan iktikad sehat dari pemerintah menangani dampak ekonomi yang diderita sektor UMKM. Namun ke dalaman persoalan yang membelit sektor UMKM dan ekonomi informal, sudah tentu membutuhkan alokasi kebijakan yang lebih besar lagi. Sebab sumbangsih sektor UMKM terhadap PDB Nasional sejak tahun 2018 telah mencapai lebih dari 60%. Diperkirakan sebanyak 127 tuta tenaga kerja hidup dari sektor ini. Tentu ini perkiraan angka yang menggembirakan kita semua. Khusus ekonomi informal, kendati tidak ada data resmi dalam sumbangsihnya terhadap pembentukan PDB Nasional, namun kontribusinya dalam menyediakan lapangan kerja dimasa krisis sudah tidak diragukan lagi. Sangat membantu dan menolong. Karena sumbangsihnya yang vital dalam struktur PDB Nasional, maka upaya mengatasi krisis ekonomi akibat pandemi Covid 19, secara gradual, sektor UMKM perlu memperoleh porsi yang setara. Alokasi anggaran pemulihan ekonomi sepatutnya mencerminkan porsi sumbangsih tersebut. Tidak sebaliknya. Disinilah terletak arti penting dan perlunya menerbitkan obligasi yang dikhususkan untuk memperkuat sektor UMKM ini. Obligasi ini diterbitkan pemerintah, dan dibeli oleh Bank Indonesia. Pembelian oleh Bank Indonesia, menyebabkan skema alokasinya akan berbiaya murah dan tidak membebani UMKM dengan bunga pinjaman yang mahal. Keuntungan berikutnya adalah keleluasaan pemerintah dalam mengelola dan menghitung resiko Non Performingnya. Dengan ketersediaan dana yang besar dan sasaran penyaluran yang pasti, juga akan berdampak pada tingkat kestabilan sistem keuangan. Dalam penyalurannya, tentu pemerintah akan menggandeng institusi keuangan sebagai perantaranya. Dikarenakan kepastian sasarannya, maka institusi keuangan yang dijadikan mitra tidak akan menjadikan ini sebagai “bancakan” (cash hoarding) dalam neracanya. Bagaimana dengan kemungkinan moral hazardnya? Pengalaman mikro selama ini dalam skema penyaluran KUR dapat dijadikan sebagai contoh dalam soal ini. Tentu saja dengan sejumlah modifikasi yang sesuai. Akuntabilitasnya sendiri memerlukan suatu pengaturan lebih lanjut yang memuat kriteria mitra penyalur dan sasaran UMKM yang spesifik. Pemerintah sendiri perlu untuk mendeklarasikan ini sedini mungkin. Agar langkah-langkah pemulihan ekonomi yang akan ditempuh pemerintah menjadi jelas bagi pelaku usaha UMKM. Pelaku usaha UMKM memerlukan “ruang segar” dalam horison pemulihan ekonomi. Kepastian semacam ini akan menciptakan insentif yang kuat bagi UMKM dan sektor informal dalam membalik keadaan ekonomi mereka. Dalam situasi kritis, horison kebijakan yang memberi “ruang segar” selalu merupakan kunci bagi upaya pemulihan itu sendiri. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Pandemi Korona dan Ancaman Pengangguran

By MH. Said Abdullah Jakarta FNN – Selasa (14/04). Awal Maret 2020 lalu, untuk pertama kali Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien covid 19 di Indonesia. Secara perlahan, grafik penderita covid 19 beranjak naik. Kini telah lebih sebulan, sudah mencapai 4.500 orang lebih penderita covid 19 di seluruh Indonesia. Kita tidak mengetahui akan sampai kapan pandemi ini akan berakhir. Pada skala global, angkanya menunjukkan tren kenaikan dengan cepat. Indonesia, oleh banyak ahli juga diyakini belum mencapai puncak grafik tertinggi jumlah penderita covid 19. Ketidakpastian waktu berakhirnya pandemi korona ini berkonsekuensi terhadap banyak hal pada kehidupan sosial ekonomi kita. Satu dari sekian deret masalah yang terprediksikan bakal menjadi urusan kita, terutama pemerintah adalah bertambahnya pengangguran dan kemiskinan. Itu pasti terjadi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2019 sebesar 5,28% atau mencapai 7,05 juta orang. Angka pengangguran tersebut naik secara jumlah dibandingkan Agustus 2018 sebesar 7 juta orang. Namun turun secara persentase dari sebesar 5,34%. Besar kemungkinan pada 2020 jumlah pengangguran naik akibat slowing downnya ekonomi kita. Data Kementrian Tenaga Kerja (Kemenaker) yang telah dirilis per 7 April 2020 menunjukkan, sektor formal dari 74.430 perusahaan dengan total pekerja 1.200.031 telah terdampak pandemi ini. Rianciannya, sebanyak 873.090 pekerja dari 17.224 perusahaan pekerja formal dirumahkan. Selian itu, sebanyak 137.489 buruh dari 22.753 perusahaan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sementara di sektor informal, sebanyak 189.452 pekerja dari 34.453 perusahaan terkena dampak corona. Artinya, sebanyak 263.882 usaha telah terdampak pandemi korona. Dari data BPS, piramida usaha tahun 2019 menunjukkan, kelompok usaha besar sebanyak 5.460 unit. Sedangkan kelompok usaha menengah 58.627 unit. Kelompok usaha kecil 757.090 unit, dan kelompok usaha mikro sebanyak 62,1 juta unit. Dengan demikian, jumlah total usaha di Indonesia sebanyak 62,92 juta unit usaha. Jika mengacu data Kemenaker per 7 April 2020 di atas, maka diperkirakan sebanyak 0,4% unit usaha dengan berbagai skala telah terkena dampak dari pandemi korona. Perhitungan ini kemungkinan besar tak merangkum sektor sektor informal yang skala rumahan sebagai unit usaha. Selain itu, jasa mikro yang tidak terdata di kementrian maupun pemerintah daerah, seperti pedagang keliling dan tukang ojek. Juga buruh srabutan seiring dengan makin banyaknya daerah yang ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan program social distancing di seluruh Indonesia. Jika secara eksponensial penderita covid 19 terus bertambah. Grafiknya juga tidak menujukkan turun secara konstan, maka implikasi terhadap kelompok usaha dengan berbagai skala juga akan makin banyak terkena dampaknya. Mulai merumahkan karyawan hingga PHK. Dua-duanya secara ekonomi makin costly. Apalagi secara kemanusiaan. Membendung Pengangguran Di luar program penanganan langsung penderita covid 19, pemerintah telah menggulirkan berbagai program jaring pengaman social. Misalnya, stimulus ekonomi sebagai upaya maksimal untuk mengatasi dampak sosial-ekonomi pandemi covid 19. Setidaknya ada tujuh program yang digulirkan pemerintah untuk menambal dampak sosial akibat covid 19. Tujuh program pemerintajh itu diantaranya, Program Keluarga Harapan (PKH), Padat Karya Tunai (PKT), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Sembako, Kartu Prakerja, Subsidi Listrik Untuk Golongan Tertentu, dan Bantuan Sosial Khusus Wilayah Jabodetabek. Anggaran yang dialokasi pada APBN 2020 terhadap ketujuh program tersebut sebesar Rp. 110 triliun. Untuk kebijakan stimulus ekonomi, pemerintah telah menggulirkan bauran kebijakan fiskal, dan moneter. Mulai dari penurunan suku bunga BI Rate, menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah dan valuta asing di bank umum. Selain itu, memperluas underlying transaksi bagi investor asing untuk lindung nilai bagi kepemilikan rupiah mereka. Pada sisi fiskal, pemerintah telah memberikan pembebasan pajak restoran dan hotel di 10 destinasi wisata andalan. Pembebasan pajak penghasilan (PPh) 21 untuk pekerja. penundaan PPh pasal 22 untuk impor, pengurangan PPh pasal 25 untuk badan menjadi 22% pada tahun 2020 dan 2021 dan 20% pada tahun 2022. Juga restitusi PPN selama 6 bulan, dan stimulus kredit untuk plafon maksimal Rp. 10 miliar. Untuk menjalankan kebijakan dan program stimulus ekonomi di atas, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp. 70,1 triliun untuk kredit usaha rakyat, dan 150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional. Apakah program ini akan efektif membendung pengangguran dan memulihkan ekonomi nasional? Saya berkeyakinan program ini akan menjadi obat bagi masalah-masalah sosial-ekonomi yang timbul akibat pandemi korona. Namun ada syarat untuk menjadikan program ini efektif. Pertama, dilandaskan pada data sosial yang akurat, tata kelola yang baik, dan monev yang memadai. Kedua, program ini ada daluarsanya. Estimasi saya, program ini akan efektif maksimal hanya 6 bulan. Itupun dengan asumsi grafik penderita covid 19 tidak makin menjulang tinggi. Bila syarat-syarat di atas obyektifnya tidak terpenuhi, maka program sosial dan stimulus ekonomi menjadi tidak optimal. Sebab itu, tiap bulan pemerintah harus memiliki hasil monitoring dan evaluasi (monev) atas pelaksanaan program program tersebut. Kita tidak sedang berfikir rutinitas. Dibutuhkan ekstra effort untuk menjalankan program tersebut. Oleh sebab itu, semua pihak yang gterlibat jangan main-main. Kita tidak punya banyak “amunuisi” anggaran. Apalagi bantalannya hanya bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN). Saya berharap, setidaknya awal Mei 2020 kita sudah memiliki hasil monev atas pelaksanaan program jaring pengaman sosial dan stimulus ekonomi. Bila kenyataanya tidak menjawab atas postur masalah yang ada, maka martabat pemerintah tidak akan turun. Malah akan dapat apresiasi publik bila bertindak cepat merevisi kebijakan tersebut. Saya yakinkan, Badan Anggaran DPR sepenuhnya akan memberi dukungan dalam upaya pemerintah memberikan yang terbaik untuk rakyat. Terakhir, bila memang pandemi ini berskala waktu lama. Artinya, kita semua, terutama pemerintah harus siap “main panjang”. Karenanya, pemerintah harus punya worst scenario soal ini dengan mempertimbangkan jumlah penderita covid 19 per periode waktu tertentu, dan strategi yang akurat untuk mengatasi dampak sosial-ekonominya. Jika menilik kebijakan ekonomi terutama pajak, dan postur APBN, sebenarnya pemerintah sudah mengarah pada pelambatan ekonomi hingga 2022. Tetapi saya tidak melihat desain program jaring pengaman sosialnya siap “main panjang”. Setidaknya jika dihadapkan potensi eskalasi kasusnya. Karenanya, libatkan banyak pihak yang kompeten untuk mendesain program program tersebut. Kita butuh strategi kreatif, partisipatif, breakthrough yang cepat serta antisipatif. Sebab bila kasus ini makin eskalatif, saya yakinkan, pemerintah sendirian saja tidak akan sanggup. Kita butuh melewati fase ini dengan kebersamaan yang total. Saling mempercayai dan gotong royong. Penulis adalah Ketua Badan Anggaran DPR RI

Krisis, Itu Cara Korporasi Culas Perluas Kewenangan Presiden

Jika seorang hakim tidak melaksanakan tugas-tugas dengan jujur dan tulus terhadap anak yatim, bagaimana dia bisa diharapkan melaksanakan keadilan secara baik terhadap orang lain? Lain halnya hakim-hakim yang jujur dan saleh. Yang dengan keputusan-keputusan mereka yang baik, menghibur orang-orang yang telah patah hati dan memberikan naungan kepada orang-orang miskin dan tertindas yang dicampakkan oleh ketidakadilan dan kejahatan pegawai-pegawai negara. (Isi Surat kedua Al-Gazali kepada Nizamudin Fakhrul Mulk). By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Selasa (14/04). Alhamdulillah naungan Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Rahman dan Maha Bijaksana masih tercurahkan kepada segelintir orang di tengah hidup bernegara. Yang semakin hari makin susah dimengerti ini. Alhamdulillah di tengah kekalutan Corona yang tak tahu kapan berakhir ini, yang telah menyebar hingga ke pelosok negeri, masih Engkau cerahkan akal dan hati mereka. Teguhkanlah Ya Allah akal dan pikiran mereka untuk bisa bekerja secara sungguh-sungguh. Sungguh kalam-Mu membebaskan hamba-hamba-Mu mengurus dan mengatur urusan mereka di dunia ini sesuai kadarnya. Dan Engkau, pemilik pengetahun yang tak terbanding. Lebih mengetahui semua alasan yang tidak diketahui hamba-hamba-Mu. Engkau lebih mengetahui semua alasan, sekecil biji zarrah sekalipun dibalik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020, yang panjang judulnya ini. Pelebaran celah defisit, uang negara yang dipakai telah dinyatakan tak bisa dikualifikasi kerugian keuangan negara, orang-orang yang melaksanakannya tak bisa dituntut di pengadilan perdata, pidana dan tata usaha negara. Semuanya diatur dengan sangat sempurna dalam Perpu ini. Asumsi “mens rea” entah bagaimana rumusnya perlahan-lahan muncul dan menunjukan eksistensinya sebagai benteng untuk semua itu. Begitulah alasan-alasan kecil yang sayup-sayup terdengar menyertai Perpu ini. Perpu ini, dengan demikian memandang orang-orang yang melaksanakannya, dilandasi dengan niat baik. Ini sungguh ilmu baru. Dengan ilmu ini, penyimpangan, andai terjadi, didorong atau disebabkan oleh apapun, tak bisa dibilang sebagai kejahatan. “Actus reus” tak lebih dari sekadar debu. Mungkin lebih kecil dari itu, bahkan mungkin lebih kecil dari Corona, yang tak terlihat oleh mata kasar itu. Itulah hasil dari akal hukum dalam politik baru berbaju darurat ini. Krisis adalah satu hal. Cara menangani, memecahkannya adalah hal lain. Menetapkan derajat krisis, juga adalah satu hal. Ketepatan dalam mendefenisikan derajat krisis itu adalah hal lain, yang menjadi alasan menemukan cara menangani krisis itu. Gegabah, tergesa-gesa, untuk alasan apapun, itu buruk. Darurat adalah sebab. Menjadi alasan lahirnya keabsahan atas hal-hal terlarang, “haram”. Alam mengaturnya begitu. Dikala sebab (alasan) itu hilang, tiada karena munculnya sebab lain yang menghilangkannya, maka darurat itupun hilang dengan sendirinya. Karena sebab yang memunculkan darurat itu telah hilang, maka hilang pulalah darurat itu. Kala darurat itu hilang, maka semua kembali kekeadaan bisa. Normal dengan semua hukum-hukumnya. Itulah yang disebut “Ratio est legis anima, mutate legis rasionale mutates et lex” dalam hukum tata negara dan administrasi negara, sejak dari zaman kuda gigi besi hingga sekarang. Apakah sebab sama dengan akibat? Jika sebab hilang, hilang pulakah akibat? Tidak selalu simetris seperti itu. Ini harus diperiksa secara jujur, berbudi luhur dan tulus. Hanya itu cara yang memungkinkan orang menemukan rinciannya. Sebab politik, tak pernah merupakan sebab alam, tetapi sebab alam selalu memiliki potensi berubah menjadi dan memiliki bobot politik. Dan politik, sedari dahulu kala selalu berasal-usul dari akal jahat manusia. Hanya mereka yang akal dan budi pekerti benar-benar bagus, yang tak mampu mengubah, bukan manipulasi, sebab alam itu menjadi sebab politik. Apakah Corona merupakan sebab alam? Sejauh ini para ahli masih menyelidiki. Ada yang mengaitkannya dengan niat negara tertentu menguasai dunia dengan senjata biologi. Ada pula yang menyangkalnya. Seperti biasa dalam dunia tipu-menipu global. Mereka menyatakan tesis itu terlalu konspiratif. Faktanya Corona ada. Ada ribuan orang diseluruh dunia mati. Perusahaan diseluruh dunia juga sempoyongan. Arsenal, klub sepak bola di Inggris, favorit saya itu pun kelimpungan. Setelah Coach Arteta, anak muda pintar ini disambar Corona, yang Alhamdulillah kini telah sembuh, menejemen sedang mencari cara tepat untuk mengurangi gaji pemainnya. Corona, mahluk kecil tak berbentuk yang Engkau, Ya Allah Ya Karim. Kiriman itu sesungguhnya ujian besar buat kami, hamba-hamba-Mu. Engkau Ya Allah Yang Maha Tahu, dengan semua pengetahuan yang tak satu mahluk-Mu mampu menjangkaunya. Tidak tahu awal dan akhirnya. Kau tahu berat-ringannya ujian ini buat hamba-hambu. Ya Allah Ya Karim, hanya kepada-Mu, kami berserah memohon keringanan-Mu. Ringankanlah pula Ya Allah ya Rahman, hamba-hamba-Mu ini dari ujian Perpu ini. Engkau lebih mengetahui tabiat pemerintahan kami daripada kami. Tebarkanlah ya Allah ya Rahman, Nur Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam ke negeri kami, agar kami dapat menemukan jalan keluar yang tidak membahayakan negeri ini. Bukalah akal dan fikiran Umara-Umara kami. Ya Allah gerakan hati mereka, dan bawalah mereka ke tahun-tahun yang sudah-sudah, untuk dapat dipetik hikmahnya. Godalah mereka dengan tindakan hebat Almarhum Pak Sjafrudin Prawiranegara. Almarhum melepaskan jabatan Presiden, yang dikuasakan Bung Karno kepadanya, sekalipun keadaan politik pada waktu itu masih jauh dari stabil. Momentum Marampok Uang Besar Ampunilah kami dengan ampunan-Mu yang tak terlukiskan itu, sehingga kami, hamba-hamba-Mu ini, yang umara dan ulama, tidak memperdebatkan Perpu ini berdasarkan ilmu Leviatannya Tohams Hobes. Singkapkanlah ya Allah ya Maha Bijak, krisis keuangan tahun 1907 di Amerika. Ya Allah Yang Maha Mengetahi. Bukalah kenyataan itu selebar-lebarnya. Semua peristiwa sebelumnya, yang satu dan lainnya teranyam sedemikian rapinya untuk satu tujuan. Beritahukanlah bahwa krisis keuangan tahun 1907 itu adalah mainan korporasi-korporasi keuangan. Hanya mainan korporasi yang diparaksai oleh J.P. Morgan, Frank Fanderliph, Rockeffeler dan lainnya. Tunjukanlah bahwa krisis itu tidak lebih dari sedekar siasat mereka. Siasat orang-orang rakus dan tamak itu untuk mewujudkan UU Bank Sentral mereka, The Fed’s tahun 1913. Bukalah bahwa ini bukan yang pertama. Bukan pula yang terakhir. Yang pertama sudah dialami oleh Andrew Jackson, Presiden mereka. Manusia ini, Alhamdulillah, Kau beri hikmah sehingga tahu bahwa anak kandung bank tidak pernah lain selain inflasi dan deflasi. Dengan itu dia tolak The Three American Bank, sebagai kelanjutan dari The Second American Bank. Semacam bank sentral kala itu. Engkau yang Pada-Mu semua jiwa hamba ini bergantung. Sudilah dengan kearifan-Mu bukan kenyataan tahun 1933-1945. Ya Allah Yang Maha Mulia, yang Kemuliaan-Mu tak terjangkau satu mahlukpun. Tunjukanlah bahwa krisis keuangan, bahkan ekonomi besar yang diawali dengan The Bank Crash tahun 1929 itu, tidak lebih dari siasat kelompok-kelompok di atas untuk meraup uang. Beritahukanlah Ya Allah Yang Maha Tahu, bahwa krisis itu juga siasat kapitalis culas dan tamak untuk memperbesar kekuasaan presiden. Lalu mereka benarkan dengan segala macam pendapat. Diantaranya argumen political progressive, implied power, inheren power, inherent or aggregate authorithy. Padahal konsep tersebut, tidak lebih dari sekadar siasat kelompok-kelompok kapitalis culas mendorong presiden bertindak di luar batas konstitusi. Presiden dapat bertindak tanpa batas. Tanpa ada halangan daro legislatif. Hanya untuk mewujudkan keuntungan mereka semata. Semangatnya adalah semangat kapitalis keparat. Mereka menggunakan presiden untuk kepentingan mereka. Dengan konsep itu pula, maka kekuasaan non konstitusi diberi kepada presiden. Presiden, dengan argument itu berhak bertindak di luar batas konstitusi. Praktis krisis keuangan telah menjadi modus vivendi kapitalis meraup uang. Itu juga yang terjadi pada negara kami tahun 2008 dulu. Dalam konteks yang lain, ini cara untuk memperluas kekuasaan yang mirip dan pernah terjadi di Indonesia di ujung tahun 1959. Negara dinyatakan dalam keadaan darurat, lalu lahirlah extra power presiden. Terpukullah DPR hasil pemilu 1955. Organisasinya ditata, juga formasi keanggotaannya. Presiden mengendalikan sebagian besar kehidupan bernegara, termasuk kehidupan legislatif. Pola ini seperti mempraktikan fikiran Woodroow Wilson, presiden Amerika pada awal perang dunia pertama itu. Fikirannya itu terkenal dalam ilmu administrasi negara Amerika dengan organic state theory. Keseimbangan adalah fitrah alam. Siapapun yang mengubah keseimbangan itu, ia akan terpukul oleh arus baliknya yang tak seimbang. Ada yang lolos dari putaran mematikan arus itu, ada yang tidak. Tetapi yang lolos dan yang tidak lolos sama-sama ditunggu diakhirat nanti. Kau sendiri di sana, di hadapan-Nya. Tidak ada satupun staf dan anak buah yang membantumu di akhirat nanti. Perpu Corona ke MK Alam akhirat menanti siapa saja. Yang kecil maupun besar. Yang berpangkat maupun tidak. Yang kaya maupun yang miskin. Yang rajin menjilat maupun rajin mengeritik. Semuanya ditunggu alam akhirat. Itu pasti. Tidak ada rahasia di sana. Namun sebelum ke alam itu, orang-orang ini akan memasuki alam Mahkamah Konstitusi. Macam apa alam ini? Wallahu a’lam. Karena tak bisa diraba, maka doa saja yang bisa sertakan kepada para pakar yang telah memilih meniti jalan terjal memasuki alam ini. Hanya dengan doa saja yang dihaturkan ke Allah Azza wa Jallah, pemilik ilmu pengetahuan ini semoga Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan setara kekuatan “hakim yang bernama Syuraih”. Syuraih tidak gentar Ummar Bin Khattab, yang bergelar Amirul Mukminin-nya. Gelar tidak Umar ia bikin sendiri, melainkan disematkan oleh rakyatnya. Syuraih adalah satu di antara tiga hakim yang diangkat oleh Amirulmukminin. Ditempatkan di Kuffah, Irak. Suatu hari Sayidina Umar punya kasus. Kasusnya adalah Umar membeli seekor kuda. Begitu kuda itu dinaiki Sayaidina Umar, kudanya kehabisan tenaga. Tak bisa jalan. Umar mau mengambalikan. Pemilik yang telah menjual kuda itu tidak mau terima. Tak seperti penguasa-penguasa lalim. Sayidina Umar tak menggunakan kekuasaannya mengakhiri kasus itu. Ia malah berkata “kalau begitu harus ada orang yang menengahi antara kita berdua”. Top solusi yang ditawarkan oleh Amirul Mukminin. Dan sipenjual kuda berkata, Syuraih orang Irak itu. Umar oke menyanggupi. Apa putusan Syuraih? Sesudah mendengarkan keterangan keduanya (ini prinsip audi et alteram partem – fair hearing), Syuraih berkata “Amirul Mukiminin ambillah yang sudah anda beli, atau kembalikan seperti waktu anda ambil”. Kata Umar seperti ditulis oleh Muhammad Husen Haikal, keputusannya hanya begini? Umar yang Amirul Mukminin menerimanya dengan ikhlas dan penuh keimanan. Seagung-agungnya Mahkamah. Tentu tidak lebih agung dari putusan hakim yang adil. Seadil-adilnya hakim adalah hakim yang tak tunduk dan berlutut, dengan semua argumentasinya pada penguasa. Sehebat-hebatnya penguasa tidak lebih hebat dari penguasa yang membiarkan. Bukan meminta dengan cara tak terlihat agar hakim berpihak padanya. Ya Allah Yang Maha Tahu, Engkau mengetahui jalan hukum dunia tidak pernah jauh dari yang terjal. Terangilah jiwa para pemutus ini, agar mereka tahu bahwa jalan menuju puncak hakikat, selalu terjal disepanjang mata hati memandang. Sungguh, Ya Rabb Al-Haq, engkau tahu di puncak jalan itu, pendaki yang konsisten akan menemukan saripati kehidupan. Kala saripati itu tersingkap dan memeluk pendaki, penguasa dunia serasa kecil, sekecil virus Corona. Pada-Mu Ya Allah urusan ini akan menemukan jalannya. Indah atau buram, itulah ketentuan-Mu. Inya Allah. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Ekonomi Indonesia Ambruk Bukan Karena Adanya Covid-19

Kalau mau, wabah Covid-19 yang tengah melanda dunia ini merupakan momentum untuk membenahi tata kelola ekonomi Indonesia yang sudah buruk sejak awal. Sebelum datangnya virus Covid-19 awal Januari 2020 lalu. Segera benahi tata kelola yang buruk selama ini. Kalau tidak sanggup untuk membenahi secara mendasar sistem ekonomi dan keuangan Indonesia, mendingan lempar handuk saja. Kasih kesempatan kepada anak-anak bangsa yang lain untuk melakukan pembenahan. Bagaimana caranya? Sangat mudah, dan gampang sekali. By Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Sabtu (11/04). Banyak sekali sektor ekonomi yang diuntungkan akibat pelemahan ekonomi global sebagai implikasi dari wabah Covid-19 ini. Tidak seperti yang tergambar selama ini seolah-olah seluruh sektor ekonomi akan ambruk karena Covid-19. Padahal bukan itu penyebabnya. Bayangkan, saja akibat Covid-19 telah menimbulkan implikasi melemahnya harga barang-barang yang selama ini diimpor oleh Indonesia. Terutama sekali migas, bahan baku industri dan barang-barang konsumsi. Pelemahan ekonomi global telah berdampak pada penurunan harga-harga bahan mentah dan bahan baku secara drastis. Apalagi sekitar 70 % impor Indonesia adalah bahan baku. Sektor migas dan BUMN migas adalah sektor yang panen paling besar dalam keadaan Covid-19 sekarang ini. Bayangkan, harga minyak mentah telah jatuh lebih dari 50% dibandingkan asumsi APBN 2020. Harga minyak sekarang rata -rata U$ 20-25 dollar per barel. Jatuh paling bawah bila jauh dibandingkan dengan asumsi APBN U$ 62 dollar per barel. Dengan kondisi ini, biaya produksi perusahan migas seperti Pertamina akan turun sangat besar. Karena minyak mentah merupakan komponen biaya terbesar dalam struktur produksi migas. Sementara harga jual migas masih berada pada posisi yang menguntungkan. Belum ada perubahan harga sampai saat ini. Perusahan BUMN seperti Pertamina bisa menekan harga impor BBM yang sangat besar. Bayangkan saja, Ron 92 bisa dibeli dalam kontrak di Singapura dengan harga 22 dolar per barel, atau Rp 3.300 per liter. Sementara harga jual BBM dalam negeri berhasil dipertahankan atau tidak ada perubahan harga. Menurut salah satu sumber, di Malaysia harga BBM Ron 95 adalah Rp. 4500 per liter. Begitu juga harga beli bahan baku LPG di Saudi Aramco telah turun lebih dari 25% . Sementara harga jual gas LPG di dalam negeri sebelum penurunan harga bahan baku LPG sudah menguntungkan BUMN. Apalagi sekarang. Pihak lain yang sangat diuntungkan oleh pelemahan harga energi primer ini adalah PLN. Pelemahan ekonomi dunia telah berimplikasi pada pelemahan batubara, gas dan minyak. Dua jenis energi ini merupakan komponen energi primer yang selama ini menjadi pos terbesar dalam biaya produksi PLN. Harga batubara jauh sekali berada di bawah harga yang dipatok oleh pemerintah, yakni U$ 70 dollar per ton (harga batubara domestik market obligation/DMO). Sementara harga batubara di pasar tinggal U$ 30-35 dollar per ton. Demikian juga harga gas dan harga bahan bakar lainnya. Kesempatan ini merupakan momentum penting dan berharga bagi PLN dalam menekan harga energi primer. Segera melakukan renegosiasi harga dengan pembangkit independent power producer (IPP). Pada tingkat harga jual listrik sekarang ini akan menghasilkan keuntungan berkali kali lipat bagi BUMN jika tidak ada perubahan harga jual dalam negeri. Bagaimana dengan perusahaan swasta? Banyak yang diuntungkan oleh pelemahan harga minyak global. Perusahan swasta di Indonesia dapat melalukan impor solar dengan harga yang sangat murah untuk menunjang kegiatan produksi mereka. Mereka dapat memproduksi listrik untuk kebutuhan sendiri dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan sebelumnya. Demikian juga dengan harga bahan baku bagi industri lainnya, seperti bahan baku industri dasar besi, baja, plastik dan lain sebagainya, yang harganya juga jatuh. Terus bagaimana dengan nasib perbankkan dan sektor keuangan? Ini juga menjadi oportunity tersendiri yang baik. Sebab di saat masyarakat dalam keadaan kesulitan uang, maka bank bisa panen besar. Permintaan kredit konsumsi akan meningkat tajam dalam jangka pendek. Semua ini bisa terjadi, karena masyarakat kesulitan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Demikian juga dengan lembaga keuangan seperti asuransi yang juga akan makin rame peminat di tengah keresahan sosial yang luas akibat krisis dan wabah belakangan ini. Tata Kelola Pemerintah Buruk Jadi, tidak seperti asumsi dan prediksi pemerintah bahwa akibat pandemic wabah Covid-19 ini, akan terjadi krisis keuangan dan perbankan, sehingga perlu dikeluarkan Perpu No 1 Tahun 2020, yang berkaitan dengan darurat sektor keuangan dan perbankan. Perlu disiapkan skema dana talangan untuk bank dan sektor swasta yang akan kolaps nanti. Logika semacam itu sangat tidak berlandaskan pada fakta-fakta yang sebenarnya terjadi. Sampai hari belum ada Stress Test tentang bank. Belum juga ada bank yang menyatakan keadaan keuangannya memburuk akibat dari pandemic Covid-19, sehingga membutuhkan dana talangan. Keadaan sektor keuangan yang memburuk memang bukan karena pandemic Covid-19. Sama dengan kondisi APBN yang juga memburuk, bukan akibat Covid-19. Resesi sektor keuangan dan bangkrutnya APBN 2020 belakangan ini dikarena tata kelola yang sangat buruk dari pemerintah. Sebagai gambaran, beban utang yang ditumpuk sangat besar oleh APBN dan sektor keuangan. Begitu pula dengan penggunaan dana publik yang besar oleh pemerintah dalam mega proyek infrastruktur. Ada juga masalah lain seperti pengelolaan yang tidak akuntable, dan maraknya korupsi. Sehingga momentum wabah Covid-19, justru menjadi kesempatan emas bagi penyelenggara negara dan BUMN untuk introspeksi dan melakukan banyak pembenahan. Kalau mau, wabah Covid-19 yang tengah melanda dunia ini merupakan momentum untuk membenahi tata kelola ekonomi Indonesia. Segera membenahi tata kelola yang buruk selama ini. Kalau tidak sanggup untuk membenahi secara mendasar sistem ekonomi dan keuangan Indonesia, mendingan lempar handuk saja. Kasih kesempatan untuk anak-anak bangsa lain melakukan pembenahan. Bagaimana caranya? Sangat udah, dan gampang sekali. Tinggal mau atau tidak saja. Cara yang paling mudah dan gampang adalah dengan mengurangi ketergantungan pada impor. Segera bangkitkan dan hidupkan kemampuan industri nasional. Juga mengurangi ketergantungan pada utang. Sehingga momentum ini menjadi kesempatan emas untuk bangsa ini berdikari di bidang ekonomi. Kebetulan sekali pekan ini merupakan musim panen padi. Tugas pemerintah adalah bagaimana memastikan rakyat bisa berbelanja. Kalau lapangan kerja masih kurang, maka pemerintah bisa kasih uang ke rakyat agar bisa berbelanja. Bisa langsung, bisa juga tidak langsung. Karena 57-60 persen GDP Indonesia sumbangan atau kontribusi dari konsumsi. Pelemahan konsumsi masyarakat inilah yang sangat terasa dan makin memburuk dalam lima tahun terakhir. Jadi, ekonomi Indonesia memburuk bukan karena dampak dari pandemic virus Covid-19. Namun karena salah kelola dari pemerintah yang membuat ekonomi Indonesia sudah memburuk sejak awal. Buruk sebelum datangnya Covid-19 awal Januari 2020 lalu. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Anies Baswedan, Pemicu Penguatan Kurs Rupiah?

Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Adalah Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo yang menyebutkan bahwa rupiah bergerak stabil dan menguat setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). "Pak Gubernur DKI Pak Anies Baswedan mengumumkan terkait PSBB, berbagai kondisi ini membawa kepercayaan di pasar. Ini yang kemudian saya sampaikan bahwa rupiah bergerak cenderung stabil dan menguat," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam video conference, Kamis (9/4), sebagaimana dikutip CNN Indonesia.com. Pernyataan Gubernur BI ini tentu bukan ucapan kaleng-kaleng. Pernyataan ini niscaya didukung data empirik dari pasar uang (money market). Sebagai otoritas moneter, Gubernur BI tentu selalu mendapat laporan rutin dari bawahannya yang menangani bidang treasury. Pejabat BI di bagian treasury inilah yang bertugas memantau pergerakan mata uang dunia dan sesekali melakukan Operasi Pasar Uang Terbatas atau intervensi ke pasar. Dalam perdagangan di money market, pergerakan kurs mata uang selain ditentukan hukum ekonomi permintaan dan penawaran, juga dipengaruhi oleh sentimen baik dari dalam maupun luar negeri. Dalam kasus penguatan rupiah sebagaimana diutarakan Gubernur BI, maka stabilitas rupiah kali ini lebih disebabkan faktor sentimen yakni kebijakan penerapan PSBB di wilayah DKI Jakarta. Kebijakan tersebut telah membuat market confident. Para pelaku pasar memiliki persepsi bahwa kalau PSBB di DKI Jakarta bisa diikuti daerah lainnya, akan memberikan sentimen positif lebih banyak ke pasar. Sebab, hal itu akan mengurangi dampak negatif terhadap sektor keuangan. Pada hari Kamis 9 April 2020, atau sehari sebelum diberlakukan PSBB di Jakarta, kurs tengah USD-Rupiah berada di posisi Rp 16.241 per USD. Gubernur BI merasa percaya diri rupiah akan mengarah ke Rp15 ribu per dollar AS pada akhir tahun 2020 nanti. Seperti kita ketahui bersama, pada bulan Maret lalu kurs rupiah bergerak volatile. Bahkan sempat bertengger di level Rp16.500 per dolar AS. Karenanya wajar jika waktu itu BI meningkatkan intervensi di pasar uang untuk menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Bahkan BI telah menggelontorkan likuiditas hampir Rp 300 triliun. Namun langkah BI ini dianggap seperti menggarami lautan karena tidak didukung oleh kebijakan fiskal yang tepat. Kebijakan fiskal ini merupakan domain pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Keuangan. Ada hal menarik jika kita mengamati respon pasar keuangan terhadap kebijakan pemerintah dalam mengatasi wabah Covid 19. Pelaku pasar langsung memberi respon positif ketika Gubernur DKI Anies Baswedan mengumumkan akan menerapkan kebijakan PSBB. Sebaliknya ketika pemerintah pusat melalui Presiden Joko Widodo, mengumumkan tentang stimulus ekonomi dalam bentuk Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terkait penanganan wabah Covid 19, pasar keuangan tidak memberikan respon yang luar biasa. Reaksinya biasa-biasa saja. Ketika saya dulu masih berkutat di lapangan menulis dari lapangan seputar laporan bidang keuangan dan moneter, para pelaku pasar baik di capital market maupun money market, bisa "menghukum" otoritas moneter maupun fiskal jika kebijakannya tidak kredibel. Mereka yang berkutat di pasar keuangan, umumnya sudah mengetahui fundamental keuangan ekonomi Indonesia. Jadi kalau ada para pejabat yang berbohong atau membuat kebijakan yang tidak tepat terutama dalam menghadapi situasi krisis seperti sekarang, para investor di financial market biasanya akan segera mengamankan aset mereka dengan menjual saham atau memborong dollar AS. Di sejumlah negara maju, para pejabat yang memiliki otoritas di bidang keuangan dan moneter, umumnya lebih hati-hati dalam membuat pernyataan. Bahkan pada zamannya, Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) Alan Greenspan, merupakan sosok otoritas moneter yang sangat kredibel. Dia batuk sedikit saja, harga saham dunia maupun kurs mata uang bisa ikut terguncang. Sementara pejabat di Indonesia, sering serampangan dalam membuat pernyataan. Misalnya, Menteri BUMN Erick Thohir yang beberapa hari lalu membuat pernyataan yang menyebutkan bahwa dalam situasi terburuk rupiah bisa mencapai Rp 20.000 per dollar AS. Erick Thohir mengatakan, kondisi perekonomian Indonesia sangat terdampak dengan mewabahnya virus corona. Selain pertumbuhan ekonomi yang melemah, lanjut Erick, nilai tukar rupiah juga bisa tergerus karena efek corona. Bahkan, dalam skenario sangat berat, nilai tukar rupiah bisa mencapai Rp 20.000. “Nilai tukar (rupiah) melemah menjadi Rp17.500, sangat berat Rp 20.000,” kata Erick sebagaimana dikutip Kompas.com. Pernyataan Menteri BUMN ini secara tidak langsung bisa mendorong masyarakat untuk memborong dollar AS. Sebagai pejabat negara, Menteri BUMN Erick Thohir seharusnya bisa ikut meredakan keadaan dan mengurangi kecemasan masyarakat terutama para pengusaha serta para investor. Bukan malah menambah rasa khawatir di masyarakat. Oleh karena itu wajar kalau kemudian ada sementara kalangan yang menuduh Erick Thohir ikut bermain dan berdagang mata uang asing karena dengan sengaja dia telah membuat pernyataan kurs rupiah bisa mencapai Rp 20.000/dollar AS. Tuduhan itu menjadi relevan jika dikaitkan dengan latar belakang Menteri BUMN sebagai seorang pengusaha. Alih-alih menyumbangkan sebagian kekayaannya untuk membantu penanganan wabah Covid19 atau membantu masyarakat yang terdampak Virus Corona, Menteri BUMN Erick Thohir justru berusaha mengail di air keruh. Begitulah kalau pengusaha menjadi penguasa. Semoga orang-orang yang hendak memanfaatkan derita masyarakat akibat wabah ini bisa dicegah melalui instrumen kebijakan pemerintah yang kredibel seperti kebijakan Pemda DKI Jakarta dalam penerapan PSBB. Wallahu a'lam bhisawab. Penulis Wartawan Senior.

Perpu Corona Untuk Selamatkan Lembaga Keuangan Busuk

Menghadapi pandemic Covid-19, pemerintah maIahirkan Perpu No.1 tahun 2020. Isinya hanya tentang “uang, utang dan penyelamatan oligarki keuangan yang telah membusuk. Tragisnya, di dalam Perpu ini tidak ada kata-kata rumah sakit, obat, dan dokter" yang hampir mencapai 30 orang meninggal dunia, dan mencapai rekor tertinggi di dunia. By Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Kamis 909/04). Secepat kilat pemerintah menetapkan keadaan Indonesia darurat. Dalam kondisi kegentingan memaksa, sehingga kuat alasan bagi pemerintah mengeluarkan Perpu yang mengomnibus law sejumlah undang-undang. Diantaranya, UU APBN, UU keuangan Negara, UU OJK, UU BI, UU LPS, dan berbagai UU Perpajakan serta UU Keuangan lainya. Apa isi Perpu Nomor 1 Tahun 2020? Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Wrus Desease 2019 (Covtd- 19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Semua tentang uang, uang dan uang. Meskipun judul Perpu ini panjang lebar, namun sama sekali tidak membicarakan tentang bagimana menyelamatkan nyawa dan ekonomi bangsa dari corona. Namun bangaimana momentum corona menjadi legitimasi untuk menyelamatkan lembaga keuangan terutama perbankkan. Padahal korban korona terus berjatuhan dan penderita meningkat secara cepat. Perpu No 1 tahun 2020 hanya bicara uang dan kekuasaan para pemegang jabatan keuangan dan fiskal. Bayangkan dalam Perpu ini, ada 51 kata pajak dengan muatan stimulus dan keringanan pajak. Juga ada 13 kata menteri keuangan berkait dengan kekuasaan dan keweanganya dalam keadaan darurat. Ada juga 24 kata KSSK yang juga diketuai oleh Menteri Keuangan. Ada 17 kata sistemik yang merujuk pada kegagalan sistemik sentor keuangan khususnya perbankkan. Ada 14 kata utang dengan muatan rencana pemrintah mengambil utang. Patut diingat, hanya ada satu kata gugat. Itu pun ke Tata Usaha Negara. Artinya, kebijakan apapun tidak dapat digugat pidana, perdata dan Tata Usaha Negara. Lalu apa yang tidak ada dalam Perpu No. 1 ini? Tidak ada kata pangan, yang akan menjadi masalah besar selama wabah ini berlangsung. Tidak ada kata Bahan Bakar Minyak dan Gas LPG yang akan makin berat dibeli oleh masyarakat pada saat bencana ini berlangsung. Padahal harga gas seharusnya turun. Tidak juga ada kata listrik yang akan makin sulit dibayar oleh rakyat selama wabah berlangsung. Jadi kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar rakyat sama sekali tidak dianggap sebagai masalah prioritas akibat Covid-19. Bahkan di dalam Perpu ini tidak ada kata rumah sakit, tidak ada kata obat, dan tidak ada dokter yang hampir mencapai puluhan orang meninggal dunia. Angka ini mencapai rekor tertinggi di dunia. Lalu apa logika Perpu No 1 Tahun 2020 ? Sangat bahaya. Lalu apa isi Perpu No 1 Tahun 2020 ? Berikut ulasannya : Bikin Utang Tanpa Batas Pemerintah seperti ketiban durian runtuh? Wabah korona menjadi alasan untuk berutang besar besaran. Batas utang yang diatur dalam UU Keuangan negara sebesar maksimal 3% GDP dihapuskan. Pemerintah dapat mengambil utang tanpa batas selama tiga tahun ke depan. Utang tanpa batas ini termaktub dalam Pasal 2 ayat (1). Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut. Point 1, defisit APBN melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022. Point 2, sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Point 3, penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada point 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka point 2, dilakukan secara bertahap. Luar biasa ya ? mau menabrak UU keuangan negara yang selama reformasi menjadi acuan pemerintahan sebelumnya. Rekayasa Surat Utang Negara? Selanjutnya tiga ketentuan lebih lanjut mengenai skema dan mekanisme pembelian Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara di pasar perdana pada ayat (1) diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia, dengan mempertimbangkan kondisi pasar Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara, pengaruh terhadap inflasi, dan jenis Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara. Jadi pemerintah mau menjual obligasi, dengan meminta BI untuk membelinya, namun dengan harga yang diatur menurut maunya keduanya. Misalnya, bunga diantur menurut maunya keduanya saja. Padahal kenyataan di lapangan membuktikan lain . Kenyataan di lapangan, bukankah obligasi pemerintah Indonesia sedang ambruk, tidak laku, tidak diminati? Karena depresiasi mata uang rupiah yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang stagnan, daya beli masyarakat yang merosot, serta penerimaan pajak yang amblas. Jadi, mana ada harganya surat utang pemerintah Indonesia sekarang di mata dunia? Itulah mengapa ditetapkan polanya saling baku atur dengan BI semacam ini. APBN Untuk Subsidi Bank Begitu pemerintah dapat utang, maka segeralah mereka mengambil ancang ancang untuk mensubsidi bank. Inilah modus dari Perpu ini. Ini berbhaya. Bukankah lembaga lembaga keuangan dan bank berada dalam kondisi buruk dalam lima tahun terakhir? Alasannya , masih seperti dulu, bank itu berdampak sistemik. Dulu yang begini selalu berakhir dengan korupsi berjamaah. Bagaimana mensubsidi bank? Sebagaimana Pasal 18. Pertama, dalam hal bank sistemik yang telah mendapatkan pinjaman likuiditas jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) masih mengalami kesulitan likuiditas, maka bank sistemik dapat mengajukan permohonan Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK) kepada Bank Indonesia. Kedua, terhadap permohonan Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan meminta penyelenggaraan rapat KSSK. Ketiga, dalam rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KSSK membahas dan memutuskan pemberian Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK) dengan mempertimbangkan penilaian oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang berisi paling kurang informasi kondisi keuangan terkini bank sistemik yang bersangkutan. Selain itu, pemnberiam PLK juga atas rekomendasi Bank Indonesia dengan memperhatikan hasil penilaian yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai skema dan mekanisme pemberian Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK) diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Uang LPS Sudah Raib? Mana Uang Lembaga Penjamin Simpanan Selama ini? Apakah dananya sudah habis? Kecurigaan ini sangat beralasan. Faktanya banyak dana-dana publik yang dikeruk masuk ke dalam Surat Utang Negara , seperti dana Haji, Taspen, Askes, dan Asabri. Mengapa LPS harus diberi uang oleh pemerintah? Sebagaimana disebutkan dalam Perpu mengenai kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 20 ayat (1) untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan. LPS diberikan kewenangan untukmelakukan persiapan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan untuk penanganan permasalahan solvabilitas bank. LPS boleh melakukan tindakanpenjualan/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki kepada Bank Indonesia. Menerbitakan surat utang, pinjaman kepada pihak lain, atau pinjaman kepada pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal. Selanjutnya, untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pemerintah diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman kepada LPS. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Jadi sungguh dahsyat Perpu 1 tahun 2020 ini. Memanfaatkan momentum kepanikan global dan kesusahan bangsa Indonesia untuk mendanai sektor keuangan, bank dan mungkin asuransi, yang selama ini justru bersama oligarki menjadi biang kerok kerusakan ekonomi nasional. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)