EKONOMI
Harus Dibuka Siapa Korporasi Licik Penerima Dana Covid
by Haris Rusly Moti & Salamuddin Daeng Masyarakat dan publik wajib untuk mengetahui siapa saja korporasi dan lembaga yang menjadi penerima alokasi APBN darurat akibat Covid. Ini penting, untuk mencegah skema skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Century jilid dua terulang kembali. Pemerintah Joko Widodo harus membuka informasi korporasi penerima dana covid kepada rakyat. Pada tanggal 12 Juni 2020, kami selaku warga negara telah menempuh langkah konstitusional. Langkah itu diatur di dalam UU Nomor 14 tahun 2008, tentang keterbukaan informasi publik. Kami minta agar informasinya harus disampaikan kepada rakyat. Jangan hanya diam-diam antara pemerintah dan DPR. Berdasarkan UU tersebut, kami secara resmi telah meyampaikan tuntutan kepada Pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo. Kementerian Keuangan RI selaku Bendahara Negara untuk membuka ke publik terkait beberapa informasi yang menyangkut APBN Darurat Covid untuk alokasi penanganan darurat Covid. Juga yang dipakai untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pertama, korporasi swasta mana saja yang mendapatkan suntikan dana dari APBN dalam berbagai skema tersebut? Termasuk diantaranya skema bail out dengan rute yang agak panjang seperti reklasasi kredit. Publik jangan sampai tidak tau masalah ini. Selain itu, perlu dibuka juga penyertaan modal pemerintah ke bank untuk tujuan penyelamatan kredit macet oligarki. Berapa nilai dana yang disuntikan kepada masing masing corporasi? Untuk apa saja alokasi dana tersebut digunakan? Kedua, BUMN mana saja yang memperoleh alokasi Penyertaan Modal Negara (PMN) atau suntikan dana bentuk lainya? Berapa nilainya untuk setiap BUMN? Apa alasan BUMN tertentu menerima suntikan dana PMN tersebut? Untuk apa saja alokasi suntikandana tersebut digunakan? Ketiga, program darurat apa saja yang dibiayai oleh APBN darurat Covid? Berapa nilai dari tiap-tiap program? Lembaga apa saja yang menjadi menerimanya? Siapa yang menjadi penguasa anggarannya? Publik wajib untuk mengetahuinya. Keempat, dari mana sumber anggaran pembiayaan seluruh skema suntikan dana kepada korporasi tersebut? Mohon untuk diberikan rincian sumber anggaran pembiayaannya tersebut. Ini juga penting diketahui publik. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, beberapa permasalahan yang ingin kami ketahui tersebut adalah bagian dari informasi yang harus diketahui oleh publik. Jangan sampai tidak. Ditegaskan di dalam Pasal 10 UU Keterbukaan Informasi Publik, informasi tersebut wajib diumumkan secara serta-merta. Karena informasi tersebut terkait erat dengan hajat hidup orang banyak. Jangan hanya pejabat pemerintah yang mengetahui. Publik juga tentu berhak untuk mengetahui penggunaan anggaran, terutama yang berasal dari utang luar negeri. Apalagi utang dalam rangka penanganan darurat Covid-19.Juga pinjaman luar negeri untuk pemulihan ekonomi nasional. Sebab dampak pendemi Covid 19 yang sangat erat dengan kebutuhan hidup masyarakat banyak. Sebagaimana diatur dalam ketentuan UU No. 14 Tahun 2008 bahwa setiap instansi pemerintah pusat dan daerah wajib membuat laporan kinerja serta membuka akses informasi untuk publik. Harus menyediakan informasi yang akurat, benar dan tidak menyesatkan. Jika informasi yang kami butuhkan sesuai permintaan di atas tidak dipenuhi, maka dalam waktu yang ditentukan berdasarkan, kami akan mengajukan proses hukum lebih lanjut ke Komisi Informasi Publik (KIP). Proses hokum itu ditujukan kepada Menteri Keuangan RI sebagai Bendahara Pengelola Keuangan Negara. Kementerian Keuangan harus membuka Informasi terkait alokasi APBN Darurat Covid untuk penanganan darurat Covid maupun untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Jangan sampai ditutup-tutupi. Terutama yang dialokasikan kepada koprporasi dan lembaga. Beberapa alasan kami menuntut Kementerian Keuangan membuka informasi ke publik terkait alokasi APBN Darurat Covid.Pertama, ada indikasi suntikan dana APBN pada korporasi baik BUMN, maupun swasta, telah menjadi bancakan mereka oligarki ekonomi dan politik. Bancakan tersebut diantaranya untuk persiapan dana pemenangan pemilu 2024. Kami tengarai modus skandal BLBI dan Century sedang dijalankan dalam skema yang soft dan rute yang panjang. Kedua, jumlah anggaran yang dialokasikan sering berubah ubah. Sebelumnya Rp. 405,1 triliun. Namun beberapa kali diajukan perubahan. Terakhir diputuskan naik menjadi Rp. 641,17 triliun. Kuat dugaan kami, anggaran dana APBN Darurat ini adalah pesanan dari sekelompok orang untuk mendapatkan suntikan dana APBN. Ketiga, kuat dugaan kami bahwa anggaran suntikan dana bagi korporasi dan lembaga keuangan ini akan digunakan untuk membayar utang korporasi. Baik itu untuk BUMN maupun swasta yang sedang terlilit utang. Keempat, pembiayaan dari seluruh suntikan dana kepada korporasi swasta dan BUMN ini diduga berasal dari utang pemerintah. Negara dan rakyat dibebankan tanggung jawab menanggung utang BUMN dan swasta tersebut. Kami mengajak rakyat, mahasiswa, kampus dan seluruh angkatan muda lintas agama untuk bersama-sama mendesak pemerintah membuka ke publik alokasi anggaran darurat Covid 19. Semoga berhasil Penulis adalah Mantan Aktivis ‘98
Kemana Kurva Pemulihan Ekonomi Indonesia?
by Bambang Soesatyo,Ketua MPR RI, Maruarar Sirait, Anggota DPR 2004-2019, Andi Rahmat, Pelaku Usaha, dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI 2004-2014 Jakarta FNN – Jum’at (12/05). Hingga bulan Februari tahun 2020, perekonomian dunia menunjukkan gairah pertumbuhan positif. Tidak ada tanda-tanda kontraksi berarti, apalagi resesi. Perbincangan dikalangan banyak ekonom dan pelaku bisnis juga demikian. Pembahasan lebih banyak pada isu kesenjangan ekonomi. Stagnasi pendapatan kelas menengah, dan efek suku bunga rendah bank-bank sentral. Perang dagang Amerika dengan China atau Ekonomi Pro Lingkungan. Dalam hal kritisasi pertumbuhan ekonomi dunia, ramai dibicarakan soal fenomena 'sluggish' (Istilah yang dipilih IMF ketimbang stagnasi). Fenomena Stagnasi Sekuler dalam pertumbuhan ekonomi dan seterusnya. Tidak banyak diskusi atau reportase tentang ancaman krisis, apalagi resiko depresi pada perekonomian. Tapi semua itu berubah dramatis diakhir februari dan terus berlanjut hingga sekarang. Tiba-tiba saja seluruh dunia diperhadapkan pada situasi krisis ekonomi. Krisis yang makin hari makin menunjukkan kualitas kerusakannya. Krisis ekonomi ini pemicunya tidak berasal dari dalam perekonomian itu sendiri. Tetapi berasal dari luar lingkungan perekonomian. Krisis kesehatan global. Pandemi Covid 19, berubah menjadi krisis ekonomi yang sulit dicari bandingan efeknya dalam khazanah perekenomian dunia paska Perang Dunia ke-2. Sebagai pelaku usaha, kami merasakan nuansa optimistis memasuki tahun 2020. Kita memang merasakan adanya 'tekanan' pada perekonomian. Tapi persepsi terhadap tekanan itu lebih merupakan keadaan koreksi normal perekonomian terhadap 'booming' ekonomi paska 2008. Berupa perubahan perilaku bisnis, baik itu ditingkat konsumen maupun peralihan fokus usaha pelaku usaha. Periode 2014 hingga 2019, agresifitas investasi menunjukkan tren pengambilan resiko yang tinggi. Terutama pada investasi padat modal dan memakan waktu. Dalam persepsi kami, akan menunjukkan hasil positifnya dimulai tahun 2020 ini. Akumulasi Realisasi Investasi tahun 2014 mencapai Rp 463,1 trilliun, meningkat menjadi Rp 545,4 trilliun (meningkat 17,77%) di tahun di 2015. Tahun 2016 mencapai Rp 612,8 trilliun (meningkat 12,4%). Kemudian di tahun 2017 mencapai Rp 692,8 trilliun (meningkat 13%). Pada tahun 2018, meningkat lagi menjadi Rp 721,3 trilliun (meningkat 14,1%). Dan di tahun 2019 naik lagi menjadi Rp 809,6 trilliun (meningkat 12,24%). Total akumulasi realisasi investasi sepanjang kurun 2014-2019 mencapai Rp 3.845,1 trilliun. Laporan sektor keuangan juga menunjukkan hal yang sama. Baik berupa indikator peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan, kinerja Pasar Saham, indikator kesehatan sektor perbankan dan lain-lain. Kesemuanya menunjukkan dinamika positif dalam perekonomian. Tentu ada banyak catatan kritis terhadap situasi perekonomian Indonesia sepanjang kurun itu. Peningkatan drastis hutang negara, kinerja penerimaan pajak dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi yang stagnan di bawah 5,2% , pergerakan kurs yang berhubungan dengan aksi tappering off Bank Sentral Amerika, defisit transaksi berjalan, kinerja keuangan BUMN. Semua itu adalah hal- hal yang bisa disebutkan menonjol selama kurun waktu itu. Tibalah kita pada situasi dimana semua indikator perekonomian mengalami kontraksi hebat. Semua variabel pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) menunjukkan penurunan kinerja yang curam. Angka pengangguran meningkat tajam, jumlah penduduk yang kembali jatuh ke dalam zona kemiskinan juga meningkat. Perbankan dan Institusi Keuangan Non-Bank (IKNB) turut mengalami tekanan kuat. Kinerja ekspor-impor menurun. Beberapa sektor bisnis menghadapi resiko kebangkrutan massal. Indeks saham merosot tajam, menghapuskan ribuan trilliun nilai kekayaan dalam waktu singkat. Volatilitas rupiah bergerak cepat dalam rentang yang lebar. Semua ini, terjadi tanpa gejala pendahuluan. Semua datang begitu saja secara tiba-tiba, cepat dan dengan efek toksiknya terhadap perekonomian yang mematikan. Dari segi skala efeknya terhadap struktur perekonomian, dalam hemat kami, hantaman krisis pandemi terhadap perekonomian jauh lebih hebat ketimbang krisis 1998. Saat ini yang dihadapi bukan saja krisis keuangan. Nmun krisis yang menyeluruh pada semua bangunan perekonomian. Dengan menyisakan hanya sedikit saja sektor yang tidak terdampak hebat. Dan krisis ini bukan saja melanda Indonesia, tetapi keseluruhan perekonomian dunia. Krisis ini menguji daya tahan perekonomian nasional kita. Menguji respon pemerintah dan otoritas 'quasi government'. Menguji kemampuan dan kualitas pelaku usaha, baik korporasi maupun UMKM dan sektor informal. Menguji keampuhan sistem bernegara kita. Bahkan menguji standar moralitas dan nilai-nilai kita dalam perekonomian. Kembali kepada judul tulisan ini, kearah mana kurva pemulihan ekonomi Indonesia? Ini pertanyaan yang sulit. Mantan Menteri Keuangan Era SBY- Budiono, Chatib Basri, menuliskan satu artikel panjang di salah satu koran nasional soal ini. Dalam bayangan Chatib Basri, tentu dapat dipertanggungjawabkan, tren pemulihan ekonomi nasional akan cenderung kearah Kurva U. Bukan Kurva V (Kompas, 08/06/2020). Artinya, pemulihan ekonomi akan menempuh masa yang lebih panjang hingga kembali berfungsi secara normal. Deloitte dalam laporannya yang berjudul 'Recovering from Covid 19, Considering Economic Scenarios for Resilient Leaders' (Deloitte, 2020) menggunakan tiga skenario pemulihan ekonomi. Skenario pertama disebutnya sebagai 'a steep but short lived downturn'. Asumsinya antara lain adalah bergairahnya kembali perekonomian diakhir 2020. Tingkat konfidensi konsumen yang meningkat, pemulihan China yang lebih cepat, berakhirnya resesi di Uni Eropa dan Amerika. Program fiskal substansial UE dan AS yang berjalan efektif dan bergairahnya kembali 'travel and leissure industry' diakhir tahun. Asumsi PDB riil 2020 di Amerika -5%, UE -5%, Afrika -2,1, China 3% dan Jepang 0%. Skenario kedua disebutnya, 'Prolonged Pandemy and Delayed Rebound'. Dengan asumsi pertumbuhan PDB riil 2020 AS -8%, UE -8%, Afrika -5,1%, China 1% dan Jepang -3%. Asumsinya antara lain adalah pemulihan baru akan dimulai di akhir 2021 nanti. Pada scenario ini, gelombang pandemi meningkat, dan stimulus fiskal gagal memicu belanja. UE dan AS mengalami resesi berkepanjangan, dan pemulihan ekonomi di China berjalan sangat lambat. Juga terjadi penurunan berkepanjangan pada belanja konsumen. Skenario ketiga adalah skenario 'The worst skenario'. Dalam skenario ini, sistem keuangan gagal, sekalipun ada upaya massif dari Bank Sentral untuk mengatasinya. Stimulus fiskal besar-besaran tetap saja tidak mengangkat konsumsi. Pada scenario ketiga ini, terdapat banyak usaha yang bangkrut. Mata rantai penawaran mengalami gangguan berat, dan ekonomi rumah tangga makin terpuruk. Dan pemulihan ekonomi global tidak menampakkan gejala positif hingga tahun 2022. Skenario Deloitte ini sebetulnya diperuntukkan bagi lingkungan Afrika Selatan. Tapi gejala dan asumsinya secara umum, dalam hemat kami, memiliki pola yang mirip dengan Indonesia. Kalau di terapkan dalam skenario kurva pemulihan. Skenario pertama adalah skenario optimistik, yang sering digambarkan dalam skenario Kurva 'V'. Skenario kedua merupakan skenario Kurva 'U' yang moderat. Dan skenario ketiga merupakan skenario Kurva 'U' yang ekstrem. Laporan dari berbagai lembaga ekonomi dunia berikut prakiraan terhadap 'perlintasan/trajectory' pemulihan ekonomi, memiliki asumsi yang sama. Bahwa pemulihan ekonomi sangat bergantung pada kemampuan negara-negara dalam mengendalikan pandemi Covid 19 ini, yang dibarengi dengan kebijakan ekonomi yang besar, substansial dan efektif. Sejak awal krisis ini, kami sebetulnya sudah mengajukan istilah 'Maraton' dalam horison kebijakan pemulihan ekonomi nasional. Implisitnya adalah suatu bayangan bahwa pemulihan ekonomi akan melalui perjalanan yang tidak singkat. Pemulihan itu sendiri tidak berupa lonjakan vertikal yang cepat. Sebagai pelaku usaha dan penyelenggara negara, tentu kami sangat berharap pemulihan ekonomi kita bisa lebih cepat dalam lintasan Kurva 'V'. Apalagi dengan modal keadaan perekonomian kita yang relatif sehat sebelum Pandemi ini terjadi. Apalagi dengan kombinasi kebijakan bauran Fiskal dan Moneter yang kuat dan besar-besaran yang dilakukan Pemerintah dan Bank Sentral, termasuk juga OJK dan LPS. Namun sifat dan karakteristik dari Pandemi Covid 19 ini, berikut dampaknya terhadap bangunan perekonomian membuat pendekatan realistis terhadap pemulihan menjadi pilihan yang dalam hemat kami lebih tepat di jadikan sebagai pijakan bagi skenario pemulihan yang akan ditempuh. Pilihan realistis ini berkaitan dengan sumber daya pemulihan yang kita miliki dan kita butuhkan. Baik dari segi daya tahan Fiskal pemerintah, kemampuan neraca Bank Indonesia berikut resiko moneternya, dan kemampuan pemulihan ekonomi dunia. Dalam krisis ini, daya tahan dan kemampuan otoritas negara merupakan kunci bagi pemulihan ekonomi. Dengan membayangkan secara realistis bahwa pemulihan ekonomi akan melewati skenario Kurva 'U', maka kebijakan-kebijakan yang diambil tentu pula memiliki persyaratan-persyaratan yang diperlukan dalam menciptakan dan menjaga momentum pemulihan. Persyaratan-persyaratan itu antara lain : Pertama, rancang-bangun kebijakan fiskal pemerintah. Khususnya yang berhubungan dengan rancang bangun pemulihan yang berbasis pada APBN. APBN merupakan alat utama pemerintah dalam menangani krisis. Tetapi penggunaan yang tidak tepat dari alat ini, juga bisa menjadi bumerang bagi proses pemulihan itu sendiri. Apabila menggunakan asumsi tunggal, bahwa tindakan APBN yang massif bisa mengungkit perekonomian dengan cepat. Perlu lebih cermat. Penggunaan yang massif itu semestinya dibarengi dengan prinsip penjagaan keberlangsungan fiskal. Terutama untuk menjaga sisi kontra produktif dari krisis yang dihadapi. Sisi kontra produktif itu adalah besarnya variabel ketidakpastian yang mewarnai krisis ini. Postur APBN kita saat ini mengharuskan kita untuk berhati-hati dalam penggunaan masifnya. Struktur penerimaan negara masih akan mengalami 'shock' dalam satu dua tahun ke depan. Yang berakibat pada pembesaran kumulatif pembiayaan defisit di tahun- tahun ke depan. Dalam pemulihan ini, kebijakan pengetatan tentu merupakan opsi kritis yang hampir sulit untuk dipilih. Namun stamina APBN mesti dijaga dalam pemulihan. Durasi penggunaannya seyogyanya dikelola secara tepat. APBN untuk pemulihan memang mesti massif, tetapi juga harus memiliki stamina yang cukup sepanjang proses pemulihan. Artinya, APBN bukanlah solusi tunggal pemulihan ekonomi. Tetapi APBN adalah titik pijak dan jangkar utama pemulihan ekonomi. Persyaratan kedua, adalah mempertahankan paradigma 'Fokus, Desisif, Masif dan Transparan'. Fokus bermakna motif dan tujuan kebijakan dipastikan kejelasannya. Sektor dan pelaku ekonomi yang paling terdampak menjadi prioritas utama. Dalam hal sektor, yang memiliki elastisitas dan daya ungkit ekonomilah yang menjadi patokannya. Dalam hal pelaku, sektor UMKM sebagai penyumbang tenaga kerja terbesar memperoleh porsi terbesar dalam alokasi sumber daya kebijakan. Tidak berarti, korporasi, sebagai pembayar pajak terbesar tidak memperoleh perhatian serius. Desisif bermakna kebijakan fiskal dan moneter harus betul-betul hadir untuk menyelesaikan persoalan. Karena itu, menjaga perlintasan permintaan tetap pada rute positif adalah inti dari kebijakan yang desisif itu. Masif artinya tidak tanggung-tanggung. Kapasitas yang dimiliki oleh otoritas fiskal dan moneter harus dipergunakan secara optimal dan terukur. Kami tidak memiliki kompetensi dalam menghitung seberapa besar biaya yang mesti dikeluarkan untuk benar-benar mengembalikan perekonomian pada kinerja normalnya. Namun seberapa besarpun biaya yang diperlukan untuk mengatasi krisis dan memulihkan perekonomian, sebesar itu pulalah biaya yang mesti digelontorkan oleh otoritas. Demikian juga dengan Transparansi. Ini merupakan persyaratan sukses yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Transparansi menjamin kontrol yang sehat terhadap proses pemulihan sekaligus juga meningkatkan akuntabilitas dan menjamin akseptabilitas publik terhadap langkah-langkah kebijakan pemulihan. Transparansi menjamin munculnya 'mutual trust' dari stake holder terhadap kebijakan dan pengambil kebijakan. Persyaratan berikutnya adalah kebutuhan mendesak dalam kerangka pemulihan ekonomi untuk menjawab tantangan struktural perekonomian kita. Perekonomian baru Indonesia memerlukan perubahan dan penyesuaian struktural. Dalam pemulihan ekonomi yang diperlukan adalah suatu model pemulihan yang sekaligus juga merupakan jawaban terhadap problem struktural perekonomian yang endemik dalam perekonomian Indonesia. Pemulihan ekonomi bukanlah kembali pada bentuk lama perekonomian kita. Tetapi perekonomian yang mencerminkan kesiapan kita dalam wujud baru perekonomian yang lebih egaliter, kompetitif, pro-lingkungan, inovatif dan dinikmati oleh masyarakat luas. Pemulihan ekonomi bukan sekedar perbaikan profil Produk Domestik Bruto. Bahkan, pemulihan ekonomi sudah semestinya dilakukan dalam kerangka perbaikan kualitas perekonomian. Bukan melestarikan praktek lama perekonomian yang distortif pada kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Langkah-langkah kebijakan pemulihan ekonomi yang 'eksta-ordinary', yang diambil oleh pemerintah dan otoritas lainnya, dan juga memperoleh dukungan politik besar dari legislatif, merupakan modal besar untuk menjalankan agenda-agenda perubahan struktural perekonomian tranformatif. Modal ini sepatutnya digunakan untuk tujuan-tujuan besar dan berdampak panjang. 'Legacy' pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam hemat kami, bukanlah apa yang dikerjakannya lima tahun sebelumnya. Tapi 'legacy' historis pemerintahan ini terletak pada kemampuannya menangani krisis ini. Membalikkan situasi perekonomian, dan meletakkan fondasi perekonomian baru Indonesia. Legaci seperti ini yang menjawab problem struktural lama perekonomian. Sekaligus juga, meletakkan fondasi yang kokoh bagi keberlanjutan kompetitif bangsa Indonesia.
OJK Mau Bunuh Koperasi Syari'ah?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (09/06). Dua hari jelang lebaran, tepatnya tanggal 22 Mei, Otoritas Jasa Keungan (OJK) via Satgas Waspada Investasi kirim parsel lebaran. Sebagai hadiah untuk sejumlah fintech yang dituduh berkedok koperasi. Sebagian besar koperasi pesantren. Tentu saja, ini bukan hadiah yang menggembirakan buat pelaku koperasi dari OJK. Para pelaku koperasi akhirnya meradang. Marah sejadi-jadinya. Ada 50 fintech ilegal yang berkedok simpan pinjam koperasi (KSP), katanya. Tongam L. Tobing, Ketua Satgas Waspada Investasi mengatakan bahwa penggunaan aplikasi Koperasi Simpan Pinjam ilegal itu bertujuan untuk mengelabui masyarakat seakan-akan penawaran pinjaman Online itu memiliki legalitas dari kementerian koperasi. Ilegal? Mengelabui? Dua kata yang menyakitkan! Kata pelaku koperasi itu. Sebanyak 50 fintech berkedok koperasi itu diantaranya adalah Koperasi Syariah 212. Namanya ditaruh paling atas. Nomor wahid. Apakah dianggap paling bermasalah? Dosanya paling besar? atau faktor apa? Belum ada keterangan yang jelas. Biasanya, urutan itu berdasarkan abjad, atau berdasarkan banyak dan besarnya masalah. Kalau abjad, sepertinya tidak. Koperasi Syariah 212 tidak diawali dengan huruh "A". Kalau berdasarkan tingkat masalah, maka muncul pertanyaan, apakah Koperasi Syariah 212 paling bermasalah? Sehingga perlu ditempatkan di nomor satu? Selain Koperasi syariah 212. ada banyak koperasi pesantren. Sekitar 50 koperasi yang fintech dituduh "mengelabui" umumnya adalah koperasi pesantren. Apakah 50 koperasi yang mayoritas berbasis syariah ini penipu? Menggunakan fintech untuk mencuri uang nasabah? Onde mande! Koperasi syariah menipu? Koperasi pesantren menipu? Koperasi syariah 212 menipu? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul di tengah masyarakat pasca konferensi pers Tongam L. Tobing. Geger! Sejumlah anggota dan nasabah koperasi banyak yang panik. Mereka gusar. Termasuk partner bisnisnya. Terjadilah gelombang protes. Kepada siapa? OJK. Khususnya kepada Satgas Waspada Investasi. Wabil khusus lagi kepada ketua Satgasnya, Tongam L. Tobing. Dia orangnya "menteri segala urusan" (ASU) ya? Tanya seorang pemprotes. Waduh... Ini sudah nggak sehat. Nggak boleh bawa-bawa nama orang lain. Jangan kaitkan dengan nama seseorang. Proporsional saja. Kembali saja pada pokok masalah. Tuduhan terhadap fintech koperasi. Titik! Ini sengaja mau bunuh koperasi syariah ya? Diumumkan jelang lebaran, ditaruh nomor satunya adalah Koperasi Syariah 212 Apalagi ini bukan bagian dari kewenangan OJK. Tapi kewenangan Kemenkop. Berbagai persepsi dan opini muncul. Bermacam-macam. Apa inti dari semua opini dan persepsi yang muncul? Intinya bahwa Umat Islam, terutama yang bergerak di usaha koperasi ini marah. Bahkan sangat marah. Tak sedikit yang mengaitkan dengan isu SARA. Ngeri-ngeri sedap begitu! Bahkan para pemprotes mempertanyakan sejumlah pihak yang mestinya ikut bersuara terkait kejadian ini. Dimana pejuang Ekonomi syariah MUI? Dimana DSN (Dewan Syariah Nasional) ? Dimana DPS ? Dimana MES (Masyarakat Ekonomi Syariah)? Dimana IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Indonesia)? Mereka kesal, karena merasa tak dibela. Mari kita tunggu konfirmasi lembaga-lembaga yang wow dan mentereng namanya itu. Protes dilayangkan ke OJK, dan meminta Tongam L. Tobing, Ketua Satgas Waspada Investasi, memberi penjelasan dan mempertanggungjawabkan pernyataannya. Setelah didesak oleh sejumlah pihak, tanggal 29 Mei, Tongam L Tobing pun minta maaf. Sebanyak 35 dari 50 koperasi yang umumnya berbasis syariah direhabilitasi namanya. Kok cuma lisan? Tertulis dong, kata para pemprotes. Gak puas! Polisikan dia, kata pemprotes yang lain. Bahkan Inkopontren (Induk Koperasi Pesantren) dan Dekopin, meminta OJK dibubarkan. Hal yang sama pernah disuarakan oleh DPR di bulan januari lalu. Kembalikan saja kewenangan ini ke Bank Indonesia (BI) dan Menteri Keuangan. Makin seru nih! Soal terkait isu SARA atau tidak, adakah pemain di belakang tuduhan Tongam L. Tobing ini atau tidak, banyak pihak yang sedang mengamati. Yang pasti, ekonomi berbasis syariah, termasuk melalui jalur koperasi, jauh ketinggalan dibanding jalur konvensional. Sudah 30 tahun bank syariah beroperasi, hanya mampu mengelola lima persen dari semua dana nasabah perbankan di Indonesia. Ini berbeda dengan di Malaysia. Bank syariah hampir 40 persen kelola dana nasabah perbankan nasional di Malaysia. Sudah kecil, dianggap ilegal lagi. Alaaah maaak... Kasihan juga nasibmu! Bangkit dong... Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Perekonomian Indonesia Dibawah Bayang-Bayang Perubahan Dunia (Bagian Pertama)
By Andi Rahmat Jakarta FNN – Senin (25/05). Pandemi Covid-19, sebagaimana yang dinyatakan kolumnis CNN, Nic Robertson dalam artikelnya, “ The Pandemic Could Reshape The World Order”(CNN,23/05/2020 ) bahwa Pandemi tidak hanya mengejutkan dunia dengan kecepatan penyebarannya, tapi juga mengakselerasikan perubahan dalam perimbangan kekuatan global. Demikian juga yang dituliskan kolumnis CNBC, Christina Farr dan Ari Levy, tentang dunia yang “ suddenly now we’re in the future” ( CNBC, 23/05/2020). Ketiba-tibaan ini tentunya menunjukkan betapa cepat akselerasi perubahan dunia terjadi ditengah Pandemi. Cara berkehidupan yang kita kenal, yang oleh proses globalisasi yang berlangsung dalam tiga dekade terakhir, yang bertumpu pada mobilitas interdependensi dan interaksi lintas batas, turut pula menjadi “ korban utama” pandemi Covid-19. Karena perubahan tektonik dalam cara berkehidupan itu pulalah yang turut mempengaruhi landskap perekonomian global. Tiba- tiba saja perekonomian dunia berhadapan dengan kenyataan yang sulit dihadapi dengan cara lama. Tercermin dari reaksi kebijakan ekonomi yang dikeluarkan berbagai negara. Tidak berhenti di situ. Sektor swasta juga mengalami tekanan berat. Membutuhkan respon yang tidak biasa dan seringkali baru. Perubahan landskap bisnis memaksa korporasi dan unit-unit usaha kecil dan menengah untuk melakukan inovasi cepat untuk bisa bertahan hidup dan melanjutkan bisnisnya. Dapat dikatakan bahwa wajah perekonomian dunia tidak akan sama lagi dengan sebelum pandemi Covid-19. Nic Robertson menyebut sebagai BC (Before Coronavirus) dan AC (After Coronavirus). Wajah baru perekonomian itulah yang mesti kita antisipasi, jika kita menghendaki perekonomian Indonesia sanggup keluar dari krisis dan mengambil manfaat dalam momentum perubahan besar yang terjadi. Penulis mencatat ada lima kenyataan baru yang akan mempengaruhi wajah perekonomian dunia, dan juga Indonesia. Kenyataan pertama, ekonomi berbasis teknologi akan memainkan peran sentral dalam perekonomian baru. Kompetisi inovasi pada teknologi maju (baca: advance) dan perebutan sumber daya yang menopang perkembangan teknologi akan mewarnai kompetisi ekonomi global. Apa yang tadinya dianggap sebagai lompatan transisi (transitional leap) penerapan inovasi teknologi dalam praktek perekonomian harian, pada kenyataannya, disebabkan oleh efek disrupsi pandemi, tidak lagi sepenuhnya bersifat transisi. Maknanya, transisi yang dianggap sebagai ruang kesempatan bagi banyak negara untuk melakukan adaptasi menjadi hampir hilang. Sekurang-kurangnya, waktu untuk beradaptasi menjadi singkat, dan perekonomian akan dipaksa menerimanya sebagai kenyataan baru yang tidak bisa ditolak. Faktor- faktor yang selama ini mempengaruhi hubungan Penawaran dan Permintaan (Supply and Demand), dan pembentukan harga ekonomi turut pula terdampak. Biaya yang mempengaruhi produksi, distribusi dan biaya administratif seperti pajak dan tarif perdagangan dipaksa berubah. Adaptasi perubahan komponen tersebutlah yang akan menentukan tingkat kompetitif perekonomian suatu entitas bisnis dan juga perekonomian suatu negara. Kesemuanya itu adalah hasil dari paksaan perkembangan teknologi. Kenyataan Kedua, perubahan pada mata rantai penawaran global (global supply chain). Persaingan triumvirat perekonomian dunia Amerika Serikat, China dan Uni Eropa telah berbuah pada konflik perdagangan terbuka. Dan makin menguat dimasa Pandemi Covid-19. “T-Shirt Economy” istilah yang diperkenalkan oleh Ekonom Georgetown University, Pietra Rivoli (The Travels of A T-Shirt In The Global Economy, Wiley, 2009) yang menggambarkan mata rantai penawaran ekonomi global sepanjang gelombang globalisasi selama ini turut pula mengalami disrupsi dan segera pula akan terpaksa untuk beradaptasi. Relokasi dan konsolidasi pusat produksi akan berbuah pada makin pendeknya mata rantai penawaran (supply chain). Pandemi menyebabkan dunia usaha dan para pengambil kebijakan berpikir ulang dalam melihat sebaran mata rantai pasokan penawaran global. Makin ringkas nampaknya, akan makin dianggap aman dan kompetitif. Dan makin dekat dan makin tidak kompleks secara geopolitik juga akan dianggap sebagai pilihan rasional dalam menjaga kelangsungan sumber daya produksi. Kenyataan Ketiga, hutang menjadi sumber primer gerak ekonomi. Kapasitas fiskal negara-negara tergerus dan Bank Sentral mengambil peran yang lebih luas dan kuat dalam perekonomian. Hubungan Trivial ketiga hal itu, menjadikan perekonomian makin rentan terhadap shock (kejutan). Meminjam tesis Hyman Minsky, ekonomi modern yang pada dasarnya tidak stabil makin menjadi tidak stabil (Hyman Minsky, Stabilizing Unstable Economy, Mc Graw-Hill,2008 ). Tumpukan hutang yang sudah terus menanjak di era sebelum pandemi, makin menggunung di era pandemi. Dan akan terus menggunung paska pandemi. Laporan Statistik Hutang Eksternal (Exsternal Debt) World Bank menunjukkan akumulasi hutang eksternal dunia hingga tahun 2018 mencapai U$ 8 trilliun. Pandemi Covid-19 mengakselerasikan penumpukan hutang menjadi dua kali lipat, dengan tidak kurang dari U$ 8 trilliun tambahan baru di masa krisis ini. Didalam laporannya, perkembangan hutang ini menyebabkan negara-negara berpendapatan rendah (low income countries) dan yang berpendapatan menengah (middle income countries) menjadi semakin rentan terhadap setiap kejutan eksternal (World Bank, International Debt Statistics 2020). Sekarang, setelah berbagai Bank Sentral memompa perekonomian dengan menciptakan begitu banyak uang, ekonomi dunia pun pada gilirannya makin bergantung pada tindakan Bank Sentral. Batas kewenangan antara fiskal dan moneter menjadi bersilangan. Pada level yang lebih kritis, Bank Sentral telah berubah menjadi jangkar perekonomian dalam skala yang tidak punya preseden sejarah. Wallahu ‘alam. (Bersambung ke Bagian Kedua ) Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Penempatan Dana Pemerintah di Perbankan, Jangan Ulangi Century
By Andi Rahmat Jakarta FNN – Ahad (07/05). Selama ini, jika berhubungan dengan kesulitan likuiditas, perbankan akan memanfaatkan Pasar Uang Antar Bank( PUAB) untuk mengatasinya . Selain itu, perbankan akan bersandar kepada Bank Sentral (Baca Bank Indonesia) sebagai Lender of Last Resort (LLR) untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya. Namun dimasa pandemi ini, pemerintah menambahkan satu kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat sumber likuiditas bagi perbankan. Setelah keluarnya PP 23/ 2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional, kita mengenal suatu mekanisme baru dalam menangani kesulitan likuiditas Perbankan. PP ini memperkenalkan model Anchor Bank atau Bank Jangkar dalam penanganan kesulitan likuiditas Perbankan. Untuk mendukung restrukturisasi debitur korporasi diperbankan, pemerintah mengalokasikan Rp 34 Triliun dalam bentuk penempatan dana pemerintah di perbankan. Uniknya, model ini tidak menghilangkan fungsi LLR Bank Indonesia. Model ini menambahkan varian sumber pembiayaan likuiditas bagi perbankan. Mekanisme kerjanya adalah dengan menempatkan dana pemerintah di sejumlah bank yang memenuhi persyaratan PP 23/2020, yang disebut Bank Peserta. Kemudian dapat pula dipinjamkan kepada bank-bank yang disebut Bank Pelaksana. Bank Pelaksana ini sendiri adalah bank-bank yang melakukan restrukturisasi dan mengalami kesulitan likuiditas. Penempatan dana ini tidak gratis. Melainkan diwajibkan bagi Bank Peserta untuk mengembalikan pokoknya berikut bunga yang telah ditetapkan. Beleid pemerintah ini rupanya direspon beragam oleh industri perbankan. Ada dua kritik yang dilontarkan. Pertama, mekanisme ini dianggap rumit dan membebani perbankan, khususnya yang menjadi Bank Peserta. Kerumitannya terletak pada mekanisme dua lapis, dimana bagi Bank Peserta, selain harus menangani problem internal mereka sendiri, masih juga dibebani untuk “ cawe-cawe” dengan persoalan bank lain, yaitu Bank Pelaksana. Bagi perbankan, fungsi “cawe-cawe “ ini seharusnya merupakan fungsi OJK. Kedua, bersumber pada kerumitan dan beban tambahan yang mesti ditanggung perbankan yang menyebabkan beleid ini menjadi sulit untuk diimplementasikan di tingkat teknis. Alasannya, karena hubungan antara Bank Peserta (Bank Jangkar) dengan Bank Pelaksana yang membutuhkan likuiditas bersifat “bisnis ke bisnis”. Akan sulit untuk memitigasi resiko masing-masing individu bank, berikut profile debiturnya. Selain itu, juga suku bunga yang kemungkinan mahal. Kondisi seperti ini semakin mempersulit bank yang sedang mengalami tekanan likuiditas. Penulis sendiri beranggapan bahwa Model Bank Jangkar (Anchor Bank) ini sebagai model optimal untuk menjaga sisi akuntabilitas dan aspek prudensial dari skema “bantuan likuiditas” pemerintah terhadap perbankan. Dengan beberapa alasan. Pertama, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Skema “ bantuan likuiditas” dalam bentuk penempatan dana pemerintah di perbankan justru menambah pilihan sumber likuiditas bagi perbankan. Selain yang sudah disediakan oleh BI sebagai LLR. Mau tidak mau perbankan akan berhadapan dengan peningkatan Non Performing Loans ( NPLs) di masa krisis ini. Restrukturisasi terhadap debitur sudah pasti akan dilakukan oleh perbankan untuk mengatasi situasi ini. Disinilah terletak arti penting dari keberadaan beleid ini. Proses restrukturisasi itu sendiri akan menimbulkan tekanan likuiditas bagi perbankan. Beleid ini menjamin ketersediaan sumber likuiditas yang diperlukan perbankan. Kedua, “ bantuan likuiditas” dalam bentuk penempatan dana pemerintah secara inheren mengandung potensi “moral hazard” dan resiko hukum yang tidak ringan. Sisi yang selama ini telah menjadi sumber persoalan berkepanjangan dalam setiap tindakan intervensi likuiditas kepada perbankan. Menempatkan dana pada bank yang berkualifikasi merupakan cara untuk memitigasi resikonya. Apalagi, bank- bank yang akan menggunakan fasilitas ini adalah bank-bank yang tidak lagi memiliki aset yang dapat direpokan ke Bank Indonesia dan hanya mengandalkan kualitas aset kreditnya sebagai jaminan. Bagaimana mitigasi resiko itu terjadi?. Resiko terberat dari bantuan likuiditas terletak pada kemampuan bank untuk mengembalikan dana pemerintah. Selain itu, juga untuk memastikan konsistensi pada tujuan pemberian bantuan itu sendiri. Yaitu, dukungan dalam pelaksanaan restrukturisasi terhadap debitur perbankan, dalam hal ini, debitur korporasi. Dapat dibayangkan, apabila pemerintah melakukan kebijakan intervensi langsung terhadap perbankan yang beragam dan berjumlah banyak itu tanpa memiliki mekanisme untuk memastikan tingkat kesehatan perbankan. Itu hanya akan mengulangi kekeliruan seperti yang terjadi pada Bank Century, suatu bank yang memang sangat tidak sehat jauh sebelum terjadinya krisis. Dengan menerapkan model Bank Jangkar, resiko- resiko diatas bisa diminimalisir. Bank Jangkar akan berfungsi sebagai palang pintu efektif bagi upaya tidak sehat dari bank-bank yang memanfaatkan fasilitas ini bukan pada tujuan yang seharusnya. Dalam hal ini, kita bisa memetik pelajaran pada apa yang terjadi di masa BLBI dulu. Ketiga, saya tidak yakin ada bank yang menolak menjadi bank Jangkar. Kalaupun ada, pasti bank-bank lain, terutama Bank BUMN, akan memilih menjadi Bank Peserta. Penempatan dana pemerintah ini merupakan berkah bagi bank-bank yang menjadi Bank Peserta. Selain memperkuat struktur neracanya, suku bunganya pun dipastikan tidak akan memberatkan perbankan. Apalagi dimasa sulit seperti ini. Baru-baru ini saja kita membaca kalau Bank Rakyat Indonesia (BRI) memperoleh pinjaman senilai US$1 Miliar dengan suku bunga 2% dari beberapa institusi keuangan asing. Tentunya, pinjaman ini adalah suntikan likuiditas baru bagi BRI dan akan memperkuat neraca BRI dimasa krisis ini. Keempat, beleid ini bukan merupakan beleid untuk menangani bank-bank yang mengalami insolvensi. Adapun bank yang mengalami insolvensi telah memiliki mekanisme penangan an tersendiri yang berada di luar kewenangan langsung pemerintah. Ringkasnya, penempatan dana pemerintah melalui mekanisme bank Jangkar, dalam hemat penulis, bukanlah pengambil alihan fungsi Lender of Last Resort BI, melainkan menjadi suplemen tambahan bagi ketahanan sistem perbankan. Dan bagi Bank Peserta, karena juga telah memperoleh manfaat besar, patutlah juga melakukan upaya tambahan untuk menjaga amanah publik yang terkandung di dalam dana yang ditempatkan itu. Karena itu, tidak akan “overlap” dengan fungsi pengawasan dan pembinaan Otoritas Jasa Keuangan ( OJK). Tinggallah dua hal yang mesti ditindak lanjuti oleh pemerintah sebagai buah dari dua kritik sebelumnya. Pertama, 15 bank beraset paling besar itu tidak serta merta dapat dijadikan sebagai Bank Peserta. Sekalipun itu adalah salah satu syarat didalam PP 23/2020. Menteri Keuangan dan OJK hendaknya memastikan bahwa bank yang akan menjadi peserta itu memang sehat dan dapat melalui stress test dalam menghadapi krisis. Ini syarat yang tidak terdapat didalam PP 23/2020, tapi vital dalam memastikan kelaikan bank tersebut. Selain itu, karakteristik dan profile dari bank yang akan menjadi Bank Peserta, juga penting untuk diperhatikan. Bank itu selayaknya memiliki profile sebagai bank yang systemically important bank (bank yang memiliki karakteristik sistemik) dalam pengertian positif. Bank ini pada dasarnya sudah memiliki sifat sebagai “bank jangkar” dalam hubungan antar bank, seperti dalam pasar uang antar bank ( PUAB). Dan juga dalam profile debiturnya, mencerminkan keragaman yang menunjukkan bahwa bank itu memang merupakan bank Jangkar. Yang tidak kalah pentingnya. Penentuan bank menjadi Bank Peserta harus objektif dan menghindari preferensi politik. Apalagi jika dikait-kaitkan dengan kemungkinan “conflict of interest” pemilik bank. Sedikit saja ini tercium oleh publik, akan merugikan tujuan baik dari kebijakan ini. Apa yang terjadi pada Program Kartu Prakerja yang bertujuan baik dan mulia itu. Namun terbebani oleh kontroversi program pelatihannya bisa jadi pelajaran berharga bagi pengambil kebijakan. Wallahu ‘alam... Penulis addalah Pelaku Usaha, Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Perbankan Nasional Sangat Tidak Ramah Kepada UMKM
By Andi Rahmat Jakarta FNN – Ahad (03/05). Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Gubernur BI menyampaikan pelaksanaan Quantitative Easing (QE) senilai Rp. 503,8 trilliun. Jumlah ini adalah akumulasi kebijakan moneter BI hingga bulan Mei 2020. Selama periode Januari hingga Mei tahun ini, BI telah menambah pasokan likuiditas ke dalam perekonomian melalui serangkaian kebijakan pelonggaran kuantitas (QE). Sepanjang periode Januari-April 2020, nilainya sebesar Rp. 386 triliun. Instrumennya berupa Pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder sebesar Rp. 166,2 trilliun, Term Repo sebesar Rp. 137,1 triliun, Swap Foreign Exchange (FX Swap) Rp. 29,7 triliun dan Penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar Rp 53 triliun. Sementara untuk periode Mei akan ditambahkan lagi sebesar Rp 117,8 triliun. Dalam bentuk penurunan GWM periode Mei sebesar Rp. 102 triliun, dan selebihnya berasal dari pengurangan kewajiban tambahan Giro sebesar Rp. 15,8 triliun. Karena periode tambahan itu dimulai dari Januari 2020, maka tambahan sebesar Rp. 503,8 triliun itu tidak seluruhnya dapat dikatakan sebagai bentuk QE di masa pandemi Covid 19. Yang dapat dikatakan adalah, dalam periode ini BI telah melakukan kebijakan dua tahap. Tahap pertama, sepanjang periode Januari –F ebruari, berupa relaksasi kebijakan moneter normal. Tahap kedua, berupa kebijakan Pelonggaran Kuantitas dalam rangka merespon krisis yang ditimbulkan oleh Pandemi Covid 19. Saya membaginya seperti itu untuk menunjukkan bahwa tren kebijakan moneter BI dalam merespon perkembangan makro perekonomian pada dasarnya adalah tren relaksasi. Namun kemudian, karena perkembangan tidak terduga dari krisis pandemi, kebijakan relaksasi itu berubah menjadi agresif dan membutuhkan kebijakan lebih dari sekedar relaksasi yang berbentuk pelonggaran kuantitas (QE), atau populernya “pencetakan uang” besar-besaran kedalam perekonomian. Untuk kepentingan tulisan ini, istilah “‘pencetakan uang” ini saya samakan dengan penciptaan uang (money creation). Sebab nampaknya, tren ini akan berkembang terus seiring dengan perkembangan perekonomian nasional. Terhadap suatu tambahan likuiditas sebesar ini, tentu menarik untuk kita ajukan pertanyaan, untuk apa dan kepada siapa likuiditas itu sesungguhnya ditujukan? Bersumber dari data BI, eksposure kredit UMKM di dalam sistem perbankan nasional sampai September 2018 berjumlah Rp. 1.037,6 trlin, dari Rp. 5.284,6 trliun, atau sekitar 19,6% dari total baki kredit perbankan. Selebihnya, 80,4% baki kredit dikuasi oleh sektor non UMKM, atau sekitar Rp. 4.247 triliun yang diperuntukkan untuk korporasi. Baki kredit untuk UMKM ini dialokasikan kepada 16.394.106 nasabah UMKM. Padahal di Indonesia, hingga tahun 2019 terdapat 59 juta UMKM. Dari jumlah baki kredit UMKM itu, Bank-bank BUMN, BPD dan BPR/BPRS menyalurkan sekitar Rp. 665,23 trliun atau 64% dari total baki kredit UMKM. Selebihnya, 36% disalurkan oleh perbankan swasta dan JV Bank. Dari data ini, kita memperoleh dua kesimpulan umum. Pertama, bahwa penetrasi sistem perbankan nasional kepada sektor UMKM sangat tidak proporsional. Itupun kalau tidak mau dikatakan “tidak-adil”. Tidak proporsionalannya bukan saja dari segi rendahnya alokasi kredit terhadap sektor ini, tetapi juga proporsi masih mayoritasnya sektor UMKM yang tidak memperoleh akses dan perhatian dari perbankan. Ini juga menunjukkan bahwa perbankan nasional sesungguhnya sangat tidak ramah terhadap UMKM. Dan cenderung eksklusif terhadap korporasi. Apapun alasannya, struktur ini mencerminkan ketidak-sehatan sistem keuangan nasional kita. Yang pada akhirnya, dimasa-masa krisis seperti ini menyebabkan UMKM kita menjadi rentan. Pada tingkat pengambilan kebijakan, menyulitkan otoritas melakukan penyesuain kebijakan (adjustment policy). Kedua, adalah rendahnya partisipasi perbankan swasta di sektor UMKM ini. Memang ada alasan yang mengatakan bahwa partisipasi rendah ini dikarenakan selama ini, pemerintah banyak menggunakan perbankan non swasta dalam menjalankan kebijakan pro UMKMnya. Argumen yang lebih sinis mengatakan bahwa semua ini dikarenakan perbankan swasta lebih memilih korporasi karena selain lebih mudah, volume kreditnya juga besar. Jumlah nasabah juga yang tidak besar, sehingga dapat menekan biaya pengelolaannya, alias lebih menguntungkan. Lantas, apakah kita bisa mengatakan bahwa membanjiri likuiditas ke sistem perbankan dengan struktur yang tidak ramah terhadap UMKM, bisa memberi manfaat besar bagi UMKM kita, yang sedang sekarat ini?. Padahal dimasa krisis ini, UMKM sebagai penyumbang tenaga kerja terbesar dalam perekonomian kita sedang mengalami masa-masa sulit. Sudah jamak diketahui bahwa diantara efek QE dimasa sulit seperti ini adalah munculnya fenomena Cash Hoarding di perbankan. Suatu fenomena dimana perbankan memilih mengkonsolidasikan ekses likuiditasnya dalam memperkuat neracanya, Mereka lebih cenderung memilih untuk “bernegosiasi” dengan debitur korporasinya. Ditatar lebih lanjut, fenomena diatas menjadi sumber kritik banyak pihak terhadap permodelan QE yang tidak merumuskan kebijakan keberpihakannya secara tegas kepada UMKM. Kritiknya adalah, QE lebih memberi kesempatan kepada korporasi dan “orang-orang kaya” untuk berkonsolidasi di masa krisis. Karenanya semakin mempelebar jurang antara yang “kaya-miskin” dalam perekonomian. Sekali lagi, ini fenomena jamak yang bisa ditemukan dalam banyak sekali literatur dari ekonom-ekonom terkemuka yang mengkritik dampak QE saat memperluas “ineqaulity” dalam perekonomian. Tanggung jawab soal ini tentu bukan saja dibebankan kepada BI. Tetapi yang utama adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kerana OJK sebagai otoritas independen yang menaungi perbankan. Ini adalah tugas mulia dan suci buat OJK dalam melakukan penyesuian struktural terhadap sistem keuangan nasional kita yang tidak ramah UMKM. OJK jangan sia-siakan momentum ini. OJK mestinya berdiri di garis yang paling depan dalam soal permodalan UMKM ini. Penulis menekankan ini, sebagai wujud tanggung jawab moral. Karena penulis juga merupakan mantan Pimpinan Pansus Pembentukan UU OJK yang menjadi dasar berdirinya OJK sekarang. Tanpa suatu keberpihakan yang tegas dari otoritas, upaya membanjiri likuiditas ke sistem perbankan dan keuangan nasional kita melalui QE hanya akan meninggalkan UMKM dalam limbo ketidak berdayaan. Alih-alih, malah akan memperparah kesenjangan didalam perekonomian nasional kita. Kesuksesan kebijakan QE dalam mem”bail-out” sektor UMKM terletak pada perubahan proporsi baki kredit untuk UMKM dan bertambahnya jumlah UMKM secara signifikan dalam memperoleh manfaat dari kebijakan QE. Untuk itu, OJK sudah selayaknya menerbitkan kebijakan yang “memaksa” perbankan untuk menyalurkan likuiditasnya kepada UMKM dalam proporsi yang lebih besar. Diantaranya dengan memberi bobot khusus dalam proporsi Loan to Deposit Ratio (LDR) kepada UMKM dalam neraca perbankan. Bentuknya dapat berupa pengaturan yang bersifat “mandatory loan” kepada UMKM oleh perbankan dalam proporsi baki kreditnya. Khusus untuk BI, perlu juga mempersyaratkan suatu mekanisme “‘mandatory” kepada perbankan dalam penggunaan fasilitas BI. Itu terutama pada perjanjian yang berhubungan dengan Repo SBN perbankan. Insya Allah, dalam kesempatan lain, kita bisa mendiskusikan (tulisan khusus) soal ini. Akhirnya, kepada Allah SWT jugalah kita memohon pertolongan dan berserah diri. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha, dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Babi Ngepet dan Ayam Milenial
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Departemen Pertanian c/q Dirjen Peternakan “berhasil “ menernakkan babi dan ayam lokal varietas baru. Harga jualnya sangat fantastis! Ternak hewan super dan unggulan ini, bila benar terwujud, bisa membuat para peternak kaya mendadak! Bakal banyak milyader baru lahir di tengah pandemi. Sangat membantu program pemerintah mengentaskan kemiskinan. Bayangkan saja harga 1 ekor babi bisa mencapai Rp 9 juta. Sementara ayam lokal harganya jauh lebih fantastis. Rp 770 ribu/ekor. Sebagai bayangan saja. Agar kita mendapat gambaran betapa dahsyatnya ternak unggulan “ciptaan” Dirjen Peternakan itu, mari kita bandingkan dengan harga di pasaran. Menjelang Hari Raya Galungan pada pertengahan bulan Februari lalu, Dinas Pertanian Provinsi Bali menetapkan harga daging babi per kilo/Rp 26-30 ribu. Di pasaran harganya masih berkisar Rp 50-60 ribu. Katakanlah seekor babi paling gemuk, babi tambun dengan berat 50 kg. Maka harga per ekor maksimal Rp 3 juta. Harga ayam lokal di pasaran per ekor sekitar Rp 60-65 ribu. Itupun dalam kondisi sudah bersih. Ibu-ibu tinggal memasaknya. Jadi harga babi dan ayam itu benar-benar fantastis. Bakal membuat banyak orang berlomba-lomba mengubah profesinya menjadi peternak. Sayangnya untuk sementara waktu kita harus menahan diri dan bersabar. Harga hewan ternak yang tembus langit ketujuh itu baru ada dalam anggaran yang diajukan Deptan ke DPR. Kalau saja anggaran itu lolos dan disetujui oleh DPR, yang bakal kaya mendadak bukan para peternak. Tapi para pejabat di Dirjen Peternakan. Khususnya yang terlibat dalam pengadaan. Sayangnya pula usulan anggaran itu tidak bakal disetujui DPR. Mata Ketua Komisi IV DPR RI Sudin langsung terbelalak. Rambutnya berdiri. Dia sangat kaget ketika mendapati angka-angka tersebut. Dalam persentasi laporan refocusing anggaran APBN 2020, Kementan mengalokasikan dana sekitar Rp 26,2 miliar untuk pengadaan 35 ribu ekor ayam. "Kalau dihitung, satu ekor ayam itu jatuhnya Rp 770 ribu. Coba Anda hitung ulang sekarang. Apakah anggaran satu ekor ayam sebesar itu?" tanya Sudin dalam rapat dengar pendapat virtual yang digelar Komisi IV DPR bersama Eselon I Kementerian Pertanian, Selasa, (28/4). Sementara pengadaan babi mencapai Rp 5,03 miliar untuk 550 ekor. Total pengadaan babi ini, dihitung nilainya mencapai Rp 9 juta/ekor. Bagaimana bisa harga babi dan ayam itu melejit demikian tinggi? Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita hanya menjawab pendek. “Akan kami tinjau dan perbaiki kembali,” ujarnya sebagaimana dikutip tempo.co. Moral hazard Membengkaknya harga-harga yang tidak masuk akal itu tidak bisa hanya dijelaskan dengan jawaban pendek Pak Dirjen. Juga tidak bisa dijelaskan dengan kata” salah input, atau salah ketik.” Kalau ada kesalahan input atau ketik, paling banter hanya selisih satuan angka saja. Tidak mungkin sampai naik beribu kali lipat. Publik wajar dong berprasangka ada upaya perselingkuhan menilap anggaran negara. Apalagi sudah terbukti banyak aparat dan pejabat pemerintah yang memanfaatkan situasi di tengah pandemi. Mereka berpesta pora di tengah wabah Corona. Moral hazard dimana-mana. Contoh paling nyata dilakukan oleh lingkar dekat Presiden Jokowi. Para Stafsus Milenial. Mereka kini tengah jadi bulan-bulanan, karena terbukti terlibat dalam proyek akal-akalan Pra(nk) Kerja sebesar Rp 5.6 Triliun. Publik dan khususnya anggota DPR kudu ekstra waspada. Boleh jadi fenomena di Deptan merupakan puncak gunung es dari permainan anggaran. Coba bayangkan besarnya anggaran yang bisa dimainkan di berbagai kementerian, dan badan-badan pemerintah lainnya. Apa yang terjadi di Dirjen Peternakan bisa menjadi pintu masuk menyelidiki penyelewengan anggaran di semua instansi pemerintah. Fenomena ini juga merupakan sebuah ironi besar, di tengah situasi bencana. Pemerintah kalang kabut, cari utang kesana kemari. Mencoba menghemat dan menggeser anggaran mengatasi virus Corona, mereka malah berpesta pora. Ngomong-omong, apakah di dunia nyata memang benar ada harga babi dan ayam varietas unggul seperti harga yang dipatok Deptan? Kalau anda tanyakan pada filsuf kontemporer Rocky Gerung, jawabannya cukup mengejutkan. Secara tegas dia menjawab ada. “Itu harga babi ngepet dan ayam (stafsus) milenial.” Haduuuuhhhhh…….. End. Penulis Wartawan Senior.
Bank Indonesia, Mirip Dengan Negara Berdaulat
By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Sabtu (02/05). Demokrasi telah datang sekali lagi untuk Indonesia tercinta ini, setelah gelombang reformasi memukul banyak hal. Gembira ria orang menyambut dan merayakan datangnya alam demokrasi itu. Apalagi kedatangannya disokong kuat oleh negara-negara yang selama ini telah menjadikan demokrasi sebagai jimatnya. Ide-ide demokrasi pun segera diinstitusionalisasi. Lahirlah sejumlah lembaga baru. Bank Indonesia, yang semula sama dengan Amerika, tidak diatur dalam konstitusi, telah disokong secara unik oleh reformasi. Hasilnya, institusi ini dibawa masuk ke dalam konstitusi. Jadilah institusi ini sebagai organ konstitusi. Mahkotanya pun ditulis dalam konstitusi. Mahkota itu bernama “independensi”. Cara menulisnya, sebenarnya tidak unik untuk siapapun yang terlatih mengenal secara kritis penormaan sesuatu yang tidak selalu disukai oleh banyak orang, tetapi dibutuhkan. Tentu untuk kepentingan tertentu, entah apa dan siapa, dijadikan huruf-huruf hukum. Negara Sendiri Persis pola “politik pintu terbuka” yang menjadi tabiat teknis korporasi-korporasi minyak dan gas kelas dunia memasuki satu area baru. Setelah masuk, mereka lalu mengunci diri di dalamnya, sehingga pesaing lain tidak bisa lagi memasuki areal tersebut. Pasal 23D UUD 1945 tidak menyatakan secara rigid dalam satu kalimat terstruktur dengan rumusan begini “Bank Indonesia Bersifat Independen.” Itu tidak ada. Rumusan persis pasal 23D UUD 1945 adalah “Negara memiliki satu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan “independensinya” (tanda petik dari saya) diatur dengan undang-undang. Rumusan pasal 23D UUD 1945 itu sangat simple. Sederhana sekali. Tetapi jangan lupa ini merupakan taktik standar mengunci argumen lawan atau orang yang tidak berkenaan dengan hal itu. Tesisnya begini, bangun dulu legalitas atau fundasinya dalam UUD 1945. Perkara perluasan. Itu urusan nanti. Apa konsekuensi hukum rumusan pasal 23D UUD 1945 itu? Rumusan pasal ini dapat dianalogikan sebagai memberikan cek kosong. Isinya terserah saja. Berapapun angkanya yang mau ditulis dalam cek itu, terserah pada sipenerima cek. Sifat ini digunakan juga dalam UU Nomor 3 Tahun 2004. Itu terlihat pada rumusan pasal 3. Selengkapnya rumusan pasal ini berbunyi begini “BI adalah badan hukum menurut UU ini.” Simpel saja. Itulah nalar logis memahami rumusan tugas, wewenang serta independensi Bank Indonesia yang diatur, terutama dalam UU Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999, dan UU Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2008, termasuk Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Rumusan pembukanya pendek. Tetapi yang penting itu pintu terbuka dulu, karena segera setelah itu pintu akan mengayun, dan terkunci rapat untuk siapapun. Terkuncinya pintu itu terlihat pada rumusan, misalnya pasal 54 yang esensinya “pemerintah wajib meminta pendapat BI ketika pemerintah membahas kebijakan ekonomi dalam rapat kabninet.” Sama dalam esensinya pada dengan ketentuan di atas. Terdapat ketentuan lain, misalnya yang mewajibkan pemerintah berkonsultasi terlebih dahulu dengan BI. Bahkan menyertakan BI dalam rapat kabinet yang membicarakan masalah-masalah ekonomi dan keuangan. Termasuk pemerintah wajib berkonsultasi dengan BI ketika pemerintah akan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). Berseberangan dengan ketentuan itu, dan dititik ini terlihat samar-samar BI memiliki kemiripan dengan sebuah negara berdaulat. Mengapa? Orang pemerintah yang hadir, karena diundang BI dalam rapat dewan gubernurnya, hanya untuk memiliki hak bicara. Tidak lebih dari hanya bicara. Orang pemerintah yang hadir dalam rapat itu, tidak diberi hak suara. Semua eksklusifitas BI itu, untuk penalaran hukum konstitusi positif, memang harus diterima sebagai hal tak terhindarkan. Penalaran hukum konstitusi positif tentang “independensi” memang begitu adanya. Begitulah “independensi” bekerja dalam lintasan kerangka hubungan hukum antar lembaga atau cabang-cabang kekuasaan. Sedemikian manisnya ekslusifitas itu disematkan kepada BI, sehingga terasa agak konyol. Dimana letak kekonyolan itu? Presiden tidak bisa ikut campur dalam urusan BI, untuk alasan apapun, tetapi dapat menerima bantuan kerjamama dengan lembaga lain. Memang pintu itu tidak diatur secara tegas di UU, melainkan dalam penjelasannya. Tetapi telah cukup meratakan, merobohkan tembok “independensi.” Kerjasama, boleh jadi metode memasukan pikiran, untuk tak menyebut interfensi lembaga-lembaga keuangan asing ke dalam BI. Mengawalinya dengan gagasan dan ide, lalu berakhir dengan kebijakan. Toh kebijakan BI cukup diatur dengan Peraturan BI. IMF dan World Bank, yang terlihat sebagai rentenir kelas dunia, yang mematikan itu, memiliki kesempatan memasuki BI melalui pintu kerjasama itu. Punya Dua Bos Presiden, siapapun figurnya, suka atau tidak, menurut konstitusi adalah satu-satunya pemegang kekuasaan pemerintahan di negera ini. Dalam kedudukan konstitusional itu, presiden memimpin seluruh penyeleggaraan urusan pemerintahan di negara ini. Masalahnya sekarang, mengapa Presiden diisolasi dari urusan dengan keuangan? Apakah ada urusan perekonomian nasional yang tak terjalin dengan uang, mata uang, stabilitas keuangan, dan sejenisnya? Urusan uang itu mahluk apa? Mengapa Presiden diisolasi secara ekstrim, dengan hanya melalui UU, sehingga tak bisa terlibat merumuskan kebijakan terkait dengan kewajiban konstitusionalnya? Dua bos, itulah yang patut dikatakan dalam menggambarkan pemisahan ekstrim dua urusan ini. Presiden hanya mengurus ekonomi di luar keuangan. BI disisi terdekatnya memonopli urusan keuangam, dan dalam level yang cukup menentukan, juga ekonomi. Karakter ini terus dipertahankan. Juga terus diperlebar dari waktu ke waktu. Mengapa? Semua UU di atas memperlihatkan dengan sangat jelas, BI, persis seperti The Federal Reserve di Amerika. Terus diberi tambahan kewenangan. Persis Amerika, tambahan kewenangan BI juga dilakukan melalui UU. Pemerintah menerbitkan surat berharga dan dibeli oleh Bank Indonesia. Inilah soalnya, dilihat dari sudut cara kita bernegara. Apa soalnya? Bank ini memiliki terpisah dari pemerintah. Organ ini adalah organ tersendiri. Tetapi besar kemungkinan orang akan melihat keadaan itu sebagai konsekuensi logis dari sifat “independen” yang disematkan secara konstitusional padanya. Dalam konteks itu negara bisa saja tak punya uang atau kekurangan uang, tetapi Bank Indonesia punya. Masuk akalkah ini? Apa saja usaha bank ini menghasilkan uang sebanyak apapun, yang dibutuhkan pemerintah? Main SUN? jelas tidak. Iuran Bank? Lalu apa usahanya? Nalar yang disediakan pasal 20 UU Nomor 23 Tahun 1999, mungkin menjadi jawaban finalnya. Nalar pasal 20 itu adalah BI ini memiliki kewenangan “mencetak uang.” Bagaimana merealisasikannya? Cara manisnya berupa tarik saja uang yang telah kumal, lalu cetak uang melebihi jumlah uang yang ditarik. Inflasi dan hiperinflasi? Ah pengendalian inflasi dan hiperinflasi kan keterampilan terhebat Bank Sentral di dunia ini. Justru untuk mengelola inflasi itulah, salah satu di antara beberapa golden argument, sekaligus golden goal pembentukan bank sentral di dunia ini. Di dunia mana sekarang ini cetak uang menggunakan standar emas? Lyndon Johnson telah menyempurnakan pola ini semasa memerintah sebagai presiden menggantikan John F. Kennedy, presiden pintar yang sayangnya mati terbunuh, tanpa sebab jelas hingga hari ini. Tidak ada. Inflasi telah menjadi tabiat dasar sistem keuangan mutakhir. Tetapi mari mengenali kenyataan kecil yang disodorkan oleh Ralp Epperson. Menurut Epperson Abraham Lincoln, Presiden hebat, pencipta semboyan “government from people, by the peole dan for the people”, yang berhasil mempertahankan keutuhan Amerika serikat, terlilit utang dalam membiayai perang. Lalu dia dipaksa oleh bankir swasta internasional (Perancis dan Inggris) yang berkolarborasi dengan bankir dalam negeri meminjam dari Bank. Lincoln menolak. Salmon P. Chase, menteri keuangan Lincoln, yang terlihat bekrja dalam kendali tak terlihat dengan bankir swasta, yang kelak namanya diabadikan pada Chase Manhatan Bank milik Rockefeller, mengancam bankir untuk menerima obligasi pemerintah. Bila mereka tidak menermia, maka pemerintah, katanya, akan membanjiri negara dengan uang kertas. Lincoln akhirnya memutuskan tidak meminjam uang dari bank, juga tak akan menciptakan uang berbunga, dengan mendirikan bank nasional. Bank ini akan meminjami pemerintah uang yang dibutuhkan, untuk mencetak banyak sekali uang kertas. Lalu segera mengeluarkan kertas pada Februari 1862. Uang ini tidak hanya tidak didukung oleh emas, tetapi juga bebas hutang. Sayangnya Lincol terjepit dalam permainan rumit para bankir swasta. Salmon P. Chase, menteri keuangan Lincoln, yang kelak menjadi hakim agung, dalam kenyataannya meloloskan bill of National Bank ke Kongres. Pada tahun 1863 Kongres setuju menjadi UU. Apa respon Lincoln atas UU ini? Dia memperingatkan rakyatnya dengan peringatan berikut. Lincoln, seperti ditulis Epperson, mengatakan “kekuatan uang memangsa negara pada masa damai, dan berkonspirasi melawan pemerintah pada masa sulit. Kekuatan ini lebih lalim dibandingkan monarki, lebih biadab dibandingkan dibandingkan otokrasi, lebih egois dibandingkan birokrasi. Saya melihat sebuah krisis akan terjadi dalam waktu dekat yang membuat saya gelisah, dan membuat saya berjuang demi keselamatan negara saya”. Perusahaan, katanya lebih jauh, telah berkuasa, dan zaman korupsi akan terjadi. Kekuatan uang negara akan berusaha memperpanjang kekuasaannya dengan memanfaatkan prasangka rakyat, sampai pada kekayaan hanya dimiliki oleh beberapa orang, dan republik hancur. Mau abaikan, dan tempatkan penilaian tajam Lincoln ini di bak sampah, ketika siapapun hendak membaca ketentuan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020? Perpu ini memberi kewenangan kepada BI memberi fasilitas darurat kepada korporasi? Mau ditempatkan di bak sampah juga perspektif hebat Lincoln di atas dalam membaca SUN pemerintah, yang akan dibeli BI? Apakah Presiden, juga DPR dapat mengontrol kebijakan fasilitas istimewa BI kepada Korporasi yang keuangannya, menurut defenisi Perpu Nomor 1 Tahun 2020, terpukul oleh corona? Presiden memegang kekuasaan pemerintahan, tetapi kekuasaan pemerintahan itu tak termasuk bidang moneter. Logiskah? Presiden, siapapun figurnya, diserahi kewajiban konsitusional mengurus, mensejahterakan rakyat, tetapi Presiden diisolasi dalam urusan moneter. Presiden harus bergantung pada BI dalam kebijakan moneter. Pada titik ini Presiden dan BI terlihat sebagai dua Bos yang berbeda buat bangsa dan negara ini.* Penulis adalah Pangajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Ternyata Perpu No. 1 Tahun 2020 Tidak Lagi Diperlukan
“Di APBN 2020, ada pos anggaran untuk subsidi BBM, lirik dan Gas LPG. Jika ditambah dengan subsidi untuk solar dan minyak tanah, totalnya antara Rp. 140-160 triliun. Seratus persen pos anggaran subsidi energi tersebut bisa saja dialihkan untuk menggulangi pandemi Corona. Pemerintah tinggal meminta persetujuan ke DPR saja, agar dirubah di APBN Perubahan. Dengan demikian, tidak lagi memerlukan Perppu No. 1/2020 yang cacat formil dan materil tersebut ”. By Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Kamis (30/04). Tidak semua sektor ekonomi terdampak korona. Ada juga sektor ekonomi nasional yang memperoleh dampak positif dari wabah yang melanda dunia ini. Dampak positif bagi Indonesia tersebut datang dari sektor energy, yakni migas dan listrik. Menurunnya harga minyak mentah, BBM, LPG dan harga energi primer batubara di pasaran dunia juga mendatangkan berkah. Telah membawa keuntungan besar bagi upaya-upaya penghematan. Bahkan bisa dijadikan kebijakan untuk menghilangkan alokasi anggaran untuk subsidi energi dalam APBN. Selama ini defisit migas sangat besar karena harga minyak tinggi. Subsidi APBN untuk BBM, Gas LPG dan lisrik sangat besar. Namun sekarang defist itu bisa berkurang sangat significant karena harga minyak sudah menurun lebih rendah 70 % lebih dibandingkan asumsi APBN 2020. Harga impor bahan baku LPG juga sudah menurun lebih dari 50%. Dengan demikian, subsidi APBN untuk BBM dan LPG sekarang menjadi tidak ada lagi atau 0 (nol). Sebaliknya, sektor energi dalam negeri bisa nabung atau menumpuk stok BBM dan LPG impor dalam jumlah besar. Juga dapat menikmati keuntungan besar dari selisih harga impor dengan harga jual dalam negeri sebagaimana yang dilakukan Pertamina saat ini. Demikian juga dengan subsidi listrik, juga bisa 0 (nol). Ini disebabkan harga energi primer yang sangat murah sekarang, terutama harga batubara yang merupakan komponen biaya listrik terbesar. Harga batubara juga sudah menurun lebih rendah lebih dari 50 persen dibandingkan harga batubara Domestik Market Obligation (DMO) atau pun Harga Batubara Acuan (HBA) yang selalu dijadikan patokan harga listrik dan subsidi listrik di APBN. Dengan demikian, menjadi tidak benar langkah pemerintah menerbitkan Perpu No 1 Tahun 2020 dengan nama yang sangat di dunia itu, hanya karena alasan darurat ekonomi dan keuangan akibat wabah korona. Karena sektor paling vital yang selama ini selalu dipandang selalu membebani APBN yakni subsidi BBM, Gas LPG dan listrik, sekarang justru sangat diuntungkan. Pada wabah korona sekarang ini, perusahaan BUMN migas dan listrik dapat menikmati BBM, LPG impor dengan sangat murah. Harga batubara murah juga sangat murah. Dengan kondisi ini pemerintah dapat menghemat APBN dalam jumlah sangat sangat besar pula. Anggaran yang selama ini dialokasikan untuk subsidi BBM, LPG dan listrik dapat digunakan untuk melawan pandemi Corona. Jika mengacu kepada APBN 2019, maka realisasi subsidi secara keseluruhan mencapai angka Rp. 216,8 triliun. Dari jumlah tersebut, subsidi untuk energi BBM solar sebesar Rp. 31,04 triliun. Subsidi untuk LPG sebesar Rp. 69,4 triliun, dan subsidi listrik sebesar Rp 59,3 triliun. Total subsidi untuk solar, LPG dan listrik Rp. 160 triliun. Jumlah itu belom ditambah dengan subsidi untuk minyak tanah dan premium yang datanya tidak ada dalam APBN 2019. Realisasi alokasi anggaran subsidi energi dalam pada APBN 2020 bisa hilang sama sekali. Sebagaimana diketahui, dalam APBN 2020 Pemerintah dan DPR mengalokasikan anggaran untuk subsidi dalam APBN 2020 senilai Rp. 199,72 triliun. Dari jumlah tersebut, subsidi untuk sektor energi masing masing untuk subsidi solar senilai Rp. 21 triliun, subsidi LPG sebesar Rp. 54,4 triliun, dan subsidi listrik Rp. 62,2 trliun. Jika ditambah dengan subsidi untuk premium, dan minyak tanah kalau masih ada, maka seluruh subsidi energi tersebut sekarang ini sebesar Rp 140 triliun, sudah tidak lagi diperlukan. Penyebabnya, karena harga minyak mentah, BBM impor dan LPG impor yang ada sekarang sudah sangat murah. Malah sebaliknya, perusahaan BUMN migas seperti Pertamina bisa mencetak untung besar. Jadi, untuk mengatasi korona, pemerintah tidak lagi memerlukan Perpu darurat. Sebab angaran untuk mengatasi korona bisa diambil dari pengalihan satu pos anggaran subsidi saja. Jumlahnya juga sangat pantastis dan besar. Mencapai sekitar Rp 140-150 triliun. Pemerintah sukup hanya dengan meminta persetujuan DPR di APBN Perubahan, untuk mengalihkan anggaran untuk subsidi lisrik atau subsidi LPG atau subsidi solar + premium+ minyak tanah, yang memang tidak lagi diperlukan untuk tahun anggaran 2020. Singkatnya, dengan kebijakan itu, maka seluruh kompnen subsidi pada komoditi energi tidak lagi diperlukan. Semunya bisa dialihkan ke upaya-upaya perang melawan pandemi Corona. Sebagaimana kita ketahui bahwa pemerintah telah mengalokasikan dana untuk menghadapi wabah korona melalui Perpu No 1 Tahun 2020 senilai Rp. 70 triliun. Dasarnya, pemerintah berasumsi bahwa korona menciptakan krisis keuangan, sehingga akan menggelontorkan dana Rp. 402 triliun untuk penyelamatan sitem ekonomi nasional. Padahal kebijakan ini hanya bohong-bohongan saja. Selain itu, dengan alasan wabah korona berdampak pada ekonomi, pemerintah akan menambah utang baru senilai Rp. 1.006 triliun sesuai dengan Perpres No. 54 Tahun 2020, yang merupakan pelaksanaan dari Perpu No. 1 Tahun 2020. Padahal pemerintah bisa menggunakan mekanisme sebagaimana yang diatur UUD 1945 dan UU Keuangan Negara sebagaimana biasanya dalam menghadapi wabah corona. Tidak memerlukan Perpu darurat yang nyata-nyata cacat formil dan materil itu. Penulis adalah Peniliti Pada Asosiasi Ekonmi dan Politik Indonesia (AEPI)
Quantitative Easing (QE) Ala Indonesia Bukti Pembegalan Konstitusi
By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Rabu (29/04). Belum lama ini beredar banyak pendapat yang mendesak Indonesia perlu “mencetak uang”. Tujuannya untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia akibat pandemi Covid-19. Mekanisme “mencetak uang” ini mereka namakan, atau samakan, dengan Quantitative Easing (QE). Quantitave Easing ini adalah kebijakan moneter yang dimotori bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve atau the FED. Tujuanya, untuk mengatasi krisis sektor keuangan akibat pecahnya gelembung kredit sektor perumahan pada tahun 2007-2008. Kebijakan moneter QE ini juga diikuti oleh berbagai negara maju lainnya seperti Inggris, Uni Eropa, Jepang dan banyak lainnya. Akibat pandemi Covid-19 yang merebak awal 2020 lalu, membuat beberapa bank sentral di negara-negara maju memutuskan untuk menjalankan kebijakan QE lagi. Dengan harapan, dapat menjaga pertumbuhan ekonomi agar tidak anjlok terlalu dalam. Sehubungan dengan ini, banyak pihak yang mengusulkan agar Indonesia melakukan QE juga. Bahkan ada mantan menteri yang turut mengusulkan. Jumlahnya tidak kecil. “Indonesia harus cetak uang”, katanya, setidak-tidaknya Rp 1.600 triliun sebagai paket stimulus ekonomi. Mekanisme QE usulan mereka (sebut saja QE ala Indonesia) dilakukan dengan cara Bank Indonesia (BI) membeli surat utang negara di pasar primer. Artinya, pemerintah dan BI melakukan transaksi secara langsung. Pemerintah menerbitkan surat utang (baru) senilai Rp 1.600 triliun untuk kemudian dibeli secara langsung oleh Bank Indonesia. QE model Indonesia ini benar-benar sangat ngawur. Ternyata mereka tidak paham apa yang dimaksud dengan QE tersebut? QE adalah kebijakan moneter “luar biasa” yang harus diambil ketika kebijakan moneter biasa sudah tidak efektif lagi. Dalam keadaan krisis, langkah pertama kali yang dilakukan bank sentral pada umumnya menurunkan suku bunga. Ketika ekonomi masih belum menunjukkan tanda-tanda membaik, suku bunga bisa diturunkan terus hingga mendekati 0 persen. Tujuannya, dari penurunan suku bunga ini agar biaya pinjaman menjadi lebih murah. Bisa meringankan beban bunga perusahaan, dan juga diharapkan menggairahkan investasi dan konsumsi. Ini merupakan stimulus ekonomi dari kebijakan moneter. Dalam situasi suku bunga yang sudah mendekati 0 persen, namun ekonomi masih belum juga membaik, maka bank sentral bisa mengambil kebijakan moneter menerapkan QE. Targetnya, agar bisa lebih efektif untuk lebih menggairahkan ekonomi negara. Cara kerja QE sebagai berikut. Bank sentral mengumumkan akan membeli surat utang negara untuk jangka menengah, atau surat utang korporasi di pasar sekunder (open market operations) untuk sejumlah tertentu. Diumumkan secara terbuka kepada publik. Sehubungan dengan krisis pandemi Covid-19, The FED sudah menurunkan suku bunga secara agresif, yaitu 0,5 persen pada 3 Maret 2020 dan 1 persen pada 15 Maret 2020, sehingga suku bunga The FED sudaH mendekati 0 persen. Pada pertengahan Maret 2020, The FED kemudian mengumumkan pembelian surat utang negara senilai U$ 75 miliar dolar per hari untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Jumlah ini kemudian dikurangi menjadi U$ 50 miliar dolar per hari pada akhir Maret lalu. Kebiijakan QE oleh The FED ini tidak ada urusannya dengan pemerintah Amerika Serikat. Apabila ekonomi membaik sesuai target bank sentral, bukan target pemerintah (eksekutif), QE bisa dihentikan kapan saja. Apabila kemudian ada ancaman inflasi, bank sentral bisa menjual kembali surat berharga yang dibeli melalui QE open market operations tersebut. Tujuannya, agar suku bunga kembali naik untuk meredam inflasi. Gambaran di atas merupakan proses umum kebijakan moneter QE diberlakukan. Pertama, tingkat suku bunga sudah mendekati 0 persen. Sedangkan suku bunga Bank Indonesia saat ini masih “sangat tinggi”, yaitu 4,5 persen. Maka, kondisi ekonomi Indonesia saat ini sangat jauh dari syarat diberlakukan QE. Dalam situasi ini, BI masih mempunyai ruang gerak yang sangat luas untuk menurunkan suku bunga. Kenapa BI tidak menurunkan suku bunga? Maknya sangat tidak masuk akal. Ketika suku bunga masih sanmgat tinggi, tapi mau melakukan QE. Kedua, QE adalah kondisi di mana bank sentral membeli surat utang negara (dan korporasi) di pasar sekunder melalui open market operations. Tujuan utama QE adalah untuk menurunkan suku bunga jangka pendek dan jangka menengah. Itu dulu target utamanya. Oleh karena itu, usulan agar BI membeli surat utang negara di pasar primer berlawanan dengan mekanisme QE seperti digambarkan di atas. Berlawanan dengan persyaratan umum QE yang berlaku di seluruh dunia. Pembelian surat utang negara di pasar sekunder melalui open market operations itu menunjukkan bahwa bank sentral independen. Paket stimulus Amerika Serikat yang mencapai U$ 2,3 triliun dolar, tidak ada hubungannya sama sekali dengan bank sentral, The FED. Paket stimulus ini diajukan pemerintah kepada DPR AS untuk dimintakan persetujuannya. Bagaimana cara mendanai stimulus tersebut bukan urusan The FED. Oleh karena itu, QE ala Indonesia, yang mengusulkan agar BI membeli surat utang negara di pasar primer tidak mempunyai basis sama sekali. Itu usulan yang ngawur dan ngaco. Itu mau menjerumusin negara, termasuk pembegalan terhadap konstitusi. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)