EKONOMI
Perbankan Nasional Sangat Tidak Ramah Kepada UMKM
By Andi Rahmat Jakarta FNN – Ahad (03/05). Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Gubernur BI menyampaikan pelaksanaan Quantitative Easing (QE) senilai Rp. 503,8 trilliun. Jumlah ini adalah akumulasi kebijakan moneter BI hingga bulan Mei 2020. Selama periode Januari hingga Mei tahun ini, BI telah menambah pasokan likuiditas ke dalam perekonomian melalui serangkaian kebijakan pelonggaran kuantitas (QE). Sepanjang periode Januari-April 2020, nilainya sebesar Rp. 386 triliun. Instrumennya berupa Pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder sebesar Rp. 166,2 trilliun, Term Repo sebesar Rp. 137,1 triliun, Swap Foreign Exchange (FX Swap) Rp. 29,7 triliun dan Penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar Rp 53 triliun. Sementara untuk periode Mei akan ditambahkan lagi sebesar Rp 117,8 triliun. Dalam bentuk penurunan GWM periode Mei sebesar Rp. 102 triliun, dan selebihnya berasal dari pengurangan kewajiban tambahan Giro sebesar Rp. 15,8 triliun. Karena periode tambahan itu dimulai dari Januari 2020, maka tambahan sebesar Rp. 503,8 triliun itu tidak seluruhnya dapat dikatakan sebagai bentuk QE di masa pandemi Covid 19. Yang dapat dikatakan adalah, dalam periode ini BI telah melakukan kebijakan dua tahap. Tahap pertama, sepanjang periode Januari –F ebruari, berupa relaksasi kebijakan moneter normal. Tahap kedua, berupa kebijakan Pelonggaran Kuantitas dalam rangka merespon krisis yang ditimbulkan oleh Pandemi Covid 19. Saya membaginya seperti itu untuk menunjukkan bahwa tren kebijakan moneter BI dalam merespon perkembangan makro perekonomian pada dasarnya adalah tren relaksasi. Namun kemudian, karena perkembangan tidak terduga dari krisis pandemi, kebijakan relaksasi itu berubah menjadi agresif dan membutuhkan kebijakan lebih dari sekedar relaksasi yang berbentuk pelonggaran kuantitas (QE), atau populernya “pencetakan uang” besar-besaran kedalam perekonomian. Untuk kepentingan tulisan ini, istilah “‘pencetakan uang” ini saya samakan dengan penciptaan uang (money creation). Sebab nampaknya, tren ini akan berkembang terus seiring dengan perkembangan perekonomian nasional. Terhadap suatu tambahan likuiditas sebesar ini, tentu menarik untuk kita ajukan pertanyaan, untuk apa dan kepada siapa likuiditas itu sesungguhnya ditujukan? Bersumber dari data BI, eksposure kredit UMKM di dalam sistem perbankan nasional sampai September 2018 berjumlah Rp. 1.037,6 trlin, dari Rp. 5.284,6 trliun, atau sekitar 19,6% dari total baki kredit perbankan. Selebihnya, 80,4% baki kredit dikuasi oleh sektor non UMKM, atau sekitar Rp. 4.247 triliun yang diperuntukkan untuk korporasi. Baki kredit untuk UMKM ini dialokasikan kepada 16.394.106 nasabah UMKM. Padahal di Indonesia, hingga tahun 2019 terdapat 59 juta UMKM. Dari jumlah baki kredit UMKM itu, Bank-bank BUMN, BPD dan BPR/BPRS menyalurkan sekitar Rp. 665,23 trliun atau 64% dari total baki kredit UMKM. Selebihnya, 36% disalurkan oleh perbankan swasta dan JV Bank. Dari data ini, kita memperoleh dua kesimpulan umum. Pertama, bahwa penetrasi sistem perbankan nasional kepada sektor UMKM sangat tidak proporsional. Itupun kalau tidak mau dikatakan “tidak-adil”. Tidak proporsionalannya bukan saja dari segi rendahnya alokasi kredit terhadap sektor ini, tetapi juga proporsi masih mayoritasnya sektor UMKM yang tidak memperoleh akses dan perhatian dari perbankan. Ini juga menunjukkan bahwa perbankan nasional sesungguhnya sangat tidak ramah terhadap UMKM. Dan cenderung eksklusif terhadap korporasi. Apapun alasannya, struktur ini mencerminkan ketidak-sehatan sistem keuangan nasional kita. Yang pada akhirnya, dimasa-masa krisis seperti ini menyebabkan UMKM kita menjadi rentan. Pada tingkat pengambilan kebijakan, menyulitkan otoritas melakukan penyesuain kebijakan (adjustment policy). Kedua, adalah rendahnya partisipasi perbankan swasta di sektor UMKM ini. Memang ada alasan yang mengatakan bahwa partisipasi rendah ini dikarenakan selama ini, pemerintah banyak menggunakan perbankan non swasta dalam menjalankan kebijakan pro UMKMnya. Argumen yang lebih sinis mengatakan bahwa semua ini dikarenakan perbankan swasta lebih memilih korporasi karena selain lebih mudah, volume kreditnya juga besar. Jumlah nasabah juga yang tidak besar, sehingga dapat menekan biaya pengelolaannya, alias lebih menguntungkan. Lantas, apakah kita bisa mengatakan bahwa membanjiri likuiditas ke sistem perbankan dengan struktur yang tidak ramah terhadap UMKM, bisa memberi manfaat besar bagi UMKM kita, yang sedang sekarat ini?. Padahal dimasa krisis ini, UMKM sebagai penyumbang tenaga kerja terbesar dalam perekonomian kita sedang mengalami masa-masa sulit. Sudah jamak diketahui bahwa diantara efek QE dimasa sulit seperti ini adalah munculnya fenomena Cash Hoarding di perbankan. Suatu fenomena dimana perbankan memilih mengkonsolidasikan ekses likuiditasnya dalam memperkuat neracanya, Mereka lebih cenderung memilih untuk “bernegosiasi” dengan debitur korporasinya. Ditatar lebih lanjut, fenomena diatas menjadi sumber kritik banyak pihak terhadap permodelan QE yang tidak merumuskan kebijakan keberpihakannya secara tegas kepada UMKM. Kritiknya adalah, QE lebih memberi kesempatan kepada korporasi dan “orang-orang kaya” untuk berkonsolidasi di masa krisis. Karenanya semakin mempelebar jurang antara yang “kaya-miskin” dalam perekonomian. Sekali lagi, ini fenomena jamak yang bisa ditemukan dalam banyak sekali literatur dari ekonom-ekonom terkemuka yang mengkritik dampak QE saat memperluas “ineqaulity” dalam perekonomian. Tanggung jawab soal ini tentu bukan saja dibebankan kepada BI. Tetapi yang utama adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kerana OJK sebagai otoritas independen yang menaungi perbankan. Ini adalah tugas mulia dan suci buat OJK dalam melakukan penyesuian struktural terhadap sistem keuangan nasional kita yang tidak ramah UMKM. OJK jangan sia-siakan momentum ini. OJK mestinya berdiri di garis yang paling depan dalam soal permodalan UMKM ini. Penulis menekankan ini, sebagai wujud tanggung jawab moral. Karena penulis juga merupakan mantan Pimpinan Pansus Pembentukan UU OJK yang menjadi dasar berdirinya OJK sekarang. Tanpa suatu keberpihakan yang tegas dari otoritas, upaya membanjiri likuiditas ke sistem perbankan dan keuangan nasional kita melalui QE hanya akan meninggalkan UMKM dalam limbo ketidak berdayaan. Alih-alih, malah akan memperparah kesenjangan didalam perekonomian nasional kita. Kesuksesan kebijakan QE dalam mem”bail-out” sektor UMKM terletak pada perubahan proporsi baki kredit untuk UMKM dan bertambahnya jumlah UMKM secara signifikan dalam memperoleh manfaat dari kebijakan QE. Untuk itu, OJK sudah selayaknya menerbitkan kebijakan yang “memaksa” perbankan untuk menyalurkan likuiditasnya kepada UMKM dalam proporsi yang lebih besar. Diantaranya dengan memberi bobot khusus dalam proporsi Loan to Deposit Ratio (LDR) kepada UMKM dalam neraca perbankan. Bentuknya dapat berupa pengaturan yang bersifat “mandatory loan” kepada UMKM oleh perbankan dalam proporsi baki kreditnya. Khusus untuk BI, perlu juga mempersyaratkan suatu mekanisme “‘mandatory” kepada perbankan dalam penggunaan fasilitas BI. Itu terutama pada perjanjian yang berhubungan dengan Repo SBN perbankan. Insya Allah, dalam kesempatan lain, kita bisa mendiskusikan (tulisan khusus) soal ini. Akhirnya, kepada Allah SWT jugalah kita memohon pertolongan dan berserah diri. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha, dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Babi Ngepet dan Ayam Milenial
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Departemen Pertanian c/q Dirjen Peternakan “berhasil “ menernakkan babi dan ayam lokal varietas baru. Harga jualnya sangat fantastis! Ternak hewan super dan unggulan ini, bila benar terwujud, bisa membuat para peternak kaya mendadak! Bakal banyak milyader baru lahir di tengah pandemi. Sangat membantu program pemerintah mengentaskan kemiskinan. Bayangkan saja harga 1 ekor babi bisa mencapai Rp 9 juta. Sementara ayam lokal harganya jauh lebih fantastis. Rp 770 ribu/ekor. Sebagai bayangan saja. Agar kita mendapat gambaran betapa dahsyatnya ternak unggulan “ciptaan” Dirjen Peternakan itu, mari kita bandingkan dengan harga di pasaran. Menjelang Hari Raya Galungan pada pertengahan bulan Februari lalu, Dinas Pertanian Provinsi Bali menetapkan harga daging babi per kilo/Rp 26-30 ribu. Di pasaran harganya masih berkisar Rp 50-60 ribu. Katakanlah seekor babi paling gemuk, babi tambun dengan berat 50 kg. Maka harga per ekor maksimal Rp 3 juta. Harga ayam lokal di pasaran per ekor sekitar Rp 60-65 ribu. Itupun dalam kondisi sudah bersih. Ibu-ibu tinggal memasaknya. Jadi harga babi dan ayam itu benar-benar fantastis. Bakal membuat banyak orang berlomba-lomba mengubah profesinya menjadi peternak. Sayangnya untuk sementara waktu kita harus menahan diri dan bersabar. Harga hewan ternak yang tembus langit ketujuh itu baru ada dalam anggaran yang diajukan Deptan ke DPR. Kalau saja anggaran itu lolos dan disetujui oleh DPR, yang bakal kaya mendadak bukan para peternak. Tapi para pejabat di Dirjen Peternakan. Khususnya yang terlibat dalam pengadaan. Sayangnya pula usulan anggaran itu tidak bakal disetujui DPR. Mata Ketua Komisi IV DPR RI Sudin langsung terbelalak. Rambutnya berdiri. Dia sangat kaget ketika mendapati angka-angka tersebut. Dalam persentasi laporan refocusing anggaran APBN 2020, Kementan mengalokasikan dana sekitar Rp 26,2 miliar untuk pengadaan 35 ribu ekor ayam. "Kalau dihitung, satu ekor ayam itu jatuhnya Rp 770 ribu. Coba Anda hitung ulang sekarang. Apakah anggaran satu ekor ayam sebesar itu?" tanya Sudin dalam rapat dengar pendapat virtual yang digelar Komisi IV DPR bersama Eselon I Kementerian Pertanian, Selasa, (28/4). Sementara pengadaan babi mencapai Rp 5,03 miliar untuk 550 ekor. Total pengadaan babi ini, dihitung nilainya mencapai Rp 9 juta/ekor. Bagaimana bisa harga babi dan ayam itu melejit demikian tinggi? Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita hanya menjawab pendek. “Akan kami tinjau dan perbaiki kembali,” ujarnya sebagaimana dikutip tempo.co. Moral hazard Membengkaknya harga-harga yang tidak masuk akal itu tidak bisa hanya dijelaskan dengan jawaban pendek Pak Dirjen. Juga tidak bisa dijelaskan dengan kata” salah input, atau salah ketik.” Kalau ada kesalahan input atau ketik, paling banter hanya selisih satuan angka saja. Tidak mungkin sampai naik beribu kali lipat. Publik wajar dong berprasangka ada upaya perselingkuhan menilap anggaran negara. Apalagi sudah terbukti banyak aparat dan pejabat pemerintah yang memanfaatkan situasi di tengah pandemi. Mereka berpesta pora di tengah wabah Corona. Moral hazard dimana-mana. Contoh paling nyata dilakukan oleh lingkar dekat Presiden Jokowi. Para Stafsus Milenial. Mereka kini tengah jadi bulan-bulanan, karena terbukti terlibat dalam proyek akal-akalan Pra(nk) Kerja sebesar Rp 5.6 Triliun. Publik dan khususnya anggota DPR kudu ekstra waspada. Boleh jadi fenomena di Deptan merupakan puncak gunung es dari permainan anggaran. Coba bayangkan besarnya anggaran yang bisa dimainkan di berbagai kementerian, dan badan-badan pemerintah lainnya. Apa yang terjadi di Dirjen Peternakan bisa menjadi pintu masuk menyelidiki penyelewengan anggaran di semua instansi pemerintah. Fenomena ini juga merupakan sebuah ironi besar, di tengah situasi bencana. Pemerintah kalang kabut, cari utang kesana kemari. Mencoba menghemat dan menggeser anggaran mengatasi virus Corona, mereka malah berpesta pora. Ngomong-omong, apakah di dunia nyata memang benar ada harga babi dan ayam varietas unggul seperti harga yang dipatok Deptan? Kalau anda tanyakan pada filsuf kontemporer Rocky Gerung, jawabannya cukup mengejutkan. Secara tegas dia menjawab ada. “Itu harga babi ngepet dan ayam (stafsus) milenial.” Haduuuuhhhhh…….. End. Penulis Wartawan Senior.
Bank Indonesia, Mirip Dengan Negara Berdaulat
By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Sabtu (02/05). Demokrasi telah datang sekali lagi untuk Indonesia tercinta ini, setelah gelombang reformasi memukul banyak hal. Gembira ria orang menyambut dan merayakan datangnya alam demokrasi itu. Apalagi kedatangannya disokong kuat oleh negara-negara yang selama ini telah menjadikan demokrasi sebagai jimatnya. Ide-ide demokrasi pun segera diinstitusionalisasi. Lahirlah sejumlah lembaga baru. Bank Indonesia, yang semula sama dengan Amerika, tidak diatur dalam konstitusi, telah disokong secara unik oleh reformasi. Hasilnya, institusi ini dibawa masuk ke dalam konstitusi. Jadilah institusi ini sebagai organ konstitusi. Mahkotanya pun ditulis dalam konstitusi. Mahkota itu bernama “independensi”. Cara menulisnya, sebenarnya tidak unik untuk siapapun yang terlatih mengenal secara kritis penormaan sesuatu yang tidak selalu disukai oleh banyak orang, tetapi dibutuhkan. Tentu untuk kepentingan tertentu, entah apa dan siapa, dijadikan huruf-huruf hukum. Negara Sendiri Persis pola “politik pintu terbuka” yang menjadi tabiat teknis korporasi-korporasi minyak dan gas kelas dunia memasuki satu area baru. Setelah masuk, mereka lalu mengunci diri di dalamnya, sehingga pesaing lain tidak bisa lagi memasuki areal tersebut. Pasal 23D UUD 1945 tidak menyatakan secara rigid dalam satu kalimat terstruktur dengan rumusan begini “Bank Indonesia Bersifat Independen.” Itu tidak ada. Rumusan persis pasal 23D UUD 1945 adalah “Negara memiliki satu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan “independensinya” (tanda petik dari saya) diatur dengan undang-undang. Rumusan pasal 23D UUD 1945 itu sangat simple. Sederhana sekali. Tetapi jangan lupa ini merupakan taktik standar mengunci argumen lawan atau orang yang tidak berkenaan dengan hal itu. Tesisnya begini, bangun dulu legalitas atau fundasinya dalam UUD 1945. Perkara perluasan. Itu urusan nanti. Apa konsekuensi hukum rumusan pasal 23D UUD 1945 itu? Rumusan pasal ini dapat dianalogikan sebagai memberikan cek kosong. Isinya terserah saja. Berapapun angkanya yang mau ditulis dalam cek itu, terserah pada sipenerima cek. Sifat ini digunakan juga dalam UU Nomor 3 Tahun 2004. Itu terlihat pada rumusan pasal 3. Selengkapnya rumusan pasal ini berbunyi begini “BI adalah badan hukum menurut UU ini.” Simpel saja. Itulah nalar logis memahami rumusan tugas, wewenang serta independensi Bank Indonesia yang diatur, terutama dalam UU Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999, dan UU Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2008, termasuk Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Rumusan pembukanya pendek. Tetapi yang penting itu pintu terbuka dulu, karena segera setelah itu pintu akan mengayun, dan terkunci rapat untuk siapapun. Terkuncinya pintu itu terlihat pada rumusan, misalnya pasal 54 yang esensinya “pemerintah wajib meminta pendapat BI ketika pemerintah membahas kebijakan ekonomi dalam rapat kabninet.” Sama dalam esensinya pada dengan ketentuan di atas. Terdapat ketentuan lain, misalnya yang mewajibkan pemerintah berkonsultasi terlebih dahulu dengan BI. Bahkan menyertakan BI dalam rapat kabinet yang membicarakan masalah-masalah ekonomi dan keuangan. Termasuk pemerintah wajib berkonsultasi dengan BI ketika pemerintah akan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). Berseberangan dengan ketentuan itu, dan dititik ini terlihat samar-samar BI memiliki kemiripan dengan sebuah negara berdaulat. Mengapa? Orang pemerintah yang hadir, karena diundang BI dalam rapat dewan gubernurnya, hanya untuk memiliki hak bicara. Tidak lebih dari hanya bicara. Orang pemerintah yang hadir dalam rapat itu, tidak diberi hak suara. Semua eksklusifitas BI itu, untuk penalaran hukum konstitusi positif, memang harus diterima sebagai hal tak terhindarkan. Penalaran hukum konstitusi positif tentang “independensi” memang begitu adanya. Begitulah “independensi” bekerja dalam lintasan kerangka hubungan hukum antar lembaga atau cabang-cabang kekuasaan. Sedemikian manisnya ekslusifitas itu disematkan kepada BI, sehingga terasa agak konyol. Dimana letak kekonyolan itu? Presiden tidak bisa ikut campur dalam urusan BI, untuk alasan apapun, tetapi dapat menerima bantuan kerjamama dengan lembaga lain. Memang pintu itu tidak diatur secara tegas di UU, melainkan dalam penjelasannya. Tetapi telah cukup meratakan, merobohkan tembok “independensi.” Kerjasama, boleh jadi metode memasukan pikiran, untuk tak menyebut interfensi lembaga-lembaga keuangan asing ke dalam BI. Mengawalinya dengan gagasan dan ide, lalu berakhir dengan kebijakan. Toh kebijakan BI cukup diatur dengan Peraturan BI. IMF dan World Bank, yang terlihat sebagai rentenir kelas dunia, yang mematikan itu, memiliki kesempatan memasuki BI melalui pintu kerjasama itu. Punya Dua Bos Presiden, siapapun figurnya, suka atau tidak, menurut konstitusi adalah satu-satunya pemegang kekuasaan pemerintahan di negera ini. Dalam kedudukan konstitusional itu, presiden memimpin seluruh penyeleggaraan urusan pemerintahan di negara ini. Masalahnya sekarang, mengapa Presiden diisolasi dari urusan dengan keuangan? Apakah ada urusan perekonomian nasional yang tak terjalin dengan uang, mata uang, stabilitas keuangan, dan sejenisnya? Urusan uang itu mahluk apa? Mengapa Presiden diisolasi secara ekstrim, dengan hanya melalui UU, sehingga tak bisa terlibat merumuskan kebijakan terkait dengan kewajiban konstitusionalnya? Dua bos, itulah yang patut dikatakan dalam menggambarkan pemisahan ekstrim dua urusan ini. Presiden hanya mengurus ekonomi di luar keuangan. BI disisi terdekatnya memonopli urusan keuangam, dan dalam level yang cukup menentukan, juga ekonomi. Karakter ini terus dipertahankan. Juga terus diperlebar dari waktu ke waktu. Mengapa? Semua UU di atas memperlihatkan dengan sangat jelas, BI, persis seperti The Federal Reserve di Amerika. Terus diberi tambahan kewenangan. Persis Amerika, tambahan kewenangan BI juga dilakukan melalui UU. Pemerintah menerbitkan surat berharga dan dibeli oleh Bank Indonesia. Inilah soalnya, dilihat dari sudut cara kita bernegara. Apa soalnya? Bank ini memiliki terpisah dari pemerintah. Organ ini adalah organ tersendiri. Tetapi besar kemungkinan orang akan melihat keadaan itu sebagai konsekuensi logis dari sifat “independen” yang disematkan secara konstitusional padanya. Dalam konteks itu negara bisa saja tak punya uang atau kekurangan uang, tetapi Bank Indonesia punya. Masuk akalkah ini? Apa saja usaha bank ini menghasilkan uang sebanyak apapun, yang dibutuhkan pemerintah? Main SUN? jelas tidak. Iuran Bank? Lalu apa usahanya? Nalar yang disediakan pasal 20 UU Nomor 23 Tahun 1999, mungkin menjadi jawaban finalnya. Nalar pasal 20 itu adalah BI ini memiliki kewenangan “mencetak uang.” Bagaimana merealisasikannya? Cara manisnya berupa tarik saja uang yang telah kumal, lalu cetak uang melebihi jumlah uang yang ditarik. Inflasi dan hiperinflasi? Ah pengendalian inflasi dan hiperinflasi kan keterampilan terhebat Bank Sentral di dunia ini. Justru untuk mengelola inflasi itulah, salah satu di antara beberapa golden argument, sekaligus golden goal pembentukan bank sentral di dunia ini. Di dunia mana sekarang ini cetak uang menggunakan standar emas? Lyndon Johnson telah menyempurnakan pola ini semasa memerintah sebagai presiden menggantikan John F. Kennedy, presiden pintar yang sayangnya mati terbunuh, tanpa sebab jelas hingga hari ini. Tidak ada. Inflasi telah menjadi tabiat dasar sistem keuangan mutakhir. Tetapi mari mengenali kenyataan kecil yang disodorkan oleh Ralp Epperson. Menurut Epperson Abraham Lincoln, Presiden hebat, pencipta semboyan “government from people, by the peole dan for the people”, yang berhasil mempertahankan keutuhan Amerika serikat, terlilit utang dalam membiayai perang. Lalu dia dipaksa oleh bankir swasta internasional (Perancis dan Inggris) yang berkolarborasi dengan bankir dalam negeri meminjam dari Bank. Lincoln menolak. Salmon P. Chase, menteri keuangan Lincoln, yang terlihat bekrja dalam kendali tak terlihat dengan bankir swasta, yang kelak namanya diabadikan pada Chase Manhatan Bank milik Rockefeller, mengancam bankir untuk menerima obligasi pemerintah. Bila mereka tidak menermia, maka pemerintah, katanya, akan membanjiri negara dengan uang kertas. Lincoln akhirnya memutuskan tidak meminjam uang dari bank, juga tak akan menciptakan uang berbunga, dengan mendirikan bank nasional. Bank ini akan meminjami pemerintah uang yang dibutuhkan, untuk mencetak banyak sekali uang kertas. Lalu segera mengeluarkan kertas pada Februari 1862. Uang ini tidak hanya tidak didukung oleh emas, tetapi juga bebas hutang. Sayangnya Lincol terjepit dalam permainan rumit para bankir swasta. Salmon P. Chase, menteri keuangan Lincoln, yang kelak menjadi hakim agung, dalam kenyataannya meloloskan bill of National Bank ke Kongres. Pada tahun 1863 Kongres setuju menjadi UU. Apa respon Lincoln atas UU ini? Dia memperingatkan rakyatnya dengan peringatan berikut. Lincoln, seperti ditulis Epperson, mengatakan “kekuatan uang memangsa negara pada masa damai, dan berkonspirasi melawan pemerintah pada masa sulit. Kekuatan ini lebih lalim dibandingkan monarki, lebih biadab dibandingkan dibandingkan otokrasi, lebih egois dibandingkan birokrasi. Saya melihat sebuah krisis akan terjadi dalam waktu dekat yang membuat saya gelisah, dan membuat saya berjuang demi keselamatan negara saya”. Perusahaan, katanya lebih jauh, telah berkuasa, dan zaman korupsi akan terjadi. Kekuatan uang negara akan berusaha memperpanjang kekuasaannya dengan memanfaatkan prasangka rakyat, sampai pada kekayaan hanya dimiliki oleh beberapa orang, dan republik hancur. Mau abaikan, dan tempatkan penilaian tajam Lincoln ini di bak sampah, ketika siapapun hendak membaca ketentuan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020? Perpu ini memberi kewenangan kepada BI memberi fasilitas darurat kepada korporasi? Mau ditempatkan di bak sampah juga perspektif hebat Lincoln di atas dalam membaca SUN pemerintah, yang akan dibeli BI? Apakah Presiden, juga DPR dapat mengontrol kebijakan fasilitas istimewa BI kepada Korporasi yang keuangannya, menurut defenisi Perpu Nomor 1 Tahun 2020, terpukul oleh corona? Presiden memegang kekuasaan pemerintahan, tetapi kekuasaan pemerintahan itu tak termasuk bidang moneter. Logiskah? Presiden, siapapun figurnya, diserahi kewajiban konsitusional mengurus, mensejahterakan rakyat, tetapi Presiden diisolasi dalam urusan moneter. Presiden harus bergantung pada BI dalam kebijakan moneter. Pada titik ini Presiden dan BI terlihat sebagai dua Bos yang berbeda buat bangsa dan negara ini.* Penulis adalah Pangajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Ternyata Perpu No. 1 Tahun 2020 Tidak Lagi Diperlukan
“Di APBN 2020, ada pos anggaran untuk subsidi BBM, lirik dan Gas LPG. Jika ditambah dengan subsidi untuk solar dan minyak tanah, totalnya antara Rp. 140-160 triliun. Seratus persen pos anggaran subsidi energi tersebut bisa saja dialihkan untuk menggulangi pandemi Corona. Pemerintah tinggal meminta persetujuan ke DPR saja, agar dirubah di APBN Perubahan. Dengan demikian, tidak lagi memerlukan Perppu No. 1/2020 yang cacat formil dan materil tersebut ”. By Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Kamis (30/04). Tidak semua sektor ekonomi terdampak korona. Ada juga sektor ekonomi nasional yang memperoleh dampak positif dari wabah yang melanda dunia ini. Dampak positif bagi Indonesia tersebut datang dari sektor energy, yakni migas dan listrik. Menurunnya harga minyak mentah, BBM, LPG dan harga energi primer batubara di pasaran dunia juga mendatangkan berkah. Telah membawa keuntungan besar bagi upaya-upaya penghematan. Bahkan bisa dijadikan kebijakan untuk menghilangkan alokasi anggaran untuk subsidi energi dalam APBN. Selama ini defisit migas sangat besar karena harga minyak tinggi. Subsidi APBN untuk BBM, Gas LPG dan lisrik sangat besar. Namun sekarang defist itu bisa berkurang sangat significant karena harga minyak sudah menurun lebih rendah 70 % lebih dibandingkan asumsi APBN 2020. Harga impor bahan baku LPG juga sudah menurun lebih dari 50%. Dengan demikian, subsidi APBN untuk BBM dan LPG sekarang menjadi tidak ada lagi atau 0 (nol). Sebaliknya, sektor energi dalam negeri bisa nabung atau menumpuk stok BBM dan LPG impor dalam jumlah besar. Juga dapat menikmati keuntungan besar dari selisih harga impor dengan harga jual dalam negeri sebagaimana yang dilakukan Pertamina saat ini. Demikian juga dengan subsidi listrik, juga bisa 0 (nol). Ini disebabkan harga energi primer yang sangat murah sekarang, terutama harga batubara yang merupakan komponen biaya listrik terbesar. Harga batubara juga sudah menurun lebih rendah lebih dari 50 persen dibandingkan harga batubara Domestik Market Obligation (DMO) atau pun Harga Batubara Acuan (HBA) yang selalu dijadikan patokan harga listrik dan subsidi listrik di APBN. Dengan demikian, menjadi tidak benar langkah pemerintah menerbitkan Perpu No 1 Tahun 2020 dengan nama yang sangat di dunia itu, hanya karena alasan darurat ekonomi dan keuangan akibat wabah korona. Karena sektor paling vital yang selama ini selalu dipandang selalu membebani APBN yakni subsidi BBM, Gas LPG dan listrik, sekarang justru sangat diuntungkan. Pada wabah korona sekarang ini, perusahaan BUMN migas dan listrik dapat menikmati BBM, LPG impor dengan sangat murah. Harga batubara murah juga sangat murah. Dengan kondisi ini pemerintah dapat menghemat APBN dalam jumlah sangat sangat besar pula. Anggaran yang selama ini dialokasikan untuk subsidi BBM, LPG dan listrik dapat digunakan untuk melawan pandemi Corona. Jika mengacu kepada APBN 2019, maka realisasi subsidi secara keseluruhan mencapai angka Rp. 216,8 triliun. Dari jumlah tersebut, subsidi untuk energi BBM solar sebesar Rp. 31,04 triliun. Subsidi untuk LPG sebesar Rp. 69,4 triliun, dan subsidi listrik sebesar Rp 59,3 triliun. Total subsidi untuk solar, LPG dan listrik Rp. 160 triliun. Jumlah itu belom ditambah dengan subsidi untuk minyak tanah dan premium yang datanya tidak ada dalam APBN 2019. Realisasi alokasi anggaran subsidi energi dalam pada APBN 2020 bisa hilang sama sekali. Sebagaimana diketahui, dalam APBN 2020 Pemerintah dan DPR mengalokasikan anggaran untuk subsidi dalam APBN 2020 senilai Rp. 199,72 triliun. Dari jumlah tersebut, subsidi untuk sektor energi masing masing untuk subsidi solar senilai Rp. 21 triliun, subsidi LPG sebesar Rp. 54,4 triliun, dan subsidi listrik Rp. 62,2 trliun. Jika ditambah dengan subsidi untuk premium, dan minyak tanah kalau masih ada, maka seluruh subsidi energi tersebut sekarang ini sebesar Rp 140 triliun, sudah tidak lagi diperlukan. Penyebabnya, karena harga minyak mentah, BBM impor dan LPG impor yang ada sekarang sudah sangat murah. Malah sebaliknya, perusahaan BUMN migas seperti Pertamina bisa mencetak untung besar. Jadi, untuk mengatasi korona, pemerintah tidak lagi memerlukan Perpu darurat. Sebab angaran untuk mengatasi korona bisa diambil dari pengalihan satu pos anggaran subsidi saja. Jumlahnya juga sangat pantastis dan besar. Mencapai sekitar Rp 140-150 triliun. Pemerintah sukup hanya dengan meminta persetujuan DPR di APBN Perubahan, untuk mengalihkan anggaran untuk subsidi lisrik atau subsidi LPG atau subsidi solar + premium+ minyak tanah, yang memang tidak lagi diperlukan untuk tahun anggaran 2020. Singkatnya, dengan kebijakan itu, maka seluruh kompnen subsidi pada komoditi energi tidak lagi diperlukan. Semunya bisa dialihkan ke upaya-upaya perang melawan pandemi Corona. Sebagaimana kita ketahui bahwa pemerintah telah mengalokasikan dana untuk menghadapi wabah korona melalui Perpu No 1 Tahun 2020 senilai Rp. 70 triliun. Dasarnya, pemerintah berasumsi bahwa korona menciptakan krisis keuangan, sehingga akan menggelontorkan dana Rp. 402 triliun untuk penyelamatan sitem ekonomi nasional. Padahal kebijakan ini hanya bohong-bohongan saja. Selain itu, dengan alasan wabah korona berdampak pada ekonomi, pemerintah akan menambah utang baru senilai Rp. 1.006 triliun sesuai dengan Perpres No. 54 Tahun 2020, yang merupakan pelaksanaan dari Perpu No. 1 Tahun 2020. Padahal pemerintah bisa menggunakan mekanisme sebagaimana yang diatur UUD 1945 dan UU Keuangan Negara sebagaimana biasanya dalam menghadapi wabah corona. Tidak memerlukan Perpu darurat yang nyata-nyata cacat formil dan materil itu. Penulis adalah Peniliti Pada Asosiasi Ekonmi dan Politik Indonesia (AEPI)
Quantitative Easing (QE) Ala Indonesia Bukti Pembegalan Konstitusi
By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Rabu (29/04). Belum lama ini beredar banyak pendapat yang mendesak Indonesia perlu “mencetak uang”. Tujuannya untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia akibat pandemi Covid-19. Mekanisme “mencetak uang” ini mereka namakan, atau samakan, dengan Quantitative Easing (QE). Quantitave Easing ini adalah kebijakan moneter yang dimotori bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve atau the FED. Tujuanya, untuk mengatasi krisis sektor keuangan akibat pecahnya gelembung kredit sektor perumahan pada tahun 2007-2008. Kebijakan moneter QE ini juga diikuti oleh berbagai negara maju lainnya seperti Inggris, Uni Eropa, Jepang dan banyak lainnya. Akibat pandemi Covid-19 yang merebak awal 2020 lalu, membuat beberapa bank sentral di negara-negara maju memutuskan untuk menjalankan kebijakan QE lagi. Dengan harapan, dapat menjaga pertumbuhan ekonomi agar tidak anjlok terlalu dalam. Sehubungan dengan ini, banyak pihak yang mengusulkan agar Indonesia melakukan QE juga. Bahkan ada mantan menteri yang turut mengusulkan. Jumlahnya tidak kecil. “Indonesia harus cetak uang”, katanya, setidak-tidaknya Rp 1.600 triliun sebagai paket stimulus ekonomi. Mekanisme QE usulan mereka (sebut saja QE ala Indonesia) dilakukan dengan cara Bank Indonesia (BI) membeli surat utang negara di pasar primer. Artinya, pemerintah dan BI melakukan transaksi secara langsung. Pemerintah menerbitkan surat utang (baru) senilai Rp 1.600 triliun untuk kemudian dibeli secara langsung oleh Bank Indonesia. QE model Indonesia ini benar-benar sangat ngawur. Ternyata mereka tidak paham apa yang dimaksud dengan QE tersebut? QE adalah kebijakan moneter “luar biasa” yang harus diambil ketika kebijakan moneter biasa sudah tidak efektif lagi. Dalam keadaan krisis, langkah pertama kali yang dilakukan bank sentral pada umumnya menurunkan suku bunga. Ketika ekonomi masih belum menunjukkan tanda-tanda membaik, suku bunga bisa diturunkan terus hingga mendekati 0 persen. Tujuannya, dari penurunan suku bunga ini agar biaya pinjaman menjadi lebih murah. Bisa meringankan beban bunga perusahaan, dan juga diharapkan menggairahkan investasi dan konsumsi. Ini merupakan stimulus ekonomi dari kebijakan moneter. Dalam situasi suku bunga yang sudah mendekati 0 persen, namun ekonomi masih belum juga membaik, maka bank sentral bisa mengambil kebijakan moneter menerapkan QE. Targetnya, agar bisa lebih efektif untuk lebih menggairahkan ekonomi negara. Cara kerja QE sebagai berikut. Bank sentral mengumumkan akan membeli surat utang negara untuk jangka menengah, atau surat utang korporasi di pasar sekunder (open market operations) untuk sejumlah tertentu. Diumumkan secara terbuka kepada publik. Sehubungan dengan krisis pandemi Covid-19, The FED sudah menurunkan suku bunga secara agresif, yaitu 0,5 persen pada 3 Maret 2020 dan 1 persen pada 15 Maret 2020, sehingga suku bunga The FED sudaH mendekati 0 persen. Pada pertengahan Maret 2020, The FED kemudian mengumumkan pembelian surat utang negara senilai U$ 75 miliar dolar per hari untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Jumlah ini kemudian dikurangi menjadi U$ 50 miliar dolar per hari pada akhir Maret lalu. Kebiijakan QE oleh The FED ini tidak ada urusannya dengan pemerintah Amerika Serikat. Apabila ekonomi membaik sesuai target bank sentral, bukan target pemerintah (eksekutif), QE bisa dihentikan kapan saja. Apabila kemudian ada ancaman inflasi, bank sentral bisa menjual kembali surat berharga yang dibeli melalui QE open market operations tersebut. Tujuannya, agar suku bunga kembali naik untuk meredam inflasi. Gambaran di atas merupakan proses umum kebijakan moneter QE diberlakukan. Pertama, tingkat suku bunga sudah mendekati 0 persen. Sedangkan suku bunga Bank Indonesia saat ini masih “sangat tinggi”, yaitu 4,5 persen. Maka, kondisi ekonomi Indonesia saat ini sangat jauh dari syarat diberlakukan QE. Dalam situasi ini, BI masih mempunyai ruang gerak yang sangat luas untuk menurunkan suku bunga. Kenapa BI tidak menurunkan suku bunga? Maknya sangat tidak masuk akal. Ketika suku bunga masih sanmgat tinggi, tapi mau melakukan QE. Kedua, QE adalah kondisi di mana bank sentral membeli surat utang negara (dan korporasi) di pasar sekunder melalui open market operations. Tujuan utama QE adalah untuk menurunkan suku bunga jangka pendek dan jangka menengah. Itu dulu target utamanya. Oleh karena itu, usulan agar BI membeli surat utang negara di pasar primer berlawanan dengan mekanisme QE seperti digambarkan di atas. Berlawanan dengan persyaratan umum QE yang berlaku di seluruh dunia. Pembelian surat utang negara di pasar sekunder melalui open market operations itu menunjukkan bahwa bank sentral independen. Paket stimulus Amerika Serikat yang mencapai U$ 2,3 triliun dolar, tidak ada hubungannya sama sekali dengan bank sentral, The FED. Paket stimulus ini diajukan pemerintah kepada DPR AS untuk dimintakan persetujuannya. Bagaimana cara mendanai stimulus tersebut bukan urusan The FED. Oleh karena itu, QE ala Indonesia, yang mengusulkan agar BI membeli surat utang negara di pasar primer tidak mempunyai basis sama sekali. Itu usulan yang ngawur dan ngaco. Itu mau menjerumusin negara, termasuk pembegalan terhadap konstitusi. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Menakar Kebijakan Pelonggaran Moneter (Quantitative Easing) Masa Krisis
By Andi Rahmat Jakarta FNN – Selasa (28/04). Akhir-akhir ini ramai dibicarakan dikalangan pengambil kebijakan perekonomian nasional mengenai suatu kebijakan pelonggaran moneter/Quantitative Easing (QE ) dalam menghadapi pemburukan perekonomian akibat pandemi Covid 19. Kebijakan mencetak uang (QE ) dianggap sebagai alternatif solusi bagi upaya mempertahankan momentum perekonomian Nasional. Cerita sukses kebijakan ini dalam mengatasi krisis keuangan global tahun 2008, serta-merta menjadi semacam “panacea” bagi krisis ekonomi yang terjadi sekarang. Kesuksesan kebijakan ini di tahun 2008 bukan saja karena berhasil menahan keruntuhan sistem keuangan global di masa itu. Tapi juga mengembalikan momentum pertumbuhan ekonomi global kearah yang lebih baik. Dan yang makin membuatnya menjadi model sukses adalah karena juga terbukti tidak berakibat pada inflasi tinggi, terutama di negara-negara yang besar-besaran melakukan kebijakan ini. Seperti Inggris dan Amerika Serikat. Mencetak uang, dimana-mana memang merupakan tugas utama bank sentral. Yang membedakan QE dengan pencetakan uang dalam keadaan normal adalah karena jumlahnya yang sangat besar, di luar “kebiasaan normal”. Mencetak uang dalam keadaan normal biasanya disebut sebagai ekspansi moneter. Kebijakan ini secara siklikal dilakukan bank sentral dalam mengendalikan perkembangan perekonomian. Di luar soal jumlah, pembedanya juga adalah penggunaan instrumen penyalur (transmisi) kebijakan moneter, dimana QE menggunakan instrumen kebijakan yang tidak lazim dalam keadaan normal. Lantas bagaimana melihat kelaikan kebijakan QE di Indonesia? Secara berkala Bank Indonesia mengeluarkan laporan pelaksanaan tugas moneternya. Secara berkala pula, laporan ini disampaikan ke DPR RI, khususnya kepada Alat Kelengkapan DPR RI yang membidangi kebijakan moneter. Yang perlu dicatat, jumlah uang beredar yang dilaporkan oleh BI itu adalah Uang dalam pengertian luas/ Uang Beredar Luas atau M2 dan Uang Beredar Sempit Atau M1. M2 adalah akumulasi uang dalam bentuk kartal (tunai), uang giral dan uang kuasi. Uang Kartal atau Mo hanya dapat dan boleh dicetak oleh Bank Sentral, tetapi uang giral dan uang kuasi dicetak oleh perbankan, dan dibeberapa negara juga dicetak oleh lembaga keuangan non bank (terutama uang kuasi). Itu sebabnya Bank Umum dapat disebut juga sebagai Lembaga Pencetak Uang Giral (LPUG). Sejak tahun 2013 hingga 2019, pertumbuhan uang beredar (M2) di indonesia mengalami peningkatan hampir dua kali lipat. Pada bulan Oktober 2013, Uang Beredar Luas (M2) di Indonesia berjumlah Rp. 3.576,3 rilliun. Pada Bulan Oktober 2019, Jumlahnya sdh mencapai Rp. 6.026,9 trilliun. sepanjang kurun itu terdapat penambahan Uang Beredar Luas (M2) sebesar Rp. 2.450,6 trilliun. Selama kurun itu pula, antara 2103-2019, pertumbuhan PDB rerata di kisaran 5-5,2%. Pertumbuhan inflasi pun demikian. Tercatat, setelah tahun 2013, dimana inflasi (YoY) tumbuh tinggi 8,36%, memasuki tahun 2015 hingga 2019, inflasi masing-masing 3,35% (2015), 3,02% (2016), 3,61% (2017) 3,13% (2018) 2,72% (2019). Dapat dikatakan, sepanjang tahun 2013-2019, pertumbuhan jumlah Uang Beredar Luas menunjukkan korelasi positif dengan tugas pokok BI dalam mengendalikan inflasi tanpa menimbulkan kontraksi berlebihan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kesemua itu terjadi dalam situasi yang relatif normal. Tanpa suatu krisis berskala besar baik secara global maupun domestik. Patut pula dicatat, pertambahan jumlah uang beredar sebesar Rp. 2.450,6 trilliun itu merupakan gambaran kumulatif dalam kurun waktu tahun 2013 hingga tahun 2019. Yang sudah tentu didalam perkembangan bulanannya mengalami dinamika naik-turun. Secara teori, suatu kebijakan QE bisa saja dilakukan manakala terjadi deflasi persisten dalam perekonomian. Seperti yang dilakukan oleh Bank Of Japan (BOJ) sepanjang kurun waktu 1990-an hingga 2000-an. BOJ adalah pelopor kebijakan QE di era paska 1970-an. Uniknya, kebijakan yang ditujukan untuk merangsang perekonomian dengan mendorong inflasi ini ternyata tidak terlalu signifikan dalam menciptakan efek inflatoir bagi perekonomian Jepang. Alih-alih perekonomian Jepang terjebak dalam stagflasi (keadaan inflasi yang datar) berkepanjangan. Juga apabila terjadi kontraksi pada ukuran money velocity. Yaitu manakala daya ungkit (multiplier) uang mengalami pelambatan dalam perekonomian. Kecepatan pertukaran uang dalam perekonomian melambat. Yang bisa saja timbul oleh turunnya penawaran atau turunnya permintaan. Apabila dalam kuartal kedua tahun ini yang terjadi adalah penurunan bersamaan penawaran dan permintaan (supply and demand), yang saya duga kemungkinan besar akan terjadi karena efek ekonomi yang ditimbulkan oleh pendemi Covid 19 ini, maka kebijakan Quantitative Easing patut dipertimbangkan secara matang oleh BI. Kita tidak boleh mengulangi kekeliruan Rill Bill Doctrine yang menghalangi Bank Sentral AS untuk melakukan ekspansi moneter besar-besaran di tahun 1929, yang berujung pada krisis berkepanjangan yang kemudian kita kenal sebagai The Great Depression. Pada krisis keuangan global tahun 2008, QE dilakukan untuk mengatasi pembekuan likuiditas (Liquidity Freezing) didalam sistem keuangan. Pada waktu itu, pasar keuangan mengalami kegagalan berantai yang bersumber pada macetnya pasar uang antar bank. Kemacetan ini sendiri merupakan dampak dari keruntuhan instrumen pasar hutang beragunan aset (Collaterized Debt) yang merambat keberbagai instrumen keuangan lainnya. Jadi QE ditahun 2008 pada dasarnya adalah QE yang dilakukan dalam rangka mengatasi kekeringan likuiditas didalam sistem keuangan yang mengancam kestabilan perekonomian secara keseluruhan. Yang perlu dicatat adalah kebijakan QE ini bertujuan untuk menstimulasi perekonomian. Tidak lebih. Titik krusialnya terletak pada pengamatan yang dalam terhadap keadaan kinerja penawaran dan permintaan. Jadi bukan karena suatu pertimbangan di luar tujuannya. Terlebih-lebih oleh pertimbangan politik. Atau dengan kata lain, suatu pengamatan independen oleh BI berdasarkan analisis berbasis pengetahuan yang cermat (knowledge base policy) yang seyogyanya menjadi landasan kebijakan QE. Untuk itu, ada empat parameter yang mesti diperhatikan betul dalam hal ini. Pertama, jaminan korelatif antara pertumbuhan ekonomi yang diharapkan baik dalam masa menahan pemerosotan perekonomian, maupun pada masa recovery perekonomian, dengan besaran kebijakan QE yang dilakukan. Mencetak uang dalam jumlah sangat besar dalam suatu kurun waktu yang terbatas tentu mengandung resiko tidak ringan bagi perekonomian. Apalagi dalam suatu negara dengan ukuran PDB seperti Indonesia. Ekonomi kita memang sudah masuk dalam kategori “Trillion Dollar Economy”. Tapi tetap saja, dengan berbagai alasan yang tidak saya sebutkan dalam tulisan ini, kita tidak dapat membandingkannya begitu saja dengan perekonomian Jepang, Inggris atau bahkan Amerika Serikat. Dalam beberapa tulisan sebelumnya, saya mengutip aksi moneter negara-negara tersebut bukan untuk membandingkannya secara langsung. Tapi lebih pada penekanan mengenai pentingnya peranan yang lebih luas dan bagi BI dalam penanganan krisis ekonomi akibat pandemi Covid 19. Dimana fungsi BI yang dimaksudkan berakar pada pemahaman terhadap karakteristik fundamental perekonomian Indonesia. Kedua, kedalaman pasar keuangan di Indonesia. Di negara- negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan sebagian besar Uni Eropa (diluar negara- negara Eropa Tengah) pasar keuangan mereka sudah sangat dalam. Hingga dalam pencatatan moneter mereka, secara faktual berdasarkan aktivitas pasar keuangan, pendefinisian money supplynya hingga M4 dan M5. Menurut hemat saya, pasar keuangan kita belum seperti negara-negara tersebut. Seperti yang selalu dikemukakan oleh BI dalam berbagai kesempatan, Indonesia masih dalam situasi mode dangkal (shallow mode) dalam hal pasar keuangan. Kalau parameter pertama berhubungan dengan kuantitas, maka parameter kedua ini akan berhubungan dengan saluran transmisi dan variasi program dan alat (tools) yang dipergunakan. QE dalam keadaan pasar keuangan yang dangkal, tentu akan riskan. Dan karenanya, tidak memiliki ragam alternatif saluran sebagaimana yang dimiliki oleh negara-negara yang pasar keuangannya sudah dalam. Sebagai akibat dari parameter pertama dan kedua, maka suatu jaminan terhadap efek hyperinflatoir dalam masa QE menjadi parameter ketiga. Kisah klasik Weimar hyperinflation menjelaskan pelajaran berharga kepada kita. Bahwa mencetak uang tanpa suatu jaminan sumber daya ekonomi yang menopangnya akan sangat berbahaya. Kebijakan untuk mencetak uang yang menyebabkan devaluasi mata uang terhadap Dollar misalnya, pada batas optimalnya akan menjadi spiral terhadap inflasi. Apalagi jika suatu perekonomian begitu bergantung kepada pembiayaan hutang. Parameter yang keempat adalah ketentuan yang diatur didalam UU No.3/2004 Tentang Bank Indonesia. Terutama yang menyangkut dengan Neraca Modal Bank Indonesia yang dimuat dalam pasal (6 ) Undang-undang ini. Ketentuan dalam undang-undang ini membatasi neraca modal Bank Indonesia terhadap kewajiban moneternya. Neraca modal Bank Indonesia dibatasi maksimum 10% dari seluruh kewajiban moneter BI. Sebagai catatan akhir. Konsep mengenai Money Supply tidak memiliki keseragaman dalam pendefinisiannya di berbagai Bank Sentral. The Federal Reserve dalam mendifinisikan Uang Beredar Luas (M2) berbeda dengan Pendefinisian ECB (European Central Bank). Perbedaan ini terletak pada persepsi mengenai uang yang beredar dan uang yang potensial beredar di dalam perekonomian. Catatan ini bertujuan untuk memastikan agar apabila kebijakan QE pada akhirnya menjadi pilihan massif yang dilakukan Bank Indonesia. Kita tidak akan salah pengertian dalam memaknai Uang Beredar Luas (M2, M3, M4 dan M5) dalam prakteknya. Yang dapat dijadikan dasar adalah kesepakatan di kalangan Bank Sentral dalam hal penggunaan Uang Beredar Luas (M2) sebagai alat utama pengukur inflasi moneter. Akhirnya, kepada Allah SWT jugalah kita memohon petunjuk dan pertolongan. Wallahu Alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
PLN Berani Buka Kondisi Keuangan, Kapan BUMN Lain?
By Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Sabtu (25/04). Kita semua perlu angkat topi dan memberikan apresiasi buat Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tanpa beban, akhirnya Direksi PLN mengakui gagal bayar utang perusahaan untuk tahun ini. Untuk itu, PLN meminta kepada bank agar pembayaran utang untuk tahun 2020 dilakukan tahun depan. Mengakui gagal bayar bukan hal mudah bagi sebuah perusahaan. Langkah ini akan menjadi reputasi bagi PLN di mata pemberi pinjaman, dan investor di masa mendatang. Gagal bayar berarti jatuh peringkat utang perusahaan. Jatuh juga kepercayaan banker kepada perusahaan. Namun suatu kenyataan. Harus mengatakan apa adanya. Ini juga hebat, dan luar biasa. Langkah Berani Tahun ini PLN memotong target pendapatan. Perusahaan listrik negra ini memotong target pendapatan hampir 15%. Ini disebabkan penurunan penjualan listrik akibat pelemahan konsumsi, terutama untuk kelompok industry, cafee, restoran dan lain sebagainya yang terkena dampak covid 19. Pada saat yang sama PLN dituntut menjalankan aksi kemanusiaan dengan mengratiskan listrik untuk pelanggan 450 VA dan memberikan discount 50% untuk 900 VA. Langkah yang tepat. Tentu publik sangat berterima kasih. Meskipun ini memberi konsekuensi. Namun Dirut PLN Zulkifli Zaini kepada media menyatakan, pendapatannya akan turun menjadi Rp. 257 triliun rupiah atau setara U$ 16,7 miliar tahun ini. Turun sekitar 14,6% dari perkiraan sebelumnya sebesar Rp. 301 triliun rupiah. Setiap penurunan 1% dalam permintaan listrik memotong pendapatan PLN sebesar Rp 2,8 triliun. Memang, PLN kehilangan kesempatan untuk memotong biaya dikarenakan kontrak dalam pembelian listrik swasta. Begitu juga kontrak dalam pembelian energy primer, batubara dan gas. Sementara pemerintah tidak menghendaki revisi penurunan harga bahan bakar di tengah jatuhnya harga minyak dan batubara secara global ke posisi paling rendah sepanjang sejarah. Pemerintah bahkan menolak merevisi rumus harga BBM bagi konsumen dalam negeri saat ini. Hasilnya, harga BBM tidak berubah. Memang secara alami konsumsi listrik Indonesia mengalami penurunan. Kondisi ini seiring dengan pelemahan pada pertumbuhan ekonomi. Selain itu, juga akibat bangkrutnya Industri dan melemahnya daya beli masyarakat dalam lima tahun terakhir. Namun, pada saat yang bersamaan, PLN telah terikat tugas dari pemerintah untuk mensukseskan project listrik 35.000 MW. Ada juga kewajiban untuk membeli listrik swasta dengan skema Take Or Pay. Sementara produksi listrik Indonesia telah berlebih di Jawa Bali sejak tahun 2014 lalu. Perusahaan meminta bank apakah pembayaran utang yang jatuh tempo tahun ini dapat ditunda sampai tahun depan? Data PLN menunjukkan bahwa perusahaan memiliki sekitar Rp. 161 triliun kewajiban jangka pendek pada akhir Juni nanti, termasuk pinjaman bank jangka pendek. PLN dan Pertamina adalah dua BUMN dengan utang paling besar, terutama dalam valuta asing. Bagaimana BUMN Lain ? Bagaimana dengan BUMN lain? Apakah Direksi BUMN lain secara kesatria akan mengakui gagal bayar juga dalam tahun ini? Diketahui bahwa beberapa BUMN mengalami masalah dengan utangnya. PT Krakatau Steel misalnya, mengatakan pada bulan Januari akan merestrukturisasi utang sebesar U$ 2 miliar, karena terhuyung-huyung di ambang kebangkrutan. Kondisi PT Krakatau Steel, juga dialami oleh dua perusahaan asuransi milik negara, yaitu PT Jiwasraya dan PT Asabri yang mengalami default. Masalah Jiwasraya terungkap sepenuhnya bulan lalu. Pihak berwenang mengatakan total kerugian negara lebih dari 16 triliun rupiah. Selain itu, dua dari BUMN yang merupakan kunci untuk membangun infrastruktur telah mendorong pinjaman dalam beberapa tahun terakhir. PT Waskita Karya misalnya, yang membangun jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, dan bangunan, termasuk kantor pusat Bank Indonesia di Jakarta, terlihat kalau utangnya melambung tinggi lebih dari 10 kali menjadi Rp. 82,8 triliun. September 2015 lalu, utangnya PT Waskita Karya hanya sebesar Rp. 7,7 triliun. Kondisi yang sasma juga dialami oleh PT Wijaya Karya. Perusahaan yang banyak membangun apartemen komersial dan residensial serta sistem transportasi kereta api dan jembatan itu, hutangnya melonjak tajam. Pada September 2015 hanya Rp. 3,7 triliun, kini melonjak menjadi Rp 21,7 triliun. Jokowi telah berusaha membersihkan perusahaan-perusahaan milik negara sejak memenangkan masa jabatan kedua tahun lalu, dengan menunjuk Erik Thohir, mantan pemilik tim sepak bola Inter Milan Italia sebagai menteri BUMN. Thohir telah berjanji melikuidasi perusahaan yang gagal bayar kewajibanya. Selama lima tahun terakhir, BUMN juga telah menimbun utang luar negeri yang besar. Kebijakan ini berakibat pada meningkatnya biaya pendanaan mereka saat dolar melonjak. Resiko-resiko tersebut tercermin di pasar keuangan. Misalnya, obligasi PT Garuda Indonesia, yang menghadapi kemerosotan. Menurut Bloomberg, kemerosotan obligasi Garuda yang jatuh tempo 3 Juni nanti sebesar U$ 500 juta. Sola utang obligasi ini, PT Pertamina tercatat sebagai perusahaan BUMN yang menimbun utang paling besar. Sampai dengan tahun 2018, utang Pertamina tercatat sebesar Rp 508,4 triliun. Sepanjang 2019-2020 Pertamina juga menambah global bond sebesar U$ 3 miliar, atau setara dsengan Rp 46 triliun. Jumlah itu belum termasuk utang dalam bentuk lainnya. Meskipun gagal dalam membangun kilang-kilang minyak baru. Akusisi perusahaan asing yang habis masa kontrak dengan biaya yang mahal sekarang menjadi masalah tersendiri bagi Pertamina. Pertamina harus berhadapan dengan harga minyak mentah dunia yang paling buruk sepanjang sejarah migas ini. Padahal 70% usaha Pertamina itu adanya di hulu. Kilang-kilang yang dibaiayai mahalpun harus ditutup. Karena lebih mnguntungkan dengan melakukan impor BBM. Privatisasi atau Ditalangi Pemerintah ? Direktur pelaksana Penida Capital Advisors Ltd. Edward Gustely kepada Bloomberg di Jakarta mengatakan, pemerintah harus membuang perusahaan yang berkinerja terburuk . Yang non-strategis dan tidak menguntungkan. Caranya, melalui privatisasi, alias Jual. Namun siapa yang akan membeli ? Cara lain adalah pemerintah menalangi utang seluruh BUMN tersebut, darimana uangnya? Dengan menggunakan dana stimulus yang sekarang tengah digolkan melalui Perpu No 1 Tahun 2020 dan perpres nomor 54 tahun 2020 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P). Pemerintah telah menargetkan utang baru senilai Rp. 1006 Triliun dan sebanyak 420 triliun akan dialokasikan sebagai stumulus menghadapi Covid-19. Kementerian Keuangan mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk mendukung PLN. Pemerintah juga berencana mengumpulkan Rp. 150 triliun untuk membantu perusahaan pulih dari dampak ekonomi dan wabah koronavirus, namun rinciannya belum jelas. Sementara buat Pertamina, belum jelas berapa bantuan dari pemerintah untuk mengatasi penurunan penjualan saat ini. Namun semua akan berjalan lancar jika targer pembiayaan (utang) tercapai. Jika tidak tercapai, maka kemungkinan besar aka ada privatisasi. Ini pilihan yang buruk bagi rakyat, dan pekerja BUMN. Tetapi tampaknya ini cukup menyenangkan hati pemerintah yang tengah membutuhkan uang banyak. Saat ini utang pemerintah dan BUMN berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI) general government debt mencapai Rp. 11.250 trilun. Utang ini untuk membiayai berbagai proyek ambisus pemerintah. Mulai dari proyek infrstruktur listrik, kilang minyak, jalan tol, pelabuhan dan bandara yang sebagian besar sekarang telah menjadi beban karena tidak memberikan cashflow yang baik. Tragisnya, infrastruktur yang dibangun untuk mudik lebaran tahun ini, telah kehilangan momentum. Tidak lagi untuk menyedot daya beli masyarakat, sesuai perintah larangan mudik atau bukan pulang kampung saat lebaran Idul Fitri nanti. Penulis adalah Peneliti Pada Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
Perppu No. 1/2020 Hanya Copy Paste Dari Perppu No. 4/2008
By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Rabu (22/04). Menjelang akhir tahun 2007, krisis finansial global pecah. Krisis ini membawa ekonomi dunia masuk resesi. Pertumbuhan ekonomi dunia 2008 negatif 1,85 persen. Kondisi ini membuat pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden, menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pada 15 Oktober 2008. Perppu adalah undang-undang (UU) yang diterbitkan secara sepihak oleh Presiden. Perpu bisa saja diterbitakan oleh Presiden tanpa melibatkan dan persetujuan DPR. Sedangkan pembentukan UU garus disetujui kedua belah pihak. Pemerintah dan DPR. Penerbitan Perppu adalah hak subyektif Presiden ketika Presiden merasa adanya ancaman yang membahayakan. Istilah di UU, kegentingan yang memaksa. Sehubungan dengan krisis finansial global, Presiden ketika itu merasa ada kegentingan yang memaksa sehingga menerbitkan tiga Perppu sekaligus. Pertama, Perppu No 2 tahun 2008 tentang Bank Indonesia yang ditetapkan 13 Oktober 2008. Kedua, Perppu No 3 tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan 13 Oktober. Dan Perppu No 4 tahun 2008 (Perppu No 4/2008) tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Perppu diterbitkan karena negara butuh UU yang harus diberlakukan seketika. Ada kegentingan yang memaksa secara mendadak. Sedangkan UU untuk itu belum ada, atau ada tetapi tidak cukup memadai. Karena itu Perppu diterbitkan secra sepihak oleh Presiden. Namun Perppu harus mendapat persetujuan DPR pada masa persidangan berikutnya. DPR bisa menerima atau menolak Perppu tersebut. Sehubungan dengan terbiatnya Perppu No 4/2008, DPR menolak mengesahkan Perppu itu menjadi UU. Penolakan umumnya terkait Pasal 29 yang memberi kekebalan hukum kepada para pejabat serta semua pihak pelaksana Perppu. Mereka para pejabatnya tidak boleh dihukum secara pidana maupun perdata. Rancangan Perppu No.4/2008 itu yang mau diulangi lagi sekarang di Perppu No.1/2020. Pasal 29 Perppu No.4/2008 itu berbunyi “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”. Perppu No 4/2008 juga dianggap memberi wewenang di sangat luar batas kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan status bank bermasalah dan penanganannya. KSSK hanya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur BI sebagai anggota. Selain itu, kekuasaan yang sangat mutlak ada pada Menteri Keuangan. Karena kalau terjadi selisih pendapat antara Menteri Keuangan sebagai ketua KSSK dengan anggota KSSK yang lain, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan keputusan sendiri. Perppu No 4/2008 juga dianggap memberi wewenang absolut kepada KSSK untuk menghilangkan fungsi dan wewenang DPR terkait keuangan negara. Karena Menteri Keuangan dapat mengeluarkan uang negara atas nama krisis tanpa minta persetujuan DPR. Padahal kewenangan DPR itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sekarang terbukti keputusan DPR ketika itu ternyata tepat. Dana pinjaman likuiditas yang diberikan kepada Bank Century ternyata bermasalah. Merugikan keuangan negara. Karena Perppu No 4/2008 tidak disahkan, maka tidak ada pihak yang kebal hukum. Beberapa pihak yang terlibat merugikan keuangan negara diproses secara hukum. Pengadilan menyatakan mereka bersalah, baik dari Bank Century maupun Bank Indonesia. Pemerintah belum lama menerbitkan Perppu No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Cakupan Perppu No 1/2020 ini jauh lebih luas dan lebih “radikal” dari Perppu No 4/2008. Perppu No 1/2020 selain mengatur Stabilitas (atau Jaring Pengaman) Sistem Keuangan juga mengatur kebijakan Keuangan Negara dalam menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional. Perppu No 1/2020 dianggap lebih “radikal” karena pemerintah dapat menentukan APBN secara sepihak tanpa perlu mendapat persetujuan DPR. Defisit anggaran yang awalnya maksimal 3% dari PDB menjadi tidak terbatas, dan berlaku selama tiga tahun. Selain itu, semua pasal yang menjadi alasan DPR menolak Perppu No 4/2008 masih ada di dalam Perppu Pandemi Covid-19 ini. Pasal tentang kekebalan hukum yang banyak mendapat sorotan publik di Perppu No.4/2008, kini nongol lagi di Perppu No.1/2008. Ada tambahan wewenang absolut pemerintah di bidang anggaran yang tidak memerlukan persetujuan DPR. Waktunya bukan saja untuk tahun 2020, tetapi selama tiga tahun. Selain itu, tentang wewenang dan kekuasaan Bank Indonesia dan pemerintah yang sangat besar dalam menentukan dan memberikan pinjaman likuiditas maupun penyertaan modal kepada semua bank yang dianggap kesulitan likuiditas. Begitu juga dengan bantuan kepada perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan. Semua itu dapat dilakukan tanpa persetujuan DPR. Sangat hebat kan Perppu No.1/2020 ini? Secara logika, seharusnya fraksi DPR yang dulu menolak Perppu No 4/2008 diperkirakan juga akan menolak Perppu Pandemi Covid-19 ini. Kalau tidak, masyarakat bisa menilai fraksi-fraksi ini sebagai petualang politik yang hanya membela kepentingan sesaat. Karena alasan untuk penolakan di Perppu No 4/2008 masih sangat valid dan berlaku untuk Perppu No 1/2020 ini. Sedangkan fraksi yang dulu menerima Perppu No 4/2008 untuk disahkan jadi UU, yaitu fraksi Demokrat dan Fraksi PKS, diperkirakan juga akan menolak Perppu Pandemi Covid-19 ini. Alasannya sederhana, yaitu taat hukum dan konsisten dengan keputusan yang lalu. Dengan perhitungan seperti ini, Perppu Pandemi covid-19 menghadapi tantangan untuk ditolak oleh semua fraksi. Dalam bidang hukum ,dikenal yang namanya “yuris prudensi”. Yaitu keputusan hukum pada periode lalu dapat dijadikan acuan untuk memutus perkara yang sama pada periode sekarang. Apakah dalam politik juga akan ada semacam “politik prudensi”? Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
APBN Ringkih Dimasa Krisis Pandemi
Surat Terbuka Kepada Pemerintah, DPR dan BPK By Andi Rahmat Jakarta FNN- Rabu (22/04). Saya membaca keterangan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan soal materi yang diatur oleh Perpres No 20/2020 Tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020. Terus terang, saya mengernyitkan dahi. Terutama karena judulnya cukup menimbulkan tanya. Sebagai mantan anggota Badan Anggaran DPR RI dan Mantan Pimpinan Komisi XI DPR RI, istilah postur dan rincian APBN sudah barang tentu menjadi menu sehari- hari saya selama kurang lebih 10 tahun mengabdi di Senayan. Postur dan Rincian APBN adalah APBN itu sendiri. Dalam hal rincian, selain “satuan tiga” (ini istilah untuk alokasi anggaran yang memuat kegiatan/ jenis belanja pemerintah), semuanya adalah bagian yang melekat dalam pembahasan RUU APBN setiap tahun. Soal “satuan tiga” ini sudah dinyatakan bukan kewenangan DPR dalam pembahasan RUU APBN oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 35/PUU-XI/2013. Selain itu, semua hal yang berkaitan APBN tetap merupakan kewenangan DPR sebagai pemegang Hak Budget menurut UUD 1945. Postur adalah bangunan esensial APBN yang mencerminkan besaran Pendapatan/ Penerimaan Negara. Juga Belanja Negara dan Sumber Pembiayaan Negara. Postur adalah hasil kesepakatan eksekutif dan legislatif dalam pembahasan RUU APBN. Postur itulah yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk pasal demi pasal di dalam UU APBN hasil pembahasan DPR dan Pemerintah. Ringkasnya, Postur yang telah diuraikan dalam bentuk pasal demi pasal itulah yang kita sebut sebagai UU APBN. Begitu aturanya mainnya. Tidak lebih. Karena itu pula, dan dalam rangka memenuhi hak konstitusionalnya, maka DPR membentuk Alat Kelengkapan yang bersifat permanen dalam membahas RUU APBN menjadi UU APBN setiap tahun. Alat kelengkapan ini berna ma “Badan Anggaran DPR”. Demikian juga dengan rincian anggaran. Rincian anggaran adalah penjabaran lanjut dari Postur APBN. Populernya sering disebut sebagai “Nomenklatura”. Yang intinya menjelaskan mengenai besaran porsi alokasi anggaran dari masing-masing institusi pengguna anggaran. Sekali lagi, mengenai jenis kegiatan/ belanja yang lazim disebut sebagai “satuan tiga” tidak termasuk dalam bagian yang dibahas di DPR. Memahami kegentingan yang dihadapi bangsa dan negara kita akibat pandemi Covid-19 ini adalah hal yang penting. Suatu tindakan berskala dan berimplikasi besar memang sepatutnya diambil Pemerintah. Dampak kesehatan dan ekonomi yang tengah kita hadapi ini belum pernah terjadi, bahkan setelah tahun 1965 sekalipun. Krisis 1998 bahkan tidak sebanding dengan apa yang kita hadapi saat ini. Dari kacamata perekonomian, skala persoalan yang dihadapi sekarang ini berpotensi memutus hubungan supply dan demand dalam perekonomian. Masalah yang paling mendasar dalam praktek perekonomian. Diperlukan konsentrasi kebijakan yang extraordinary untuk mempertahankan perekonomian dari kerusakan yang sulit dipulihkan. Itulah sebabnya mengapa tulisan ini berjudul “ APBN Ringkih di Tengah Krisis”. Sebab fundamen dasar dari semua tindakan yang diambil otoritas sudah seharusnya memiliki landasan yang kuat dan tidak mengundang polemik baru. Sumber keringkihannya adalah dasar dari semua tindakan Budgetary otoritas. Bisakah semua tindakan Budgetary pemerintah itu tidak bersumber dari UU APBN? Apakah bisa suatu peraturan dibawah UU seperti Perpres bisa menjadi dasar tindakan Budgetary pemerintah? Sejak kapan pelaksanaan Budgetary Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan Perpu? Sejak kapan Postur dan Rincian Anggaran selain “satuan tiga” bukan merupakan esensi UU APBN? Semua pertanyaan itu adalah sumber keringkihan penanganan krisis. Membiarkan pemerintah dalam “perangkap kebijakan” bukankah merupakan suatu kekeliruan yang fatal? Sejak awal saya mendorong agar Pemerintah mengajukan suatu RUU APBN Perubahan dengan menggunakan Perpu 1/ 2020 sebagai dasar pembahasannya dengan DPR. Yang terjadi adalah, perubahan postur dan rincian anggaran melalui perpres. Perpu itu sendiri diperlakukan sebagai UU APBN. Bukankah ini suatu hal yang sangat ringkih? Kehidupan bernegara yang sehat adalah kehidupan berkonstitusi. Kita memiliki konstitusi yang kuat dan bisa berfungsi secara normal. Bahkan dalam keadaan paling krisis sekalipun. Konstitusi adalah kekuatan ketahanan kita sebagai bangsa dan negara. Saya meyakini, dengan kepala dingin, problematika krisis yang kita hadapi ini bisa kita lewati di atas dasar konstitusi kita. Belum terlambat untuk merevisi apa yang kurang kuat dan ringkih. Krisis tidak akan menenggelamkan jiwa yang optimis dan sadar pada warisan bersejarah pendiri bangsa. Segera ajukanlah APBN saja Perubahan. Dengan modal dukungan kuat di DPR dan mandat kuat yang dimiliki pemerintah, Pembahasan APBN Perubahan tidak akan berlarut-larut. Bisa cepat selesai. Saya pernah di Senayan. Saya tahu, kalau perangkat pengalaman pemerintah dan pimpinan, serta anggota DPR bisa membahas APBN Perubahan ini dalam waktu yang singkat. Jangan biarkan tindakan extraordinary dan bersejarah bangsa kita ini, berpijak pada landasan yang ringkih. Kepada Allah SWT semuanya berpulang. Semoga bangsa kita segera bisa segera keluar dari krisis ini. Wallahu ‘alam Bishawab. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Obligasi Khusus Untuk Informal dan UMKM Tidak Bisa Ditunda
Kesadaran atmosferik ini tidak lagi tertutup. Tapi direspon terbuka dan cepat oleh banyak otoritas keuangan di berbagai belahan dunia. The Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat, merespon situasi ini dengan menggelontorkan paket kebijakan moneter sebesar U$ 2.3 trillion dolar. Sebagian besarnya digunakan untuk memitigasi sektor informal dan UMKM mereka. Padahal, dibanding banyak negara di dunia, infrasturktur politik dan keamanan Amerika jauh lebih memadai. By Andi Rahmat Jakarta FNN- Minggu (19/04). Selain kebijakan yang berhubungan dengan aspek penanganan kesehatan. Ada dua pokok kebijakan bidang ekonomi yang menonjol dari kebijakan yang telah dan akan dikeluarkan pemerintah terkait dengan pandemi Covid 19. Yang pertama, peningkatan dan penggunaan kebijakan pelebaran defisit. Dan yang kedua, perluasan kewenangan Bank Indonesia dalam skema open ended policy, terutama dan termasuk dalam pemberian kewenangan kepada BI untuk masuk ke pasar primer obligasi. Tulisan saya sebelumnya sudah membicarakan mengenai perlunya mengarus-utamakan ekonomi informal dalam kebijakan ekonomi. Juga perlunya menegaskan skala “keberpihakan” kepada UMKM dalam penanganan krisis ekonomi sebagai dampak paralel dari Pandemi Covid 19. Dalam tulisan ini, saya mengajukan proposal tentang perlunya “Obligasi Sektor Informal dan UMKM”. Ini sebagai wujud keberpihakan dan pengaruh mengutamakan kebijakan ekonomi. Pelebaran defisit dan skema Open Ended Policy BI adalah modal utama untuk menjalankan kebijakan ini. Apalagi, Kementerian Keuangan telah mendeklarasikan keinginannya untuk menerbitkan Pandemic Bond dalam upaya memitigasi resiko industri yang terpapar dampak Pandemi Covid 19. Andreas Kluth dalam artikelnya yang berjudul “ This Pandemic Will Lead to Social Revolution” (Bloomberg 11/04/2020) menuliskan “as the coronavirus sweeps the world, it’s hits the poorer much harder than the better off. One Consequence will be social unrest. Even Revolution”. Peringatan artikel Andreas Kluth ini seharusnya menyadarkan kita semua betapa dalamnya resiko krisis yang tengah kita hadapi ini. Bukan hanya krisis kesehatan, tapi juga krisis ekonomi yang bisa berujung pada kegelisahan sosial. Bahkan bisa memicu revolusi. Kesadaran atmosferik ini tidak lagi tertutup. Tapi direspon terbuka dan cepat oleh banyak otoritas di berbagai belahan dunia. The Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat, merespon situasi ini dengan menggelontorkan paket kebijakan moneter sebesar USD 2.3 trillion, yang sebagian besarnya digunakan untuk memitigasi sektor informal dan UMKM mereka. Padahal, dibanding banyak negara, infrasturktur politik dan keamanan Amerika jauh lebih memadai. Terus terang, tulisan saya ini membawa kekhawatiran yang mendalam terhadap tradisi dan pola penangan krisis ekonomi yang selama ini telah dipraktekkan oleh otoritas ekonomi kita. Baik itu di sisi kebijakan Fiskal, maupun kebijakan Moneter. Sensitifitas terhadap problem ekonomi yang dialami sektor informal dan UMKM dalam catatan ingatan kita, selalu berwujud dalam bentuk kebijakan “charity” negara terhadap sektor ini. Dalam kondisi seperti ini, yang diperlukan adalah memberikan penghormatan mutlak terhadap peran dan daya ungkit sektor ini dalam menggerakkan roda perekonomian nasional. Lantas apa yang menjadi konsepsi dasar dari Obligasi Sektor Informal dan UMKM ini? Didalam paket kebijakan Stimulus senilai Rp 405 T, pemerintah memgalokasikan tidak kurang dari Rp 70,1 Triliun untuk Kredit Usaha Rakyat ( KUR). Secara jumlah, fasilitas KUR ini adalah fasilitas terbesar yang pernah dikeluarkan pemerintah sejak krisis 1998. Sebagai permulaan, alokasi ini setidaknya menunjukkan iktikad sehat dari pemerintah menangani dampak ekonomi yang diderita sektor UMKM. Namun ke dalaman persoalan yang membelit sektor UMKM dan ekonomi informal, sudah tentu membutuhkan alokasi kebijakan yang lebih besar lagi. Sebab sumbangsih sektor UMKM terhadap PDB Nasional sejak tahun 2018 telah mencapai lebih dari 60%. Diperkirakan sebanyak 127 tuta tenaga kerja hidup dari sektor ini. Tentu ini perkiraan angka yang menggembirakan kita semua. Khusus ekonomi informal, kendati tidak ada data resmi dalam sumbangsihnya terhadap pembentukan PDB Nasional, namun kontribusinya dalam menyediakan lapangan kerja dimasa krisis sudah tidak diragukan lagi. Sangat membantu dan menolong. Karena sumbangsihnya yang vital dalam struktur PDB Nasional, maka upaya mengatasi krisis ekonomi akibat pandemi Covid 19, secara gradual, sektor UMKM perlu memperoleh porsi yang setara. Alokasi anggaran pemulihan ekonomi sepatutnya mencerminkan porsi sumbangsih tersebut. Tidak sebaliknya. Disinilah terletak arti penting dan perlunya menerbitkan obligasi yang dikhususkan untuk memperkuat sektor UMKM ini. Obligasi ini diterbitkan pemerintah, dan dibeli oleh Bank Indonesia. Pembelian oleh Bank Indonesia, menyebabkan skema alokasinya akan berbiaya murah dan tidak membebani UMKM dengan bunga pinjaman yang mahal. Keuntungan berikutnya adalah keleluasaan pemerintah dalam mengelola dan menghitung resiko Non Performingnya. Dengan ketersediaan dana yang besar dan sasaran penyaluran yang pasti, juga akan berdampak pada tingkat kestabilan sistem keuangan. Dalam penyalurannya, tentu pemerintah akan menggandeng institusi keuangan sebagai perantaranya. Dikarenakan kepastian sasarannya, maka institusi keuangan yang dijadikan mitra tidak akan menjadikan ini sebagai “bancakan” (cash hoarding) dalam neracanya. Bagaimana dengan kemungkinan moral hazardnya? Pengalaman mikro selama ini dalam skema penyaluran KUR dapat dijadikan sebagai contoh dalam soal ini. Tentu saja dengan sejumlah modifikasi yang sesuai. Akuntabilitasnya sendiri memerlukan suatu pengaturan lebih lanjut yang memuat kriteria mitra penyalur dan sasaran UMKM yang spesifik. Pemerintah sendiri perlu untuk mendeklarasikan ini sedini mungkin. Agar langkah-langkah pemulihan ekonomi yang akan ditempuh pemerintah menjadi jelas bagi pelaku usaha UMKM. Pelaku usaha UMKM memerlukan “ruang segar” dalam horison pemulihan ekonomi. Kepastian semacam ini akan menciptakan insentif yang kuat bagi UMKM dan sektor informal dalam membalik keadaan ekonomi mereka. Dalam situasi kritis, horison kebijakan yang memberi “ruang segar” selalu merupakan kunci bagi upaya pemulihan itu sendiri. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI