Pajak Digital Jokowi Dibuldozer Donald Trump
by Haris Rusly Moti
Jakarta FNN – Kamis (18/06). Pemerintahan Joko Widodo sedang panik menghadapi krisis APBN. Kepanikannya mengakibatkan lahirnya sejumlah kebijakan yang terkesan kalap. Tanpa pertimbangan dan persiapan yang matang. Sebagai contoh, kebijakan pajak digital yang diatur di dalam UU Darurat Covid UU No. 2/2020. Kebijakan tersebut nampaknya tidak disertai instrumen penopang untuk mewujudkannya.
Tragisnya lagi, ketika kebijakan itu diumumkan, langsung direspon Pemerintahan Donald Trump. Amereka berencana melakukan investigasi terkait rencana penerapan pajak digital di sejumlah negara yang dinilai diskriminatif, dan tidak adil terhadap perusahaan-perusahaan asal Amerika. Ada 10 negara yang jadi sorotan, Indonesia disebutkan juga oleh Presiden Trump.
Selain Uni Eropa, disebutkan juga Austria, Brasil, Republik Ceko, Uni Eropa, India, Italia, Spanyol dan Turki. Penyelidikan sedang dilakukan berdasarkan bagian 301 dari UU Perdagagan 1974 yang memberikan presiden Amerika wewenang luas untuk mengenakan tarif jika praktek perdagangan sebuah negara bagi perusahaan Amerika (The Washingtong Post, 2 Juni 2020).
Reaksi keras pemerintahan Amerika Serikat terkait kebijakan pajak digital di sejumlah negara tersebut sangat lumrah. Lantaran mayoritas perusahaan digital dengan nilai kapitalisasi pasar yang tinggi berkantor pusat di Silicon Valley Amerika Serikat (Bloomberg & PWC, 2019).
Sementara negara-negara yang menerapkan pajak digital mengeluh. Bahwa perusahaan digital asal Amerika Serikat tersebut telah mengeksploitasi konsumen lokal untuk data berharga mereka tanpa membayar pajak sebagai imbalan.
Robert E. Lighthizer, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR), mengatakan Presiden Trump memerintahkan melakukan investigasi. Dikuatirkan negara-negara yang disebutkan di atas mengadopsi skema kebijakan pajak yang diskriminatif terhadap bisnis digital asal Amerika, seperti Netflix, Facebook, dan Amazon. Lighthizer menegaskan “kami siap mengambil semua tindakan untuk membela bisnis dan kepentingan kami dari kebijakan pajak yang diskriminatif”.
Sebelumnya AS telah melakukan investigasi mendalam terhadap penerapan Digital Service Tax (DST) di Prancis. Hal itu terangkum dalam laporan Kantor Perwakilan Dagang AS – USTR, yaitu “Report on France’s Digital Services Tax Prepared in the Investigation under Section 301 of the Trade Act of 1974” (ustr.gov,02/12/2019)
Secara garis besar, AS mendakwa bahwa rencana penerapan DST di Perancis tersebut bersifat mendiskriminasi kepada perusahaan asal AS. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan bahwa DST yang dikenakan Prancis ini sejatinya hanya akan menyasar para raksasa digital AS. Dakwaan terhadap DST Prancis yang diskriminatif ini pun diperkuat dengan beberapa argumen sebagaimana diulas Dea Yustisia (DDTC Fiscal Research).
Pertama, adanya pernyataan otoritas Prancis yang secara terang-terangan menyatakan bahwa DST merupakan “GAFA Tax”. GAFA sendiri disebut-sebut merupakan singkatan dari Google, Apple, Facebook dan Amazon. Sebagaimana diketahui, keempatnya merupakan penyedia layanan digital papan atas di dunia yang bermarkas pusat di AS.
Argumen pertama ini didukung pula dengan temuan AS bahwa DST di Perancis bukan dikenakan atas penghasilan netto (income) sebagaimana pengenaan PPh secara umum. Adapun basis pajak DST – secara umum dan bukan hanya yang diterapkan Prancis – ialah atas penghasilan bruto (revenue).
Dengan demikian, DST ini dianggap mencederai prinsip-prinsip dasar perpajakan internasional yang berlaku secara umum. Apalagi, pengenaan DST tersebut dapat pula bersifat retroaktif. Tidak terdapat ketentuan yang menyatakan pencabutan DST apabila tercapai konsensus pajak digital.
Kedua, pemilihan jenis layanan digital yang akan dikenakan DST atas penghasilan brutonya. Laporan yang terbit pada akhir 2019 ini mencatat bahwa terdapat dua kategori jasa yang ditarget oleh DST Prancis, yakni iklan melalui internet dan digital interface.
Investigasi yang dikepalai Robert E. Lighthizer juga menemukan bahwa 8 dari 9 grup usaha perusahaan multinasional yang akan terdampak kebijakan unilateral tersebut ialah perusahaan-perusahaan yang berkantor pusat di Amerika Serikat. Sementara itu, perusahaan multinasional yang berkantor pusat di Prancis maupun Uni Eropa tidak akan terdampak karena kategori layanan digitalnya tidak termasuk dalam cakupan yang diatur DST.
Ketiga, penetapan threshold (ambang batas) perusahaan yang akan dikenakan DST. Menurut laporan ini, perusahaan Amerika Serikat lagi-lagi merupakan sasaran dominan dari DST Prancis tersebut. Hal ini dikarenakan penetapan ambang batasnya yang berdasarkan penghasilan bruto, akan relevan untuk mengenakan pajak atas grup multinasional semacam GAFA.
Selain itu, dakwaan adanya diskriminasi ini semakin kuat landasannya. Karena tidak adanya penjelasan mengenai dasar pertimbangan atas penetapan ambang batas tersebut. Jadinya suka-suka hati. Sikap tegas Prasiden Trump untuk melindungi perusahaan digital Amerika.
Tanpa Konsensus Global
Satu hal yang cukup rancu dari laporan investigasi Kantor Perwakilan Dagang AS di atas ialah pernyataan bahwa penerapan DST di Prancis akan mempersulit progres tercapainya konsensus global. Padahal, Amerika Serikat sendiri pun hingga saat ini terlihat mengambang dalam bersikap. Apakah akan mendukung atau tidak konsensus global terkait Digital Service Tax (DST).
Sengketa terkait kebijakan pajak digital antara Amerika Serikat dengan Perancis, juga belanjt pada rencana Pemerintahan Trump menginvestigasi 10 negara, termasuk Indonesia, yang ditengarai akan memberlakukan pajak diskriminatif terhadap perusahaan asal Amerika. Kebijakan Tump ini akan membuldozer kebijakan setiap negara di dunia yang memberlakukan pajak digital.
Sengketa seperti itu terjadi lantaran hingga saat ini tak ada aturan bersama atau minimal konsensus global yang mengatur kebijakan pajak digital. OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) yang bermarkas di Paris malah menunda membuat rekomendasi terkait DST yang rencananya akan diterbitkan pada tahun 2020.
Alasan yang disampaikan Sekretaris Jenderal OECD, Jose Angel Guria, katanya lembaga ini masih sedang mengkaji untuk menemukan solusi jangka panjang. Solusi yang berbasis pada konsensus untuk menerapkan pajak ekonomi digital secara global.
Demikian juga sebanyak 164 anggota WTO gagal untuk mengkonsolidasikan sekitar 25 proposal e-commerce yang terpisah pada sebuah konferensi di Buenos Aires pada Desember 2018. Juga termasuk rencana untuk membuat forum negosiasi e-commerce pusat.
Diperparah lagi dengan adanya perang dagang AS versus China, yang bersaing untuk mendominasi ekonomi digital. Dapat dipastikan konsensus global terkait pajak digital global nampaknya masih jauh dari harapan. Ketegangan perang dagang itu telah menyebabkan Washington mengekang transfer informasi Amerika ke negara-negara asing dengan membatasi merger dan akuisisi asing melalui Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional tahun 2018.
Sementara jika dilihat dari data, laporan WTO menyebutkan, total nilai transaksi digital pada 2016 sebesar U$ 27,7 triliun dollar. Sekitar U$ 24 triliun dollar diantaranya merupakan transaksi bisnis-ke-bisnis (B to B). Pasar global transaksi digital bahkan diperkirakan makin meningkat dan menembus angka U$ 1 triliun dollar pada tahun 2020.
Pertumbuhan ekonomi digital yang terus meningkat tanpa aturan bersama soal pajak digital sangat merugikan negara-negara yang hanya menjadi pengguna, konsumen, seperti Indonesia. Juga aturan yang terpisah dan berbeda untuk masing-masing negara dan wilayah telah menjadi beban dan hambatan yang signifikan bagi setiap perusahaan digital untuk memperluas operasi bisnis mereka.
Tantangan lain yang harus diatasi, lantaran secara teori, sangat tidak mudah mengubah sistem perpajakan, terutama mutasi kebijakan pajak dari ekonomi konvensional ke ekonomi digital. Studi Departemen Kebijakan Ekonomi dan Saintifik Parlemen Uni Eropa, tentang “Tax Challenges in the Digital Economy”, mengungkap bahwa perkembangan ekonomi digital telah menciptakan tantangan baru yang tidak mudah bagi sistem perpajakan di berbagai negara.
Hal itu menurut mereka, karena sistem perpajakan yang berlaku saat ini pada dasarnya didesain untuk menarik pajak dari industri-industri konvensional. Padahal di era digital ini, persoalan dan tantangan bisnis yang dihadapi sama sekali sudah berbeda.
Berdasarkan hasil studi itu, terdapat dua persoalan mendasar yang menjadi tantangan besar untuk mereformasi skema perpajakan konvensional. Untuk itu, perlu menyesuaikan diri dengan ekonomi digital. Pertama, barang-barang yang diperdagangkan bersifat intangible (tidak memiliki wujud fisik) dan lintas batas negara (borderless). Misalnya, jasa berlangganan film atau lagu serta perdagangan software atau aplikasi.
Persoalan kedua, terkait keberadaan fisik perusahaan digital. Mengingat mereka tidak membangun kantor cabang atau memindahkan pabrik untuk dapat beroperasi di suatu negara. Persoalan-persoalan itu, mulai dari model bisnis hingga bentuk barang yang diperdagangkan, membuat skema perpajakan konvensional yang tidak lagi relevan untuk merespons perkembangan bisnis di era digital.
Perkembangan “skema kuno” konvensional itu justru memberikan kemudahan bagi perusahaan digital untuk menghindari regulasi perpajakan. Selian itu, juga memudahkan mereka untuk dan memindahkan profit mereka ke negara-negara suaka pajak (tax havens).
Pengalaman Uni Eropa
Akibat dari tidak tercapainya konsensus global terkait kebijakan pajak digital, maka masing-masing negara melakukan langkah sendiri-sendiri untuk mencari aspek yang paling mungkin dengan membuat regulasi nasional di setiap negara untuk menerapkan pajak ekonomi digital. Kebijakan itu yang kemudian memicu perang dagang yang dilancarkan pemerintahan Amerika pimpinan Presiden Donald Trump.
Uni Eropa misalnya, sebagai organisasi multilateral kawasan, tidak menarik pajak, baik pajak pertambahan nilai (disebut value-added tax; VAT di Eropa) maupun pajak korporasi. Uni Eropa hanya menyediakan payung regulasi. Maka aturan perpajakan di setiap negara anggotanya harus mengacu pada regulasi perpajakan yang diatur Uni Eropa.
Meskipun setiap negara anggota Uni Eropa punya persentase pajak pertambahan nilai yang berbeda satu dengan yang lain. Misalnya, Prancis menerapkan pajak pertambahan nilai sebesar 20 persen, Jerman 19 persen, dan berbeda dengan Hungaria yang 27 persen.
Uni Eropa punya dua skema regulasi terkait pajak perdagangan digital. Perbedaan antara dua regulasi ini dilatarbelakangi perbedaan wujud barang yang diperdagangkan, apakah barang itu punya wujud fisik (tangible) atau tidak memiliki wujud fisik (intangible).
Pertama, regulasi pajak pertambahan nilai mengatur bahwa pajak baru bisa dikenakan apabila nilai transaksi di atas ambang batas yang ditetapkan oleh negara tempat konsumen berada. Contohnya, Perancis mensyaratkan pajak pertambahan nilai apabila nilai produk yang diperdagangkan lebih dari 35 ribu Euro per tahun. Sedangkan Jerman mensyaratkan pajak pertambahan nilai terhadap produk dengan nilai lebih dari 100 ribu euro per tahun.
Kedua, setiap perusahaan yang teregistrasi pada sistem pajak pertambahan nilai Uni Eropa wajib menjaminkan dana sebesar delapan ribu euro ke masing-masing negara tempat mereka menjual barang.Skema regulasi pajak pertambahan nilai yang pertama berlaku pada hubungan perdagangan antara perusahaan dengan konsumen (business to customer) yang memperdagangkan barang-barang yang mempunyai wujud fisik (tangible).
Apabila nilai barang berada di atas ambang batas yang diatur di negara itu, maka perusahaan wajib mengenakan pajak pertambahan nilai dengan mengacu pada regulasi pajak pertambahan nilai yang berlaku di negara konsumen terkait.
Begitu pun ketika perusahaan ternyata tidak berasal dari Uni Eropa. Jika nilai barang berada di atas ambang batas yang ditentukan, maka perusahaan wajib menarik pajak sesuai regulasi yang berlaku di negara konsumen. Sebaliknya, bila hubungan dagang dilakukan antara perusahaan Uni Eropa dengan konsumen di luar Uni Eropa, maka perusahaan tidak akan dikenai pajak pertambahan nilai.
Sementara skema regulasi kedua berlaku pada bisnis-bisnis di bidang telekomunikasi, penyiaran, dan layanan elektronik lain seperti perusahaan gim, penyedia layanan musik, film, maupun perangkat lunak. Dalam skema ini, apabila perdagangan dilakukan antara perusahaan asal Uni Eropa dengan konsumen yang juga berasal dari Uni Eropa, maka pajak pertambahan nilai yang dikenakan harus sesuai dengan regulasi pajak di negara konsumen berada.
Selian itu, apabila perdagangan dilakukan antara perusahaan yang tidak berasal dari Uni Eropa dengan konsumen Uni Eropa, maka pajak pertambahan nilai mengikuti regulasi pajak di negara konsumen .
Melalui kedua regulasi di atas, perusahaan—baik yang berasal dari Uni Eropa maupun di luar Uni Eropa—tidak hanya bertanggung jawab untuk menarik pajak, tetapi juga mengumpulkan, melaporkan, dan menyerahkan pajak pertambahan nilai itu ke pemerintah di negara konsumen atau perusahaan itu berada.
Misalnya, seseorang yang berasal dari Italia mengunduh aplikasi yang dijual oleh perusahaan asal Polandia, maka perusahaan asal Polandia itu harus menarik pajak pertambahan nilai dari konsumen sesuai dengan regulasi pajak di Italia.
Penutup
Dengan tidak adanya kepastian global terkait konsensus pajak digital, maka dipastikan kebijakan pajak digital yang diumumkan pemerintah Joko Widodo akan sulit dijalankan. Pertama, Presiden Donald Trump dengan projek "American First" akan melancarkan perang dagang dengan setiap negara yang berani memungut pajak secara discrominatif kepada perusahaan asal Amerika.
Kedua, hambatan tidak adanya instrumen penopang untuk memungut pajak digital bisa menjadi hambatan berikutnya bagi pemerintahan Joko Widodo untuk menjalankan kebijakan pajak digital. Persoalan teknologi tak bisa diatasi semata dengan solusi regulasi yang selama ini dipakai untuk mengatur kegiatan ekonomi konvensional.
Bagaimana mungkin regulasi yang dibatasi oleh border negara dapat mengendalikan dan mengatur teknologi digital yang meruntuhkan border setiap negara? Bagaimana mungkin regulasi dapat mengatasi masalah pajak digital yang digerakan oleh teknologi informasi yang tak terikat teritori negara?
Dua masalah ini, selain masalah tak adanya konsensus global yang diuraikan di atas, yang sepertinya menjadi hambatan yang menyebabkan kebijakan pajak digital yang diatur di dalam UU No. 2/2020 tentang Darurat Corona, dipastikan akan ambyar sebelum dijalankan.
Penulis adalah Pendiri Intelligence Finance Community (INFINITY )