EKONOMI

Forbest Tangsel Minta UU Cilaka Dicabut

by Tjahja Gunawan Serpong FNN - Jumat (09/10). Forum Bersama Tangerang Selatan atau Forbest bersama seluruh elemen masyarakat yang bergabung di dalamnya menolak dan meminta UU Cipta Lapangan Kerja dicabut. Forbest juga menyerukan kepada pemerintah dan DPR untuk menghentikan berbagai pembahasan UU dan pembuatan kebijakan kontroversi yang memancing reaksi keras dari masyarakat. Selain itu, Forbest juga menyerukan kepada pemerintah dan DPR untuk fokus pada penanganan pandemi Covid19. Penolakan dan seruan tersebut disampaikan penanggungjawab Forbest Martha Bachtiar dan Susan San Soesilawati di Serpong, Tangsel, Kamis sore (8/10). Seperti diketahui, pasca pengesahan UU Cipta Lapangan Kerja oleh DPR padà sidang paripurna Senin malam (5/10) telah memancing penolakan dalam bentuk pernyataan sikap dan unjuk rasa dari kalangan buruh, mahasiswa, pelajar dan elemen masyarakat lainnya secara luas. UU tersebut diusulkan oleh Pemerintah dan ditetapkan oleh DPR-RI . Martha Bachtiar mengungkapkan, Forbest menilai UU Cilaka sangat berpotensi merugikan bangsa Indonesia khususnya kalangan pekerja. Sementara penguasaan sumber daya alam justru dikuasai penguasa besar dan pemodal asing. UU Cipta Lapangan Kerja hanya memberi kemudahan dan pelonggaran bagi pihak asing dalam penguasaan aset dan sumber daya alam. "UU tersebut membuka seluas luasnya masuknya tenaga kerja asing ke seluruh sektor bisnis dan industri pada setiap level dan kompetensi tanpa batasan dan aturan yang jelas, sehingga mengurangi peluang dan tidak memberikan kesempatan bersaing secara adil kepada Tenaga Kerja Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak di negerinya sendiri," ungkap Martha Bachtiar. Ketidakjelasan dan berkurangnya hak hak buruh dan pekerja dalam hak cuti, pesangon, outsourcing, PHK, UMR, training dan lebih berpihak kepada kepentingan pengusaha dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan Menurut Martha, sangsi hukum bagi pihak yang melanggar UU tersebut tidak jelas sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan, ketidakteraturan dan kerusakan pada seluruh sektor ekonomi, sumber daya alam dan sumber daya manusia Selain itu, pembahasan UU yang tidak transparan dan terburu-buru dengan tidak melibatkan para ahli dan masyarakat luas untuk memberikan masukan dan aspirasi dalam perumusan undang undang tersebut sangat berpotensi menguntungkan pihak pemodal dengan mengabaikan kepentingan bangsa dan negara. Proses pengambilan keputusan yang secara kasat mata tidak mencerminkan budaya bermusyawarah yang baik dan arogansi sepihak dari pimpinan DPR-RI adalah merusak nilai etika dan moral bangsa serta mengabaikan fungsi DPR yang seharusnya menampung aspirasi rakyat melalui wakil-wakilnya dalam perumusan dan penetapan UU. Penetapan UU Cipta Lapangan Kerja yang telah memicu gelombang kemarahan dan unjuk rasa kaum buruh, mahasiswa, pelajar dan masyarakat luas justru memunculkan masalah baru yang semakin membahayakan stabilitas politik dan ekonomi di tengah permasalahan pandemic COVID-19. Penulis adalah Wartawan Senior FNN. co.id

Bailout Jiwasraya Rp 22 Triliun Hanya Untuk Bayar Polis

by Anthony Budiawan Penyelesaian skandal Jiwasraya harus transparan dan adil. Sertakan tim yang independen. Harus adan tindakan hukum yang tegas kepada mereka yang bersamalah. Pihak-pihak yang wajib diperiksa adalah perwakilan pemegang saham, dewan direksi, dewan komisaris, pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi sektor asuransi, auditor atau pemeriksa laporan keuangan perusahaan, manajer investasi dan pejabat perusahaan yang menerima dana penempatan investasi Jiwasraya. Jakarta FNN – Ahad (04/10). Sejak akhir 2018 pemegang polis PT Asuransi Jiwasraya (Jiwasraya) tidak bisa mencairkan polisnya yang jatuh tempo. Jiwasraya gagal bayar. Namun sampai sekarang belum ada penyelesaiannya. Pemerintah sebagai pemegang saham Jiwasraya dengan kepemilikan 100 persen, terlihat gagap. Maju mundur tanpa ada solusi yang jelas. Penyebab gagal bayar Jiwasraya bukan karena risiko bisnis biasa. Bukan juga karena ekonomi turun, kemudian berimbas kepada kinerja investasi Jiwasraya sehingga merugi. Tetapi, gagal bayar Jiwasraya ditengarai akibat ada pelanggaran hukum dan korupsi. Beberapa orang sudah ditangkap. Beberapa orang lagi dicegah bepergian ke luar negeri (Cekal). Persoalan Jiwasraya dimulai dari produk “JS Saving Plan” yang ditawarkan kepada publik pada akhir 2013. Produk ini terindikasi melanggar ketentuan produk asuransi jiwa. Produk ini mirip deposito dengan bonus asuransi jiwa. Menawarkan imbal hasil tetap selama lima tahun. Anehnya, produk ini bisa dicairkan setiap tahun. Imbal hasil yang ditawarkan juga sangat tinggi. Sekitar 9 persen lebih, bahkan bisa mencapai 13 persen. Nasabah jadi tertarik, dan beramai-ramai membeli produk “JS Saving Plan”. Dana yang mengalir untuk membeli produk ini sampai puluhan triliun rupiah. Kemudian, Jiwasraya tertekan untuk mengembalikan imbal hasil tinggi. Spekulasi tidak bisa dihindarkan. Jiwasraya mulai investasi di saham “gorengan”. Melakukan penempatan investasi langsung, atau repo, di beberapa perusahaan dengan berkinerja buruk. Penempatan langsung ini sepertinya tidak dilakukan secara profesional, tetapi hanya berdasarkan rente. Sampailah pada Jiwasraya akhirnya gagal bayar. Polis yang jatuh tempo akhir 2018 tidak bisa dicairkan. Nasib pemegang polis terkatung-katung selama dua tahun terakhir ini. Ada yang mengadu ke tuan-tuang yang terhormat di DPR. Tetapi tanpa hasil. Para pemegang polis tidak boleh menjadi korban. Mereka tidak bersalah. Pemerintah selaku pemegang saham Jiwasraya harus bertanggung jawab penuh atas terjadinya kerugian ini. Pemerintah harus mengganti investasi mereka. Memang sangat dilematis, karena penggantian kerugian ini akan menjadi beban rakyat yang juga tidak bersalah. Rakyat yang tidak tahu-menahu permasalahan. Untuk itu, semua pihak yang terlibat dalam skandal gagal bayar Jiwasraya harus diusut. Yang salah harus dihukum sesuai peraturan dan undang-undang yang berlaku. Kalau tidak rakyat yang menanggung beban bailout ini bisa marah. Karena itu, penegakkan hukum yang adil menjadi suatu keharusan. Pihak-pihak yang wajib diperiksa antara lain perwakilan pemegang saham, dewan direksi, dewan komisaris, pejabat OJK yang mengawasi sektor asuransi, auditor atau pemeriksa laporan keuangan perusahaan, serta pihak lainnya seperti manajer investasi dan pejabat perusahaan yang menerima dana penempatan investasi Jiwasraya. Pada 31 Desember 2019, ekuitas (modal) Jiwasraya defisit sebesar Rp 33,66 triliun. Dengan aset Rp 19,12 triliun dan kewajiban Rp 52,78 triliun. Defisit ini terus bertambah seiring berjalannya waktu. Maka pada akhir Juli 2020, defisit ekuitas diperkirakan mencapai Rp 38 triliun. Pemerintah rencananya akan melakukan restrukturisasi Jiwasraya dengan menyuntik dana Rp 22 triliun. Rencana ini tentu saja mengundang polemik. Tidak adil kalau rakyat harus menanggung beban korupsi berjamaah yang dilakukan para pejabat Jiwasraya dan kroninya. Namun, juga tidak adil kalau para pemegang polis yang tidak bersalah ini harus menanggung beban korupsi berjamaah tersebut. Tetapi, pemerintah sebagai pemegang saham wajib bertanggung jawab. Karena masalah gagal bayar ini juga merupakan kesalahan pemegang saham yang mempunyai wewenang untuk mengganti dan mengangkat para direksi dan komisaris Jiwasraya. Harus diusut, apa alasan pemerintah memilih mereka sebagai dewan direksi dan komisaris? Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) diadakan paling sedikit setahun sekali. Pemegang saham seharusnya tahu kondisi keuangan Jiwasraya yang sebenarnya. Pemegang saham seharusnya tahu produk “JS Saving Plan” bermasalah. Karena mirip dengan “skema ponzi”. Mengapa didiamkan saja selama bertahun-tahun? Sampai dengan menderita kerugian besar? Jangan sampai suntikan dana Rp 22 triliun tersebut disalahgunakan lagi. Jangan sampai dikorupsi lagi. Karena itu, dana bailout seyogyanya hanya boleh digunakan untuk mengganti kerugian para pemegang polis. Proses penggantian ini harus dilakukan secara transparan. Pemerintah harus menunjuk tim independen untuk membayar polis yang sudah jatuh tempo. DPR juga harus membentuk tim independen untuk mencari fakta, siapa yang terlibat kasus korupsi maupun gratifikasi Jiwasraya? Hukum harus ditegakkan. Jangan kong kalikong lagi. Dana bailout Rp 22 triliun tidak boleh digunakan untuk operasional Jiwasraya atau holding asuransi yang akan dibentuk. Rakyat sudah tidak percaya dengan manajemen Jiwasraya, serta wakil pemegang saham. BUMN harus dirampingkan hanya untuk keperluan industri strategis saja, sesuai Pasal 33 UUD 1945. Pada akhir Desember 2019, 11 dari 99 BUMN di bawah kendali kementeriaan BUMN mengalami defisit modal. Antara lain PT Asabri yang defisit Rp 6,1 triliun. PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari defisit Rp 1,2 triliun. PT Iglas defisit Rp 1,1 triliun. PT Kertas Kraft Aceh defisit Rp 1,1, triliun, PT Merpati Nusantara Airlines defisit Rp 6,4 triliun, PT PANN defisit Rp 3,3 triliun. BUMN akan selalu menjadi beban negara. Akhurnya menjadi beban rakyat. Modal BUMN berasal dari utang negara dengan beban bunga cukup tinggi yang harus ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, BUMN juga tidak memberi manfaat banyak kepada rakyat. Bahkan monopoli BUMN sering kali merugikan rakyat. Pertamina sebagai contoh BUMN yang membebani rakyat. Pertamina tidak mau menurunkan harga penjualan BBM di dalam negeri kepada rakyat ketika harga minyak mentah dunia anjlok. Sudah seperti perusahaan pejajah VOC kepada negara jajahannya. PLN tidak juga sama. Tidak menurunkan tarif listrik ketika bahan bakar pembangkit listrik turun. Bank-bank BUMN lebih kapitalis dari negara penganut faham kapitalis. Bank-bank BUMN tidak mau menurunkan suku bunga kredit (sepantasnya) ketika suku bunga acuan Bank Indonesia turun. Apalagi ketika resesi menghantui ekonomi Indonesia. Bahkan, bank BUMN membukukan Net Interest Margin yang tinggi. Menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi di dalam negeri. BUMN juga sering dijadikan ATM (kasir) untuk kepentingan politik. Bagi-bagi jatah jabatan komisaris dan proyek di BUMN. Oleh karena itu, keberadaan BUMN harus ditinjau ulang untuk kepentingan rakyat. BUMN yang tidak penting sebaiknya dibubarkan saja. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Revisi UU BI, Membuka Jalan Menuju Kehancuran Ekonomi

by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Ahad (27/09). Pandemi corona membuat mata masyarakat terbuka. Betapa lemahnya keuangan negara kita. Pandemi membuat defisit anggaran Pemerintah Pusat meningkat tajam. Karena penerimaan negara yang anjlok. Sedangkan belanja negara naik pesat. Pandemi membuat keuangan negara dalam tekanan. Rasio pembayaran bunga mencapai 25 persen dari penerimaan perpajakan (penerimaan pajak ditambah bea dan cukai). Sedangkan penerimaan pajak hanya sekitar 8 persen dari Produk Domestik Bruto(PDB). Sangat rendah sekali. Defisit anggaran 2020 diperkirakan Rp 1.000 triliun lebih. Ditambah kebutuhan bailout korporasi, baik untuk swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), utang pemerintah diperkirakan akan membengkan sampai Rp 1.200 triliun di tahun pandemi ini. Faktanya ketahanan Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara (APBN) rapuh. Ketika menghadapi pandemi Corona, pemerintah harus menetapkan Peraturan Pemerinath Pengganti Undang-Undang (Perppu) Corona yang sudah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020. Isi Perppu itu intinya hanya minta bantuan kepada Bank Indonesia (BI). Pertama, BI diminta membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer. Yang sebelumnya sangat taboo untuk dilakukan BI karena melanggar konstitusi. Atau sebagai standby buyer kalau SBN tidak diminati. Kedua, BI diminta turut menanggung beban bunga. Melalui burden sharing dan diskon bunga. Burden sharing dengan bunga nol (0) persen pada hakekatnya sama dengan cetak uang. Rencananya, bantuan BI ini hanya untuk satu tahun. Tetapi sepertinya akan diperpanjang hingga 2022. Atau bisa juga lebih dari 2022? Bisa saja terjadi. Karena, menurut info, DPR sedang menggoreng-goreng (baca: membahas) revisi undang-undang tentang Bank Indonesia. Katanya sih gorengan ini inisiatif DPR. Atau sebenarnya DPR ditugaskan oleh pemerintah? Ah sama saja. Karena masyarakat melihat eksekutif dan legislatif sudah menjadi satu-kesatuan. DPR sudah menjadi Kantor Cabang Presiden, alias berkolaborasi. Yang seharusnya juga melanggar konstitusi dan TAP MPR. Menurut rumor, revisi ini akan mengubah beberapa butir penting terkait UU BI. Pertama, membentuk Dewan Moneter atau Dewan Kebijakan Ekonomi Makro. Katanya, Dewan terdiri dari 5 anggota dengan Ketua Menteri Keuangan. Anggota lainnya adalah Ketua Bappenas, Gubernur BI, Deputi Gubernur Senior BI dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan(OJK). Pembentukan Dewan Moneter atau sejenisnya akan menempatkan BI di bawah eksekutif. Berarti struktur BI kembali ke struktur pemerintahan Orde Lama tahun 1953, yang kemudian berlanjut ke pemerintahan Orde Baru. Struktur ini membuat kebijakan moneter tidak terkendali. “Cetak uang berlebihan”. Mengakibatkan turbulensi dan krisis ekonomi. Akibatnya, pemerintah tumbang. Kedua, Bank Indonesia akan diizinkan membeli SBN di pasar primer secara permanen. Hal ini sebenarnya yang menjadi tujuan utama revisi UU BI. Agar pemerintah bisa menjalankan politik defisit anggaran tanpa memikirkan pendanaan atau pembiayaan. Bahkan BI boleh membeli SBN tanpa bunga. Alias “cetak uang”. Konsekuensinya kita sudah tahu, ekonomi terpuruk, terperosok ke jurang kehancuran. Ketiga, Bank Indonesia dibolehkan lagi memberi fasilitas pinjaman darurat kepada bank bermasalah. Dulu namanya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Revisi ini jelas akan mengembalikan status BI ke era primitif dulu, pada tahun 1953. Kalau rencana revisi dengan butir-butir utama itu terjadi, maka sama saja dengan bunuh diri. Ekonomi akan terpuruk. Karena investor asing akan menjauhi SBN pemerintah Indonesia. Karena revisi struktur BI seperti itu, akan menjadi ajang monetisasi utang (debt monetization) secara berlebihan. Bahasa awamnya “cetak uang”. Dampaknya, rupiah akan terpuruk. Inflasi naik tajam. Ekonomi terkontraksi. Yang juga tidak kalah penting, revisi UU yang menempatkan BI di bawah eksekutif, dan membolehkan BI membeli SBN di pasar primer, akan bertentangan dengan konstitusi. Akan bertentangan dengan UUD 1945.Juga bertentangan dengan Tap MPR Nomor XVI/MPR/1998 dan Tap MPR Nomor XVI/1998. Sehingga otomatis batal demi hukum. Pembentukan Dewan Moneter atau Dewan Kebijakan Ekonomi Makro untuk tujuan membawahi BI secara langsung bertentangan dengan Pasal 9 TAP MPR XVI/1998 yang berbunyi, “dalam rangka pengelolaan ekonomi keuangan nasional yang sehat, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak luar lainnya, dan kinerjanya dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, DPR sebaiknya minta pemerintah fokus pada pembenahan ekonomi sektor riil saja. Jangan merusak sektor moneter yang menyandang status independen. Yang sudah terbukti cukup handal selama dua puluh tahun belakangan ini. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).

BI Rate Bisa Rugikan Rakyat Rp 250 Triliun/Tahun

by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) tanggaL 16 dan 17 September 2020 akhirnya memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) 4 persen. Salah satu alasannya untuk “mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah inflasi yang diperkirakan tetap rendah”. Padahal, suku bunga acuan 4 persen itu sudah termasuk tinggi. Bisa menghambat pemulihan ekonomi nasional. Karena kebijakan moneter yang seharusnya dilakukan di tengah resesi ekonomi adalah menurunkan suku bunga acuan dan suku bunga kredit. Tujuannya untuk membangkitkan permintaan, konsumsi dan investasi. Juga untuk membangkitkan ekonomi nasional. Alasan BI mempertahankan suku bunga acuan 4 persen sangat aneh. Malah ajaib. Sebab inflasi yang diperkirakan rendah, tetapi suku bunga tidak diturunkan. Karena mau menjaga stabilitas nilai tukar? Artinya, kebijakan moneter Bank Indonesia sekarang ini lebih mengutamakan dan menjaga “stabilitas” rupiah, dari pada upaya pemulihan ekonomi. Padahal, pemulihan ekonomi sangat penting, karena dibutuhkan oleh rakyat. Pemulihan ekonomi misalnya, dapat menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja baru. Juga dapat mengurangi kemiskinan. Sedangkan stabilitas rupiah untuk kepentingan siapa? Kebijakan moneter BI memang sangat dilematis. Kalau BI menurunkan suku bunga, maka pemulihan ekonomi akan lebih cepat terealisasi. Dan kebijakan penurunan suku bunga ini yang diharapkan rakyat. Kebijakan yang memang berpihak pada kepentingan rakyat. Dilematis, karena penurunan suku bunga acuan akan diikuti penurunan suku bunga kredit, termasuk suku bunga obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN). Penurunan suku bunga SBN bisa membuat investor menarik diri. Khususnya investor asing. SBN menjadi kurang diminati. Investor asing mungkin lebih memilih obligasi negara lain. Misalnya Vietnam, Thailand, Singapore, atau Malaysia. Hengkangnya investor asing membuat supply dolar (mata uang asing) ke Indonesia turun. Ada tiga kelompok kebutuhan dolar dari Indonesia. Pertama, kebutuhan untuk membiayai defisit transaksi berjalan. Kedua, Kebutuhan untuk membayar utang luar negeri (pemerintah dan swasta) yang jatuh tempo. Ketiga, kebutuhan untuk membayar utang luar negeri (pemerintah dan swasta) yang belum jatuh tempo, tetapi dicairkan investor bersangkutan melalui pasar obligasi. Defisit transaksi berjalan tahun 2019 sekitar U$ 30 miliar dolar. Defisit ini turun di masa pandemi 2020. Karena impor turun tajam. Kondisi ini membuat neraca perdagangan mengalami surplus yang cukup besar. Defisit transaksi berjalan pada Semester I/2020 U$ 6,6 miliar dolar. Kalau defisit ini berlanjut di semester II/2020, maka kebutuhan dolar hingga akhir tahun diperkirakan minimal U$ 5 miliar dolar. Total Utang Luar Negeri (ULN) pada 31 Desember 2019 yang akan jatuh tempo pada tahun 2020 U$ 63,3 miliar dolar. Terdiri dari utang pemerintah (dan Bank Indonesia) U$ 11,25 miliar dolar, dan utang swasta (termasuk BUMN) U$ 52,06 miliar dolar. Jumlah ini belum termasuk pembayaran bunga. Kelompok ketiga lebih berbahaya karena tidak terukur. Ketika asing tidak tertarik lagi memberi pinjaman ke Indonesia, misalnya karena suku bunga dianggap rendah, dan asing menjual obligasinya, maka kurs rupiah mengalami tekanan dan akan anjlok. Seperti terjadi pada akhir Maret 2020 lalu, dimana kurs rupiah di pasar spot sempat mencapai Rp17.000 per dolar Amerika. Untuk menjaga agar investor terus tertarik memberi pinjaman ke Indonesia, dan untuk menutupi kebutuhan dolar yang membesar tersebut, maka Bank Indonesia harus mempertahankan suku bunga yang tinggi. Tragisnya, kebijakan Bank Indonesia ini akan membuat ekonomi tidak bergerak. Selain itu, hanya menguntungkan investor luar negeri. Dilematis, karena suku bunga tinggi akan menghambat pemulihan ekonomi nasional. Juga merugikan perusahaan dan nasabah perorangan yang mempunyai pinjaman dalam rupiah. Total kredit dalam rupiah mencapai Rp 5.000 triliun lebih, termasuk perusahaan pembiayaan. Dari jumlah total kredir tersebut, kredit konsumsi mencapai Rp 1.600 triliun. Kelompok peminjam rupiah ini sangat dirugikan dengan kebijakan moneter yang mempertahankan suku bunga tinggi. Sebab notabene hanya untuk menguntungkan investor asing. Setiap penurunan 1 persen bunga kredit, akan memberi tambahan likuiditas Rp 50 triliun per tahun kepada kelompok peminjam rupiah. Penurunan bunga kredit yang ideal dan seharusnya di masa resesi seperti ini bisa mencapai 5 persen dibandingkan bunga kredit yang berlaku sekarang. Sehingga potensi kerugian masyarakat mencapai Rp 250 triliun per tahun. Kerugian mempertahankan suku bunga acuan jauh melampaui bantuan stimulus fiskal. Sehingga, menghambat pemulihan ekonomi nasional. Kebijakan moneter saat ini tersandera dengan kondisi ekonomi yang lemah. Defisit transaksi berjalan yang akut dan ULN yang besar. Bank Indonesia lebih memilih mempertahankan stabilitas rupiah yang menguntungkan investor asing. Juga merugikan masyarakat. Sebab meskipun kebijakan ini berpotensi menghambat pemulihan ekonomi nasional serta merugikan peminjam dalam rupiah di dalam negeri. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).

Jangan Membual, Resesi Ekonomi Menghitung Hari

Optimisme yang terlalu tinggi juga akan menjadi bahan olok-olokan sebagian masyarakat. Coba kita buka video, Joko Widodo yang menyebut di kantongnya ada dana Rp 11.000 (baca : sebelas ribu triliun rupiah). Ini angka yang luar biasa. by Mangarahon Dongoran Jakarta FNN - Senin (14/9). Besok, sudah 15 September 2020. Itu berarti, sisa bulan ini tinggal 15 hari lagi. Tidak ada bedanya, jumlah tanggal dalam bulan September tahun-tahun sebelumnya, maupun tahun-tahun mendatang. Yang membedakannya hanya pada tanggal yang jatuh berbeda dengan harinya. September 2020, tinggal hitungan hari. Banyak peristiwa yang terjadi di bulan ini. Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI terjadi di penghujung bulan ini. Tujuh jenderal diculik dan ditebas oleh PKI yang didalangi oleh Kolonel Untung dari Pasukan Cakrabirawa (pasukan pengawal presiden waktu itu). Di bulan September ini juga ada peristiwa yang mengguncang dunia. Tanggal 11 September 2001, gedung WTC di New York disambar pesawat yang oleh Amerika Serikat dilakukan teroris Alqaeda. Saya tidak mau terlalu jauh ke peristiwa yang sudah lalu di bulan September ini, terutama yang terjadi di negara Pancasila yang saya cintai dan banggakan ini. Yang ingin saya sampaikan adalah bulan September 2020 ini bukan lagi September Ceria seperti lagu Vina Panduwinata. September ceria harus kita lupakan. Sebab, September 2020 ini menjadi bulan penentu bagi perekonomian Indonesia, yang sudah lama melorot, kemudian mengalami krisis, terutama akibat Corona Virus Disaesa 2019 (Covid-19). Kuartal II-2020, pertumbuhan ekonomi minus 5,30 persen. Pertumbuhan ini menjadi tanda akan terjadinya resesi ekonomi nasional, menyusul resesi ekonomi yang sudah menimpa negara-negara maju, seperti Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara di kawasan Eropa. Demikian juga halnya dengan ekonomi Singapura dan Malaysia yang sudah dua di kuartal minus (kuartal I dan II/Januari sampai Juni). Merujuk pada keadaan ekonomi yang dialami negara-negara mapan, sangat sulit bagi Indonesia keluar dari jurang resesi. Sangat sulit juga perekonomian Indonesia segera pulih. Saling menyalahkan antara elit bangsa ini, terutama yang duduk di pemerintahan akan semakin mempersulit keadaan, baik secara ekonomi, politik, sosial dan keamanan. Tidak ada lagi yang akan bisa menyelamatkan ekonomi Indonesia dari resesi. Walaupun diguyur dana Rp 800 triliun, ekonomi Indonesia pasti mengekor ke negara-negara yang sudah lebih awal mengumumkan resesi. Torehan ekonomi di kuartal II-2020 yang terkontraksi minus 5,3 persen menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah. Sebab jika hal serupa terjadi di kuartal III-2020 ekonomi Indonesia resmi resesi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) membahas hal itu dalam kunjungannya ke Jawa Barat bulan Agustus lalu. Di depan pemimpin daerah di Jabar, Jokowi mengingatkan untuk berhati-hati dalam menjaga roda ekonomi. "Kita tahu kuartal I-2020 masih tumbuh 2,97 persen. Negara lain sudah banyak yang negatif kita masih tumbuh positif 2,97 persen. Tapi di kuartal kedua kita sudah masuk minus, dari 2,97 persen positif langsung minus 5,32 persen. Ini hati-hati. Tadi di Jawa Barat juga di kuartal kedua sudah berada pada posisi minus 5,9 perswn. Hati-hati, tapi saya optimistis di kuartal ketiga kita akan lebih baik dari yang kuartal kedua. Kita harapkan kita ingin tumbuh tapi ini memang perlu kerja keras," ujarnya dilansir melalui tayangan langsung dari akun Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (11/8/2020). Oleh sebab itu, lanjut Jokowi, dia meminta kepada para gubernur, bupati dan walikota di Jabar untuk segera merealisasikan anggaran belanjanya. Sebab dia mencatat dari seluruh belanja pemerintah daerah sekitar Rp 170 triliun masih tersimpan di bank. Tidak ada lagi yang akan bisa menyelamatkan ekonomi Indonesia dari resesi. Walaupun diguyur dana Rp 800 triliun, ekonomi Indonesia pasti mengekor ke negara-negara yang sudah lebih awal mengumumkan resesi. Dalam dua kuartal 2020 (Januari sampai Juni) ekonomi Jepang, misalnya sudah minus 2,2 persen. Di saat banyak negara sudah mengumumkan resesi, Indonesia masih saja berkutat pada angka-angka optimis. Presiden Joko Widodo pada Agustus 2020 masih optimis pertumbuhan ekonomi kuartal III akan lebih baik dibandingkan dengan kuartal II. Bisa jadi pertumbuhan kuartal III lebih baik dari pertumbuhan kuartal II, walau sama-sama minus. Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal III ini berada pada kisaran minus 2 sampai 0 (nol) persen. Bank Indonesia juga mengaminya. Hanya Badan Pusat Statistik (BPS) yang belum mengeluarkan perkiraan. Sebab, BPS akan mengeluarkan angka pasti pertumbuhan kuartal III, awal Obtober nanti. Bahkan, seluruh lembaga-lembaga keuangan intermasional, mulai dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Dana Moneter Internasional (IMF) sudah mengeluarkan perkiraan bahwa ekonomi Indonesia tahun 2020, minus. Jika secara total tahun ini minus, itu artinya resesi panjang atau paling tidak krisis ekonomi yang sangat lama dan berat. Sri Mulyani mengatakan, pemerintah mematok angka pertumbuhan negatif 0,4 persen sampai 1,0 persen di 2020. Angka itu lebih rendah dari proyeksi awal yang negatif 0,4 persen sampai 2,3 persen. Pemerintah akan menggenjot ekonomi pada kuartal III dan IV agar sampai akhir tahun tetap tumbuh positif. Akan tetapi, apakah mudah menggerakkan ekonomi dari negatif ke positif. Apalagi memasang angka positif dengan angka yang bombastis. Sangat tidak masuk akal. Ingat, krisis ekonomi 1998 dan berlanjut hingga 1999. Bahkan, tahun 2000 pun masih berat. Padahal, pemicunya hanya karena melorotnya mata uang Thailand, Bath dan virusnya hanya menyebar ke beberapa negara, termasuk Indonesia. Hanya saja, pemulihan ekonomi Indonesia lebih lama karena ditumpangi persoalan politik dan huru-hara yang menyebabkan Presiden Soeharto lengser. Cukup Rp 11.000 Triliun Joko Widodo dan jajarannya, terutama yang berada di barisan ekonomi hampir selalu menyodorkan angka dan kata-kata yang terkadang kurang masuk akal. Optimisme harus dibangun dan digerakkan oleh pemimpin di negeri ini. Akan tetapi, optimisme yang berlebihan tidak baik dan tepat, karena rakyat akan semakin tidak percaya. Optimisme yang berlebihan cenderung sebagai bualan (saya tidak mau menyebut kebohongan). Optimisme yang berlebihan adalah sebuah ilusinasi yang akan membuat arah bangsa ini semakin tidak jelas. Optimisme yang terlalu tinggi juga akan menjadi bahan olok-olokan sebagian masyarakat. Coba kita buka video, Joko Widodo yang menyebut di kantongnya ada dana Rp 11.000 (baca : sebelas ribu triliun rupiah). Ini angka yang luar biasa. Jika dana itu benar, sangat lebih dari cukup untuk pemulihan ekonomi. Katanya, agar ekonomi positif di kuartal III, cukup dengan dana Rp 186 triliun. Ada yang sebut Rp 800 triliun. Ayo dong Pak Presiden, keluarkan uang di kantong itu. Kalau tidak ada, Bapak mestinya jangan berhalusinasi, membual dan... Atau kata Bapak, racun kala jengking yang harganya mahal, Rp 145 miliar per liter. Apakah Bapak sudah mengajak rakyat beternaknya? Atau itu hanya halusinasi, menutupi ketidakbecusan dalam mengurus negara, terutama dari sisi ekonomi? Ah, sudahlah. Terlalu banyak mimpi yang ditaburkan kepada rakyat yang semakin susah. Sebagian rakyat sudah tidak berdaya menghadapi ekonomi yang semakin ruwet. Sebagian rakyat kini sudah mengalami resesi, bukan lagi krisis ekonomi. Resesi, karena mereka di PHK, resesi karena tidak ada lowongan kerja baru. Kalau awal Oktober nanti BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Kuartal III tahun 2020 minus, itu hanya penguat bahwa telah terjadi resesi ekonomi nasional. Andaikan saja pertumbuhan ekonomi nol koma sekian (0 koma sekian) saja, kita sudah resesi. Artinya beban hidup sebagian besar masyarakat semakin berat. Pengangguran semakin menggurita. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Semakin Otoriter, Pemerintah Akan Rampas Independensi BI

by Asyari Usman Jakarta FNN - Kamis (03/09). Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral yang independen mulai dilihat oleh penguasa sebagai penghalang kesewenangan. Tim ekonomi Presiden Jokowi, sedang membuat ancang-ancang untuk melucuti BI dari independensinya. UU tentang BI No. 3/2004 yang mencegah campur tangan dari pihak mana pun, kini sedang diutak-atik. Akan direvisi untuk merampas independensi BI itu. Inisiatifnya dari DPR. Pasal 9 UU ini menegaskan tentang posisi bebas BI. Tidak ada yang boleh campur tangan. BI berada di luar sistem politik. Bahkan, Presiden sebagai penguasa eksekutif tertinggi pun tidak bisa mengarahkan BI. Pemerintah sedang menghadapi defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sampai 853 T. Defisit ini diakibatkan wabah Covid-19. Pemerintah harus menambah pengeluaran hampir 700 T. Sebenarnya, yang murni untuk penanganan wabah ini hanya 75 T. Selebihnya untuk berbagai skema, termasuk porsi yang cukup besar untuk penyelamatan korporasi. Dimintalah perubahan APBN ke DPR. Tapi, sumber dana tidak ada. Mencari utang baru tidak mudah. Surat Berharga Negara (SBN) yang selama ini diandalkan untuk menjaring duit, tampaknya tidak mudah dijual. Bahkan, sejumlah investor non-residence (asing) dilaporkan melepas SBN senilai 130 T. Terdesak oleh sumber dana yang tidak ada itu, DPR meminta agar BI mencetak uang sebanyak 600 T. Gubernur BI menolak. Para penguasa merasa BI menjadi sandungan. BI menolak karena mencetak uang secara sembarangan bertentang dengan UU dan prinsip pengendalian inflasi. BI beralasan, inflasi tinggi (hyper inflation) akan melanda Indonesia jika pencetakan uang 600 T itu dilaksanakan. Kelihatannya, DPR dan pemerintah naik pitam. Melalui kolaborasi dengan DPR, pemerintah bisa melumpuhkan BI. Dan itulah yang sedang mereka lakukan lewat RUU perubahan UU No. 3/2004. Pasal 9 yang diandalkan BI, akan dicoret. Diganti dengan Pasal 9 huruf (a), (b), dan (c). Pasal 9 versi baru itu akan menjadi pedoman pembentukan semacam ‘superbody’ yang bakal menjadi ‘atasan’ BI. Lembaga super itu disebut Dewan Moneter (DM). Akan diketuai oleh Menteri Keuangan dengan anggota salah satu menteri bidang ekonomi, Gubernur BI dan Deputi Senior Guberbur BI, dan satu orang dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Pasal 9c sangat krusial. Gubernur BI memang diberi ruang untuk ‘melawan’ pemerintah. Tetapi, Gubernur diperkirakan sulit untuk tidak sejalan dengan keinginan mayoritas DM. Sebab, pemerintah bisa menggunakan ‘taktik khusus’ dengan kekuasaan politiknya. Ingat, ada pula usul untuk menambahkan beberapa menteri sebagai penasihat DM. Pimpinan BI akan terjepit. Bayangkan saja bagaimana nanti ‘nasihat’ dari para menteri kepada Gubernur BI yang ‘melawan’. Sebetulnya, untuk urusan stabilitas ekonomi-keuangan sudah ada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Di situ juga ada menteri keuangan. Cuma, wewenang KSSK tidak bisa sampai mendikte BI. Jika perubahan UU No. 3/2004 itu disahkan –dan tampaknya kecil kemungkinan tidak disahkan karena DPR praktis sudah menjadi stempel penguasa— maka selesailah riwayat BI sebagai lembaga moneter yang bebas dari intervensi politik. BI akan dikerangkeng dengan pembentukan DM seperti dijelaskan di atas. DM akan bertugas membantu pemerintah dan BI dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter. Tidak ada lagi cerita BI bekerja hanya untuk kepentingan ‘the best practice of monetary system’. BI tidak lagi hadir untuk praktik terbaik sistem moneter. Keberadaan para ahli moneter di bank sentral itu kemungkinan menjadi ‘redundant’ alias ‘mubazir’. Cerita cetak uang untuk defisit APBN, berawal dari usul ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah. Menurut Said, cetak uang itu perlu dilakukan karena pendapatan pemerintah menurun sedangkan pengeluaran bertambah. Defisit APBN melebar secara signifikan. Semua ini akibat Covid-19, kata para pejabat tinggi. Haruskah diterima ‘reasoning’ dari pemerintah yang mengkambinghitamkan wabah Corona? Sepintas tampak seperti itu. Jika hanya berdasarkan kalkulasi APBN Corona 2020 saja. Tetapi, kalau dicermati lebih jauh, akan terlihat berbagai penyebab lain. Bukan hanya Covid-19. Sebab, salah kelola keuangan negara telah berlangsung bertahun-tahun. Khususnya, sejak Jokowi memberikan penekanan berlebihan pada proyek-proyek infrastruktur yang menyedot banyak dana. Para ahli dan pengamat masalah ekonomi-keuangan menentang pembentukan Dewan Moneter. Mereka melihat langkah ini merupakan kemunduran bagi Indonesia. Kalau alasan utamanya adalah untuk membantu BI dan pemerintah. DM hanya ada di era Soekarno. Kalau di masa Soekarno, jangankan pembentukan Dewan Moneter, dirinya sendiri pun dia angkat menjadi presiden seumur hidup.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Ahok Komut, Pertamina Untung Jadi Buntung

by Edy Mulyadi Jakarta FNN - Rabu (26/08). Sepanjang semester 1-2020 Pertamina mencatat rugi bersih Rp11,3 triliun. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya, BUMN ini meraup laba Rp38,5 triliun. Ini terjadi ketika Ahok didapuk menjadi Komut Pertamina. Padahal, waktu mengangkat Si Mulut Jamban ini, Eric Tohir mengatakan Ahok ditugaskan untuk mendobrak dan menyikat mafia migas. Dia juga diharapkan bisa mempercepat pembangunan kilang. Sampai kini, publik tidak mendengar ada satu pun mafia migas yang diberangus. Soal pembangunan kilang, setali tiga uang pula. Jangankan dibangun, kabarnya sayup-sayup pun tak terdengar. Soal Ahok yang tegas dan berani, itu hanya mitos yang dibangunnya dengan media. Yang benar, manusia ini hobi marah-marah dan membentak-bentak. Mulutnya kasar. Ucapannya kotor hingga dia juluki Si Mulut Jamban. Di awal penugasannya, Ahok sesumbar, bahwa merem saja Pertamina bisa untung. Tapi memang harus diawasi. Dengan arogan dia juga mengklaim, penugasannya itu untuk mengembalikan uang Pertamina. Kini faktanya dia justru membuat Pertamina kehilangan uang. Soal memperbaiki kinerja keuangan Pertamina, alih-alih mempertahankan apalagi meningkatkan laba, yang terjadi justru Pertamina dihantam rugi sangat besar, Rp11,3 triliun. Jangan jadikan pandemi Covid-19, situasi global atau yang lainnya sebagai dalih untuk menutupi kelemahan dan ketidakbecusan. Banyak perusahaan minyak dunia lainnya masih bisa memetik untung, kok. Sebut saja, Sinopec Cina. Labanya justru naik dari 14,76 miliar yuan jadi 19,78 miliar yuan. Lalu, Shell Belanda. Labanya memang turun dari US$3,5 miliar, tapi tetap masih untung US$2,9 miliar. Bahkan Petronas, juga masih mencetak laba US$4,5 miliar, walau turun dari Laba US$14,2. Jadi, tidak perlu mencari-cari justifikasi untuk menutupi ketidakmampuan. Apalagi, selama berbulan-bulan harga minyak dunia anjlok, Pertamina tetap menjual BBM di dalam negeri dengan harga tinggi. Sebaliknya di banyak negara lain, harga jual BBM mereka di pasar lokal dipangkas gila-gilaan. Di Malaysia, harga BBM selevel Pertamax cuma dibanderol Rp4.250/liter. Di AS, BBM setara premium cuma dijual Rp2.500/liter. Berbekal serenceng fakta tersebut, Ahok sama sekali tidak layak menjadi Komut Pertamina. Terlebih lagi rekam jejaknya selama di DKI amat buruk. Dia diduga kuat terlibat sejumlah kasus korupsi senilai ratusan miliar. Skandal Bus Trans Jakarta, RS Sumber Waras, pembelian lahan milik DKI di Cengkareng, dan lainnya. Silakan baca buku _Korupsi Ahok_ karya Marwan Batubara. Jangan berdalih, korupsinya tidak terbukti di hadapan hukum. Bagaimana mau diadili dan terbukti, jika dipanggil untuk diperiksa saja tidak?! Bukan rahasia bahwa kejahatan manusia ini dilindungi kekuasaan. Eric Tohir harus bertanggungjawab. Dia musti segera mencopot Ahok. Eric tidak boleh membuat BUMN, apalagi Pertamina, makin babak-belur dan akhirnya hancur-lebur. Penulis adalah Presidium Aliansi Selamatkan Merah Putih (ASMaPi)

BI Menjadi Rentenir Saat Krisis Ekonomi Parah?

by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Ahad (23/08). Pandemi corona membuat mata masyarakat terbuka lebar. Betapa lemahnya ekonomi Indonesia. Kebijakan fiskal harus di-doping dengan dua dosis. Pertama, defisit anggaran ditingkatkan, dari tiga persen menjadi tidak terbatas. Tetapi tetap tidak memadai. Maka diperlukan doping kedua dengan menarik Bank Indonesia (BI) untuk membiayai defisit anggaran tersebut. BI diminta membeli sebagian besar surat utang negara di pasar primer?. Bahasa awamnya adalah mencetak uang. Direksi BI sudah berulang-ulang menyatakan tidak mau mencetak uang. BI iuga tidak mau membeli surat utang negara di pasar primer. Apalagi aturan tentang larangan itu masih berlaku di UU tentang BI. Ancamannnya adalah menghabiskan sisa hidup hari tua di dalam dinding penjara menanti mereka bila kekuasaan ini telah berganti kelak. Kedua doping tersebut sebenarnya nyata-nyata ilegal. Melanggar UU tentang Keuangan Negara dan UU tentang BI. Tetapi diterabas dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2020 yang kemudian disahkan menjadi UU No 2/2020. Untuk melengkapi doping ini agar sempurna, Perppu dilengkapi pasal “kekebalan” hukum. Mereka tidak bisa dituntut dalam kondisi apapun, meskipun doping tersebut ternyata salah guna, atau disalahgunakan, alias diselewengkan. Tapi perlu diingat, undang-undang yang berlawanan dengan UUD dan dibentuk dengan niat kurang baik, tidak bisa menghalangi hukum kebenaran, ketika kebenaran itu telah datang. Kebijakan moneter BI saat ini sangat tidak memadai untuk menahan krisis ekonomi. Bahkan bisa kontra produktif. BI seharusnya menurunkan suku bunga acuan (BI-rate) secara agresif. Tidak seperti sekarang, penurunan BI-rate tidak banyak arti. Hanya turun satu persen sejak 23 Januari 2020 hingga sekarang. Masing-masing turun 0,25 persen pada 20 februari 2020, 19 Maret 2020, 18 Juni 2020, dan terakhir 16 Juli 2020. BI-rate bertahan di 4 persen sampai sekarang. Sebagai perbandingan, Bank Sentral AS (The FED) sangat agresif menurunkan suku bunga acuan (FEd-rate) dalam menghadapi pandemi ini. FED-rate turun 1,5 persen dalam waktu kurang dari dua minggu. Turun 0,5 persen pada 3 Maret 2020 dan turun 1 persen pada 15 Maret 2020, membuat FED-rate mendekati 0 persen. Bank of England juga menurunkan bunga acuan secara agresif. Turun dari 0,75 persen menjadi 0,25 persen pada 16 Maret 2020. Kemudian turun lagi menjadi 0,1 persen pada 19 Maret 2020. Penurunan BI-rate sangat penting bagi pemulihan ekonomi. Karena, kalau BI-rate turun maka suku bunga pinjaman juga turun. BI-rate ditetapkan 4 persen di tengah krisis ekonomi yang parah ini sangat tidak masuk akal. Akibatnya, suku bunga pinjaman perbankan tetap tinggi. Saat ini masih setidak-tidaknya 8 persen, bahkan ada yang di atas 10 persen. Suku bunga pinjaman yang tinggi menjadi beban pemulihan ekonomi. BI-rate 4 persen juga membuat suku bunga (yield) obligasi (korporasi maupun pemerintah) tetap tinggi. Jauh lebih tinggi dari yield obligasi sejenis di Vietnam, Philipina atau Thailand. Oleh karena itu, BI seharusnya menurunkan BI-rate menjadi 1 persen atau 1,5 persen, untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Bukannya menurunkan BI-rate, BI dan pemerintah malah sepakat menjalankan skema burden-sharing. Artinya, BI membeli surat utang negara dengan bunga efektif 0 persen. Karena BI akan mengembalikan kepada pemerintah semua bunga yang diterima. Ini kebijakan yang ngawur dan amburadul. Burden sharing merupakan istilah kamuflase saja. Istilah ini bisa masuk kategori “pembodohan atau pembohongan pubik”. Karena burden sharing pada dasarnya adalah mencetak uang, di mana BI membeli surat utang negara dengan bunga efektif nol persen. Dalam hal ini, BI sebenarnya tidak menanggung burden sama sekali. Karena uang BI berasal dari hasil “mencetak uang”. Kebijakan moneter di atas sangat tidak pantas dilakukan oleh bank sentral negara terbesar ke empat dunia, anggota G20. Ini merupakan kebijakan moneter diskriminatif terhadap warga negara. Ini sama dengan pertarungan Korporasi, UMKM dan masyarakat melawan pemerintah. Kenapa pemerintah diberi suku bunga nol persen, tetapi masyarakat warga negara lainnya harus dibebani bunga tinggi? BI seharusnya mengambil kebijakan menurunkan BI-rate dan suku bunga pinjaman, sehingga masyarakat dapat menikmati manfaat yang sama. Tetapi, BI tidak melakukannya. Pertanyaannya, kenapa? Ada apa? Siapa yang diuntungkan? Di tengah krisis dan resesi ekonomi, bank besar di Indonesia (BUKU 4) masih dapat menikmati margin bunga bersih, atau Net Interest Margin (NIM) sebesar 5,09 persen pada April 2020. Sungguh besar sekali. BI bagaikan rentenir. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Selama Jokowi, Ekonmi Hanya Tumbuh 5,03%

by Anthony Budiawan Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 2015-2019 hanya rata-rata 5,03 persen per tahun. Capaian ini tentu saja lebih rendah dari dua periode lima tahunan sebelumnya, yang masing-masing sebesar 5,64 persen per tahun (2005-2009) dan 5,80 persen per tahun (2010-2014). Pertumbuhan rata-rata 5,03 persen ini di bawah target atau janji pemerintah Jokoswi yang dipatok angka pertumbuhan 7 persen per tahun. Seharusnya pemerintah menjelaskan kenapa janji tersebut tidak bisa dipenuhi. Lebih baik lagi kalau disertai minta maaf. Rakyat akan menghargai sikap seperti itu. Sikap kesatria untuk mengakui kekurangan. Penjelasan mengapa target tidak tercapai? Itu sangat penting untuk diketahui rakyat. Mungkin saja rakyat bisa memahami dan memaafkan ketikamampuan pemerintah Jokowi. Karena dengan penjelasan ini, mencerminkan pemerintah mengerti permasalahan sebenarnya. Mengerti situasi objektif ekonomi yang terjadi, sehingga dapat mewujudkan janjinya di kemudian hari. Pemerintah memang mencoba menjelaskan alasannya. Katanya, penurunan ekonomi tahun-tahun terakhir ini akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Alasan ini sangat sulit untuk dipahami dan diterima . Karena ekonomi nergara tetangga yang masih satu kawasan ASEAN, Vietnam dan Philipina ternyata malah naik pada periode 2015-2019. Pertumbuhan Vietnam rata-rata 6,76 persen per tahun (2015-2019). Sedangkan Philipina naik menjadi 6,56 persen per tahun untuk periode yang sama. Jauh lebih tinggi dari pertumbuhan Indonesia yang hanya rata-rata 5,03 persen per tahun. Oleh karena itu, alasan perang dagang global Amerika dan China terlalu mengada-ada. Juga menggampangkan masalah, sehingga kurang bisa diterima. Pembenaran juga selalu mewarnai alasan mengapa janji pertumbuhan ekonomi tidak tercapai. Pemerintah dan para pendukungnya sering menyatakan, meskipun pertumbuhan Indonesia melemah tetapi masih menjadi salah satu terbaik di kelompok G20, menempati peringkat ketiga. Dan seterusnya. Padahal membandingkan ekonomi Indonesia dengan negara-negara G20 adalah sebuah kesalahan. Pertama, di kelompok G20, sudah sejak lama pertumbuhan Indonesia selalu di peringkat tinggi. Tahun 2008 dan 2009, pertumbuhan Indonesia di peringkat 3. Tahun 2012 di peringkat 2. Bahkan pada tahun 1994 hingga 1996 pertumbuhan Indonesia juga sudah di peringkat 3 di kelompok negara-negara G20. Jadi, pertumbuhan ketiga tertinggi di kelompok G20 bukan sebuah prestasi. Sudah sejak tahun 1994. Kedua, negara yang masuk kelompok G20 sebagian besar adalah negara maju yang mempunyai pendapatan per kapita sudah sangat tinggi. Ada yang di atas U$ 40.000, bahkan U$ 50.000 dollar. Sedangkan Indonesia hanya sekitar U$ 4.000 dolar AS. Kondisi ekonomi di kebanyakan negara maju tersebut sudah mendekati full-employment. Sehingga terjadi limitasi tenaga kerja untuk ekspansi. Disamping upah tenaga kerja juga sangat tinggi. Sehingga, perusahaan-perusahaan di negara maju (multi-nasional) terdorong melakukan ekspansi ke negara berkembang yang mempunyai upah buruh lebih murah. Kenyataan ini menjelaskan, mengapa pertumbuhan di negara berkembang lebih tinggi dari negara maju? Dalam hal ini, Vietnam dan Philipina lebih berhasil menarik investasi global dibandingkan Indonesia, sehingga pertumbuhan ekonomi kedua negara ini lebih tinggi. Yang lebih mengkhawatirkan, banyak pihak, termasuk pejabat, membanggakan pertumbuhan Indonesia yang sedang menurun dengan cara yang kurang pantas. Misalnya dengan merendahkan ekonomi negara G20 lainnya. Merendahkan ekonomi sesama negara ASEAN. Kita sering dengar pernyataan, “pertumbuhan Indonesia lebih baik dari ... dari negara tetangga”. Pernyataan seperti ini sangat tidak pantas. Melanggar etika dan sopan santun hubungan internasional. Seolah-olah mereka gagal mengelola ekonominya. Seolah-olah mereka lebih bodoh dari kita. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Desentralisasi Pemulihan Ekonomi

by Andi Rahmat Jakarta FNN – Kamis (20/08). Persoalan perekonomian kita bukan lagi soal apakah ekonomi kita sudah mengalami resesi atau belum mengalami resesi. Faktanya, perekonomian Indonesia dalam dua quartal berturut-turut mengalami kontraksi yang berat. Perekonomian tumbuh negatif. Komponen utama pembentuk PDB mengalami tekanan hebat. Konsumsi Rumah Tangga, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), harga yang deflatoir, dan deretan indikator makro lainnya semua menunjukkan situasi “ darurat” perekonomian itu. Namun Indonesia tidak sendiri dalam menghadapi situasi ini. Hampir semua negara mengalami tekanan ekonomi yang hebat. Dari kelompok G20, hanya china yang tumbuh positif di quartal kedua, sebesar 3,2%. Perekonomian Indonesia juga terpapar pula resiko “ menyendiri” dalam menghadapi persoalan ini. Sistem moneter kita mungkin relatif kuat karena adanya mekanisme “ tolong-menolong” antar bank sentral, baik dalam bentuk Bilateral Swap Arrangement (BSW) maupun Repo Line Arrangement (RLA), yang melapisi daya tahan Bank Indonesia. Tetapi sistem fiskal kita terlihat rentan. Kondisi ini karena makin sempitnya ruang manuver fiskal yang diperlukan dalam mengungkit perekonomian. Ditambah lagi, dengan tidak mudah untuk memperoleh “bantuan“ internasional. Baik dari institusi maupun swasta global yang juga tengah disibukkan dengan pemburukan ekonomi di berbagai negara. Tulisan ini tidak bertujuan mendiskusikan soal tekanan pembiayaan pada Fiskal kita. Fokus tulisan ini adalah pada upaya untuk mengoptimalkan seefektif mungkin sumber daya Fiskal untuk mengungkit perekonomian. Apalagi dalam situasi dimana waktu yang terbatas, dan kerumitan birokrasi bisa menumpulkan efektivitas kebijakan Fiskal. Juga memperkuat desentralisasi dalam pemulihan ekonomi merupakan pilihan terbaik. Semestinya ini dijadikan opsi utama kebijakan pemulihan ekonomi. Desentralisasi dalam pemulihan ekonomi berimplikasi pada dua makna. Yang pertama, melibatkan semaksimal mungkin pemerintahan daerah dalam pemulihan ekonomi. Yang kedua, menanggalkan asumsi bahwa sentralisasi kebijakan pemulihan ekonomi akan membuat pemulihan ekonomi menjadi lebih cepat, efisien dan sederhana. Kalau kita melihat kembali statisik pertumbuhan ekonomi, sejak otonomi daerah mulai diberlakukan, yang didalamnya juga termasuk konsepsi perimbangan keuangan pusat dan daerah (baca desentralisasi fiskal), maka kita akan menemukan geliat pertumbuhan ekonomi lokal dalam dua dekade terakhir. Bahkan, dibeberapa wilayah, pertumbuhan ekonominya bisa lebih tinggi dari rata-rata nasional. Demikian juga dengan gairah perekonomian lokal. Desentralisasi terbukti merangsang local creative dalam mendorong aktivitas perekonomian. Dalam dua dekade terakhir, banyak sekali pelaku usaha lokal yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi pemain kuat nasional. Sekurang-kurangnya, menjadi local champion di daerah mereka masing-masing. Desentralisasi merupakan pasangan serasi bagi lanskap perekonomian Indonesia saat ini. Meminjam istilah John Naisbitt, desentralisasi merupakan cerminan dari paradoks global, makin terintegrasi perekonomian, makin kuat pula peran dari unit-unit terkecilnya. Itulah yang tercermin pada makin besarnya sumbangsih perekonomian daerah dalam membentuk wajah Produk Domestik Bruto (PDB). Didalam Nota Keuangan RAPBN 2021, terdapat alokasi sebesar Rp. 796,3 triliun yang dialokasikan dalam bentuk Transfer Ke Daerah dan Dana Desa ( TKDD ). Jumlah ini meningkat 4,2% dibanding tahun 2020. Dipandang dari sudut ini, kelihatannya terdapat affirmasi terhadap peran pemerintah daerah dan desa dalam pemulihan ekonomi nasional. Namun sesungguhnya proporsi ini menjadi tidak “menggembirakan”. Apalagi melihat proporsi alokasi TKDD dibandingkan dengan rencana Belanja RAPBN yang mencapai Rp. 2.747,5 trilliun. Alokasi TKDD hanya 28,98% dari total RAPBN 2021. 71,02% RAPBN 2021 dikonsentrasikan dalam wujud Belanja Pemerintah Pusat. Pada APBN 2018, dari Rp. 2.220,7 trilliun pagu Belanja Negara, alokasi TKDDnya berjumlah Rp. 766,2 triliun. Proporsi TKDD terhadap belanja negara sebesar 34,5%. Sedang belanja Pemerintah Pusat sebesar 65,5%. Demikian juga pada APBN 2019, dari pagu Belanja Negara sebesar Rp. 2.461,11 triliun, alokasi TKDDnya sebesar Rp. 826,77 triliun. Proporsi TKDD-nya sebesar 33,59%. Tren penurunan proporsi ini menunjukkan meningkatnya upaya resentralisasi kebijakan ekonomi ke tangan pemerintah pusat. Kebijakan reversal semacam ini berlawanan dengan tujuan asasi dari pemberian otonomi kepada daerah. Sekaligus juga menegasikan peran vital perekonomian daerah dalam membantu pemulihan ekonomi secara nasional. Apakah kebijakan resentralisasi ini akan menyederhanakan kordinasi pemulihan ekonomi nasional? Dengan landskap regulasi dan struktur pemerintahan Indonesia, nampaknya upaya resentralisasi ini justru akan menciptakan “bottlenecking” dalam upaya eksekusi kebijakan. Yang diperlukan sebetulnya adalah pembesaran proporsi alokasi TKDD yang memungkinkan percepatan aksi counter-cyclical lokal dalam membalikkan situasi perekonomian. Pelaku usaha lokal yang memiliki keterkaitan erat dengan fungsi multiplier fiskal dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perlu “ dibonceng” dalam skala massif. Tulisan ini sekaligus juga menghimbau kepada pihak-pihak yang mendapatkan mandat untuk menyusun RUU APBN 2021 yang akan selesai dibahas pada bulan Oktober nanti. Untuk memulihkan proporsi yang patut bagi alokasi TKDD yang visibel bagi pemulihan ekonomi nasional. Setidaknya, 35% dari pagu Belanja Negara dialokasikan kembali kepada TKDD. Sebagaimana yang pernah dilakukan, di dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan alokasi tambahan yang baru itu, diatur pula mengenai suatu payung hukum peraturan dibawah Undang-Undang yang memungkinkan Pemerintah Daerah untuk mengeksekusinya secara cepat. Apabila diperlukan, pengaturan mengenai tata laksana pengadaan barang dan jasanya juga diatur secara khusus dibawah kerangka pemulihan ekonomi nasional Dirgahayu NKRI ke 75. Selamat Tahun Baru 1 Muharram 1442 Hijriah. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI.