EKONOMI
Semakin Otoriter, Pemerintah Akan Rampas Independensi BI
by Asyari Usman Jakarta FNN - Kamis (03/09). Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral yang independen mulai dilihat oleh penguasa sebagai penghalang kesewenangan. Tim ekonomi Presiden Jokowi, sedang membuat ancang-ancang untuk melucuti BI dari independensinya. UU tentang BI No. 3/2004 yang mencegah campur tangan dari pihak mana pun, kini sedang diutak-atik. Akan direvisi untuk merampas independensi BI itu. Inisiatifnya dari DPR. Pasal 9 UU ini menegaskan tentang posisi bebas BI. Tidak ada yang boleh campur tangan. BI berada di luar sistem politik. Bahkan, Presiden sebagai penguasa eksekutif tertinggi pun tidak bisa mengarahkan BI. Pemerintah sedang menghadapi defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sampai 853 T. Defisit ini diakibatkan wabah Covid-19. Pemerintah harus menambah pengeluaran hampir 700 T. Sebenarnya, yang murni untuk penanganan wabah ini hanya 75 T. Selebihnya untuk berbagai skema, termasuk porsi yang cukup besar untuk penyelamatan korporasi. Dimintalah perubahan APBN ke DPR. Tapi, sumber dana tidak ada. Mencari utang baru tidak mudah. Surat Berharga Negara (SBN) yang selama ini diandalkan untuk menjaring duit, tampaknya tidak mudah dijual. Bahkan, sejumlah investor non-residence (asing) dilaporkan melepas SBN senilai 130 T. Terdesak oleh sumber dana yang tidak ada itu, DPR meminta agar BI mencetak uang sebanyak 600 T. Gubernur BI menolak. Para penguasa merasa BI menjadi sandungan. BI menolak karena mencetak uang secara sembarangan bertentang dengan UU dan prinsip pengendalian inflasi. BI beralasan, inflasi tinggi (hyper inflation) akan melanda Indonesia jika pencetakan uang 600 T itu dilaksanakan. Kelihatannya, DPR dan pemerintah naik pitam. Melalui kolaborasi dengan DPR, pemerintah bisa melumpuhkan BI. Dan itulah yang sedang mereka lakukan lewat RUU perubahan UU No. 3/2004. Pasal 9 yang diandalkan BI, akan dicoret. Diganti dengan Pasal 9 huruf (a), (b), dan (c). Pasal 9 versi baru itu akan menjadi pedoman pembentukan semacam ‘superbody’ yang bakal menjadi ‘atasan’ BI. Lembaga super itu disebut Dewan Moneter (DM). Akan diketuai oleh Menteri Keuangan dengan anggota salah satu menteri bidang ekonomi, Gubernur BI dan Deputi Senior Guberbur BI, dan satu orang dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Pasal 9c sangat krusial. Gubernur BI memang diberi ruang untuk ‘melawan’ pemerintah. Tetapi, Gubernur diperkirakan sulit untuk tidak sejalan dengan keinginan mayoritas DM. Sebab, pemerintah bisa menggunakan ‘taktik khusus’ dengan kekuasaan politiknya. Ingat, ada pula usul untuk menambahkan beberapa menteri sebagai penasihat DM. Pimpinan BI akan terjepit. Bayangkan saja bagaimana nanti ‘nasihat’ dari para menteri kepada Gubernur BI yang ‘melawan’. Sebetulnya, untuk urusan stabilitas ekonomi-keuangan sudah ada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Di situ juga ada menteri keuangan. Cuma, wewenang KSSK tidak bisa sampai mendikte BI. Jika perubahan UU No. 3/2004 itu disahkan –dan tampaknya kecil kemungkinan tidak disahkan karena DPR praktis sudah menjadi stempel penguasa— maka selesailah riwayat BI sebagai lembaga moneter yang bebas dari intervensi politik. BI akan dikerangkeng dengan pembentukan DM seperti dijelaskan di atas. DM akan bertugas membantu pemerintah dan BI dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter. Tidak ada lagi cerita BI bekerja hanya untuk kepentingan ‘the best practice of monetary system’. BI tidak lagi hadir untuk praktik terbaik sistem moneter. Keberadaan para ahli moneter di bank sentral itu kemungkinan menjadi ‘redundant’ alias ‘mubazir’. Cerita cetak uang untuk defisit APBN, berawal dari usul ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah. Menurut Said, cetak uang itu perlu dilakukan karena pendapatan pemerintah menurun sedangkan pengeluaran bertambah. Defisit APBN melebar secara signifikan. Semua ini akibat Covid-19, kata para pejabat tinggi. Haruskah diterima ‘reasoning’ dari pemerintah yang mengkambinghitamkan wabah Corona? Sepintas tampak seperti itu. Jika hanya berdasarkan kalkulasi APBN Corona 2020 saja. Tetapi, kalau dicermati lebih jauh, akan terlihat berbagai penyebab lain. Bukan hanya Covid-19. Sebab, salah kelola keuangan negara telah berlangsung bertahun-tahun. Khususnya, sejak Jokowi memberikan penekanan berlebihan pada proyek-proyek infrastruktur yang menyedot banyak dana. Para ahli dan pengamat masalah ekonomi-keuangan menentang pembentukan Dewan Moneter. Mereka melihat langkah ini merupakan kemunduran bagi Indonesia. Kalau alasan utamanya adalah untuk membantu BI dan pemerintah. DM hanya ada di era Soekarno. Kalau di masa Soekarno, jangankan pembentukan Dewan Moneter, dirinya sendiri pun dia angkat menjadi presiden seumur hidup.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Ahok Komut, Pertamina Untung Jadi Buntung
by Edy Mulyadi Jakarta FNN - Rabu (26/08). Sepanjang semester 1-2020 Pertamina mencatat rugi bersih Rp11,3 triliun. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya, BUMN ini meraup laba Rp38,5 triliun. Ini terjadi ketika Ahok didapuk menjadi Komut Pertamina. Padahal, waktu mengangkat Si Mulut Jamban ini, Eric Tohir mengatakan Ahok ditugaskan untuk mendobrak dan menyikat mafia migas. Dia juga diharapkan bisa mempercepat pembangunan kilang. Sampai kini, publik tidak mendengar ada satu pun mafia migas yang diberangus. Soal pembangunan kilang, setali tiga uang pula. Jangankan dibangun, kabarnya sayup-sayup pun tak terdengar. Soal Ahok yang tegas dan berani, itu hanya mitos yang dibangunnya dengan media. Yang benar, manusia ini hobi marah-marah dan membentak-bentak. Mulutnya kasar. Ucapannya kotor hingga dia juluki Si Mulut Jamban. Di awal penugasannya, Ahok sesumbar, bahwa merem saja Pertamina bisa untung. Tapi memang harus diawasi. Dengan arogan dia juga mengklaim, penugasannya itu untuk mengembalikan uang Pertamina. Kini faktanya dia justru membuat Pertamina kehilangan uang. Soal memperbaiki kinerja keuangan Pertamina, alih-alih mempertahankan apalagi meningkatkan laba, yang terjadi justru Pertamina dihantam rugi sangat besar, Rp11,3 triliun. Jangan jadikan pandemi Covid-19, situasi global atau yang lainnya sebagai dalih untuk menutupi kelemahan dan ketidakbecusan. Banyak perusahaan minyak dunia lainnya masih bisa memetik untung, kok. Sebut saja, Sinopec Cina. Labanya justru naik dari 14,76 miliar yuan jadi 19,78 miliar yuan. Lalu, Shell Belanda. Labanya memang turun dari US$3,5 miliar, tapi tetap masih untung US$2,9 miliar. Bahkan Petronas, juga masih mencetak laba US$4,5 miliar, walau turun dari Laba US$14,2. Jadi, tidak perlu mencari-cari justifikasi untuk menutupi ketidakmampuan. Apalagi, selama berbulan-bulan harga minyak dunia anjlok, Pertamina tetap menjual BBM di dalam negeri dengan harga tinggi. Sebaliknya di banyak negara lain, harga jual BBM mereka di pasar lokal dipangkas gila-gilaan. Di Malaysia, harga BBM selevel Pertamax cuma dibanderol Rp4.250/liter. Di AS, BBM setara premium cuma dijual Rp2.500/liter. Berbekal serenceng fakta tersebut, Ahok sama sekali tidak layak menjadi Komut Pertamina. Terlebih lagi rekam jejaknya selama di DKI amat buruk. Dia diduga kuat terlibat sejumlah kasus korupsi senilai ratusan miliar. Skandal Bus Trans Jakarta, RS Sumber Waras, pembelian lahan milik DKI di Cengkareng, dan lainnya. Silakan baca buku _Korupsi Ahok_ karya Marwan Batubara. Jangan berdalih, korupsinya tidak terbukti di hadapan hukum. Bagaimana mau diadili dan terbukti, jika dipanggil untuk diperiksa saja tidak?! Bukan rahasia bahwa kejahatan manusia ini dilindungi kekuasaan. Eric Tohir harus bertanggungjawab. Dia musti segera mencopot Ahok. Eric tidak boleh membuat BUMN, apalagi Pertamina, makin babak-belur dan akhirnya hancur-lebur. Penulis adalah Presidium Aliansi Selamatkan Merah Putih (ASMaPi)
BI Menjadi Rentenir Saat Krisis Ekonomi Parah?
by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Ahad (23/08). Pandemi corona membuat mata masyarakat terbuka lebar. Betapa lemahnya ekonomi Indonesia. Kebijakan fiskal harus di-doping dengan dua dosis. Pertama, defisit anggaran ditingkatkan, dari tiga persen menjadi tidak terbatas. Tetapi tetap tidak memadai. Maka diperlukan doping kedua dengan menarik Bank Indonesia (BI) untuk membiayai defisit anggaran tersebut. BI diminta membeli sebagian besar surat utang negara di pasar primer?. Bahasa awamnya adalah mencetak uang. Direksi BI sudah berulang-ulang menyatakan tidak mau mencetak uang. BI iuga tidak mau membeli surat utang negara di pasar primer. Apalagi aturan tentang larangan itu masih berlaku di UU tentang BI. Ancamannnya adalah menghabiskan sisa hidup hari tua di dalam dinding penjara menanti mereka bila kekuasaan ini telah berganti kelak. Kedua doping tersebut sebenarnya nyata-nyata ilegal. Melanggar UU tentang Keuangan Negara dan UU tentang BI. Tetapi diterabas dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2020 yang kemudian disahkan menjadi UU No 2/2020. Untuk melengkapi doping ini agar sempurna, Perppu dilengkapi pasal “kekebalan” hukum. Mereka tidak bisa dituntut dalam kondisi apapun, meskipun doping tersebut ternyata salah guna, atau disalahgunakan, alias diselewengkan. Tapi perlu diingat, undang-undang yang berlawanan dengan UUD dan dibentuk dengan niat kurang baik, tidak bisa menghalangi hukum kebenaran, ketika kebenaran itu telah datang. Kebijakan moneter BI saat ini sangat tidak memadai untuk menahan krisis ekonomi. Bahkan bisa kontra produktif. BI seharusnya menurunkan suku bunga acuan (BI-rate) secara agresif. Tidak seperti sekarang, penurunan BI-rate tidak banyak arti. Hanya turun satu persen sejak 23 Januari 2020 hingga sekarang. Masing-masing turun 0,25 persen pada 20 februari 2020, 19 Maret 2020, 18 Juni 2020, dan terakhir 16 Juli 2020. BI-rate bertahan di 4 persen sampai sekarang. Sebagai perbandingan, Bank Sentral AS (The FED) sangat agresif menurunkan suku bunga acuan (FEd-rate) dalam menghadapi pandemi ini. FED-rate turun 1,5 persen dalam waktu kurang dari dua minggu. Turun 0,5 persen pada 3 Maret 2020 dan turun 1 persen pada 15 Maret 2020, membuat FED-rate mendekati 0 persen. Bank of England juga menurunkan bunga acuan secara agresif. Turun dari 0,75 persen menjadi 0,25 persen pada 16 Maret 2020. Kemudian turun lagi menjadi 0,1 persen pada 19 Maret 2020. Penurunan BI-rate sangat penting bagi pemulihan ekonomi. Karena, kalau BI-rate turun maka suku bunga pinjaman juga turun. BI-rate ditetapkan 4 persen di tengah krisis ekonomi yang parah ini sangat tidak masuk akal. Akibatnya, suku bunga pinjaman perbankan tetap tinggi. Saat ini masih setidak-tidaknya 8 persen, bahkan ada yang di atas 10 persen. Suku bunga pinjaman yang tinggi menjadi beban pemulihan ekonomi. BI-rate 4 persen juga membuat suku bunga (yield) obligasi (korporasi maupun pemerintah) tetap tinggi. Jauh lebih tinggi dari yield obligasi sejenis di Vietnam, Philipina atau Thailand. Oleh karena itu, BI seharusnya menurunkan BI-rate menjadi 1 persen atau 1,5 persen, untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Bukannya menurunkan BI-rate, BI dan pemerintah malah sepakat menjalankan skema burden-sharing. Artinya, BI membeli surat utang negara dengan bunga efektif 0 persen. Karena BI akan mengembalikan kepada pemerintah semua bunga yang diterima. Ini kebijakan yang ngawur dan amburadul. Burden sharing merupakan istilah kamuflase saja. Istilah ini bisa masuk kategori “pembodohan atau pembohongan pubik”. Karena burden sharing pada dasarnya adalah mencetak uang, di mana BI membeli surat utang negara dengan bunga efektif nol persen. Dalam hal ini, BI sebenarnya tidak menanggung burden sama sekali. Karena uang BI berasal dari hasil “mencetak uang”. Kebijakan moneter di atas sangat tidak pantas dilakukan oleh bank sentral negara terbesar ke empat dunia, anggota G20. Ini merupakan kebijakan moneter diskriminatif terhadap warga negara. Ini sama dengan pertarungan Korporasi, UMKM dan masyarakat melawan pemerintah. Kenapa pemerintah diberi suku bunga nol persen, tetapi masyarakat warga negara lainnya harus dibebani bunga tinggi? BI seharusnya mengambil kebijakan menurunkan BI-rate dan suku bunga pinjaman, sehingga masyarakat dapat menikmati manfaat yang sama. Tetapi, BI tidak melakukannya. Pertanyaannya, kenapa? Ada apa? Siapa yang diuntungkan? Di tengah krisis dan resesi ekonomi, bank besar di Indonesia (BUKU 4) masih dapat menikmati margin bunga bersih, atau Net Interest Margin (NIM) sebesar 5,09 persen pada April 2020. Sungguh besar sekali. BI bagaikan rentenir. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Selama Jokowi, Ekonmi Hanya Tumbuh 5,03%
by Anthony Budiawan Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 2015-2019 hanya rata-rata 5,03 persen per tahun. Capaian ini tentu saja lebih rendah dari dua periode lima tahunan sebelumnya, yang masing-masing sebesar 5,64 persen per tahun (2005-2009) dan 5,80 persen per tahun (2010-2014). Pertumbuhan rata-rata 5,03 persen ini di bawah target atau janji pemerintah Jokoswi yang dipatok angka pertumbuhan 7 persen per tahun. Seharusnya pemerintah menjelaskan kenapa janji tersebut tidak bisa dipenuhi. Lebih baik lagi kalau disertai minta maaf. Rakyat akan menghargai sikap seperti itu. Sikap kesatria untuk mengakui kekurangan. Penjelasan mengapa target tidak tercapai? Itu sangat penting untuk diketahui rakyat. Mungkin saja rakyat bisa memahami dan memaafkan ketikamampuan pemerintah Jokowi. Karena dengan penjelasan ini, mencerminkan pemerintah mengerti permasalahan sebenarnya. Mengerti situasi objektif ekonomi yang terjadi, sehingga dapat mewujudkan janjinya di kemudian hari. Pemerintah memang mencoba menjelaskan alasannya. Katanya, penurunan ekonomi tahun-tahun terakhir ini akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Alasan ini sangat sulit untuk dipahami dan diterima . Karena ekonomi nergara tetangga yang masih satu kawasan ASEAN, Vietnam dan Philipina ternyata malah naik pada periode 2015-2019. Pertumbuhan Vietnam rata-rata 6,76 persen per tahun (2015-2019). Sedangkan Philipina naik menjadi 6,56 persen per tahun untuk periode yang sama. Jauh lebih tinggi dari pertumbuhan Indonesia yang hanya rata-rata 5,03 persen per tahun. Oleh karena itu, alasan perang dagang global Amerika dan China terlalu mengada-ada. Juga menggampangkan masalah, sehingga kurang bisa diterima. Pembenaran juga selalu mewarnai alasan mengapa janji pertumbuhan ekonomi tidak tercapai. Pemerintah dan para pendukungnya sering menyatakan, meskipun pertumbuhan Indonesia melemah tetapi masih menjadi salah satu terbaik di kelompok G20, menempati peringkat ketiga. Dan seterusnya. Padahal membandingkan ekonomi Indonesia dengan negara-negara G20 adalah sebuah kesalahan. Pertama, di kelompok G20, sudah sejak lama pertumbuhan Indonesia selalu di peringkat tinggi. Tahun 2008 dan 2009, pertumbuhan Indonesia di peringkat 3. Tahun 2012 di peringkat 2. Bahkan pada tahun 1994 hingga 1996 pertumbuhan Indonesia juga sudah di peringkat 3 di kelompok negara-negara G20. Jadi, pertumbuhan ketiga tertinggi di kelompok G20 bukan sebuah prestasi. Sudah sejak tahun 1994. Kedua, negara yang masuk kelompok G20 sebagian besar adalah negara maju yang mempunyai pendapatan per kapita sudah sangat tinggi. Ada yang di atas U$ 40.000, bahkan U$ 50.000 dollar. Sedangkan Indonesia hanya sekitar U$ 4.000 dolar AS. Kondisi ekonomi di kebanyakan negara maju tersebut sudah mendekati full-employment. Sehingga terjadi limitasi tenaga kerja untuk ekspansi. Disamping upah tenaga kerja juga sangat tinggi. Sehingga, perusahaan-perusahaan di negara maju (multi-nasional) terdorong melakukan ekspansi ke negara berkembang yang mempunyai upah buruh lebih murah. Kenyataan ini menjelaskan, mengapa pertumbuhan di negara berkembang lebih tinggi dari negara maju? Dalam hal ini, Vietnam dan Philipina lebih berhasil menarik investasi global dibandingkan Indonesia, sehingga pertumbuhan ekonomi kedua negara ini lebih tinggi. Yang lebih mengkhawatirkan, banyak pihak, termasuk pejabat, membanggakan pertumbuhan Indonesia yang sedang menurun dengan cara yang kurang pantas. Misalnya dengan merendahkan ekonomi negara G20 lainnya. Merendahkan ekonomi sesama negara ASEAN. Kita sering dengar pernyataan, “pertumbuhan Indonesia lebih baik dari ... dari negara tetangga”. Pernyataan seperti ini sangat tidak pantas. Melanggar etika dan sopan santun hubungan internasional. Seolah-olah mereka gagal mengelola ekonominya. Seolah-olah mereka lebih bodoh dari kita. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Desentralisasi Pemulihan Ekonomi
by Andi Rahmat Jakarta FNN – Kamis (20/08). Persoalan perekonomian kita bukan lagi soal apakah ekonomi kita sudah mengalami resesi atau belum mengalami resesi. Faktanya, perekonomian Indonesia dalam dua quartal berturut-turut mengalami kontraksi yang berat. Perekonomian tumbuh negatif. Komponen utama pembentuk PDB mengalami tekanan hebat. Konsumsi Rumah Tangga, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), harga yang deflatoir, dan deretan indikator makro lainnya semua menunjukkan situasi “ darurat” perekonomian itu. Namun Indonesia tidak sendiri dalam menghadapi situasi ini. Hampir semua negara mengalami tekanan ekonomi yang hebat. Dari kelompok G20, hanya china yang tumbuh positif di quartal kedua, sebesar 3,2%. Perekonomian Indonesia juga terpapar pula resiko “ menyendiri” dalam menghadapi persoalan ini. Sistem moneter kita mungkin relatif kuat karena adanya mekanisme “ tolong-menolong” antar bank sentral, baik dalam bentuk Bilateral Swap Arrangement (BSW) maupun Repo Line Arrangement (RLA), yang melapisi daya tahan Bank Indonesia. Tetapi sistem fiskal kita terlihat rentan. Kondisi ini karena makin sempitnya ruang manuver fiskal yang diperlukan dalam mengungkit perekonomian. Ditambah lagi, dengan tidak mudah untuk memperoleh “bantuan“ internasional. Baik dari institusi maupun swasta global yang juga tengah disibukkan dengan pemburukan ekonomi di berbagai negara. Tulisan ini tidak bertujuan mendiskusikan soal tekanan pembiayaan pada Fiskal kita. Fokus tulisan ini adalah pada upaya untuk mengoptimalkan seefektif mungkin sumber daya Fiskal untuk mengungkit perekonomian. Apalagi dalam situasi dimana waktu yang terbatas, dan kerumitan birokrasi bisa menumpulkan efektivitas kebijakan Fiskal. Juga memperkuat desentralisasi dalam pemulihan ekonomi merupakan pilihan terbaik. Semestinya ini dijadikan opsi utama kebijakan pemulihan ekonomi. Desentralisasi dalam pemulihan ekonomi berimplikasi pada dua makna. Yang pertama, melibatkan semaksimal mungkin pemerintahan daerah dalam pemulihan ekonomi. Yang kedua, menanggalkan asumsi bahwa sentralisasi kebijakan pemulihan ekonomi akan membuat pemulihan ekonomi menjadi lebih cepat, efisien dan sederhana. Kalau kita melihat kembali statisik pertumbuhan ekonomi, sejak otonomi daerah mulai diberlakukan, yang didalamnya juga termasuk konsepsi perimbangan keuangan pusat dan daerah (baca desentralisasi fiskal), maka kita akan menemukan geliat pertumbuhan ekonomi lokal dalam dua dekade terakhir. Bahkan, dibeberapa wilayah, pertumbuhan ekonominya bisa lebih tinggi dari rata-rata nasional. Demikian juga dengan gairah perekonomian lokal. Desentralisasi terbukti merangsang local creative dalam mendorong aktivitas perekonomian. Dalam dua dekade terakhir, banyak sekali pelaku usaha lokal yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi pemain kuat nasional. Sekurang-kurangnya, menjadi local champion di daerah mereka masing-masing. Desentralisasi merupakan pasangan serasi bagi lanskap perekonomian Indonesia saat ini. Meminjam istilah John Naisbitt, desentralisasi merupakan cerminan dari paradoks global, makin terintegrasi perekonomian, makin kuat pula peran dari unit-unit terkecilnya. Itulah yang tercermin pada makin besarnya sumbangsih perekonomian daerah dalam membentuk wajah Produk Domestik Bruto (PDB). Didalam Nota Keuangan RAPBN 2021, terdapat alokasi sebesar Rp. 796,3 triliun yang dialokasikan dalam bentuk Transfer Ke Daerah dan Dana Desa ( TKDD ). Jumlah ini meningkat 4,2% dibanding tahun 2020. Dipandang dari sudut ini, kelihatannya terdapat affirmasi terhadap peran pemerintah daerah dan desa dalam pemulihan ekonomi nasional. Namun sesungguhnya proporsi ini menjadi tidak “menggembirakan”. Apalagi melihat proporsi alokasi TKDD dibandingkan dengan rencana Belanja RAPBN yang mencapai Rp. 2.747,5 trilliun. Alokasi TKDD hanya 28,98% dari total RAPBN 2021. 71,02% RAPBN 2021 dikonsentrasikan dalam wujud Belanja Pemerintah Pusat. Pada APBN 2018, dari Rp. 2.220,7 trilliun pagu Belanja Negara, alokasi TKDDnya berjumlah Rp. 766,2 triliun. Proporsi TKDD terhadap belanja negara sebesar 34,5%. Sedang belanja Pemerintah Pusat sebesar 65,5%. Demikian juga pada APBN 2019, dari pagu Belanja Negara sebesar Rp. 2.461,11 triliun, alokasi TKDDnya sebesar Rp. 826,77 triliun. Proporsi TKDD-nya sebesar 33,59%. Tren penurunan proporsi ini menunjukkan meningkatnya upaya resentralisasi kebijakan ekonomi ke tangan pemerintah pusat. Kebijakan reversal semacam ini berlawanan dengan tujuan asasi dari pemberian otonomi kepada daerah. Sekaligus juga menegasikan peran vital perekonomian daerah dalam membantu pemulihan ekonomi secara nasional. Apakah kebijakan resentralisasi ini akan menyederhanakan kordinasi pemulihan ekonomi nasional? Dengan landskap regulasi dan struktur pemerintahan Indonesia, nampaknya upaya resentralisasi ini justru akan menciptakan “bottlenecking” dalam upaya eksekusi kebijakan. Yang diperlukan sebetulnya adalah pembesaran proporsi alokasi TKDD yang memungkinkan percepatan aksi counter-cyclical lokal dalam membalikkan situasi perekonomian. Pelaku usaha lokal yang memiliki keterkaitan erat dengan fungsi multiplier fiskal dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perlu “ dibonceng” dalam skala massif. Tulisan ini sekaligus juga menghimbau kepada pihak-pihak yang mendapatkan mandat untuk menyusun RUU APBN 2021 yang akan selesai dibahas pada bulan Oktober nanti. Untuk memulihkan proporsi yang patut bagi alokasi TKDD yang visibel bagi pemulihan ekonomi nasional. Setidaknya, 35% dari pagu Belanja Negara dialokasikan kembali kepada TKDD. Sebagaimana yang pernah dilakukan, di dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan alokasi tambahan yang baru itu, diatur pula mengenai suatu payung hukum peraturan dibawah Undang-Undang yang memungkinkan Pemerintah Daerah untuk mengeksekusinya secara cepat. Apabila diperlukan, pengaturan mengenai tata laksana pengadaan barang dan jasanya juga diatur secara khusus dibawah kerangka pemulihan ekonomi nasional Dirgahayu NKRI ke 75. Selamat Tahun Baru 1 Muharram 1442 Hijriah. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI.
Apakah Benar Kas Negara Kosong?
by Asyari Usman Jakarta FNN (Kamis, 13/08/2020). Belakangan ini banyak spekulasi tentang kondisi keuangan negara. Ada yang nengatakan negara sudah tidak punya uang lagi. Ada yang mengatakan saldo kas negara tinggal untuk penggunaan beberapa bulan lagi. Bahkan, ada yang menyebutkan dana Covid-19 sebesar hampir 700 triliun itu pun cuma ada angkanya saja, tidak ada uangnya. Begitulah spekulasi yang berseliweran. Sekarang, kita mau bertanya dan ingin mendapatkan jawaban dari Presiden Jokowi sendiri. Atau siapa saja yang berkompeten untuk menjelaskan. Apakah benar kas negara kosong? Apakah benar dana Covid-19 tidak ada duitnya, hanya angka saja? Sementara menunggu jawaban itu, mari kita simak sejumlah pertanda tentang spekulasi dana Covid-19 yang tidak ada uangnya. Pertama, Pemprov dan Pemkab-Pemko diberi kewenangan untuk menggunakan alokasi dana APBD bagi kepentingan penanganan pandemi Corona. Kedua, kepala desa boleh mengalihkan pemakaian dana desa. Juga untuk keperluan Covid-19. Ketiga, ada informasi keras yang menyebutkan sekian banyak penyedia APD (alat pelindung diri) masih belum menerima pembayaran kontrak pengadaan. Ini semua bisa dijadikan isyarat tentang dana Covid yang hanya ada angka tapi tak ada uangnya. Dalam arti, cukup signifikan dana APBN/APBD yang diduga telah digunakan untuk penanganan Covid-19. Mengapa dikerahkan dana reguler APBN/APBD itu jika dana Covid ada? Mungkinkah ini menyebabkan kas negara kosong untuk keperluan harian? Belum lama ini, Presiden Jokowi marah karena Kemenkes lambat sekali menyerap dana Covid-19 yang jumlahnya 75 triliun rupiah. Berbagai sumber menyebutkan, yang terjadi bukan lambat menyerap melainkan duitnya tidak tersedia. Benarkah begitu? Inilah yang ingin diketahui rakyat. Selanjutnya, isu kas negara kosong. Di pertengahan 2019, pernah juga ada kabar bahwa kas negara dalam keadaan kosong. Tapi, Menkeu Sri Mulyani langsung menegaskan hal itu tidak benar. Kata Sri, masih ada uang 90 triliun. Cukup untuk membayar tiga bulan gaji PNS. Di akhir 2014, sebulan setelah dilantik untuk periode pertama, ada juga kabar bahwa kas negara kosong. Namun, kekosongan kas waktu itu tentu tidak dapat dikaitkan langsung dengan kepresidenan Jokowi. Karena baru saja dilantik. Nah, pada saat ini kalau benar kas negara kosong, maka persoalan itu menjadi murni tanggung jawab penuh Presiden Jokowi. Tidak terkait dengan pemerintahan sebelum 2014. Publik sangat wajar bertanya tentang benar-tidaknya kas negara saat ini dalam keadaan kosong. Masalah ini tidak boleh ditutup-tutupi. Publik berhak mengetahui kondisi yang sebenarnya. Sebab, kabar yang sifatnya spekulatif perlu dicegah agar tidak menjadi perdebatan liar. Semoga ada penjelasan yang komprehensif dan kredibel.[] (Penulis wartawan senior)
Faktanya Pertumbuhan Ekonomi Terjun Bebas -10,34%
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (09/08). Pertumbuhan ekonomi pada kuartal ke II ini diumumkan Presiden pada angka minus lima koma tiga puluh dua persen (-5,32%). Nah, tertunduk lesu Pak Presiden Jokowi yang awalnya pernah hingar-bingar mengkampanyekan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang segera "meroket" di atas 7%. Pengumuman saat rapat terbatas Kabinet Indonesia Maju tersebut dinilai sebagai kegagalan dan frustrasi Pemerintah. Namun fakta yang sebenarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak Januari sampai dengan Agustus 2020 adalah minus sepuluh koma tiga puluh empat persen (-10,34%). Itu fakta yang sebenarnya. Begini perhitungannya. Pada akhir Desember 2019 seperti diberitakan CNBC Indonesia (05/02/2020), pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di angka lima koma nol dua persen (+5,02). Walaupun demikian, ketika itu semua neraca yang menajadi indikator ekonomi Indonesia sudah bermasalah. Neraca transaksi berjalan merah. Juga neraca penerimaan terjun bebas. Neraca pembayaran bermasalah. Neraca perdagangan juga merah. Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) soal pertumbuhan ekonomi Indonesia, tentu saja memukul Presiden dan jajaran kabinet. Pemerintah tidak bisa, bahkan gagal bertanggung jawab melindungi segenap bangsa dan tumpah ddarah Indonesia di bidang ekonomi. Menambah daftar pemerintah melakukan pelanggaran terhadap tujuan bernegara sesuai perintah konstitusi UUD 1945. Sebelumnya Presiden Jokowi nyata-nyata telah melanggar konstitusi dengan membuat Perppu Nomo 1 Tahun 2020 yang telah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, yang judulnya sangat panjang tersebut. Dalam membuat APBN selama tiga tahun ke depan, Presiden tidak perlu lagi melibatkan DPR yang memiliki hak budgeting. Presiden dalam membuat APBN, bisa sesuka hati saja. Jika Presiden Jokowi marah-marah lagi, maka itu tak lain adalah ia yang sedang memarahi dirinya sendiri. Rakyat juga sedang menanti waktu untuk memarahi Presiden yang tak becus mengurus negere ini. Presiden yang menggunakan fasilitas negara untuk memikirkan anaknya dan menantunya menjadi Walikota Solo dan Walikota Medan. Pandemi korona belom menunjukan tanda-tanda akan mereda atau berakhir. Sekarang saja sudah hampir 120.000 orang terpapar korona. Namun Presiden Jokowi perlu memaksakan pelaksanaan Pilkada pada Desember 2020 nanti. Pilkada yang hanya untuk menjadikan anaknya Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution menjadi Walikota. Entah berapa ratusan ribu lagi rakyat Indonesia yang baka terjangkit korona, akibat dari berkumpulnya rakyat pada Pilkadana nanti. Rakyat dipastikan akan berkumpul dalam jumlah besar tempat kampanye dan tempat pemilihan. Belom lagi besarnya dana dikeluarkan negara untuk pelaksanaan Pilkada serentak. Menteri Keuangan Sri Mulyani di depan anggota DPR memprediksi pertumbuhan ekonomi di kuartal II ini adalah minus -3,5 hingga minus --5,1% dengan rentang tengah minus -4,3%. Nyatanya justru menjadi minus -5,32%. Rupanya ekonomi meroket yang dimaksudkan Jokowi adalah meroket ke bawah. Ekonomi Indonesia nyungsep itu meluncur tak tertahankan ke bawah. Terjun bebas. Bahkan diprediksi pada kuartal III dan IV nanti, ekonomi Indonesia masih terus minus. Akibat dari tata kelola pemerintahan yang ngawur, kacau-balau dan amburadul. Tidak sesuai prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan benar. Negara mengalami resesi ekonomi bukan semata akibat pandemo korona. Tetapi sebelumnya juga pergerakan ekonomi sudah mengarah pada resesi. Pelambatan ekonomi menyebabkan banyak perusahaan tutup. Kenyataan ini berakibat pada terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dimana-mana. Kondisi ini juga berakibat pada penurunan daya beli yangmasyarakat. Investasi banyak yang bermasalah, terutama di pasar keuangan dan asuransi, berdampak pada penurun nilai suatu portofolio atau aset seperti saham. Kasus seperti PT Asuransi Jiwasraya, Asabri, Bank BTN, Bank Bukopin, Bank Mayapada dan skandal Koperasi Indo Surya adalah bagian kecil dari bocroknya tata kelola indurtri keuangan Indonesia di bawah Presiden Jokowi. Kurs dollar yang tidak akan stabil, tentu berpengaruh pada neraca ekspor-impor. Tingkat suku bunga tinggi yang dapat meningkatkan inflasi. Sebagaimana kekhawatiran para pengamat ekonomi, bahwa pertumbuhan yang terus menurun dapat berujung pada depresi ekonomi, kini menjadi kenyataan. Kepercayaan masyarakat terhadap masa depan menjadi hilang. Tertunduk lesunya bapak Jokowi saat sidang kabinet terbatas untuk membahas pertumbuhan ekonomi kuartal II yang minus -5,32% ini jangan-jangan menjadi tanda-tanda depresi. Publik masih akan menunggu pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2020 besok. Siap-siap saja untuk menilai "pertanggungjawaban" kenegaraan atas kondisi politik, ekonomi, hukum, dan lainnya. Resesi membuat depresikah? Jika rakyat telah melihat negara ini masuk fase depresi, maka tak ada harapan untuk masa depan. Pilihanpun untuk para penyelenggara negara kini hanya tinggal dua. Berbesar hati untuk mengakui tidak mampu dan gagal mengurus negara, sehingga mundur sendiri atau dimundurkan? Rakyat dan bangsa Indonesia tidak boleh tertekan dan putus asa akibat tata kelola negara yang ngawur, tidak becus dan amburadul. Tetapi harus terus hidup dan bergerak ke depan. Artinya, absolut harus berganti dengan suasana yang baru. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Jinakkan Segera “Independensi Bank Sentral”
by Dr. Margarito Kamis (Bagian Akhir) Jakarta FNN – Sabtu (01/08). Bukan pemerintah, karena Wilson telah terkoneksi ke dalam “London Connection” jauh sebelum dirinya dicalonkan jadi Presiden, tetapi rakyat Amerikalah yang terkecoh. Seluruh kerusakan, setidaknya ketidaksenangan bankir terhadap serangkaian pembatasan kebijakan perbankan, yang diatur dalam National Banking Act 1864, berakhir dan hilang sudah. Kewenangan mengatur dan membuat kejebijakan deposito, penerbitan bond, bank notes, bond antar bank, deposito, termasuk bunga deposito, tabungan biasa, begitu juga pasar sekunder, pengelolaan inflasi, hilang sudah. Kewenangan di bidang-bidang itu, yang diberikan oleh National Banking Act 1864, dan diletakan pada Kementerian Kuangan, terhapus sudah. The Federal Reserve Act, dasar pendirian The Federal Reserve, yang tidak lain adalah Bank Sentral model Paul Warburg itu, kini memegang kewenangan itu. Praktis kewenangan-kewenangan itu beralih seluruhnya kepada Bank Sentral. Terencana dengan baik, terorganisasi dengan baik, memperhitungkan semua deteilnya, itulah kecanggihan oligarki ini mengamputasi kewenangan pemerintah. Untuk mengunci, dalam makna memastikan pemerintah tak bisa ikut campur merancang kebijakan sistem keuangan, The Federal Reserve, yang tidak lain adalah Bank Sentral itu diberi status “independen”. Bagaimana oligarki ini menemukan dan menyodorkan status “independensi” sebagai benteng itu? Adakah praktik bernegara yang dapat dijadikan pijakan analoginya? Siapa yang mengotakinya? Apakah Wilson, presiden yang juga profesor Hukum Administrasi Negara itu? Tak ada penjelasan kongklusif. Tetapi Wilson menyadarinya. Kesadaran itu diungkapkan oleh Kolonel House, sahabat Wilson. Seperti dikutip Mullins, House menjelaskan dia dan presiden Woodrow Wilson tahu bahwa dengan ditandatanganinya The Federal Reserve Act, dalam kata-katanya, they have created an instrument more powerfull than the Supreme Court. Logis menilai status ini “independen” The Federal Reserve, terilhami oleh status konstitusional Supreme Court. Apalagi Kolonel House dalam lanjutan pernyataannya, yang dikutip Mullins memperlihatkan dengan jelas “status independen” dirancang untuk mencegah campur tangan pemerintah. Pernyataannya The Federal Reserve Board of Governors actualy comprise a “Supmere Court” (tanda petik dari saya), of Finance. Kolonel House dalam pernyataan lanjutannya menyatakan ”and there was no appeal from any of their rulings. Terkoneksi dalam ekspektasi yang sama, Wilson, sang Prersiden pada kesempatan lain menyatakan, dalam kata-katanya “our system of credit is concentrated in the Federal Resrve”. William L. White, penulis biografi Bernard Baruch, menyatakan sejarah akan menunjukan pada suatu hari konstitusi terhenti. Konstitusi diganti dengan UU mengatur rakyat Amerika. Dan kebebasan kita, diurus oleh sekelompok kecil Bankir Internasional. Hemat saya pernyataan ini membuktikan kekhawatiran Thomas Jeferson, yang disampaiklan lebih dari seabad sebelumnya beralasan. Dalam kasus Amerika, seorang republikan yang memiliki garis politik berbeda dengan rekan-rekannya, memberi penilaian refleksif yang menarik. UUD, katanya tidak mengotorisasi Bank Sentral merebut kontrol terhadap kebijakan keuangan, termasuk pengeluaran masyarakat, hingga Kongres mengotorisasinya kepada The Federal Reserve. Ia menunjuk Kolonel House dan Paul Warburg berada dibalik skenario ini. Memang ekspektasi oligarkis ini, tidak tercapai secara sempurna. Itu disebabkan dewan gubernur, dapat ikut ditentukan oleh pemerintah. Tetapi, diakui sendiri oleh Wilson ini merupakan kompromi. Dan Paul Warburg, pada kesempatan lain sesudah itu, mengakui, akan dilakukan penyesuaian. Tetapi apapun itu, The Federal Reserve telah menyandang status “independen”, status yang sama persis dengan Mahkamah Agung. Hebatnya status The Federal Reserve itu tidak dinyatakan dalam konstitusi, melainkan hanya dalam UU. Logis menyatakan ekspektasi oligarki terhadap status “independen” The Federal Reserve punya dua tujuan. Pertama, disatu sisi membatasi campur tangan pemerintah dalam kebijakan keuangan. Kedua, disisi lain, kebijakan keuangan sepenuhnya menjadi kewenangan Bank Sentral. Excecutive bussines secara konstitusional menjadi terbatasai dengan sendirinya. Pembatasan itu dilakukan, sekali lagi, melalui UU, khususnya The Federal Resrtrve Act. Dan ini semua, sejauh uraian pada artikel sebelumnya dapat dilacak hingga sejarah Golorius Revolution 1688 di Inggris. Kebijakan dan urusan keuangan yang sebelum revolusi sepenuhnya dikonsentrasikan pada Raja atau Ratu, dialihkan ke parlemen. Kewenangan ini diatur dalam UU, dan UU (Tonage Act 1694) diatur pendirian bank. Terilhami oleh praktik ini, Oligarki Keuangan Internasional memastikannya lebih jauh, yaitu mengonsentrasikan kewenangan memuat kebijakan keuangan pada Bank Sentral. Pemerintah dikeluarkan dari urusan ini. Pada titik ini menarik dilihat dari sudut rezim hukum. Inggris tak punya konstitusi tertulis. Berbeda dengan Amerika, juga Indonesia. Karena Inggris tak punya konstitusi tertluis, maka UU dapat, dengan apapun itu, diandalkan untuk mengatur apa saja yang hendak di atur. Amerika disisi lain memilki konstitusi tertulis, tetapi dalam kenyataannya Konstitusi ini tidak mengatur Bank Sentral. Ini lopholenya. Lophole ini dikenal betul oleh Bakir Internasional, yang telah terkoneksi dengan sejumlah ahli hukum, ekonomi dan politik. Menariknya Amerika, sebagaimana Inggris jauh sebelumnya, telah mengkeramatkan doktrin Rule of Law. Semuanya berdasarkan hukum dan UU. Nalarnya? Asal diatur dalam UU, maka semua menjadi sah. Pakailah UU mengatur The Federal Resetrve. Toh konstitusi dalam kenyataannya tidak mengatur Bank Sentral, maka benar diatur melalui UU. Hebat, sekaligus betapa berbahayanya doktrin rule of Law itu, bila tidak dikenali dengan cermat, dan digunakan dengan cara yang penuh bijaksana. Doktrin ini bisa dijadikan bank sampah, penampung semua ekspektasi busuk, sebagaimana penciptaan The Federal Reserve, yang tidak lain adalah ekspektasi International Bankir menciptakan uang. Jangan lupa, uang merupakan komoditi menurut penilaian J. P Morgan. Dan dalam penilaiannya pula setiap orang memiliki kecenderungan berhutang. Menciptakan bank, denghan kewenangan merancang sendiri kebijakan keuangan, maka kredit, sebagaimana diakui sendiri oleh J.P. Morgan dapat dimobilisasi. Paul Warburg, beberapa tahun setelah kehadiran Bank Sentral, meyakinkan publik Amerika dengan pernyataan yang terlihat logis. Sesudah perang dunia pertama, dalam penilaian Warburg, menujukan pentingnya Bank Sentral, memiliki fungsi strategis. Fungsi itu, salah satunya adalah membiayai perang dunia. Tragisnya Indonesia ikut-ikutan mengatur, dalam konstitusi UUD 1945 setelah empat kali diubah, Bank Sentral berstatus independen. Persis The Federal Reserve, Bank ini memegang kewenangan dibidang sistem keuangan. Persis The Fed’s, pemerintah tak bisa ikut campur dalam urusan ini. Tepatkah ini? Apapun alasannya, hemat saya, tidak. Bank Sentral tidak bertanggung jawab pada rakyat, termasuk kelangsungan bangsa ini. Tanggung jawab ini dipegang oleh Prediden dan DPR. Disisi lain, artikel di atas memperlihatkan pada batas yang jelas. Kehadiran Bank Sentral bukan kehendak rakyat. Kehadiran Bank adalah hasil ciptaan para oligarkis, bankir swasta internasional. Tujuannya agar mereka bebas merancang kebijakan keuangan untuk menciptakan uang, memperbesar keuntungan mereka. Titik. Tak lebih. Status ‘independen” yang disandang Ban Sentral, analogi dari status Mahkamah Agung, tidak punya maksud teknis apapun, selain hanya memastikan “oligarki-oligarki ini ingin bebas sebebasnyanya” merancang kebijakan keuangan. Itu saja. Semua argumen yang berkembang, dan disajikan dalam setiap pembicaraan tentang Bank Senral dan sistem keuangan, hampir seluruhnya ciptaan kelompok oligarki ini. Inflasi yang hendak dikendalikan oleh Bank Sentral, dalam sejarahmya, terutama sesudah The Federal Reserve itu tak terbukti. Justru sebaliknya terus terjadi. Apa yang seharusnya dilakukan sebagai respon atas masalah ini? Pendefenisian kembali “status, khususnya bobot atau jangkauan independensi bank sentral” harus dilihat sebagai pilihan yang masuk akal. Bangsa ini tidak bisa menyerahkan nasibnya, kelangsungannya ditentukan oleh Bank Sentral. Perubahan UU Bank Sentral, karena itu terasa pantas dilakukan. (Selesai). Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Jinakkan Segera “Independensi” Bank Sentral
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. (Bag. Ketiga) Jakarta FNN – Senin (20/07). Gigih, cermat, deteil memperhitungkan semua hal. Bekerja dalam formasi kartel antara sesama oligarki, terlihat menjadi andalan kelompok International Bankir Amerika. Mengambil dari sejarah, mereka tahu kerja besar untuk mendirikan bank sentral harus merangkak, melingkar dan bertahap tetapi dengan spektrum yang pasti. Canggih merancang taktik. Itulah yang diperlihatkan mereka disepanjang jalan berliku ini. Mereka anti gold, tetapi menampilkan diri sebagai pro gold. Mengontrol partai politik, itu pulalah taktik memuluskan jalan mereka menuju puncak tujun. Siapa mengontrol Republik, dan siapa mengontrol Demokrat, jelas pada semua deteilnya. Kalau tidak dapat dikatakan licik, ya oligarki ini cerdas ini. Menanam orangnya dalam pemerintahan dan parlemen. Ttulah salah satu cara mereka. Menggunakan uang negara untuk kepentingan mereka, teridentifikasi menjadi cara jitu mereka menggolkan The Federal Reserve. The Federal Reserve, Kemenangan Bankir Murray N. Rothbard pada artikel berjudul The Origin of The Federal Reserve, yang dimuat di The Quarterly Jorunal of Austrian Economic Vol. 2 Nomor 3, 1999, mengidentifikasi dengan sangat jelas usaha itu. Menurutnya pengawasan yang diatur dalam National Banking Act 1864, dan state bank mengontrol bank notes dan penampungan pajak, dinilai bankir merusak mereka. Tidak itu saja, pemaksaan state bank kepada bank nasional –swasta- berdasarkan National Banking Act itu. Mereka dipaksa menerima bank notes satu dengan lainnya. Juga menerima permintaan deposito sebagai tanpa menyesuaikan dengan pasar. Ini dinilai sangat merusak bankir swasta. Bagi mereka cara ini mengesampingkan proses yang telah berlangsung berdasarkan mekanisme pasar. Dalam kenyataannya, oligarki ini telah terbiasa mengandalkan inflasi sebagai cara terbaik menciptakan uang atau keuntungan.” Itu sebabnya ketika tahun 1870 diberlakukan mata uang coin yang disponsori Partai Demokrat, sebagai cara menghentikan inflasi. Mereka tidak suka. Ini harus dihentikan. Tidak idenpenden, dan tidak leluasaa mengontrol inflasi, sama dengan tidak dapat mempermainkan pasar, untuk dan demi keuntungan mereka. Tidak independen mengatur kebijakan bisnis perbankan, jelas memukul mereka. Padahal ini adalah andalan mereka. Kenyataannya sejak perang saudara itu telah berkembang bentuk baru corporasi. Bentuk baru korporasi itu adalah kartel. Kartel korporasi diparkarsai untuk pertama kalinya oleh J.P. Morgan. Bagaimana menyukseskan usahanya? Terlihat jelas, bukan hanya adanya pertalian, tetapi oligarjki inilah yang memutuskasn siapa yang berkuasa. Untuk tujuan itu oligarki mengerahkan semua sumberdaya politik mengatur pemilu presiden tahun pada 1896. Dukung McKinley Jadi Presiden 1896 Rockeffeller dan J.P. Morgan, dua bankir papan atas kala itu beraksi. Mereka bedua yang memimpin permainan ini. Rockeffeller, pemilik standar Oil, dan sejumlah Bank telah menjelma menjadi kekuatan terbesar yang mengendalikan Partai Republik. Diseberang sana, dalam sifat pseudo, ada J.P. Morgan. Sososk ini yang mengontrol Partai Demokrat. Permain dimulai dengan mengatur isu yang harus digemakan capres dalam konvensi masing-masing partai. Permainannya terlihat cukup canggih. Rockkeffeler telah mengubah platform Partai Republik, yang semula anti gold standard, berubah menjadi pro gold. Morgan dan Mark Hanna, segera jumpa William McKinley, kandidat Calon Presiden Partai Demokrat. Konvensi Demokrat pun berlangsung, dan William McKinley segera menghebohkan Amerika dengan gagasan anti gold, interfensionis terhadap dunia luar, dan proteksi terhadap ekonomi Amerika. Landscape politik berubah total. Uniknya, William Jenings Bryant yang menjadi tokoh utama Demokrat yang anti gold, diam saja. Dan William Meckinley menang pilpres. Permainan juga bergerak naik sesudah itu. Bankir melakukan apa yang disebut Indianapolis Monetary Convention. Convensi ini mendesak McKinley segera mengambil kebijakan: (i) Melanjutkan kebijakan gold standar. (ii) Menciptakan satu sistem baru yang elastis tentang kredit bank. Tak lama setelah itu, Comisi ini mendesak McKinley membentuk Komisi Moneter baru. Isu terakhir tak dipenuhi McKinley. Tetapi tahun 1900, akhir dari masa jabatan McKinley, Kongres mengeluarkan Gold Standar Act 1900. Dan atas nama pro gold, mereka memborong gold dari berbagai penjuru dunia, terutama Philipine, Meksiko dan Kuba. Motor kampanye pembelian ini dipimpin oleh Charles Conand, seorang Jurnalis dan Mark Hannah, kaki tangan Rockeffeler. Belum tuntas, tetapi masa jaatan McKinley segera berakahir dan pemilu presiden untuk jabatan kedua segera datang. McKinley tetap capres dengan Theodore Rosefelt menjadi wakilnya. McKinley Menang. Kenyataannya McKinley hanya bisa bekerja selama enam bulan sejak dilantik pada tangal 4 Maret 1901. McKinley ditembak oleh Leon Czolgosz pada tanggal 13 September, 1901, dan mati keesokan harinya. Krisis Keuangan 1907 Theodore, wakilnya melanjutkan sisa masa jabatannya. Berbeda dengan McKinley, Theodore tidak mengistimewakan Morgan, Rockeffeler dan kawan-kawan. Ia memusuhi pada tingkat tetentu korporasi besar, bertipe kartel. Tetapi Bankir-bankir ini tetap melanjutkan permainannya, sampai memasuki pemilihan presiden lagi. Pemilihan presiden 1904 ini diikuti juga oleh Theodore, dan menang. Ia berkuasa hingga 1908. Uniknya setahun sebelum masa jabatannya yang kedua berakhir, monster keuangan yang bernama inflasi menggerogoti Amerika. Ini dikenal dengan Financial Panick 1907. Inflasi ini terlihat menjadi anak tangga terdekat ke terbentuknya The Federal Reserve. Jalannya sedikit merangkak, tetapi sukses yang mengagumkan dimulai dari sini. Jessie Romero dalam artikel Jekyll Island: Where the Fed Began, menunjukan pria yang menjadi figur kunci politik J.P Morgan, segera muncul kepermukaan. Woodrow Wilson, profesor ilmu hukum administrasi negara dari Princeton University, mengawali kemunculannya ekspektasi Morgan. Wilson, seperti ditulis Mullins menyatakan semua kekacauan ini dapat diatasi, bila kita membuat satu Komite yang terdiri enam orang, seperti Morgan untuk menanganinya. Nelson Aldrich menyambut, bahkan memastikan gagasan Woodrow Wilson itu. Nelson, Senator Republik di Senat, sekaligus ketua Komisi Keuangan Senat, segera mengambil langkah. Yang dilakukan Nelson adalah mengajukan RUU National Currency Commission. RUU ini disetujui Senat jadi UU. Segera setelah itu, Theodore Rosevelt membentuk National Currency Commission 1908, sebelum mengakhiri jabatannya yang kedua. Komite ini, hebatnya diketuai sendiri oleh Nelson. Dibantu oleh Shelton, sekertarisnya, J. P Morgan, dan orang-orang Morgan lainnya seperti Charles Dalton, Henry P. Davison. Frank Fanderlip, President National City Bank of New York juga ikut bergabung dalam Komite ini. Komite ini, menariknya segera melakukan studi banding. Yang dipilih adalah bank-bank di Eropa. Dalam kenyataannya Bank-bank yang dijadikan obyek studi itu dikelola oleh saudara-saudara Rothschild. Dalam perjalanan ke Eropa, ikut bergabung Paul Warburg, sosok penentu dalam Kuhn and Loeb, milik Jacob Shif, orang yang mendanai Revolusi Rusia 1917. Pembaca FNN yang budiman, kembali dari Eropa, Tim “National Currency Commission” yang lebih merupakan Tim Morgan, setidaknya Tim Bankir ini, tidak langsung ke New York. Mereka ke Jekyll Island. Ditempat inilah Bill of The Federal Reserve disiapkan. Cukup cermat, RUU The Federal Reserve yang telah disiapkan itu, tidak langsung dimasukan ke Senat. Medan politik harus ditangani, dibereskan terlebih dahulu. Rakyat harus dicuci, dikecohkan otaknya dulu dengan cara propaganda, bentuk jahat dari sosialisasi khas Indonesia. Kerja pengecohan, yang sekali lagi kalau di Indonesia disebut sosialisasi, ditangani oleh satu, bukan Komite, tetapi liga. Dalam identifikasi Mullin liga ciptaan Paul Warburg ini, semula diberi nama “Citizen League” sebelum akhirnya diubah menjadi “National Citizen League”. Cermat, harus dikatakan begitu. Liga ini tidak dipimpin oleh Bankir, mahluk yang dibenci itu, tetapi profesor dari universitas ternama. Profesor Laughlin dari University of Chigaco. Universitas yang disokong Rockeffeler ini, yang ditunjuk memimpin liga. Ia dibantu, dalam semangat sebagai juru bicara Nelson, oleh Profesor O.M. Sprague dari Harvard University. Canggih kan kerja mereka. Masyarakat harus dikecohkan, dijauhkan dari kecurigaan terhadap usaha ini. Kata Paul Warburg kepada sahabatnya, untuk mencapai target itu, maka nama Cenral Bank tidak boleh digunakan. Nama itu diganti dengan The Federal Reserve. Ada pro dan ada yang kontra. Tetapi bukan itu point kuncinya. Poin kuncinya adalah gagasan ini telah tersaji di tengah masyarakat. Telah tersosialisasi dengan sangat baik dan rapi. Itu kuncinya. Sosialisasi hanya dirancang untuk menyajikan gagasan itu ditengah masyarakat. Bukan untuk mendapatkan persetujuan masyarakat. Tidak lebih. Dukung Woodrow Wilson 1913 Sangat terencan dan sistimatis. Hasil studi dan draf RUU yang telah disiapkan di Jekyl Island, tidak langsung dilaporkan kepada Presdien dan Congres. Gagasan ini, kalau di Indonesia akan disebut “sosialisasi” dipresentasikan pada masyarakat perbankan di berbagai penjuru Amerika. Berbaju resmi sebagai National Currency Committee, maka tindakan sosialisasi sepanjang 1908-1911 dibebankan pada uang Negara. Dalam tiga tahun Komite ini menghabiskan uang negara, menurut catatan Mullins sebesar $207.130. Hasil kerja National Currency Committee itu, dilaporkan ke Congres pada tanggal 15 Desember 1911 sebagai Aldrich Plan. Aldrich Plan ini, entah telah tersistem secara diam-diam atau merupakan kebetulan yang istimewa, menyandra, setidak mengakibatkan kongres tidak punya pilihan, selain menjadikannya sebagai rujukan utama pembentukan The Federal Act 1913. Cukup hebat, Aldrich, setelah plannya diterima Congres, mengakhiri masa jabatannya sebagai senator. Berantakankah plannya? Tidak. Dan ini yang hebat. Charter Glass dari Demokrat menggantikan posisinya, tentu pada awal pada tahun 1912. Pada titik ini muncul sebuah pertanyaan, mengapa Currency Committee begitu lama bekerja? Mengapa tidak segera diajukan ke Kongres, sehingga dapat segera membahasnya sebagai RUU prakarsa Kongres? Oligarki ini terlihat memperhitungkan kenyataan politik secara cermat. William Howard Taft, professor hukum tata negara, yang sedang berkuasa sebagai Presiden di tengah isu ini, dikenal sebagai Presiden anti Bank Sentral. Orang ini, sedemikian antinya terhadap Bank Sentral, sehingga menulis dalam biografinya “ia ingin menuliskan di Nisannya kelak setelah mati sebagai Presiden yang anti Bank Senral.” Taft adalah kegagalan untuk oligarki ini menggolkan The Federal Reserve Act. Caranya menunda pembahasan RUU itu. Momentumnya harus dibuat pasti. Pada titik inilah letak signifikannya memperhitungkan Woodrow Wilson. Sebagaimana ditulis Mullins, dan telah dikutip pada uraian sebelumya, orang inilah yang mengawali gagasan Currency Commission. Tidak itu saja. Dia juga yang munculkan nama J.P. Morgan masuk ke dalam Commite itu. Dalam rangka menunda pembentukan UU itu, kongres menyelenggarakan serangkaian hearing. Satu di antara hearing itu diprakarsai oleh Arsene Pujo, ketua subkomite of House of Banking and Currency Committee. Komite ini bekerja selama lima bulan, dengan menghasilkan tidak kurang dari 500 halaman hasil kerja. Logis saja, karena Komite, yang dikenal dengan “Komite Pujo” ini bekerja selama lima bulan. Menariknya Pujo dikenal sebagai juru bicara, setidaknya representasi kepentingan oligarki minyak Rockeffeler. Demokrasi pemilu terlihat tak bisa berkelit dari cengkeraman Rockeffeler yang telah mengontrol Republik. Dan J. P. Morgan yang mengontrol Demokrat, yang pada tahun 1896 memunculkan McKinley menjadi Presdien. Pada pemilu kali ini menyajikan taktik baru. Republik memunculkan dua figure, Taft dan Theodore Rosevelt, mantan presiden dalam konvensi partai Republik. Rosevelt dikalahkan oleh Taft dalam konvensi. Mundurkah Rosevelt dari pencalonan? Tidak. Rosevelt tetap maju dengan partai independen, partai progresif. Taft maju dengan Republik. Demokrat memunculkan Woodrow Wilson, profesor yang sejak tahu 1907 telah menominasikan J. P Morgan menyelesaikan masalah keuangan Amerika. Bukan Morgan, juga bukan Rockeffeler yang mengarap Wilson. Tugas itu diserahkan kepada Kolonel Edward Mandel House. Pria ini, mewarisi bisnis Cooton dari ayahnya di Texas, telah menyukseskan tiga koleganya jadi Gubernur Texas. Ia bertemu dengan Wilson untuk pertama kali 31 Mei 1912 di Hotel Gotham. Bertindak sebagai utusan Texas, ia menominasikan Wilson dalam konvensi Demokrat. Kesamaan House dan Wilson, diakui sendiri oleh House, tulis George Sylvester terletak pada temperamen dan hasrat mereka terhadap kebijakan publik. Kepada George Sylvester, House menambahkan, anda tahu bagaimana mewujudkan hasrat itu? Dijawab sendiri oleh House, mengontrol pembentukan UU, sehingga memastikan ide liberal dan progresif mereka ditulis dalam UU itu. Demokrasi pemilu bekerja dengan semangat “London Connection” jaringan bankir oligarkis. Jaringan berisi, beberapa di antaranya adalah Morgan, Rockeffeler, Paul Warburg, Jacob Shift, Frank Venderbild, Bernard Barus, Edward Mandel House, dengan Rotschild di puncaknya. House memberi sumbangan dalam kapanye Wilson sebesar U$ 35.000. Berrnard Baruch memberi sumbangan sebesar U$ 50.000. Penyumbang lain yang tidak disebut jumlah sumbangannya adalah Samuel Untermeyer, Corporate layer kaya raya ini. Orang ini pernah dibayar sebesar U$ 775.000 dalam menangani merger antara Copper Company and Boston Consolidated And Nevada Company. Sebelum memberikan keterangan di Komite Pujo, Untermeyer lebih dahulu menemui Jacob Schif. Kepada Schiff, Urtermeyer menanyakan bagaimana operasi Banking House Kuhn and Loeb. Jacob Schif diidentifikasi Senator Robert L. Owen sebagai representasi keluarga Rothschild di Amerika. Dalam itu, Untermeyer sulit dikesampingkan sebagai orang London Connection. Demokrasi pemilu yang hebat, yang disuntik dan dipandu dengan semangat “London Conection” khas para oligarkis, menempatkan Wilson teratas dalam perolehan suara. Tepatnya Wilson mendapatkan suara sebesar 409. Rosevelt 167 suara. Dan Taft, presiden incumbent yang sangat populer itu hanya mendapat suara 15. Rakyat tak percaya. Tetapi itulah demokrasi yang diagung-agungkan, dalam nada naïf, di tanah air tercinta ini. Waktu memetik hasil semakin cepat datang. Aldrich Plan (ingat Aldric Senator dari Republik), segera diajukan secara resmi sebagai RUU, tetapi telah berganti baju menjadi Charter Glas Bill. Charter adalah Senator Demokrat, juga memimpin komite keuangan di Kongres. Dia menggantikan Senator Aldrich dari Partai Republik. Charter Glass resmi mengajukan The Federal Reserve Bill Januari 1912, dan Woodrow Wilson terpilih jadi Presiden Desember 1912. Dia dilantik tanggal 4 Maret 1913. Dimasa Wilson inilah Charter-Gas Bill, yang kelak menghasilkan The Federal Reserve Act 1913 dibahas, dan disetujui jadi UU 18 September 1913. Bank Sentral, yang seabad sebelumnya berfungsi sebagai clearing house of finance and currecy, dalam kasus Bank of Englad, tercipta dengansempurna. Sempurna karena diberi status independen. Ini kreasi hebat, karena dianalogikan dengan status konstitusional Mahkamah Agung. Sempurna. (bersambung) Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khirun Ternate.
Jinakkan Segera “Independensi” Bank Sentral
by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum (Bagian Kedua) Jakarta FNN – Kamis (16/07). Persis seperti oligarki Inggris. oligarki Amerika juga harus menempuh jalan berliku. Memutar dengan berbagai taktik untuk sampai ke penciptaan Bank Sentral. Polanya menyicil. Dari bank nasional milik swasta dengan hak hidup sementara, dilanjutkan lagi untuk waktu tertentu, sampai tibanya UU yang memberi hak mereka hidup selamanya. Jeli mengenal demokrasi dan rule of law. Begitu teridentifikasi sebagai keunggulan tak tertandingi dari mereka. Demokrasi dan rule of law menjadi tatanan paling berharga, dan paling sederhana untuk dikecohkan. Konsep-konsep dasar demokrasi dan rule of law, adalah berkah terbesar untuk mereka. Pemilu boleh saja terlihat bebas. Hasilnya sangat demokratis kata orang. Tetapi siapa yang menjadi calon presiden, dan siapa dari mereka yang harus menang dan harus kalah, terlalu mudah bagi mereka untuk diskenariokan. Setiap kandidat, siapapun mereka, butuh uang besar. Uang adanya ditangan mereka. Bukan ditangan rakyat biasa. Tanam Orang di Pemerintah Kerja secara berjaringan, itulah mereka. Pada titik itulah Nathan Meyer Rothschid dan keluarganya menyelam dalam dunia perbankan. Boleh jadi merupakan penjelasan paling signifikan tentang gagasan Bank Sentral di Amerika. Mirip kemunculan Bank of England. Amerika mengawalinya dengan First American Bank 1791. Bank ini diinisiasi pembentukannya oleh Alexander Hamilton, Menteri Keuangannya George Washington. Mirip Bank of England. Masa berlaku First American Bank 1791 ini hanya 20 tahun. Persis cara mempertahankan kelangsungan Bank of England. Amerika juga segera menemukan kenyataan harus berperang dengan Inggris pada tahun 1812. Kebutuhan membiayai militer menjadi salah satu sebab. Bahkan mungkin saja yang utama. Amerika harus melanjutkan masa operasi Bank itu. Akhirnya disahkan operasi Second American Bank 1816. Masa berlakunya berakhir tahun 1836. Ketika berakhir, Presiden Andrew Jackson yang menurut David S. Schwartz dalam Defyng McCulloch? Jackson’s Bank Veto Reconsidered, dimuat pada Arkansas Law Review Vol 72 Nomor 1 tahun 2019, menyebut bank sebagai “Monster”. Presiden Andrew Jackson tidak mau memperpanjang masa operasi Bank ini. Memang Nicholas Bidle menasihatinya agar tidak memveto, tetapi tidak Jackson tidak memedulikannya. Bukan itu saja. Presiden Jackson juga menarik uang-uang pemerintah dari Second National Bank, atau Bank Swasta. Uang-uang itu dialihkan ke State Bank. Tindakan ini dinilai oleh Hendry Clews, Bankir Eropa, menyakitkan Bank of England. Menurut penilaiannya, tindakan ini mengakhiri aliran uang kertas dari Inggris ke Amerika. Akibatnya, terjadi kepanikan keuangan pada tahun 1837. Menariknya, krisis ini justru memunculkan J.P. Morgan dalam dunia keuangan. Koneksi J.P Morgan dengan Rothschlid segera tercipta sesudah itu. George Peabody menjadikan Junius S. Morgan sebagai suksesornya. Morgan segera terhubung dalam usaha dengan N.M Rothschild Company. Relasi ini dilaksanakan dengan memperbesar jumlah pengapalan besi untuk pembuatan jalan kereta api Amerika. Terlihat sebagai pola standar kelompok Bankir menggolkan gagasannya. Yaitu dengan menciptakan krisis. Dua puluh tahun setelah krisis keuangan tahun 1837, terjadi lagi krisis keuangan di tahun 1857. Krisis itu datang bersamaan dengan berakhirnya perang Amerika-Mexico. Menariknya, Amerika segera memasuki perang saudara antara Uara-Selatan selama tiga tahun sejak 1861, yang bibitnya telah lama tersemai. Lebih menarik lagi, pada tahun 1861 itu juga Abraham Lincoln memasuki kekuasaan sebagai Presiden. Entah disengaja atau tidak, tetapi Abraham Lincoln, Presiden paling dikenang dalam diskursus demokrasi ini, segera menemukan kenyataan yang begitu pahit. Disadari atau tidak, kabinet Lincoln diisi sedikitnya empat menteri, yang bukan tidak cukup dikenalnya, tetapi mereka bekerja untuk agenda para Bankir. Lord Charnwood dalam bukunya yang berjudul “Abraham Lincoln” diterbitkan tahun 1917, mengidentifikasi empat figur yang tidak dikenal Lincoln masuk dalam kabinetnya. Keempat menteri itu adalah yang Seward dari New York, (Menteri Luar negeri), Salmon P. Chase dari Ohio (Menteri Keuangan), Georege Bates dari Missouri (Jaksa Agung), dan Gideon Wells (Pensylvania), menggantikan Comeron perwakilan Pensylvania, yang dikenal korup. Lincoln jelas telah menghadapi masalah dikabinetnya. Rebeca Cristine Roberts dalam tesis Magister pada Birmingham University 2015 mengidentifikasi sejumlah hal menarik. Menurutnya, Seward justru menghendaki agar Lincoln memungkinkan Inggris ikut campur dalam perang itu. Seward berpendapat Ratu Inggris memiliki kedudukan istimewa di Amerika. Inggris dan Amerika menurut Seward dua Negara yang bersahabat. Dalam kenyataannya, Inggris tidak netral dalam perang ini. Menurut identifikasi Petterson, Inggris dan Perancis, negeri yang Bankir teratasnya ditempati oleh Rothschild bersaudara, mengirimkan pasukan membantu Selatan, pemicu perang saudara ini. Perang dan Krisis Lincoln juga menghadapi masalah keuangan. Carisa Peterson, dalam Dady “War” Buck How Lincoln Founded The Civil War and Father The Modern System of American Finance, yang dmuat dalam Lincoln Memorial University Law Review Vol 7 Nomor 1, 2020, menunjukan sepanjang 1857-1861 pendapatan negara merosot sebesar U$41.5% miliar. Sementara pengeluaran pemerintah berkisar U$65 miliar. Ralp H. Petterson menyodorkan fakta yang cukup eksplosif. Menurut Petterson, Salmon P. Chase, Menteri Keuangan Kabinet Abraham Lincoln, yang kelak namanya digunakan sebagai nama sebuah bank “Chase Manhattan Bank” (milik kelompok Rockeffeler), mengancam para bankir lainnya. Ancamannya adalah jika mereka tidak “menerima obligasi” yang dikeluarkannya, maka dia akan “membanjiri negara dengan uang kertas.” Perang itu membutuhkan duit besar. Bankir tahu itu. Perang Inggris dengan Prancis tahun 1815 memberi pengetahuan terbaru tentang masalah ini. Perang memerlukan peralatan, dan hal yang lain berkaitan. Lincoln harus menanganinya dengan cepat. Tidak mau bergantung dan dipermainkan bankir, Lincoln segera memutuskan sikapnya tidak meminjam uang dari bankir. Menurut Petterson, Lincoln juga mengambil sikap tidak menciptakan uang yang berbunga. Dia segera mendirikan State Bank, tindakan yang diam-diam dinantikan dan dikehendaki oleh Bankir internasional, yang bekerja melalui Salmon P. Chase, menteri keuangannya. Cara Loloskan Agenda Lincoln terjebak? Itu satu hal. Tahun 1863 pemerintahan Lincoln segera menemukan National Currency Act, yang setahun kemudian diubah menjadi National Banking Act. UU ini menjadi dasar pendirian National Bank. Bank ini dirancang untuk menyediakan uang yang dipinjamkan kepada pemerintah. Untuk tujuan itu mereka dapat “mecetak” (tanda petik dari saya) uang kertas dalam jumlah besar. Uang ini, tulis Petterson lebih jauh, tidak hanya tidak didukung emas, tetapi juga bebas utang. Dalam penilaian Petterson, Lincoln dengan tindakannya itu, memasuki permainan berbahaya. Dia menantang bankir Internasional. Tetapi Lincoln tak memedulikan. Telah berhasil menjadikan Salmon P. Chase sebagai proxy mereka dalam pemerintahan Lincoln, bankir internasional segera meluncurkan gagasan pajak progresif ke kongres. Bukan Lincoln, tetapi Salmon P. Chase yang menggemakan gagasan itu. Gagasan ini terlihat logis, karena kala itu pendapatan negara telah merosot jauh. Gagasan pajak progress dirancang dalam skema berikut. Pendapatan sebesar U$10.000 dikenakan pajak 3%. Dan pendapatan melebihi jumlah itu dikenakan pajak sebesar 5%. Terlihat kebijakan ini akan menambah pendapatan negara. Digambarkan oleh Paul Post dalam “Lincoln Gamble”, disertasi pada Rutledge University 2009, Lincoln memunculkan gagasan menghentikan perang. Kepada mereka di Selatan yang memberontak, akan diberi Amensty. Dan Selatan akan direkonstruksi, dibangun. Sayangnya gagasan ini mendapat penolakan dari jaringan Bankir, yang ada di Kongres. Kenneth Stamp, justru menghendaki rekonstruksi, tanpa disertai hal lainnya. Hasrat ini terlihat terlalu minim pada level rasionalitasnya. Untuk tujuan menyediakan biaya rekonstruksi, maka pendapatan negara harus diperbesar. Dengan demikian, maka UU tentang pendapatan nasional muncul sebagai sesuatu yang mutlak disediakan. Lincoln tidak menyukai gagasan ini. Lincoln menyatakan akan memveto UU itu. Kenyataannya, Revenue Act 1862, dikenal dengan nama Stamp Tax, tetapi dibuat. Bersamaan dengan itu keluar juga : Legal Tender Act 1862. Setahun kemudian Kongres mengeluarkan lagi National Currency Act 1863, yang diubah menjadi National Bangkin Act 1864. Dalam Legal Tender Act, Menteri Keuangan, yang tidak lain adalah Salmon P. Chase diberi wewenang menerbitkan paper note untuk membayar utang pemerintah. Juga mencetak uang kertas sebesar U$ 150.miliar. Uang in dikenal dengan greenback. Leluasakah para bankir dengan National Banking Act 1864? Yang memberi pemerintah kewenangan mendirikan State Bank? Kelak jelas pada semua aspeknya, kebijakan ini dinilai Bankir sebagai kebijakan yang meruggikan mereka. Dengan alasan tidak senapas dengan mekanisme pasar. Sukseskah Lincoln dengan National Banking Act itu? Tidak. National Banking Act justru menandai kemenangan para Bankir. Mengapa? Memang setelah tahun itu dibuat Michigan Act 1837. Tetapi Act ini mengatur pendirian Bank pakai charter. Persis seperti Inggris pada tahun 1694. Praktis sejak 1837, tidak ada lagi UU yang menjadi dasar kelangsungan bank national. Bankir, sekali lagi, sukses besar dengan National Banking Act 1864 itu. Dimana letak suksesnya? National Banking Act itu menjadi dasar 1500 Bank yang telah beroperasi setelah 1837 memiliki pijakan sebagai bank nasional. Pola ini terlihat mirip pola yang dipakai di Inggris. Persis Inggris dengan Tonage Act dan Continuance Act. Mereka menyamarkan tujuan utamanya. Lincoln dilantik lagi sebagai Presiden untuk periode keduanya pada tanggal 4 April 1865. Memang telah begitu banyak UU dibuat, termasuk The Banking Act 1864. Tetapi entah apa, karena Lincoln masih terlihat berseberangan dengan rencana oligarkis itu, atau sebab lain, mati ditembak John Wilkes Boot dan mati pada ta tanggal 14 April 1865. (Bersambung)