EKONOMI
Sri Mulyani Mundurlah
MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati curhat kepada bos Dana Moneter Internasional (IMF-International Monetary Fund). Ia menyampaikan curahan hatinya, karena pada saat negara sedang darurat, masih saja ada orang yang melakukan korupsi atau merampok hak-hak rakyat. Berbicara di depan bos IMF dan perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Sri Mulyani menceritakan tentang Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena diduga menerima uang korupsi Rp 17 miliar lebih. Juliari, Wakil Bendahara Umum PDIP itu adalah rekan Sri Mulyani pada Kabinet Kerja. Tidak jelas, apakah curhat itu dimaksudkan agar IMF maupun lembaga keuangan internasional, dan negara-negara donor berhati-hati memberikan pinjaman kepada Indonesia. Atau malah sebaliknya, dengan curhat itu, diharapkan IMF dan lembaga keuangan lainnya lebih ringan menggelontorkan pinjaman kepada Indonesia yang sangat membutuhkan. Wajar jika mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyampaikan curahan hati dan kegalauannya itu. Ia galau karena masih ada saja yang tega korupsi, mengambil hak rakyat yang sangat membutuhkan pada saat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) mewabah. Pantas ia curhat, karena ada pejabat dan koroninya yang tega merampok hak-hak rakyat yang sangat mendasar. Curhatannya itu bisa jadi keluar karena Sri Mulyani merasa sudah capek mencari utang, tetapi sebagian uangnya disamun teman sendiri. Bisa jadi curhatan itu merupakan ekspresi kekesalan dan kemarahannya, karena memperoleh pinjaman atau utang semakin sulit. Kalau Sri Mulyani jengkel atas perilaku koruptor, rakyat lebih jengkel lagi. "Teganya dana bansos yang merupakan hak rakyat yang sangat membutuhkan dirampok. Semoga saja pelakunya, terutama Juliari dihukum mati," demikian antara lain ungkapan hati rakyat yang dituangkan di media sosial. Sebagai bentuk kemarahan dan kekesalan, sejumlah caci-makian pun bertebaran di dunia maya. APBN 2021 yang baru masuk juga membutuhkan pinjaman. Apalagi, tahun ini pemerintah harus membayar bunga utang Rp 373,3 triliun atau naik 10,2 persen dari tahun 2020 sebesar Rp 338,8 triliun. Pendapatan dari pajak diperkirakan masih jauh dari memadai. Hal ini mengingat roda perekonomian sepanjang tahun ini diperkirakan belum pulih. Jalan keluar, mencari utang atau pinjaman luar negeri. Akan tetapi, mencari utang diperkirakan semakin sulit karena hampir semua negara peminjam akan fokus pada pemulihan ekonomi masing-masing. Sedangkan kas lembaga-lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan Dana Moneter Internasional) diperkirakan terus menipis. Seandainya dana yang mereka miliki cukup, diyakini prioritas pinjaman atau bantuan yang akan disalurkan tentu ke sejumlah negara-negara yang semakin dalam kemiskinannya akibat Covid-19. Keluhan Sri Mulyani uang rakyat dikorupsi, menunjukkan, ekonom yang berasal dari Universitas Indonesia cengeng dan sekaligus putus asa. Padahal, masalah korupsi tidak hanya terjadi saat ini. Itu penyakit lama yang semakin akut. Sri Mulyani barangkali lupa, kasus suap dan pencucian uang yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, saat masih menjadi pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Sekadar mengingatkan saja, kasus ini sangat menghebohkan karena membuat sebagian rakyat segan membayar pajak. Rakyat yang membayar pajak marah saat itu. Jika dirunut ke belakang, cukup banyak uang pajak yang ditilep oleh oknum-oknum pegawai pajak, baik yang sempat ditahan dan diproses sampai pengadilan, maupun yang tidak tersentuh aparat penegak hukum. Padahal, uang pajak yang berasal dari rakyat itu sejatinya digunakan untuk membiayai sejumlah keperluan negara dan rakyat. Uang rakyat dikorupsi, sudah menjadi pemberitaan media dan perbincangan yang ramai tiap hari. Korupsi semakin marak dan menyebar terjadi setelah reformasi 1998. Jika di masa orde baru korupsi lebih melekat di kalangan Bina Graha untuk kalangan pejabat atau Cendana untuk kalangan keluarga dan kroni Pak Harto, maka sejak reformasi korupsi sampai ke pelosok desa. Bina Graha adalah salah satu nama di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta yang menjadi tempat Soeharto berkantor. Cendana adalah Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat yang menjadi tempat tinggal Soeharto dan keluarganya. Kini korupsi sampai ke pelosok desa. Sejumlah kepala desa atau perangkatnya berurusan dengan penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) karena menilep dana desa. Bergeser ke tingkat kabupaten, kota, provinsi dan nasional, korupsi semakin banyak dan besar-besar, terutama yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Korupsi berjamaah pun seringkali disandangkan, karena melibatkan banyak orang. Malah, dalam satu kasus korupsi yang ditangani KPK, suami, istri, anak dan mantu terlibat. Bahkan, ada juga yang melibatkan adik kandung atau kerabat dekat lainnya. Korupsi sudah menjadi penyakit kronis. Ada KPK yang dikenal galak memberantasnya, korupsi masih merajalela. Apalagi lembaga antirasuah itu tidak ada. Kalau Sri Mulyani curhat atas korupsi bantuan sosial yang dilakukan Juliari Batubara, maka rakyat menjerit. Rakyat menangis atas sikap pejabat negara yang materialistik dan semakin menunjukkan perilaku hedon. Rakyat meringis, karena banyak jatah yang tidak sampai kepada mereka. Mbak Sri, dengarlah suara hati nurani rakyat. Anda sudah berusaha keras cari utang dan mengumpulkan pajak dari rakyat, tapi masih digarong sana-sini. Terlebih lagi penggunaan dana Covid-19 yang ratusan triliun yang masih dipertanyakan banyak orang. Anda jangan cuma curhat. Sudahlah, mundur saja dari Menteri Keuangan. Sebab, uang rakyat terus diembat oleh orang yang tidak menggunakan hati nurani dan tidak punya akal sehat. **
Program BPUM Jokowi Menyengsarakan Pelaku UMKM
by Bambang Tjuk Winarno Madiun, FNN - Rabu (06/01). Para pelaku usaha kecil dan menengah di wilayah Kabupaten Madiun, Jawa Timur, mendadak tidak mempercayai kebijakan ekonomi Presiden Jokowi lewat Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM) yang tersalurkan program bantuan langsung tunai (BLT) Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Hal itu baru disadari setelah bantuan yang sudah diterima usahawan kelas teri tersebut ditarik kembali pihak BRI, bahkan masih dikenakan kewajiban membayar sejumlah utang. Sedikitnya tercatat 3 orang wira usaha berbagai bidang, yang dimintai konfirmasi jurnalis atas musibah yang menimpanya. Mereka masing masing Rini, warga Desa Klecorejo, Kecamatan Mejayan, Yuliana, warga Madiun dan Riana, warga Kecamatan Manguharjo, Madiun Kota. Rini yang didampingi Yitno, suaminya, kepada jurnalis, Rabu (06/1), merinci kisah sedihnya yang diawali saat dia mendaftar BLT UMKM via daring pada Agustus tahun lalu. Beberapa hari usai pendaftaran yang hanya berbekal nomor KTP nya itu, dia mendapat jawaban yang menyatakan pihaknya layak mendapat bantuan tersebut. Bantuan sebesar Rp. 2.400.000 tersebut langsung nangkring di rekeningnya pada 15 Agustus 2020. Rini langsung mencairkan dana tersebut, lantaran segera digunakan untuk mengembangkan usahanya di bidang penjualan baju muslim secara online. Namun sirnalah kegembiraan itu. Pasalnya, dana sebesar Rp. 1.200.000 yang ditransfer Winata, warga Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, yakni konsumen pemesan baju muslim, pada Senin (4/1), itu lenyap saat hendak dicairkan Rini. "Jadi uang dari konsumen itu mau saya belanjakan untuk memenuhi pesanannya. Ternyata kartu ATM saya kosong. Bahkan saya malah dinyatakan punya hutang BRI sebesar Rp. 1.200.000," ungkap Rini. Makin memilukan saat dia meminta penjelasan kepada pihak BRI setempat, atas bencana yang dialaminya. Rini, menurut petugas BRI, sesuai verifikasi lanjutan ternyata tidak memenuhi syarat sebagai penerima bantuan. Pihak BRI, menurut Rini, membekukan rekeningnya lantaran rekening tersebut terdaftar sebagai penerima bantuan, yakni Banpres Produktif Usaha Kecil (BPUM) yang tersalurkan lewat program BLT UMKM. "Bantuan itu tidak menyenangkan. Tapi malah menyusahkan. Bagaimana tidak, saya jadi pontang panting kalau begini ini. Masih dianggap punya hutang BRI lagi," keluhnya. Pihak BRI, menurut Rini, akan mengaktifkan kembali rekening bank nya jika dia sudah mengembalikan utangnya kepada BRI sebesar Rp. 1.200.00. Sementara LSM Garda Terate Madiun yang mendengar persoalan ini, langsung bereaksi keras dan segera melanjutkan laporannya ke Kejaksaan setempat. Kepada jurnalis yang menemuinya terpisah, Bambang Gembik, personil LSM Garda Terate Madiun, menilai bantuan itu dapat dikatakan praktek 'akal akalan' pemerintah berkedok membantu. "Bantuan pemerintah kepada pelaku usaha kecil lewat program BLT UMKM itu gratis. Cuma cuma alias hibah. La kok dibilang hutang oleh BRI. Katakanlah kalau benar nasabah hutang, apakah BRI punya bukti otentik yang menyatakan nasabah itu pinjam uang?," bentak Gembik. Lebih lanjut Gembik menyoroti cara BRI menagih pinjaman kepada nasabah, yang dlakulan dengan cara langsung memangkas dana dari rekening milik nasabah tanpa konfirmasi yang berhak. Yang lain, cetus Gembik, bab pembekuan rekening nasabah dengan alasan yang bersangkutan tidak memenuhi syarat pada verifikasi lanjutan, dianggap sebagai alasan orang tidak waras. "Begini ya. Kalau memang benar ada verifikasi lanjutan, itu artinya verifikasi pertama belum fix. Belum final. Lah kalau belum final kenapa uang bantuan kok sudah ditransfer kepada nasabah? Waras gak ini?," hardiknya. Sebagaimana dikutip Antara, Selasa (25/8/2020), Presiden Jokowi menegaskan, "Sekali lagi Banpres produktif ini perlu saya sampaikan ini adalah hibah, bukan pinjaman, bukan kredit, tapi hibah,”. Disambung Gembik, kasus tersebut diduga menimpa ribuan pelaku usaha kecil dan menengah di wilayah Madiun, yang tertatih tatih mencari bantuan dana modal guna mengembangkan usahanya. Sementara Asisten Manager Bisnis Mikro BRI Cabang Madiun, Herman, yang hendak dikonfirmasi jurnalis di kantornya, Jalan Pahlawan Madiun, ternyata tidak berada di tempat. "Bapak tidak ada di kantor. Sedang pergi keluar kantor," tutur pria gendut, yang enggan namanya di online kan, namun bersedia disebut posisinya sebagai Resepsionis BRI setempat. Resepsionis itu juga enggan memberikan nomor seluler Herman, saat diminta jurnalis untuk konfirmasi, dengan alasan pihaknya tidak mengetahui seluler Herman. Untuk menuntaskan kasus ini, LSM Garda Terate Madiun, menurut Gembik, segera mengumpulkan bukti bukti dari para korban untuk secepatnya dimasukkan ke Kantor Kejaksaan setempat, sebagai laporan. Penulis adalah Pelaku UMKM.
Bohongi Presiden Soal Tex Amnesty, Membuat APBN Bangkrut
by Salamudian Daeng Jakarta FNN – Rabu (04/11). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia bangkurtu. Itu karena Presiden Jokowi sitengarai dibohongi mentah-mentah oleh para menterinya. Presiden dibohongi oleh para pembantunya sendiri. Salah satu bentuk kebohongan terhadap presiden yang paling kasar, terbuka dan telanjang adalah penipuan para pembantu presiden dalam proyek tax amnesty. Entah siapa yang menyuruh para menteri untuk ngefrank presiden. Siapa yang membayar mereka, sehingga melakukan hal demikian? Tega-teganya membohongi presiden yang telah memberikan tempat terhormat sebagai menteri. Sebagai pembantu presiden, seharusnya memberikan masukan yang tidak menjebloskan presiden ke jurang yang dalam. Bayangkan saja proyek tax amnesty atau pengampunan pajak oleh pemerintah ini telah mengobral janji kepada presiden. Bahwa proyek tax amnesty akan memberikan sumbangan pemasukan negara yang sangat besar. Presiden lalu dijanjikan, bakal ada uang masuk lebih dari Rp. 10.000-11.000 triliun yang akan lewat proposal tax amnesty. Obral janji ini dilakukan di hadapan seluruh rakyat Indonesia yang menyaksikannya. Tentu saja presiden sangat tergiur dan berharap banyak dengan janji surga uang dari tax amnesty tersebut. Wajar-wajar saja kalau Presiden Jokowi berhayal atau membayangkan besarnya anggaran negara untuk menggerakan pembangunan nasional di masa kepemimpinan Bayangkan juga bakal ada auang belasan ribu triliunan yang masuk ke dalam ekonomi Indonesia. Uang itu lalu ditempatkan di bank-bank nasional. Setelah itu diinvestasikan dalam sekror infrastruktur. Ada juga sebagian yang masuk ke dalam Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) dan usaha-usaha rakyat. Bunga bank bisa sangat rendah karena dampak dari liquiditas melimpah. Tentu saja ini akan menjadi prestasi yang besar bagi Presiden Jokowi. Jokowi bakal dikenang sebagai presiden yang paling banyak dan berhasil meciptakan duit masuk ke dalam negera. Angan-angan Indonesia bakal menjadi gemah ripah loh jinawi. Sebab uang bukan lagi persoalan yang menjadi hambatan untuk kemajuan pembangunan Indonesia yang pesat dan cepat. Tetapi kenyataannya tidak ada uang yang masuk. Ujung tombak proyek tax amnesty yakni Sri Mulyani telah gagal total dalam melaksanakan proyek ini. Namun menteri keuangan terbaik dunia ini sepeti tidak merasa malu. Tidak merasa bertanggung jawab atas seluruh kegagalan proyek tax amnesty. Proyek ini sama sekali tidak dievaluasi. Semua lepas tangan. Seperti tidak pernah ada proyek tax amnesty saja. Apa yang sebenarnya terjadi dalam tax amnesty? Semua masih gelap sampai sekarang. Namun berbagai pihak menduga kalau ada penghapusan piutang negara kepada pengemplang pajak secara sengaja. Penghapusan piutang kepada bandit keuangan. Bandit sumber daya alam. Bandit yang menempatkan uang hasil kejahatan perpajakan di Indonesia pada perbankan secara ilegal. Baik itu pada perbankan dalam negeri maupun di luar negeri. Akibatnya negara kehilangan kewenangan untuk melakukan tagihan pajak kepada para bandit tersebut. Negara kehilangan potensi pendapatan setelah diteterapkannya tax amnesty. Yang terjadi setelah tax amnesty membuktikan bahwa argumentasi di atas hanyalah kebohongan dan kejahatan terencana para menteri kepada Presiden Jokowi semata? Uang masuk belasan ribu triliun terbukti hoax yang besar. Tidak ada tambahan subyek dan obyek pajak pemerintah secara significant. Malah yang terjadi sebaliknya, pemerintah kehilangan potensi penerimaan pada tahun tahun berikutnya setelah tax amnesty. Ini dikarenakan penghapusan tagihan piutang pajak negara. Akibatnya APBN yang sebelumnya sudah payah makin sekarat. Terbukti APBN tahun-tahun berikutnya, anggaran negara jebol. Pemerintah menutup defisit angaran yang besar dengan membuat utang baru. Ibarat menggali lobang untuk menutupi goa. Pembiayaan alias utang menjadi andalan utama APBN. Dampaknya, utang pemerintah meningkat secara pantastis. Peningkatan tersebut terjadi dalam komponen utang luar negeri dan Surat Utang Negara (SUN). Hingga bulan September 2020 surat utang negara telah mencapai Rp. 2.861 triliun. Utang luar negeri pemerintah mencapai US 200 miliar atau setara dengan Rp. 2.900 triliun, pada kusr 14.750,- per dolar. Utang pemerintah telah bertambah dalam tahun 2020 saja senilai Rp. 600 triliun. Angka tersebut lebih dari Rp. 1.039 triliun utang yang direncanakan pemerintah untuk menutup defisit tahun 2020. Itu menurut data resmi Bank Indonesia (BI). Berbeda dengan data BI, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani hanya 30% dana asing dalam utang Indonesia. Pernyataan ini sangat menakutkan, mengingat Utang Luar Negeri Indonesia pemerintah dan swasta adalah US 408 miliar. Jika jumlah tersebut adalah 30 persen dana asing dari total utang, maka utang Indonesia sekarang sudah mencapai US 1.360 miliar. Jika dibandingkan dengan Produk Demostik Bruto (PDB) Indonesia, yang hanya US 1.000 miliar, maka utang yang dibentuk di Indonesia telah mencapai 136% dari GDP Indonesia. Bisa dibayangkan, disaat ekonomi covid dan resesi sekarang ini, jika pemerintah, BUMN dan swasta bangkrut secara bersamaan, maka negara ini 136 persen akan disita oleh para pemberi utang. Artinya, walaupun seluruh rumah yang ada di Indonesia sudah dijual, namun penduduknya masih saja diburu oleh para rentenir global. Penduduk Indonesia masih saja diharuskan membayar sisa utang 36% lagi. Sekarang dengan alasan covid menteri keuangan akan utang lagi sebanyak Rp. 1.039 triliun untuk menyuntik swasta, BUMN dan bank-bank. Dalam situasi normal saja tidak bisa bayar utang. Lalu mereka ngefrank presiden lagi bahwa Indonesia terkena resesi dan harus utang. Swasta dan bank-bank perlu suntikan dana. Bilang ke Presiden Jokowi, “utang Indonesia masih aman ko Pak Presiden. Indonesia ini kaya raya ko Prak Presiden. Vahkan nanti setelah covid 19, Indonesia bisa bayar semua utang-utang tersebut”. Ngeri nggak ya? Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).
Uang Siapa Yang Mau Diembat Untuk APBN?
by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Sabtu (31/10). Sepanjang tahun 2020 tambahan utang luar negeri pemerintah amat kecil. Kurang dari U$ 1 miliar saja. Informasi ini didapat dari data Bank IndonesiaSelain itu, data ini juga disampaikan sendiri oleh Menteri Keuanghan Sri Mulyani tentang utang luar negeri Indonesia dalam lomba konten Anggaran Pendapatann dan Belanja Negara (APBN). Lho, APBN Kok dilombakan? Pencitraan buat apa ini? Namun yang pasti utang yang bersumber dari Surat Utang Negarabertambah sekitar Rp. 600 triliun lebih. Angka tersebut sampai dengan akhir Agustus 2020. Ini adalah utang dalam negeri. Kebetulan saja belom ada sumber lain bisa diandalkan untuk dipakai mengisi kekosongan APBN tahun 2020 dan 2021 nanti. Pertanyaannya, ini utang dari duitnya siapa? Sebagian kita tau bahwa pemerintah meminjam dana Bank Indonesia. Pemerintah juga memaksa Bank Indonesia untuk membeli Surat Utang Negara di pasar perdana. Jumlahnya sengaja tidak diumumkan secara resmi, namun pemerintah memasang target pembiayaan atau utang lebih dari Rp. 1000 triliun lebih. Bank Indonesia apakah akan mengggunakan seuruh uang bank yang dipegangnya untuk membeli Surat Utang Negara di pasar perdana? Padahal uang yang dipegang Bank Indonesia merupakan dana masyarakat dalam cadangan wajib minimum (GWM) bank yang disimpan di Bank Indonesia. Apakah dana ini juga mau dialihkan ke APBN. Luar biasa kalau sampai Bank Indonesia berani melakukan kebijakan yang konyol itu. Membeli Surat Utang Negara di pasar perdana dengan menggunakan dana masyarakat yang disimpang di Bank Indonesia. Karena hal itu mengandung resiko sangat besar. Mengapa demikian? Mengingat yang mau dipakai untuk membeli Surat Utang Negara di pasar perdana tersebut adalah dana tabungan milik masyarakat di bank. Dana tersebut bisa dicairkan sewaktu waktu. Kapan saja kalau dibutuhkan. Apalagi dalam kondisi sepertri sekarang. Nah, bisa dibayangkan kalau masyarakat mencairkan dananya, namun tiba-tiba bank tidak punya dana karena sudah dipakai untuk membeli Surat Utang Negara di pasar perdana? Bisa saja terjadi masyarakat anti dan mengular berkepanjangan di teler dan ATM untuk melakukan penarikan besar-besaran. Inilah awal dan akhir malapetaka bagi Pak Jokowi dan pemerintahnya. Kalau begitu, darimana sumber lain dari utang dalam negeri pemerintah? Kuat dugaan bahwa dana masyarakat yang ada di PT Jamsostek, PT Taspen, PT asabri, Dana Haji, Dana Zakat, Infak dan Sadakah, dana perusahaan asuransi dalam negeri BUMN dan swasta semua “dipaksa” untuk dimasukin ke dalam APBN sebagai Surat Utang Negara. Selain sumber-sumber ini, tentu tidak ada lagi sumber dalam negeri yang bisa disedot masuk ke APBN. Tidak mungkin orang menjual tanah atau harta bendanya hanya untuk membeli Surat Utang Negara yang dijual pemerintah Jokowi . Belum pernah ada pengakuan masyarakat seperti itu. Sehingga ini boleh jadi, dana-dana yang sudah parkir di lembaga keuangan, baik bank maupun non bank bakal disedot besar-besaran ke dalam Surat Utang Negara. Dipastikan ini adalah langkah yang sangat berbahaya dari Menteri Keuangan. Memaksakan diri dengan pengeluaran yang besar, namun didapat dari utang kepada dana masyatakat. Selain itu, memaksakan diri juga untuk melalukan suntikan dana besar kepada perusahaan swasta milik konglomerat dan BUMN. Namun dengan menyedot tabungan dan simpanan masyarakat. Yang sasngat mengerikan sekali jika kebijakan ini mengkibatkan terjadi sedikit saja keguncangan dalam sekror keuangan. Semuanya bisa bablas dan hancur-hancuran. Sebab bisa amblas semuanya bersama dengan APBN. Ledakannya bisa melewati krisis 98. Mudah mudahan saja tidak terjadi. Kondisi ini makin diperparah lagi dengan sikap pemerintah telah mengabaikan sama sekali prinsip- prinsip pengeloaan anggaran yang transparan dan akuntable dalam era pandemi. Dengan kekuasaan penuh pada Presiden dan Menteri Keuangan sebagaimana yang diberikan oleh UU Nomor 2 Tahun 2020 sebagai pengesahan Perpu Darurat Nomor 1 Tahun 2020, maka pemgelolaan anggaran pemerintah sangat tertutup dan sesuka hati saja. Bahayanya jika terjadi masalah, maka tidak ada yang bisa mengingatkan pemerintah. Jika tidak ada alarm yang kuat dari Badan Pemeriksa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan dari publik, maka krisisi bisa terjadi secara mendadak. Selain itu, anggaran negara dapat dikorupsi sesuka hati. Makanya waspadalah! Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).
Bahaya Bank Indonesia Jadi ATM Pemerintah
by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Selasa (20/10). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN), baik untuk tahun 2020 maupun 2021 dalam bahaya. Karena penerimaan negara dari pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) cekak. Sementara untuk dapat utang dalam besar hari ini, tidak tidak mudah. Selain tidak ada yang percaya, banyak negara peminjam punya persoalan keuangan yang sama. Akhirnya pemerintah kemungkinan menggunakan dana bank-bank komersial yang disimpan di Bank Indonesia. Sementara defisit APBN terhadap Penerimaan Demostik Bruto (PDB) juga semakin membesar dan melebar. Kenyataan ini sebagai akibat dari penerimaan pajak dan PNBP menurun drastis tersebut. Semua kekurangan penerimaan pemerintah di APBN, baik itu yang bersumber dari pajak maupun PNBP diupayakan untuk ditutupi dengan berhutang kepada Bank Indonesia. Intrumennya melalui Quantitative Aesing (QE). Padahal dana yang tersedia di Bank Indonesia adalah dana cadangan minimum bank. Dana cadangan minimum bank adalah dana tabungan masyarakat. Untuk tahun 2021 mendatang, diperkirakan utang luar negeri terhadap PDB semakin membesar dan melebar. Derkirakan bakal lebih dari 50 persen terhadap PDB. Ini dikarenakan PDB menurun. Sementara utang bakal bertambah 50 persen dibandingkan periode tahun sebelumnya. Utang pemerintah akan melompat menjadi 4- 5 kali dari APBN. Utang pemerintah juga akan melompat menjadi 10 kali pendapatan negara dari pajak. Pada saat yang sama ada signal kuat bahwa pemerintah akan kesulitan untuk mendapatkan pembiayaan dari luar negeri dan pasar keuangan internasional. Kondisi ini sebagai akibat dari QE yang telah mendapat penolakan dari pasar dan institusi keuangan internasional. QE dipandang oleh pasar dan institusi keuangan internasional sebagai kegiatan yang tabu dan sangat membahayakan stabilitas keuangan. Aturan ini memang tidak tertulis. Namun akan menjadikan Bank Indonesia sebagai ATM pemerintah adalah kebijakan yang sangat konyol. Karena dana di Bank Indonesia adalah tabungan masyarakat. Kapan saja bisa ditarik oleh masyarakat. Berutang kepada Bank Indonesia atau utang kepada bank adalah utang jangka pendek yang riskan. Harus dibayar pada periode tahun anggaran 2021 - 2022. Kemungkinan besar pemerintah tidak akan sanggup untuk membayar pada periode tersebut. Untuk itu harus dan perlu diwaspadai. Jangan sampai masyarakat tidak dapat mencairkan tabungan dan deposito mereka karena bank tidak lagi ada uang. Uang Kotor Rp 10.000 Triliun Proposal Omnibus Law tidak mendapat sambutan baik. Malah mendapat kritik keras dari bank dunia. Begitu juga dengan organisasi Lingkungan Hidup Internasional. Omnibus Law sulit untuk meyakinkan komunitas keuangan internasional. Sebab para investor global umumnya menginginkan melakukan investasi di negara yang ramah lingkungan. Jadi penolakan atas proposal Omnibus Law ini akan memperparah keadaan keuangan pemerintah kelak. Program dana talangan kepada bank, terutama perusahan swasta dan Usaka Mengenah Kecil dan Mikro (UMKM) besar kemungkinan akan gagal. Karena tidak ada tersedia anggaran sesuai yang di rencanakan. Ini juga akan memiliki implikasi lebih buruk pada pertumbuhan ekonomi ke depan. Proyek cetak uang oleh pemerintah ditentang oleh pasar dan institusi Internasional. Uang Indoensia kemungkinan akan dilock oleh internasional jika benar benar melakukan pencetakan uang. Sangat tidak masuk akal jika pemerintah mencetak uang modal kertas dan tinta hanya untuk membeli barang impor dan membayar utang luar negeri. Asing siapa mau terima uang kayak begitu? Pilihan yang terbaik untuk pemerintah adalah melakukan penghematan. Memangkas tunjangan, dan perjalan dinas. Pertemuan-pertemuan yang tidak penting ditiadakan. Bahkan bila perlu memangkas gaji pegawai. Ini memang laggkah yang sulit, tetapi pemerintah tak mungkin punya jalan keluar. Karena sumber pendapatan utama dari pajak sumber daya alam minyak, batubara dan lain-lain akan anjlok. Pilihan paling mungkin yang dilakukan pemerintah adalah menyita uang para koruptor. Terutama mereka yang menyimpan uang hasil kejahatan keuangan di luar negeri. Biasa disebut dengan “uang kotor”. Dengan demikian, akan tersedia cukup dana untuk melanjutkan roda pemerintahan dan APBN. Nah, data mengenai siapa-siapa saja pengusaha Indonesia yang uangnya disimpan di luar negeri itu? Apalagi yang ditenggarai sebagai uang hasil kejahatan tersebut, sudah ada di kantong presiden. Nilainya lebih dari Rp 10.000 triliun. Tinggal berani untuk memulai saja ko Pak Presiden. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).
Forbest Tangsel Minta UU Cilaka Dicabut
by Tjahja Gunawan Serpong FNN - Jumat (09/10). Forum Bersama Tangerang Selatan atau Forbest bersama seluruh elemen masyarakat yang bergabung di dalamnya menolak dan meminta UU Cipta Lapangan Kerja dicabut. Forbest juga menyerukan kepada pemerintah dan DPR untuk menghentikan berbagai pembahasan UU dan pembuatan kebijakan kontroversi yang memancing reaksi keras dari masyarakat. Selain itu, Forbest juga menyerukan kepada pemerintah dan DPR untuk fokus pada penanganan pandemi Covid19. Penolakan dan seruan tersebut disampaikan penanggungjawab Forbest Martha Bachtiar dan Susan San Soesilawati di Serpong, Tangsel, Kamis sore (8/10). Seperti diketahui, pasca pengesahan UU Cipta Lapangan Kerja oleh DPR padà sidang paripurna Senin malam (5/10) telah memancing penolakan dalam bentuk pernyataan sikap dan unjuk rasa dari kalangan buruh, mahasiswa, pelajar dan elemen masyarakat lainnya secara luas. UU tersebut diusulkan oleh Pemerintah dan ditetapkan oleh DPR-RI . Martha Bachtiar mengungkapkan, Forbest menilai UU Cilaka sangat berpotensi merugikan bangsa Indonesia khususnya kalangan pekerja. Sementara penguasaan sumber daya alam justru dikuasai penguasa besar dan pemodal asing. UU Cipta Lapangan Kerja hanya memberi kemudahan dan pelonggaran bagi pihak asing dalam penguasaan aset dan sumber daya alam. "UU tersebut membuka seluas luasnya masuknya tenaga kerja asing ke seluruh sektor bisnis dan industri pada setiap level dan kompetensi tanpa batasan dan aturan yang jelas, sehingga mengurangi peluang dan tidak memberikan kesempatan bersaing secara adil kepada Tenaga Kerja Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak di negerinya sendiri," ungkap Martha Bachtiar. Ketidakjelasan dan berkurangnya hak hak buruh dan pekerja dalam hak cuti, pesangon, outsourcing, PHK, UMR, training dan lebih berpihak kepada kepentingan pengusaha dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan Menurut Martha, sangsi hukum bagi pihak yang melanggar UU tersebut tidak jelas sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan, ketidakteraturan dan kerusakan pada seluruh sektor ekonomi, sumber daya alam dan sumber daya manusia Selain itu, pembahasan UU yang tidak transparan dan terburu-buru dengan tidak melibatkan para ahli dan masyarakat luas untuk memberikan masukan dan aspirasi dalam perumusan undang undang tersebut sangat berpotensi menguntungkan pihak pemodal dengan mengabaikan kepentingan bangsa dan negara. Proses pengambilan keputusan yang secara kasat mata tidak mencerminkan budaya bermusyawarah yang baik dan arogansi sepihak dari pimpinan DPR-RI adalah merusak nilai etika dan moral bangsa serta mengabaikan fungsi DPR yang seharusnya menampung aspirasi rakyat melalui wakil-wakilnya dalam perumusan dan penetapan UU. Penetapan UU Cipta Lapangan Kerja yang telah memicu gelombang kemarahan dan unjuk rasa kaum buruh, mahasiswa, pelajar dan masyarakat luas justru memunculkan masalah baru yang semakin membahayakan stabilitas politik dan ekonomi di tengah permasalahan pandemic COVID-19. Penulis adalah Wartawan Senior FNN. co.id
Bailout Jiwasraya Rp 22 Triliun Hanya Untuk Bayar Polis
by Anthony Budiawan Penyelesaian skandal Jiwasraya harus transparan dan adil. Sertakan tim yang independen. Harus adan tindakan hukum yang tegas kepada mereka yang bersamalah. Pihak-pihak yang wajib diperiksa adalah perwakilan pemegang saham, dewan direksi, dewan komisaris, pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi sektor asuransi, auditor atau pemeriksa laporan keuangan perusahaan, manajer investasi dan pejabat perusahaan yang menerima dana penempatan investasi Jiwasraya. Jakarta FNN – Ahad (04/10). Sejak akhir 2018 pemegang polis PT Asuransi Jiwasraya (Jiwasraya) tidak bisa mencairkan polisnya yang jatuh tempo. Jiwasraya gagal bayar. Namun sampai sekarang belum ada penyelesaiannya. Pemerintah sebagai pemegang saham Jiwasraya dengan kepemilikan 100 persen, terlihat gagap. Maju mundur tanpa ada solusi yang jelas. Penyebab gagal bayar Jiwasraya bukan karena risiko bisnis biasa. Bukan juga karena ekonomi turun, kemudian berimbas kepada kinerja investasi Jiwasraya sehingga merugi. Tetapi, gagal bayar Jiwasraya ditengarai akibat ada pelanggaran hukum dan korupsi. Beberapa orang sudah ditangkap. Beberapa orang lagi dicegah bepergian ke luar negeri (Cekal). Persoalan Jiwasraya dimulai dari produk “JS Saving Plan” yang ditawarkan kepada publik pada akhir 2013. Produk ini terindikasi melanggar ketentuan produk asuransi jiwa. Produk ini mirip deposito dengan bonus asuransi jiwa. Menawarkan imbal hasil tetap selama lima tahun. Anehnya, produk ini bisa dicairkan setiap tahun. Imbal hasil yang ditawarkan juga sangat tinggi. Sekitar 9 persen lebih, bahkan bisa mencapai 13 persen. Nasabah jadi tertarik, dan beramai-ramai membeli produk “JS Saving Plan”. Dana yang mengalir untuk membeli produk ini sampai puluhan triliun rupiah. Kemudian, Jiwasraya tertekan untuk mengembalikan imbal hasil tinggi. Spekulasi tidak bisa dihindarkan. Jiwasraya mulai investasi di saham “gorengan”. Melakukan penempatan investasi langsung, atau repo, di beberapa perusahaan dengan berkinerja buruk. Penempatan langsung ini sepertinya tidak dilakukan secara profesional, tetapi hanya berdasarkan rente. Sampailah pada Jiwasraya akhirnya gagal bayar. Polis yang jatuh tempo akhir 2018 tidak bisa dicairkan. Nasib pemegang polis terkatung-katung selama dua tahun terakhir ini. Ada yang mengadu ke tuan-tuang yang terhormat di DPR. Tetapi tanpa hasil. Para pemegang polis tidak boleh menjadi korban. Mereka tidak bersalah. Pemerintah selaku pemegang saham Jiwasraya harus bertanggung jawab penuh atas terjadinya kerugian ini. Pemerintah harus mengganti investasi mereka. Memang sangat dilematis, karena penggantian kerugian ini akan menjadi beban rakyat yang juga tidak bersalah. Rakyat yang tidak tahu-menahu permasalahan. Untuk itu, semua pihak yang terlibat dalam skandal gagal bayar Jiwasraya harus diusut. Yang salah harus dihukum sesuai peraturan dan undang-undang yang berlaku. Kalau tidak rakyat yang menanggung beban bailout ini bisa marah. Karena itu, penegakkan hukum yang adil menjadi suatu keharusan. Pihak-pihak yang wajib diperiksa antara lain perwakilan pemegang saham, dewan direksi, dewan komisaris, pejabat OJK yang mengawasi sektor asuransi, auditor atau pemeriksa laporan keuangan perusahaan, serta pihak lainnya seperti manajer investasi dan pejabat perusahaan yang menerima dana penempatan investasi Jiwasraya. Pada 31 Desember 2019, ekuitas (modal) Jiwasraya defisit sebesar Rp 33,66 triliun. Dengan aset Rp 19,12 triliun dan kewajiban Rp 52,78 triliun. Defisit ini terus bertambah seiring berjalannya waktu. Maka pada akhir Juli 2020, defisit ekuitas diperkirakan mencapai Rp 38 triliun. Pemerintah rencananya akan melakukan restrukturisasi Jiwasraya dengan menyuntik dana Rp 22 triliun. Rencana ini tentu saja mengundang polemik. Tidak adil kalau rakyat harus menanggung beban korupsi berjamaah yang dilakukan para pejabat Jiwasraya dan kroninya. Namun, juga tidak adil kalau para pemegang polis yang tidak bersalah ini harus menanggung beban korupsi berjamaah tersebut. Tetapi, pemerintah sebagai pemegang saham wajib bertanggung jawab. Karena masalah gagal bayar ini juga merupakan kesalahan pemegang saham yang mempunyai wewenang untuk mengganti dan mengangkat para direksi dan komisaris Jiwasraya. Harus diusut, apa alasan pemerintah memilih mereka sebagai dewan direksi dan komisaris? Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) diadakan paling sedikit setahun sekali. Pemegang saham seharusnya tahu kondisi keuangan Jiwasraya yang sebenarnya. Pemegang saham seharusnya tahu produk “JS Saving Plan” bermasalah. Karena mirip dengan “skema ponzi”. Mengapa didiamkan saja selama bertahun-tahun? Sampai dengan menderita kerugian besar? Jangan sampai suntikan dana Rp 22 triliun tersebut disalahgunakan lagi. Jangan sampai dikorupsi lagi. Karena itu, dana bailout seyogyanya hanya boleh digunakan untuk mengganti kerugian para pemegang polis. Proses penggantian ini harus dilakukan secara transparan. Pemerintah harus menunjuk tim independen untuk membayar polis yang sudah jatuh tempo. DPR juga harus membentuk tim independen untuk mencari fakta, siapa yang terlibat kasus korupsi maupun gratifikasi Jiwasraya? Hukum harus ditegakkan. Jangan kong kalikong lagi. Dana bailout Rp 22 triliun tidak boleh digunakan untuk operasional Jiwasraya atau holding asuransi yang akan dibentuk. Rakyat sudah tidak percaya dengan manajemen Jiwasraya, serta wakil pemegang saham. BUMN harus dirampingkan hanya untuk keperluan industri strategis saja, sesuai Pasal 33 UUD 1945. Pada akhir Desember 2019, 11 dari 99 BUMN di bawah kendali kementeriaan BUMN mengalami defisit modal. Antara lain PT Asabri yang defisit Rp 6,1 triliun. PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari defisit Rp 1,2 triliun. PT Iglas defisit Rp 1,1 triliun. PT Kertas Kraft Aceh defisit Rp 1,1, triliun, PT Merpati Nusantara Airlines defisit Rp 6,4 triliun, PT PANN defisit Rp 3,3 triliun. BUMN akan selalu menjadi beban negara. Akhurnya menjadi beban rakyat. Modal BUMN berasal dari utang negara dengan beban bunga cukup tinggi yang harus ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, BUMN juga tidak memberi manfaat banyak kepada rakyat. Bahkan monopoli BUMN sering kali merugikan rakyat. Pertamina sebagai contoh BUMN yang membebani rakyat. Pertamina tidak mau menurunkan harga penjualan BBM di dalam negeri kepada rakyat ketika harga minyak mentah dunia anjlok. Sudah seperti perusahaan pejajah VOC kepada negara jajahannya. PLN tidak juga sama. Tidak menurunkan tarif listrik ketika bahan bakar pembangkit listrik turun. Bank-bank BUMN lebih kapitalis dari negara penganut faham kapitalis. Bank-bank BUMN tidak mau menurunkan suku bunga kredit (sepantasnya) ketika suku bunga acuan Bank Indonesia turun. Apalagi ketika resesi menghantui ekonomi Indonesia. Bahkan, bank BUMN membukukan Net Interest Margin yang tinggi. Menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi di dalam negeri. BUMN juga sering dijadikan ATM (kasir) untuk kepentingan politik. Bagi-bagi jatah jabatan komisaris dan proyek di BUMN. Oleh karena itu, keberadaan BUMN harus ditinjau ulang untuk kepentingan rakyat. BUMN yang tidak penting sebaiknya dibubarkan saja. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Revisi UU BI, Membuka Jalan Menuju Kehancuran Ekonomi
by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Ahad (27/09). Pandemi corona membuat mata masyarakat terbuka. Betapa lemahnya keuangan negara kita. Pandemi membuat defisit anggaran Pemerintah Pusat meningkat tajam. Karena penerimaan negara yang anjlok. Sedangkan belanja negara naik pesat. Pandemi membuat keuangan negara dalam tekanan. Rasio pembayaran bunga mencapai 25 persen dari penerimaan perpajakan (penerimaan pajak ditambah bea dan cukai). Sedangkan penerimaan pajak hanya sekitar 8 persen dari Produk Domestik Bruto(PDB). Sangat rendah sekali. Defisit anggaran 2020 diperkirakan Rp 1.000 triliun lebih. Ditambah kebutuhan bailout korporasi, baik untuk swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), utang pemerintah diperkirakan akan membengkan sampai Rp 1.200 triliun di tahun pandemi ini. Faktanya ketahanan Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara (APBN) rapuh. Ketika menghadapi pandemi Corona, pemerintah harus menetapkan Peraturan Pemerinath Pengganti Undang-Undang (Perppu) Corona yang sudah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020. Isi Perppu itu intinya hanya minta bantuan kepada Bank Indonesia (BI). Pertama, BI diminta membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer. Yang sebelumnya sangat taboo untuk dilakukan BI karena melanggar konstitusi. Atau sebagai standby buyer kalau SBN tidak diminati. Kedua, BI diminta turut menanggung beban bunga. Melalui burden sharing dan diskon bunga. Burden sharing dengan bunga nol (0) persen pada hakekatnya sama dengan cetak uang. Rencananya, bantuan BI ini hanya untuk satu tahun. Tetapi sepertinya akan diperpanjang hingga 2022. Atau bisa juga lebih dari 2022? Bisa saja terjadi. Karena, menurut info, DPR sedang menggoreng-goreng (baca: membahas) revisi undang-undang tentang Bank Indonesia. Katanya sih gorengan ini inisiatif DPR. Atau sebenarnya DPR ditugaskan oleh pemerintah? Ah sama saja. Karena masyarakat melihat eksekutif dan legislatif sudah menjadi satu-kesatuan. DPR sudah menjadi Kantor Cabang Presiden, alias berkolaborasi. Yang seharusnya juga melanggar konstitusi dan TAP MPR. Menurut rumor, revisi ini akan mengubah beberapa butir penting terkait UU BI. Pertama, membentuk Dewan Moneter atau Dewan Kebijakan Ekonomi Makro. Katanya, Dewan terdiri dari 5 anggota dengan Ketua Menteri Keuangan. Anggota lainnya adalah Ketua Bappenas, Gubernur BI, Deputi Gubernur Senior BI dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan(OJK). Pembentukan Dewan Moneter atau sejenisnya akan menempatkan BI di bawah eksekutif. Berarti struktur BI kembali ke struktur pemerintahan Orde Lama tahun 1953, yang kemudian berlanjut ke pemerintahan Orde Baru. Struktur ini membuat kebijakan moneter tidak terkendali. “Cetak uang berlebihan”. Mengakibatkan turbulensi dan krisis ekonomi. Akibatnya, pemerintah tumbang. Kedua, Bank Indonesia akan diizinkan membeli SBN di pasar primer secara permanen. Hal ini sebenarnya yang menjadi tujuan utama revisi UU BI. Agar pemerintah bisa menjalankan politik defisit anggaran tanpa memikirkan pendanaan atau pembiayaan. Bahkan BI boleh membeli SBN tanpa bunga. Alias “cetak uang”. Konsekuensinya kita sudah tahu, ekonomi terpuruk, terperosok ke jurang kehancuran. Ketiga, Bank Indonesia dibolehkan lagi memberi fasilitas pinjaman darurat kepada bank bermasalah. Dulu namanya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Revisi ini jelas akan mengembalikan status BI ke era primitif dulu, pada tahun 1953. Kalau rencana revisi dengan butir-butir utama itu terjadi, maka sama saja dengan bunuh diri. Ekonomi akan terpuruk. Karena investor asing akan menjauhi SBN pemerintah Indonesia. Karena revisi struktur BI seperti itu, akan menjadi ajang monetisasi utang (debt monetization) secara berlebihan. Bahasa awamnya “cetak uang”. Dampaknya, rupiah akan terpuruk. Inflasi naik tajam. Ekonomi terkontraksi. Yang juga tidak kalah penting, revisi UU yang menempatkan BI di bawah eksekutif, dan membolehkan BI membeli SBN di pasar primer, akan bertentangan dengan konstitusi. Akan bertentangan dengan UUD 1945.Juga bertentangan dengan Tap MPR Nomor XVI/MPR/1998 dan Tap MPR Nomor XVI/1998. Sehingga otomatis batal demi hukum. Pembentukan Dewan Moneter atau Dewan Kebijakan Ekonomi Makro untuk tujuan membawahi BI secara langsung bertentangan dengan Pasal 9 TAP MPR XVI/1998 yang berbunyi, “dalam rangka pengelolaan ekonomi keuangan nasional yang sehat, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak luar lainnya, dan kinerjanya dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, DPR sebaiknya minta pemerintah fokus pada pembenahan ekonomi sektor riil saja. Jangan merusak sektor moneter yang menyandang status independen. Yang sudah terbukti cukup handal selama dua puluh tahun belakangan ini. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).
BI Rate Bisa Rugikan Rakyat Rp 250 Triliun/Tahun
by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) tanggaL 16 dan 17 September 2020 akhirnya memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) 4 persen. Salah satu alasannya untuk “mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah inflasi yang diperkirakan tetap rendah”. Padahal, suku bunga acuan 4 persen itu sudah termasuk tinggi. Bisa menghambat pemulihan ekonomi nasional. Karena kebijakan moneter yang seharusnya dilakukan di tengah resesi ekonomi adalah menurunkan suku bunga acuan dan suku bunga kredit. Tujuannya untuk membangkitkan permintaan, konsumsi dan investasi. Juga untuk membangkitkan ekonomi nasional. Alasan BI mempertahankan suku bunga acuan 4 persen sangat aneh. Malah ajaib. Sebab inflasi yang diperkirakan rendah, tetapi suku bunga tidak diturunkan. Karena mau menjaga stabilitas nilai tukar? Artinya, kebijakan moneter Bank Indonesia sekarang ini lebih mengutamakan dan menjaga “stabilitas” rupiah, dari pada upaya pemulihan ekonomi. Padahal, pemulihan ekonomi sangat penting, karena dibutuhkan oleh rakyat. Pemulihan ekonomi misalnya, dapat menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja baru. Juga dapat mengurangi kemiskinan. Sedangkan stabilitas rupiah untuk kepentingan siapa? Kebijakan moneter BI memang sangat dilematis. Kalau BI menurunkan suku bunga, maka pemulihan ekonomi akan lebih cepat terealisasi. Dan kebijakan penurunan suku bunga ini yang diharapkan rakyat. Kebijakan yang memang berpihak pada kepentingan rakyat. Dilematis, karena penurunan suku bunga acuan akan diikuti penurunan suku bunga kredit, termasuk suku bunga obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN). Penurunan suku bunga SBN bisa membuat investor menarik diri. Khususnya investor asing. SBN menjadi kurang diminati. Investor asing mungkin lebih memilih obligasi negara lain. Misalnya Vietnam, Thailand, Singapore, atau Malaysia. Hengkangnya investor asing membuat supply dolar (mata uang asing) ke Indonesia turun. Ada tiga kelompok kebutuhan dolar dari Indonesia. Pertama, kebutuhan untuk membiayai defisit transaksi berjalan. Kedua, Kebutuhan untuk membayar utang luar negeri (pemerintah dan swasta) yang jatuh tempo. Ketiga, kebutuhan untuk membayar utang luar negeri (pemerintah dan swasta) yang belum jatuh tempo, tetapi dicairkan investor bersangkutan melalui pasar obligasi. Defisit transaksi berjalan tahun 2019 sekitar U$ 30 miliar dolar. Defisit ini turun di masa pandemi 2020. Karena impor turun tajam. Kondisi ini membuat neraca perdagangan mengalami surplus yang cukup besar. Defisit transaksi berjalan pada Semester I/2020 U$ 6,6 miliar dolar. Kalau defisit ini berlanjut di semester II/2020, maka kebutuhan dolar hingga akhir tahun diperkirakan minimal U$ 5 miliar dolar. Total Utang Luar Negeri (ULN) pada 31 Desember 2019 yang akan jatuh tempo pada tahun 2020 U$ 63,3 miliar dolar. Terdiri dari utang pemerintah (dan Bank Indonesia) U$ 11,25 miliar dolar, dan utang swasta (termasuk BUMN) U$ 52,06 miliar dolar. Jumlah ini belum termasuk pembayaran bunga. Kelompok ketiga lebih berbahaya karena tidak terukur. Ketika asing tidak tertarik lagi memberi pinjaman ke Indonesia, misalnya karena suku bunga dianggap rendah, dan asing menjual obligasinya, maka kurs rupiah mengalami tekanan dan akan anjlok. Seperti terjadi pada akhir Maret 2020 lalu, dimana kurs rupiah di pasar spot sempat mencapai Rp17.000 per dolar Amerika. Untuk menjaga agar investor terus tertarik memberi pinjaman ke Indonesia, dan untuk menutupi kebutuhan dolar yang membesar tersebut, maka Bank Indonesia harus mempertahankan suku bunga yang tinggi. Tragisnya, kebijakan Bank Indonesia ini akan membuat ekonomi tidak bergerak. Selain itu, hanya menguntungkan investor luar negeri. Dilematis, karena suku bunga tinggi akan menghambat pemulihan ekonomi nasional. Juga merugikan perusahaan dan nasabah perorangan yang mempunyai pinjaman dalam rupiah. Total kredit dalam rupiah mencapai Rp 5.000 triliun lebih, termasuk perusahaan pembiayaan. Dari jumlah total kredir tersebut, kredit konsumsi mencapai Rp 1.600 triliun. Kelompok peminjam rupiah ini sangat dirugikan dengan kebijakan moneter yang mempertahankan suku bunga tinggi. Sebab notabene hanya untuk menguntungkan investor asing. Setiap penurunan 1 persen bunga kredit, akan memberi tambahan likuiditas Rp 50 triliun per tahun kepada kelompok peminjam rupiah. Penurunan bunga kredit yang ideal dan seharusnya di masa resesi seperti ini bisa mencapai 5 persen dibandingkan bunga kredit yang berlaku sekarang. Sehingga potensi kerugian masyarakat mencapai Rp 250 triliun per tahun. Kerugian mempertahankan suku bunga acuan jauh melampaui bantuan stimulus fiskal. Sehingga, menghambat pemulihan ekonomi nasional. Kebijakan moneter saat ini tersandera dengan kondisi ekonomi yang lemah. Defisit transaksi berjalan yang akut dan ULN yang besar. Bank Indonesia lebih memilih mempertahankan stabilitas rupiah yang menguntungkan investor asing. Juga merugikan masyarakat. Sebab meskipun kebijakan ini berpotensi menghambat pemulihan ekonomi nasional serta merugikan peminjam dalam rupiah di dalam negeri. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).
Jangan Membual, Resesi Ekonomi Menghitung Hari
Optimisme yang terlalu tinggi juga akan menjadi bahan olok-olokan sebagian masyarakat. Coba kita buka video, Joko Widodo yang menyebut di kantongnya ada dana Rp 11.000 (baca : sebelas ribu triliun rupiah). Ini angka yang luar biasa. by Mangarahon Dongoran Jakarta FNN - Senin (14/9). Besok, sudah 15 September 2020. Itu berarti, sisa bulan ini tinggal 15 hari lagi. Tidak ada bedanya, jumlah tanggal dalam bulan September tahun-tahun sebelumnya, maupun tahun-tahun mendatang. Yang membedakannya hanya pada tanggal yang jatuh berbeda dengan harinya. September 2020, tinggal hitungan hari. Banyak peristiwa yang terjadi di bulan ini. Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI terjadi di penghujung bulan ini. Tujuh jenderal diculik dan ditebas oleh PKI yang didalangi oleh Kolonel Untung dari Pasukan Cakrabirawa (pasukan pengawal presiden waktu itu). Di bulan September ini juga ada peristiwa yang mengguncang dunia. Tanggal 11 September 2001, gedung WTC di New York disambar pesawat yang oleh Amerika Serikat dilakukan teroris Alqaeda. Saya tidak mau terlalu jauh ke peristiwa yang sudah lalu di bulan September ini, terutama yang terjadi di negara Pancasila yang saya cintai dan banggakan ini. Yang ingin saya sampaikan adalah bulan September 2020 ini bukan lagi September Ceria seperti lagu Vina Panduwinata. September ceria harus kita lupakan. Sebab, September 2020 ini menjadi bulan penentu bagi perekonomian Indonesia, yang sudah lama melorot, kemudian mengalami krisis, terutama akibat Corona Virus Disaesa 2019 (Covid-19). Kuartal II-2020, pertumbuhan ekonomi minus 5,30 persen. Pertumbuhan ini menjadi tanda akan terjadinya resesi ekonomi nasional, menyusul resesi ekonomi yang sudah menimpa negara-negara maju, seperti Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara di kawasan Eropa. Demikian juga halnya dengan ekonomi Singapura dan Malaysia yang sudah dua di kuartal minus (kuartal I dan II/Januari sampai Juni). Merujuk pada keadaan ekonomi yang dialami negara-negara mapan, sangat sulit bagi Indonesia keluar dari jurang resesi. Sangat sulit juga perekonomian Indonesia segera pulih. Saling menyalahkan antara elit bangsa ini, terutama yang duduk di pemerintahan akan semakin mempersulit keadaan, baik secara ekonomi, politik, sosial dan keamanan. Tidak ada lagi yang akan bisa menyelamatkan ekonomi Indonesia dari resesi. Walaupun diguyur dana Rp 800 triliun, ekonomi Indonesia pasti mengekor ke negara-negara yang sudah lebih awal mengumumkan resesi. Torehan ekonomi di kuartal II-2020 yang terkontraksi minus 5,3 persen menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah. Sebab jika hal serupa terjadi di kuartal III-2020 ekonomi Indonesia resmi resesi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) membahas hal itu dalam kunjungannya ke Jawa Barat bulan Agustus lalu. Di depan pemimpin daerah di Jabar, Jokowi mengingatkan untuk berhati-hati dalam menjaga roda ekonomi. "Kita tahu kuartal I-2020 masih tumbuh 2,97 persen. Negara lain sudah banyak yang negatif kita masih tumbuh positif 2,97 persen. Tapi di kuartal kedua kita sudah masuk minus, dari 2,97 persen positif langsung minus 5,32 persen. Ini hati-hati. Tadi di Jawa Barat juga di kuartal kedua sudah berada pada posisi minus 5,9 perswn. Hati-hati, tapi saya optimistis di kuartal ketiga kita akan lebih baik dari yang kuartal kedua. Kita harapkan kita ingin tumbuh tapi ini memang perlu kerja keras," ujarnya dilansir melalui tayangan langsung dari akun Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (11/8/2020). Oleh sebab itu, lanjut Jokowi, dia meminta kepada para gubernur, bupati dan walikota di Jabar untuk segera merealisasikan anggaran belanjanya. Sebab dia mencatat dari seluruh belanja pemerintah daerah sekitar Rp 170 triliun masih tersimpan di bank. Tidak ada lagi yang akan bisa menyelamatkan ekonomi Indonesia dari resesi. Walaupun diguyur dana Rp 800 triliun, ekonomi Indonesia pasti mengekor ke negara-negara yang sudah lebih awal mengumumkan resesi. Dalam dua kuartal 2020 (Januari sampai Juni) ekonomi Jepang, misalnya sudah minus 2,2 persen. Di saat banyak negara sudah mengumumkan resesi, Indonesia masih saja berkutat pada angka-angka optimis. Presiden Joko Widodo pada Agustus 2020 masih optimis pertumbuhan ekonomi kuartal III akan lebih baik dibandingkan dengan kuartal II. Bisa jadi pertumbuhan kuartal III lebih baik dari pertumbuhan kuartal II, walau sama-sama minus. Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal III ini berada pada kisaran minus 2 sampai 0 (nol) persen. Bank Indonesia juga mengaminya. Hanya Badan Pusat Statistik (BPS) yang belum mengeluarkan perkiraan. Sebab, BPS akan mengeluarkan angka pasti pertumbuhan kuartal III, awal Obtober nanti. Bahkan, seluruh lembaga-lembaga keuangan intermasional, mulai dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Dana Moneter Internasional (IMF) sudah mengeluarkan perkiraan bahwa ekonomi Indonesia tahun 2020, minus. Jika secara total tahun ini minus, itu artinya resesi panjang atau paling tidak krisis ekonomi yang sangat lama dan berat. Sri Mulyani mengatakan, pemerintah mematok angka pertumbuhan negatif 0,4 persen sampai 1,0 persen di 2020. Angka itu lebih rendah dari proyeksi awal yang negatif 0,4 persen sampai 2,3 persen. Pemerintah akan menggenjot ekonomi pada kuartal III dan IV agar sampai akhir tahun tetap tumbuh positif. Akan tetapi, apakah mudah menggerakkan ekonomi dari negatif ke positif. Apalagi memasang angka positif dengan angka yang bombastis. Sangat tidak masuk akal. Ingat, krisis ekonomi 1998 dan berlanjut hingga 1999. Bahkan, tahun 2000 pun masih berat. Padahal, pemicunya hanya karena melorotnya mata uang Thailand, Bath dan virusnya hanya menyebar ke beberapa negara, termasuk Indonesia. Hanya saja, pemulihan ekonomi Indonesia lebih lama karena ditumpangi persoalan politik dan huru-hara yang menyebabkan Presiden Soeharto lengser. Cukup Rp 11.000 Triliun Joko Widodo dan jajarannya, terutama yang berada di barisan ekonomi hampir selalu menyodorkan angka dan kata-kata yang terkadang kurang masuk akal. Optimisme harus dibangun dan digerakkan oleh pemimpin di negeri ini. Akan tetapi, optimisme yang berlebihan tidak baik dan tepat, karena rakyat akan semakin tidak percaya. Optimisme yang berlebihan cenderung sebagai bualan (saya tidak mau menyebut kebohongan). Optimisme yang berlebihan adalah sebuah ilusinasi yang akan membuat arah bangsa ini semakin tidak jelas. Optimisme yang terlalu tinggi juga akan menjadi bahan olok-olokan sebagian masyarakat. Coba kita buka video, Joko Widodo yang menyebut di kantongnya ada dana Rp 11.000 (baca : sebelas ribu triliun rupiah). Ini angka yang luar biasa. Jika dana itu benar, sangat lebih dari cukup untuk pemulihan ekonomi. Katanya, agar ekonomi positif di kuartal III, cukup dengan dana Rp 186 triliun. Ada yang sebut Rp 800 triliun. Ayo dong Pak Presiden, keluarkan uang di kantong itu. Kalau tidak ada, Bapak mestinya jangan berhalusinasi, membual dan... Atau kata Bapak, racun kala jengking yang harganya mahal, Rp 145 miliar per liter. Apakah Bapak sudah mengajak rakyat beternaknya? Atau itu hanya halusinasi, menutupi ketidakbecusan dalam mengurus negara, terutama dari sisi ekonomi? Ah, sudahlah. Terlalu banyak mimpi yang ditaburkan kepada rakyat yang semakin susah. Sebagian rakyat sudah tidak berdaya menghadapi ekonomi yang semakin ruwet. Sebagian rakyat kini sudah mengalami resesi, bukan lagi krisis ekonomi. Resesi, karena mereka di PHK, resesi karena tidak ada lowongan kerja baru. Kalau awal Oktober nanti BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Kuartal III tahun 2020 minus, itu hanya penguat bahwa telah terjadi resesi ekonomi nasional. Andaikan saja pertumbuhan ekonomi nol koma sekian (0 koma sekian) saja, kita sudah resesi. Artinya beban hidup sebagian besar masyarakat semakin berat. Pengangguran semakin menggurita. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.