Indonesia Pasca Jokowi, Belajar dari '98

Oleh Edy Mulyadi

Jakarta, FNN - Ekonomi Indonesia adalah ekonomi gelembung. Ekonomi yang dibangun dengan gelembung-gelembung persepsi, doping, dan artifisial. Angka pertumbuhan yang mandeg di 5% ternyata buah dari persepsi yang dibangun dengan public relations (PR) dan perilaku tak elok dalam berbisnis. Terungkapnya skandal mega korupsi Jiwasraya, Asabri, Garuda, Bumiputera, dan sederet BUMN raksasa lain adalah beberapa contoh saja dari gelembung-gelembung ekonomi.

Pada 1998 Indonesia diterjang krisis karena masalah kredit properti yang ugal-ugalan dan berujung dengan tumbangnya perbankan nasional. Kali ini, kontributor utama krisis adalah amburadulnya kinerja lembaga keuangan nonbank (LKNB) seperti asuransi, leasing, dan perusahaan-perusahaan fintech. Hal ini diperparah lagi dengan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang superjeblok.

Skandal megakorupsi Jiwasraya yang merugikan negara Rp13 triliun dan Asabri Rp10 triliun, cuma puncak gunung es belaka. Masih banyak skandal lain di lingkungan BUMN yang jumlahnya ditaksir sekitar Rp150 triliun. Mereka kini antre, bakal terkuak satu per satu.

Contoh ekonomi gelembung lain yang sering dibanggakan pemerintah adalah satabilnya nilai tukar rupiah. Padahal, penguatan rupiah terjadi karena doping yang dananya berasal dari utang. Bank Indonesia (BI) rajin mengintervensi pasar agar rupiah tetap bergerak di bawah Rp14.000/U$S.

Padahal salah satu biang kerok terjadinya defisit transaksi berjalan ( Current Account Deficit/CAD) adalah neraca perdagangan yang njomplang­. Nilai tukar rupiah yang kuat akan menyulitkan ekspor, karena harga komoditas di pasar internasional jadi mahal. Tapi begitulah, rezim lebih mementingkan gengsi nilai tukar rupiah macho dan stabil ketimbang memperbaiki fundamental ekonomi.

Singkat kata, pembangunan kita dilakukan berbasis utang dan utang. Menjaring utang bilateral maupun dari lembaga-lembaga multilateral sudah jadi hobi Sri. Dia bahkan tidak segan-segan mengobral bunga jauh di atas Vietnam, Thailand, dan Filipina yang rating mereka lebih rendah daripada Indonesia. Begitu juga dia sibuk menerbitkan surat utang negara (SUN) berbunga supertinggi dan menyebabkan kekeringan likuiditas.

Ambyar

Ketergantungan yang keterlaluan terhadap utang membuat jumlahnya kian menggunung. Angkanya kini telah tembus Rp5.000 triliun. Ngeri! Pembangunan bebasis utang juga membuat ekonomi tidak bisa lebih dari 5% karena akan terjadi overheating. Kalau sudah begitu, pemerintah buru-buru menginjak pedal rem agar ekonomi tidak ‘terbakar’. Bahkan hari ini (Rabu, 5 Februari 2020) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal IV-2019 hanya 4,97%. Ambyar sudah angka keramat 5% yang selama ini mati-matian pemerintah jaga.

Di sini, sekali lagi, jadi menjadi bukti betapa kemampuan para menteri ekonomi Presiden Joko Widodo benar-benar di bawah banderol. Sudah tumbuh karena gelembung dan artifisial, angkanya pun hanya berkutat di 5%. Bahkan kini lebih rendah lagi pula! Status Menkeu terbaik yang disandang Sri terbukti sekadar buah kecanggihan PR dan hadiah dari pihak-pihak yang sangat diuntungkan dengan utang berbunga supertinggi yang diterbitkannya.

Sejatinya dosa rezim ini bukan hanya berbohong kepada rakyat dengan angka-angka pertumbuhan imitasi. Penguasa juga terus membebani rakyat dengan aneka pajak. Pencabutan subsidi dan belanja sosial di APBN mengakibatkan harga-harga yang melambung tinggi. Rakyat sudah berusaha mati-matian menyiasati beratnya beban hidup sambil terus menabung dan memperbanyak stok kesabaran.

Namun sudah menjadi sunnatullah, ban yang terus-menerus dipompa pada akhirnya bakal meledak juga.

Begawan ekonomi Rizal Ramli menyebut, tidak diperlukan kampak atau golok untuk meledakkan gelembung. Cuma dibutuhkan peniti. Perlu peniti-peniti kebenaran dan fakta real agar gelembung-gelembung itu meledak.

Sampai di sini saya 100% sepakat. Yang kini dibutuhkan adalah tampilnya orang-orang baik, lurus, berakal sehat, dan paham masalah. Mereka cuma perlu terus berbunyi, menyuarakan kebenaran. Orang-orang baik ini harus menyampaikan kepada publik, bahwa telah terjadi kebohongan dan ketidakadilan yang dilakukan penguasa kepada rakyatnya sendiri. Bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Bahwa terjadi salah urus negara di tangan para pejabat publik yang khianat. Bahwa bukan saja terjadi bancakan, tapi penjarahan kekayaan negara oleh tangan-tangan kotor para penjahat melalui persekongkolan yang dibalut seabreg undang undang dan peraturan.

Sayangnya, di tengah kezaliman dan ketidakadilan merajalela seperti sekarang, orang-orang baik dan pintar justru tiarap. Mereka diam seribu bahasa. Mingkem. Bisu. Orang-orang baik dan lurus itu merasa jerih dengan bermacam risiko yang belum-belum sudah bermain di khayal mereka. Intimidasi, persekusi, penjara, dan kematian adalah rangkaian ketakutan yang menari-nari dalam benak mereka.

Bahwa semua itu bakal saja terjadi, mungkin saja. Inilah yang disebut sebagai risiko perjuangan. Kita tidak boleh jumawa dan sesumbar menyatakan tidak takut dengan bermacam risiko. Itu sombong. Allah tidak suka dengan orang yang sombong.

Tapi kalau kita niatkan beribadah dalam menyuarakan kebenaran dan melawan kezaliman, maka Allah Yang Maha Perkasa tentu tidak tinggal diam. Dia akan ikut campur tangan, sehingga bukan mustahil perjuangan akan berujung pada kemenangan dan kemuliaan. Kalau Allah sudah menolong, siapa yang bisa mengalahkan kita?

Tugas kita hanya terus berusaha, berdoa, dan bersabar serta istiqomah dalam perjuangan. Kalau pun risiko-risiko seram itu benar-benar datang, Allah pasti telah menyediakan ganjaran yang teramat besar, baik di dunia maupun akhirat.

Persiapkan sebaik mungkin

Dan, pada akhirnya sunnatullah pun terjadi. Ketidakadilan dan kebohongan akan membuat ban meledak. Rezim tumbang. Tapi, setelah itu apa?

Kali ini kita harus cerdas dan cermat. Berbekal pengalaman 1998, ketika pak Harto jatuh, gerbong reformasi telah dibajak oleh para pencoleng yang sebelumnya ada di lingkar dalam kekuasaan. Mereka berganti casing , naik ke gerbong bahkan lokomotif reformasi. Orang-orang ini lalu berteriak paling lantang tentang reformasi dan pemberantasan korupsi. Hasilnya, kendati sudah berlalu lebih dari 20 tahun, reformasi tidak membuahkan kesejahteraan rakyat, kecuali hanya bagi segilintir elit culas dan laknat.

Peran sebagai pendorong gerbong reformasi pada 1998 harus dijadikan sebagai pengalaman penting dan teramat mahal. Karenanya, para penggerak perubahan dan pejuang kebenaran harus menyiapkan segala sesuatunya pasca rezim tumbang. Tidak boleh lagi orang-orang baik dan berani itu hanya sibuk berteriak di jalanan, tanpa menyiapkan segala sesuatunya untuk menyongsong Indonesia lebih baik.

Langkah penting dan awal yang harus disiapkan adalah pemilihan presiden ulang. Kali ini Pilpres harus benar-benar steril dari campur tangan, apalagi dominasi partai. Pasalnya, di tangan para oportunis, partai justru menjadi bagian dan sumber masalah. Korupsi gila-gilaan banyak dilakukan orang partai, baik yang ada di DPR/DPRD maupun di kursi-kursi eksekutif, bahkan yudikatif!

Buang jauh-jauh mantra presidential threshold (PT). PT terbukti telah menjadi pintu gerbang masuk dan langgengnya kekuasaan oligarkis. Biarkan semua putra terbaik bangsa mengajukan dirinya sebagai calon pemimpin. Jangan takut kalau nanti akan muncul banyak Capres. Silakan saja. Toh pada akhirnya rakyat yang akan menentukan siapa yang terbaik sebagai pemimpin bangsa pada putaran kedua.

Pilpres yang steril dari hegemoni oligarki akan melahirkan pemimpin yang mumpuni. Pemimpin yang berani, punya kapasitas, kapabililtas, dan berintegritas. Pada akhirnya, Indonesia akan lahir sebagai negara berdaulat, maju, dan rakyatnya sejahtera. Dan, yang lebih penting daripada semua itu, rahmat dan berkah Allah akan melimpahi negeri. Semoga. Aamiin. [*]

Jakarta, 5 Februari 2020

Edy Mulyadi, wartawan senior

435

Related Post