Skandal Jiwasraya: Obsesi Jokowinomics yang Berantakan
Oleh Mochamad Toha
Jakarta, FNN - Sebuah akun twiter atas nama Christ Wamea @ChristWamea mencatat, negara rugi Rp 13,7 triliun akibat korupsi di Jiwasraya, Garuda butuh Rp 12 triliun untuk bayar utang, dan BPJS mengalami defisit Rp 32 triliun. Apa BUMN lain tidak ada masalah?
“Utang negara naik tiga kali lipat. Ekonomi Hancur. Ini semua karena rezim ini hanya sibuk dengan isu siapa yg paling Pancasilais dan siapa yang radikalisme,” begitu isi twiter Christ Wamea @ChristWamea beberapa waktu lalu yang ramai di WAG.
Dari Pergerakan Total Utang Emiten 20 BUMN pada 2014 dan H12019 terlihat komparasi besarannya. Pada 2014 Rp 9,234.300 sedangkan H12019 Rp 13,984.200. Itulah Data Utang PGAS dan ANTM terakhir adalah Q1-2019, Chart: RTI Analytics.
Lima dari 20 BUMN tersebut tercatat pergerakannya, antara lain PT Perusahaan Gas Negara (2014) Rp 3,252.4 triliun, (2019) Rp 4,214.1 triliun; PT Garuda Indonesia Tbk (2014) Rp 2.184.1 triliun, (2019) Rp 3,568.2 triliun;
PT Krakarau Steel Tbk (2014) Rp 1,706.6 triliun, (2019) Rp 2,572.1 triliun; PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (2014) Rp 704.2 triliun, (2019) Rp 1,097.4 triliun; PT Bank Mandiri Tbk (2014) Rp 750.2 triliun, (2019) Rp 1,045.9 triliun.
Jadi, menjawab pertanyaan Christ Wamea @ChristWamea tadi, tentu saja jika dilihat dari Pergerakan Total Utang Emiten 20 BUMN pada 2014 dan 2019 itu, ternyata BUMN yang lain terdapat “masalah”, yakni utangnya meningkat.
Skandal Jiwasraya (Jiwasrayagate) yang kini ramai dibicarakan sejak terungkap, jelas beda masalahnya dengan ke-20 BUMN yang “terlilit” utang itu. Karena, dalam Jiwasrayagate ini diduga kuat terdapat unsur pidana korupsinya.
Jiwasrayagate ini terungkap bermula dari adanya klaim nasabah peserta program Saving Plan yang gagal dibayar oleh Jiwasraya. Di sini terkuaklah defisit luar biasa besar yang ditanggung oleh BUMN bidang jasa asuransi tersebut.
Totalnya menyentuh angka Rp 13,74 triliun, bukan sebuah nominal yang kecil! Bukan hanya nasabah yang panik klaimnya tak dibayar! Betapa tidak, 13 ribu 740 miliar rupiah menjadi defisit dalam kurun waktu hanya 2 tahun terakhir saja.
Sebab, pada tahun buku 2017 meski kinerja keuangan Jiwasraya mulai tertekan, tapi masih mampu membukukan laba bersih sebesar Rp 328,43 miliar dan nilai equitasnya positif Rp 5.608,88 miliar atau Rp 5,6 triliun.
Tercatat, Jiwasraya mulai membukukan kerugian sampai belasan triliun sejak 2018. Begitu juga equity-nya mulai negatif sebesar Rp 10 triliun sejak 2018 dan hingga September 2019 sudah minus mencapai nominal Rp 23,9 triliun!
Menariknya, Presiden Joko Widodo langsung bereaksi atas indikasi meruginya Jiwasraya tersebut. Padahal, dalam kasus indikasi kerugian BUMN lain sampai puluhan triliun rupiah, Presiden Jokowi tidak bereaksi langsung, bahkan nyaris tak ada komentar.
Dalam kasus Jiwasraya ini Presdien Jokowi langsung menyatakan di hadapan pers bahwa kasus meruginya Jiwasraya ini sudah berlangsung lama, “Sudah 10 tahunan,” ungkapnya. Jelas, Presiden Jokowi mencoba mencari “aman”.
Menarik mundur 10 tahun itu sama artinya dengan melempar tanggung jawab Jiwasrayagate kepada presiden pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono, yang menjabat presiden untuk periode keduanya (2009-2014).
Jokowi pertama kali menjadi presiden 5 tahun yang lalu. Jadi kalau mau “lepas tangan”, maka dia harus tarik mundur lebih dari 5 tahun lalu. Jokowi akan jauh lebih aman, maka blame it to 10 tahun yang lalu, saat SBY masih menjadi presiden periode kedua.
Tapi benarkah demikian?! Benarkah Jiwasraya sudah merugi sejak 10 tahun yang lalu, yaitu sejak 2009?
Mantan Sekretaris Menteri BUMN saat pemerintahan SBY, Said Didu menyatakan, memang betul Jiwasraya masih merugi saat periode pertama SBY menjadi presiden karena “warisan” dari krisis keuangan tahun 1998 yang belum tertangani.
Tapi, kemudian Jiwasraya membaik. Catatan yang dibuat Tirto.id menunjukkan bahwa pada 2009 Jiwasraya mencatatkan laba sebesar Rp 356 miliar dan equity-nya + Rp 799,6 miliar. Serah terima dari SBY kepada Jokowi, 20 Oktober 2014.
Dan, pada akhir 2014 Jiwasraya masih membukukan laba Rp 669 miliar dengan ekuitas Rp 2,4 triliun. Laba mulai menurun drastis pada 2017, meski masih positif. Dan, mulai merugi pada 2018 – 2019. Ekuitas menjadi negatif sejak 2018.
Jadi, pernyataan Jokowi sama sekali tidak terbukti! Yang menjadi pertanyaan, mengapa Presiden Jokowi sedemikian sensitif menyikapi kerugian Jiwasraya yang nilainya fantastis, melebihi bail-out untuk Century sebesar Rp 6,7 triliun.
Mengapa Presiden Jokowi harus sedemikian defence sampai harus melempar masalah ini sejauh mungkin hingga mundur 10 tahun ke belakang?! Padahal data keuangan sama sekali tidak menunjukkan demikian! Ada apa gerangan?!
Berbeda dengan Jokowi yang buru-buru membuat statement, Menteri BUMN Erick Tohir justru sebaliknya: nyaris tak bersuara! Erick lebih memilih diam, bungkam, tak seperti kala menguak adanya penyelundupan moge Harley Davidson dan sepeda Brompton itu.
Padahal, dalam kasus penyelundupan itu kerugian negara hanya beberapa miliar saja. Tapi, Erick dengan gagah berani melakukan konpers bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengungkap pelanggaran itu dan meminta pelakunya untuk mundur atau diberhentikan.
Kasus kerugian Jiwasraya ini meruakkan bau tak sedap. Konon, mantan Direktur Keuangan Jiwasraya, Hary Prasetyo, yang sempat menjadi Tenaga Ahli Utama Kedeputian III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di KSP diisukan kabur ke luar negeri.
Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengaku dirinya tak melindungi Hary. Bahkan, dia mengaku tidak tahu-menahu jika Hary diduga terlibat dalam kasus gagal bayar Jiwasraya. Harry mulai masuk KSP pada Mei 2018, setahun sebelum Pilpres 2019.
Hary hanya di KSP sampai Jokowi selesai menjabat presiden periode pertama. Sekarang, karena tugas Hary sudah selesai, maka KSP pun bisa menyatakan diri tidak tahu-menahu. Ada aroma tak sedap lainnya yang menyeruak ke publik.
Kabarnya, di balik meruginya Jiwasraya, BUMN itu diduga dananya ikut dipakai mendanai pemenangan Pilpres 2019 kemarin. Hal ini mengingatkan kita pada Skandal Bank Century, yang mengalami gagal clearing pada 2008.
Dengan alasan untuk mencegah kerugian yang lebih besar karena Century bisa berdampak sistemik, maka negara melakukan bail-out untuk Century sebesar Rp 6,7 triliun. Saat itu Menteri Keuangannya Sri Mulyani – seperti sekarang dan periode lalu.
Sementara Gubernur BI kala itu dijabat Boediono yang kemudian menjadi wapres. Ketika itu kuat dugaan ambruknya Century dan skenario bail-out terkait dengan gelontoran dana untuk Pilpres 2009, SBY saat itu presiden petahana akan maju lagi untuk periode kedua.
Akankah Jiwasrayagate ini bakal menjadi heboh seperti Centurygate? Jika mau berlaku adil dan fair sudah seharusnya lembaga rasuah KPK dan Kejagung bersinergi untuk membongkar kedua skandal keuangan ini sehingga isunya tidak menjadi liar.
*Jokowi Effect*
Apa yang sebenarnya terjadi dengan Jiwasraya itu? Dana Jiwasraya raib akibat salah investasi pada 2018 dan 2019. Jiwasraya membeli saham Reksadana yang pada akhir 2017 mengalami kemerosotan harga. Itulah fakta yang sebenarnya terjadi.
Misalnya, Jiwasraya membeli saham Rp 200/lembar, tapi harga saham pada 2019 ternyata turun menjadi Rp 125/lembar. Seharusnya Jiwasraya tak mengulang membeli, tapi harus jual saham. Sehingga, hanya rugi Rp 75/lembar.
Atau dijual saat saham bergerak turun, meski baru dibuka lagi dalam waktu dua jam. Namun, anehnya Jiwasrayagate tak jual, justru beli saham lagi yang turun pada 2019. Padahal, sudah dalam kondisi merugi.
Mungkin Jiwasraya berharap setelah beli akan bergerak naik. Mereka yakin 2019, saham akan naik jika Jokowi menjadi Presiden kedua kalinya. Faktanya saham justru menurun terus. Meraka mimpi 2019 Pasca Pilpres 2019, saham akan naik.
Faktanya terus merosot. Artinya, Jiwasrayagate merupakan korban obsesi Jokowi Effect di bidang ekonomi. Ironisnya sebelum harga saham naik, ternyata ada klaim dari nasabah yang saatnya melakukan klaim. Tapi, kas Jiwasraya kosong! Sehingga terbongkar.
Secara kelembagaan, cara Jiwasraya sebagai perusahaan BUMN itu jelas melanggar hukum. Kesalahan tidak bisa ditimpahkan kepada petinggi Jiwasraya saja. Ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang juga harus dibongkar.
Jiwasrayagate ini hanya puncak gunung es. Bahwa OJK sebenarnya tidak melaksanakan tugas sesuai dengan SOP-nya. Juga menjadi bukti, bukan kemuskilan main saham yang dilakukan Jiwasraya itu juga dilakukan perusahaan BUMN lain.
Kabarnya, saham perusahaan Erick Thohir tak dijual di Reksadana. Tapi, melayani sendiri di pasar saham. Kalau pun Jiwasraya membeli saham perusahaan Erick, yang salah itu pembeli, bukan pemilik saham! Mengapa beli saham yang turun?!
***
Penulis wartawan senior.