Biar Bagaimana Anies Lebih Jago Soal Anggaran

Oleh Hudzaifah

Jakarta, FNN - Dua pekan terakhir Partai Solidaritas Indonesia (PSI) getol menyoroti anggaran aneh dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta untuk tahun 2020. Saking getolnya, sampai-sampai jatuh pada asumsi bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terperangkap korupsi atau setidaknya akan melakukan korupsi.

Sinyalemen demi sinyalemen, pernyataan di televisi dan media cetak, sampai kiriman bunga pujian kepada PSI. Tampak adanya onani dan serangan politik yang tak bermutu, dengan substansi yang kosong dan modus yang amatiran. Celakanya media mainstream seperti kerbau dicucuk hidung, membebek dan membeo atas arus broken image atas prestasi Anies Baswedan di DKI Jakarta.

Tengok saja kritik PSI, mereka sudah mengirim surat kepada Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI untuk meminta dokumen Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran (KUA-PPAS) diunggah di website resmi apbd.jakarta.go.id.

Bahkan pihaknya menawarkan untuk membuka dokumen anggaran sampai level komponen. Agar ada transparansi.

Penemuan PSI terkait anggaran lem aibon sebesar Rp82,8 miliar dan ballpoint sebesar Rp124 miliar dianggap PSI menjadi hal yang mengkhawatirkan.

Soal proses penganggaran DKI, menurut PSI, bukanlah yang pertama kali bagi Anies. Seharusnya ada pemeriksaan yang berjenjang yang dilakukan jajaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

"Itu sebenarnya agak gawat ya kondisi penganggaran DKI Jakarta saat ini. Polemik lem aibom hanya pemantik saja. Lalu Pak Anies bilang masalah ini karena sistemnya enggak smart. Ini Saya pikir ada proses mengalihkan tanggung jawab. Harusnya ada pemeriksaan berjenjang," tutur Juru Bicara PSI Rian Ernest Tanudjaja.

Ia juga menyinggung temuan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran soal usulan anggaran DKI 2020 yang tidak wajar. Misalnya seperti penganggaran buku folio untuk program wajib belajar sebesar Rp78,8 miliar.

Sampai di sini teriakan PSI sepertinya meyakinkan, tapi sesungguhnya seperti pahlawan kesiangan. Paling tidak ada beberapa hal yang perlu disoroti dari laku politik partai ingusan ini memainkan isu.

Pertama, beberapa hari sebelum PSI berteriak lantang di ruang publik, Anies di internal sudah memarahi dan meminta menghapus anggaran aneh dimaksud. Bahkan dalam beberapa video penjelasan Anies, bahwa anggaran itu pada gilirannya akan hilang kalau tidak bisa disuguhkan secara wajar dan rasional. Bahkan kejadian ini sudah terjadi hampir setiap tahun dan kritik Anies sangat keras pada SKPD-SKPD.

Artinya, teriakan PSI itu bukan sebuah temuan baru, justru Gubernur Anies yang lebih dahulu mengetahui. Tapi membeo atas temuan Anies tapi dalam narasinya seolah-olah Anies yang berniat melakukan korupsi anggaran. Sampai di sini ruang publik sangat paham, sampai-sampai mantan Gubernur Sutiyoso mengeluh atas laku politik karbitan PSI yang sok lantang tapi kopong.

Kedua, periodesasi anggaran yang diributkan masih dalam periode dummy APBD. Artinya baik angka maupun nama anggaran masih bisa berubah, bahkan bisa hilang sama sekali. Itu sebabnya periode ini tidak elok untuk dilepas ke ruang publik, karena belum memasuki pembahasan anggaran dan masih menjadi dokumen internal.

Setelah memasuki pembahasan anggaran, disitulah PSI dan fraksi lain dipersilakan menyoal, mengkritisi, bahkan memblow-up seluas-luasnya kalau memang ada keanehan. Selah itu dilakukan MoU antara eksekutif dan legislatif atas nama dan besaran anggaran yang akhirnya disepakati.

Sampai di sini pun masih ada peluang adanya revisi anggaran yang dinamakan APBD-Perubahan. Dan siklus anggaran seperti ini hal biasa di kalangan politisi DPRD setiap tahunnya. Tapi PSI seolah ingin jadi pahlawan kesiangan dia teriak untuk sesuatu yang sifatnya internal dan dummy di ruang publik.

Tentu saja publik kaget, campur bertanya-tanya, apa karena partai ingusan sehingga belum tahu sequences anggaran. Itu sebabnya William Aditya Sarana sebagai peniup peluit pertama bocoran dummy anggaran dilaporkan ke Badan Kehormatan DPRD DKI Jakarta atas keluguan dan kebingungannya soal sequences anggaran.

Ketiga, sistem penganggaran elektronik (e-budgeting) yang didesain dimasa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak smart. Sistem digital e-budgeting didesain secara smart ini ternyata tidak smart, yakni tidak mampu mendeteksi kesalahan input.

"Ini ada problem, sistemnya digital tetapi tidak smart. Kalau smart system, dia bisa melakukan pengecekan dan verifikasi. Dia [sistem] bisa menguji," ujar Anies.

Dia menuturkan sistem e-budgeting saat ini memang sudah menerapkan digitalisasi, tetapi masih mengandalkan verifikasi manual. Imbasnya, SKPD harus menurunkan bentuk kegiatan ketika menyusun Rancangan Kegiatan Pemerintah Daerah (RKPD).

Seperti diketahui, e-budgeting direncanakan sejak zaman Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2013, lewat Peraturan Gubernur (Pergub) No 145 tahun 2013.

Sistem dijalankan ketika Ahok menjadi Gubernur DKI dan melakukan pembahasan APBD DKI 2015. Pergub tersebut mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005.

Kala itu, Ahok sempat berseteru dengan anggota DPRD DKI terkait adanya anggaran tidak jelas atau "siluman". Pasalnya, dua versi APBD-P DKI 2014 sehingga memunculkan kasus korupsi pengadaan uninterruptible power supply (UPS) senilai Rp120 miliar.

Keempat, kesalahan input anggaran bukan pertama terjadi, bahkan dimasa Gubernur DKI Joko Widodo dan Wagub Ahok, kesalahan input anggaran mencapai Rp1,8 triliun.

Badan Pengelola Keuangan (BPK) Daerah DKI Jakarta pada 2014 menemukan 18.000 mata anggaran ganda. Sebagian anggaran ini dialihkan ke alokasi anggaran lain.

Potensi kebocoran APBD DKI Jakarta saat itu mencapai Rp1,8 triliun jika saat itu tidak dibenahi. Khusus di Dinas Pendidikan DKI, jumlah anggaran yang dicoret Jokowi mencapai Rp1 triliun. Jadi temuan PSI ini selain tak ada seujung kuku dibandingkan temuan dimasa Jokowi-Ahok, juga bukan semacam temuan baru.

Kelima, tampaknya para politisi ingusan dari PSI perlu lebih banyak belajar soal anggaran, terutama etika mengkritisi anggaran. Agar jangan sampai berniat bak pahlawan, tapi keluarannya justru menunjukkan mereka adalah pahlawan kesiangan.

Anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) bidang Pencegahan Korupsi Ibu Kota Nursyahbani Katjasungkana yang dikenal orang vokal sejak zaman Soeharto hingga hari ini, menyarankan politikus PSI belajar lagi mengenai proses penganggaran

Kritik PSI terhadap rancangan anggaran Pemprov DKI Jakarta dikatakan tidak tepat karena baru berupa draf pagu anggaran yang masih harus melewati tahapan panjang dan bisa diubah.

"PSI mesti belajar proses penganggaran, yang dibahas ke publik [mestinya] bukan draf pagu anggaran," kata Nursyahbani.

Draf pagu anggaran atau dummy anggaran itu masih tahap awal sekali, artinya kalau di Bappeda, stafnya memberikan istilah itu komponen dummy. Dan itu bukan hanya praktik di era Anies. Masa Ahok itu kan membeli penghapus sekian miliar.

Nursyahbani menekankan bahwa data yang dikritik PSI dan diributkan publik masih berupa pengajuan KUA-PPAS 2020 DKI Jakarta. Komponen yang dimasukkan bukan yang sebenarnya dan hanya patokan awal saja. Sebab, kata dia, setelah itu masih ada penentuan detail komponen anggaran yang sesungguhnya, proses review, hingga perbaikan-perbaikan.

Mungkin satu lagi yang belum pernah didengar politisi ingusan dari PSI, bahwa sepanjang Jokowi-Ahok memimpin Jakarta, APBD DKI selalu mendapat opini audit wajar dengan pengecualian (WDP) sejak 2014-2017 oleh BPK DKI. APBD dibawah Jokowi-Ahok dianggap wajar, tapi ada beberapa perkecualian yang harus diperbaiki.

Begitu setahun Anies memimpin DKI, opini audit DKI Jakarta langsung naik kelas ke wajar tanpa pengecualian (WTP). Pengelolaan APBD DKI dianggap BPK DKI selain wajar, tak ada lagi yang dikecualikan. Artinya pengelolaan APBD di tangan Anies lebih advance dibandingkan Jokowi-Ahok yang menjadi junjungan para politisi PSI.

Pendek kata, hei PSI, sekadar tahu saja ya, Anies lebih jagolah dibandingkan junjungan kalian kalau soal menyusun dan merealisasikan anggaran...!

Penulis adalah wartawan senior.

805

Related Post