EKONOMI

Kepala Daerah Harus Mampu Gali Potensi Ekonomi Lokal

JAKARTA, FNN – Setiap daerah dituntut untuk meningkatkan perekonomiannya. Untuk itu, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti berharap para kepala daerah mampu menggali setiap potensi ekonomi yang ada di daerah masing-masing. Tidak hanya digali, LaNyalla meminta potensi yang ada bisa dijadikan sebagai unggulan dan prioritas untuk mendongkrak pendapatan daerah. “Setiap daerah harus membuat skala prioritas dan target sasaran sektor ekonomi yang paling potensial menjadi pendapatan asli daerah atau PAD,” kata LaNyalla, Sabtu (18/2/2023). Senator asal Jawa Timur itu menyontohkan Bali. Provinsi yang berada di Indonesia bagian tengah itu menargetkan 4,5 juta kunjungan wisatawan sepanjang tahun 2023 sebagai langkah untuk mendongkrak perekonomian hingga mencapai angka 4,5 persen dari minus 0,9 persen akibat pandemi Covid-19. “Apa yang dilakukan Provinsi Bali merupakan upaya konkret sebagai bagian dari upaya mempercepat laju pertumbuhan ekonomi berbasis skala prioritas,” kata LaNyalla. Oleh karenanya, LaNyalla mendorong setiap daerah untuk menggenjot perekonomian daerah dan menekan angka kontraksi yang terjadi beberapa waktu saat masa pandemi “Para kepala daerah yang memahami potensi-potensi strategis yang dapat menumbuhkan ekonomi dan menggerakkan aktivitas ekonomi, terutama menekan angka pengangguran yang diprediksi masih terus bertambah,” ujarnya. Dikatakan LaNyalla, sesungguhnya banyak daerah yang memiliki potensi ekonomi berdasarkan kearifan lokal yang bisa dijadikan ujung tombak pergerakan roda ekonomi masyarakat. Hanya saja, hal tersebut belum secara maksimal digali. Imbasnya, pemda hanya mengandalkan dana dari pusat untuk pembangunan wilayah. “Kalau ini bisa digali, saya yakin tak hanya PAD yang meningkat, tetapi juga kesejahteraan masyarakatnya. Indonesia ini sangat kaya akan potensi ekonomi. Dan, kepala daerah harus kreatif menggalinya,” ujar LaNyalla.(*)

Pinjaman Luar Negeri Kementerian BUMN untuk Kereta Cepat Terindikasi Melanggar Hukum

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PROYEK Kereta Cepat Jakarta Bandung masih terkendala banyak masalah. Biaya proyek membengkak 1,2 miliar dolar AS. Katanya, sudah disetujui oleh China. Katanya, pembengkakan biaya (cost overrun) ini harus ditanggung oleh kedua belah pihak sesuai porsi kepemilikan saham, yaitu Indonesia 60 persen, China 40 persen. Cara pembiayaan cost overrun disepakati mengikuti cara pembiayaan proyek, yaitu 25 persen dari modal pemegang saham, dan 75 persen dari pinjaman. Artinya, 25 persen dari cost overrun sebesar 1,2 miliar dolar AS, atau sekitar 300 juta (25 persen x 1,2 miliar) dolar AS, dibiayai pemegang saham. Porsi Indonesia 180 juta (60 persen x 300 juta) dolar AS. Sedangkan sisa 75 persen atau 900 juta (75 persen x 1,2 miliar) dolar AS seharusnya dibiayai pinjaman. Dalam hal ini, yang bertanggung jawab mencari pinjaman seharusnya PT Kereta Cepat Indonesia China (PT KCIC), yaitu perusahaan patungan antara Indonesia dan China sebagai pemilik proyek kereta cepat.  Tetapi, anehnya, kenapa yang cari pinjaman malah Kementerian BUMN, seperti diberitakan di banyak media? Dan, lebih aneh lagi, kenapa jumlah pinjamannya hanya untuk porsi Indonesia, yaitu 550 juta (60 persen x 900 juta) dolar AS. Padahal yang perlu dibiayai dari pinjaman seharusnya 900 juta dolar AS.  (Perbedaan angka, 550 juta dolar AS versus 540 juta dolar AS, mungkin karena pembulatan cost overrun.) Oleh karena itu, Kementerian BUMN wajib menjelaskan kepada publik, siapa sebenarnya yang meminjam kepada China Development Bank (CDB) tersebut?  Apakah pinjaman luar negeri tersebut atas nama Kementerian BUMN, atau atas nama Kementerian Keuangan untuk diteruskan kepada PT KCIC, atau atas nama PT KCIC, atau atas nama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PT PSBI) yang memiliki 60 persen saham di PT KCIC? Penjelasan Kementerian BUMN ini sangat penting karena, Pertama, Kementerian BUMN tidak boleh melakukan pinjaman (baik dalam negeri maupun luar negeri) untuk dirinya sendiri. Kedua hanya Kementerian Keuangan yang boleh melakukan pinjaman atas nama Republik Indonesia, setelah mendapat persetujuan dari DPR atau sudah tercantum di rencana anggaran pinjaman (pembiayaan) di APBN. Ketiga kalau pinjaman tersebut atas nama PT KCIC, kenapa harus Kementerian BUMN yang cari pinjaman? Dan kenapa hanya 550 juta dolar AS porsi Indonesia, bukan total cost overrun 900 juta dolar AS? Apakah Kementerian BUMN, dalam hal ini pemerintah, menjamin pinjaman untuk PT KCIC? Keempat, kalau pinjaman luar negeri tersebut atas nama PT PSBI, apakah berarti digunakan sebagai tambahan modal disetor untuk menambal cost overrun yang menjadi tanggung jawab Indonesia. Kalau benar, berarti Indonesia menanggung seluruh cost overrun dari modal pemegang saham, bukan dari pinjaman proyek. Hal ini tidak sesuai dengan kesepakatan pembiayaan proyek, di mana 75 persen dibiayai dari pinjaman? Apakah pihak China juga menanggung cost overrun ini dengan tambahan modal? Upaya Kementerian BUMN mencari pinjaman luar negeri bisa melanggar undang-undang keuangan negara, bahwa hanya pemerintah pusat yang dapat menerima pinjaman dari lembaga asing dengan persetujuan DPR, atau melanggar kesepakatan pembiayaan proyek bahwa 75 persen dibiayai pinjaman, atau bahkan melanggar konstitusi, karena melanggar wewenang DPR? (*)

Pemerintahan Jokowi Terburuk Atasi Kemiskinan Sejak 1970

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Sudies) RAKYAT Indonesia menangis, antara sedih dan senang.  Rakyat menangis sedih karena pemerintah tidak mampu memperbaiki nasib mereka yang masih hidup dalam serba kemiskinan. Tingkat kemiskinan naik dari 9,22 persen (2019) menjadi 9,57 persen (2022). Rakyat menangis senang karena pemerintahan Jokowi hampir selesai. Senang memimpikan sebentar lagi terbebas dari kebijakan yabg memiskinkan rakyat. Senang memimpikan sebentar lagi akan datang penyelamat bangsa Indonesia. Pemerintahan Jokowi menjadi yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia (sejak 1970) dalam mengatasi masalah sosial kemiskinan. Pemerintahan Jokowi selama 8 tahun hanya mampu mengurangi tingkat kemiskinan sebanyak 1,39 persen, yaitu dari 10,96 persen pada 2014 menjadi 9,57 persen pada 2022. Jumlah ini sangat tidak signifikan, mungkin dapat dikatakan gagal total. Tingkat kemiskinan turun 1,39 persen dibandingkan dengan posisi awal 10,96 persen, berarti setara dengan turun 12,7 persen (= 1,39 : 10,96 x 100 persen) selama 8 tahun. Prestasi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam mengatasi kemiskinan lebih baik dari pemerintahan Jokowi.  Tingkat kemiskinan sepanjang periode 10 tahun pemerintahan SBY turun 5,7 persen, dari 16,66 persen (2004) menjadi 10,96 persen (2014). Penurunan 5,7 persen dari 16,66 persen berarti turun 34,2 persen (= 5,7 : 16,66 x 100 persen) Pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lebih spektakuler lagi. Tingkat kemiskinan turun 4,29 persen hanya dalam satu tahun, yaitu dari 23,43 persen pada 1999 menjadi 19,14 persen pada 2000. Secara keseluruhan, pemerintahan Gus Dur dan Megawati mampu menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 6,77 persen hanya dalam 5 tahun, yaitu dari 23,43 persen (1999) menjadi 16,66 persen (2004). Penurunan tingkat kemiskinan 6,77 persen dari 23,43 persen ini setara dengan 28,9 persen ( = 6,77 : 23,43 x 100 persen), selama periode 5 tahun Pemerintahan Soharto yang menuai banyak kritik ternyata mempunyai prestasi mengagumkan dalam pengentasan kemiskinan.  Pemerintahan Soeharto berhasil mengurangi kemiskinan lebih ekstrim lagi.  Pemerintahan Soeharto berhasil memberantas kemiskinan turun 31,4 persen dalam sepuluh tahun periode 1970-1980. Tingkat kemiskinan pada 1970 sebesar 60 persen dari populasi, kemudian turun menjadi 28,6 persen pada 1980. Penurunan tingkat kemiskinan sebesar 31,4 persen dari 60 persen setara dengan penurunan 52,3 persen (= 31,4 : 60 x 100 persen). Tingkat kemiskinan periode 10 tahun selanjutnya, 1980-1990, masih turun tajam, turun 13,5 persen, dari 28,6 persen (1980) menjadi 15,1 persen (1990). Penurunan tingkat kemiskinan sebesar 13,5 persen dari 28,6 persen berarti setara dengan penurunan 47,2 persen (= 13,5 : 28,6 x 100 persen), selama periode 1980-1990. Kenapa pemerintahan Jokowi gagal total dalam pemberantasan kemiskinan?  Padahal, selama 8 tahun pemerintahan Jokowi (2014-2022), ekonomi dalam nilai nominal naik Rp9.450 triliun, naik 93,6 persen, dari Rp10.095 triliun (2014) menjadi Rp19.545 triliun (2022).  Ya, ekonomi nilai nominal naik Rp9.450 triliun. Tetapi untuk siapa? Yang pasti, kenaikan ekonomi nilai nominal yang sangat besar tersebut, yang cukup besar berasal dari kekayaan sumber daya alam Indonesia, termasuk mineral, batubara dan perkebunan, jelas tidak dinikmati oleh masyarakat miskin, dengan penghasilan di bawah Rp1,1 juta per orang per bulan, yang berjumlah 167,8 juta orang (pada 2021). Jadi, untuk siapa? Untuk oligarki, pengusaha-penguasa, korup? Kegagalan pemerintahan Jokowi dalam mengatasi kemiskinan ini harus bisa membuka mata seluruh rakyat Indonesia agar segera memperjuangkan nasibnya. Rakyat Indonesia harus berjuang memilih pemimpin nasional yang mampu membela nasib rakyat, khususnya kelompok bawah, pada 2024 mendatang. Rakyat Indonesia tidak bisa dan tidak ada waktu untuk kompromi lagi. Harus ada perbaikan nasib rakyat secepatnya dan secara ekstrim. Kebijakan pemimpin yang akan datang harus antitesis dari Jokowi. Yaitu, kebijakan yang pro rakyat, bukan pro oligarki. (*)

Kebijakan Pro Oligarki dan Pejabat Korup Berhasil Memiskinkan Rakyat Miskin

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) MASYARAKAT heran melihat data kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) bisa jauh berbeda dengan data kemiskinan menurut Bank Dunia. Perbedaan perhitungan kedua institusi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. BPS menghitung tingkat kemiskinan nasional. Sedangkan Bank Dunia menghitung tingkat kemiskinan internasional agar bisa membandingkan tingkat kemiskinan antar negara. Kriteria untuk menghitung tingkat kemiskinan dinamakan garis kemiskinan. BPS menentukan garis kemiskinan nasional, Bank Dunia menentukan garis kemiskinan internasional. Garis kemiskinan menurut BPS untuk September 2021 ditetapkan Rp486.168 per orang per bulan. Masyarakat yang mempunyai pendapatan di bawah garis kemiskinan tersebut termasuk kategori penduduk miskin. Dengan kriteria tersebut, jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2021 mencapai 26,5 juta orang, atau 9,71 persen dari populasi. Garis kemiskinan menurut Bank Dunia tergantung dari status negara yang terbagi dalam tiga kelompok, yaitu negara berpendapatan rendah (negara miskin) dengan pendapatan 1.045 dolar AS per kapita per tahun, negara berpendapatan menengah bawah dengan pendapatan per kapita antara 1.046 - 4.095 dolar AS per kapita per tahun, dan negara berpendapatan menengah atas dengan pendapatan di atas 12.695 dolar AS per kapita per tahun. Garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah bawah ditetapkan 3,65 dolar AS per orang per hari, dan negara berpendapatan menegah atas 6,85 dolar AS per orang per hari, dengan menggunakan kurs PPP (Purchasing Power Parity) 2017. Dalam kurs rupiah, garis kemiskinan tersebut masing-masing sebesar Rp591 ribu dan Rp 1,1 juta per orang per bulan. Pendapatan per kapita Indonesia pada 2021 sudah mencapai 4.333 dolar AS, dan karena itu masuk kategori negara berpendapatan menengah atas. Dengan status sosial seperti ini, jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2021, mencapai 167,8 juta orang atau 60,7 juta persen dari total populasi. Pendapat per kapita Indonesia tersebut hanya sedikit di atas negara berpendapatan menengah bawah (4.333 dolar AS versus 1.096 dolar AS). Meskipun menggunakan kriteria garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah bawah, yaitu penghasilan di bawah Rp 591 ribu per orang per bulan, jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2021 ternyata sangat besar sekali, mencapai 62 juta orang atau 22,4 persen dari populasi, dan jauh lebih besar dari data kemiskinan BPS pada 2021 sebesar 26,5 juta. Padahal perbedaan garis kemiskinan antara BPS dan Bank Dunia tersebut hanya sekitar Rp105 ribu (Rp591 ribu - Rp486 ribu).  Apa artinya? Artinya, jumlah penduduk yang mempunyai penghasilan antara Rp486 ribu hingga Rp591 ribu per orang per bulan mencapai 34,5 juta orang, atau 134 persen lebih banyak dari jumlah penduduk yang mempunyai penghasilan di bawah Rp486 ribu per orang per bulan. Tidak heran, ketika inflasi naik cukup tinggi, dan garis kemiskinan juga naik cukup tinggi, tetapi penghasilan masyarakat di kelompok sekitar garis kemiskinan tidak naik (signifikan), maka jumlah penduduk miskin akan naik. Seperti yang terjadi pada periode Maret hingga September 2022 (6 bulan), jumlah penduduk miskin naik 200 ribu orang. Atau periode 2019-2022 (3 tahun), jumlah penduduk miskin naik 1,57 juta orang. Garis kemiskinan hanya naik dari Rp440.538 menjadi Rp535.547 per orang per bulan, atau sekitar Rp105, tetapi membuat jumlah penduduk miskin naik 1,57 orang. Artinya, pemerintahan Jokowi gagal meningkatkan penghasilan masyarakat hampir miskin, sehingga inflasi membuat mereka masuk kategori penduduk miskin. Padahal, pendapatan negara  pada 2021 dan 2022 naik luar biasa besar akibat kenaikan harga komoditas.  Ternyata kenaikan tersebut hanya dinikmati oleh para oligarki dan pejabat korup, dan berhasil memiskinkan rakyat miskin. (*)

Pemerintah Didesak Tak Lagi Beri 'Karpet Merah' pada Liberalisasi Ekonomi, karena Hanya akan Memperkaya Oligarki

Jakarta, FNN - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia mengingatkan pemerintah untuk segera meninggalkan penggunaan sistem atau paham ekonomi liberal dalam pengelolaan perekonomian nasional saat ini. Sebab, di tengah ketidakpastian situasi global saat ini, paham liberalisasi ekonomi bisa menjadi \'bom waktu\' dan berbahaya bagi perekonomian Indonesia yang terlalu terbuka. Partai yang memiliki nomor urut 7 dalam Pemilu 2024 ini, berharap agar pemerintah segera kembali kepada Ekonomi Pancasila, memperkuat kemandirian, serta memproteksi ekonominya agar tidak masuk jurang resesi pada 2023. \"Kita ini aneh, negara penggagasnya saja memproteksi ekonominya agar tidak kena resesi. Tetapi, kenapa Indonesia justru membuka selebar-lebarnya terhadap liberalisasi ekonomi. Ini tentu saja menjadi paradoks,\" kata Achmad Nur Hidayat, Ketua Bidang Kebijakan Publik Partai Gelora dalam Gelora Talks bertajuk  \'Liberalisasi Ekonomi Nasional, Bagaimana Nasib Kita?, Rabu (8/2/2023) sore. Menurut dia, liberalisasi ekonomi sudah terbukti gagal, dan tidak mampu bertahan di tengah krisis global saat ini. Karena itu, MadNur-sapaan akrab Achmad Nur Hidayat meminta pemerintah tidak lagi memberikan \'karpet merah\' pada liberalisasi ekonomi, yang dinilai hanya memperkaya oligarki. \"Sekarang ini banyak negara ingin membangun kemandirian ekonominya. Mereka sadar bahwa konsep liberalisasi ekonomi sudah gagal. Situasi global saat ini mengharuskan mereka  memproteksi ekonominya,\" ujar MadNur. Liberalisasi ekonomi, lanjutnya, tidak hanya membawa modal dan teknologi saja, tetapi juga tenaga kerjanya. Sehingga liberalisasi ekonomi tidak jarang mengancam pekerjaan masyarakat Indonesia. \"Saya kira kericuhan yang terjadi antara tenaga kerja lokal dengan tenaga kerja asing di Sulawesi dua minggu lalu, adalah dampak dari liberalisasi saat ini. Liberalisasi ekonomi mengancam pekerjaan dari masyarakat Indonesia,\" tegasnya. Ketua Bidang Kebijakan Publik Partai Gelora ini berpandangan bahwa konsep Ekonomi Pancasila yang dimiliki Indonesia sebenarnya lebih bagus dibandingkan konsep Ekonomi Liberal. \"Konsep Ekonomi Pancasila itu pada dasarnya adalah kemandirian, kenapa nggak kita optimalkan itu. Ide kita untuk menciptakan hilirisasi industri itu bisa menciptakan kemandirian. Sekaranglah saatnya kita tinggalkan ekonomi liberal agar Indonesia menjadi negara super power baru\" tegas MadNur. Rentan Diterpa Krisis Sementara itu, ekonom senior Rizal Ramli juga mengingatkan bahwa paham liberalisme ekonomi nasional hanya menjadikan Indonesia rentan diterpa krisis global. Rizal Ramli juga meminta memperkokoh kemandirian ekonomi bangsa. Namun, ia menyayangkan para menteri ekonomi saat ini lebih pro terhadap liberalisasi ekonomi. Hal tersebut bisa dilihat dari berbagai kebijakan yang ditempuh dalam dua periode hingga sekarang. Padahal, pemerintah itu seharusnya pro terhadap kemandirian, kedaulatan di berbagai bidang ekonomi. \"Kami harap Partai Gelora itu memilih pro kedaulatan ekonomi, bukan kapitalis. Pro masa lalu, dan saya harap tidak pro leberalisasi masa sekarang,\" ujar Rizal Ramli. Menurut Rizal Ramli, di dalam konstitusi tidak menyatakan secara eksplisit pro terhadap liberalisasi ekonomi. Walau para pendahulu bangsa banyak yang belajar dari bara,  tetapi tidak memilih paham liberal. Sebab, liberalisasi ini, bisa mengalami kehancuran ketika terjadi depresi dan keterpurukan melanda negara barat tersebut. \"Liberalisasi ekonomi menjadi sangat spekulatif, dan mereka tolak model seperti itu,\" ujarnya. Para pendiri bangsa ini, dikatanya, telah meletakkan dasar ekonomi berada di antara penganut liberalisme dan komunisme. Yakni sebagai jalan tengah yang termaktub dalam UUD 1945 adalah ekonomi dalam bingkai kesejahteraan rakyat. \"Desain negara adalah kesejahteraan,\" ucapnya. Negara kesejahteraan itu, pada prinsipnya kekayaan alam dimiliki rakyat dan dikuasai negara. Sebagai pelaksana bisa diserahkan ke swasta dan tidak memilikinya. \"Ini seperti zaman Pak Harto, tahun era 70-80 silam, 85% laba Sumber Daya Alam (SDA) minyak disetor ke pemerintah. Dan asing dikasih 15% saja sudah sangat senang,\" jelasnya. Sehingga rakyat jelas mendapat manfaat langsung dari SDA tersebut. Namun, sekarang yang terjadi adalah SDA telah dikuasai swasta, sehingga memberikan keuntungan bagi perusahaan atau pribadi, rakyat tidak lagi mendapatkan manfaatnya. \"Ini sudah pengkhianatan terhadap UUD 1945, dan saya pikir Partai Gelora jangan diam saja. Mereka itu tidur aja sudah kaya kok. Malah tidak dibebani pajak atas winfall profit ini. Ini semua karena pemerintah mengabdi pada oligarki,\" tegasnya. Kondisi ekonomi saat ini, kata Rizal Ramli, tidak baik-baik saja. Sebab, yang menikmati pertumbuhan ekonomi saat ini adalah golongan menengah ke atas, tidak untuk rakyat pada umumnya.  \"Di sisi lain, rakyat bawah hidupnya susah banget, dengan harga-harga naik. Pertumbuhan ekonomi 5,3% hanya dinikmati para kapitalis yang gede-gede. Rakyat kecil tak menikmati pertumbuhan sepersen pun,\" pungkasnya. Pengamat ekonomi dan perbankan Yanuar RIzki menambahkan, bahwa kebijakan keuangan Indonesia saat ini menuju ke kiblat moneterianisme, yakni individualisme, liberalisme dan materialisme. \"Propagandanya begitu gencar,\" kata Yanuar. Sementara dari sisi peredaran mata uang rupiah sendiri, lanjut Yanuar terlihat nyata. Dimana pergerakan uang oleh masyarakat relative kecil, dan sebaliknya peredaran korporasi melonjak.  \"Yaa bagaimana, kita bisa mandiri kalau rupiah itu sendiri juga dikendalikan oleh asing. Nah bagaimana kalau SUN ini diganggu juga, melalui nilai tukar rupiah. Siapa ini yang kuat menahannya. Kalau dihajar Oligarki, bakal keok juga,\" katanya. (Ida).

Pemulihan Kuat di 2022 Menjadi Pijakan Menghadapi Perekonomian 2023

Jakarta, FNN - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menilai, laju pemulihan yang sangat kuat pada 2022 menjadi pijakan yang kokoh bagi perekonomian nasional untuk menghadapi tantangan jangka pendek sekaligus melanjutkan agenda pembangunan jangka menengah-panjang.\"Pemerintah optimis bahwa pertumbuhan ekonomi di tahun 2023 masih akan tetap kuat meskipun dihadapkan pada prospek melambatnya perekonomian global,\" ucap Sri Mulyani dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa.Indikator perekonomian terkini juga terus menunjukkan tren ekspansif, termasuk Purchasing Managers\' Index (PMI) manufaktur Indonesia yang pada  Januari 2023 meningkat signifikan.Ia mengatakan,  pemerintah tetap terus memantau risiko perekonomian dunia saat ini. Risiko ketidakpastian masih cukup tinggi, meskipun risiko perlambatan ekonomi dunia diindikasikan mulai melunak.Dalam World Economic Outlook terbitan Januari 2023, Dana Moneter Internasional (Internastional Monetary Fund/IMF) memprediksi pertumbuhan global 2022 dan 2023 sebesar 3,4 persen dan 2,9 persen atau lebih tinggi 0,2 persen poin dibanding proyeksi sebelumnya pada Oktober 2022.Revisi ke atas ini didorong penguatan kinerja di beberapa negara besar sejak akhir 2022 dan mulai meredanya tekanan inflasi dunia yang diprediksi melambat secara gradual di 2023.Sri Mulyani mengatakan keberlanjutan agenda reformasi struktural untuk mempercepat transformasi ekonomi akan terus dijaga guna memperkokoh struktur dan akselerasi kinerja ekonomi nasional. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 juga telah dipersiapkan agar senantiasa waspada namun optimis kepada potensi perekonomian ke depan.Kesehatan fiskal tetap menjadi perhatian penting agar mampu secara cepat dan tepat dalam menyasar isu-isu kritikal, termasuk dalam pengendalian inflasi, stabilitas perbaikan kesejahteraan masyarakat, dan perbaikan investasi yang lebih kuat.“Berkat kerja keras APBN sebagai peredam tekanan global, Indonesia masih menjadi negara dengan predikat “The Bright Spot” di tengah guncangan global saat ini. Ini yang harus terus kita jaga dengan tetap optimis, namun juga waspada,” tutup Bendahara Negara ini.(ida/ANTARA)

Cadangan Devisa Januari 2023 Meningkat Menjadi 139,4 Miliar Dolar AS

Jakarta, FNN - Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2023 mencapai 139,4 miliar dolar AS, meningkat dibandingkan dengan posisi pada akhir Desember 2022 sebesar 137,2 miliar dolar AS.Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa, mengatakan peningkatan posisi cadangan devisa pada Januari 2023 antara lain dipengaruhi oleh penerbitan global bond pemerintah serta penerimaan pajak dan jasa.Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,1 bulan impor atau enam bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.BI menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.Ke depan, Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung proses pemulihan ekonomi nasional.Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan cadangan devisa penting sebagai modal asuransi diri terhadap turbulensi global sehingga Indonesia menjaga kecukupan cadangan devisa melalui reformasi manajemen cadangan devisa.\"Kita perlu memiliki kecukupan cadangan devisa untuk asuransi diri. Cadangan devisa adalah asuransi diri terhadap turbulensi global,\" kata Perry dalam BI Annual Investment Forum 2023 yang dipantau dalam jaringan di Jakarta, Kamis (26/1).Turbulensi ekonomi global pada 2023 meliputi antara lain pertumbuhan ekonomi global yang melambat, di mana ada potensi resesi terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa, inflasi global yang tinggi, suku bunga yang tinggi dan bertahan lebih lama, dolar AS yang kuat, serta ketegangan geopolitik.Perlambatan ekonomi global diperkirakan masih terjadi pada 2023, sehingga BI menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2023 menjadi 2,3 persen dari prakiraan sebelumnya sebesar 2,6 persen.(ida/ANTARA)

Belum Dirasakan di Lapangan, La Nyalla Kritik Angka-angka Ekonomi

Jakarta, FNN – Pertumbuhan ekonomi di tanah air mendapat perhatian Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Menurutnya pertumbuhan ekonomi hingga saat ini belum berdampak pada stabilitas perekonomian.Bahkan belum dirasakan di lapangan, khususnya dari sisi peningkat akan taraf hidup dan pendapatan masyarakat di daerah.Pemerintah sendiri mengklaim pertumbuhan ekonomi mencapai angka 5,72 persen. Dan tingkat pengendalian inflasi mencapai angka 5,5 persen. Klaim ini dianggap tertinggi di antara negara-negara besar G20.Menurut LaNyalla klaim pertumbuhan iniperlu diwujudkan dengan tingkat kesejahteraan yang baik. Karena masyarakat luas belum merasakan dampak positif dari pertumbuhan ekonomi tersebut.“Yang terjadi  saat ini justru beberapa jenis komoditi di pasar mengalami kenaikan harga. Tentunya kenaikan harga tersebut sangat memberatkan masyarakat,” ujar LaNyalla, Kamis (2/2/2023).Senator asal Jawa Timur itu menyontohkan naiknya produk minyak goreng kemasan Minyakita dalam beberapa pekan terakhir. Harganya mengalami kenaikan hingga Rp 20 ribu, sejak diluncurkan. Padahal harga eceran tertinggi (HET) Minyakita yang ditetapkan pemerintah adalah Rp 14.000 per liter. Bahkan kini minyak goreng bersubsidi itu hilang di pasaran.Belum lagi kenaikan harga komoditi pangan lain, seperti beras, telur dan daging, di sejumlah pasar tradisional.Untuk itu LaNyalla meminta pemerintah segera menstabilkan harga kebutuhan pangan dan menekan angka inflasi. Pasalnya sebentar lagi juga akan memasuki bulan Ramadhan.“Di Ramadhan nanti konsumsi akan meningkat tinggi dan otomatis pengeluaran akan semakin tinggi juga. Ini tentunya masalah besar apalagi kondisi ekonomi bagi sebagian masyarakat rentan belum pulih seperti yang diharapkan,” tukasnya.(*)

Pemerintahan Jokowi Gagal Mengatasi Kemiskinan

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) TINGKAT kemiskinan per September 2022 sebesar 9,57 persen atau 26,36 juta penduduk, naik 0,35 persen dibandingkan 3 tahun sebelumnya, September 2019, dengan tingkat kemiskinan 9,22 persen atau 24,75 juta penduduk. Yang lebih mengenaskan, tingkat kemiskinan selama delapan tahun pemerintahan Jokowi hanya turun 1,39 persen saja! Tingkat kemiskinan per September 2014 sebesar 10,96 persen, versus 9,57 persen per September 2022. Sungguh malang nasib rakyat miskin Indonesia! Data tingkat kemiskinan tersebut jelas menunjukkan pemerintah sudah gagal *mengentaskan* kemiskinan. Jangankan mengentaskan, sekedar mengurangi kemiskinan, dengan jumlah yang masuk akal, juga gagal. Secara internasional, di antara negara-negara ASEAN-4, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam, kegagalan Indonesia dalam mengatasi kemiskinan semakin nyata. Menurut garis kemiskinan internasional, dengan pendapatan di bawah 3,65 dolar AS per orang per hari, (kurs 2017 PPP), atau sekitar Rp591.033 per bulan, kemiskinan Indonesia pada 2021 mencapai 22,4 persen. Sedangkan kemiskinan Malaysia dengan garis kemiskinan yang sama hanya 0,4 persen pada 2015. Artinya, tingkat kemiskinan Malaysia saat ini kemungkinan besar sudah nol. Sedangkan kemiskinan Thailand dengan garis kemiskinan yang sama juga sangat rendah, hanya 0,7 persen pada 2020. Vietnam yang baru menata kembali ekonominya pada 1986, setelah perang berkepanjangan dengan Perancis dan Amerika Serikat (1946-1954, 1954-1975), kemudian dengan China (1979-1991), hanya mempunyai tingkat kemiskinan 5,3 persen pada 2018. Saat ini tingkat kemiskinan Vietnam tersebut pasti sudah jauh lebih rendah lagi. Data yang disajikan Bank Dunia tersebut sangat jelas menunjukkan pemerintahan Jokowi gagal mengatasi kemiskinan. Padahal, tahun 2022 yang lalu merupakan kesempatan sangat langka bagi pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Karena pendapatan negara pada 2022 naik drastis akibat kenaikan harga komoditas. Realisasi pendapatan negara 2022 naik Rp623 triliun (31,1 persen) terhadap 2021, dan lebih tinggi Rp780 triliun (42,3 persen) dari yang dianggarkan di dalam APBN 2022. Ternyata, pemerintah gagal memanfaatkan kenaikan pendapatan ini untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Entah tidak mampu atau tidak mau. Tetapi, apapun alasannya, masyarakat melihat telah terjadi proses pemiskinan, yang membuat angka kemiskinan naik 0,03 persen atau 200 ribu penduduk selama periode Maret 2022 hingga September 2022. Penyebab utama kenaikan kemiskinan ini, sebagai berikut. Pertama, kenaikan pajak (PPN) pada 1 April 2022, yang membuat harga barang-barang konsumsi naik.  Kedua,  kenaikan harga komoditas pangan dan inflasi global. Salah satunya harga minyak goreng yang melonjak tajam, bahkan sempat langka akibat korupsi izin ekspor, yang pelakunya hanya dihukum sangat ringan, padahal kelangkaan minyak goreng sempat memakan dua korban jiwa antrian minyak goreng yang “meng-ular”. Ketiga, kenaikan harga BBM pertalite dan solar pada 3 September 2022, dengan alasan APBN akan jebol karena subsidi BBM, yang kemudian dikoreksi menjadi subsidi energi, mencapai Rp502 triliun, yang kemudian dipropagandakan akan naik lagi menjadi Rp700 triliun, akibat kenaikan konsumsi BBM. Ternyata, semua alasan ini tidak benar, tidak terbukti, atau bohong. Faktanya, realisasi subsidi BBM dan LPG 3 Kg untuk tahun 2022 ternyata hanya Rp115,6 triliun saja. Bahkan subsidi listrik 2022 turun 0,64 persen dibandingkan 2021, akibat kenaikan tarif listrik. Terakhir, keempat yang tidak kalah fatalnya, realisasi defisit APBN 2022 hanya Rp464 triliun, jauh di bawah defisit yang dianggarkan sebesar Rp868 triliun. Selisih Rp404 triliun!  Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mempunyai ruang gerak fiskal sangat besar untuk menekan tingkat kemiskinan.  Misalnya, kenaikan harga BBM pada 3 September 2022 diperkirakan hanya mengurangi subsidi BBM sekitar Rp32 triliun saja. Angka ini sangat tidak signifikan dibandingkan kenaikan pendapatan negara maupun ruang gerak defisit anggaran yang masih sangat besar, yaitu Rp404 triliun. Tetapi, dampak kenaikan harga BBM ini sangat fatal, tingkat kemiskinan naik. Membiarkan realisasi defisit APBN jauh di bawah yang dianggarkan, tetapi di saat bersamaan mengakibatkan tingkat kemiskinan meningkat, dapat masuk kategori kejahatan kemanusiaan. Apa gunanya APBN yang sudah disetujui oleh DPR kalau realisasinya jauh melenceng dari rancangan, yang berakibat fatal bagi kepentingan rakyat? Bukankah APBN dirancang untuk kepentingan rakyat banyak? Maka itu, DPR seharusnya memanggil Menteri Keuangan dan Presiden untuk minta penjelasan terkait realisasi defisit APBN yang jauh melenceng tersebut.  Di mana peran DPR? Apa gunanya DPR? Semua ini terkesan ada pembiaran dan kesengajaan pemiskinan. (*)

Gubernur DKI Jakarta Belum Tunjukkan Keberpihakan pada Program Pengentasan Kemiskinan.

Jakarta, FNN - Merespons 100 Hari Kerja Pj Gubernur DKI Jakarta dalam Pelaksanaan Program SDGs di Jakarta Di tengah ketidakpastian ekonomi 2023 dan situasi pandemi yang belum menunjukkan tanda berakhir, salah satu tugas berat yang dipikul PJ Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono ialah bagaimana menjauhkan penduduk miskin dari jurang kemiskinan yang semakin dalam. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk miskin Jakarta berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS DKI Jakarta (2022) menunjukkan peningkatan yang cukup drastis. Sekitar 4 persen dari total penduduk Jakarta atau sekitar 500 ribu jiwa masuk dalam kategori miskin dan 146 ribu berada di kategori miskin ekstrem. Pernyataan ini disampaikan oleh Puspa Yunita Ketua DPW SPRI DKI Jakarta dalam acara Diskusi Publik Evaluasi 100 Hari Kerja PJ Gubernur DKI Jakarta \"Implementasi SDGs di Jakarta: Masalah Kunci dan Gagasan Perbaikan\" yang diselenggarakan oleh DPW SPRI DKI Jakarta bertempat di LBH Jakarta, Rabu 25 Januari 2023. \"Dalam 100 hari Heru memimpin Jakarta belum menunjukkan keberpihakan pada program pengentasan kemiskinan. Padahal di seluruh negara di dunia memiliki komitmen bersama yang tertuang dalam program SDGs untuk mengakhiri kemiskinan dan mengurangi kesenjangan sosial,\" tegas Puspa. Lebih lanjut, Puspa menjelaskan bahwa implementasi pelaksanaan SDGs  ini langsung dikomandoi langsung oleh PJ Gubernur selaku Ketua Dewan Pengarah SDGs di Jakarta. Dengan demikian tidak ada alasan bagi Heru untuk tidak memprioritaskan program ini selain mengurus masalah banjir, macet dan tata kelola. Hal senada juga disampaikan narasumber lainnya yang hadir dalam acara diskusi tersebut Sugiyanto Emik, Ketua Koalisi Masyarakat Pemerhati Jakarta Baru (KATAR). Menurutnya, apa yang kini dihadapi oleh seluruh negara di dunia merupakan permasalahan serius yang perlu direspon dengan segera. Jika pemimpin tidak paham dengan program pengentasan kemiskinan SDGs ini tentu akan bahaya. Impian untuk mewujudkan dunia yang lebih sejahtera, adil, dan berkelanjutan -seperti yang dicita-citakan oleh 193 negara termasuk Indonesia bakal sulit terwujud. \"Sudah berpuluh-puluh tahun masalah kemiskinan ini terjadi di Jakarta. Puluhan triliun telah digelontorkan oleh Pemprov DKI melalui gubernur-gubernur sebelumnya, namun tidak memberi dampak pada pengurangan jumlah penduduk miskin. Ini bahaya, kalau para pemimpin kita tidak memiliki pemahaman yang mendalam soal masalah ini. Bisa-bisa keberadaan orang miskin ini hanya dijadikan objek program belaka oleh para legislatif dan eksekutif,\" jelas Sugiyanto. Secara terpisah, Rio A. Putra Sekretaris Wilayah SPRI DKI Jakarta juga menegaskan bahwa Heru harus fokus dan delivery targeted pada point SDGs. Dalam mengatasi masalah kemiskinan di Jakarta, Pemprov DKI Jakarta harus memiliki sistem proteksi yang lebih komprehensif demi melindungi penduduk miskin dengan cara menerapkan PKH Lokal yang langsung dibiayai APBD DKI Jakarta untuk mengcover penduduk miskin Jakarta yang tidak mendapat PKH Nasional dari Kementerian Sosial. Rio juga menyinggung persoalan penyediaan akses air bersih yang baru menjangkau 65 persen penduduk Jakarta atau masih jauh dari target Pemprov DKI 79,61 persen. Selain itu berdasarkan data BPS DKI Jakarta 2022 juga menunjukan 52,10 persen penduduk Jakarta menggunakan asbes sebagai atap rumah. Padahal penggunaan asbes merupakan salah satu indikator kriteria rumah tidak layak huni. \"Di tengah sisa waktu komitmen global SDGs 2030 dan kepemimpinan Heru yang cuma 2 tahun, maka Heru harus fokus akar masalah kemiskinan. Jangan malah lebih sibuk pada pembangunan infrastruktur, melempar tanggung jawab dengan skema publik-private partnership dan serta menempatkan warga sebagai beneficiary dan konsumen ketimbang sebagai warga kota yang aktif terlibat dalam pengambilan keputusan\", pungkasnya. Acara yang dipandu oleh Tito Sianipar dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta ini dihadiri 100 warga miskin yang datang dari 25 Kelurahan se Jakarta. (sws)