INFRASTRUKTUR

Pemindahan Ibu Kota: Proyek Konglomerat dari Hulu sampai Hilir

Sejauh ini Presiden Jokowi tidak menghiraukan suara rakyat. Dia putuskan saja sendirian. Simsalabim, ibu kota pun pindah. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Keputusan Presiden Jokowi untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, kelihatannya adalah keputusan sesuka hati. Keputusan ‘semau gue’. Tanpa memikirkan begitu banyak aspek yang melekat dalam proses pemindahan itu. Sandiaga Uno benar ketika menyarankan agar rakyat diikutkan dalam keputusan tentang pindah atau tidak. Harus dibuat referendum. Rakyat setuju atau tidak. Bukan hanya Sandiaga. Banyak ahli hukum ketatanegaraan pun berpendapat bahwa pemindahan ibu kota bukan wewenang presiden saja. Yang mau dipindahkan itu bukan ibu kota kabupaten. Harus ada suara rakyat di situ. Setidaknya lewat DPR. Jadi, presiden tidak cukup meminta izin DPR dan kemudian semua urusan pemindahan ibu kota menjadi selesai. Tetapi, sejauh ini Presiden Jokowi tidak menghiraukan suara rakyat. Dia putuskan saja sendirian. Simsalabim, ibu kota pun pindah. Tentu tindakan ‘one man show’ oleh Jokowi itu akan mencuatkan banyak pertanyaan. Mengapa beliau ‘ngotot? Apa motivasinya? Apakah ada dorongan dari entah siapa? Mengapa harus tergesa-gesa? Banyak orang meyakini bahwa pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur itu disusupi oleh kepentingan bisnis para konglomerat. Terutama mereka yang memiliki puluhan ribu hektar lahan di titik-titik prima lokasi baru. Juga mereka yang memiliki bisnis properti. Oligarkhi finansial itulah yang paling diuntungkan oleh proyek ibu kota baru ini. Sangat besar kemungkinan mereka akan meraup keuntungan yang berlipat-lipat. Merekalah yang akan mendominasi urusan pemindahan ibu kota. Mereka yang akan mengerjakan proyek ini dari hulu sampai ke hilir. Sebagai contoh. Pemindahan ini berhulu di Jakarta. Ratusan atau mungkin ribuan hektar tanah dan bangunan milik pemerintah pusat di Jakarta, hampir pasti akan dijual. Ada celah yang menggiurkan dalam proses penjualan itu. Gedung dan tanah milik pemerintah pusat di Jakarta ukurannya besar-besar dan lokasinya di kawasan kelas satu. Tentu harganya akan sangat mahal sekali. Karena itu, tidak mungkin orang-orang biasa yang mampu mengakuisisinya. Pastilah para konglomerat. Dan konglomeratnya yang itu-itu juga. Setelah itu, para konglomerat yang sama akan berperan besar pula dalam pembangunan ibu kota baru. Inilah proyek hilir pemindahan. Ada tumpukan uang 500 triliun. Para konglomerat itulah yang punya modal besar dan pengalaman. Berarti sumber duit lagi untuk mereka. Untung besar di Jakarta, laba besar di ibu kota baru. Dari hulu ke hilir mereka semua yang mendominasi keuntungan. (31 Agustus 2019)

Presiden Jokowi Ingin Menghapus Fifosofi Jakarta!

Secara konstitusi, Presiden Jokowi sudah jelas-jelas melabrak UU yang telah ditetapkan oleh Presiden Sukarno terkait dengan Ibukota Jakarta. Dengan kata lain, Presiden Jokowi sejatinya telah dengan sengaja mencabut filosofi fundamental bangsa Indonesia. Oleh Mchamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Beberapa alasan yang sering disampaikan oleh Presiden Joko Widodo mengapa akhirnya memilih Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sebagai Ibukota Negara RI: menghindari bencana! Terutama bencana gempa bumi dan tsunami. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyebut potensi gempa yang paling tinggi di pulau Kalimantan terletak di Kalimantan Timur, tepatnya di sebelah selatan Kota Samarinda, Kaltim. “Sebab, di sekitar kota Samarinda bagian selatan terdapat Selat Makassar yang rawan gempa dan berpotensi tsunami,” kata Peneliti Geoteknologi LIPI Danny Hilman Natawijaya kepada CNNIndonesia.com saat dihubungi, Senin (26/8/2019). Menurut Danny, di selat Makassar yang memisahkan Kalimantan dan Sulawesi ini terdapat patahan aktif. Patahan inilah yang menimbulkan kerawanan gempa dan tsunami. Penajam Paser Utara itu terletak di selatan Kutai Kertanegara. Baik Kutai Kertanegara maupun Penajam Paser Utara itu berbatasan langsung dengan Selat Makassar. Kota Samarinda sendiri ada di selatan Kutai Kertanegara. Danny menjelaskan, di kawasan Samarinda selatan itu juga rawan bencana tsunami jika terjadi gempa di tempat lain. Danny mencontohkan jika gempa terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB), efek gelombang tsunaminya berpotensi sampai di kawasan ini. “Gempa Lombok itukan bisa terus sampai ke Bali, (sehingga) masih ada kontribusinya (menjalarkan) tsunami (hingga) ke Kalimantan Timur walaupun cukup jauh ya. Tapi, saya enggak tahu seberapa tinggi,” tuturnya. Meski demikian, Danny menyebut secara umum potensi gempa pulau Kalimantan relatif rendah dibanding pulau-pulau lainnya di Indonesia. Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono menyebutkan ada catatan sejarah gempa signifikan dan merusak yang pernah terjadi di wilayah Kaltim. Bencana itu terkait dengan aktivitas Sesar Maratua dan Sesar Sangkulirang. Gempa dan Tsunami Sangkulirang pernah terjadi 14 Mei 1921. Dampak gempa Sangkulirang dilaporkan menimbulkan kerusakan memiliki skala intensitas VII-VIII MMI. “Artinya banyak bangunan mengalami kerusakan sedang hingga berat,” ujarnya. Gempa kuat tersebut diikuti tsunami yang mengakibatkan kerusakan di sepanjang pantai dan muara sungai di Sangkulirang. Selain itu, ada Gempa Tanjung Mangkalihat berkekuatan magnitude 5,7 pada 16 November 1964. Gempa Kutai Timur berkekuatan magnitude 5,1 pada 4 Juni 1982, lalu Gempa Muarabulan di Kutai Timur bermagnitude 5,1 pada 31 Juli 1983. Lalu, Gempa Mangkalihat bermagnitude 5,4 pada 16 Juni 2000, Gempa Tanjungredep bermagnitude 5,4 pada 31 Januari 2006, dan Gempa Muaralasan, Berau, bermagnitude 5,3 pada 24 Februari 2007. Melansir Tempo.co, Sabtu (24 Agustus 2019 06:50 WIB), catatan gempa di Kabupaten Paser di antaranya yang terkuat dengan magnitude 6,1 pada 26 Oktober 1957. Lindu terbaru yaitu Gempa Longkali, Paser, pada 19 Mei 2019 bermagnitude 4,1. Keberadaan pantai timurnya yang berhadapan dengan megathrust Sulawesi Utara berpotensi tsunami. Hasil pemodelan BMKG dengan gempa bermagnitude 8,5 dari zona gempa besar itu menunjukkan status awas. “Tinggi tsunami di pantai timur Kalimantan Timur bisa di atas tiga meter,” kata Daryono. Mitigasi tsunami, menurutnya, bisa dengan menata ruang pantai yang aman tsunami seperti membuat hutan pantai. Masyarakat pantai pun perlu memahami konsep evakuasi mandiri. “Gempa kuat di pantai sebagai peringatan dini tsunami,” lanjut Daryono. Hasil monitoring kegempaan oleh BMKG terhadap Sesar Maratua dan Sesar Mangkalihat di Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur, menunjukkan tanda yang masih sangat aktif. Tampak dalam peta seismisitas pada dua zona sesar ini aktivitas kegempaannya cukup tinggi dan membentuk klaster sebaran pusat gempa yang berarah barat-timur. Melihat kenyataan ini, patut dipertanyakan, mengapa Presiden Jokowi ngotot pindah ke Kaltim. Filosofi Jakarta Jika menyimak alasan Presiden Jokowi untuk memindahkan Ibukota Negara ke Kaltim hanya semata-mata untuk menghindari bencana alam, sudah dijawab oleh para pakar di atas. Bahwa Kaltim tidak terbebas dari ancaman bencana gempa bumi dan tsunami. Makanya, tidak salah kalau ada yang bertanya, adakah maksud lain di balik rencana pindah Ibukota Negara tersebut? Apalagi, belakangan malah muncul dugaan, di dua wilayah tersebut ternyata banyak lahan yang dimiliki oleh sponsor Jokowi saat nyapres! Jadi, tampaknya rencana pemindahan Ibukota Negara itu lebih kepada “unsur bisnis” properti yang menguntungkan kolega taipan pendukung Jokowi ketimbang alasan lainnya, seperti soal menghindari bencana gempa bumi dan tsunami segala. Tak hanya itu. Secara konstitusi, Presiden Jokowi sudah jelas-jelas melabrak UU yang telah ditetapkan oleh Presiden Sukarno terkait dengan Ibukota Jakarta. Dengan kata lain, Presiden Jokowi sejatinya telah dengan sengaja mencabut filosofi fundamental bangsa Indonesia. DKI Jakarta adalah ibu dari seluruh negara ini, ibu dari seluruh wilayah republik ini, ibu dari seluruh kampung, desa, kecamatan yang ada di Indonesia. Mengapa? Karena Jakarta adalah ibu yang mengandung, bahkan melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara historis, nama Jakarta pun diambil dari nama Pangeran Jayakarta, bukan Batavia yang sering disebut oleh Belanda, meski nama ini sejatinya juga berasal dari nama Betawi. Apakah jejak historis ini yang sengaja mau “dihapus” oleh Presiden Jokowi? Sebenarnya ada hal-hal filosopis konstitusional yang harus dipahami terlebih dahulu tentang ibukota dalam perspektif perjalanan konstitusi bangsa. Ibukota adalah tempat di mana seluruh rakyat Indonesia memberikan mandat kepada institusi negara. Menurut pakar hukum tata negara Irmaputra Sidin, jika merunut sejarah panjang kehidupan konstitusi, maka dapat ditemukan kriteria dan definisi megnapa Jakarta dijadikan ibukota diantara puluhan, ratusan bahkan ribuan kota yang ada di Indonesia. “Tentunya ada sesuatu yang harusnya dipahami mengapa kemudian Jakarta ditunjuk sebagai ibukota. Apa definisinya? Apa yang melatar belakangi kemudian Jakarta dijadikan kota yang menjadi ibu,” sebut Irma seperti dilansir RMOL.com, Sabtu (24/8/2019). "Jakarta adalah tempat di mana ibu menjahit Bendera Merah-Putih. Jakarta adalah tempat di mana proklamator (Sukarno-Hatta) memproklamasikan kemerdekaan kepada seluruh penjuru dunia. Jakarta adalah ibu yang memfasilitasi lahirnya Pancasila,” kata Irma. “Ideologi negara yang sangat dibanggakan, ideologi yang kita ingin sebar ke seluruh penjuru dunia, kata Bung Karno. Jakarta tempat menulis menguntai kata-kata, selaksa kata-kata menjadi untaian-untaian kata untuk mengontrol kekuasaan tersebut dalam bentuk UUD 1945,” tutur Irma. Apakah Presiden Jokowi tidak tahu kalau UU Nomor 10 Tahun 1964 tentang “Pernyataan Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta Raya Tetap Sebagai Ibu-Kota Negara Republik Indonesia Dengan Nama Jakarta” belum dicabut dan masih berlaku? Itulah filosofi Jakarta! Jika Presiden Jokowi tetap ngotot ingin mindahin Ibukota, jelas beliau sepertinya memang sengaja ingin menghapus jejak filosofi Jakarta! ***

Ibu Kota Baru: Legacy Berbiaya 200 Miliar Per Pejabat

Pak Jokowi hendaknya tidak hanya mengutamakan hasrat legacy (warisan) saja. Hasrat untuk disebut-sebut sebagai presiden yang mewujudkan pemindahan ibu kota. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Rakyat pantas mencurigai motif pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan. Mengapa Presiden Jokowi sangat memaksakan pemindahan itu? Padahal, Jakarta masih bisa berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Di sisi lain, bangsa dan negara ini sedang dilanda krisis multi-dimensional yang memerlukan penanganan serius oleh pemerintah. Negara sedang menghadapi kesulitan finansial. Utang bertimbun-timbun. Di bulan Mei 2019, jumlah utang sesuai catatan Bank Indonesia (BI) mencapai USD368 miliar atau sekitar 5,267 (lima ribu dua ratus enam puluh tujuh) triliun. Dari jumlah ini, utang pemerintah mencapai 4,603 triliun. Tahun 2019 ini, cicilan utang itu 400 triliun. Terdiri dari bunga 275.9 triliun, utang pokok 120.7 triliun. Jadi, setiap hari kita harus membayar 1 triliun lebih. Satu triliun itu seribu (1,000) miliar. Itu berarti setiap 10 menit kita bayar 7 (tujuh) miliar rupiah. Di tengah beban utang yang sangat dahsyat ini, Presiden Jokowi tak menghiraukan anjuran para pemuka bangsa. Agar berhenti dulu membicarakan pemindahan ibu kota. Banyak masalah urgen yang harus dipririotaskan Presiden. Khususnya gejolak politik dan keamanan di Papua dan Papua Barat. Tetapi, Jokowi bersikeras untuk memindahkan ibu kota. Beberapa hari lalu, tepatnya 26 Agustus 2019, Jokowi menetapkan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota baru Indonesia. Pembangunan fisik akan dimulai pertengahan 2020. Perkiraan awal biaya pembangunan ibu kota baru itu mencapai hampir 500 triliun rupiah. Hanya untuk mencipakan kenikmatan bagi para pejabat tinggi. Kalau jumlah pejabat tinggi ada 2,500 orang (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), berarti biaya pemindahan satu orang mencapai 200 miliar. Nah, haruskah pemindahan ini dibiarkan? Akumulasi masalah besar yang sedang melanda negara ini menyimpulkan agar pemindahan ibu kota jangan sampai terjadi. Setidaknya untuk saat ini. Pemindahan itu masih bisa ditunda. Pak Jokowi hendaknya tidak hanya mengutamakan hasrat legacy (warisan) saja. Hasrat untuk disebut-sebut sebagai presiden yang mewujudkan pemindahan ibu kota. Jangan khawatir soal ‘legacy’. Anda telah mencatatkan diri sebagai presiden dengan rekor utang terbesar. Anda juga menyaksikan polarisasi sosial-politik terhebat. Di masa Anda ini pula berlangsung pemilu/pilpres paling kacau dalam sejarah dengan korban nyawa 600 petugas KPPS. Jadi, legacy Anda sudah cukup banyak, Pak Jokowi. Bolehlah ditangguhkan legacy ibu kota baru. (31 Agustus 2019)

Solusi Ibu Kota, Problem Ibu Kandung

Memindahkan ibu kota ke luar Jawa paling banter menghadirkan dua solusi saja. Pertama, menaikkan harga tanah di lokasi dan sekitar lokasi ibu kota baru. Kedua, memudahkan jumpa fisik antara Presiden dan para pembantunya. Selebihnya, yang 98 lagi, adalah problem. Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN — Tampaknya, Pemerintah bertekad keras untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan. Alasan terbaiknya adalah supaya ibu kota berada di titik tengah geografi Indonesia. Tujuan terburuknya adalah supaya semua orang dari seluruh Indonesia datang ke ibu kota dengan jarak tempuh yang sama. Bisa dipahami. Karena banyak orang yang percaya bahwa sukses itu tergantung jarak tempuh pesawat. Bukan jarak tempuh pikiran. Jadi, kita maklumi saja. Tetapi, memindahkan ibu kota ke luar Jawa paling banter menghadirkan dua solusi saja. Pertama, menaikkan harga tanah di lokasi dan sekitar lokasi ibu kota baru. Kedua, memudahkan jumpa fisik antara Presiden dan para pembantunya. Selebihnya, yang 98 lagi, adalah problem. Begitu banyak problem yang akan diakibatkan oleh pemindahan ibu kota. Di antaranya adalah problem ibu kandung. Yaitu, ibu kandung dari belasan ribu PNS yang harus ikut pindah ke Kalimantan. Misalnya, siapa yang akan merawat ibu kandung yang selama ini harus tinggal bersama ribuan PNS itu? Kalau mereka pindah ke Kalimantan, siapa yang bisa dititipi untuk menjaga ibu kandung mereka? Berapa banyak pula biaya ekstra yang harus dikeluarkan? Apa yang akan terjadi seandainya ibu kandung yang dititipkan ke seseorang di Jakarta atau entah di mana, kemudian menghilang dan tak pulang-pulang ke rumah yang dititipi? Berapa biaya yang harus disediakan untuk mencari ibu kandung yang hilang itu? Terus, seandainya ditemukan seorang wanita yang mirip dengan ibu kandung yang hilang itu, tapi ada keraguan apakah benar dia atau bukan, bagaimana pula dengan biaya tes DNA-nya? Sebab, tes DNA perlu dilakukan untuk memastikan agar si wanita yang mirip ibu kandung itu adalah si ibu kandung yang hilang. Bagi para pejabat senior, khususnya yang masih bisa lolos OTT KPK, mungkin saja tidak ada masalah dengan ibu kandung kalau mereka pindah ke Kalimantan. Duit mereka banyak terus. Tetapi, belum tentu dengan belasan ribu PNS biasa yang harus ikut hijrah ke ibu kota baru. Problem ibu kandung ini haruslah dipertimbangkan dengan matang sebelum ibu kota dipindahkan. Pemindahan ibu kota perlu dipikirkan masak-masak. Jangan setengah masak. Makanan setengah masak masih banyak bakterinya. Mengapa harus dipikirkan sampai masak? Agar tidak membuat anak-anak menjadi durhaka kepada ibu kandung mereka. Durhaka? Iya! Tentu bisa terjadi. Misalnya, kalau banyak diantara belasan ribu PNS yang harus pindah itu tak mampu membawa ibu kandung mereka, maka akan terbukalah pintu kedurhakaan. Sebab, mereka itu sangat perduli kepada ibu kandung. Tapi, gara-gara pindah ibu kota, tiba-tiba saja si anak tidak lagi menghiraukan ibu kandungnya. Memang banyak orang yang tidak perduli ibu kandung. Mungkin ibu kandung dianggap menyusahkan mereka. Banyak juga yang tak perduli dengan silsilah ibu kandung. Bahkan mereka sembunyikan garis ibu kandungnya. Mereka anggap saja tidak ada. Banyak yang begini. Tapi, tentunya kita tak ingin seperti itu. Jadi, perlulah direnungkan kembali. Jangan sampai solusi ibu kota menjadi problem ibu kandung. (*) *Penulis: Asyari Usman (wartawan senior)

Menhub Jangan Jadi Juragan Taksi Online

Jakarta, FNN - Indonesia Traffic Watch (ITW) mengingatkan Menteri Perhubungan (Menhub) agar tidak bersikap seperti juragan taksi online. Semua mobil berpelat pribadi atau hitam harus taat pada ketentuan ganjil-genap (Gage). "ITW menyayangkan keinginan Menhub Budi Karya Sumadi yang meminta agar taksi online mendapat pengecualian dari kebijakan Gage, "ujar Ketua Presidium ITW Edison Siahaan kepada wartawa di Jakarta, Rabu (14/08). Ditambahkan, posisi Menhub sudah seperti juragan taksi online. Menhub ingin memperkeruh kondisi lalu lintas ibukota Jakarta. Sekaligus upaya Menhub untuk menutupi kegagalannya mengurus angkutan umum berbasis aplikasi. Edison menghimbau Menhub agar membaca dan mempelajari dulu undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Supaya Menhub paham apa itu syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh kendaraan bermotor yang digunakan sebagai angkutan umum. ITW memastikan bahwa kesemrautan, kemacetan lalu lintas khususnya di Ibukota juga dipicu akibat kegagalan Menhub. Karena Menhub membiarkan. kendaraan pribadi beroperasi sebagai angkutan umum. Akibatnya jumlahnya kini semakin membludak dan tak terkendali. "ITW menuntut tanggungjawab Menhub terkait dengan pelaksanaan Permenhub No. 32 tahun 2016 dan Permenhub No. 26 tahun 2017 serta Permenhub No. 108 tahun 2017, tentang angkutan umum dengan kendaraan bermotor roda empat berbasis aplikasi, "ujar Edison Siahaan. Ketiga Permenhub tersebut tidak mempunyai efek yang signifikan untuk menyelesaikan masalah angkutan umum berbasis aplikasi. Ribuan kendaraan bermotor belum memenuhi syarat sebagai angkutan umum. Namun sekarang bebas beroperasi. Bahkan jumlahnya terus bertambah, sehingga membuat ruas jalan Ibukota dan sekitarnya semakin sesak. "Belakangan Menhub juga kembali membuat kebijakan yang melanggar aturan. Lewat kebijakan Permenhub No. 12 tahun 2019 tentang keselamatan sepeda motor yang digunakan untuk kebutuhan masyarakat, " kata Edison Siahaan. Padahal Mahkamah Konstitusi lewat putusannya Nomor 41/PUU-XVI/2018 menolak permohonan judicial riview yang diajukan oleh puluhan pengemudi Ojek Online (Ojol) ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar UU No. 22 tahun 2009 mengakomudir sepeda motor sebagai angkutan umum. "Sebaiknya Menhub menyampaikan data dan informasi yang akurat. Berapa jumlah angkutan umum berbasis aplikasi yang sudah memenuhi syarat sesuai ketentuan yang berlaku. Jangan langsung menuntut equality, tetapi keberadaanya illegal, "pinta Edison Siahaan.

Listrik Mati Akibat Sabotase?

Jika perlu, akibat matinya listrik ada pejabat negara yang mengundurkan diri. Ini perlu sebagai bentuk tanggungjawab moral. Oleh Mangarahon Dongoran (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Menarik untuk menyimak pernyataan Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Sripeni Inten Cahyani terkait padamnya listrik sejak Minggu siang. Pihaknya akan menginvestigasi biang kerok padamnya listrik itu. "Kami akan investigasi lebih lanjut berkaitan penyebab gangguan. Ini murni masalah teknis," katanya kepada wartawan, di kantor PLN Pusat Pengatur Beban (P2B), Gandul, Depok, Jawa Barat, Ahad, 4 Agustus 2019. Di tempat yang sama, Direktur Pengadaan Strategis PLN Djoko Raharjo Abumanan menepis padamnya listrik itu akibat gempa di Banten pada malam Ahad atau Sabtu 3 Agustus 2019 malam. "Ngaklah, ngak ada hubungannya dengan (gempa) Banten," ucap Djoko. Sripeni menjelaskan, permasalahan mulai terjadi pada pukul 11.45 WIB. Tepatnya pada detik ke 27 pukul 11.45 WIB saluran udara tegangan ekstra tinggi Ungaran-Pemalang terjadi gangguan. Yaitu di sifkuit satu, kemudian disusul sirkuit kedua. Akibatnya, dua-duanya mengalami gangguan. "Akibatnya, terjadi penurunan tegangan. Jadi pada pukul 11.48 detik 11 menyebabkan jaringan SUTB (saluran udara tegangan tinggi) Depok-Tasik mengalami gangguan. Ini awal pemadaman sistem Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta," kata Sripeni yang baru dua hari ditunjuk menjadi Pelaksana Tugas Dirut PT PLN. Pertanyaannya adalah kenapa terjadi gangguan pada sirkuit satu dan sirkuit dua? Siapa yang bisa mengganggunya? Apakah gangguan teknis semata? Apakah faktor alam? Atau faktor manusia? Faktor alam yang dikaitkan dengan gempa Banten sudah dibantah. Jika faktor teknis, kok bisa terjadi tiba-tiba dan dua hari setelah Sripeni diangkat menjadi Plt Dirut PLN. Orang awam pasti kurang paham faktor teknis yang disampaikan Sripeni. Apakah faktor teknis karena jaringannya sudah tua alias daluarsa? Apakah saat pemasangannya kurang pas? Atau peralatan sirkuit satu dan dua tidak kuat menghantarkan beban listrik yang terlalu tinggi? Saya lebih cenderung menduga bahwa padamnya listrik ini akibat sabotase. Apakah sabotase dilakukan orang dalam yang kurang suka dengan kehadiran Sripeni maupun sabotase dari luar. Tentu, seperti dikemuakakan Sripeni, investigasi perlu dilakukan. Investigasi melibatkan aparat terkait. Investigasi harus dilakukan secara dalam, karena listrik merupakan salah satu urat nadi perekonomian nasional. PLN sendiri memperkirakan kerugian Rp 90 miliar akibat padamnya listrik. Kerugian yang diderita rakyat tentu jauh lebih besar. Banyak usaha kecil menengah yang tidak memiliki genset, terpaksa menghentikan usahanya. Kita berharap investigasinya fair. Jika perlu, akibat matinya listrik ada pejabat negara, serendahnya direktur di PLN mengundurkan diri. Ini perlu sebagai bentuk tanggungjawab moral. *** Foto: Evakuasi MRT yang mogok di underpass Sudirman akibat listrik mati massal selama 10 jam di Jawa-Bali.

Gempa Sumur: Pesan Langit Itupun Sudah Sampai Ibukota

Hanya gempa berkekuatan di atas 7,7 SR yang bisa menyebabkan gelombang pasang. Tsunami bisa menyapu ke segala arah dari pusat gempa dan menyerang seluruh garis pantai. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Gempa bumi kembali terjadi. Catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter terjadi pada pukul 19.03.21 WIB, berpusat di 147 km barat daya Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten. Kedalaman pusat gempa adalah 10 km bawah permukaan laut. BMKG meminta semua pihak mewaspadai potensi tsunami seusai gempa yang bisa menimbulkan gelombang tsunami yang cukup besar. “Potensi tsunami cukup besar,” kata Taufan Maulana. Menurut Kepala Bagian Humas BMKG itu, dari gambar BMKG terlihat potensi gelombang tsunami disimbolkan dengan warna kuning. Terlihat warna kuning meluas dari titik Sumur hingga seluruh pantai selatan Jawa dan barat Sumatera bagian selatan. Warna kuning terus ke selatan sampai Australia. Getaran gempa yang sempat membuat panik, sudah sampai ke DKI Jakarta, dan dirasakan pula oleh warga Kota Bekasi hingga Kota Tasikmalaya. Saat terjadinya gempa, Jum’at (2/8/2019), di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, sedang ada wayangan “Nonton Bareng Presiden Jokowi Wayang Kulit Dalang Ki Manteb Sudarsono”. Belakangan ini, Indonesia sering dilanda bencana, seperti gempa bumi. Bisa jadi, ini sebuah peringatan dan pesan dan Langit. Bahwa di negeri nan indah ini telah terjadi “perusakan” di muka bumi. Banyak hal yang kita selalu abai setiap kali terjadi bencana. Lihat gempa bumi dan stunami yang terjadi di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), 26 Desember 2004 sehingga menjadi perhatian dunia. Gempa berkekuatan 8,9 SR diikuti tsunami dengan kecepatan 500 km/jam itu menelan korban lebih dari 150 ribu warga Aceh meninggal dunia. Hampir sebagian besar wilayah barat dan utara Aceh disapu bersih tsunami yang masuk ke darat. Di Banda Aceh saja gelombang tsunami sempat mencapai 5 km dari pantai. Inilah gempa terbesar yang pernah terjadi di Indonesia dalam kurun 2001-2004. Selama kurun waktu itu terjadi 22 gempa. Gempa berkekuatan 7,5 SR disertai tsunami pernah terjadi di Flores, NTT pada 1992 dengan korban tewas 1.952 orang. Pada 1994, gempa 5,9 SR disertai tsunami melanda Banyuwangi menelan korban 238 orang tewas. Pada 6 Februari 2004, gempa berkekuatan 6,9 SR menimpa Nabire, Papua menewaskan 35 orang. Pada 16 November 2004, gempa dengan 6,0 SR juga menimpa Alor, NTT dan menelan korban tewas 33 orang. Terakhir, pada 26 November 2004, Nabire kembali dilanda gempa berkekuatan 6,4 SR dan menelan korban 13 orang tewas. Di saat perhatian tertuju ke Alor dan Nabire, tiba-tiba Aceh dilanda gempa dan tsunami. Perhatian masyarakat Indonesia dan dunia pun tertuju ke Aceh. Karena gempa dan tsunami Aceh ini adalah bencana terbesar di dunia sejak 1964. Pusat gempa berjarak sekitar 150 km dari Kota Meulaboh dengan kedalaman sekitar 10 km. Getaran gempa dan gelombang tsunami tersebut juga melanda India, Srilanka, Myanmar, Bangladesh, Baladewa, Thailand, dan Malaysia. Total jumlah korban gempa dan tsunami, termasuk yang menimpa Aceh, ini sudah mencapai sekitar 270.000 orang tewas. Kendati musibah yang melanda Aceh dan sebagian wilayah Sumatera Utara (Sumut) itu sudah berlalu, namun trauma peristiwa tersebut tak bisa hilang dari benak pikiran kita. Apa yang sebenarnya terjadi di Serambi Mekkah itu? Mungkin sedikit uraian berikut ini bisa menjawabnya. Seperti diketahui, sebagian besar wilayah Aceh adalah penghasil minyak dan gas bumi. Entah sudah berapa banyak yang telah dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi. E Sehingga, sebagian besar rongga perut bumi di bawahnya menjadi kosong karena sudah disedot. Akibatnya, lapisan atau kerak bumi yang ada di atasnya menjadi ambrol. Migas yang seharusnya berfungsi sebagai pelumas dan penahan beban lapisan itu, kosong. Jadi, bukan semata-mata karena ada pergeseran lempeng dasar laut saja, seperti kata para pakar gempa dan geologi. Warna air laut coklat-kehitaman itu tak lain sebenarnya adalah sisa-sisa minyak yang keluar dari rongga perut bumi di bawah lautan Aceh. Setelah lapisan bumi ini ambrol, maka air laut masuk ke dalam rongga perut bumi yang kosong itu. Dengan masuknya air laut menggantikan migas yang sudah tak ada lagi itu, maka berkurang pula getaran yang ditimbulkan akibat gesekan kerak bumi di dalamnya. Para ahli geologi dan pakar gempa tak pernah berpikir, kosongnya rongga perut bumi itu bisa menyebabkan ambrolnya lapisan bumi yang ada di atasnya. Jika eksplorasi terjadi di darat, dampak gempanya lebih dahsyat, seperti di China pada 27 Juli 1976. Korban akibat gempa 8,0 SR di Tangshan, China itu mencapai 250.000 orang tewas. Gempa dengan jumlah korban yang besar juga pernah terjadi di Mexico City pada 19 September 1985 berkekuatan 7,6 SR dengan korban 10.000 orang tewas. Di Armenia pada Desember 1988, gempa berkekuatan 6,9 SR dengan korban tewas 25.000 orang. Gempa berkekuatan 7,4 SR juga menimpa Turki pada 17 Agustus 1999 dan menewaskan 17.000 orang. India Barat juga pernah dilanda gempa pada 26 Januari 2001. Gempa berkekuatan 7,9 SR itu menelan korban tewas 30.000 orang. Yang terbaru terjadi di Bam, Iran, pada 26 Desember 2003. Gempa berkekuatan 6,7 SR itu telah menelan korban 50.000 orang meninggal. Dan, tepat setahun setelah gempa di Bam itu, Aceh juga dilanda gempa dan tsunami terdahsyat sejak 1964. Selang beberapa waktu kemudian, gempa juga menimpa perbatasan India, Pakistan, dan Afghanistan dengan jumlah korban yang tak sedikit pula. Semua wilayah yang dilanda gempa itu termasuk daerah kaya migas yang sudah puluhan tahun dieksploitasi, seperti halnya wilayah Aceh. Dampak eksplorasi minyak itu memang baru terasa setelah puluhan tahun. Jika eksplorasi itu berlangsung di lautan, maka gempa tersebut akan diikuti dengan tsunami. Kata pakar gempa Wong Wingtak di Hongkong Observatory, tsunami adalah gelombang pasang nan dahsyat yang disebabkan gempa bumi di lempeng dasar laut. Gelombang itu bisa menerpa lokasi dalam jarak yang jauh dalam waktu cepat. Akibat guncangan seismik yang kuat itu, tsunami bisa mencapai ketinggian dan kecepatan yang luar biasa. Tak hanya itu. Bahkan, guncangan itu bisa menimbulkan gelombng sejauh ribuan kilometer dari asalnya dengan efek yang merusak. Korban pun selalu berjatuhan. Gelombang nan dahsyat itu juga dapat dilihat di lautan. Namun, jika kita naik kapal, mungkin kita malah tak merasakan adanya tsunami. Tapi tsunami justru punya kekuatan mahadahsyat ketika mendekati pantai dan menjangkau perairan yang dangkal. Saat itulah, kekuatannya bisa mendorong gelombang lebih dari 10 kali lipat lebih tinggi ketimbang permukaan laut. Wong menyebutkan, sebenarnya beberapa gejala alam bisa mengakibatkan tsunami. Misalnya, tanah longsor dan letusan gunung berapi. Tapi, penyebab yang paling umum adalah gempa di dasar laut. Kasawan Pasifik termasuk yang paling sering mengalami gempa bawah laut. Hal tersebut terkait pergerakan lempeng tektonik bumi. Gelombang pasang bukanlah fenomena umum dalam kasus terjadinya gempa di dasar laut. Kata Wong, hanya gempa berkekuatan di atas 7,7 SR yang bisa menyebabkan gelombang pasang. Tsunami bisa menyapu ke segala arah dari pusat gempa dan menyerang seluruh garis pantai. Kecepatan gelombang tsunami terkait kedalaman laut. Kecepatannya bisa sampai ratusan kilometer per jam. Pada 1960, misalnya, gelombang pasang berkecepatan 750 km per jam menghantam Jepang menyusul serangkaian gempa di Cile dan Samudera Pasifik. Ratusan orang tewas saat itu. Pada September 1992, tsunami menyapu pantai Nikaragua, sebanyak 13.000 orang tewas. Pada 17 Juli 1998, dua gempa dengan 7 SR menyebabkan gelombang setinggi 7 m, menghancurkan kawasan sejauh 30 km dari pantai utara Papua Nugini menewaskan 2.123 orang di 7 desa. Gempa berkekuatan 9,0 SR disertai tsunami dahsyat juga terjadi di Jepang pada 11 Maret 2011. Gempa terjadi di kedalaman laut 244 km itu menelan korban 15.269 tewas, 5.363 luka, dan 8.526 hilang. Gelombang laut mencapai ketinggian 10 m. Minggu malam, (5/8/2018), gempa kembali mengguncang Indonesia. Kali ini terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Data BNPB hingga Senin (6/8/2018) malam, sebanyak 98 orang meninggal dunia dan 209 korban luka-luka akibat bencana gempa itu. Sebagai orang beriman harus percaya, bencana itu seolah berkata, menjawab, tiada kekuasaan dan kesombongan dunia yang bisa menolak kehendak-Nya. Dalam bahasa religi, setidaknya ada tiga hikmah yang bisa dipetik dari bencana di Indonesia. Pertama, bencana itu ujian bagi umat manusia. Kedua, teguran pada para pimpinan kita yang selama ini “menganiaya” Aceh. Dan ketiga, bisa diartikan juga sebagai hukuman pada para pimpinan kita yang menjadikan Aceh sebagai “objek” kepentingan politik. Begitu pula yang terjadi di Lombok. “Bapak polah, anak kepradah”. Pemimpin berulah, rakyat kesusahan. Mungkin lirik lagu Ebiet G. Ade ada benarnya, “Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa.” Gempa bumi berkekuatan 7,4 SR yang terjadi Jum’at (2/8/2019) malam itu tentunya tidak lepas dari KehendakNya, menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-74. Allah SWT di dalam Al-Qur’an surat Al Araf ayat 4 pun sudah mengingatkan kita. Qur’an 7 : 4, yang artinya: “Betapa banyak negeri yang telah Kami binasakan, siksaan Kami datang (menimpa penduduknya) pada malam hari, atau pada saat mereka beristirahat di siang hari”. “Betapa banyak negeri yang telah kami binasakan, seperti negeri kaum nabi-nabi terdahulu, siksaan kami datang menimpa penduduk-Nya pada malam hari ketika mereka tengah terlelap dalam tidur seperti yang terjadi pada kaum Nabi Luth yang melakukan homoseks”. “Negeri mereka dijungkirbalikkan dan dihujani dengan batu. Atau siksaan itu datang pada saat mereka beristirahat pada siang hari seperti yang terjadi pada kaum Nabi Syuaib yang sering melakukan kecurangan dalam takaran dan timbangan”. “Mereka disiksa dengan suara yang menggelegar. Azab Allah bisa datang kapan saja, secara tak terduga, bahkan ketika waktu istirahat sekalipun. Maka ketika siksaan Kami datang menimpa mereka, keluhan mereka tidak lain, hanya mengucap, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim”. “Mereka mengakui dosa-dosanya, tapi semua penyesalan itu tidak ada gunanya lagi. Mereka tetap dibinasakan. Inilah siksaan mereka di dunia. Di akhirat nanti, azab Allah akan lebih pedih lagi. Mereka akan dimintakan pertanggungjawaban”. Referensi: https://tafsirweb.com/2458-surat-al-araf-ayat-4.html. Jika kita piawai membaca pesan alam, musibah dan bencana alam selama ini merupakan peringatan dari Langit atas perilaku seperti kaum Nabi Luth dan Nabi Syuaib di Indonesia. Taubat Nashuha adalah jawaban yang tepat untuk menghentikan bencana di Indonesia! ***