KESEHATAN

Jangan Ada Kematian Massal di Negeri +62 Ini

Teringat sebuah tulisan dari keluarga Deny, seorang pejabat eselon satu yang meninggal karena covid-19: "Please don't get sick, they do not know how to handle us. This is scary”. "Mohon jangan sakit. Mereka (tenaga medis) tidak tahu bagaimana menangani kita”. Ini sangat mengerikan. By Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (27/03). Pagi ini, yang positif Covid-19 di Indonesia di angka 893 orang. Yang meninggal sudah 78 orang. Dan yang sembuh 35 orang. Dari data ini, tiga hal yang bisa kita simpulkan. Pertama, trend angkanya terus naik secara signifikan. Kedua, angka kematian di atas 8 persen. Ketiga, jumlah yang mati lebih besar dari yang sembuh. Dua kali lipat lebih. Bandingkan dengan kasus covid-19 di tingkat global. Ada 528.960 kasus. Yang meninggal 23.963 orang. Sekitar 4 persen. Dan yang sembuh sebanyak 123.366 orang. Lima kali lipat dari angka kematian. Apakah Indonesia harus lockdown? Rasa-rasanya tak mungkin. Meski banyak pihak telah mendesak. Namun lockdown itu kewenangan Pemerintah Pusat. Presiden berulangkali menegaskan: “tak akan ada lockdown”. Bahkan keputusan ini diucapkan di hadapan para kepala daerah. Jadi, clear. Presiden tegas bahwa tak akan ada lockdown. Kendati ada perangkat undang-undangnya, yaitu UU No. 6 Tahun 2018 tentang karantina. Lockdown nampaknya bukan pilihan. Masalahnya bukan karena tak tersedianya aturan, tapi lebih karena petimbangan faktor ekonomi. Pemerintah gak siap. Lalu? Presiden sedang buka donasi. Menteri Keuangan lagi menyiapkan rekening. Berharap rakyat mau nyumbang. Terutama orang-orang kaya yang sedang lari ke Singapore. Gak apa-apa di Singapore, yang penting duitnya tetap di Indonesia, dan syukur-syukur mau donasi. Semoga orang-orang melarat nantinya ikut kebagian dan merasakan uang hasil donasi itu. Untuk sementara, pemerintah menghimbau rakyat stay at home. Diam di rumah. Apakah himbauan ini efektif? Untuk mereka yang punya tabungan cukup, diam di rumah bukan masalah. Tetapi bagi kaum miskin? Ini sangat serius. Mati di jalanan karena terinfeksi covid-19 lebih terhormat karena nyari nafkah buat keluarga, daripada mati kelaparan di rumah. Lihat berbagai video soal keberanian orang-orang miskin itu yang viral di medsos. Sama sekali gak nampak rasa takut dalam diri mereka. Orang miskin gak takut mati. Yang takut mati itu orang kaya. Kira-kira seperti itulah ungkapan mereka. Walaupun sesungguhnya mereka takut mati juga. Hanya saja, kelaparan yang membuat mereka abai terhadap rasa takut itu. Bagi mereka, yang setiap harinya makan dari penghasilan harian, imbauan stay di rumah nggak akan efektif. Baru efektif kalau pemerintah hadir dan memberi makan untuk mereka. DKI sudah siapkan 1,1 juta per keluarga. Pusat berapa? Nah, disinilah letak persoalannya. Kalau pemerintah pusat punya kemampuan ngasih makan rakyat, beberapa pekan lalu mungkin sudah diputuskan lockdown. Bangun kereta cepat Jakarta-Bandung, jalan tol, bandara dan pelabuhan mampu kok, mosok ngasih makan rakyat nggak mampu? Bangun ibukota baru aja ada anggarannya, mosok untuk subsidi rakyat nggak ada anggarannya? Tentu, pemerintah punya kalkulasi sendiri. Soal rakyat nggak paham, itu persoalan yang nomor 13. Jika instruksi stay at home dari Pemerintah Pusat tak efektif untuk rakyat miskin, bagaimana nasib mereka ke depan terkait penyebaran covid-19 yang semakin mengganas? Teori "organisme biologis" atau "Herd Imunity" berlaku disini. Bagi yang imunnya kuat, mereka akan bertahan hidup. Bagi yang lemah imunnya? Anda akan memberi nasehat: bawa ke rumah sakit. Emang rumah sakit terima? Emang rumah sakit masih muat ruang isolasinya? Sabar! Wisma Atlet sedang disulap jadi ruang isolasi. Teringat sebuah tulisan dari keluarga Deny, seorang pejabat eselon satu yang meninggal karena covid-19: "Please don't get sick, they do not know how to handle us. This is scary”. "Mohon jangan sakit. Mereka (tenaga medis) tidak tahu bagaimana menangani kita”. Ini sangat mengerikan. Kalimat ini ditulis atas keprihatinan keluarga atas penanganan rumah sakit terhadap almarhum Deny. Lempar sana lempar sini dengan masa tunggu cukup lama. Hingga akhirnya, pek... Deny pun meninggal. Kenapa ini terjadi? Karena keterbatasan tenaga, alat dan ruang. Ini pejabat loh. Kebayang jika kuli panggul yang sakit. Pek... Mati di emperan toko, seperti yang terjadi di Petogogan. Semoga rakyat Indonesia, terutama kaum miskin, punya daya tahan tubuh yang lebih kuat, sehingga tak ada kematian massal di negeri +62 ini. Karena pada akhirnya, nyawa anda itu urusan anda sendiri. Bukan urusan Pemerintah Pusat. Bukan pula urusan para anggota DPR yang saat pemilu tahun lalu berhasil membujuk anda untuk memilih mereka. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Jokowi Mati Gaya, Anies The Real Leader

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Agak sulit bagi publik untuk tidak membanding-bandingkan kualitas kepemimpinan Gubernur DKI Anies Baswedan dengan Presiden Jokowi. Tak bisa ditutup-tutupi lagi. Seperti sebuah panggung drama, tabir pencitraan sudah terbuka lebar. Publik bisa langsung melihat realitas di belakang panggung. Inilah wajah asli dari kualitas seorang Jokowi. Benar seperti dikatakan oleh Benjamin Bland dari lembaga pemikir ( think tank ) Lowy Institute, Sidney, Australia. Wabah Covid-19 mengungkap celah kualitas Jokowi sebagai seorang pemimpin sebuah pemerintahan. “Kualitas kepemimpinanya ad hoc (terbatas), dan kurangnya pemikiran yang strategis dalam pemerintahan,” tulis Ben Bland dalam artikel berjudul: Covid-19 Crisis Revealscracks in Jokowi’s Ad hoc Politics. Analisis Bland membantu kita untuk memahami, mengapa kebijakan yang diambil Jokowi sering membingungkan. Berubah-ubah dan sangat kentara diputuskan secara tidak matang. Tanggal 16 Maret Jokowi memutuskan, penanganan Corona diserahkan kepada kebijakan masing-masing pemerintah daerah. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan langsung bergerak cepat. Pada hari itu juga Anies mengambil keputusan membatasi operasional bus Trans Jakarta dan MRT. Tujuannya agar ada efek kejut. Warga mulai membatasi aktivitas ke luar rumah. Kebijakan itu jelas tidak populer. Penumpang menumpuk di halte. Kecaman kepada Anies berhamburan. Termasuk dari juru bicara presiden. Tetapi itulah risiko seorang pemimpin. Harus berani mengambil kebijakan yang tidak populer. Tidak usah terlalu memikirkan kecaman publik, selama dia yakin kebijakannya bermanfaat. Untuk kepentingan umum. Apalagi kondisi sudah sangat darurat! Pembatasan keluar rumah, kerja dari rumah, dan meniadakan kegiatan yang melibatkan publik secara besar, adalah salah satu cara efektif mencegah penyebaran virus. Anies juga meminta sekolah dan rumah-rumah ibadah ditutup. Melihat langkah Anies, istana mulai was-was. Tampak jelas sekali cara berpikir istana sangat politis. Mengabaikan situasi darurat. Menganggap langkah Anies sebagai upaya mencuri panggung. Sikap itu tidak terlalu mengherankan. Sejak wabah merebak di Wuhan, Cina. Pemerintah terkesan menganggap enteng. Sangat yakin Indonesia kebal Covid-19. Ketika ada seorang peneliti dari Harvard University mengingatkan bahwa secara teori virus sudah menyebar di Indonesia, Menkes Terawan malah menantang. Dia minta dibuktikan. Presiden Jokowi dengan gagah menawarkan bantuan untuk Cina. Dalam rapat kabinet, Jokowi meminta para menterinya memaksimalkan kegiatan konferensi dan pariwisata di Indonesia. Berharap musibah di sejumlah negara itu bisa menjadi berkah bagi Indonesia. Pemerintah bahkan menganggarkan Rp 72 miliar bagi para influencer. Tugasnya menarik wisatawan yang batal ke Cina, Jepang, dan Korsel berkunjung ke Indonesia. Tanggal 17 Maret, sehari setelah pembatasan operasional kendaraan umum di Jakarta, Jokowi mengutus Mendagri Tito Karnavian menemui Anies Baswedan. Dalam pertemuan itu Tito mengingatkan Anies, kewenangan melakukan lockdown ada di tangan pemerintahan pusat. Tampaknya istana melihat ada tanda-tanda, instruksi Jokowi agar Pemda tidak melakukan lockdown tidak dipatuhi. Apapun namanya, berbagai kebijakan yang diambil oleh Anies menuju ke arah lockdown. Mulai dari sini publik sesungguhnya mulai bisa melihat kualitas kepemimpinan Anies. Publik terutama kalangan pengamat kebijakan publik, praktisi kesehatan, dan kalangan medis menilai lockdown merupakan langkah yang paling tepat mencegah penyebaran Covid-19. Seruan untuk melakukan lockdown malah dilawan istana dengan mengerahkan buzzer. Semua wacana tentang perlunya lockdown, langsung mereka hajar. Bahkan termasuk seruan dari sejumlah figur yang selama ini dikenal sebagai pendukung Jokowi. Istana membuat framing, seruan lockdown membawa agenda terselubung menjatuhkan pemerintahan. Juru bicara istana Fadjroel Rachman menyebut para pengecam pemerintah sebagai para pecundang politik. Lockdown yang dilakukan sejumlah negara, mulai dari Cina, Inggris, bahkan AS adalah langkah drastis mencegah penyebaran virus. Dampaknya memang sangat besar secara ekonomi, sosial, dan tak tertutup dampak politik. Tapi itu harga yang harus dibayar seorang pemimpin. Langkah itu, dalam bahasa seorang ahli Clinical Epidemiologi dr Tifauzia Tyassuma seperti menutup benteng. Sehingga musuh tidak bisa masuk. Langkah Jokowi memutuskan untuk tidak lockdown, membuat musuh masuk ke dalam benteng. Jadilah sekarang perang melawan musuh yang tidak kelihatan itu berlangsung di dalam benteng. Dengan sifat Covid-19 yang cepat menular, situasinya saat ini seperti kita berperang melawan mutan. Bala tentara kita yang digigit mutan, otomatis berubah menjadi pasukan musuh. Sialnya musuh itu tidak terlihat membahayakan. Mereka bisa saja tetangga, keluarga, anak, suami, istri, dan orang tua kita sendiri. Semuanya sudah terlambat karena keputusan Jokowi. Sebagai “panglima perang” melawan corona, seharusnya prioritas Jokowi menyatupadukan semua kekuatan pasukan. Mereka harus bahu membahu melawan musuh. Jangan dipecah belah. Dicurigai. Atau malah dimusuhi. Menyelamatkan para tenaga medis Ibarat pepatah, buzzer menggonggong Anies berlalu, dia terus melangkah. Anies meminta perkantoran di Jakarta tutup selama 14 hari. Praktis walau tidak dinyatakan lockdown, Jakarta sudah tertutup dari berbagai aktivitas publik. Dia sering menyebutnya sebagai limited movement. Membatasi pergerakan manusia. Sebagai antisipasi berbagai dampak kebijakannya, terutama dampak ekonomi terhadap pekerja informal, Anies menyiapkan bantuan uang tunai untuk 1,1 juta warganya. Langkah terakhir yang menyedot perhatian publik adalah keputusannya mengubah hotel-hotel milik Pemprof DKI menjadi rumah sementara bagi para pekerja medis. Semua kebutuhan mereka, mulai dari makan minum, sampai kendaraan ke tempat mereka bekerja, disediakan oleh Pemda secara gratis. Sebelumnya Anies juga memberi insentif Rp 250 ribu/perhari bagi tenaga medis di Jakarta. Langkah ini mengundang pujian publik dan membuat para pekerja medis haru biru. Mereka adalah pasukan tempur yang berada di garda terdepan, tetapi keselamatannya diabaikan. Beberapa orang dokter dan tenaga medis telah gugur karena keterbatasan alat pelindung diri (APD), dan kelelahan kerja. Tragisnya alih-alih mendapat support, banyak tenaga medis yang tidak bisa pulang ke rumah. Mereka ditolak pulang oleh keluarga dan tetangganya. Takut membawa pulang virus Covid-19. Situasi itu membuat mental drop. Pasukan mengalami demoralisasi. Tragedi!!!! Aib bagi sebuah bangsa yang tidak bisa menghormati, dan menghargai para pahlawan kemanusiaan. Mereka berjibaku menyelamatkan dan melindungi nyawa kita semua. Kita enak-enakan santai di rumah. Tapi kita malah menolaknya. Menjauhinya. Dalam situasi darurat akal sehat sering tidak bisa digunakan. Anies memang beda. Dia menunjukkan diri sebagai komandan yang melindungi, mengayomi anak buahnya di medan pertempuran. Mereka bisa fokus di medan tempur. Akomodasi, logistik, dan keluarga aman. Dia tidak hanya mengambil langkah konkrit, tapi dia juga mengangkat moral pasukan. Secara tulus menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada para pahlawan kemanusiaan itu. Anies menulis surat dalam kop resmi seorang gubernur. Posisi formal sebagai pemimpin rakyat Jakarta. Surat yang diletakkan di meja sebuah kamar di hotel Grand Cempaka, Jakarta itu membuat kaget seorang tenaga medis. Ketika masuk kamar, dia menemukan surat itu. Dibuka, dibaca, daaannnnn…….. tak mampu membendung air matanya. Videonya viral. Sukses membuat mewek orang sak-Indonesia. Jika Jokowi masih terus melihat berbagai kebijakan Anies dari kaca mata politis, dia pasti bakal Mati Gaya. Sebagai Presiden Jokowi jelas punya semua sumber daya, jauh di atas Anies. Dia bisa berbuat jauh-jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang dilakukan Anies. Tinggal perintah! Kalau sejak awal perintah Jokowi jelas dan tegas, sesungguhnya dia bisa mengklaim semua kerja yang dilakukan oleh Anies dan para kepala daerah lain. Kalau sukses tinggal klaim. Kalau berantakan tinggal salahkan. Toh perintahnya sudah jelas. Sayangnya publik sejak awal menangkap adanya kesan rivalitas. Publik sekarang sedang menunggu-nunggu. Kapan Jokowi turun ke lapangan, seperti biasa dia lakukan dalam beberapa peristiwa bencana. Foto-foto ikoniknya di wilayah bencana, sangat membekas di ingatan publik. Menggenakan kemeja putih tangan panjang, dengan lengan digulung, celana hitam dan sepatu kets. Berjalan sendirian dengan wajah termangu-mangu, sangat ditunggu! End Penulis wartawan senior.

Jangan Panik Hadapi Corona. Ayo Berjemur Jam 10 Pagi

By Tony Hasyim Jakarta FNN – Kamis (26/03). Serangan global virus mematikan yang dimulai dari Wuhan Cina, membuat seluruh populasi dunia panik. Belum pernah dalam sejarah dunia terjadi kepanikan massal yang melibatkan hampir seluruh manusia dan diupdate terus-menerus oleh seluruh media seperti sekarang ini. Yang gelisah, setiap hari korban tewas terus berjatuhan di segala penjuru bumi. Tetapi World Health Organization (WHO) sampai saat ini belum bisa memastikan obat apa yang paling mujarab untuk menetralisir virus pembunuh tersebut. Kepanikan ini, ditambah lagi dengan bantahan-bantahan antara para ahli dan pengamat di media sosial maupun media mainstream. Saling membantah itu terkait tips-tips yang ditawarkan ahli dan pengamat tentang kiat pencegahan dan penyembuhan dari serangan virus ini. Sejauh ini pemerintah Indonesia juga belum bisa memastikan obat apa yang ampuh bagi para penderita. Padahal mereka sewaktu-waktu, atau kapan saja bisa tertular oleh virus ini. Sementara, beberapa tenaga medis di berbagai rumah sakit yang menangani pasien terpapar virus ini sudah berguguran. Mereka yang masih sehat bahkan sudah memberi warning agar masyarakat jangan ke luar rumah. Seorang dokter memberi pesan viral agar warga melakukan apa saja untuk melindungi diri dari virus ini. Situsasi sudah tidak terkendali. Pemerintah, ahli medis dan rakyat nampaknya sudah blank. Nah ditengah kepanikan tersebut, situs berita online Detikom pada Rabu 25 Maret 2020, pukul 07:36 WIB menurunkan artikel berjudul “Viral Jam 10 Disebut Waktu Terbaik Untuk Berjemur, Ini Faktanya” Artikel ini bersumber dari sebuah pesan viral yang menyebut bahwa waktu terbaik untuk berjemur adalah pada jam 10.00-11.00 pagi. Dengan berjemur 15-30 menit di waktu tersebut, tubuh mendapat asupan vitamin D paling optimal. "Pada jam tersebut tubuh kita paling aktif membuat D3 dari matahari. Dengan hanya berjemur sekitar 15- 30 menit, tubuh kita sudah dapat membuat sekitar 10.000-20.000 IU vit D3, gratis," demikian kutipan pesan tersebut. Masih menurut Detikom, anjuran ini didukung oleh dr Tan Shot Yen, seorang ahli gizi komunitas. Dalam sebuah wawancara, ia menegaskan jam 10 pagi adalah waktu terbaik untuk berjemur. "Yang kita butuhkan sebetulnya adalah ultraviolet B. Ultraviolet B ini gelombangnya lebih pendek. Itu sebabnya, kita harus tunggu sedikit mataharinya naik. Jadi, untungnya kita di khatulistiwa, jam 10 sudah ada. Itu adalah alasan kita jemurnya jam 10.00," kata dr Tan. Namun perlu diingat, sinar matahari juga mengandung sinar ultraviolet A. Menurut dr Tan, sinar ultraviolet inilah yang harus dihindari karena bisa memicu kanker dan kulit keriput. "Jadi jangan jemur sampai gosong. Bagi orang yang kulit putih, 15 menit aja cukup dan yang gelap 20 menit cukup," jelasnya. Profesor Geriatri dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof dr Siti Setiati, SpPD, KGER, MEpid, dalam penelitiannya juga menyebut sinar matahari memberikan manfaat paling optimal pada siang hari. "Iya, di atas jam 9. Hasil penelitian saya tahun 2003. Mungkin perlu diteliti lagi karena sudah lama," kata Prof Siti saat dikonfirmasi Detikom. Sedangkan untuk menangkal paparan sinar ultraviolet A yang 'jahat' bagi kulit, aesthetiv consultant dari Ekle's Clinic, dr Eklendro Senduk D, AAAM, MKes, mengatakan berjemur di waktu-waktu tersebut sebaiknya tidak lebih dari 15. "Selain itu juga tetap disarankan untuk memakai sunblock sebelum berjemur," katanya kepada Detikom. Anjuran untuk berjemur memang sudah banyak disampaikan beberapa dokter terkait pandemi virus mematikan sekarang ini. Paparan sinar matahari disebut mampu meningkatkan daya tahan tubuh. Tapi memang tidak ada yang menyebut harus jam 10 pagi. Kebanyakan malah melarang orang berjemur di atas jam 10 pagi karena bisa menyebabkan kanker kulit. Nah, penulis sendiri sudah menerima pesan berantai seperti yang dimaksud Detikom melalui aplikasi Whatsapp pada Senin 23 Maret 2020, pukul 21.58 WIB. Pesan tersebut isinya sebagai berikut : Salam damai sejahtera .... Selamat malam semuanya.... Saya ingin bagikan tips agar Imun Tubuh tetap terjaga, adalah dengan berjemur punggung selama 10 menit pada jam 10 tiap hari. Untuk menjaga Kekebalan tubuh. Karena Ultraviolet D2 itu keluar ya pada jam 10.00 pagi. Jadi, biar kolesterol kita bisa dirubah menjadi vitamin D3 ( utk kekebalan tubuh) dan utk kekuatan tulang juga. Dan jangan lupa bawa air mineral dan diminum setiap 15 menit, jangan biarkan tenggorokan kita kering. Tentunya supaya terjaga hati kita tidak dikuasai oleh kecemasan dan ketakutan. Inilah kuncinya agar kita kebal terhadap segala Virus!!! “DP” Kemudian disusul lagi sebuah meme viral melalui Whatsaap yang materinya sama, tetapi di bawahnya dibubuhi nama Komjen Pol Drs. Dharma Pongrekun MM. MH., yang sekarang menjabat sebagai Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Dari situ, penulis memastikan inisial “DP” yang menulis viral himbauan berjemur pada jam 10 pagi itu, tak lain adalah adalah Dharma Pongrekun. Setelah dikonfirmasi langsung via telepon kepada yang bersangkutan, ternyata benar memang dia yang membikin himbauan dalam format teks WA . Himbauan itu lalu dikirim kepada beberapa temannya. Dengan maksud agar mereka tidak terlalu fokus kepada hal yang mencekam saat ini. Setiap orang harus berinisiatif membangun imunitas tubuh sendiri agar bermamfaat dalam melakukan aktivitas ke depan. “Saya sebenarnyanya sangat paham tentang segala situasi ini. Makanya saya menggerakan teman-teman saya agar jangan terkukung oleh situasi yang mencekam saat ini,” katanya. Menurut DP, sebelumnya ia bersama kawannya seorang dokter ahli kinesiologi (ilmu gerakan fisik) sudah melakukan pengujian kepada beberapa orang di sekitarnya pada pagi hari Senin 23 Maret 2020. Dari hasil pengujian secara kinesiology, Dharma menemukan ada dua orang ajudannya yang tubuhnya lemah. Selanjutnya mereka semua diminta berjemur bersama Dharma selama 10-20 menit. Ternyata setelah dijemur dan dilakukan pengujian lagi secara kinesiologi, imunitas tubuh kedua ajudannya tersebut menguat kembali dan dokter tadi menyatakan yang bersangkutan dalam keadaan sehat. Menurut Dharma tubuh yang lemah adalah pintu masuk segala macam virus dan penyakit ke dalam tubuh manusia. Ini disebabkan terganggunya sirkulasi meridien (saluran-saluran energi) di dalam tubuh manusia. Tetapi setelah tubuh dijemur matahari pada pukul 10 pagi, saluran-saluran meridien tersebut akan pulih seperti sediakala. “Imunitas tubuh kita langsung bangkit setelah berjemur persis jam 10 pagi selama 10-20- menit saja,” katanya. Sebab itulah, sore harinya dia langsung ketak-ketik di tombol handphone-nya tentang tips membangkitkan imunitas tubuh untuk menangkal segala macam virus. Setelah diketik, DP kirimkan kebeberapa kawan-kawannya, yang kemudian memforward ke kawan-kawannya lagi, sehingga menjadi viral bahkan ada yang membuat dalam format meme. Menurut Dharma, matahari adalah anugrah dari Tuhan yang harus kita nikmati setiap hari dengan penuh rasa bersyukur. Matahari bukan sekedar diciptakan Tuhan untuk menerangi bumi seperti yang dipahami kebanyakan orang selama ini. ‘’Ini obat gratis yang difasilitasi Tuhan untuk menjaga kesehatan manusia. Jadi jangan tunggu-tunggu lagi, berjemur segera besok pagi,” kata Dharma kepada penulis. Apa boleh buat. Dari pada menunggu pengumuman resmi pemerintah tentang obat paten anti virus yang sedang mewabah sekarang ini, yang entah kapan ditemukan. Namun setelah mendapat tips tersebut, keesokan paginya penulis langsung berjemur matahari persis jam 10 pagi. Memang terbukti badan kita langsung enak dan segar. Dari pemantauan penulis, sejak kemarin memang sudah banyak netizer yang pamer di medsos sedang berjemur mulai jam 10 pagi. Jadi, tidak perlu diperdebatkan lagi tentang bagaimana cara mengobati dan mencegah penularan virus mematikan ini. Yang harus segera kita lakukan adalah membangkitkan kekebalan tubuh kita masing-masing dari segala serangan virus penyakit dengan berjemur matahari pada jam 10 pagi. Dalam situasi mencekam seperti sekarang ini, kita memang harus melakukan segala ikhtiar untuk menyembuhkan dan melindungi diri kita dari serangan segala virus. Tapi ingatlah, Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan matahari untuk menjaga kesehatan tubuh kita. Semoga kita selamat dari serangan virus jahannam ini. Penulis addalah Wartawan Senior

Probiotik Siklus, Solusi Atasi Virus Corona?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Dalam 2 hari ini (19 Maret 2020), setidaknya sudah ada 2 orang yang terselamatkan dengan bantuan Probiotik Siklus (PS). Jadi, kita sebenarnya tidak perlu repot-repot pesan obat impor seperti Avigan dan lain-lain. Cukup dengan Probiotik Komunitas/Siklus. Pasien yang terpapar Virus Corona bisa sembuh. Itu kalau kita menggunakan konsep PS. Sifat dasar antibodi, bakteri/virus/ hewan, tanaman, dan manusia itu, jika disakiti, pasti akan melawan, untuk mempertahankan keberadaan dirinya. Maka sudah barang tentu, kalian akan melawan semaksimal yang bisa kalian lakukan atau menyerah. Pada saat tersakiti dengan des infektan atau apapun sejenisnya, kalian yang tidak mati (tentu sebagian mati, sebagian hidup) itu membiakkan diri beratus-ratus atau beribu-beribu kali lipat dibanding kalau tidak disakiti. Padahal konsep yang ada saat ini, kalian harus dibunuh dengan antivirus atau antiseptik/des infektan. Naluri virus, yang tidak mati, mereka akan menggandakan diri sebanyak-banyaknya supaya eksistensi mereka tetap ada di muka bumi ini. Mereka sebenarnya tidak ingin menyakiti, tetapi setiap ketemu media baru, tangan manusia, itu media asing yang menakutkan bagi mereka, sehingga mereka mereplikasi diri berkali lipat. Pada saat mereka mampu bertahan hidup, tentu saja mereka sudah menjadi lebih kuat, sudah mengenali semua zat yang membunuhnya atau sudah merubah asesoris tubuhnya, sehingga bisa dipahami kalau akhirnya sekarang sudah diketahui sudah ada 5 jenis virus corona. Jadi menjadi wajar, corona yang tersebar itu: jumlahnya jauh lebih banyak, telah mengalami mutasi genetik, dan lebih kuat Masalahnya, siapa yang mempercayainya konsep itu? Maka pendekatan dengan konsep PS/Probiotik Komunitas (PK),barangkali akan menjadi pilihan yang paling menguntungkan, efisien, dan efektif. Andaikan penglihatan dan pendengaran kita ini dibukakan hijabnya oleh Allah SWT dan bisa berkomunikasi dengan virus itu, bisa memahami sifat mereka, tidak tega menyemprotkan cairan des infektan kepada mereka. Mereka juga menderita. Mereka takut mati, seperti hal nya manusia. Bagaimana gemuruhnya di kalangan mereka ketika itu datang. Serupa dengan hebohnya di kalangan manusia sendiri. Tapi sayangnya, siapa yang mempercayai ungkapan ini? Menurut seorang formulator PS, virus corona itu basicnya seperti virus influenza. Habitatnya juga ada di kulit sekitar hidung manusia. Mereka bertugas membersihkan zat-zat patogen yang menempel di kulit sekitar hidung dan bibir atas. Juga membantu membantu menjaga kelembaban kulit manusia. Sifat dasar virus/bakteri itu serupa dengan antibodi, manusia, hewan, tanaman, yaitu kalau mereka tersakiti, mereka akan memperkuat dirinya, dan menggandakan dirinya beratus-ratus kali lipat dibanding pada kondisi normal. Hewan akan beranak sebanyak mungkin. Tanaman akan berbuah dan bertunas sebanyak mungkin. Manusia mempunyai anak sebanyak mungkin. Corona itu, begitu masuk ke dalam tubuh kelelawar, mereka mereplikasi dirinya sebanyak mungkin. Hal itu dilakukan, karena itu tempat asing bagi mereka, dan itu membuat mereka ketakutan, maka mereka menggandakan dirinya sebanyak mungkin. Begitu sang kelelawar ini dimakan manusia, maka corona ini beralih ke tubuh manusia dan langsung menggandakan diri lebih hebat lagi. Pertanyaannya, kenapa kelelawar-kelelawar itu tidak sakit seperti manusia? Sebab, kelelawar tersebut ndablek, cuek, masa bodoh, dan “tidak berpikir”, sehingga antibodinya kuat, dan tidak tersakiti. Maka kalau manusia ingin sehat, walaupun sudah terpapar Covid-19, bersikaplah seperti kelelawar! Covid-19 yang tertuduh sebagai pembunuh massal sadis itu, berusaha dibunuh secara massal pula, dengan disemproti des infektan secara massal. Ada sebagian yang mati, ada sebagian yang masih hidup. Barangkali yang masih hidup lebih banyak dibandingkan yang mati. Karena sudah menjadi sifatnya bakteri/virus itu, maka yang hidup ini menggandakan dirinya beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu kali lebih banyak dan lebih kuat dibanding sebelumnya. Kalau sebelumnya kemampuan terbangnya hanya sekitar 1,8-2 m, akan menjadi lebih jauh dibanding itu. Kemampuan terbang lebih jauh inilah yang menyebabkan mereka menjadi bersifat “airborne infection”. Lalu karena jumlah mereka sangat banyak, mereka juga menemukan bakteri-bakteri lain yang mempunyai daya terbang lebih jauh. Corona menumpang pada bakteri lainnya, serupa dengan pesawat ulang alik yang numpang pada pesawat yang berbadan lebih besar. “Jadi, akibat dari penyemprotan des infektan secara massal, menyebabkan mereka menjadi: lebih banyak, lebih kuat, mampu terbang lebih jauh, dan daya rusaknya lebih hebat,” ungkap formulator itu dalam tulisannya yang diizinkan untuk ditayangkan. Maka, tidaklah mengherankan, kalau di Wuhan hanya ditemukan 3 varian corona, di Amerika Serikat sudah ditemukan 5 varian corona. Sehingga, menjadi mudah dimaklumi, kalau di AS, Italia, dan di Indonesia, angka kematiannya lebih tinggi dibandingkan di Wuhan. Pada saat ditemukan di Timur Tengah yang disebut dengan MERS-CoV (middle east respirstory syndrome coronavirus) , siapa kambing hitamnya? Unta! Kenapa dipilih unta? Karena hewan itulah yang ada di sana. Ketika di Wuhan, ya kelelawar yang ada di sana. Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang? Pertama, Tidak panik, tidak kawatir. Akibat ketakutan, kepanikan, maka daya tahan tubuh kita turun drastis. Daya tahan tubuh yang turun itu, serupa dengan, kalau kita takut sama gendruwo, mak lampir, wewe gombel, dan kawan-kawannya itu. Begitu ketemu mereka, kita gak punya daya apapun, mau lari, hanya kosel-kosel di tempat, bahkan sampai terkencing-terkencing di celana. Kematian tidak ada hubungannya dengan corona. Kalau waktunya mati, tidak ada corona pun, ya mati. Andaikan di demo besar-besaran sama corona, kalau belum waktunya mati, ya tetap sehat. “Corona itu sahabat kita, bukan musuh kita!” tegas formulator probiotik tadi. Kedua, Perbaiki ibadah kita, mulai dari: Wudhu yang baik dan benar, Shalat yang baik dan benar, Dzikir (termasuk membaca Al Qur'an) yang baik dan benar. Basuhan air wudhu yang @3x, insya Allah mampu mendormenkan corona yang nempel, selanjutnya dijatuhkan ke tanah, dan mati. Shalat, dzikir, membaca Al Qur'an yang baik dan benar, akan membuat kita tenang dan itu secara otomatis akan diikuti proses perbaikian sistem imunitas kita. Kalau imunitas baik, corona mah lewaaaat. Bukankah corona itu masuk kategori “self limiting disease”? Ketiga, Semprotan. Semprotkan des infektan yang sudah di-mixed dengan PS, entah G8, G10, G12, atau G17. Supaya sifat aslinya yang bakterisid, menjadi lebih organik, dan tidak akan menyakiti dan membunuh mereka. Hand sanitizer ber-PS. Semproti wajah, tangan dengan semua produk-produk yang sudah ber- PS . Bisa membuat sendiri, atau apapun yang terlebih dulu di-mixed denga PS. Keempat, Perbaiki asupan nutrisinya, dan perbanyak air minum. Makan makanan bergizi, sayuran, empon-empon, kunyit-kunyian, pahit-pahitan, cukup membantu menstimulus antibodi kita. Kelima, Minum PS. Keenam, Jangan terlalu terpengaruh postingan-postingan yang seringkali menakutkan. Harus bisa memilah dan memilih. Antibiotikanya, disarankan: obat yang isinya “Levofloxacin” yang paten, terserah merknya apa. Dalam 2 hari ini (19 Maret 2020), setidaknya sudah ada 2 orang yang terselamatkan dengan bantuan PS. BioSyafa Natura Komposisi PS G10 ini terdiri: Air Putih, Air Kelapa, dan Gula Pasir. Fermentasi dari bahan-bahan tersebut, akan menghasil suatu produk atau formula probiotik yang bermanfaat untuk menjaga kesehatan tubuh, meningkatkan proses metabolisme tubuh, meningkatkan kualitas sistem pencernaan, meningkatkan daya tahan tubuh, serta membantu mengobati berbagai macam penyakit. Formula ini bila dikonsumsi secara rutin, bisa menjaga tubuh menjadi sehat, sehingga tidak mudah terserang berbagai macam penyakit. Adapun beberapa penyakit yang bisa dibantu penyembuhannya atau bisa diobati dengan formula ini antara lain: Pengobatan fase awal (3 – 5 hari pertama), untuk kasus Hepatitis, HIV, Antraks, Lupus, AIH, Ebola. Juga, kasus Flu Burung, Flu Bebek, Flu Babi, Corona, SARS; baik pengobatan awal hingga lanjutan, tidak perlu diganti varian lain, atau bisa diganti dengan BioSyafa Plus. Sifat probiotik akan mengkoloni virus-virus yang “salah tempat” yang kemudian dikeluarkan dari tubuh manusia! *** Penulis wartawan senior.

Tidak Lockdown, Negara Tak Punya Uang Biayai Makan-Minum Rakyat?

By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Senin (23/03). Innalillahi Wainnailaihi Roajiun. Saya sampaikan ke orang-orang, siapapun mereka, yang meninggal dunia, mati sebagai akibat terjangkit virus corona yang mematikan itu. Saya juga sampaikan belasungkawa, dan ucapan Innalillahi Wainnailaihi Roajiun ke Bapak-bapak Dokter yang meninggal dunia, setelah habis-habisan di tengah keterbatasan peralatan teknis, mengurus orang-orang yang terkena Corona laknat ini. Mari, dari rumah. Kita do’akan selalu ibu-ibu dokter, bapak-bapak dokter serta ibu dan bapak-bapak perawat, paramedis senantiasa berada dalam lindungan Allah Subhanahu Wata’ala. Kita doa’kan mereka. Sebab tereka terdepan menyelamatkan nyawa saudara-saudara kita. Mereka pasti tak minta dihormati. Mereka pasti tak minta dido’ain. Tetapi marilah kita do’ain mereka. Hormati mereka. Jangan sombong, jangan takabbur. Ini virus tak jelas bentuknya. Tetapi daya serangnya mematikan. Datangnya tak diundang, dan perginya hanya setelah diurusi dokter, atau ikhtiar diri sendiri. Jangan aneh-aneh, karena telah jelas belum tersedia obat andal melawan virus mematikan ini. Mari patuh terhadap imbauan demi imbauan, terutama dari dokter, pemerintah dan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta. Apalagi imbauan ini telah menyandang sifat sebagai perintah official. Polisi sudah patroli di dijalan-jalan, dimana-mana. Jadi jangan bertingkah. Sampai dengan tanggal 22/3/2020 saja orang yang terjangkit virus berbahaya ini telah berjumlah 514 orang. Jumlah yang mati juga bertambah 10 orang. Total yang meninggal dunai sudah diangka 48 orang. Sangat Mengerikan. Di DKI, orang yang terjangkit bertambah jadi 40 orang. Jawa Barat 4 orang. Jawa Timur 5 orang. Kalimantan 1 orang. Maluku 1 orang. Papua 2 orang (Republika.co.id 22/3/2020). Ikhtiar, ikhitiar dan ikhtiar. Prioritaskan itu. Ikhtiar itu sama dengan ikut membantu mencegah penyebaran virus berbahaya ini. Ingat, tidak semua orang sama kemampuan keuangannya. Ada banyak yang pas-pasan. Uang juga susah saat ini. Lalu terkena corona? Subhanallah, saya tak bisa membayangkan derita mereka. Kata para dokter yang bicara menurut ilmu mereka, rajin-rajinlah cuci tangan. Jaga jarak antar sesama. Patuhilah nasihat ini. Jangan membangkan, jangan sombong, jangan takabur. Menteri perhubungan saja kena. Anak Pak Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara juga kena. Walikota Bogor juga kena. Jadi? Jangan sombong, jangan takabur, jangan bertingkah. Pemerintah telah beli obat, entah apa namanya, sehebat apa, dan entah darimana. Jutaan butir. Pemerintah juga sudah bereskan Wisma Atlit berkamar banyak di Kemayoran. Wisma ini akan dipakai mengurus orang-orang terjangkit virus ini. Jangan tanya bagaimana kondisinya. Jangan tanya berapa banyak dokter dan tenaga kesehatan yang disiapkan disana. Memadai apa tidak, peralatan untuk dokter tercukupi apa tidak? Jauhkan pikiran dari godaan menanyakan bagaimana cara sampai di sana, di Wisma itu? Bagaimana prosedur mendapatkan pertolongan pertama? Pokoknya soal-soal itu jangan dipikirkan. Tinggal saja dirumah. Jangan kemana-mana. Bagaimana bisa makan? Nah itu dia soalnya. Soal ini saya tak mampu mikir, apalagi punya jalan keluar. Ini masalah berat. Betul-betul berat. Ini Indonesia. Bukan Malaysia, Bukan Ferancis, bukan Australia, bukan Italia. Mereka itu, negara-negara yang tak punya Pancasila, tetapi lakukan lockdown. Kita? Jangan mikir itu. Itu urusan Presiden. Kata Pak Jendral Doni, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona, dirinya telah diinstruksikan Presiden untuk tak ada lockdown (republika.co.id 21/3/2020). Lho ko Presiden sampaikan instruksi itu Pak Doni? Aneh. Ini janggal, tak masuk akal. Inilah soalnya. Ada apa Pak Presiden? Terus terang, terasa berat mengatakan Presiden telah menyepelekan UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Tapi tak tersedia kata lain untuk itu. Bikin UU bersama-sama dengan DPR, ko begini jadinya. UU Nomor 6 Tahun 2018 kan jelas, lockdown “Pembatasan Sosial Berskala Besar” hanya bisa dilakukan oleh Presiden. Kewenangan ini tidak bisa didelegasi. Tetapi ko kasih instruksi ke Pak Jendral Doni tak ada Lockdown? Memangnya Pak Doni mau lockdown? Tak mungkin. Apa Pak Presiden curiga sama Pak Jendral Doni? Apa Pak Presiden tak mengenal Pak Jendral Doni? Yang sangat santun dan terlihat sangat tawaddu itu? Pak Presiden harus diberitahu bahwa Lockdown bisa dilakukan hanya oleh Presiden sendiri. Itu pun dilakukan setelah lebih dahulu Presiden deklarasi “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”. Darurat Kesehatan itu, bukan tanggap darurat menurut UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Lockdown itu juga bukan darurat sipil, bukan darurat militer, bukan darurat perang menurut UU Darurat Nomor 23 Tahun 1959. Beda Pak Presiden. Dalam Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, militer tak bisa apa-apa. Kewenangan pemerintahan sepenuhnya berada ditangan Presiden. Militer, dalam Kedaruratan Kesehatan Masyarakat malah tak dilibatkan menurut UU ini. Panglima, KASAD, KASAL, KASAU, semuanya tak punya wewenang dalam kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Apa yang dipikirkan Pak Presiden? Apa negara ini benar-benar tak punya cukup uang? Apa uang yang ada memang diplot hanya untuk infrastruktur dan pembangunan Ibukota negara yang baru saja? Apa uang yang ada hanya untuk interfensi pasar modal dan rupiah? Apa kalau uang negara yang tersedia saat ini dipakai membeli makan dan minum rakyat, akan mengakibatkan negara ini bangkrut? Lockdown memang memiliki efek catastropicaly kemana-mana. Sangat explosive. Ekonomi bisa lumpuh, setidaknya sangat parah. Memang ini harus ditimbang betul. Tetapi terasa tak masuk akal bila penyelamatan kesehatan dan nyawa orang, harus diletakan pada level kedua setelah pertimbangan eksistensi ekonomi. Subhanallah. Presiden tak boleh tiba saat, tiba akal. Tak boleh parsial Pak Presiden. Sudah lockdown, tapi tak mau bilang lockdown. Imbauan tak boleh keluar rumah, patroli di jalan-jalan, bubarkan orang di jalan-jalan, pembatasan jam operasi trans jakarta, pembatasan masuknya orang asing. Itu semua merupakan tindakan karantina. Itulah karantina “Pembatasan Sosial Berskala Besar”. Nama populernya itu Lockdown Pak Presiden. Karantina itu telah memakan TKA asal China yang berjumlah 43 orang, setelah sebelumnya 49 TKA illegal asal Cihna di Kendari terbongkar dan dikarantina. Mereka yang 43 itu tak lolos tes kesehatan di Bandara Soeta. Ini namanya karantina di pintu masuk Pak Presiden. Pembatasan di perbatasan wilayah darat juga sama. Ini juga karantina di pintu masuk. Kerangkanya adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar. Ya lagi-lagi namanya Lockdown Pak Presiden. Praktis lockdown itu sebenarnya telah terjadi secara parsial, diam-diam, dan tanpa didahului deklarasi Presiden tentang “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.” Jadi? Untuk apa beri instruksi tidak ada lockdown Pak Presiden? Aneh memang. Tapi, ya beginilah negeri kita ini. Memang harus diakui, dengan karantina tanpa didahului “Deklarasi Kedaruratan Kesehatah Masyarakat” Lockdown, maka pemerintah tak harus tangung mengurus makan dan minum masyarakat. Beda dengan karantina yang didahului “Deklarasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”. Dalam soal ini, pemerintah harus tanggungjawab atas makan dan minum rakyat. Ini negeri kita, baik ataupun buruk. Ini bukanlah Malaysia. Setelah Lockdown, Malaysia urus kehidupan rakyatnya. Bahkan mereka menyewa pesawat memulangkan rakyatnya yang ada di Iran dan India. Francis dan Utalia juga sama. Pemerintah mereka keluarkan uang untuk hidupi rakyatnya sehari-hari. Tentu saja ala kadarnya. Amerika, negeri yang dituduh China dan Iran sebagai sumber virus ini malah lebih maju lagi. Negeri imperial ini punya politik bipartisan. Demokrat dan republik punya idiologi berbeda dalam memandang negara dan pemerintah. Haluan idiologis itu diimplementasi dengan sangat jelas dalam kehidupan nasional mereka di semua lini, termasuk di Kongres. Sangat terbelah mereka. Tetapi mereka hebat dalam urusan menolong rakyatnya. Dalam soal ini, mereka jelas dalam semua aspeknya. Mereka bersatu, bahu-membahu menolong rakyat. Dalam urusan corona mematikan ini, Demokrat yang maju memprakarsai pembentukan UU yang akan dijadikan dasar pemerintah memberi insentif kepada rakyat. Terutama para pekerja. Bill yang diprakarsai Demokrat itu namanya “The Families First Coronavirus Responses Bill”. Kongres setuju. Bill ini diterima dengan komposisi suara 363 berbanding 40. Trumph? Teken. Jadilah The Families First Coronavirus Responses Act (Vox.com, 14/3/2020). Top mereka. Sudahlah, Amerika memang bukan tandingan kita dalam mengurus rakyatnya. Kita baru dilebel Amerika sebagai negara kaya. Tetapi itu cuma akal-akal mereka saja. Hebat, sejauh ini tak terdengar rakyat Indonesia meminta insentif pemerintah. Orang-orang miskin, dan pekerja serabutan di tengah musim tak boleh keluar rumah, di tengah corona ini pun patuh saja. Sami’na wata’na kepada pemerintah. Semoga tak Lockdown itu semata-mata karena negara ini kekurangan uang. Lockdown bakal menyulitkan pemerintah, bakal membuat ekonomi berantakan. Semoga itu saja pertimbangannya. Tidak lebih dari itu. Bukan karena Presiden berpikir rakyat masih bisa makan. Semoga Presdie tidak takabur. Subhanallah, terlalu berat bila sampai takabur. Mari saling menjaga, membantu dengan cara tidak kemana-mana. Berada di rumah saja, dan rajin cuci tangan. Jangan minta hand sanitazer, masker, infektan, chlorokuin, avigan dan lainnya. Jangan minta insentif pemerintah. Pemerinah lagi susah. Mari tawakkallah kepada Allah semata. Ikhlaskan semua ini pada-Nya. InsyaAllah rahmat-Nya selalu menyertai kita semua. Semoga. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Polemik Anti-virus Corona, Avigan atau Lainnya?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - "Seandainya saya terkena Covid-19 dan dokter hanya bisa memberikan Hydrochloroquine-nya Trump atau Avigan-nya Jokowi, saya pun akan meminumnya,” ungkap Dahlan Iskan, seperti ditulis di Pepnews.com, Minggu (22 Maret 2020 | 07:04 WIB). Dalam tulisan berjudul “Obat Covid” yang dikutip dari bloknya, Disway.id tersebut, mantan Menteri BUMN era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, “Semua tahu: belum ada obat untuk Covid-19. Tapi apakah pasien tidak perlu diobati?” Menurut Mas DI, para dokter pasti berada dalam dilema yang luar biasa. Lalu harus membuat keputusan. Dokter tidak boleh terus-menerus dalam keraguan. Saat akhirnya membuat keputusan dokter sudah memikirkannya berdasar keahliannya. Bukan berdasar perintah atau instruksi atau tekanan. Itulah sebabnya pekerjaan dokter disebut 'profesi'. Bukan pekerjaan biasa. “Mereka harus punya ilmu di bidang itu dan harus punya otonomi untuk membuat keputusan,” jelasnya. “Sampailah dokter pada putusan: harus diberi obat apakah pasien ini,” lanjut DI. Padahal obat untuk Covid-19 belum ada. Mungkin juga dokter sudah tahu ada obat yang lebih baik dari itu. Tapi apakah obat yang lebih baik itu sudah ada di Indonesia? Maka DI bisa memaklumi dokter akan memberi obat apa pun yang menurut mereka terbaik di antara yang tersedia. DI pun mendapat info penting ini: di sebuah rumah sakit di Jakarta pasien Covid-19 diberi obat Oseltamivir 2 x 75 mg. Ditambah vitamin C. Juga Azithromycin 2 x500 mg atau Levofloxacin 1 x750 mg. Bagi pasien yang sudah agak berat ditambah Chloroquine sulphate 2x 500 mg. Lalu ditambah lagi obat lain berdasar penyakit lain yang ditemukan di pasien Covid-19. Misalnya, ditambah Hepatoprotektor bagi pasien yang punya masalah liver. Misalnya SGPT/SGOT-nya tinggi. “Mungkin dokter di rumah sakit lain berbuat lain lagi. Atau sama. Sesuai dengan keilmuan dan otonomi mereka,” tulis DI. Tulisan Obat Covid tersebut menggambarkan betapa dokter Indonesia begitu berat dalam menangani Covid-19 di Indonesia. Apalagi, seperti disebut DI di awal tulisannya: belum ada obat Covid-19! Tapi, saya justru sebaliknya. Obat Covid-19 sebenarnya sudah ditemukan oleh China, jauh sebelum Virus Corona mewabah di China dan mendunia. Cobalah pikir pakai logika! Jika memang China belum menemukan serum atau vaksin anti Corona, mana mungkin wabah corona di China korbannya hari-hari ini mulai menurun atau malah nol kematian. China pasti telah memiliki obatnya! Atau malah sudah produksi besar-besaran. Makanya, Presiden China, Xi Jinping mengatakan siap membantu negara-negara yang saat ini tengah 'berperang' melawan penyebaran pandemi virus corona. Melansir CNN Indonesia, Jumat (20/03/2020 07:31 WIB), pernyataan Xi itu disampaikan di tengah percakapan telepon dengan Presiden Rusia, Valdimir Putin. Mengutip kantor berita Xinhua, Xi mengatakan jika Beijing bersedia membantu dan bekerja sama dengan Rusia dan negara lain untuk menjaga keamanan dan kesehatan masyarakat global. “China memiliki kepercayaan diri, kapasitas, dan kepastian untuk mencapai kemenangan melawan epidemi Covid-19,” tulis Xinhua mengutip ucapan Xi. Merespons pernyataan Xi, Putin mengaku mengapresiasi langkah China dalam menekan penyebaran virus corona. “Rusia sangat menghargai upaya China (memerangi virus corona). China juga telah memberi contoh bagi bagi masyarakat internasional dengan memberikan bantuan bagi negara yang sedang dilanda pandemi,” ujar Putin merespons ucapan Xi. Pandemi virus corona yang pertama kali dilaporkan di Wuhan, China pada akhir Desember 2019 hingga saat ini telah menyebar ke 158 negara di dunia. Hingga saat ini lebih dari 10 ribu orang dinyatakan meninggal akibat virus corona. Sementara kasus penyebarannya telah mencapai 246.148 dengan 85.763 pasien dinyatakan sembuh. Kendati angka kematian terus meningkat, untuk pertama kalinya China melaporkan tidak ada kasus infeksi baru di negaranya pada Kamis (19/3/2020). Jika diakumulasi, angka kematian akibat virus corona di seluruh dunia hingga kini juga telah melampaui China. Sementara di Indonesia, Pemerintah melaporkan hingga saat ini ada 514 kasus positif virus corona. Dari angka itu, sebanyak 48 kasus meninggal dan 29 sembuh. “Total yang meninggal pada posisi sekarang adalah 48 orang,” kata Ahmad Yurianto, Minggu (22/3/2020). Menurut Jubir pemerintah untuk penanganan virus corona ini, rasio tingkat kematian tersebut menempatkan Indonesia pada Case Fatality Rate (CFR) atau tingkat kematian 9,3 persen. Ini artinya, tingkat kematian Indonesia di atas Italia, atau tertinggi di dunia. Salah satu episentrum virus corona dunia, Italia dengan 53.578 kasus positif dan 4.825 kasus meninggal mencatatkan tingkat kematian 9,01 persen. Secara global, berdasarkan pantauan dari Research Center Johns Hopkins University saat ini, tercatat ada 307.297 kasus positif di seluruh dunia dengan kematian 13.049 kasus. Tingkat kematian global ada di angka 4,25 persen. Jadi, Indonesia tertinggi! Sementara China sebagai pandemi, seperti dikutip CNN Indonesia, Jumat (20/03/2020 06:24 WIB), berada di ambang kemenangan dalam perang melawan virus corona. Beberapa terakhir ini laporan kasus baru Covid-19 di dalam negeri China terus menurun. Rumah sakit darurat di Kota Wuhan, Provinsi Hubei yang dibangun untuk menangani pasien Covid-19 telah ditutup. AFP melaporkan, orang-orang di China sudah mulai pergi bekerja, pabrik-pabrik beroperasi, dan sekolah di beberapa wilayah telah dibuka. Satu hingga dua bulan lalu, puluhan hingga ribuan orang meninggal akibat virus corona. Total ada 3.249 korban jiwa termasuk petugas kesehatan yang “berdarah-darah” berjaga di garda paling depan menanggulangi virus corona. Untuk pertama kalinya sejak kasus virus corona mencuat, China pada Kamis (19/3/2020) melaporkan tidak ada kasus baru di dalam negeri. Ini merupakan kali pertama China nihil pasien baru positif Covid-19 sejak virus itu mewabah, pada Januari 2020 lalu. Tren penurunan jumlah kasus baru tersebut sudah terjadi sejak sepekan terakhir. Seperti dikutip dari AFP, minimnya kasus baru di dalam negeri menandakan upaya penanganan pandemi virus corona di China telah menemui titik terang. Pada Februari 2020, China melalukan “uji coba” obat Covid-19. Seperti diungkap DI dalam tulisannya, obat itu disuntikkan kepada dokter dan perawat militer yang ditugaskan di rumah sakit khusus darurat di gedung olahraga Wuhan. Hasilnya: sampai tugas mereka selesai minggu lalu tidak satu pun dokter dan perawat militer itu yang tertular. Tapi, obat itu masih harus melewati banyak uji coba lagi. Terutama untuk menentukan ada tidaknya efek samping dan serapa banyak dosis yang diperlukan. Mayjen Chen Wei, ilmuwan wanita yang mengepalai proyek penemuan obat Covid-19 itu Sabtu kemarin memberikan keterangan baru. Percobaan lanjutan sudah dilakukan kepada relawan dari tiga kota: Wuchang, Hongshan, dan Donghu Scenic Area. Semuanya di sekitar Wuhan. Percobaan itu dilakukan dalam tiga kelompok. Yakni kelompok dosis rendah, dosis sedang, dan dosis tinggi. Masing-masing kelompok 26 orang relawan. DI yang dikenal dekat dengan China tentu punya akses informasi di sana. Sehingga, akurasi tulisannya tidak perlu diragukan. Namun, soal obat Covid-19 yang masih “uji coba lagi” itu, secara logika sangat tidak masuk akal. Karena, faktanya, China berhasil “memerangi” virus Corona yang mewabah tersebut. Artinya, China sebenarnya sudah punya – dan mungkin juga sudah memproduksi – obatnya secara besar-besaran jauh sebelum Covid-19 itu mewabah di China dan mendunia. Buktinya, Presiden Xi berani menawarkan bantuan kepada negara lain. Setidaknya, Italia dan Indonesia sudah “diberi bantuan” oleh China. Berton-ton obat-obatan beserta tenaga medis masuk ke Italia. Indonesia juga telah menerima bantuan peralatan medis dan “obat” juga dari China yang diangkut pesawat Hercules. Melansir Liputan6.com, Jum’at (20 Mar 2020, 20:48 WIB) Presiden Jokowi memesan jutaan obat yang disebut bisa menyembuhkan pasien virus Corona. Obat itu adalah Avigan, yang memiliki nama lain Favipiravir. Avigan telah melewati penelitian klinis di China untuk mengobati pasien Covid-19. Hasilnya, Avigan tidak menunjukkan reaksi merugikan dalam uji klinis, bahkan pasien yang menerima pengobatan menjadi negatif Covid-19 dalam waktu yang lebih singkat. Administrasi Produk Medis Nasional telah mengizinkan sebuah perusahaan farmasi China untuk memproduksi obat ini secara massal dan memastikan pasokan yang stabil. Jokowi pun memesan jutaan Avigan untuk digunakan pasien Covid-19 di Indonesia. Berbeda dengan Indonesia, Korea Selatan memutuskan untuk tidak menggunakan Avigan sebagai pengobatan virus Corona jenis baru karena keraguan atas kemanjuran dan efek samping potensialnya. Kementerian Keamanan Pangan dan Obat-obatan Korsel mengatakan, telah memutuskan untuk tidak mengimpor Avigan setelah tim ahli penyakit menular di sini memutuskan tidak ada cukup data klinis untuk membuktikan kemanjuran obat tersebut. Mengutip kantor berita Yonhap, Jumat (20/3/2020), Avigan disetujui sebagai obat cadangan untuk influenza reemergent di Jepang pada 2014. Tapi itu belum digunakan untuk mengobati flu biasa karena beberapa penelitian pada hewan menunjukkan potensi kerusakan janin. “Avigan tidak hanya menunjukkan kemanjuran selama studi uji tetapi juga tidak ada data uji klinis yang dilakukan pada pasien,” kata ahli penyakit menular Oh Myoung-don. Obat ini juga menunjukkan efek samping serius: kematian janin dalam penelitian pada hewan. Makanya, perlu dipertanyakan lagi, apakah China memang menggunakan Avigan untuk obat Covid-19 di China? Sebodoh itukah China, Jepang dan Korsel saja tidak menggunakan untuk obat Covid-19? Ataukah Avigan itu hanya kamuflase untuk menutupi bahwa China sebenarnya sudah punya “obat” Covid-19 asli yang “dikemas” sebagai Avigan? Narkoba saja bisa diselundupkan dalam beton tiang listrik ke Indonesia, apalagi cuma obat! *** Penulis wartawan senior.

Para Rambo di Medan Perang Corona

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - "Innalillaahi wa inna ilaihi roji’uun...telah berpulang ke rahmatullaah, sejawat kami, adik kami, yg kami sayangi dan hormati, dr Hadio Ali Sp.S, pagi ini pukul 04.00, dg ARDS berat positif Covid 19.” “Semoga Allah memaafkan semua kesalahannya dan mengampuni dosa2nya, membebaskannya dari azab kubur, serta memberikan tempat terbaik baginya di surga, aamiin yaa robbal alamiin…” Pesan yang disampaikan dr Ani Hasibuan Sp.S di sebuah WAG itu dengan cepat menyebar. Ucapan bela sungkawa, duka cita, dan doa bersahut-sahutan. Hadio Ali Khazatsin dokter spesialis syaraf lulusan FK UI itu hanya salah satu dari tenaga medis yang meninggal dunia, setelah berjibaku di medan tempur menghadapi wabah Covid-19. Sebelumnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengakui tiga orang anggotanya meninggal dunia karena terpapar virus corona. Dua lainnya dokter senior ahli bedah dr Djoko Judodjoko asal Bogor, dan dr Adi Mirsa Putra juga dinyatakan meninggal dunia. Selain ketiga dokter itu seorang perawat di RSCM, Jakarta juga dilaporkan meninggal dunia. Gubernur DKI Anies Baswedan, Jumat (20/3) mengakui 25 orang petugas medis di Jakarta positif Covid 19, satu di antaranya meninggal dunia. Meninggalnya para petugas medis ini selain mengundang kesedihan, sekaligus mengundang keprihatinan dan kekhawatiran. Bayang-bayang bahwa bahwa kita tak akan pernah memenangkan pertempuran melawan corona, berada di pelupuk mata. Peristiwa itu menunjukkan betapa rentannya para petugas medis yang berada di medan tempur terdepan, perang menghadapi Covid-19. Selain karena faktor kelelahan, mereka harus menghadapi realitas keterbatasan fasilitas RS dan alat pelindung diri (APD). Mereka seperti Rambo —jagoan dalam film Holywood— yang harus bertempur tanpa senjata dan alat pendukung yang memadai. Jadilah Rambo yang loyo! Dalam situasi negara menghadapi bencana, tenaga medis —terutama para dokter— adalah aset penting yang harus benar-benar dilindungi. Mereka lah pasukan yang berada di garda terdepan. Bila sampai mereka kewalahan, apalagi tewas di medan laga karena tak terlindungi dengan baik, siapa yang akan membantu warga. Wabah akan menyerbu warga tanpa ampun. Jangan sampai ada yang anggap enteng, anggap remeh dan berkata, “ah kan baru tiga orang saja.” “ Ah itu kan risiko dari sebuah pilihan profesi.” Sejak awal para dokter sesungguhnya telah menyampaikan kekhawatirannya. Mereka tidak akan mampu mengatasi perang melawan corona, bila jumlah pasien meledak. “Bantu kami menahan laju penyebarannya. Bantu kami mengurangi jumlah korban,” ucap Jubir RS Persahabatan, Jakarta dr Erlina Burhan berulang-ulang pada program ILC TV One. Karena itu mereka sangat mendukung dan menyerukan adanya gerakan social distancing (menjaga jarak), menghindari kerumunan, dan mengurangi aktivitas di luar rumah. Syukur-syukur kalau pemerintah berani melakukan lockdown, setidaknya untuk Jakarta dan wilayah lain yang menjadi episentrum penyebaran virus. Ketika pemerintah sudah memutuskan tidak melakukan lockdown, masyarakat harus mengambil inisiatif sendiri. Tidak usah melow dan marah-marah. Negara tidak hadir melindungi rakyatnya. Toh kita sudah terbiasa Para tenaga medis telah melancarkan kampanye “ *Kami Tetap Di Rumah Sakit DEMI ANDA. Anda tetap di rumah DEMI KAMI.”* Apa sih susahnya? Sayangnya masih banyak masyarakat yang menganggap remeh. Banyak di antaranya yang menggunakan alasan keyakinan dan agama. Himbauan pemerintah, fatwa MUI dan himbauan para pemuka agama dianggap sebagai angin lalu. Seruan Presiden Jokowi untuk bekerja dan beraktivitas dari rumah, tak digubris. Ada yang masih bersikap santai, dan menganggap remeh persoalan. Mereka tetap berkeliaran dan beraktivitas seperti biasa. Kegiatan keagamaan tetap normal, mall dan pusat pertokoan tetap buka, pesta pernikahan tetap digelar. Di Samarinda seorang wakil walikota malah menggelar pesta pernikahan besar-besaran. Puluhan ribu orang diundang. Dia berkilah tawakal dan berserah diri kepada Allah SWT. Seorang netizen menyebut perilaku semacam ini sebagai COVIDIOT. Perpaduan antara virus Covid-19 dan kelakuan idiot. Egois dan dungu! Mereka tidak berpikir perilakunya bukan hanya membahayakan diri sendiri, tapi juga orang lain. Perilakunya bisa menyebabkan jumlah positif corona meningkat dan para tenaga medis tak mampu melayani. Perilaku Covidiot ini tentu saja tidak berlaku bagi para pekerja harian. Mereka yang hanya bisa makan bila tetap bekerja. Mereka dihadapkan pada pilihan: Tetap bekerja dan terpapar corona. Atau tidak bekerja, dan keluarga mati kelaparan. Tugas pemerintah untuk membantu dan memikirkannya. Pilihan Sulit Para ahli sudah mengingatkan kemungkinan jumlah penderita di Indonesia akan meningkat drastis. Fasilitas kesehatan dan tenaga medis tidak akan memadai. Dari ke hari jumlah yang positif terpapar dan meninggal dunia juga meningkat signifikan. Ada yang menduga jumlah sesungguhnya jauh lebih besar. Ada yang tak terdiagnosa dan tidak tercatat. Jangan sampai kita mengalami peristiwa memilukan seperti Itali. Para dokter dihadapkan pilihan sangat-sangat sulit. Mereka terpaksa memilih (filterisasi) pasien mana yang masih bisa diselamatkan dan mana yang tidak. Mereka tutup mata dan membiarkan pasien yang secara medis tak mungkin lagi diselamatkan. Biasanya yang menjadi korban filterisasi adalah pasien yang berusia tua. Seorang dokter disumpah untuk menghormati kehidupan. Satu nyawapun, bahkan sejak masih berbentuk janin harus dihormati. Namun ketika jumlah pasien membludak tak tertangani. Tenaga dan kemampuan terbatas. Nyawa mereka sendiri terancam. Apa yang harus dilakukan. Mereka terpaksa harus memilih. Sungguh sebuah dilema profesi yang sangat berat. Bukan hanya tragedi atas profesi kedokteran, tapi menjadi tragedi bangsa. End Penulis wartawan senior.

Stop, Jangan Jadi Agen Covid-19

Masker susah dan harganya selangit. Itu ujian bagi bangsa ini. Di saat-saat sulit selalu saja ada "iblis kapitalis datang beraksi". Bukannya nyumbang, malah cari keuntungan. Berharap pemerintah menertibkan. Lebih baik membagikan saja dengan gratis. Tidak sekedar janji. Duit dari mana? Pajak dari rakyat sudah dibayarkan pak! By Tony Rosyid Jakarta FNN – Minggu (22/03). Hanya 15 persen yang positif Covid-19 ketahuan gejalanya. Mungkin bisa batuk, sesak nafas dan demam. Ini gejala umum, kata orang medis. Sisanya sekitar 85 persen lagi, nggak ada tanda-tandanya. Jika angka positif Covid-19 day to day naik drastis, karena mereka memang tak dikenali gejalanya. Tahu-tahu sudah parah. Dua-tiga hari, pek dan mati. Terutama terhadap mereka yang daya tahan tubuhnya (imunnya) lemah. Usia 0-40 tahun, umumnya relatif kuat daya tahan tubuhnya. Meski tak menjamin. Di atas usia 40 tahun, rentan. Kenapa petinju disarankan pensiun usia 40 tahun, karena fisik sudah mulai melemah. Di atas usia 50, 60, 70 tahun, jauh lebih rentan. Ini bicara kondisi secara umum. Artinya, di atas usia 40 tahun mesti lebih waspada. Jaga stamina, hidup sehat dan lebih disiplin lagi. Usia 0-40 tahun? Tak menjamin fisik anda semuda usia anda. Apalagi jika anda perokok, suka begadang, jarang olah raga, asupan makanan tak bergizi, kerja lelah atau stres, maka akan rentan juga. Yang sehat? Jangan jadi agen virus. Anda kuat, dan daya tahan tubuh anda bagus, tapi anda membawa virus kemana-mana. Anda menularkan virus ke banyak orang. Diantara mereka mati gara-gara tertular dari anda. Dosakah? Pasti! Apapun agama anda, itu dosa sosial. Itu dosa kemanusiaan. Karena anda sengaja berkeliaran di luar, berinteraksi dengan banyak orang, bersalaman dan nongkrong yang tak perlu. Jika kita cinta bangsa ini, jangan menjadi agen virus. Caranya? Stay di rumah. Diem di rumah. Kecuali ada urusan dan kebutuhan super urgent. Itupun mesti dilakukan dengan cara-cara sehat. Apa cara yang sehat? Jangan bersentuhan dengan orang lain, meski salaman. Jaga jarak 1,5 meter. Upayakan pakai masker. Ini baru betul-betul "Pancasilais dan pro NKRI". Masker susah dan harganya selangit. Itu ujian bagi bangsa ini. Di saat-saat sulit selalu saja ada "iblis kapitalis datang beraksi". Bukannya nyumbang, malah cari keuntungan. Berharap pemerintah menertibkan. Lebih baik membagikan dengan gratis. Tidak sekedar janji. Duit dari mana? Pajak rakyat sudah dibayarkan pak! Cara murah dan paling aman memang stay di rumah. Keluar rumah hanya untuk keperluan yang sangat penting. Tapi, bagaimana dengan para pedagang kecil, uangnya hanya untuk hidup satu-dua hari? Dilematis! Memang, betul-betul dilematis. Pilih nyawa atau makan? Gak makan, mati juga. Disini pemerintah harus hadir. Sinergi pemerintah pusat dan daerah. Atasi mereka. Dari mana anggarannya? Dari pagu kegiatan lain. Batalkan, atau setidaknya kurangi anggaran-anggaran untuk kegiatan lain. Perjalanan dinas, studi banding, pembelian kebutuhan yang bisa ditunda tahun depan, hentikan pembangunan infrastruktur, dan seterusnya. Alokasikan dana-dana itu untuk tangani para pasien covid-19 dan dampak ekonominya. Termasuk untuk para perdagang asongan itu. Gak melanggar aturan? Ubah aturannya. Jangan rakyat mati karena kakunya aturan. Aturan dibuat untuk selamatkan dan sejahterakan rakyat. Bukan untuk bunuh rakyat! Kalau anggaran sudah disiapin, paksa rakyat stay di rumah. Bukan himbauan lagi. Instruksikan! Pemerintah buat aturan dan mekanismenya. Detail, lengkap, jelas dan pastikan tersosialisasikan ke rakyat. Dan yang terpenting, dijalankan! Sabtu kemarin ( 21/3) enam orang mati. Entah besok dan besoknya lagi. Tak banyak waktu bagi pemerintah untuk "istiharah" politik. Itu nanti. Lebih baik lakukan ikhtiar kesehatan dan ekonomi. Selamatkan dulu rakyat dengan merumahkan mereka untuk sementara waktu, sehingga tidak menjadi agen penyebaran dan korban covid-19 Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Don't Be Stupid, Indonesia

Oleh Tiar P. Guilliano Jakarta, FNN - Kesalahan atau kekeliruan Italia yang berakibat fatal hingga mengakibatkan ribuan warganya terjangkit virus COVID-19, dengan angka kematian 627 per 24 jam. Hari ini mencapai 3400 jiwa dengan prediksi akan terus bertambah, bukanlah tragedi kemanusiaan yang bisa dipandang sebelah mata! "This .. this is like the end of the world.. for all citizens, Tiarrr...!!" Seru RW, jurnalis sekaligus News Anchor TV Euronews dalam obrolannya dengan saya via video call. Dia agak geregetan karena reaksi saya dilihatnya terlalu datar ketika topik kami mulai mengarah pada kebijakan yang ditempuh Pemerintah Indonesia, tidak segera mengambil kebijakan lockdown seperti negara-negara lain, dan hanya menghimbau warganya untuk Social Distancing. Itu pun suara Jakarta. Daerah lain adem ayem alias cuek bebek. Italia negara yang sudah maju dan modern saja akhirnya kewalahan mengatasi pandemi virus Corona. Setiap hari rumah sakit harus menerima pasien baru sekaligus kematian yang jumlahnya sampai ratusan orang. Sementara tim medis yang dikerahkan dari seluruh negeri satu persatu mulai bertumbangan. Jika bukan karena keletihan ya pasti tertular! Belum lagi jenazah-jenazah yang disimpan di ruangan selama berhari-hari karena harus antri untuk dikremasi, dan kurangnya stock peti mati pun jadi penghambat utama. Hal ini membuat para petugas pemakaman nyaris depresi, dan ikut tumbang, terutama di perfektur Bergamo yang paling banyak makan korban Corona. Mayat- mayat diletakkan begitu saja di ruang terbuka, hanya dibungkus plastik, saking fully book-nya kamar penyimpanan jenazah. Menurut teman saya ini, tingkat kematian di Indonesia akan jauh lebih mengerikan dari pada Italia dalam beberapa hari ke depan, mengingat lambannya tindakan preventif dari awal juga meremehkan hal-hal kecil yang membuat sesuatu berakibat fatal. Dan ketika seluruh negara di dunia menutup diri demi mencegah penyebaran semakin luas, Indonesia akan ditinggal sendiri. Waduuh..!! Saya jelas worry teramat sangat. Tapi ya saya harus bagaimana?! Lagian siapa sih saya ini?! Saya 'kan bukan pejabat, bukan anggota dewan yang terhormat, bukan kader partai hantu blau, apalagi bukan tokoh masyarakat yang suaranya tentu ada yang mendengar. "I'm nobody, Ross," kalimat itu berkali-kali saya tekankan. Dgn harapan teman saya akan bisa memahami betapa sulitnya untuk hidup sehari-hari bagi warga+62, apalagi bersuara di rezim now. Ibarat benang kusut, terlalu kompleks dan ruwet problematika Indonesia. Bahkan bisa jadi hati nurani pemangku kekuasaannya sudah karatan. Jangankan masalah virus mematikan yang jelas bukan berasal dari dalam negeri, wong kematian 700 anggota KPPS di Pilpres kemarin saja cuma lalu bersama angin. Terlampau murah harga nyawa manusia di negeri +62. Ketidakadanya sikap transparan dan informatif pemerintah terhadap ancaman wabah Corona, membuat rakyatnya yang sudah susah masih harus bergelut dengan maut tanpa perlindungan. Rakyat bagai budak yang cuma diperas tenaganya setiap hari, dimanipulasi kepolosannya, dan hanya diberi perhatian semu manakala suara dibutuhkan saat pemilihan. Yang lebih menjengkelkan lagi ada pejabat yang serius mau mencegah penyebaran virus kian meluas demi keselamatan warganya, malah dibilang retorika politik. Ajang cari panggung. Hadeuuh.. pingin banget rasanya saya nyiram air panas ke mulut manusia-manusia yang kualitas otak dan hatinya in-teleekkk macam itu. Bukannya yuuk duduk bersama bahu membahu gelontorkan dana buat kepentingan tim medis, menjamin kebutuhan pokok rakyat biar rakyat merasa gak sendirian, jika memang kas negara kosong tak ada dana untuk menanggulangi wabah virus eh, ini baru ada wacana potong gaji bagi para pejabat saja mereka sudah mati-matian menolak. Pakai dalih masih kurang pula. Dasar!!! Namun menurut teman saya sikap pasif saya justru salah. Dia tahu saya aktif di sosmed, jadi seharusnya lebih gigih menekan, minimal sekali gencar menyuarakan secara masif agar Indonesia segera mengambil sikap tegas dengan me-lockdown wilayahnya. Ajak para netizen utk bersatu dan bersuara lantang demi kebaikan bersama. "Don't be stupid!" Dia mengingatkan, "Italy suffers from neglect..!!" Iya juga sih. Dan sekarang membuat cemas negara-negara tetangganya. Meskipun, ini saya bukan membela mati-matian ya. Sebenarnya Pemerintah Italia cukup cepat bereaksi ketika ditemukan tiga orang turis China terjangkit virus di Roma. Pemerintah sudah amat transparan dan informatif. Tapi emang dasar org Italia terkenal santai, dihimbau tinggal di rumah malah keluyuran terus. Kalau gak ngobrol di warkop kayaknya kurang asik. Walhasil orang yang sudah positif kena virus Corona menulari orang lain lagi tanpa disengaja. Lalu warga di daerah yang telah dinyatakan Red Zone ramai-ramai kabur ke daerah yang aman dengan naik transportasi umum. Bayangkan, berapa org yg sudah mereka tulari? Barulah setelah Pemerintah menindak tegas dengan denda €206-350 atau kurungan tiga bulan bagi warga yang keluar rumah tanpa sertifikat sehat atau Surat Autocertificatezione mereka mulai patuh. Nah, apakah kita akan mengikuti jejak Italia? Kalau saya siih, mengutip syair lagu dari Ebiet G. Ade: Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau, Alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Mari kita coba bertanya pada rumput yang bergoyang. Mumpung kita masih diberi waktu..! Note: Right or wrong is our country. Ayolaah kita semua tumbuhkan kesadaran utk turuti anjuran Pemerintah tinggal di rumah dan bekerja di rumah untuk sementara waktu.. Jangan kayak saya keluyuran terus! Penulis wartawan senior.

Satu Persatu Mati di Jakarta, Siapa Yang Salah?

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (21/03). Pek... Pek... Pek... Tumbang dan mati. Ini terjadi di China, Itali dan beberapa negara lain. Di Indonesia? Boleh jadi hanya menunggu waktu. Sudah 369 positif Covid-19. Sembuh 17 orang dan 32 meninggal. Cukup tinggi angka kematiannya. Sekitar 8,6 persen. Bandingkan dengan di Wuhan China, asal covid-19. 80.928 positif Covid-19. 70.420 sembuh. 4.245 meninggal. Hanya sekitar 4 persen. Secara medis, penanganan Rumah Sakit di China lebih baik dari Indonesia. Sementara tingkat penularan covid-19 punya pola yang sama di semua negara. Super cepat. Lihat angkanya, mula-mula Cuma 2 orang positif Covid-19 di Depok. Lalu 19, kemudian 27, naik lagi jadi 34, terus naik jadi 69, besoknya sudah 96, lalu 117, kemudian 134, naik 227, terus bertambah jadi 311. Dan kemarin sudah tembus angka 369. Besok? Dan besoknya lagi? Apakah termasuk anda yang tertular dan yang menularkan? Korban covid-19 terbanyak di Jakarta. 215 orang positif dan 17 orang meninggal. Sudah 13 orang yang sembuh. Untuk saat ini, yang meninggal lebih banyak dari yang sembuh. Di daerah lain bagaimana ? Belum ada yang sembuh. Dan covid-19 sudah sampai di seluruh Jawa, Bali, beberapa daerah Sumatera Sulawesi, dan Kalimantan. Tanggal 22 Januari, hampir dua bulan lalu, ketika di Indonesia belum ada pasien positif Covid-19, Anies kumpulkan jajaran Pemprov DKI. Untuk apa? Untuk koordinasi dan konsolidasi. Menyiapkan tenaga medis, alat medis dan SOP. Tujuannya, untuk menghadapi dan menangani wabah covid-19. Dinas kesehatan DKI konferensi Pers. Tanggal 29 Pebruari, Anies, atas nama gubernur DKI mengeluarkan Ingub terkait persiapan menghadapi wabah covid-19. Anies dibully. Di berbagai media sosial Anies dicaci maki. Dianggap telah membuat kegaduhan di masyarakat. Bikin panik orang! Kata mereka yang kebenciannya sudah diubun-ubun. Eskalasi kemarahan terhadap Anies juga semakin tinggi. Apa kesalahan Anies? Karena Anies memiliki data tentang penyebaran covid-19. Anies ahli di bidang statistik. Dan pernah menjadi asisten profesor untuk bidang statistik sewaktu kuliah di Amerika. Dibantu data dari ahli medis, Anies mulai hitung tingkat penyebaran covid-19. Pakai angka-angka. Ternyata, sangat cepat dan dahsyat penyebarannya. Di tengah para menteri dan staf istana bespekulasi bahwa Indonesia bebas covid-19, Anies justru siapkan jajaran pegawai pemprov DKI untuk menghadapi penyebaran covid-19. Tak tanggung- tanggung, Anies keluarin Instruksi Gubernur (Ingub) dan konferensi pers. Kenapa Anies melakukan itu? Karena Anies memastikan bahwa covid-19 akan masuk ke Jakarta. Anies punya data medis terkait covid-19, dan telah menghitung secara statistik penyebaran virus mematikan ini. Ini hitungan ilmiah, bukan hipotesis "nasi kucing" atau "imajinasi tropis". Saat itu, Anies dianggap penghayal kelas berat. Namun, dua hari berikutnya, yaitu tanggal 2 Maret, presiden Jokowi mengumumkan ada 2 orang di Depok yang positif Covid-19. Dan setelah itu, angkanya terus naik. Hari demi hari. Begitu juga orang yang mati. Berbagai rencana terukur telah dibuat Anies. Tutup semua tempat wisata dan CFD, batalkan event-event publik, batasi jam buka restoran, liburkan sekolah, dan anjuran kepada seluruh masyarakat DKI untuk jauhi kerumunan dan stay di rumah. Langkah Anies kemudian diikuti oleh wilayah dan daerah yang lain. Kecuali meliburkan sekolah, walikota Solo mengawali sehari sebelum Jakarta. Tetapi, jalanan di Jakarta masih ramai. Aktifitas perkantoran tetap berjalan. Di situlah covid-19 bergentayangan. Satu persatu positif. Sebanyak 17 orang mati dalam jangka waktu kurang dari dua pekan. Anies kurangi alat transportasi. Sebaliknya, ganjil genap dihentikan. Tujuannya? Supaya masyarakat Jakarta sadar, jangan pakai transportasi umum lagi! Resiko tinggi tertular dan menularkan. Terminal Busway maupun stasiun MRT/LRT berjubel orang. Gerutu, marah, bully, maki-maki dan sumpah serapah kepada Anies berhamburan keluar di media dan medsos. Anies tahu itu pasti akan terjadi. Masyarakat gak siap stay di rumah untuk bersama-sama menghindarkan diri jadi agen penularan covid-19. Ada otoritas yang nggak siap. Ini soal roda ekonomi. Lalu mengingatkan Anies. Besoknya, Anies normalkan transportasi publik. Anies tak mau benturan dengan otoritas manapun. Kontra-produktif. Langkah berikutnya, Anies minta masjid, wihara, gereja, kelenteng dan tempat-tempat ibadah yang lain untuk sementara tutup. Himbauan penutupan tempat ibadah itu, tentu saja setelah Anies konsultasi dan dengar pendapat dengan perwakilan dari para tokoh agama. Melalui surat edaran, Anies menghimbau masyarakat Jakarta beribadah sementara waktu di rumah masing-masing. Heboh lagi. Tuduhan macam-macam berhamburan. Tempat ibadah ditutup, kenapa Mall nggak ditutup? Bgitu komentar sebagian orang. Anda semua, tanpa terkecuali, bisa beribadah di rumah. Tetapi, apakah masyarakat Jakarta sudah semuanya siap belanja dari rumah? Online? Kalau super market dan mini market ditutup mendadak, sementara persediaan kebutuhan rumah tangga tak ada, apa yang akan terjadi? Penjarahan! Paham? Tidak sampai disitu, 20 Maret kemarin Anies resmi menetapkan Ibu kota dalam keadaan tanggap darurat bencana. Konsekuensinya, Anies menutup semua usaha hiburan dan rekreasi, seperti diskotik, Bar, Spa, karaoke, dan lain-lain. Anies juga menghimbau kepada hotel-hotel untuk membatalkan event-event yang mendatangkan kerumunan orang banyak. Para pengusaha juga diminta untuk merumahkan para pekerja, setidaknya meminimalkan jumlah pekerja dan kegiatannya. Setelah semua langkah preventif ditempuh. Penutupan sejumlah usaha dilakukan, himbauan disampaikan, dan informasi sangat transparan, lalu korban terus bertambah dan makin banyak. Begitu juga yang meninggal, maka siapa yang bertanggung jawab? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa