LUAR-NEGERI

Lecehkan 11 Perempuan, Gubernur New York Andrew Cuomo Mundur

New York, FNN - Gubernur New York Andrew Cuomo pada Selasa (10/8) menyatakan mundur setelah hasil penyelidikan menyatakan bahwa ia pernah melakukan pelecehan seksual terhadap 11 perempuan. Cuomo mundur di tengah peningkatan tekanan hukum yang ia hadapi. Selain itu juga tuntutan dari Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, agar ia mundur dari jabatannya. Tokoh Demokrat yang sejak 2011 menjabat gubernur negara bagian terpadat keempat di AS tersebut menyatakan mundur satu pekan setelah Jaksa Agung New York, Letitia James mengumumkan hasil penyelidikan soal Cuomo. Menurut investigasi independen yang dijalankan selama lima bulan, Cuomo telah melanggar hukum federal dan negara bagian. Dikutip dari Antara, Rabu (11/8), saat menyampaikan pidato selama 20 menit di televisi, Cuomo (63 tahun) mengatakan pengunduran dirinya akan berlaku dalam 14 hari. Walaupun mundur sebagai gubernur, Cuomo berkeras ia tidak melakukan kesalahan. Namun, katanya, ia menerima kenyataan "bertanggung jawab penuh" atas tindakan yang tidak tepat ketika ingin menunjukkan dirinya adalah orang yang hangat dan humoris. Ia menyimpulkan, melawan tuduhan sambil tetap menjalankan jabatannya akan melumpuhkan pemerintahan negara bagian. Selain itu, juga menimbulkan kerugian jutaan dolar bagi para pembayar pajak saat pandemi virus corona masih menjadi ancaman utama. "Saya berpikir, mengingat situasi seperti itu, yang terbaik bisa saya lakukan saat ini adalah menyingkir dan biarkan pemerintahan menjalankan tugasnya -- dan dengan demikian itulah yang akan saya lakukan," ujar Cuomo. Dengan mengundurkan diri, Cuomo terhindar dari kemungkinan dipecat melalui prosedur pemakzulan di badan legislatif negara bagian. Cuomo tampaknya sangat mungkin dimakzulkan karena begitu banyak anggota badan legislatif --yang dikendalikan Demokrat-- itu sudah mulai meninggalkannya. Menurut laporan penyelidikan setebal 168 halaman, Cuomo pernah meraba-raba, mencium, atau mengeluarkan komentar-komentar yang "mengarah" terhadap sejumlah perempuan. Di antara perempuan yang dilaporkan pernah mengalami tindakan Cuomo tersebut adalah para pegawai dan mantan pegawai -- salah satu di antaranya merupakan anggota kepolisian negara bagian. Laporan itu juga menyebut, Cuomo pernah melawan tuduhan dari sedikitnya satu perempuan bahwa ia melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan tersebut. Pengunduran diri Cuomo menjadi puncak kejatuhan salah satu politisi terkemuka di AS itu. Dengan perkembangan terkini, karier politik yang telah sekian lama dijalani Cuomo tergelincir. Ia pernah terlihat mengincar kemungkinan bertarung dalam pemilihan presiden. Cuomo adalah politisi terbaru New York yang terpaksa mundur dari jabatan saat diduga terlibat skandal. Tahun 2008, Gubenur New York, Eliot Spitzer mengundurkan diri karena melindungi para pekerja seks. Gubernur yang menggantikan Spitzer, David Paterson, pada 2010 batal ikut kampanye untuk terpilih lagi. Ia saat itu menghadapi tuduhan mengancam saksi serta melakukan beberapa pelanggaran lain. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat AS, Anthony Weiner pada 2011 mundur dalam skandal pengiriman pesan singkat berbau seksual. Pada 2018, Jaksa Agung New York, Eric Schnedierman mengundurkan diri setelah empat perempuan menuduh dia melakukan pelecehan. Cuomo juga menjadi pria sangat berpengaruh berikutnya yang dalam beberapa tahun belakangan ini jatuh dari kekuasaan setelah kemunculan #MeToo, gerakan masyarakat untuk menentang pelecehan dan kekerasan seksual. #MeToo telah mengguncang dunia politik, Hollywood, bisnis, dan perusahaan. Mantan ajudan Cuomo, Lindsay Boylan, merupakan perempuan pertama yang secara terbuka melemparkan tuduhan terhadap Cuomo pada Desember tahun lalu. Saat itu, Boylan mengatakan di Twitter bahwa Cuomo masih saja bersikap "kasar" dengan melakukan serangan terhadap korban-korbannya. "Harapan saya adalah perempuan-perempuan lainnya akan lebih aman untuk melaporkan pelecehan dan kekerasan seksual yang mereka alami," tulisnya. Cuomo telah berbulan-bulan menyangkal tuduhan pelecehan seksual. Ia kembali mengeluarkan bantahan setelah laporan investigasi tersebut dikeluarkan. Namun, dukungan politik terhadapnya runtuh setelah hasil penyelidikan itu muncul ke ruang publik. Beberapa jam kemudian, Joe Biden, kawan lamanya, mengatakan menurutnya Cuomo harus mundur. "Saya menghormati keputusan gubernur," kata Biden kepada para wartawan, Selasa, di Gedung Putih. Cuomo sudah tiga kali terpilih menjadi gubernur --masing-masing masa jabatan berlangsung empat tahun, demikian pula dengan ayahnya, Mario Cuomo. Sama seperti ayahnya, Andrew Cuomo tidak pernah mencalonkan diri sebagai presiden meski spekulasi beredar, ia kemungkinan punya ambisi seperti itu. Cuomo pada awal masa pandemi Covid-19 tahun lalu menuai pujian --dianggap sebagai seorang pemimpin nasional-- setelah ia menggelar konferensi pers setiap hari ketika negara bagian yang ia pimpin menjadi pusat krisis kesehatan publik di Amerika Serikat. (MD).

Pekerja WNI di Malaysia Diselamatkan dari Perburuhan Paksa

Kuala Lumpur, FNN - Seorang pekerja warga negara Indonesia telah diselamatkan dari kemungkinan menjadi buruh paksa setelah pihak berwenang menerima pengaduan dan informasi dari pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur pada 7 Juli 2021. Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia dalam pernyataannya di Kuala Lumpur, Minggu, mengatakan hasil investigasi yang dijalankan pada 7 dan 8 Juli 2021 telah membawa pada operasi penyelamatan korban pada 9 Juli 2021. "Operasi diketuai oleh Kantor Tenaga Kerja (JTK) pusat dan JTK Perak dengan kerja sama pasukan Task Force MAPO serta pegawai Polisi DiRaja Malaysia (PDRM) dari Kepolisian Daerah Taiping pada jam 06.30 pagi," katanya. Korban adalah seorang wanita berumur 36 tahun, dibawa masuk ke Malaysia oleh seorang agen yang menjanjikan bahwa dia akan dipekerjakan sebagai pembantu rumah serta dijanjikan gaji sebanyak RM1,000 (sekitar Rp 3,4 juta). Korban telah diminta untuk membayar sebanyak tiga bulan gaji sebagai bayaran administrasi kepada agen setelah mendapat pekerjaan. Uang tersebut telah selesai dibayar kepada agen melalui potongan gaji korban pada Desember 2017, Januari 2018, dan Februari 2018. "Majikan mengambil kesempatan dengan memanipulasi pekerja tersebut yang tidak mempunyai permit kerja yang sah dan dikategorikan sebagai Pekerja Asing Tanpa Izin (PATI)," kata kementerian itu. Majikan turut menjadikan isu PATI sebagai ancaman untuk memaksa korban melakukan pelbagai pekerjaan rumah dengan tekanan fisik dan mental. "Korban juga pernah dipukul oleh majikan dengan menggunakan tangan apabila tidak puas dengan kerja yang dilakukan korban," kata kementerian. Selain itu, korban tidak diberi makanan kalau dia menyatakan niat untuk kembali ke negara asal ataupun tidak mau bekerja lagi dengan majikan tersebut. "Malah, gaji korban kerap dibayar lewat dan pernah terjadi situasi di mana uang gaji yang telah diserahkan ke tangan mangsa diambil lagi oleh majikan," menurut keterangan kementerian. Melalui penyelidikan awal, terdapat indikator bahwa korban telah dijadikan sebagai buruh paksa yang dan majikan diduga telah melakukan suatu pelanggaran di bawah Undang-Undang Antipemerdagangan Orang dan Antipenyelundupan Migran (Anti Trafficking in Persons and Anti-Smuggling of Migrants – ATIPSOM) 2007. "Korban yang diselamatkan masih dalam keadaan trauma dan kini ditempatkan di Rumah Perlindungan Zon Tengah setelah diberikan Interim Protection Order (IPO) oleh Mahkamah Magistret Taiping pada tanggal sama korban diselamatkan," kata kementerian. Keterangan itu menyebutkan bahwa operasi penyelamatan pekerja warga Indonesia tersebut merupakan hasil dari usaha terpadu secara terus-menurus oleh lembaga-lembaga penegakan hukum dalam menangani isu buruh paksa. Kementerian menyatakan bahwa operasi itu juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak akan sesekali berkompromi dalam isu buruh paksa --apa pun kewarganegaraan para pekerja. (mth)

Unjuk Rasa Thailand Dan Myanmar

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Setelah tiga bulan aksi unjuk rasa di Thailand berlangsung tanpa ada tanda-tanda mereda. Aspirasi yang dituntut adalah reformasi monarkhi dan desakan mundur Perdana Menteri Prayuth Chan-O-Cha. Meskipun korban berjatuhan dan banyak aktivis yang ditangkap, tetapi pengunjuk rasa tetap gigih memperjuangkan tuntutannya. Unjuk rasa dipicu oleh pembubaran terhadap partai oposisi Partai Maju Masa Depan Thailand. Sementara itu, demonstrasi besar-besaran terjadi juga di Myanmar. Rakyat pro demokrasi memprotes kudeta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing dan penahanan pemimpin demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi beserta petinggi pemerintahan lainnya. Partai Liga Nasional pimpinan Aung Suu Kyi baru saja memenangkan Pemilu bulan Februari lalu. Tercatat sudah 149 pengunjuk rasa tewas. Terdapat tiga catatan penting terkait dengan aksi unjuk rasa di Thailand dan Myanmar tersebut. Pertama, protes rakyat ditujukan kepada penguasa yang potensial berprilaku otoriter. Misalnya, di Thailand ditandai dengan sikap sewenang-wenang membubarkan partai oposisi. Monarkhi semakin tidak disukai, Prayuth Cha O Cha berlindung dan memperalat Raja. Sementara di Myanmar, dipastikan pemerintahan junta militer Aung Hlaing bertindak otoriter untuk mengamankan kudeta. Menghadapi pengunjuk rasa dengan tindakan yang represif. Kedua, kedaulatan rakyat sebagai substansi atau prinsip utama demokrasi yang terus menerus mengalami penggerusan, senantiasa menemukan momentum penggalangan dan perlawanan. Gerakan pro demokrasi selalu menarik dukungan dunia. Sikap otoritarian domestik akan goyah oleh kekuatan mondial yang pro demokrasi. Kejatuhan hanya masalah waktu saja. Ketiga, pengunjuk rasa di Bangkok maupun Yangoon dan kota lain tidak peduli dengan pandemi Covid 19, yang biasa dipakai penguasa untuk menghalangi kerumunan massa. Melawan kezaliman dan menegakkan keadilan menjadi prioritas dengan menembus risiko pandemi. Faktanya, ternyata kelompok aksi itu tidak terdengar menjadi klaster penyebaran Covid 19 juga. Apa yang dilakukan rakyat di Thailand dan Myanmar mengingatkan para penguasa oligarkhis dan otoriter dimanapun untuk menyadari bahwa rakyat tidak selamanya bisa diiming-imingi. Rakyat tidak mempan untuk ditakut-takuti. Rakyat tidak takut ditekan dengan alat kekuasaan apapun. Melawan kezaliman dan menegakkan keadilan dengan membangun keberanian untuk mengambil risiko. Penguasa otoriter yang sering memperalat pandemi Covid 19 untuk menipu atau menindas rakyat, akan mengalami serangan balik dari rakyatnya sendiri. Tidak peduli dengan pandemi, jika aksi turun ke jalan menjadi pilihan. Mungkin rakyat memahami bahwa ada saat virus Corona pun jengkel dengan perilaku para penguasa yang korup dan zalim itu. Lalu virus corona itupun sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa akan ikut bersama-sama dengan rakyat berunjuk rasa menumbangkan kebodohan dan keangkuhan kekuasaan. Sehingga unjuk rasa di Thailand dan Myanmar memberi pelajaran. Meskipun lucunya, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) kita di Yangon, ibu kota Myanmar turut didemo oleh para pengunjuk rasa. Rakyat Myanmar mendemo KBRI di Yangon gara-gara sikap Indonesia yang seolah-olah berpihak kepada kudeta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing. Pemerintah Pressiden Jokowi perlu belajar banyak dari kejadian Thailand dan Myanmar tersebut. Jika tidak berubah, sehingga masih tetap represip kepada para aktivis pro demokrasi, maka tunggu waktu yang tepat untuk berhadapan dengan kekuatan rakyat. Memborgol demokrasi dengan menahan dan mengadili aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Pront Pembela Inslam (FPI), membunuh enam laskar, serta memaksakan dengan segala cara untuk membungkam dan menghukum HRS, merupakan wujud dari perilaku mepertontonkan "abuse of power" yang nyata kepada rakyat. Prilaku pemerintah yang “abuse of power” dinilai rakyat sangat menjengkelkan. Remember Thailand and Myanmar ! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Kebangsaan Din Syamsuddin Memang Radikal & Mendasar

by Poetra Adi Soerjo Sumbawa FNN - Saya berasal dari Sumbawa Nusa Tenggara Barat (NTB). Sekampung dengan Prof. Din Syamsuddin, dan banyak berinteraksi dengan berbagai aktivitas dan pikiran beliau. Purna sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin lebih banyak pulang kampung, mengabdikan diri membangun generasi. Beliau mendirikan dan sekaligus menjadi pengasuh Pesantren Modern Internasional Dea Malela. Psantren yang santrinya datang dari seluruh penjuru dunia, demi membangun satu generasi Islam berkemajuan. Generasi yang bisa menebar rahmat bagi seluruh alam. Di Pesantren ini salah satunya saya banyak berjibaku dengan pikiran pikiran Prof. Din Syamsudin. Tidak hanya terkait agama dan kebangsaan, tetapi juga dunia dan peradaban. Dalam berbagai interaksi tersebut, saya berkesimpulan, memang pemahaman agama dan kebangsaan Prof. Din Syamsuddin sangat "radikal". Radikal itu berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu radix yang berarti akar. Orang yang berpikir radikal artinya memahami konteks sebuah pemikiran secara dalam, utuh dan menyeluruh. Tidak hanya sebatas epistemoligi dan axiologi, tetapi hingga ke akar (ontologis) dari pemikiran tersebut. Dalam artian inilah saya memandang pemahaman keagamaan dan kebangsaan Prof. Din Syamsuddin memang sangat dalam, kuat dan mengakar (radikal). Prof. Din Syamsuddin bukanlah orang yang gamang dalam memahami setiap disiplin keilmuan. Beliau memiliki pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang dalam, utuh dan holistik. Sebagai seorang Profesor, Din Syamsuddin memiliki segala tools dan metodologi dalam memahami akar dari berbagai subjek dan disiplin ilmu. Apalagi terkait agama dan kebangsaan. Pengalaman menempa Prof. Din Syamsuddin dengan sangat sempurna untuk memiliki pemahaman yang utuh dalam memahami relasi agama dan negara, peradaban barat. Menyelesaikan studi di Pondok Modern Darusalam Gontor, Strata Satu di UIN Syarif Hidayatullah, Master dan Phd di California University Amerika Serikat, menjadikan pikiran-pikiran beliau selama ini telah menjadi jembatan pengertian yang mendamaikan peradaban pengetahuan Timur dan Barat. Islam yang demokrasi dan pembangunan. Untuk itulah Prof. Din Syamsuddin memiliki pergaulan internasional yang luas dan telah menjadi tokoh dan duta perdamaian dunia. Terlalu lama kita sebagai negara bangsa disibukkan dengan definisi yang salah dalam menempatkan kata radikal. Kesalahan membangun definisi radikal inilah yang membuat riuh. Seperti tuduhan radikal yang dialamatkan ke Prof. Din Syamsuddin. Mereka menyamakan kata radikal dan radikalisme dengan ekstrim dan ekstrimisme. Ekstrimisme adalah sikap melampaui batas moderasi dan cenderung menggunakan kekerasan, maka disebut violent extremism. Radikal dalam beragama sebagaimana asal katanya haruslah dimaknai sebagai sebuah sikap bertumpu dan berorientasi pada dasar atau akar agama (ushuluddin). Sementara radikal dalam bernegara adalah konsisten dalam menegakkan dasar negara dan konstitusi. Dalam pengertian inilah saya mengakui Prof. Din Syamsuddin sebagai seorang yang beragama dan bernegara secara radikal. Namun demikian, jika diajukan pemahaman yang keliru atas kata radikal seperti segelintir yang difahami sebagian alumni ITB yang bergabung dalam GAR, maka itu salah kaprah dan sesat-menyesatkan. Sikap kelompok ini justru sebuah sikap yang ekstrim, karena melampaui batas. Itulah penyakit intlektual hari ini yang kurang radikal dalam memahami disiplin ilmu. Kurang radikal dapat disebut sebagai dangkal atau tanggung atau tidak utuh memahami akar dari berbagai pemahaman dan peta pemikiran. Pemahaman yang tidak radix atau dangkal inilah yang membuat seseorang menjadi ngambang, gamang dan mudah digoyang. Dari sinilah justru ekstrimisme itu lahir. Ekstrimisme dalam sejarahnya selalu lahir dari orang-orang yang tidak memiliki tradisi berpikir yang mendasar (radix). Karena kedangkalan berpikir itulah yang membuat mereka gamang dan mudah distir atau dibelokkan menjadi ekstrimis. Jika orang memiliki dasar pikiran yang kuat dengan tradisi berpikir yang baik dan mengakar (radix), maka dia tak akan mudah terjebak menjadi ekstrimis. Ingat, radikal dan ekstrim ini adalah dua terma yang jauh berbeda. Radikal sama sekali bukanlah ekstrimisme. Radikalisme berpikir memang akan melahirkan sikap kritis karena keutuhan dalam memahami konsepsi, dan adalah kemunduran ke era jahiliyah, jika tradisi berpikir kritis dipandang sebagai ekstrimisme. Apalagi labeling radikalis dewasa ini cenderung disematkan hanya karena berbeda pendapat dengan kekuasaan. Para intlektual yang tidak radix dan atau dangkal dalam berpikir inilah yang suka genit menggunakan terma radikal tidak pada tempatnya. Orang-orang yang dangkal dalam berpikir terlalu banyak berbicara terkait sesuatu yang dia sendiri tidak memahami apa yang sedang dibicarakan. Lebih jauh lagi, tradisi berpikir yang tidak radix dalam jangka waktu yang lama telah menciptakan peradaban masyarakat dengan pribadi yang lemah dan hipokrit. Pagi bicara tahu sore bicara tempe. Apa yang menjadi keyakinan hatinya berbeda dengan yang terucap. Berbeda lagi dengan apa yang menjadi tindakannya. Pikiran, perkataan dan perbuatan tidak lahir dari keyakinan hati yang mantap. Namun lahir dari utuhnya pemahaman dan konsepsi. Untuk itulah Islam mengajarkan kita kaffah atau menyeluruh atau radix dalam pikiran dan pemahaman, tidak boleh dangkal dan separuh. Seperti dalam puisi seorang jomblo yang kesepian "aku lelah menjadi separuh". Orang yang separuh memang nelangsa. Dalam kapasitas Prof Din Syamsuddin sebagai seorang ASN, apakah beliau tidak boleh kritis dan berbeda pendapat dengan pemerintah? Banyak orang yang tak sadar bahwa dunia akademisi adalah panggung mimbar bebas. Panggung yang lepas dari intervensi negara dan pasar. Seorang akademisi bebas menyampaikan thesis yang dibangunnya, apapun temuan dan dalam forum apapun itu. Jangan karena seseroang terikat dengan norma sebagai seorang ASN, laku harus mengatakan demokrasi telah berjalan dengan baik, meski sebenarnya sedang jatuh pada titik nadirnya hanya karena dia tidak boleh berbeda pendapat dengan kekuasaan sebagai seoramg ASN. Untuk itulah ada UU yang lex specialis bagi guru dan dosen yang meski sebagai seorang ASN. Namun tetap bebas menyampaikan apapun temuan yang didasarkan pada indikator indikator ilmiah yang dibangun. Di Pondok Modern Internasional Dea Malela, Prof. Din Syamsuddin telah dan sedang membangun generasi muda yang kuat dalam berpikir. Kokoh dalam berpendirian. Berkarakter dalam bersikap, dan terbuka dengan berbagai perbedaan. Prof. Din Syamsuddin adalah orang yang sudah, sedang dan terus berbuat untuk membangun generasi bangsa yang berkarakter. Generasi dengan tradisi berpikir yang terbuka dan komplek. Generasi yang tidak rapuh menghadapi dalam menghadapi problematika kebangsaan dan keagamaan di era post truth. Era dimana kita sedang menyaksikan orang-orang tak lagi memahami apa yang sedang dibicarakan. Apalagi untuk memahami orang lain. Jauh dari yang diharapkan. Prof. Din Syamsuddin telah menjadi figur dan tokoh dunia dalam isu perdamaian dan kemanusiaan yang universal. With or with out state, Prof. Din Syamsuddin sebagai pribadi telah menjadi rujukan bagi terbangunnya jembatan pengertian antar peradaban. Betapa ruginya Indonesia, jika seorang tokoh yang dikenal dunia sebagai simbol perdamaian dan telah berkonstribusi besar dalam berbagai konflik dunia justru di-blackmail di negaranya sendiri. Negara harusnya mengambil untung dari keberadaan dan pergaulan internasional Prof. Din Syamsuddin yang telah menjadi duta dunia. Faktanya Indonesia selama ini telah diuntungkan dari berbagai aktivitas Prof. Din Syamsuddin di dunia Internasional. Penjurubicaraan beliau atas isu-isu perdamaian telah membawa harum dan atau setidaknya menutup banyak bopeng wajah demokrasi Indonesia selama ini. Karena dalam kapasitasnya berbicara sebagai penyeru perdamaian, solidaritas, toleransi dan HAM. Prof. Din Syamsuddin tetaplah direkognisi dunia sebagai orang Indonesia dan sekaligus sedang menjurubicarai Indonesia. Sehingga lucu jika emas yang telah menjadi duta Indonesia di berbagai forum dunia justru dirusak dengan labelling radikal dalam pengertian yang sempit di negerinya sendiri. Dilabeli dengan pengertian radikal dengan basis definisi yang contradictio in terminis. Definisi yang sebenarnya sedang menpertontonkan kedunguan kita sebagai bangsa dalam peradaban pengetahuan. Penulis adalah Anak Muda Sumbawa & Direktur Eksekutif Open Parliament Institute.

Budaya Lapor Dan Demokrasi Kita

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Gerakan Anti Radikalisme (GAR) alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) melaporkan Prof. Dr. Din Syamsuddin MA ke Komisi Aparatur Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Tuduhannya, dugaan pelanggaran kode etik Pegawai Negeri Sipil karena berpolitik. KASN menindaklanjuti laporan itu dan melimpahkan kepada Satuan Tugas Penanganan Radikalisme ASN. Shinta Madesari dari GAR mengatakan, KASN telah menyatakan Din Syamsuddin melakukan tindakan radikalisme (TEMPO, 14 Februari)). Lalu, tanggapan pun muncul dari banyak pihak. Banyak yang menyayangkan isu radikalisme dikaitkan dengan sosok Din Syamsuddin. Tak kurang dari organisasi sekelas Pengurus Besar Nahdatul Ulama ikut berkomentar. Muhammadiyah, yang punya sejarah panjang dengan Din Syamsuddin, telah lebih dulu bicara. Reaksi personal juga ditunjukkan sejumlah tokoh. Sebut saja Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid hingga Guru Besar UIN Jakarta Prof. Azyumardi Azra. Media sosial berkecamuk. Netizen, seperti biasa, kembali perang narasi. Laporan GAR alumni ITB tersebut pada akhirnya menjadi sumber kegaduhan baru. Gaduh itu muncul karena laporan ini dipandang bertentangan dengan karakter dan rekam jejak Prof. Din Syamsudin. Memori publik rupanya lekat dengan sosok Prefesor yang intelek dan teduh. Jauh dari kesan radikal-radokul. Selama ini, publik memang mengenal Prof. Din Syamsudin sebagai tokoh lintas agama, yang berpikiran moderat dan konsisten mengampanyekan moderasi Islam. Moderasi Islam adalah salah satu inti ajaran agama Islam yang mengedepankan jalan pertengahan. Tidak sulit mengaca karakter itu pada sejarah perjalanan hidup Prof Din Syamsudin. Presiden Jokowi sendiri pernah memandatkan Din sebagai utusan khusus Presiden untuk dialog kerjasama antar-peradaban yang melaksanakan Konsultasi Tingkat Tinggi di Bogor pada 2019. Rekam jejak lainnya dengan mudah ditemukan di mesin pencari google atau cukup mengunjungi laman Wikipedia. Jadi, wajar bila ada reaksi publik dalam menentang pelaporan GAR alumni ITB beraneka ragam. Ada yang menanggapi dengan pernyataan lembut, ada pula yang berkomentar keras. Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah misalnya, mengatakan bahwa pelaporan tersebut adalah bentuk kebencian yang tidak berdasar, gegabah, dan tidak punya data yang kokoh. Penentangan publik terhadap pelaporan Prof. Din Syamsudin sekaligus menunjukan sosok cendekiawan Islam ini adalah aset bangsa. Pada level inilah pencapaian Prof. Din Syamsuddin harus diakui sebagai kekayaan. Masyarakat agaknya punya "rasa memiliki" terhadap dirinya. Hak Warga Negara Melaporkan seseorang adalah hak semua warga negara. Namun, laporan pelanggaran kode etik yang kemudian ditangani dalam satuan tugas radikalisme menggiring persepsi bahwa Prof Din Syamsudin radikal-radikul. Namun, belakangan Pemerintah mengaku tidak akan menindaklanjutinya. Pengakuan ini disampaikan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Mahfud MD. Mahfud malah balik menegaskan, sosok Prof. Din Syamsudin sangat bertolak belakang dengan yang dituduhkan GAR alumni ITB. "Pak Din itu pengusung moderasi beragama (washatiyyah Islam) yang juga diusung oleh pemerintah", begitu kata Mahfud. Namun, ombak kegaduhan terlanjur berkecamuk. Gelombangnya sulit ditebak akan terdorong angin hingga ke mana. Pemuda Muhammadiyah mengatakan akan menempuh langkah hukum apabila GAR ITB tidak mencabut laporan dan meminta maaf. Artinya, ada kemungkinan kasus ini tetap berlanjut, meski laporan tidak ditindaklanjuti Pemerintah. Mekanisme hukum memang memungkinkan pelapor menjadi terlapor. Bila laporan terbukti tidak berdasar, sehingga merugikan nama baik terlapor, pihak yang merasa dirugikan dapat melaporkan balik. Umumnya, argumentasi yang digunakan adalah dalil pencemaran nama baik, dan atau perbuatan tidak menyenangkan. Aturan hukumnya nyata ada. Menjadi Titik Balik Hukum biarlah tetap menjadi persoalan hukum. Pertanyaan penting bagi kita sebagai bangsa, apakah kita akan membiarkan fenomena lapor-melapor terus menerus mengusik hari-hari kita? Berapa banyak laporan yang sebenarnya dimotivasi sentimen kebencian, politik, dan lain-lain? Lantas, berapa banyak energi bangsa yang dihabiskan untuk sesuatu yang sebenarnya tidak begitu penting? Pelaporan GAR alumni ITB terhadap Prof. Din Syamsudin tidak boleh menguap begitu saja. Kejaian ini harus menjadi pembelajaran kita sebagai bangsa. Peristiwa ini harus kita jadikan titik balik menata demokrasi dan kehidupan sosial yang lebih baik. Jangan acak-kadit seperti ini. Sebelum kasus GAR alumni ITB meledak, dalam konteks berbeda, Presiden Jokowi meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik terhadap kinerja Pemerintah. Namun, tak berselang lama, mantan Wakil Presiden bertanya-tanya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Tidak sulit menebak arah pertanyaan Pak Jusuf Kalla itu. Pertanyaan ini agaknya lebih berupa satire terhadap kehidupan berdemokrasi kita saat ini. Sedikit-sedikit lapor, sedikit-sedikit lapor, begitu kalimat yang sering terdengar. Mulai dari obrolan warung kopi hingga perbincangan di linimasa media sosial. Kalimat ini sekaligus merefleksikan kegundahan hati sebagian masarakat. Perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan dalam berdemokrasi. Penghormatan terhadap perbedaan pendapat merupakan roh bagi gerak dinamis demokrasi itu sendiri. Kita boleh berbeda pendapat terhadap suatu persoalan bangsa. Namun kita sepakat untuk tidak sependapat. Artinya, perbedaan pendapat tetap dihargai sebagai sebuah kewajaran. Pun, Bhineka Tunggal Ika harusnya kita pahami dengan utuh. Tidak semata-mata hanya dipakai untuk menyamakan visi besar kita dalam memandang perbedaan. Tetapi juga untuk menumbuhkan perbedaan sebagai sebuah kekuatan dalam berbangsa. Konteksnya tidak sebatas menjaga kemajemukan warga bangsa, tetapi juga menjaga kemerdekaan pikiran. Kalau hanya sekadar berbeda lantas menjadi bahan pelaporan, tentu tindakan ini justru berbahaya bagi demokrasi. Kita berharap, negara menjamin kemerdekaan pikiran sebagai dialektika yang sehat. Tentu sepanjang tidak melawan aturan. Penulis adalah Anggota Komite III DPD RI.

Gadget Merusak Sel Tubuh Manusia

by Komjen Pol. Dharma Pongrekun MM. MH. Jakarta FNN - Gadget adalah teknologi yang memang dengan sengaja diciptakan oleh penggagasnya untuk mempermudah pengendalian manusia di seluruh belahan dunia. Pengendalian dilakukan melalui program alam bawah sadar, agar dengan sangat mudah dapat memanipulasi jiwa (pikiran, perasaan dan kehendak) manusia tanpa disadari. Diawali dengan membangun paradigma seolah-olah Gadget itu hanyalah sekedar kemajuan jaman. Kemajuan kecanggihan teknologinya yang memberikan berbagai macam kemudahan, kecepatan dan tentunya kenyamanan yang memanjakan. Sehingga kita terbuai, karena keasyikan dan akhirnya kecanduan yang membuat kita semua terjerat dalam jebakan sistem global. Sistem global adalah sistem yang terbangun dengan sendirinya sebagai hasil dari pada rekayasa yang sitematis. Gadget memang telah disiapkan menjadi teknologi yang merangkai seluruh sistem dari setiap kegiatan secara rekayasa dalam seluruh aspek kehidupan yang ada ke dalam satu sistem yang terkendalikan secara Global. Hal tersebut telah membuat kita tidak dapat lagi melihat dan merasakan adanya agenda tersembunyi atau motivasi jahat dibalik semua itu. Bahwa tujuan akhir dari agendanya sistem global adalah untuk memperbudak semua manusia di dunia seperti yang kita telah rasakan dampaknya saat ini. Mengapa demikian? Karena melalui Gadget itu, mereka telah berhasil menyatukan sistem kendali seluruh dunia melalui rekayasa kehidupan (life engineering) yang begitu cerdas. Rekayasa kehidupan melalui program alam bawah sadar (subconcious mind). Caranya dengan cara merasionalisasi aktifitas kehidupan dari sesuatu yang tidak nyata (dunia maya) menjadi realita pada aktifitas kehidupan dunia nyata masing-masing pemegang Gadget tersebut. Namun bila googling kita tidak akan pernah menemukan istilah life engineering. Tetapi hanya social engineering, dengan maksud agar masing-masing kita tidak menyadari, bahwa pribadi demi pribadi kita yang memiliki keunikan masing-masinglah. Sedangkan yang direkayasa (engineering) menjadi budak sistem global. Di dalam memahami kehidupan manusia, terlebih dahulu kita harus memahami tiga unsur utama manusia, yaitu tubuh, jiwa dan roh. Tubuh adalah ruang kosong yang hidup, karena diisi oleh roh yang berasal dari Roh Tuhan. Setelah tubuh itu hidup, maka terbentuklah jiwa yang akan diwarnai oleh berbagai keadaan yang dilalui selama masih hidup. Baik buruknya kejiwaan manusia sangat tergantung pada kekuatan potensi sel yang akan mendukung kekuatan dalam pengendalian pikiran (mind control). Perlu juga diketahui bahwa tubuh manusia dikendalikan oleh dua bagian utama, yaitu otak dan sel. Otak mempunyai kekuatan 5% dan sel mempunyai kekuatan 95% dalam mengendalikan tubuh. Tubuh manusia terdiri dari 50 triliun sel dan setiap selnya mengandung 1,4 volt listrik. Jadi, ada 70 triliun volt listrik di dalam tubuh manusia yang diaktifkan melalui gelombang (frekwensi). Sekarang mari kita pahami bagaimana cara merekayasa mind-set melalui alam bawah sadar. Yakni dengan merasionalisasi paradigma melalui opini-opini yang ingin dibangun secara visual melalui aplikasi-aplikasi yang menarik dan berbagai kontennya. Semua sudah diprogram untuk dapat memanipulasi pikiran dan perasaan dalam jiwa manusia dengan cara memprogram alam bawah sadar secara berulang-ulang (repetition) dengan metode komunikasi satu arah. Targetnya hanya program opini terselubung itulah yang menguasai alam bawah sadar manusia, seperti pepatah yang mengatakan bagaikan “batu ditetesi air terus-menerus, akhirnya akan bolong juga”. Konten dan program tersebut akan terekam oleh sel-sel tubuh yang akan mengolah dan menyajikan informasi dan data yang membentuk imajinasi dalam pikiran dan perasaan yang ada dalam jiwa manusia. Sehingga seolah-olah sedang menjalani kehidupan di dunia nyata. Padahal hanya di dunia maya, namun akan berimplikasi pada prilaku dalam kehidupan nyata. Selanjutnya, pikiran dan perasaan yang terbentuk secara gradual melalui program alam bawah sadar tersebut, akan terefleksi pada perubahan karakter dan perubahan perilaku manusia. Prilaku dalam kehidupan nyata dari kehidupan yang fitrah (original) diselewengkan (refocusing) untuk menjauhkan manusia dari citra Tuhan, sehingga tidak menyadari lagi fitrahnya sebagai hamba Tuhan. Jadi, sel-sel dalam tubuh manusia itulah yang diserang oleh gelombang elektromagnetik yang ada (radiasi). Sehingga memudahkan pengendalian alam bawah sadar dan menguasainya untuk merubah persepsi. Persepsi tersebut otomatis akan merubah fungsi sel dalam tubuh, bahkan juga menjadi rusak. Itulah sebabnya Gadget disebut cellularphone, karena mekanisme kerjanya meniru mekanisme kerja sel tubuh manusia dalam berinteraksi dengan sel manusia lainnya, alam semesta dan dengan Tuhan sebagai sumber kehidupan yang sejati. Jadi sel adalah inti dari kehidupan manusia hidup. Apabila sel mengalami kerusakan, juga akan melemahkan potensi sel, dan otomatis menurunkan imunitas di dalam tubuh manusia. Tubuh manusia hanyalah merefleksikan apa yang dipancarkan dari sel-sel yang rusak. Keadaan inilah yang kita kenal dengan istilah penyakit. Perlu diketahui juga bahwa selain dari perangkatnya sendiri, konten-kontennyapun seperti pornografi dan game online dapat menyebabkan kecanduan yang lebih buruk. Bahkan lebih buruk dari pada narkoba yang hanya merusak tiga bagian otak. Sementara gelombang elektromagnetik yang dipancarkan terus-menerus dari Gadget yang aktif akan merangsang sel-sel pada otak mengeluarkan hormon dopamine secara berlebihan dan tidak wajar. Keluarnya hormon dopamine yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan pada lima bagian otak. Otak bagian depan atau Pre Frontal Cortex (PFC), sehingga PFC akan mengkerut dan mengecil hingga +- 4%. PFC inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Akibatnya orang tersebut akan kehilangan kemampuan pengendalian emosi, membedakan benar dan salah, serta berperilaku layaknya binatang. Itu terjadi sebagai akibat dari pada kecanduan. Contohnya, apabila seorang anak yang sedang bermain game, bila diambil Gadgetnya, maka si anak akan mengamuk dan marah-marah tak terkendali. Karena telah mengalami gangguan perkembangan otak serta masalah kesehatan mental yang merubah prilaku. Mereka akan menjadi agresif dan mudah tersinggung disebabkan hormon dopaminnya mendadak berhenti terproduksi. Ini akibat rangsangan sel dari gelombang elektromagnetikpun berhenti atau dalam narkoba dikenal dengan istilah sakau (tubuh nagih). Contoh lain dari dampak bekerja sel, semisal saat seorang pria melihat wanita, maka mata pria tersebut akan menangkap gelombang yang dipancarkan dari tubuh wanita. Gelombang itu kemudian diterima (receiver) oleh sel-sel dalam tubuh pria tersebut untuk diolah dan memproduksi hormon sesuai dengan infromasi yang direkam. Hormon selanjutnya disajikan (transmit) menjadi imajinasi yang menimbulkan hasrat yang mendorong pria tersebut menginginkan wanita tersebut. Inilah makna dari pepatah lama ketika seseorang jatuh cinta kemudian kasmaran “dari mata turun ke hati”. Tujuan dari rekayasa sitem global tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memonetize (memetik keuntungan finansial-red). Keuntungan dari setiap kebutuhan jasmani manusia yang telah terprogram melalui pikiran dan perasaan yang ada dalam jiwa yang terbentuk dari hasil program agenda rekayasa kehidupan melalui dunia maya menjadi kebutuhan jasmani dalam dunia nyata. Terutama, kebutuhan jasmani yang termotivasi dari keinginan untuk mempertahankan dan melindungi diri serta menjaga eksistensi hawa nafsunya dalam euforia kehidupan di dunia. Untuk memenuhi kebutuhan jasmani tersebut, maka manusia akan digiring untuk membeli produk-produk dari hasil industrialisasi yang dipikir dan dirasakan perlu. Sebagai akibat dari program rekayasa kehidupan yang telah menjadi paradigma barunya (new paradigm). Yang sudah barang tentu harus mengeluarkan sejumlah angka-angka yang tertera dalam lembaran-lembaran kertas yang nantinya akan didigitalisasi juga oleh sistem global. Ketahuilah bahwa dibalik Gadget yang melekat pada diri kita sehari-hari ada sutradaranya. Sehingga, Gadget tersebut bukan saja merupakan teknologi yang dapat dan telah mencuri seluruh data dan informasi dari masing-masing pribadi kita. Tetapi juga sedang mencatat setiap aktivitas kehidupan yang kita kerjakan ataupun lakukan melalui aplikasi. Aplikasi yang merepresentasikan aktivitas kehidupan yang dikendalikan oleh source code dari setiap aplikasi yang ada di dalamnya. Setiap aktivitas kehidupan, baik atau buruk yang terjaring lewat internet, yang telah mereka siapkan. Semuanya akan tersimpan secara otomatis pada sistem database. Sehingga kebebasan hidup sebagai manusia merdeka secara otomatis sudah tersandera. Mekanisme tersebut persis dengan mekanisme sel-sel dalam tubuh manusia yang merekam catatan dosa dan menyajikannya kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta secara real-time, yang dihubungkan juga oleh gelombang frekwensi. Jadi, semakin jelaslah bahwa Gadget selain merupakan teknologi yang disiapkan untuk memata-matai aktivitas kehidupan manusia. Gedget juga merupakan teknologi yang ingin mengambil alih kendali (kontrol) jiwa manusia dari otoritas kendali Tuhan, yakni sebagai hamba Tuhan untuk diselewengkan (refocusing) menjadi hamba sistem dunia bagaikan robot (benda hidup tertapi tidak punya jiwa). Dengan kata lain, Gadget telah menjadikan manusia budak hawa nafsu duniawi. Penulis adalah Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Mantan Direktur Narkoba Bareskrim Polri (2015).

Donald Trump Sang “Imam Besar”

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Di tangan Donald Trump, seorang pengusaha tanpa tradisi eksekutif dan politik dalam jejak kehidupannya, bahkan tidak punya anjing piaraan. Nmaun bangunan demokrasi di Amerika Serikat dibuat porak-poranda. Tradisi demokrasi yang menjadi kebanggaan dan andalan utama Amerika Serikat di dunia selama satu setengah abad nyaris kehilangan bentuk. Luas diketahui Trump tidak pernah mengikuti pendidikan wajib militer. Dengan alasan ada kelainan pada bagian kaki. Ada taji, semacam di tulang kakinya. Tidak meloloskannya mengkuti wajib militer untuk Perang Vietnam. Diapun tidak pernah memangku jabatan publik, semisal anggota DPR (House Of Representative) atau anggota senat atau gubernur negara bagian. Tidak ada semua itu. Trump menjadi orang pertama di Amerika yang menjadi pemimpin tertinggi, semata-mata hanya dengan tradisi pengusaha di dalam darahnya. Sebelum terjun ke dunia politik menjadi orang nomor satu di Amerika, Trump memang dikenal sebagai taipan real-estate dan pebisnis. Jaringan bisnisnya termasuk hotel, kasino, lapangan golf, resor, dan properti hunian di wilayah New York City dan beberapa negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Itulah yang membantu menjelaskan mengapa di dalam diri Trump tidak ada kepekaan politisi. Membuatnya seperti sopir mobil angkot, suka menerobos lampu merah. Doyan tabrak lari dari aturan selama 4 tahun memerintah di Amerika. Trump memainkan obsesi sebagian rakyat fanatikus kulit putih Amerika yang mayoritas Kristen. Dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Skenario Fatamorgana”, Dahlan Iskan (2021) menulis, “di kalangan kelompok pendukung Trump, yakni mereka yang percaya bahwa Amerika Serikat itu aslinya didirikan sebagai negara Kristen kulit putih. Yang sekarang lagi dibelokkan oleh kekuatan rahasia pemuja setan. Mereka merasa wajib berjuang mengembalikan Amerika sesuai dengan misi saat didirikannya”. Mike Pompeo sendiri saat mengakhiri jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri menegaskan, multikulturalisme bukanlah Amerika, tulis Dahlan yang mengutip cuitan Pompeo di twitternya. Pompeo melanjutkan, memang, belakangan kalau ditanya siapa Amerika itu, jawabnya adalah negara multikultural. “Tapi tokoh pendukung Trump sekelas Pompeo pun secara tidak langsung ingin menegaskan bahwa Amerika adalah itu tadi”. Melansir media Amerika, Tony Firman, menulis (2019) “orang-orang Evangelis yang tak memilih Trump adalah orang bodoh. Mereka benar-benar orang bodoh yang tidak memiliki pendirian dan tidak dapat mengakui bahwa dirinya salah," ujar Robert Jeffress di radio Fox News yang dipandu oleh penyiar Todd Starnes, pada suatu hari di tahun 2019. Robert Jeffress adalah seorang pendeta Evangelis dari Gereja First Baptist, Dallas, Amerika Serikat, yang cukup tersohor. Dalam bincang-bincang di radio waktu itu, Jeffress blak-blakan menyatakan dukungan, dan tidak sungkan-sungkan mengajak jemaatnya untuk menyokong Presiden Donald Trump yang menurutnya sedang memperjuangkan nilai-nilai khas Kristen Evangelis. “Ini masalah hidup dan mati. Ini sangat hitam dan putih, kebaikan versus kejahatan”. Bagi Jeffress, “memilih Trump adalah harga mati”. Tak hanya Jeffress yang mengambil sikap demikian. Pemuka agama Kristen Evangelis lainnya seperti Jerry Falwell Jr. yang menjabat penasihat Trump, menempatkan Trump sebagai "presiden impian". Franklin Graham, CEO Billy Graham Evangelistic Association, dalam unggahannya di Facebook mengatakan Trump terpilih sebagai presiden berkat campur tangan Tuhan. Mayoritas penganut Evangelis Amerika memang sangat mengidolakan sosok Donald Trump. Saat Pilpres Amerika 2016, exit poll yang dilakukan Washington Post menunjukkan 80% Evangelis kulit putih memilih Trump sebagai presiden. Ini adalah dukungan suara Kristen Evangelis terbesar di dua dekade terakhir. Dukungan Evangelis ke lawan Trump, Hillary Clinton dari Partai Demokrat, hanya sekitar 16%. Nah, kembali ke Indonesia, seorang teman wartawan senior mengirimkan pesan Whatsapp mengatakan, apabila kasus Trump dianalogikan dengan situasi kondisi dan budaya Indonesia, maka Donald Trump pujaan Kristen Protestan Evangelis itu adalah semacam “Imam Besar” di negeri kita. “Semua fatwanya dianggap benar dan sakral. Makanya wajib dilaksanakan”. Sikap itu terlihat dalam kasus serangan pendukung Trump ke Capitol Hill. “Kendati jauh dari standar moralitas Kristen, Donald Trump terus mendapat dukungan dari Kristen Evangelis”. Sebab fatwa sesat sang “Imam Besar” Donald Trump telah mengakibatkan kerusuhan besar pada 6 Januari 2021, yang berujung pengrusakan gedung parlemen di Washington DC. Terjadi penjarahan laptop Nancy Pelosi ketua DPR dari Demokrat, musuh bebuyutan Trump. Sementara itu Jaksa Amerika yang secara agresif mengejar pelaku serangan Gedung Capitol, telah mengidentifikasi hampir 300 orang yang dicurigai terlibat. Ditengarai sebagai pendukung Trump. Meskipun ada bantahan. Tindak kekerasan tersebut telah menewaskan empat orang. Diantaranya seorang wanita dan petugas kepolisian. Catatan hitam itu sampai hari Jumat 15 Januari. Jika ditarik analogi terhadap dinamika paradoksal yang sedang terjadi di Amerika saat ini, seakan-akan dari layar televisi terpantul sebuah sebuah flash back kehidupan. Kehidupan yang secara konservatif alphabetis normatif bergulir, dari inferno (neraka) ke purgatorio (tempat pensucian) dan puncaknya di paradiso (surga), sebagaimana tertera dalam puisi Dante Alighieri. Penulis kelahiran Italia itu menulis karyanya yang berjudul "Divina Comedia” (Komedi Ilahi) hampir tujuh abad yang lalu. “Divina Comedia” adalah puisi naratif yang panjang. Puisi ini secara luas dianggap sebagai karya unggulan dalam sastra Italia. Hanya saja hari ini yang terbaca di Amerika adalah kebalikan dengan puisi Dante, alias new normal, dari paradiso bergerak mundur ke purgatorio dan balik kembali menuju ke inferno. “Kekacauan” situasi di Amerika adalah buah karya Trump. Karya yang membuat bangsa itu bagaikan sedang berada di dalam bara panas api neraka (inferno). Melahirkan perlawanan budaya yang mengerikan, yaitu homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Sebuah penjungkirbalikan pesan moral atas karya Dante Alighieri. Apapun kata dunia, toh faktanya sang “Imam Besar” telah menyeret demokrasi Amerika mundur jauh ke belakang. Kenyataan ini menurut beberapa pengamat politik luar dan dalam negeri, “pandemi” demokrasi yang dihembuskan Donald Trump ke dalam tubuh AS, membuat Joe Biden presiden terpilih AS ke 46. Pengganti Trump ini, memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk menemukan vaksin, sebagai upaya meningkatkan imunitas bangsa Amerika guna membangun kembali reruntuhan kepercayaan masyarakat dunia. “Penghinaan” terhadap keampuhan “obat kuat” Amerika yang bernama demokrasi telah tersaji. Dunia mencemooh propaganda “obat kuat” itu. Demokrasi Amerika rentan dihajar oleh masyarakat Amerika sendiri. Itu di Amerika sendiri. Oleh presiden Ameika sendiri, Donald Trump sang “Imam Besar” itu. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

American Muslim & a Lost Generation

by Imam Shamsi Ali New York City FNN- Sengaja saya memakai bahasa Inggris pada judul tulisan ini. Hal itu karena tulisan ini sangat dekat dengan generasi Muslim Amerika yang bahasa ibunya adalah bahasa Inggris. Tentu harapannya juga kiranya judul ini “eye catchy” atau menarik perhatian pembacanya. Amerika sesungguhnya adalah sebuah negara yang menjanjikan (promising land). Karenanya Amerika tetap dianggap sebagai negara yang penuh dengan peluang atau kesempatan (land of opportunities). Bahkan sebagian menjulukinya sebagai “a land of dreams” (negara impian). Sesungguhnya tidak salah jika Amerika dijuluki demikian. Karena memang Amerika dengan segala kekurangannya masih menjadi impian banyak orang. Kata Amerika memiliki daya tarik tersendiri yang menjadikan banyak yang ingin berimigrasi ke negara ini. Wajar saja kalau Amerika kemudian memang dikenal sebagai bangsa atau negara imigran. Kenyataan ini menjadikan isu imigrasi (immigration issue) menjadi isu politik yang sering memanas. Pelarangan Muslim masuk Amerika dari negara mayoritas Muslim di zaman Trump (Muslim Ban) adalah satu diantara banyak isu imigrasi yang menjadi perdebatan politik di Amerika. Keinginan untuk berimigrasi ke Amerika ini juga termasuk warga Muslim. Tentu karena ragam alasan dan latar belakang. Ada yang karena mencari suaka politik akibat refresi kekuasaan di negara masing-masing. Apa pula karena alasan pendidikan, ekonomi, dan berbagai alasan lainnya. Semua itu tentu sah-sah saja. Mencari kebebasan dari tirani kekuasaan untuk ketenangan hidup boleh. Mencari kesempatan pendidikan yang lebih baik juga diperbolehkan. Demikian pula mencari kesempatan hidup yang lebih layak (ekonomi) juga sangat dibolehkan. Amerika dan Dakwah Opportunity Bagi mereka yang sadar Islam, dari semua “opportunities” (ragam kesempatan) itu, kesempatan untuk mendakwahkan agama ini seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam berimigrasi ke Amerika. Amerika adalah “Daar ad-da’wah” atau negeri yang subur untuk mengembangkan dakwah Islam. Tentu dakwah dalam arti yang luas. Termasuk di dalamnya menjadi bagian dari masyarakat Amerika untuk membawa perubahan sosial kepada negara ini. Bahwa dengan keberadaan Umat Islam di Amerika berbagai “krisis moral” yang mengancam negara ini dapat diminimalkan. Amerika adalah negara dengan masyarakat yang sangat terbuka (open society). Artinya, di Amerika itu segala sesuatu dapat tumbuh dan berkembang. Pada akhirnya kesuksesan atau keberhasilan setiap orang atau kelompok orang ditentukan oleh semangat “kompetisi” yang dimilikinya. Kita lihat misalnya bagaimana masyarakat Yahudi, dengan kwantitas yang kecil (minoritas) mampu membangun kekuatan atau pengaruh (influence) dalam kehidupan publik Amerika. Termasuk dalam mempengaruhi berbagai kebijakan pemerintahan Amerika. Disinilah sesungguhnya Islam dapat tampil sebagai kekuatan alternatif. Secara konseptual (ajaran) Islam memang dahsyat. Tidak perlu dan memang tidak ada keraguan padanya (laa raeba fiih). Islam mampu menandingi ajaran mana saja (liyudzhirahu alad diini kullih). Pertanyaannya kemudian, mampukah Islam itu ditampilkan sebagai kekuatan alternatif di tengah-tengah bangsa Amerika? Penampilan Islam ini tentunya banyak ditentukan oleh pemeluknya yang datang ke negara ini. Dan ini pulalah yang saya maksudkan dengan Amerika sebagai peluang dakwah (dakwah opportunity) yang sangat luas. America and The Lost Generation Dengan segala hal yang indah dan manis tentang Amerika itu, di sisi lain juga penuh dengan wajah yang buruk dan menyeramkan. Tidak selalu seindah yang seperti yang dibayangkan sebagian orang. Selain masih tingginya diskriminasi dan rasisme putih akibat mentalitas Amerika yang merasa istimewa (exceptional). Juga hidup di Amerika itu penuh dengan goncangan yang dahsyat. Termasuk di dalamnya goncangan materialisme, individualisme, kapitalisme dan hedonisme. Kesemua “isme” (faham atau ideologi) itu jika tidak dibarengi mentalitas yang solid (firm mentality), maka akan menimbulkan kegoncangan yang dahsyat dalam hidup manusia. Mental yang solid itulah iman manusia. Kerapuhan mental (iman) sebagian warga Muslim, khususnya kaum pendatang (imigran) di Amerika melahirkan banyak masalah yang serius. Termasuk di dalamnya kerapuhan generasi Islam itu sendiri. Bahkan tidak berlebihan jika kerapuhan tersebut pada tingkatan tertentu telah menimbulkan generasi yang hilang (lost generation). Terjadinya lost generation ini disebabkan banyak faktor. Tetapi beberapa faktor dominan dapat disebutkan di antaranya sebagai berikut: Pertama, visi hidup yang salah. Dalam bahasa sederhana, visi hidup itu artinya niat kita dalam menjalani kehidupan ini. Ini berarti bagi masyarakat Muslim yang bermigrasi ke Amerika, niat imigrasi akan banyak menentukan gaya hidupnya di negara ini. Jika niatnya memang untuk dunia, maka dunia itu akan didapat (walau tidak pasti). Tetapi pada akhirnya orang dengan visi keduniaan semata akan mengalami kerugian yang besar (khasarah). kerugian terbesar itu ketika Iman dan Islam menjadi tidak lagi sesuatu yang mendasar dalam hidup. Kedua, visi hidup yang salah tadi menjadikan gaya hidup yang tidak lagi peduli dengan agama. Agama bagi sebagian warga Muslim seolah seremoni musiman. Beragama di saat Idul Fitri atau Idul Adha. Atau seringkali agama sekedar hiburan dan/atau pelampiasan. Hadir di pengajian atau kajian karena ajang kumpul dengan sesaman teman yang disukai. Gaya hidup seperti ini melahirkan kelalaian dalam beragama. Salah satu dampak terbesar dari kelalaian itu adalah hilangnya perhatian kepada anak-anak (generasi). Generasi yang tidak mendapat perhatian yang cukup, lambat laun namun pasti semakin tidak peduli dengan agamanya. Ketiga, gaya hidup yang tidak peduli dengan agama itu akan semakin memperbudak. Sehingga manusia semakin hanyut dalam rutinitas kesibukan mencari dunia yang tiada ujung. Kerja, kerja dan kerja, menjadi motto hidup. Tetapi kerja dengan visi yang salah berakibat fatal. Betapa banyak orang tua imigran yang bekerja keras. Membanting tulang siang-malam untuk mencari dunia. Bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun menghabiskan umur memburu dunia. Tetapi anak (generasi) tak mendapat perhatian yang cukup. Mengakibatkan hilangnya jatidiri (identity) generasi itu. Keempat, perhatian agama yang cenderung bersifat seremonial sesaat. Agama ibaratnya obat instan yang sesaat. Jika sedang sakit kepala, maka minum panadol niscaya kepala akan menjadi ringan. Para kelompok pengajian atau masjid-masjid sering fokus mendatangkan guru-guru mengaji yang bisa untuk mengajarkan dzikir-dzikir. Para orang tua kemudian diajari dzikir berjamaah. Tetapi anak-anak dan generasi mudah tertelantarkan. Apalagi jika guru-guru yang didatangkan itu, tidak saja secara bahasa inkapabel. Tetapi juga ada wawasan budaya yang berbeda (cultural gap) dengan generais muda. Situasi seperti itu, generasi pertama imigran Muslim harusnya berimajinasi 10, 20 atau 30 tahun mendatang. Kira-kira siapa yang akan meramaikan majelis-majelis dzikir dan kajian-kajian agama itu? Kelima, kegagalan melakukan perubahan (adjustment) dengan keadaan yang berbeda. Amerika adalah Amerika. Bukan lagi negara asal. Barangkali kelompok pengajian atau masjid dikelolah secara kelompok nasinalitas (asal negara). Tetapi satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah kenyataan bahwa kita telah hidup di sebuah negara dan bangsa yang punya karakter dan kecenderungan tersendiri. Mengelolah pengajian dan masjid dengan pemahaman kesukuan dan kebangsaan (tribal mindset) akan menjadikan generasi kita merasa tersudutkan. Pergaulan dan dunia mereka jauh lebih luas dari dinding-dinding kabilah dan kebangsaan. Generasi muda akan melihat bahwa kegiatan pengajian atau masjid bukan rumah mereka (they don’t belong to). Ada gap kejiwaan antara mereka dan pengajian (masjid) yang dikelolah secara tribal itu. Apalagi dengan wawasan dan kultur yang tidak lagi menjadi bagian diri mereka secara dominan. Itulah beberapa faktor kenapa Komunitas Muslim di Amerika terancam. Bukan oleh ancaman Islamophobia atau rasisme White Supremacy. Tetapi ancaman terbesar itu adalah kenyataan bahwa Komunitas Muslim Amerika menghadapi ancaman hilangnya generasi atau “lost generation”. Ingatkah kita kalau Borris Johson, Perdana Menteri Inggris, adalah keturunan Muslim? Bagaimana nasib anak cucu kita ke depan? Semoga Allah menjaga! Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation.

Tentara Cina Berdatangan ke Indonesia?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Setelah sebelumnya banyak kecurigaan bahwa Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Cina yang masuk ke Indonesia itu bukan semata-mata sebagai pekerja, tetapi juga tentara. Karena terlihat dari postur tubuh yang tegap. Kini kedatangan 153 orang melalui bandara Soekarno Hatta di masa pandemi juga sangat patut untuk dicurigai. Diantara 153 orang Cina yang masuk melalui bandara Soekarno-Hatta dengan alasan sebagai pekerja tersebut, 3 orang memegang visa diplomatik. Sisanya sebanyak 150 lainnya memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) dan Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP). Entah mereka adalah rombongan yang ke berapa ratusan atau mungkin juga ribuan. Kedatangan warga Cina dengan alasan pekerja ini sungguh mengejutkan dan mencurigakan. Apalagi 153 pendatang tersebut menggunakan pakaian hazmat. Mengenakan Alat Perlengkapan Diri (APD) yang lengkap, sehingga sulit untuk bisa dilihat siapa mereka. Sangat mungkin tentara pula. Mengapa begitu seleluasa WNA Cina dapat masuk ke Indonesia dengan alasan sebagai pekerja? Ada apa dengan Direktorat Jendral (Ditjen) Imigrasi dan Pemerintah Indonesia sekarang ini? Demi kewaspadaan nasional dan keamanan negara, hal ini harus diusut dan diklarifikasi. Jangan sampai bangsa ini kelak dikejutkan dengan hal-hal yang tidak diinginkan bersama. Hanya karena kelengahan kecerobohan sebenarnya bisa dicagah dari awal. Presiden Republik Indonesia atau sekurangnya Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) harus menjelaskan di depan publik, siapa mereka? Selain itu apa antisipasi yang telah dilakukan pemerintah dalam merespons kekhawatirkan masyarakat atas kedatangan "makhluk misterius" seperti ini? Jangan sampai semua menjadi terlambat. Jangan sampai mereka adalah penyusupan yang difasilitasi oleh agen-agen bangsa kita, yang menjadi penghianat negara. Bekerja untuk kepentingan Cina dengan memasukan manusia-manusia misterius, dengan alasan TKA. Ketergantungan ekonomi tidak boleh menyebabkan ketergantungan maupun keterjajahan para pemimpin negara kepada Republik Rakyat Cina. Itu bahaya. Kita jadi teringat kembali bagaimana proses aneksasi Nina atas Tibet dahulu. Para tentara Cina itu ketika masuk ke Tibet menyamar sebagai pekerja. Namun berujung pada invasi militer Cina ke Tibet. Mega proyek dibuat sebagai investasi Cina di Tibet. Baik itu Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Kereta Api (KA), Bandara Udara, maupun Jaringan Telekomunikasi. Proyek-proyek besar yang nyatanya sama sekali tidak menyejahterakan masyarakat Tibet. Akan tetapi lebih menguntungkan Pemerintah Cina dan migran Cina itu sendiri. Pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama terusir ke India. Industrialisasi Cina telah mengubah budaya rakyat Tibet. Tibet kini sepenuhnya dalam genggaman pemerintan komunis Cina. Masyarakat dan bangsa Indonesia gelisah dengan kebijakan Pemerintahan Jokowi yang membuka lebar-lebar pintu investasi, hutang luar negeri, dan migrasi WNA Cina ke Indonesia. Proses pewarganegaraan yang dipermudah sangat mengkhawatirkan. DPR harus melakukan pengawasan intensif dan serius atas kebijakan pemerintahan yang cenderung menerapkan politik luar negeri "tidak bebas aktif". Sekali lagi jangan sampai semua menjadi terlambat hanya karena alasan ekonomi yang berujung pada penghianatan . Mumpung belum terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan, terkait dengan keamanan dan stabilitas negara. Lakukan segera langkah-langkah penyelamatan. Nah, kembali kepada masuknya WNA Cina melalui Bandara Internasional Soekarno Hatta dengan berpakaian hazmat (hazardous material suit) yang patut untuk dicurigai, maka pertanyaan mendasar kita adalah apakah mereka itu Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Republik Rakyat China ? Waspada terhadap kemungkinan tentara yang siap melatih, mengkoordinasi, dan menginvasi. Waiting for the right moment to invade. Penulis adlah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Kemenangan Biden : Optimis Iya, Euphoria Tidak!

by Shamsi Ali New York City FNN- Dalam menilai sesuatu, manusia pastinya bersifat relatif. Karena selain memang keterbatasan, juga karena penilaian itu banyak ditentukan oleh situasi dan realita yang sedang menggeluti jalan pikirannya (mindset). Maka wajar jika pada akhirnya penilaian itu akan berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Kemenakan Joe Biden melawan Donald Trump pada Pilpres Amerika lalu ditanggapi ragam oleh banyak orang. Sebagian optimis, bahkan euphoria dengan kemenangan Biden. Sebagian lainnya pessimis dan khawatir dengan kemenangan itu. Apapun itu, pastinya kami masyarakat Maslim Amerika dan mayoritas bangsa Amerika legah dengan kemenangan Biden. Kemenangan ini juga berarti berakhirnya pemerintahan Donald Trump selama 4 tahun dengan segala beban dan permasalahannya. Mulai dari masalah rasisme, diskriminasi kepada segmen masyarakat minoritas, Muslim Ban. Politik isolasi dengan berbagai kebijakan unilateral, termasuk keluar dari World Health Organization (WHO). Ketidak seriusan dan inkapabilitas dalam menangani Covid yang menyebabkan hingga pagi ini 409,000 lebih warga Amerika meninggal dunia, hingga pengakuan Jerusalem sebagai Ibukota Israel sekaligus pemindahan Kedubes Amerika ke Jerusalem. Semua itu dan banyak lagi yang lain menjadikan komunitas Muslim merasa legah dengan berakhirnya kepresidenan Donald Trump di Amerika. Tentu bagi Umat Islam, hal yang paling berat adalah anti Islam Donald Trump secara pribadi, dan akhirnya membentuk lingkungan kebencian kepada Islam. Ada beban psikologis yang berat dalam empat tahun terakhir. Biden Antara Harapan & Kekhawatiran Kini Biden telah resmi jadi Presiden Amerika dan Kamala Harris sebagai Wakil Presiden Amerika. Kamala sendiri kembali mencetak sejarah sebagai wanita non white, berketurunan Jamaica-India, yang menduduki jabatan Wakil Presiden pertama di Amerika. Kemenangan Biden bagi masyarakat Amerika, atau tepatnya bagi mayoritas warga Amerika, termasuk Komunitas Muslim, memberikan optimisme tersendiri. Ada harapan bahwa Biden akan membawa perbaikan terhadap berbagai damages (kerusakan-kerusakan) yang telah dilakukan oleh Donald Trump selama menjabat Presiden. Termasuk image Amerika di dunia internasional yang sangat rusak akibat karakter Donald Trump yang cukup memalukan. Mungkin yang paling memalukan adalah kenyataan bahwa Donald Trump memang kekanak-kenakan dalam menyikapi proses demokrasi. Kekalahan yang cukup jelas dan signifikan, baik secara electoral (berdasarkan jumlah district) maupun secara popular votes (jumlah suara) tidak menjadikannya mau mengakui kekalahan itu. Tramp bahkan pada akhirnya, karena teori konspirasi mengatakan bahwa pilpres itu tidak jujur. Maka pada tanggal 6 Januari lalu terjadi pendudukan Capitol Hills pendukung Donald Trump. Sebuah peristiwa yang tidak saja merendahkan Amerika di mata dunia. Tetapi sesungguhnya merupakan pelecehan yang nyata kepada demokrasi itu sendiri. Kemenangan Biden memiliki harapan bahwa Amerika akan kembali rasional. Baik dalam kebijakan domestik maupun kebijakan global (foreign policy). Berbagai kebijakan yang sejalan dengan karakter Donald Trump dinilai banyak pihak tidak rasional dan ugal-ugalan. Secara domestic (kebijakan dalam negeri) misalnya, Donald Trump mengeluarkan Executive Order yang dikenal dengan Muslim Ban. Pelarangan orang-orang Islam dari beberapa negara mayoritas Muslim untuk masuk Amerika. Peraturan ini jelas oleh sebagian dianggap semena-semena karena tidak mempertimbangkan asas keadilan untuk semua (justice for all). Biden pada hari pertama menjadi Presiden langsung menanda tangani Executive Order yang salah satunya berisikan penghapusan aturan pelarangan orang-orang Islam masuk Amerika (Muslim Ban). Keputusan ini sangat melegakan warga Muslim. Karena tidak saja memang terasa bagi mereka yang dari negara-negara yang disebutkan dalam aturan. Tetapi suasana yang diakibatkan oleh aturan itu sangat merugikan Komunitas Muslim. Karena terasa kebencian dan diskriminasi sistem itu nyata. Kebijakan Donald Trump juga salah satunya membatalkan Deferred Action for Childhood Arrivals (DACA) atau status khusus bagi anak-anak di bawah umur yang masuk ke Amerika secara illegal. Pada masa Obama anak-anak yang berstatus illegal masuk Amerika di saat di bawah umur mendapat status kemudahan, termasuk izin kerja (work permit). Oleh Trump status tersebut berusaha dibatalkan. Mungkin hal yang paling terasa adalah penanganan Covid yang sejak awal terasa inkapabel dan tidak profesional. Bahkan ada kecenderungan setengah hati akibat teori konspirasi yang merasa bahwa Covid ini hanya asumsi, dan bukan realita. Karenanya Trump entah memang tidak punya rencana atau memang tidak mau menangani masalah Covid ini secara serius. Akibatnya Amerika menjadi negara yang paling terbanyak korban Covid. Bahkan bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Tentu sangat kontras dengan asumsi yang terbangun bahwa Amerika adalah negara super power dunia. Biden sejak awal telah menjadikan penyelesaian Covid sebagai prioritàs utama pemerintahannya. Bahkan secara khusus sebelum pelantikannya, presiden terpilih telah membentuk tim khusus penanganan covid. Termasuk upaya vaksinasi sebagai bagian dari solusi. Harapan itu tentu besar. Biden nampaknya berusaha memenuhi aspirasi masyarakat luas. Termasuk pembentukan kabinet yang berwajah Amerika. Artinya, kabinet yang merangkul seluruh elemen masyarakat Amerika. Pada tataran inilah kemudian terjadi dilema. Maju kena, mundur kena. Karena ekslusifitas itulah yang kemudian menjadikan Biden harus mengakomodir semua keinginan warganya. Memang banyak keinginan warga yang terakomodir. Walau nampak sekali dalam pembentukan tim pemerintahan ini terasa “Kamala Power” atau pengaruh Kamala Harris dalam pembentukannya. Dari sekian anggota tim tersebut, ada sekitar 20-an keturunan India mewakili elemen warga India Amerika yang sangat kecil. Yang paling disoroti khususnya oleh sebagian Komunitas Muslim adalah pemilihan warga “gay dan transgender”pertama dalam tim pemerintahan Biden. Tetapi sekali lagi, itulah kontekwensi dari pemerintahan yang terbuka atau ekslusif. Dari semua harapan di tengah kekhawatiran-kekhawatiran itu, kebijakan luar negeri (Foreign Policy) Biden juga menjadi sorotan Umat, khususnya yang ada di negara-negara mayoritas Muslim. Bagaimana Biden akan menangani isu Palestina dan Jerusalem khususnya? Akankah Biden membalik keputusan Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel secara sepihak? Bagaimana pula dengan isu-isu keumatan lainnya, termasuk Isu Uighur, Rohingyah, Kashmir, Yaman, Suriah dan lain-lain? Jawaban yang pasti adalah tidak ada salahnya optimis. Karena memang harusnya demikian. Tetapi kemenangan Biden tidak perlu terlalu disambut dengan euphoria berlebihan. Amerika tetap saja Amerika yang punya karakter dan kepentingan sendiri. Belum lagi tentunya kita harus sadar bahwa pada semua bangsa seringkali di balik layar itu ada “hidden power” (kekuatan tersembunyi) yang mengontrol setiap kebijakan. Pada akhirnya Umat Islam harus sadar bahwa perubahan nasib Umat ini tidak pernah dan memang tidak harus ditentukan oleh orang lain. Perubahan hanya akan terjadi ketika Umat ini sadar akan Urgensi melakukan perubahan itu. perubahan itu harusnya dimulai dari diri sendiri! Penulis adalah Imam di New York City & Presiden Nusantara Foundation.