LUAR-NEGERI

Amerika, From The New World Order to The New Covid World Order

by Sayuti Asyathri Jakarta FNN – Tulisan ini sebagai catatan untuk Amerika menjelang pelantikan Joe Biden sebagai Presiden Amerika Rabu 20 Januari 2021. Amerika sendiri di dalam dirinya adalah sebuah bangsa yang terbelah. An inherently divided nation. Demokrasi dengan sistem cheks and balances adalah sebuah sistem yang didisain untuk mengelola enerji yang terbelah tersebut untuk memperkuat Amerika dalam pencapaian cita cita kebangsaannya. Salah satu alasan utama mengapa kalangan konservatif tetap mempertahankan kebijakan, dimana rakyat, dengan syarat tertentu, dibolehkan memiliki senjata. Kebijakan tersebut dianggap sebagai salah satu cara bagi mereka untuk tetap mempertahankan diri dari ancaman “negara”. Kebijakan yang juga untuk menyelamatkan cita-cita Amerika yang bersatu dalam perserikatan. Apabila negara terlempar keluar dari poros keseimbangan dalam mekanisme cheks and balances bisa berakibat patal. Sebab tidak semua negara dengan demokrasi cheks and balances sebagaimana yang diterapkan Amerika menggunakan cara seperti itu. Tetapi sejarah perang sipil Amerika yang menyimpan enerji pembelahan dan pertentangan mendasar itu telah meyakinkan Amerika selama ini untuk menerapkan kebijakan cheks and balances. Meskipun hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika yang yang baru lalu juga bisa menjadi ukuran meningkatnya penentangan atas kebijakan dalam soal itu. Sementara kebijakan cheks and balances dan sejumlah kebijakan lain semacam itu, sangat khas Amerika. Terutama karena posisinya sebagai pusat perhatian dan pergesekan paling intensif dengan semua bagian dunia lain. Amerika menerapkan banyak kebijakan yang unik dan tidak mudah. Bahkan tidak bisa ditiru oleh negara lain. Kini, Amerika terancam keluar dari keseimbangan cheks and balances yang membanggakan selama ini. Semua akibat hasil Pilpres yang telah memenangkan Joe Biden sebagai presiden. Menjelang pelantikan Biden, banyak senjata-senjata yang habis terbeli. Sebagian toko malah menambah jumlah stafnya untuk melayani pembeli senjata. Suasana dan nuansa instabilitas sangat mewarnai kehidupan masyarakat Amerika sekarang ini. Belum pernah Amerika mengalami sebuah situasi demokratis yang seperti ini. Siatuasi sekarang menempatkan Amerika seperti keadaan di negara negara berkembang yang bergolak dan tidak stabil. Negara-negara berkembang yang sering mengundang Amerika dan Barat selama ini untuk dijadikan sebagai sasaran khotbah tentang hak asasi manusia dan demokrasi. Situasi yang terjadi sekarang ini adalah sebuah ujian dan sekaligus gugatan telak atas jalan sejarah sebuah negara. Amerika yang dalam perkembangannya telah menggabungkan dirinya dalam enerji imperialisme yang mengganas dan pengkhotbah yang tidak otentik tentang hak asasi manusia dan demokrasi di berbagai belahan dunia. Namun sejarah menunjukkan bahwa Amerika menjadi negara kuat atau terkuat di dunia hanya kalau berhasil mempertahankan keutuhannya dan menyelamatkan demokrasinya. Karena posisinya yang selama ini mendefinisikan potret dunia dalam perang dan ketidakadilan. Rumus sederhananya apabila Amerika berubah menjadi lebih baik, maka dunia juga akan memetik hasilnya. Hanya saja, ada kekuatan lain yang kini mendefiniskan kekuatan Amerika dan dunia, yaitu covid-19. Dunia akan melihat bagaimana kekuatan Amerika bangkit mengatasi tantangan tersebut. Mengingat bahwa pukulan covid-19 yang perkasa atas Amerika akan jauh lebih parah. Karena pukulan itu berkelindan dengan selain prestasi Amerika, juga dosa-dosa kemanusiaannya yang bagi sebagian besar belahan dunia sulit untuk dimaafkan. Bagi dunia, siapapun yang terpilih sebagai presiden Amerika, itu adalah refleksi perjalanan dialektisnya sebagai sebuah negara yang tidak pernah selesai mendefiniskan dirinya. Seperti kata Samuel P Huntington, masalah sejatinya adalah karena Amerika tidak miliki sebuah akar budaya yang otentik. Padahal "culture matter", katanya. Situasi yang dialami Amerika itu adalah pilihan dari bait puisi Walt Whipman tentang cita-cita menjadi sebuah bejana pelebur, dari sebuah melting pot. Dengan asumsi seperti itu, maka terpilihnya Joe Biden mestinya juga dilihat sebagai hasil refleksi dialektis itu. Bila itu yang terjadi maka Amerika akan dihela Biden menurut sebuah logika tatanan baru, yakni dari The New World Order menuju The New Covid World Order. Pusat tatanan baru itu, Amerika dan dunia diyakinkan dan dideterminasi, bukan oleh pilihan spiritualitas atau materialisme. Tetapi oleh keduanya sebagai suatu kesatuan yang mengalami asyik masuk dialektis eksistensial. Covid ada di pusat rekleksi dialektis itu, menginterupsi kehidupan manusia dan menarik manusia ke istana eksistensialnya yaitu kerendahtian, ketulusan dan kepedulian. Sebab manusia tidak pernah berhenti bertengkar di arus gelombang kemanusiaan dan keadilan meskipun dari situ keluar yakut dan marjan. Disana hampir tidak pernah ada kedamaian. Pilihan arus spirituslisme dan materialisme itu juga selalu dalam keasyikan eksistensial, sehingga tidak pernah berpisah. Seakan-akan karena cinta dan kepedulian. Karena denyut cinta dan kepedulian abadi itulah kita selalu ada, dan berbagi cerita tentang hari depan manusia yang kita cintai. Manusia-manusia besar dalam kehidupan dunia adalah pasak-pasak kemanusian dan cahaya keadilan. Boleh jadi ungkapan itu adalah sebuah tafsir metafora dari kalimat kitab suci. Kita sedang memasuki dengan pasti sebuah masa depan yang, suka atau tidak, didefinisikan oleh The New Covid World Order. Sebuah dunia dengan tatanan baru yang menantang kehadiran manusia manusia yang berkualifikasi pasak itu untuk menentukan dan menyelamatkan masa depan dunia kita bersama. Penulis adalah Alumni of Advanced Course of National Defense Institute, Indonesia, KSA X, 2000.

Kemenangan Joe Biden & Komunitas Muslim Amerika

by Shamsi Ali Saya tidak tahu harus memulai dari mana? Terlalu banyak yang perlu saya sampaikan, sekaligus saya respon. Banyak pertanyaan sekaligus keraguan atas dukungan Komunitas Muslim terhadap Joe Biden-Kamala Harris dalam pilpres Amerika kali ini. Barangkali saya mulai dengan mengatakan dalam menentukan pilihan politik, bukan hanya satu dua aspek yang menjadi dasar. Bukan hanya aspek kebijakan luar negeri misalnya. Tetapi juga bukan sekedar aspek domestic policy (kebijakan dalam negeri). Joe Biden dan Kamala Harris bagian dari pelaku politik Amerika. Yang pasti dalam perpolitikan Amerika, kebijakan negara tak ditentukan peròrangan. Bukan Presiden. Apalagi hanya ketua partai. Amerika, negara dengan sistem kenegaraan yang solid. Yang menentukan wajah negara dan bangsa adalah sistem. Karenanya supaya dipahami oleh semua pihak bahwa kebijakan pemerintahan antara yang satu dan yang lain tidak akan banyak berubah secara mendasar (fundamental) kecuali jika memang terjadi perubahan sistem secara mendasar. Lalu dimana kepentingan atau manfaat dalam dukungan politik atau seorang calon dalam pilihan politik? Saya pernah menyampaikan bahwa dalam menentukan pilihan politik di Amerika, ada dua kemungkinan metode yang terpakai. Pertama, metode “al-afdholiyah” (yang terbaik atau yang lebih baik). Kedua, metode “aqallu ad-dhiraraen” (lebih sedikit mudhoratnya). Inilah yang kami pakai dalam menilai dan menentukan pilihan antara dua kandidat presiden Amerika, Joe Biden dan Donald Trump. Bahwa dengan segala kesamaan, keduanya tentunya kapitalis, punya ambisi untuk kepentingan Amerika di dunia global. Tentu ada sisi-sisi yang membedakan keduanya. Berikut saya sampaikan beberapa perbedaan di antara keduanya. Sekaligus menepis beberapa pandangan tentang Biden dalam hal kebijakan Timur Tengah dan Global secara umum. Kebijakan Dalam Negeri Jauh sebelum menjadi Presiden Amerika, Donald Trump memang dikenal dengan sikapnya yang anti “Non White”. Belakangan yang paling nampak adalah anti imigran, khususnya Islam. Artinya tanpa ragu kita katakan bahwa Trump memang orang yang rasis. Karakter Trump yang rasis dan white radical (radikal putih) ini kemudian menjadi karakter politiknya. Bahkan menjadi motto kampanyenya di kemudian hari. “Making America great again” dimaknai sebagai menjadikan Amerika negara kaum putih lagi. Kemenangan Donald Trump kemudian terbukti salah satunya bertujuan untuk balas dendam kepada Barack Obama yang memang dibencinya. Maka hampir semua kebijakan Barack Obama berusaha untuk dihapuskan. Dari Obama Care yang bersejarah, hingga kepada pembatalan pemboikotan Iran, termasuk membatalkan hubungan diplomatik dengan Kuba yang telah dibuka oleh Obama. Kedekatan Barack Obama dengan Komunitas Muslim juga menjadi target Trump. Kita kenal bahwa di zaman Barack Obama beberapa posisi tinggi di pemerintahannya juga diduduki oleh orang Islam. Ada posisi President Special. Envoy to the Muslim Community, ada Dubes Muslim (Hafiz Quran) ke OKI, bahkan salah seorang Wakil Menlu Amerika ketika itu adalah wanita Muslimah keturunan India. Semua posisi itu ditiadakan di zaman Trump. Acara buka puasa di White House ditiadakan. Setelah diributkan baru diadakan lagi. Itupun hanya untuk Dubes-Dubes negara Islam. Sementara pada zaman Barack Obama acara ini diperuntukkan terutama untuk tokoh-tokoh Muslim Amerika.Puncak kebencian Trump itu diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang disebut “Muslims Ban” di tahun 2017 lalu. Dimana Trump melakukan uji coba melarang orang Islam masuk Amerika. Saya menyebutnya uji coba karena lawyer pribadi Trump, Rudy Giuliani, pernah mengatakan bahwa Presiden sedang mencari pembenaran hukum untuk melarang orang Islam masuk Amerika. Mungkin hal terburuk yang ditimbulkan oleh Presiden Trump adalah terbentuknya lingkungan (suasana) dimana kaum putih radikal yang dikenal dengan White Supremacy atau White Nationalist semakin menjadi-jadi. Akibatnya, kekerasan kepada non white, termasuk Muslim, Hispanic, Kulit Hitam, bahkan Yahudi yang dianggap non white semakin menjadi-jadi. Semua itu dan banyak lainnya menjadi dasar utama Kenapa warga Muslim Amerika memilih Joe Biden. Tentu harapannya ada perubahan mendasar dari karakter kepemimpinan Amerika dan kebijakannya. Sehingga akan tumbuh situasi yang lebih kondusif bagi semua untuk berkempetisi secara sehat dalam upaya meraih apa yang disebut di Amerika dengan “American Dreams” (mimpi-mimpi Amerika). Joe Biden telah mendekati Komunitas Muslim. Bahkan berjanji menghapus Muslims Ban (pelarangan Umat Islam) masuk Amerika. Juga berjanji mengikutkan warga Muslim dalam pemerintahannya. Tentu yang terpenting dari semua itu adalah bahwa karakter pribadi Joe Biden dan Kamala Harris akan lebih kondusif bagi semua warga untuk hidup aman, tanpa friksi dan kebencian seperti di zaman Trump. Kebijakan Luar Negeri Banyak yang kemudian menuduh bahwa Joe Biden boleh jadi akan kembali berambisi perang di Timur Tengah. Mereka lupa justeru perang Timur Tengah dimulai Presiden Bush Senior dari Republican di Irak atas permintaan Saudi dan Kuwait. Perang itu tidak berlanjut di zaman Clinton yang Demokrat. Kita diingatkan justeru Clinton melakukan pembelaan kepada warga Muslim di Bosnia dan Kosovo ketika itu. Lalu perang kembali bergejolak di zaman Presiden GW Bush Junior yang juga Republican di Irak hingga tumbangnya Saddam Husaen. Di zamannyalah Irak porak poranda, bahkan mengakibatkan resesi ekonomi Amerika dan dunia. Poin yang ingin saya sampaikan adalah tuduhan jika Demokrat dan Biden senang perang, tidak selamanya benar. Justeru Republican dalam sejarahnya yang selalu berpihak kepada kapitalis (kaum kaya) yang selalu melakukan peperangan untuk kepentingan kapitalisme. Terkhusus dalam masalah Israel-Palestina, ternyata Trumplah yang dengan muka kebal mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel. Juga memindahkan Kedutaan Amerika dari Tel Aviv ke Jerusalem. Walaupun kenyataannya bertentangan dengan berbagai resolusi PBB. Bagaimana Bengan China? Dalam tatanana global, saat ini memang Amerika dan China sedang bersaing. Karenanya tekan menekan akan terus terjadi ke depan, siapapun Presidennya. Sejujurnya Trump punya kelemahan menghadapi China. Kelemahan itu karena dia sendiri punya utang pribadi yang cukup besar kepada China. Menurut informasi Trump berutang sekitar U$. 400 juta ke China. Saya justeru menilai jika Biden/Demokrat akan lebih tegas ke China ke depan. Kita ketahui bahwa Demokrat sangat peduli dengan isu-isu HAM. Hal ini akan menjadi modal bagi warga Muslim Amerika untuk menekan pemerintahan Biden untuk membela hak-hak warga Uighur di China. Secara umum dengan terpilihnya Biden hubungan internasional Amerika akan kembali rasional dan normal. Selama ini Amerika jadi aneh dan nampak tidak rasional dalam hubungan internasionalnya. Amerika dengan mudah menarik diri dari banyak kerjasama global, termasuk keluar dari Paris Climate Change Treaty dan WHO justeru di saat diperlukan kerjasama global mengahdapi pandemi Covid 19. Isu Moralitas Banyak yang kemudian menuduh bahwa dengan Joe Biden-Kamala Harris menjadi Pemimpin Amerika isu-isu immoralitas semakin menguat. Kita kenal bahwa Demokrat memang menganut paham liberalisme. Artinya, memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk eksis dan berkembang. Termasuk apa yang kita anggap bertentangan dengan nilai-nilai kita. Tapi hal ini ternyata dalam realitanya tidak merubah realita di lapangan. Justeru saya yakin cara terfektif untuk melakukan perubahan cara pandang dan karakter masyarakat justeru melalui proses pendidikan dan pembudayan yang baik. Bahasa agama melalui kerja-kerja dakwah. Ini didasarkan pada kenyataan, baik di saat Republikan maupun Demokrat berkuasa ternyata berbagai penyelewengan moralitas tetap sama. Ideologi tidak banyak berarti dalam melakukan perubahan cara Pandang dan mentalitas. Disinilah kelebihan Demokrat. Karena dengan kebebasan (saya istilahkan ruang) yang sama untuk semua akan terjadi. Ada kompetisi dalam menampilkan nilai dari masing-masing kelompok manusia. Saya yakin di sinilah Islam akan mampu tampil sebagai nilai terbaik dari semua yang ada. “Li yudzhirahu alad diini killih” akan kita buktikan dengan persaingan nilai tersebut. Akhirnya kita hanya bisa berusaha. Tugas kami yang berat ke depan adalah mengawal pemerintahan Joe Biden untuk tetap sejalan dengan kepentingan dan kebaikan untuk semua. Bukan untuk sekelompok orang saja. Penulis adalah Imam Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundation.

Anies Baswedan & Khabib Nurmagomedov

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (08/11). Siapa yang tak kenal dengan Khabib Nurmagomedov. Petarung UFC asal Sildi Dagentan Rusia ini terkenal tak terkalahkan. Telah 29 kali pertarungan, semuanya dilalui dengan kemenangan. Terakhir, Nurmagomedov mengalahkan Justin Goethje dengan kuncian kaki yang membuat petarung asal Amerika itu pingsan. Dunia menyayangkan, karena Khabib memutuskan untuk pensiun dini. Petarung yang lahir pada 20 September 1988 ini mengumumkan undur diri setelah pertarungan terakhirnya melawan Justin Goethje. Octagon dan para penggemar tarung bebas kehilangan gairah. Habib mundur, karena itu permintaan ibunya. Begitu pengakunnya. Setelah ayah Khabib yang selama ini jadi pelatihnya meninggal karena Covid-19, sang ibu minta Khabib berhenti. Jangan bertarung tanpa ayahmu nak. Begitu pesannya. Khabib berjanji ke ibunya bahwa pertarungan melawan Justin Goethje itu yang terakhir. Dan Khabib memenuhi janji kepada ibunya. Banyak tokoh sukses karena bimbingan dan ketaatan pada fatwa ibunya. Salah satunya adalah Anies Baswedan, Gubernur DKI. Suatu hari Anies diundang untuk shalat subuh di masjid di bilangan Jakarta Pusat. Sesuai rencana, usai shalat subuh sang tokoh bicara ke Anies. Nis, kamu maju lawan Ahok ya? Kata tokoh itu menawarkan. Sepertinya hanya kamu yang bisa kalahkan Ahok. Anies kaget nggak karuan. Nggak pernah terpikirkan oleh Anies kalau ia akan maju di pilgub DKI. Dia hanya jawab dengan tenang, dan memang pembawaan mantan mendikbud ini selalu tenang, "saya harus bicara ke ibu dulu". Lewat beberapa hari, Anies pun bicara kepada ibunya, Prof. Aliyah Rasyid. Bahwa ia diminta maju di pilgub DKI. Apa jawab ibunya? "Kalau itu kemauan mereka (rakyat), ibu mengijinkan. Tetapi, kalau itu kemauan Anies, jangan! Ibu tidak mengijinkan", tegasnya. Dan, sebagaimana yang kita ketahui, Anies ikut kompetisi di pilgub DKI dan menang. Ini bukti adanya keinginan rakyat. Tiga tahun sudah Anies memimpin Ibu Kota. Ini semua, tak lepas dari keterlibatan dan ridho sang ibu. Disinilah titik kesamaan Anies dan Khabib Nurmagomedov. Meskipun keduanya berada pada profesi yang berbeda. Namun selalu taat pada fatwa sang tercinta. Selain taat pada fatwa Sang Ibu, titik persamaan antara Anies dan Khabib Nurmagomedov adalah pada sikap yang berdua yang rendah hatinya. Diantara ciri khas Khabib setelah meraih kemenangan selalu mengarahkan telunjuknya ke dada, lalu menggoyang-goyangkannya ke kanan dan ke kiri. Seolah ia memberi isyarat bahwa ini bukan kehebatanku. Bukan. Kemenangan ini bukan karena kehebatanku. Aku orang yang tak berdaya. Aku juga siapa-siapa. Kemudian Khabib mengarahkan jarinya ke atas. Seperti ia ingin memberi tahu bahwa yang terhebat dan terkuat itu Tuhan. Ialah Sang Pemilik Kemenangan yang sesungguhnya. Disisi lain, tak sedikit petarung yang memukul-mukul dadanya ketika meraih kemenangan. Menunjukkan kepada para penonton bahwa dirinya hebat. Dirinya jagoan. Sehingga dia petarung yang mampu menumbangkan setiap lawannya. Sikap sombong yang ditonjolkan. Tapi, Khabib tidak. Ia meyakinkan publik bahwa ia tidak hebat. Yang hebat itu Tuhan. Luar biasa. Mirip dengan Anies. Dalam banyak cerita yang beredar kepada orang-orang terdekatnya, Anies sering bicara tentang anugerah. Dalam banyak hal, kata Anies, yang tak pernah terpikirkan dan direncanakan sebelumnya. Tetapi Allah hadir dan menuntunnya. Suatu hari, hujan lebat di Jakarta. Begitu juga di wilayah Puncak Bogor. Debit air naik, baik karena hujan maupun kiriman. Jakarta banjir, otomatis. Siang hari, air laut surut. Cepat sekali. Tak seperti biasanya. Sehingga banjir segera kesedot ke laut. Ini tak wajar. Mestinya, air laut naik (terjadi rob) karena Jakarta baru saja ditimpa banjir. Ini unpredictable, kata Anies. Ini juga terjadi parlda peristiwa yang lain. Sejumlah halte bus Jakarta terbakar. Tepatnya, dibakar. Kabarnya, para pelaku pembakaran adalah orang-orang profesional. Siapa yang mengirim mereka? Bisa dilihat di video yang beredar. Kok badannya tegap-tegap, kata sejumlah orang. Para pengamat bilang, “ada skenario bahwa mereka ingin membakar nama baik Anies”. Dibakarnya halte busway seolah ingin mengirim kesan ke publik bahwa Anies nggak disukai buruh dan mahasiswa. Terbakarnya halte juga akan mengganggu anggaran Pemprov DKI di masa sulit akibat pandemi. Satu halte itu anggarannya Rp 25 miliar. Kali tiga yang dibakar. Cerdas! Kok ndelalah, kata orang Jawa, Anies diminta oleh Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya untuk menemui para mahasiswa yang sampai malam masih berada di area demo. Sebab, jika mereka tidak ditemui dan dipulangkan, rawan provokasi, lalu terjadi anarki dan berujung penangkapan. Situasi bisa semakin tidak semakin kondusif. Anies dianggap bisa menenangkan para mahasiswa itu. Maklum, mantan aktifis, mungkin dianggap tahu jiwa para aktifis. Dengan hadirnya Anies di tengah demonstran, maka stigmatisasi bahwa Anies tidak disukai mahasiswa dan buruh jadi hilang. Lagi-lagi, ini anugerah. Tak direncanakan. Bahkan tak ada dalam pikiran. Tetapi itu nyata dan terjadi. Kabarnya, banyak peristiwa serupa terjadi di DKI. Begitu info yang beredar. Pengakuan Anies ini menunjukkan kerendahan hatinya. Ada peran Yang Maha Atas. Karena itu, tak boleh arogan. Siapapun anda, pemimpin dimanapun, harus sadar bahwa arogansi hanya akan membuat anda jatuh. Dalam banyak penghargaan yang diterima Anies selama menjadi gubernur, sepupu Novel Baswedan ini selalu mengawali narasinya dengan ucapan alhamdulillah. Lalu ia bilang, "ini semua karena kolaborasi kerja para pegawai Pemprov DKI dan seluruh warga Jakarta. Ini hadiah untuk mereka". Pelajaran yang bisa kita ambil dari Khabib Nurmagimedov dan Anies Baswedan adalah bahwa ketaatan kepada ibu dan kerendahan hati akan membuka jalan kemudahan dan kemenangan. Siapapun yang melawan, apalagi dengan kesombongan, akan terkunci dalam kekalahan, seperti nasib Goethje dan McGregor. Jika Anies terus mampu menjaga kerendahan hatinya dalam bernarasi dan bersikap, ini akan membuat siapapun yang mencoba melawan dan menyerangnya akan mengalami kesulitan. Mereka terkunci oleh simpati dan dukungan rakyat terhadap cucu Abdurrahman Baswedan ini. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Andaikan Trump Menhannya Biden?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at 906/11). Perhitungan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat hampir final. Hasilnya kemungkinan Donald Trump nyungsep, dan Joe Biden berjaya. Amerika Serikat akan memiliki Presiden baru Joe Biden. Kandidat Partai Demokrat Joe Biden sebelumnya adalah Wakil Presiden Barrack Obama selama dua periode. Dengan kekalahan Trump ini, maka daftar Presiden Amerika Serikat yang menjabat hanya satu periode menjadi bertambah lagi. Yang terakhir adalah Bush senior. Kemenangan Biden menandai bahwa pergiliran kekuasaan antara Partai Republik dengan Partai Demokrat berjalan dengan sangat sehat. Kontrol oposisi cukup efektif. Walaupun Donald Trump ber "wek-wek" soal kecurangan. Namun suksesi dinilai lancar dan konvensional. Pilpres Amerika Serikat bersistem electoral college. Dimana untuk memenangkan kompetisi, kandidat sekurangnya mesti mendapatkan 270 electoral votes dari 538 electoral votes. Sampai sekarang Joe Biden sudah meraup sebanyak 264 electoral votes. Hanya butuh 6 electoral votes lagi. Sementara Trump baru memperoleh 214 electoral votes. Relatif Biden sulit untuk terkejar Trump. Ketika terpilih dahulu, Trump dinilai sebagai figur yang nyeleneh, dan kurang adab. Bahkan tak pantas menjadi Presiden. Karikatur, meme, hingga boneka dibuat untuk menistakan. Di tempat-tempat umum pun boneka Trump ditendang dan dipukul-pukuli. Ada rasa ketidaksukaan publik kepada Trump. Akal sehat sebenarnya tidak menerima kemenangan pengusaha kaya ini. Profilnya digambarkan sebagai Presiden seenaknya. Bahkan sangat kontroversial. Karenanya, sukses Joe Biden menyingkirkan Trump adalah kemenangan akal sehat dari rakyat Amerika. Joe Biden adalah Presiden dengan jenjang karier politik yang sangat jelas. Dunia kadang memunculkan negara dengan Kepala Negara yang tidak diinginkan. Ada yang zalim, mementingkan diri, gemar dengan pencitraan, bodoh hingga badut. Ini kecelakaan politik namanya. Tetapi aksiden seperti ini tidak pernah langgeng. Rakyat akan segera kembali kepada akal sehatnya. Memilih pemimpin yang memang pantas untuk memimpin. Kemenangan Joe Biden pada Pilpres Amerika ini adalah kemenangan akal sehat. Menyingkirkan figur ngotot yang tak mau kalah. Lempar isu curang. Padahal sebagai petahana justru Trump yang potensial untuk melakukan curang. Di tengah proses, malah minta penghentian penghitungan. Lucunya Trump sudah menyampaikan pidato klaim kemenangan. Padahal dia merencanakan untuk membawa masalah Pilpres ke Mahkamah Agung. Sehingga Kepala Biro Amerika media ABC News, David Lipson berseloroh dalam cuitannya tentang tingkah laku Trump "feeling like Indonesian politics rn". Ditanggapi lucu antara lain oleh Ross Tapsel yang membenarkan. Tetapi tidak persis seperti yang terjadi Indonesia katanya. Kecuali jika Trump yang kalah, dan diangkat Joe Bidan menjadi Menteri Pertahanan (Menhan) nantinya. Ini baru benar-benar sama dengan Indonesia,,, he he he. Indonesia memang hebat. Bisa menjadi contoh buat Amerika. Ini mungkin, karena di Indonesia juga pernah terjadi kecelakaan politik. Meskipun demikian, kalaupun ada figur yang memantas mantaskan diri ya dimaklum saja. Karena kita adalah bangsa yang toleran, tidak radikal, mandiri, sabar, cerdas, budiman, pemaaf dan penyayang. Kini Donald Trump sedang berenang di kolam kekalahan. Biru menenggelamkan merah. Suara "wek weknya” masih terdengar gelagapan. Selamat bekerja Joe Biden. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

China Semakin Dekat Mendominasi Dunia

by Asyari Usman Medan FNN – Ahad (01/11). Beberapa hari lalu, koran-koran internasional heboh dengan pernyataan mantan kepala badan intelijen Jerman, BND (Bundesnachrichtendienst), Gerhard Schidler bahwa China (RRC) semakin dekat ke posisi untuk mendominasi dunia. Menurut Gerhard Schindler, yang mengepalai BND dari 2011 sampai 2016, para penguasa China sangat pintar untuk meluaskan pengaruhnya sampai ke Eropa, Asia dan Afrika. Dia mengatakan kepada surat kabar The Times (terbitan London), Eropa harus segera bertindak. Menurut Schindler, teknologi China sangat canggih. Jerman tidak mampu untuk melihat apakah teknologi canggih itu digunakan China untuk tujuan jahat. Mantan bos badan intelijen luar negeri Jerman itu menyarankan agar Huawei dikeluarkan dari jaringan selular 5G. Pemerintah Amerika Serikat (AS) sudah lebih dulu menyatakan kekhawatiran bahwa Huawei bisa digunakan sebagai mata-mata oleh Partai Komunis China (PKC). Menurut Schindler, Huawei bisa saja membuat semacam “pintu belakang” pada sistem jaringan 5G-nya. Tidak akan ada yang bisa mengetahui apa sebenarnya yang mereka buat, kata dia. Sementara sektor telekomunikasi selular Jerman banyak bargentung pada perusahaan China ini. Semua operator 3G Jerman adalah klien Huawei. Dominasi China di pentas dunia kelihatannya memang lebih mungkin menjadi kenyataan. Negara komunis yang mempraktikkan sistem kapitalis itu kini menjadi mitra perdagangan utama banyak negara. Termasuk Indonesia. Sejak enam tahun belakangan ini, Indonesia memberikan preferensi khusus kepada China untuk berinvestasi. Untuk Jerman, menyingkirkan China nyaris tak mungkin. Sebagai contoh, setiap tahun perusahaan mobil mewah Jerman menjual 250 ribu unit kepada pembeli di China. Total perdagangan Jerman mencapai lebih U$ 210 miliar. Angka yang terbilang pantastis. Menurut perkiraan, dominasi AS akan semakin tergerus di masa-masa mendatang. Hingga saat ini, AS masih berstatus sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Tetapi, posisi itu sedang dikejar oleh China. Lihat contoh lain. Seperti dilaporkan Asia Times, China bisa memproduksi baja yang diperlukan oleh seluruh dunia. Kalau mereka mau. Begitu juga dengan produk-produk lain. Kehebatan China adalah mereka tidak membuat barang-barang yang tak dibeli orang. Kekuatan ekonomi China itu menghasilkan devisa yang sangat besar. China memiliki cadangan devisa asing (CDA) hampir U$ 4 triliun beberapa tahun lalu. Uang yang banyak ini membuat mereka leluasa pula membangun perangkat keras militer, termausk kapal induk. Sekarang ini, China telah memiliki tiga kapal induk. RRC telah melakukan ekspansi militer terbesar dan tercepat sejak Perang Dunia Kedua –kalau tidak dalam sejarah dunia. Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) bisa mengimbangi pasukan AS di sejumlah kawasan tertentu. Bahkan melebihi kekuatan negara adidaya itu di kawasan-kawasan lain. Tujuan akhir PKC ialah memiliki kekuatan militer yang sama seperti yang dimiliki Amerika. Beroperasi di seluruh dunia. Dan hal ini bukan sesuatu yang tak mungkin. Belakangan ini, Amerika melancarkan diplomasi gencar ke Asia Selatan dan Asia Tenggara. Baru saja Menteri Luar Negeri (Menlu) Michael Pompeo menekan kerja sama dengan Sri Lanka dan India. Amerika akan menjual senjata dalam jumlah besar kepada Delhi. Amerika merasa India akan menjadi teman untuk menghadapi ambisi dominasi China. Bagaimana dengan Indonesia? Ada beberapa catatan yang memprihatinkan. Pemerintah yang berkuasa saat ini menyanderakan diri kepada China sampai ke posisi yang menunjukkan kepariaan bangsa ini. Itu yang pertama. Yang kedua, terlihat para penguasa tidak menaruh curiga sedikit pun terhadap para TKA China yang masuk ke Indonesia. Schindler saja sangat curiga kepada Huawei. Penguasa di sini kok bisa bersangka baik kepada para TKA China yang kelihatan tak asing dengan dunia kemiliteran dan intelijen itu? Kita seharusnyalah percaya pada sistem keamanan negara ini. Kita mungkin tidak mampu berkontribusi untuk membendung dominasi China. Namun, sangatlah ironis jika kita sekarang ini mengambil posisi yang malah membantu percepatan wujud dominasi itu. Yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai korban. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Pompeo Sukses, Jadi Teringat Camdessus IMF

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (31/10). Akhirnya memang Pemerintah kita kelasnya ayam sayur. Kedatangan Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat Mike Pompeo sukses besar. Utamanya adalah implikasi penandatanganan bersama Menlu Retno Marsudi mengenai Kepulauan Natuna yang bakal "diserahkan" menjadi lahan investasi Amerika Serikat. Tentu saja target besar Amerika Serikat adalah membuat pangkalan militer di Natuna. Penguatan strategis dalam perseteruan dengan China. Menlu Pompeo berhasil meraih sukses besar. Sebab konflik di Laut China Selatan kini memasuki babak baru. Babak dimana bagian Indonesia akan menjadi pangkalan militer untuk tentara Amerika. Padahal China yang telah mengklaim Laut China Selatan sebagai milik warisan kesejarahan, akan sedikit terganggu dengan sikap Indonesia tersebut. Jika serius kerjasama dengan Amerika, dapat dibayangkan marahnya China kepada komprador Indonesianya. Entah langkah catur apa yang akan dimainkan. Melihat Michael Pompeo yang sedang menandatangani "kesepakatan" di meja, dan Menlu Indonesia Retno Marsudi berdiri tertunduk agak prihatin juga. Akhirnya menyerah dan Luhut pun "nyumput". Jadi teringat dahulu menjelang runtuhnya Orde Baru. Soeharto pada Januari 1998 menandatangani pinjaman dan kerjsama dengan International Monetery Fund (IMF). Sementara Michael Camdessus Direktur Palaksana IMF berdiri sambil bersedekap tangan. Terlihat gagah dan sukses. Pompeo sukses besar. Investasi Amewrika di bagian terluar kepulauan Natuna menjadi fase awal masuknya kepentingan Amerika ke kawasan. Dengan dalih pengamanan teritorial Indonesia, Amerika akan bebas hilir mudik di kepulauan Natuna. Faktualnya adalah optimalisasi fungsi pangkalan militer Amerika di area tersebut. Jokowi yang awal ketar-ketir, kini justru berposisi dan semakin terjepit antara dua tekanan Amerika dan China. Ikatan kuat dan matang dengan China harus terbentur ultimatum Amerika. Jika dari awal mengambil jalan konsisten "bebas aktif", mungkin saja konflik Amerika-China menjadi keuntungan besar bagi Indonesia. Namun kondisi itu kini sudah berbeda. Pilihan sulit di tengah pandemi dan krisis ekonomi. Kedatangan Menlu Pompeo bukan membawa berkah buat Pak Jokowi. Tetapi seperti buah simalakama. China tentu saja tidak akan tinggal diam. Daleman Istana sudah diketahui. Jika Istana belok-belok dalam bermain, mesti ada bayaran. Mungkin juga mahal. Jokowi bukan semakin kuat, tetapi malah bisa semakin goyah. Sikap ambivalensi selalu kalah di ujungnya. Sementara loyalitas yang diragukan akan dieliminasi pada akhirnya. Amerika yang menekan dapat memberi pil pahit bagi rezim. Dulu Michael IMF datang Januari 1998 dan Mei 1998 Soeharto jatuh. Kini Oktober 2020 Michael Pompeo datang, entah jatuh atau bertahankah Jokowi? Yang jelas rakyat sudah mulai mendesak. Pompeo sukses memainkan panggung diplomasi Amerika di Indonesia dan kawasan. Memang langkah diplomat kelas dunia. Sekali datang Natuna sudah di tangan. Indonesia dibuat kebingungan menghadapi jasa-jasa investasi dan "debt-trap" China. Jokowi bukan figur idealnya kelas Amerika. Jokowi juga mulai diragukan sebagai figur kuat pengaman kepentingan China. Jokowi mulai tidak aman. Apalagi nyaman. Sebab Jokowi tidak lagi mengakar. Kasus Rancangan Undang-Unang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) menempatkan Jokowi berhadapan dengan rakyat dan umat. TNI yang tergerus oleh Polri juga rentan untuk tetap menjadi pilar yang mengawal dan menyelamatkan Jokowi. Menlu Pompeo belum banyak bergerak, tetapi sudah membuat belingsatan Jokowi dan China. Menusuk pertahanan yang memang dari dulu juga sangat lemah. Pompeo sukses. Moga saja pak Jokowi tidak lari ke gorong gorong. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

MUI Serukan Boikot Perancis!

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (31/10). Tidak saja negara Arab, Indonesia pun boikot produk Perancis. Kali ini, seruan itu datang dari Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Seruan ini diikuti oleh sejumlah Organisiasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam. Diantaranya adalah Ikatan Ulama Asia Tenggara dan Wahdah Islamiyah, ormas Islam yang diketuai KH. Zaitun Rasmin. Tidak saja boikot, MUI dan Ormas Islam meminta pemerintah mengambil sikap tegas. Pemerintah harus segera memulangkan Duta Besar Indonesia di Perancis. Wahdah Islamiyah lebih Tegas lagi, menuntut pemerintah mengusir Duta Besar Perancis dari Indonesia. Efektifkah seruan MUI tersebut? Bergantung! Pertama, akan sangat bergantung seberapa gencar MUI menyuarakan seruan itu. Jika setiap ulama di MUI terus menerus bicara ke media, membuat tulisan, meme dan semacamnya, maka seruan akan berdengung. Namun, jika MUI hanya membuat surat pernyataan, setelah itu diam, maka suara MUI hanya akan terdengar lirih dan sayup-sayup saja. Sekali ditiup isu lain, maka akan lenyap seketika. Soal sosialisasi, MUI memang sangat lemah. Mungkin karena MUI nggak punya relawan buzzer dan infulencer seperti FPI. Juga nggak punya buzzer dan infulencer komersial seperti istana. Kedua, bergantung pada kemampuan MUI melakukan konsolidasi dan mendorong ormas Islam, para tokoh, hingga pejabat negara untuk mendengungkan seruan boikotnya. Untuk ini, MUI perlu secara masif melakukan lobi dan konsolidasi keluar. Umumnya, para ulama di MUI sudah sangat sibuk dengan tugas dan kepentingan organisasinya masing-masing, sehingga konsolidasi keluar atas nama lembaga MUI seringkali lemah. Ketiga, akan jauh lebih berdengung seruan boikot itu jika MUI memimpin langsung "masirah qubra". Kerahkan demo besar-besaran dan mendesak presiden untuk mengambil sikap tegas. Mulai dari membuat pernyataan, memulangkan Duta Besar Indonesia untuk Perancis, lalu mengusir Duta Besar Perancis dari Indonesia, hingga boikot produk-produknya. Tetapi, apa MUI didengar presiden? Selama ini, audiensi MUI ke presiden seringkali tidak efektif. MUI tidak punya daya tawar. Bahkan cenderung diabaikan nasehatnya oleh istana. Baru-baru ini, audiensi MUI ke Istana terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) diabaikan istana. Masukannya ditolak. MUI keluar istana tanpa hasil apapun. Dalam kasus dukungan penghinaan kepada Nabi Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam oleh presiden Perancis Immanuel Marcon, MUI perlu mempertimbangkan "Masirah Qubra". Demo besar. Pertama, ini akan memberi energi dan dorongan yang kuat kepada pihak istana untuk mengambil sikap tegas. Sampaikan ke Istana, jangan takut jika mobil Esemka diboikot oleh Perancis. Kedua, demo yang besar-besaran akan menjadi sosialisasi yang efektif ke telinga masyarakat. Bahwa MUI menyerukan boikot terhadap produk-produk Perancis. Demo akan memastikan bahwa masyarakat mendengar seruan boikot dari MUI tersebut. Ketiga, ini akan memberi pesan kuat kepada masyarakat muslim di seluruh dunia, agar mereka ikut melakukan protes keras. Juga untuk mengkonsolidasikan massa secara besar-besaran dalam memboikot produk-produk Perancis. Jika fatwa MUI terhadap kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok mampu menghadirkan tujuh juta massa umat Islam. Apalagi jika MUI dan seluruh ormas Islam turun langsung untuk memimpin demo serta melakukan konsolidasi massa. Hasilnya tentu saja lebih dahsyat lagi. Cukup setiap ormas Islam mengerahkan sejuta massa, maka akan berkumpul belasan hingga puluhan juta massa dari Monas sampai Bundaran HI hingga memadati Jl Soedirman-Thamrin Jakarta. Mungkin ini akan menjadi demo terbesar di sepanjang sejarah Indonesia, bahkan dunia. Jika demo ini dilakukan dan berhasil, maka pabrik milik Perancis di Indonesia bisa tutup, dan impor dari Perancis bisa berhenti. Ini baru akan memberi efek jera kepada Perancis. Sekaligus akan memaksa Immanuel Macron, presiden Perancis meminta maaf. Masalahnya, MUI berani dan punya nyali tidak? Kalau cuma seruan boikot lewat surat yang diviralkan by PDF di medsos, mungkin banyak yang malas buka. Dijamin nggak bakal efektif. Bukan percuma, tapi tidak akan pernah besar pengaruhnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Immanuel Macron vs Politisi Indonesia

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (30/10). Pernyataan presiden Perancis Immanuel Macron menggegerkan dunia. Tidak saja membuat marah orang Islam, orang Kristen, dan bahkan sejumlah umat beragama marah. Penggiat demokrasi juga marah. Immanuel Macron bilang bahwa Islam dan umat Islam sedang terjadi krisis dimana-mana. Presiden Perancis ini memberi ruang bagi munculnya karikatur yang menghina Nabi Muhammad sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Publik bertanya, bagaimana "jika" ada yang membuat karikatur Immanuel Macron dan istrinya bertelanjang bulat dan melakukan hubungan intim di atas panggung dengan latar belakang gambar anak-anaknya dan rakyat yang sedang bertepuk tangan berada di kursi penonton? Apakah ini bagian dari kebebasan berekspresi? Kan ngawur! Dipastikan, umat Islam tak akan membalasnya dengan cara-cara seperti itu. Sangat rendahan, tak berkelas dan melanggar tidak saja "aturan syar'i" tetapi juga menyalahi tata krama sosial dan kemanusiaan. Kita pun juga akan mengutuknya jika itu terjadi. Bukan membela Immanuel Macron. Tetapi membela kewarasan moral dan rasionalitas yang sehat. Pernyataan Immanuel Macron menuai protes banyak pemimpin negara. Bahkan sejumlah negara Arab seperti Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan lain-lain dengan cara memboikot produk dari Perancis. Di Indonesia, juga sedang ada penggalangan untuk melakukan hal sama. Pernyataan Macron tidak saja akan merusak hubungan Perancis dengan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Tetapi juga berpotensi merusak hubungan antar umat beragama di seluruh dunia. Sebuah pernyataan yang tidak saja nggak pantas keluar dari seorang kepala negara. Tetapi itu juga pernyataan destruktif dan sangat berbahaya. Penyataan Immanuel Marcon ini menunjukkan bahwa dia memang seorang presiden yang belum begitu matang, dan sempit wawasan. Sebab ketika human right itu didefinisikan, maka ia terbatas. Semua yang didefinisikan itu terbatas. Hanya Tuhan yang tak terbatas. Di luar itu, semua terbatas. Apa batasnya? Hak asasi itu tak boleh mengambil, mengganggu dan merusak hak orang lain. Kalau mengambil, mengganggu dan merusak hak orang lain, itu bukan hak asasi, tetapi kejahatan. Setiap kejahatan itu destruktif. Merusak tatanan dan hubungan sosial. Menciptakan disharmoni, bisa menjadi ancaman keamanan dan kenyamanan sosial, bahkan global. Setiap kejahatan itu berpotensi melahirkan kejahatan yang lain. Bahkan bisa lebih dahsyat lagi ketika direspon dengan cara-cara yang negatif. Tidakkah perang itu seringkali terjadi karena adanya aksi kejahatan yang direspon dengan reaksi kejahatan? Immanuel Macron nggak cerdas. Bahwa statemennya itu tak hanya bahaya untuk keamanan dunia. Tetapi juga menjadi bumerang buat negaranya sendiri. Anda bisa bayangkan, kalau semua negara berpenduduk muslim melakukan boikot terhadap produk Perancis? Negara itu bisa saja collaps. Dan itu layak dan sah dilakukan sebagai hukuman terhadap negara yang memprovokasi konflik. Tapi, Abu Janda nggak mau boikot? Ah, anda jangan menurunkan kelas pendidikan dan sosial anda dengan memperhatikan "orang-orang" yang hidupnya sibuk cari perhatian. Lalu bagaimana dengan pemerintah Indonesia yang notabene berpenduduk mayoritas umat Islam? Menlu RI Retno Marsudi telah panggil duta besar Perancis. Entah apa yang dibicarakan, publik masih meraba-raba. Tetapi, ini tak begitu taktis dan efektif. Jauh lebih efektif jika presiden Jokowi ikut mengecam pernyataan Immanuel Macron. Tak harus sekeras Erdogan. Cukup bilang, "sangat menyayangkan apa yang diucapkan Immanuel Macron". Atau bisa juga menggunakan bahasa yang lebih lunak dan halus dari itu. Ini sudah lebih dari cukup. Yang penting, ada pernyataan sikap dari Jokowi. Ingat, Pak Jokowi adalah presiden mayoritas umat Islam terbesar di dunia. Layak jika bertindak atas nama rakyat yang dipimpinnya. Sebab, presiden itu bukan representasi diri, keluarga, partai dan kelompoknya. Presiden itu juga representasi rakyat yang dipimpinnya. Presiden mesti tak perlu berkeberatan menyuarakan kegelisahan rakyat Indonesia terkait pernyataan presiden Perancis itu. Kali ini, sikap AHY justru yang paling tepat dan berkelas. Atas nama demokrasi, ketua partai Demokrat ini mengecam pernyataan Immanuel Macron. Ini langkah AHY yang sangat cerdas. Aksi ini bisa membuka simpati rakyat, khususnya umat Islam kepada Demokrat. Rakyat berharap Pak Jokowi juga ikut membuat langkah cerdas, bahkan yang lebih cerdas lagi. Apa langkah cerdas dan lebih cerdas itu? Pak Jokowi pasti lebih taulah. Wong Pak Jokowi itu presiden ko. Kalau pernyataan tersebut keluar dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), itu biasa saja. PKS selalu terdepan terkait isu-isu keislaman dan kemanusiaan. Partai dakwah ini sepertinya memang mendedikasikan diri untuk dua isu tersebut. Isu ke-Islaman dan Kemanusiaan. Untuk kemanusiaan PKS membuktikannya di saat ada bencana nasional maupun global. Selalu hadir atas nama kemanusiaan. Kalau langkah ini konsisten, terus diperbesar, maka aksi PKS akan terus mendulang simpati publik. Hanya perlu sosialisasi lebih taktis dan efektif. PKS kurang soal ini. Demi "keikhlasankah? Kalau kecaman terhadap Immanuel Macron itu dilakukan oleh PDIP, ini baru sesuatu luar biasa. Sesuatu banget. Atas nama demokrasi, PDIP mengajak rakyat Indonesia boikot produk Perancis. Ini akan menjadi berita besar. Jadi hot news dan headline media. Apalagi kalau diikuti oleh PSI. Ngarep ni yeee… Tapi, apa mungkin? Ngayal aja ah! Bagaimana dengan PKB? Apakah akan mengikuti mazhabnya Abu Janda? Jangan bercanda! Colek Cak Imin. Lama kita gak ngobrol. Tulisan ini menjadi media kita untuk bersalingsapa. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Horeee... Mendadak Menjadi Kadrun? Budaya Munafik

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (22/10), Dulu Partai Komunis Indonesia (PKI) menyebut para santri atau aktivis Islam sebagai Kadal Gurun (Kadrun). Subutan yang mengarah pada sisi kearab-araban, baik dari sisi pakaian maupun identitas lainnya. Asal yang ada arab-aranya, itu Kadrun. Memang musuh PKI adalah kekuatan agama. Karena bagi faham komunis, gerakan agama itu adalah candu. Sebagai gerakan tanpa moral, PKI menghalalkan segala cara. Semua yang berbau agama harus dihancurkan. Bagi PKI, kalau masih dirangkul, ya lebih baik. Termasuk ikut sholat, puasa dan haji. Sebutan Kadrun ternyata melembaga juga saat ini. Ejekan datang dari para pendukung Jokowi kepada elemen dan aktivis Islam. Nong Darol, Edi Kuntadi, Denny Siregar paling suka lempar perkadrunan ini. Begitu juga dengan FX Arief Poyuono dan Ade Armando. Meski balasan predikat juga bisa dikenakan untuk para doking, dan kodok Peking. Profil kemusliman, bahkan kearab-araban untuk sebutan Kadrun lucunya juga ternyata ditampilkan oleh Jokowi dan keluarganya. Langkah ini dalam upaya mencari dukungan suara umat Islam. Umat Islam ini kadang-kadang tidak disukai, tetapi juga sangat diperlukan suaranya. Makanya para pencari suara tersebut bisa saja "mendadak menjadi Kadrun". Saat Pilpres 2019 Jokowi sering tampil mengimami sholat di berbagai daerah. Lalu pemotretan fokus pada sudut penampilan. Kadang-kadang Mihrab harus dimundurkan satu shaff agar posisi yang tadinya diperuntukan untuk iman sholat tersebut, bisa ditempati oleh petugas pemotretan untuk mengambil gampar saat Pak Jokowi jadi imam sholat. Bahkan diantara Pak Jokowi menjadi imam sholat tersebut, ada yang dengan bersorban segala. Ada juga saat mengimami pemimpin negara asing di Kabul Afghanistan bersorban unik. Padahal sorban itu kan nyata-nyata pakainnya kaum “Kadrun”. Sekarang ini jarang sekali untuk menemukan lagi foto atau video pak Jokowi mengimami lagi. Memang "Kadrun" kadang dibutuhkan sesaat saja. Namun kalau sudah selesai maksud dan tujuan, maka langkah berikutnya para mendukung yang menghujat pakaian atau tampilan medel “Kadrun”. Begitu juga yang terjadi pada sang putra "milenial" Gibran yang berubah berpeci sarung bak seorang ustadz dalam tampilan Pilkada Solo. Cawalkot "sembilan puluh dua persen" ini pun "mendadak menjadi Kadrun". Diikuti mantu Bobby Nasution yang maju dalam Pilkada Medan viral bersorban putih dan berpenampilan seperti "pangeran Sentot Alibasyah". Tentu saja tidak ada yang salah untuk berpakaian muslim, berpenampilan ala ustadz, atau yang kearab-araban. Namun mendadak berpenampilan "sholeh" dalam rangka berburu suara dalam pilihan politik pasti menuai cibiran. Celaan Jokower bahwa aktivis muslim adalah "Kadrun" harus membenturkan diri Jokowi dan keluarganya yang "mendadak Kadrun" pula. Relasi Pemerintahan Jokowi dengan umat Islam dinilai bermasalah. Bukan saja dirasakan oleh sebagian umat Islam Indonesia. Namun juga tak luput dari pengamatan cendekiawan asing. Greg Fealy di antaranya. Professor Australian National University (ANU) itu menyebut Pemerintahan Jokowi represif kepada umat Islam. Lewat tulisan di East Asia Forum 27 September 2020 Fealy menyatakan pemerintahan PDIP di bawah Jokowi itu menindas umat Islam. Penangkapan aktivis dan isu radikalisme diarahkan kepada umat Islam. Isu yang sengaja diangkat untuk tujuan memberangus. Jadi menggelikan dan menjengkelkan jika ulama dan aktivis umat Islam diteriaki sebagai Kadrun. Akan tetapi dalam praktek politiknya, mereka itu juga "mendadak menjadi Kadrun". Inilah krisis personalitas dalam proses politik. Split personality atau ambivalensi politik. Hancur moral bangsa akibat memberhalakan budaya munafik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Membangun “a Community of Excellence” di Amerika (Bagian-1)

by Imam Shamsi Ali New York FNN – Selasa (06/10). Jumat kemarin saya menyampaikan khutbah bulanan saya di Jamaica Muslim Center New York. Bagi yang belum mengenal, Jamaica Muslim Center(JMC) adalah salah satu Islamic Center terbesar di Amerika, khususnya di kota New York. Selain masjid, JMC juga mengelolah sekolah Islam full, sekolah Tahfidz, senior Center (rumah jompo), dan banyak lagi. Jamaica juga adalah Islamic Center Yang memiliki posisi di mata pejabat di kota New York. Satu-satunya masjid yang dijunjungi oleh Walikota Michael Bloomberg di saat mengakhiri tugasnya sebagai Walikota New York. Walikota Bill de Blasio telah tiga kali berkunjung ke masjid ini. Demikian juga dengan Kepolisian dan para anggota DPRD New York. Yang saya ingin sampaikan kali ini adalah ringkasan khutbah yang saya sampaikan pada Jumat lalu. Saya merasa perlu menuliskan ringkasan ini agar bermanfaat luas kepada warga Muslim, khususnya mereka yang di Amerika. “Khaer Ummah” Konteks Amerika Islam diyakini sebagai agama kehidupan. Ini dimaknai minimal dalam dua hal. Makna pertama, bahwa Islam hadir untuk mengajarkan kita hidup. Bukan sebaliknya, hadir untuk mengajarkan kematian. Justeru warna kematian ditentukan oleh warna kehidupan. Karenanya fokus Islam adalah bagaimana hidup yang baik demi kematian yang baik (husnul khatimah). Makna kedua, bahwa Islam sebagai ajaran kehidupan pastinya menyentuh seluruh aspek hidup manusia. Bukan hanya aspek individual. Apalagi lagi hanya aspek ritual kehidupan. Tetapi menyeluruh dan (komprehensif) sebagai ajaran yang syamil, kamil dan mutakamil. Dalam konteks inilah kita yakini bahwa Islam hadir mengajarkan manusia untuk mewujudkan komunitas (masyarakat). Inilah yang dikenal dengan kata “ummah”. Atau dalam konteks nation state (negara) disebut dengan “bangsa” (nation). Ummah atau bangsa itulah yang menjadi tujuan utama berdirinya Madinah. Disanalah berdiri Komunitas Muslim atau masyarakat Muslim pertama sebagai “tunas ummah” yang mengglobal di kemudian hari. Dalam upaya mewujudkan “Ummah” tersebut, Islam tidak sekedar mewujudkan Komunitas atau masyarakat biasa. Tteapi “a community of excellence” atau sebuah masyarakat yang istimewa.Yang diistilahkan dalam Al-Quran dengan “Khaer Ummah” (Umat terbaik). Al-Quran di Surah Al-Imran ayat 110 menggambarkan Umat termaksud. Al-Quran menyampaikan bahwa pengikut Muhammad SAW sebagai Umat terakhir dipilih untuk hadir mewujudkan masyarakat terbaik (Khaer Ummah) itu.Bagaimana proses pembentukan dan karakter masyarakat Istimewa atau the community of excellence itu? Dengan kata lain untuk pembentukan “Khaer ummat” hal-hal apa saja yang seharusnya dilakukan? Jawabannya ada pada ayat-ayat sebelumnya. Dimulai pada ayat 101 hingga pada ayat 109, yang kemudian tersimpulkan pada ayat 110 tentang “Khaer Ummah” atau the best nation (a nation of excellence). Pertama, Khaer Ummah atau komunitas istimewa itu adalah komunitas atau bangsa yang berkarakter ketakwaan. Taqwa adalah bentuk religiositas tertinggi. Pada ketakwaan itu menyatu nilai-nilai Islam, iman dan ihsan. Allah SWT berfirman ,“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Dan janganlah hendaknya meninggal kecuali dalam keadaan Muslim” (S. 3: 102). Dengan ketakwaan, segala sesuatu terbangun dalam Islam. Termasuk bangunan sosial masyarakat atau komunitas. Hanya dengan ketakwaan, sebuah komunitas akan mendapat ‘inayah Allah, dan pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi akan terbuka. Kata Allah, “Sekiranya penduduk sebuah negeri beriman dan bertakwa niscaya kami akan bukakan bagi mereka keberkahan lagi dan bumi” (Al-A’taf: 96). Kedua, Khaer Ummah atau komunitas istimewa (community of excellence) itu mengedepankan kebersamaan (persatuan). Persatuan itu terjadi karena ada pegangan yang sama yang dikenal dengan “tali agama Allah” (i’tishom bihablillah). Firman Allah, “Dan berpegang teguhlah kalian semua kepada tali agama Allah dan jangan berpecah belah” (Al-Imran: 103). Persatuan umat adalah modal utama dalam membangun komunitas yang istimewa itu. Persatuan yang merujuk kepada pegangan yang sama, yaitu tali agama Allah atau Al-Quran dan As-Sunnah. Bersatu dalam memegangi “tali agama Allah” itu bukan penyeragaman (unity is not uniformity). Karenanya jika ada keragaman pemahaman tentang pegangan yang satu itu, tidak seharusnya memecah belah kesatuan Umat. Karena boleh jadi memegang atau memandang dari sudut yang berbeda. Ketiga, Khaer Ummah atau komunitas istimewa itu juga harus terbangun di atas kesadaran tanggung jawab sosial (social responsibility). Tanggung ini yang dikenal dalam Islam dengan “amar ma’ruf-nahi mungkar”. Kata Allah, “Dan hendaklah segolongan di antara kalian yang mengajak kepada kebaikan (khaer) menyeru kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran. Dan mereka itulah orang-orang yang sukses” (Al-Imran: 104). Berbicara tentang amar ma’ruf dan nahi mungkar itulah yang sesungguhnya yang terekspresi dalam tanggung jawab sosial kolektif ummah. Memerangi narkoba, pelacuran, korupsi adalah bagian dari tanggung jawab sosial. Tapi jangan lupa memerangi kebodohan, kemiskinan dan juga melawan tendensi perpecahan dan ragam social vices (kejahatan sosial) juga bagian dari tanggung jawab sosial kolektif itu. Keempat, Khaer Ummah atau komunitas istimewa itu memiliki wawasan atau orientasi hidup ukhrawi. Dalam menjalani kehidupan dunia ini mereka yang menjadi bagian dari Ummah terbaik itu tidak “hilang” (tersesat) dalam rimba nafsu duniawi. Justeru dunia dijadikan lahan (mazra’ah) bagi kehidupan ukhrawinya. Allah mengatakan, “Pada hari di mana ada wajah-wajah yang bersinar dan ada wajah-wajah yang muram/kelam.” (Al-Imran: 106). bersambung. Penulis adalah Direktur Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundation.