NASIONAL

Misteri Pertemuan Prabowo-Jokowi, Manuver Siapa?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengunggah sebuah gambar dalam akun Instagramnya @prabowo setelah pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo di Statisun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019). Prabowo menegaskan, ia tak akan pernah terjadi tawar menawar terhadap cita-cita dan nilai yang dipegangnya. “Seluruh hidup saya telah saya persembahkan kepada kepentingan Bangsa dan Republik Indonesia,” ungkapnya. “Saya tidak akan pernah tawar-menawar terhadap cita-cita dan nilai yang saya pegang yaitu Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur,” kata Prabowo. Ia juga menginginkan Indonesia yang berdiri di atas kaki sendiri. Rakyat Indonesia yang menikmati hasil kekayaan dari Indonesia sendiri. “Indonesia yang utuh dari Sabang sampai Merauke, Bhinneka Tunggal Ika yang berdasarkan UUD ’45,” tulis Prabowo dalam akun Instagramnya @prabowo. Sebelumnya, Presiden Jokowi bertemu dengan Prabowo Subianto Sabtu pagi tadi di Stasiun MRT Lebak Bulus. Pertemuan ini adalah hasil kerja sama tiga tokoh penting. Mereka adalah Kepala BIN Budi Gunawan, Sekretaris Kabinet yang juga politisi PDIP Pramono Anung dan politisi Partai Gerindra Edhy Prabowo. Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman mengakui, Prabowo menyuratinya soal pertemuan dengan Jokowi. Dalam surat tersebut Prabowo menjelaskan tujuan bertemu Jokowi. Jumat (22/7/2019) sekitar pukul 23.00 WIB, utusan Prabowo antar surat ke rumahnya untuk memberitahu, besok atau lusa atau lain waktu, Prabowo akan bertemu Jokowi. “Tujuannya menjaga hubungan baik. Tidak disebutkan agendanya secara spesifik,” kata Sohibul. Ia menilai pertemuan tersebut wajar saja terjadi. Sebab, setiap partai memiliki sikap masing-masing. “Tidak setiap langkah politik elit harus dikomentari. Entar bikin gaduh. PKS tentu juga punya sikap politik sendiri yang akan ditentukan melalui Musyawarah Majelis Syuro,” kata Sohibul, Senin (15/7/2019). Sebelumnya, surat serupa juga dikirim Prabowo kepada Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais. Ia mengatakan mantan capres Prabowo sempat mengirimkan surat padanya ke kediamannya di Jogjakarta pada 12 Juli 2019. Seperti dilansir Viva.co.id, Senin (15/7/2019), surat tersebut berisi pemberitahuan Prabowo yang akan bertemu Jokowi pada Sabtu, 13 Juli 2019. “Isinya Pak Amien, kemungkinan 13 Juli akan ada pertemuan dengan Jokowi. Bagi saya Pak Amien, kepentingan lebih besar yaitu keutuhan bangsa NKRI, itu lebih saya pentingkan,” kata Amien menirukan surat Prabowo padanya, Senin, 15 Juli 2019. Ia menambahkan pada paragraf kedua surat Prabowo, dituliskan setelah pertemuan tersebut, Prabowo akan menemui Amien di Jogjakarta atau Jakarta. Dan, Selasa (16/7/2019), Amien sudah bertemu Prabowo di Jakarta. Terkait isu Rekonsiliasi, lucu baginya bila dalam bentuk bagi-bagi kursi. Justru bagi kursi bukanlah rekonsiliasi karena dianggap politisi tak lagi memiliki kekuatan moral dan tidak memegang disiplin partai. “Sekarang saya tetap, rekonsiliasi agar bangsa tak pecah saya 1.000 persen setuju, Mbah-nya setuju. Tapi, jangan sampai itu diwujudkan dengan bagi-bagi kursi, karena apa gunanya dulu bertanding ada dua paslon tapi ujung-ujungnya lantas bagi-bagi,” kata Amien. Perang Dalang Ada yang menarik dari catatan Direktur The Global Future Institute (GFI) Hendrajit. “Lepas dari sikap kritis saya terhadap langkah politik Prabowo, amati riil politiknya. Kesampingkan dulu emosi. Jadi jangan cuma retorika. Atau spekulasi,” katanya. Ibarat cerita. Kita petakan dulu para aktornya. Pertama, di pihak Jokowi, principal character-nya ada tiga. Budi Gunawan, Pramono Anung, dan Erick Tohir. Di pihak Prabowo, ada dua. Ahmad Muzani dan Edhy Prabowo. “Apa yang bisa kita simpulkan sampai di sini. Kedua kubu nggak ingin bawa banyak pemain yang bikin ribet,” lanjut Hendrajit kepada PepNews.com. Kedua, seperti dalam tulisan Hendrajit sebelumnya, dengan formasi tiga serangkai BG-Pram-Erick, dirigen politik adalah BG. Apa karena dia Kepala BIN? Bukan. BG ini hububungan aatau pemain penghubung Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla sejak 2014. Karena BG orang kepercayaan Mega dari dulu. Kemudian, Pram. Sebetulnya dia juga orang kepercayaan Mega, tapi dari sayap lain. Dia alumni ITB. Beberapa kali jadi direktur operasi beberapa perusahaan minyak. Orang dekat pengusaha minyak Arifin Panigoro. Hebatnya Pram yang asli Jawatimuran (tepatnya Kediri) ini, bisa main cantik di PDIP, jadi orang kepercayaan Mega, tapi tak dimusuhi Taufik Kiemas (alm). Biasanya kalau dekat salah satu, pasti tidak disenangi satunya. “Jadi kalau Pram jadi Sekretaris Kabinet Jokowi, bisa kebayang kan pengaruhnya kayak apa,” ungkap Hendrajit. Bagaimana Erick? Tentu saja dia dilibatkan dalam pertemuan MRT bukan karena Ketua TKN Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Tapi karena Erick itu pengusaha dari jaringan JK. Dan bersama Sandi, sama-sama termasuk Astra Connection. Apapun ceritanya dulu, Erick dan Sandi pernah dekat Edward Suryajaya. “Eng ing eng. Mulai nyambung ye?” lanjutnya. Dalam formasi Prabowo, ada Muzani, orang setia Prabowo dari jaman masih susah plus Edhy Prabowo. Dari sini saja bisa tergambar, Prabowo ingin pegang kendali penuh. Tanpa direcoki pemain-pemain Gerindra lainnya yang punya hobi improvisasi. Setelah memotret para aktor. Apa skema dan skenario dari perundingan para aktor tersebut? Okelah anggap saja polibiro lima memang nggak diikutkan dengan berbagai alasan. Tapi apa agenda yang mau diseting Mega, JK, dan Prabowo? Inilah pertanyaan krusial di balik kemarahan dan kekecewaan publik pendukung Prabowo. Sebab kalau melihat konstruksi para aktor yang manggung di MRT, kelihatan sekali sarat kepentingan ekonomi bisnis para konglomerat. Semua itu terkait migas, tambang batubara, dan otomotif. Amerika Serikat, Jepang, China, pastinya ikut nimbrung juga. JK misalnya, dekat dengan Huwa Huwei. Erick dan Sandi dekat Astra dan Jepang. “Melalui keduanya, kalau Ginanjar Kartasasmita dan Jepang deal, Sandi dan Erick yang jadi eksekutornya di tingkat teknis,” ungkap Hendrajit. Lantas bagaimana dengan gang of five. AM Hendropriyono meski tak ikutan acara MRT, dia sekutu Ginanjar saat 1998 rame-rame mundur dari Kabinet Suharto. Luhut Binsar Panjaitan juga sama. Dia dan Arifin sudah Cs-an dari sejak KAMI-KAPPI 1966 waktu di Bandung. Arifin lebih senior. Apalagi ayahnya Luhut pernah di Stanvac, cikal bakal Medco miliknya Arifin. Susilo Bambang Yudhoyono juga seirama sama Hendro dan Luhut. Cuma kemudian SBY mampu membuat jaringan dan komunitas sendiri. Sehingga Hendro dan Luhut tidak bisa mengatur junior satu ini seenaknya. Dan Moeldoko walau pernah jadi Sekpri Hendro, lebih solid hubungannnya dengan SBY. Makanya, waktu masuk jadi Kepala KSP, Pram dan Pratikno, apalagi Teten Masduki, sempat kelimpungan. “Tapi sekarang kabarnya semua sudah happy. Dapat bagian yang sama,” ujar Hendrajit. Well, inilah medan tempur yang harus dihadapi Prabowo dalam perang diplomasi pasca pertemuan MRT? Prabowo yang mampu mengubah sistem atau malah terserap dan diubah oleh sistem? “Sekarang ngerti sendiri dong kalau emak-emak militan pada meradang?” lanjut Hendrajit. Hanya sampai di sinikah? Ternyata tidak juga. Coba saja petakan lagi siapa yang hadir saat Jokowi bertemu Prabowo. Prabowo bertemu Jokowi tersebut, bukan akhir dari Pilpres 2019. Tapi, ini adalah awal dari sebuah cerita. Pertemuan Teuku Umar, Cendana, dan Hambalang. Kisahnya makin berbelit dan penuh kejutan buat SBY, Luhut, dan Hendro, serta CSIS. Mengapa Luhut yang biasanya selalu “mengawal” Jokowi tidak tampak batang hidungnya? Kalau Hendro dan SBY jelas tidak pernah secara atraktif menunjukkan berada di belakang Jokowi. SBY adalah primus inter pares diantara ketiganya. Saya yakin, saat ini yang kebingungan adalah SBY Cs dan CSIS. Kubu mereka selama ini berharap Prabowo tak menemui Jokowi, sehingga lebih mudah memainkan Jokowi. Inilah perangnya Ki Dalang di belakang Jokowi maupun Prabowo. Manuver MRT Lebak Bulus ini insya’ Allah akan berefek positif, paling cepat sepekan ke depan! ***

Pilpres = Sepak Bola Gajah?

Oleh Tjahja Gunawan (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam pertemuan Prabowo Subianto dengan Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7). Peristiwa seperti ini juga terjadi lima tahun lalu saat Pilpres 2014. Sama seperti yang terjadi sekarang, lima tahun lalu pun sengketa Pilpres sempat dibawa ke MK. Bahkan ketika itu Prabowo Subianto sempat datang dan memberikan "ceramah" di depan sidang MK. Dan setelah dinyatakan kalah oleh MK, Prabowo akhirnya mau menerima kunjungan Jokowi di Jl Kartanegara Jakarta. Pertemuan politik tersebut sekaligus mengakhiri ketegangan politik yang terjadi antara pendukung dari kedua belah pihak. Demikian pula para elite politik yang sebelumnya sempat mengeras dan tegang selama pemilu, pasca pertemuan politik Prabowo-Jokowi, kembali cair. Ketika itu santer mengemuka isu akan adanya upaya penggagalan pelantikan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, pertemuan politik antara kedua "tokoh politik" tersebut segera dirancang dan diatur sebelum acara pelantikan Presiden tanggal 20 Oktober 2014. Namun meskipun waktu itu Jokowi-Prabowo sudah bertemu dan diantara para elite politik yang berseteru sudah kembali cair dan berdamai, namun hubungan Prabowo dengan media massa masih ada ganjalan. Pada Pilpres 2014, Prabowo Subianto merasa diperlakukan tidak fair oleh media massa khususnya media mainstream. Waktu itu, Prabowo dibombardir dengan berbagai pemberitaan menyangkut HAM pada kerusuhan sosial bulan Mei 1998 serta penculikan aktivis mahasiswa. Pemihakan media massa kepada kubu Jokowi pada waktu itu sangat kentara, bahkan koran berbahasa Inggris, The Jakarta Post sampai membuat tajuk rencana berisi endorsmen khusus terhadap Jokowi. Pada saat media massa berpihak kepada Jokowi, polarisasi dalam masyarakat justru semakin tajam. Inilah benih terjadinya pembelahan dalam kehidupan masyarakat. Polarisasi ini semakin tajam ketika ada kasus penistaan Al Qur'an yang dilakukan Gubernur DKI waktu itu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada tahun 2016. Kembali kepada pertemuan Prabowo-Jokowi. Drama politik lima tahun lalu, kembali terjadi sekarang pasca Pilpres 2019. Skenarionya nyaris sama, lima tahun lalu Jokowi yang mendatangi rumah Prabowo. Kali ini mereka bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus. Alih-alih hendak menyatukan masyarakat yang sudah terbelah dan ingin menghilangkan istilah cebong dan kampret, pertemuan Jokowi-Prabowo di Stasiun MRT justru makin mempertajam polarisasi dalam masyarakat. Bukan hanya antara pendukung Jokowi dengan Prabowo tetapi diantara pendukung Prabowo pun terjadi perbedaan sikap yang tajam. Yakni antara mereka yang setuju dan tidak setuju dengan pertemuan Jokowi-Prabowo. Lalu masing-masing kubu pun membuat meme tentang MRT. Para pendukung kubu Jokowi tiba-tiba menyanjung Prabowo setinggi langit sambil memelesetkan MRT dengan Menyatukan Rakyat yang Terbelah (MRT). Sebaliknya para pendukung Prabowo yang tidak setuju dengan pertemuan tersebut mengartikan MRT sebagai Membuat Rakyat Terbelah (MRT). Jadi sebenarnya drama dan sandiwara politik kali ini adalah pengulangan peristiwa lima tahun lalu. Skenario dan pelakunya sama, yakni Jokowi dan Prabowo. Cuma beda pendampingnya saja, tahun 2014 Jokowi didampingi Jusuf Kalla sedangkan Prabowo didampingi Hatta Rajasa. Kini Jokowi berpasangan dengan Ma'ruf Amin sementara Prabowo menggandeng Sandiaga Uno. Tahun 2014, Prabowo tidak didukung secara massif oleh kelompok emak-emak militan dan umat Islam serta para ulama garis lurus. Bahkan dalam Pilpres 2019, Prabowo mendapat dukungan bahkan bantuan dana secara spontan dari para relawan dalam berbagai kampanyenya. Namun yang menyedihkan, dalam Pilpres kali ini, banyak korban jiwa berjatuhan. Petugas KPPS Pemilu yang meninggal dalam perhelatan demokrasi kali ini tidak kurang dari 700 orang. Yang memprihatinkan, pemerintah sama sekali tidak peduli dengan kejadian ini. Tidak ada penyelidikan dan investigasi lebih lanjut atas meninggalnya petugas KPPS tersebut. Persoalan seolah selesai begitu saja dengan pernyataan Menkes bahwa mereka meninggal akibat kelelahan. Tidak hanya itu, dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019, juga banyak menelan korban jiwa dan orang-orang yang hilang. Dalam pelaksanaan Pilpres lima tahun lalu, juga ada kecurangan namun tidak sampai menelan korban jiwa yang banyak seperti sekarang. Setelah itu semua terjadi, tiba-tiba sekarang Prabowo bertemu Jokowi. Ah mungkin saya saja yang lebay menggunakan diksi tiba-tiba ada pertemuan itu. Sangat boleh jadi pertemuan kedua "tokoh" itupun sudah dirancang dengan rapih, sejak mereka sama-sama maju mendaftarkan diri ke KPU, bulan Agustus 2018 lalu. Ibarat sepak bola gajah, pemain dari dua kubu seolah sengit bermain di lapangan, demikian pula para penonton fanatiknya luar biasa memberikan dukungan yang kuat kepada timnya masing-masing. Namun sayang, penyelenggara pertandingan sepak bola sebenarnya sudah mengatur hasil akhir pertandingan ini. Penonton tentu saja kecewa. Patut diduga ajang Pilpres 2019 ini juga sama dengan pertandingan Sepak Bola Gajah. Pemenangnya sebenarnya sudah ditentukan. Meski demikian, masih saja ada kalangan yang penasaran sambil bertanya, sebenarnya apa sih alasan Prabowo menemui Jokowi ? Apakah karena alasan fulus, jabatan atau yang lebih bersifat personal ? Apakah Prabowo sudah tidak mempedulikan lagi besarnya pengorbanan masyarakat selama ini ? Bukan hanya tenaga dan harta tetapi juga nyawa mereka loh !. Begitulah pertanyaan masyarakat terutama dari kalangan emak-emak militan. Rupanya jangankan masyarakat, Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais pun mengaku tak mengetahui pertemuan antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo. "Sama sekali belum tahu. Makanya itu, mengapa kok tiba-tiba nyelonong?" kata Amien, kepada wartawan di kediamannya di Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta sebagaimana dikutip portal berita Detik. Selanjutnya Amien berjanji akan memberikan pernyataan setelah mendengar penjelasan langsung dari Prabowo. Partai koalisi Adil Makmur lainnya seperti PKS juga tidak mengetahui pertemuan Jokowi-Prabowo. Yang jelas, pertemuan itu sengaja diatur sehari sebelum acara pesta kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin, di Sentul City Bogor, Minggu (14/7). Tentu masyarakat yang cinta akan kebenaran dan keadilan, tidak bisa terus menerus berkutat dalam permainan kotor para elite politik ini. Kita harus bergerak maju ke depan untuk mengatur strategi perjuangan selanjutnya demi menyongsong kehidupan yang lebih baik. Wallahu a'lam.

Dilema Prabowo

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Andre Rosiade melepas berita tentang rencana pertemuan dua tokoh penting negeri ini: Prabowo Subianto dan Joko Widodo. “Juli ini,” ujar anggota Badan Komunikasi Dewan Pimpinan Pusat Gerindra ini, Rabu (3/7) kemarin, menyebut kapan pertemuan akan dilakukan. Berita ini sangat bisa dipercaya karena dari sumber yang kredibel: Gerindra. Tidak ada yang meragukan itu. Jika begitu, pertemuan tokoh ini berarti tidak lama lagi. Pertemuan ini memang bukan perkara sederhana. Pada satu sisi, pertemuan para capres kalah dan capres yang menang dalam pilpres 2019 ini diharapkan bisa mendinginkan tensi politik antarpendukung keduanya. Di sisi lain, bagi Prabowo pertemuan itu adalah pertaruhan bagi kredibilitasnya. Dari sinilah akan tergambar siapa sejatinya Prabowo: Pecundang atau bapak bangsa? Bagaimana pun setidaknya bakal ada dua sikap kelompok besar yang mengiringi pertemuan ini nantinya, yaitu kelompok yang menyambut dengan baik dan senang hati. Lalu, ada kelompok yang kecewa berat dan tidak lagi peduli dengan kedua tokoh tersebut. Pertemuan yang diharapkan bisa menurunkan tensi politik antarpendukung ini boleh jadi akan mengorbankan Prabowo. Pertemuan ini bisa melahirkan kekuatan baru anti-Jokowi yang tidak lagi menganggap penting sosok Prabowo. Kalimat yang sudah viral sebelumnya adalah, “tidak sedang membela Prabowo, tapi menegakkan kebenaran” akan berlanjut lebih masif lagi. Nantinya bisa jadi akan ada kalimat senada yang tetap mengarah pada sikap anti-Jokowi. Kelompok ini kekeuh menolak hasil pilpres curang. Jokowi, bagi kelompok ini, dianggap presiden yang tidak legitimate yang dilahirkan dari pemilu curang. Mereka yang berpendapat demikian tidak berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai keputusan MK jauh dari rasa keadilan. Boleh jadi kelompok ini bukan mayoritas pendukung Prabowo, namun mereka adalah pembenci Jokowi yang sangat militan. Setelah Gagal Publik sesungguhnya sudah menduga pertemuan itu akan terjadi. Apalagi sebelumnya sudah beredar kabar ada upaya-upaya serius dari Jokowi dan kelompoknya untuk merangkul Prabowo. Menteri Koordinator Maritim, Luhut Binsar Panjaitan, sudah berusaha bertemu Prabowo walau tak membuahkan hasil. Jangankan berbicara, bertemu saja tidak bisa. Lalu belakangan viral, Prabowo bakal diberi jabatan terhormat. Sandiaga Salahudin Uno masuk dalam kabinet. Calon wakil presiden ini dihargai sebagai Ketua Badan Koordinasi Penanam Modal. Lebih jauh lagi, tokoh-tokoh di belakang Prabowo-Sandi bakal mendapat jatah menteri, duta besar, sampai kursi direksi dan komisaris BUMN. Sebelumnya, Jokowi juga sudah menggoda pimpinan partai Koalisi Adil Makmur. Ia, mengundang Agus Harimukti Yudhoyono ke istana sesaat setelah dirinya dinyatakan menang oleh hitung cepat sejumlah lembaga survey. Hasilnya, putra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini memberi hadiah ucapan selamat atas kemenangan pasangan 01 pasca putusan MK. Padahal Prabowo-Sandi sampai detik itu belum menyampaikan hal yang sama. Tidak cuma itu. Kubu Jokowi juga membocorkan pertemuan Jokowi dengan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan atau Zulhas yang diwarnai permintaan Zulhas untuk jabatan Ketua MPR. Beredar kabar juga telah terjadi pertemuan antara Kepala Badan Intelijen Negara dengan Prabowo di Bali, untuk membuka jalan pertemuan Jokowo dan Prabowo. Beberapa kabar yang beredar terkait upaya mempertemukan Jokowi-Prabowo ada yang akurat dan ada juga yang diragukan kebenarannya. Namun, meragukan kabar dari Gerindra sama saja tidak mempercapai semua informasi. Kalau sudah begitu, ya tunggu saja sampai ada siaran langsung. Pertemuan Prabowo dan Jokowi Juli ini memang baru sebatas rencana dan bisa saja batal. Kini Prabowo tentu masih menimbang-nimbang perlu tidaknya bertemu dengan seterunya dalam dua kali pilpres itu. Jika pun perlu, Prabowo tentu akan menimbang bagaimana caranya agar pisowanan penting ini mencapai hasil positif bagi bangsa dan negara, tanpa mengecewakan pendukungnya.

MER-C Ancam Pidanakan KPU ke Mahkamah Internasional

JAKARTA, FNN - Tim mitigasi dari Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) berencama akan melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Mahkamah Pidana Internasional UNHRC (United Nation Human Right Council) terkait kematian ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada Pemilu Raya 2019. "Laporan akan dihentikan jika KPU serius menangani kasus kematian ratusan petugas KPPS. Proses penanganan kasus meninggalnya KPPS harus ditangani lebih fokus. Tujuannya, agar tidak ada lagi korban lagi,” ujar Presidium MER-C Jose Rizal di Jakarta, Rabu (15/5/2019) kemarin. Jose memuturkan, saat ini pihaknya telah membentuk tim investigasi untuk melakukan cost of dead (COD) guna melakukan penyelidikan kematian ratusan petugas KPPS. Dari hasil penyelidikan akan dijadikan sebagai bahan laporan ke Mahkamah Pidana Internasional atau UNHRC. Hingga saat ini pihaknya terus melakukan pengumpulan data terkait kematian lebih dari 500 petugas KPPS pada Pemilu Raya 2019. Sebelumnya MER-C juga telah melakukan pertemuan dengan KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan pihak terkait lainnya untuk mengungkap kematian ratusan petugas KPPS tersebut. Jose mengaku, saat ini memang banyak pertanyaan kepada pihaknya terkait kematian ratusan petugas KPPS. Mereka menanyakan apa bukti dari penyebab kematian dan sakit petugas KPPS. Sehingga menuntut KPU dan Bawaslu bertanggungjawab atas kematian ratusan petugas KPPS. “Banyak pertanyaan kepada saya. Dok, apakah sudah punya bukti mengenai penyebab kematian dan sakit petugas KPPS? Apakah ini tidak terlalu dini untuk melakukan langkah penuntutan terutama kepada KPU,” jelasnya. Jose menerangkan, pembentukan COD memerlukan waktu yang tidak sebentar. Karena pihaknya harus melakukan pengecekan laboratorium hingga outopsi verbal yang melibatkan pihak keluarga korban dan membaca hasil rekam medis. “Ini memerlukan izin dari keluarga. Kemudian kita juga melakukan post mortem dengan pemeriksaan jenazah luar dan dalam. Ini pun memerlukan izin dari keluarga saja,” ujarnya. Selanjutnya tim juga melakukan outopsi visum et repertum yang juga membutuhkan izin dari keluarga dan kepolisian. Proses membutuhkan izin merupakan langkah yang paling sulit. Karena biasanya tidak mendapatkan izin dari pihak kepolisian. Oleh karena itu pihaknya hanya melakukan post mortem dan outopsi verbal. Namun metode tersebut cukup valid dari hasil autopsi. "Kami sudah buktikan pada penyelidikan pada kasus terbunuhnya Faturrohman Al Ghozi di Pilipina,” ungkapnya. Langkah MER-C, menurut Jose lebih fokus pada korban KPPS yang terus berjatuhan. Kemudian, juga terdahap KPPS yang sakit dan diperkirakan potensial akan meninggal dunia. Data dari media menyebutkan lebih dari 600 KPPS telah meninggal dunia, sementara data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) lebih dari 10 ribu KPPS tengah sakit. “Yang sakit ini potensial untuk meninggal dunia,” tegasnya. Lebih jauh Jose menuturkan, dalam bekerja tim akan mengambil sampel dari korban. Sampel itu berupa darah, rambut, muntahan, kuku, urine dan feses dan semua yang berhubungan dengan ekskresi di badan. Tentu saja, pengambilan sampel tersebut dikemudian hari tidak bisa dipatahkan oleh ahli hukum. “Kita serius, termasuk pada proses outopsi. Bisa saja proses ini lebih dari 6 bulan. Kita tidak targetkan waktu, apalagi kesulitan kami belum ada korban yang mau menjadi sempel untuk outopsi,” bebernya. Ia berharap upaya yang dilakukannya bisa menemukan sampel mayat yang baru saja meninggal. Karena, tingkat akurasi diagnosanya lebih tinggi. Jose menolak keras teori kematian KPPS diduga oleh penyakit jantung. Karena, tidak sedikit kematian KPPS tersebut setelah mendapatkan perawatan. “Kalau penyakit jantung, serangan bisa meninggal di tempat. Ini semua harus ditemukan dengan COD, jangan hanya berteori hipotesa saja,” ujarnya. Dari data jumlah kematian KPPS, ujar Jose, ada pembiaran yang dilakukan KPU atau dalam hal ini pemerintah. Sejatinya pemerintah harus mencegah terus berjatuhannya korban dari KPPS. “Ini pembiaran. Korban terus berjatuhan dengan fungsi waktu dan tidak ada langkah konkrit pencegahan atau emergency dari pemerintah. Dan ini kemudian yang kami persoalkan,” terangnya. Presidium MER-C Hadiki Habib juga mengatakan, kasus meninggalnya KPPS pada Pemilu 2019 lalu sangat tinggi. Dan itu merupakan bencana. Tentu saja, menurutny harus ada kesiapsiagaan pada pelaksanaan Pemilu mendatang. “Ini yang harus mendapat respon dari pemerintah. Ini soal kemanusian,” katanya. (rob)

KSPI Buka Pos Pengaduan THR Untuk Para Buruh

JAKARTA, FNN - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyerukan kepada para pengusaha untuk membayarkan THR kepada para buruh sesuai dengan Permenaker No. 06 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan yang besarnya minimal 1 bulan upah. Bagi pekerja yang memiliki masa kerja di bawah 1 tahun, THR nya dibayarkan proporsional sesuai jumlah bulan bekerja. Contoh orang yang baru bekerja 3 bulan, maka THR nya dibayar 3/12 kali upah yang diterima per bulan. KSPI membuka Posko Pengaduan THR di kantor-kantor Cabang KSPI/FSPMI di Jakarta, Bogor, Tangerang, Serang, Cilegon, Bekasi, Depok, Karawang, Purwakarta, Bandung, Cimahi, Cianjur, Semarang, Jepara, Kendal, Demak, Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo, Pasuran, Medan, Deli Serdang, Labuhan Batu, Aceh, Batam, Bintan, Bengkulu, Makassar, Balikpapan, dan kota-kota industri lainnya. Dalam kaitan dengan itu, KSPI mendesak Menteri Ketenagakerjaan untuk menindak tegas terhadap pengusaha yang tidak membayar THR. “Bila perlu ditingkatkan menjadi tindakan pidana bagi pengusaha yang tidak membayar THR karena tidak memehuni hak buruh dalam bentuk nominal rupiah,” kata Iqbal dalam siaran persnya, Jumat (10/5/2019). Iqbal menghimbau buruh yang tidak menerima THR dapat melaporkan hal ini sebagai dugaan tindak pidana ke Desk Tenaga Kerja Polda Metro Jaya yang akan diproses sesuai mekanisme hukum yang berlaku. (rob)

KSPI Desak Pemerintah dan DPR Bentuk TGPF Selidiki Wafatnya 554 KPPS

JAKARTA, FNN - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal meminta Pemerintah dan DPR RI untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta atas meninggalnya 554 orang yang bertugas saat pemungutan dan penghitungan suara dalam penyelenggarakan Pilpres dan Pileg 2019. Menurut Iqbal, hal ini merupakan tragedi kemanusiaan dan hak asasi manusia yang harus disuarakan dengan keras di Negara yang menganut sistem demokrasi. Sebagai tokoh buruh dunia yang duduk di badan PBB yaitu ILO yang juga sebagai Presiden KSPI, Said Iqbal berkepentingan dan ikut peduli untuk menyuarakan permasalahan ini. Karena itulah, ia mendesak agar Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kematian KPPS segera dibentuk. Said Iqbal menyampaikan 3 hal yang mendasari pentingnya dibentuk TGPF: Pertama, jumlah orang yang meninggal banyak sekali. Dimana KPU mengumumkan jumlahnya mencapai 554 orang. Kejadian ini adalah tragedi kemanusiaan, karena sebelumnya tidak pernah terjadi hal seperti ini. Di Negara-negara Eropa, misalnya di Brussel dan Paris, ketika ada yang meninggal puluhan orang saja masyarakat simpil dan buruh sudah meneriakkan #SaveBrussel dan #SaveParis. “Dengan jumlah kematian yang mencapai 554 orang, wajar jika gerakan buruh dan masyarakat sipil lainnya menyerukan #SaveIndoensia,” kata Iqbal dalam siaran persnya, Jumat (10/5/2019). Kedua, mereka yang meninggal meluas dan terjadi di berbagai wilayah di Republik Indonesia. Sehingga perlu dilakukan penyelidikan yang independen, ada apa yang sesungguhnya terjadi. Ketiga, jangan hanya sekedar menyederhanakan masalah dengan mengatakan mereka meninggal dunia karena faktor kelelahan. Oleh karena itu, perlu adanya visum et repertum dan autopsi dari lembaga yang berkompeten. Said Iqbal mendesak agar TGPF dibentuk dalam minggu ini, supaya hasil autopsi dan visum et repertum tidak terlalu lama didapat, sehingga akan lebih mudah menganalisa faktor kematian tersebut. Iqbal menyarankan anggota TGPF untuk Kematian KPPS terdiri dari unsur Ikatan Dokter Indonesia (IDI), unsur Komnas HAM, unsur Bawaslu, unsur Akademisi, unsur Masyarakat Sipil atau serikat buruh. “TGPF tidak melibatkan lembaga Negara, partai politik, dan tim pemenangan Capres. Sehingga akan bebas dari kepentingan dan memberikan dampak positif bagi kemaslahatan bangsa dan Negara,” tegasnya. Bilamana usulan ini tidak ditanggapi, KSPI akan menyerukan aksi besar-besaran di seluruh wilayah Indonesia oleh serikat buruh dalam untuk mendesak pemerintah dan DPR agar mengusut tuntas kematian lebih dari setengah juta orang petugas pemilu ini. “Ini bukan persoalan siapa Capres yang akan menang. Ini lebih pada tragedi kemanusiaan,” tegasnya. (rob)

Komunitas Dokter Minta Kematian 554 KPPS Diselidiki

JAKARTA, FNN - Puluhan dokter spesialis dari berbagai institusi kesehatan yang tergabung dalam Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa meminta agar pihak terkait untuk mengautopsi jenazah petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang meninggal dunia selama proses Pemilu Raya 2019. Data sementara secara keseluruhan petugas pemilu yang tewas mencapai 554 orang. Sementara petugas yang sakit 3.788 orang. "Kematian karena kelelahan itu pasti ada penyebab-penyebab lain. Itu harus diperiksa tim gabungan pencari fakta. Secara pribadi saya sudah melaporkan ini ke Bareskrim. Laporan ke Bareskrim untuk mengungkap penyebab kematian petugas KPPS," kata dr Zulkifli, satu di antara anggota Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa di Jakarta, Kamis (9/5/2019). Zulkifli menegaskan, dengan adanya 544 petugas KPPS yang meninggal dunia secara tidak wajar maka sudah tepat pihak terkait untuk mengautopsi salah satu jenazah petugas KPPS. Pilih satu jenazah yang potensi ketidakwajaran saat meninggalnya tinggi. Autopsi dilakukan untuk mengetahui penyebab kematiannya sehingga tidak memunculkan praduga negatif di masyarakat. "Kalau secara kedokteran tidak ada istilah kematian akibat kelelahan. Oleh karena itu Menteri Kesehatan harus ngomong karena itu akan lebih bagus," jelasnya. Zulkifli memaparkan, pihaknya curiga atas kematian petugas KPPS, karena jumlahnya yang sangat besar yakni mencapai 544 orang. Kejadian ini tidak pernah terjadi di dunia manapun saat gelar pemilu ada petugasnya yang meninggal dunia mencapai ratusan. Pihaknya meminta pihak terkait untuk mengusut kematian petugas KPPS karena kasus tersebut bisa delik aduan. Sehingga tanpa ada laporan pun harusnya sudah bisa mengusutnya. "Ini bukan delik aduan karena mati satupun harus dikejar apa penyebabnya. Karena mereka sudah tahu. Makanya saya sebagai dokter merasa terpanggil untuk mengungkap kasus ini," tegasnya. Lebih lanjut Zulkifli mengatakan, pihaknya harus menggelar konpers juga agar aktivitasnya tidak digembosi. Karena saat ini ada upaya yang menolak adanya autopsi terhadap petugas KPPS yang meninggal dunia. Padahal sesuai standar operasional prosedur (SOP) ketika ada kematian yang mencurigakan maka harus dilakukan autopsi untuk memastikan penyebab kematiannya. "Dengan banyaknya dokter berkumpul menyuarakan untuk autopsi maka. mereka akan bereaksi," tegasnya Bencana Kesehatan Nasional Sementara itu dr Bakta mengatakan, dengan banyak petugas KPPS, Panwaslu, dan polisi yang meninggal dunia selama proses pemilu maka bisa dianggap kejadian ini sebagai bencana kesehatan nasional. “Sehubungan kejadian banyaknya korban jatuh, baik sakit maupun meninggal dunia yang menimpa petugas KPPS, pengawas pemilu, dan anggota Polri selama proses penghitungan suara dalam Pemilu 2019 ini, maka Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa menyatakan ini sebagai ‘Bencana Kesehatan Nasional’,” tutur Bakta. Dengan banyaknya korban yang meninggal dunia di Pemilu 2019, sambung Bakta, selain meminta autopsi terhadap jenazah petugas KPPS, pihaknya juga menuntut pemerintah menyatakan hari berkabung nasional dengan memasang bendera Merah Putih setengah tiang sampai dengan 22 Mei 2019. Selain itu enuntut pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta yang independen. "Kami juga mendorong Komnas HAM untuk meneliti adanya dugaan pelanggaran HAM dan membawa kasus tersebut ke forum internasional (Mahkamah International dan Dewan HAM PBB) serta menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab penuh kepada semua korban dengan memberikan santunan yang sesuai undang-undang," tegasnya. Sementara itu Elza Syarief, pengacara Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa mengatakan, yang dilakukan para dokter sebagai bentuk kepedulian bersama antarelemen masyarakat. Oleh karena itu pihaknya melakukan sesuatu yang terbaik untuk bangsa dan rakyat Indonesia agar kejadian serupa tidak berulang lagi. Apalagi jumlah petugas KPPS yang meninggal dunia sangat banyak. "Penyelamatan nyawa-nyawa manusia yang bisa kita cegah semaksimal mungkin,” ujarnya. Elza mengungkapkan ada 42 orang dokter yang bergabung dalam pernyataan sikap ini. Menurutnya, para dokter ini merupakan orang-orang yang memiliki empati, khususnya kepada para keluarga korban. “Kita adalah sesama manusia yang memiliki empati, simpati kepada keluarga yang ditinggalkan, turut berduka cita. Jangan membiarkan hal ini,” jelasnya. Elza menyebut, nyawa dari petugas KPPS tak sebanding dengan uang dengan uang duka yang diterima keluarganya. "Bukan semudah itu nyawa manusia. Karena nyawa manusia itu yang tertinggi. Karena bisa berhari-hari, bisa berbulan-bulan ingat masa hidupnya," paparnya. Elza berharap agar pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa mencari solusi dari kasus meninggalnya ratusan petugas KPPS. Oleh karena itu KPU jangan hanya mengejar target pada tanggal 22 Mei 2019 sukses menyampaikan hasil rekapitulasi suara Pemilu 2019. Artinya, lanjut Elza, sistem penghitungan yang terkesan memaksakan ini harus diperbaiki. "Bukan dihentikan. Ya dihentikan sementara untuk perbaiki manajemen ini. Habis itu lanjut lagi tidak apa-apa. Kan itu semuanya tercatat. Semuanya ada C1, ada catatan-catatan, ada di IT. Kan enggak mungkin hilang kan. Tapi kalau manusia, bisa hilangkan nyawanya," jelasnya. Elza berkeinginan untuk melakukan investigasi dengan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait. "Pertama, kita ingin melakukan investigasi dengan tim pencari fakta. Apa sebabnya, kita melakukan otopsi, forensik, dengan kerja sama pihak kepolisian," ujarnya. (rob)

Prabowo,"Saya Tidak Akan Menyerah"

Sentul (Rabu 01/05/2019) - Calon Presiden Republik Indonesia Nomor urut 02 Prabowo Subianto menegaskan dirinya tidak akan menyerah menghadapi kecurangan dalam penghitungan Pilpres 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini disampaikan dalam acara Ijtima Ulama ke-3 di Hotel Lor In Sentul, Bogor, Jawa Barat. Prabowo menegaskan bahwa dirinya sama sekali tidak ada ambisi pribadi. Ia hanya menjadi alat rakyat untuk mewujudkan menegakkan hukum dan keadilan serta kesejahteraan di Indonesia. "Saya tidak ada ambisi pribadi untuk jabatan. Demi Allah, saya dan Sandi hanya alat untuk meraih kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia," katanya. Prabowo akan selalu berada di barisan rakyat. "Selama rakyat menghendaki, saya akan terus berjuang. Saya tidak akan menyerah," tegasnya. (Wid) Adapun keputusan dan rekomendasi Ijtima Ulama III antara lain: 1. Menyimpulkan bahwa telah terjadi berbagai kecurangan dan kejahatan yang bersifat tersitruktur, sistematis dan masif dalam proses pemilu 2019. 2. Mendorong dan meminta kepada BPN PAS untuk mengajukan keberatan melalui mekanisme legal prosedural tentang terjadinya berbagai kecurangan dan kejahatan yang terstruktur, sistematis dan masif dalam proses pilpres 2019. 3. Mendesak Bawaslu dan KPU untuk memutuskan pembatalan/diskualifikasi paslon capres cawapres 01. 4. Mengajak umat dan seluruh anak bangsa untuk mengawal dan mendampingi perjuangan penegakan hukum dengan cara syar'i dan legal konstitusional dalam melawan kecurangan dan kejahatan serta ketidakadilan termasuk perjuangan/diskualifikasi paslon capres cawapres 01 yang melakukan kecurangan dan kejahatan dalam pilpres 2019. 5. Memutuskan bahwa perjuangan melawan kecurangan dan kejahatan serta ketidakadilan adalah bentuk amar makruf nahi munkar, konstitusional dan sah secara hukum demi menjaga keutuhan NKRI dan kedaulatan rakyat.

BPN IT Volunteers to Report to Bawaslu Incorrect KPU Real Count Data

Jakarta, FNN — IT Volunteer Group on the National Committee to Elect Prabowo-Sandi (BPN) will submit a report to The Election Supervisory Body (Bawaslu) and the General Elections Commission (KPU) that notes thousands of incorrect data entries into KPU’s vote counting platform. The report is expected to push Bawaslu and other responsible authorities to review and take concrete steps to address the matter. "At first, we planned to submit the report on Wednesday, May 1, but because it will be in conjunction with labor day, we will proceed with the submission on Thursday, May 2 to Bawaslu and KPU. We will be waiting for our team to finish the manual audit of the data, which is expected to be done tomorrow," BPN IT Volunteer Group Coordinator Mustofa Nahrawardaya said Tuesday. BPN’s IT volunteer group found 9,440 incorrect data entry on KPU’s real count website during the period of April 27 to Apr. 29, 2019. The team observed data from 172,174 polling stations out of 404,290, which is 42% of the total polling stations across Indonesia. Out of all the data observed, 6 percent of them were incorrect. "Everyday, we found more than one thousand incorrect data entry. These mistakes include inaccurate vote difference, numbers of total voters that exceed those subjected in the Final Voters List (DPT), and invalid ballots that don't add up to the total number of voters,” Nahrawardaya said Monday during a press conference at the Prabowo-Sandi Media Center. The findings were consistent over the three-day inspection, and no changes were made for such inaccuracies. Most mistakes were found in West Java (764 polling stations, 8% of total mistakes), Central Java (706 polling stations, 7.4% of total mistakes) and East Java (385 polling stations, 4% of total mistakes). "We also found indications of an explicit motive. In certain regions, the data would favor the 01 candidate, and subsequently disadvantage the 02 candidate. There is a constant motive... this is suspicious," Nahrawardaya said. BPN Spokespersons Coordinator Dahnil Anzar Simanjuntak said that KPU's data entry inaccuracies is a very serious matter. "Seeing how high the percentage of these mistakes is, we urgently urge arrangement of a fact finding team for electoral fraud, and to perform forensic auditing on KPU's real count platform,” Simanjuntak added during the Monday conference. Simanjuntak added that he strongly demands such actions to be executed in the hopes of ensuring high-quality democracy and eliminating doubts on the system and on the technicalities surrounding post-election activities. BPN’s IT Volunteer group will continue to execute the manual audit. This is so the public can receive daily updates on the data. From the data collected, the public can have a clear, factual, data-based illustration of the suspected structural, systematic, and massive fraud. "We will submit a daily report [on the findings] to KPU and Bawaslu even if they don't request for it," Mustofa said.

Jokowi Dipastikan Kalah dalam Pilpres 2019

Jakarta, FNN - Masa Pilpres 2019 sudah lewat dan kini hanya tinggal menunggu hasil penghitungan suara dilakukan oleh KPU. Di masa penantian ini, sejumlah kabar berseliweran. Salah satunya seperti yang diunggah akun Facebook Baihaqi Rahmadani. Ia mengunggah sebuah video pada Senin, 22 April 2019. Isi video tersebut mengklaim, tentang pasangan capres cawapres 01 Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin dipastikan kalah pada kontestasi Pilpres 2019. "Jokowi di pastikan kalah menurut UUD 1945 pasal 6A ayat 3 tolong viral kan ya teman" tulis Baihaqi Rahmadani menyertai unggahan videonya. Unggahan video tersebut sudah dilihat 36 ribu kali dan mendapat tanda suka 316. Unggahan itu juga dibagikan sebanyak 3.520 kali. Ada 109 komentar di dalamnya. Fakta Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kominfo sudah angkat bicara mengenai berita tersebut. Bahkan sebelum akun Facebook bernama Baihaqi Rahmadani menyebarkan melalui sosial medianya. Kominfo menggunggah artikel yang berjudul [DISINFORMASI] Jokowi Dipastikan Tidak Menang Pilpres 2019 Walaupun Suara Di Atas 50% pada Minggu, 21 April 2019. [Cek Fakta] Beredar Video Penjelasan soal Jokowi Tidak akan Bisa Menang dalam Pilpres 2019, Benarkah? "KATEGORI: DISINFORMASI Penjelasan : Telah beredar sebuah postingan yang memberikan keterangan bahwa Jokowi dipastikan tidak menang pilpres 2019 walaupun perolehan suara di atas 50% karena 3 syarat pasal 6a ayat 3 UUD 1945 selain menang di atas 50% juga harus memenangkan suara di 1/2 jumlah provinsi serta di 17 provinsi yang kalah suara harus di atas 20%. Faktanya adalah Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa penentuan pemenangan pilpres jika hanya diikuti oleh dua pasangan calon presiden-wakil presiden hanya berdasarkan jumlah suara terbanyak. Bagi pasangan calon (paslon) yang meraih suara terbanyak, maka yang bersangkutan dinyatakan menang dan dilantik KPU menjadi presiden dan wakil presiden. Link Counter : https://www.beritasatu.com/nasional/549817-pilpres-2019-yusril-penentuan-pemenang-berdasarkan-suara-terbanyak.html?fbclid=IwAR3Aij8UqfOFyfT5jALZJs6QYePcDsz9dzFkfCxiVd4svhNUdNoSdkcH66c https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53b54418c9eaf/mk-putuskan-pilpres-2014-satu-putaran?fbclid=IwAR216-j6h8CtLw1lxwpFKXQT6ji2tQOTLiytBEOZnlcm6m-CtovZjq0ritk http://www.dpr.go.id/jdih/perkara/id/169/id_perkara/703?fbclid=IwAR23XP8H2BZk-d_PCgpn-EfLzb27c9fHbDtSGMx5zhd6b1qtbF6_DcpX0LQ" Salah satu sumbernya adalah artikel hukumonline.com yang berjudul, MK Putuskan Pilpres 2014 Satu Putaran yang dipublikasikan pada Kamis, 3 Juli 2014 lalu. [Cek Fakta] Beredar Video Penjelasan soal Jokowi Tidak akan Bisa Menang dalam Pilpres 2019, Benarkah? "Akhirnya, majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) terkait syarat sebaran pemenangan pilpres yang diajukan Forum Pengacara Konstitusi. Mahkamah menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres inkonstitusional bersyarat sepanjang pilpres hanya diikuti dua pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. Dengan begitu, pelaksanaan Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon dipastikan bakal berlangsung satu putaran dengan mekanisme suara terbanyak. Syarat sebaran 20 persen telah dinyatakan tidak berlaku. “Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengiat sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon,” tutur Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 50/PUU-XII/2014 di ruang sidang MK, Kamis (03/7). Uji materi UU Pilpres itu diajukan tigapemohon yakni Forum Pengacara Konstitusi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan dua orang advokat atas nama Sunggul Hamonangan Sirait dan Haposan Situmorang. Ketiga pemohon meminta tafsir atas syarat sebaran perolehan suara 20% dalam Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dihubungkan dengan Pasal 6A ayat (3) dan (4) UUD 1945 demi kepastian hukum. Namun, putusan permohonan Perludem dan dua advokat itu dinyatakan nebis in idem. Pasal 159 ayat (1) tak merinci jumlah paslon karena pengertian paslon terpilih melekat syarat limitatif. Pasangan calon harus memperoleh suara lebih 50 persen dan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di setengah jumlah provinsi di Indonesia. Persoalannya, jika syarat limitatif itu tak terpenuhi sangat mungkin pilpres terjadi dua putaran sekalipun pilpres hanya diikuti dua paslon seperti Pilpres tahun ini. Dengan terjadinya dua putaran dengan pasangan calon presiden yang sama mengakibatkan pemborosan keuangan negara dan menimbulkan ketidakstabilan politik. Karena itu, Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pasangan calon dimaksud lebih dari dua pasangan calon. Dalam pertimbangannnya, Mahkamah mengakui risalah pembahasan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tidak membicarakan secara ekspresis verbis apabila pasangan calon presiden dan wakil presiden terdiri dari dua paslon. Hanya saja, saat perubahan ketiga, muncul persoalan yang belum terselesaikan bagaimana solusinya jika pasangan calon presiden tidak ada yang memenuhi syarat Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Bagaimana kalau terjadi pasangan calon hanya terdiri dari dua pasangan calon? Ada dua pilihan. Pertama, dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama, atau kedua dipilih kembali oleh rakyat atau dipilih oleh MPR. “Pada perubahan keempat UUD 1945 diputuskan untuk dipilih langsung oleh rakyat tanpa memperhatikan persyaratan yang ditentukan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945,” kata Hakim Konstitusi Muhammad Alim. Meski tidak ada penegasan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dikaitkan konteks lahirnya Pasal 6A UUD 1945, dapat ditarik kesimpulan pembahasan saat itu terkait dengan asumsi pasangan calon presiden dan wakil presiden lebih dari dua pasangan calon. Selain itu, atas dasar penafsiran gramatikal dan sistematis makna keseluruhan pasal 6A UUD 1945 menyiratkan pasangan calon lebih dari dua pasangan calon. Menurut Mahkamah jika sejak semula hanya ada dua pasangan calon, tidak perlu ada penegasan kalimat “dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua...” dalam Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Sebab, dengan dua pasangan tentulah salah satu diantara keduanya memperoleh suara terbanyak pertama atau kedua. “Prinsip paling penting adalah kedaulatan rakyat, sehingga presiden terpilih memperoleh legitimasi kuat dari rakyat.” Terkait Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon, Mahkamah berpendapat tahap pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden telah memenuhi prinsip representasi keterwakilan Indonesia karena calon presiden sudah didukung oleh gabungan partai politik nasional yang merepresentasikan keterwakilan seluruh wilayah Indonesia. “Dengan demikian tujuan kebijakan pemilihan presiden yang mepresentasikan seluruh rakyat dan daerah di Indonesia sudah terpenuhi,” kata Alim. Karena itu, Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres harus dimaknai apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Artinya, jika hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak seperti dimaksud Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 tidak perlu dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat pada pemilihan kedua. Dissenting Putusan ini diwarnai perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari dua hakim konstitusi yakni Patrialis Akbar dan Wahiduddin Adams. Patrialis Akbar sepakat jika pilpres dilakukan satu putaran dengan tetap memberlakukan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres. Ketika hanya ada dua pasangan capres dan cawapres, pasal itu diberlakukan secara konstitusional bersyarat dengan melakukan tahapan perhitungan perolehan suara. Misalnya, perhitungan tahap pertama untuk menentukan capres dan cawapres terpilih berdasarkan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Apabila, perhitungan tahap pertama tidak terpenuhi baru dilakukan tahap kedua dengan hanya menggunakan suara terbanyak tanpa mempertimbangkan sebaran pemilih. “Apabila ketentuan Pasal 159 ayat (1) dimaknai bertentangan dengan UUD 1945 jika capres-cawapres hanya diikuti dua pasangan calon maka telah terjadi pengabaian terhadap Pasal 6A ayat (3) UUD 1945,” tandas Patrialis. Wahiduddin Adams menyatakan persebaran suara yang diperoleh capres cawapres secara nasional tidak bisa diabaikan. Sebab, langkah ini untuk menghindari terjadinya fenomena capres-cawapres yang hanya fokus berkampanye di daerah-daerah yang padat pemilihnya. Dia khawatir jika kondisi hanya terdapat dua pasangan capres-cawapres, Pasal 159 ayat (1) tidak diberlakukan, tidak menutup kemungkinan akan lahir presiden yang hanya mewakili daerah strategis saja. “Representasi suara di daerah yang kurang strategis akan hilang begitu saja,” katanya. Selain itu, Pilpres 2014 yang dilaksanakan cukup satu putaran pun akan menimbulkan permasalahan hukum karena pelaksanaannya tidak sesuai dengan Pasal 6A UUD 1945. Usai persidangan, Sekjen Forum Pengacara Konstitusi, Heru Widodo menegaskan putusan MK menunjukkan bahwa UUD 1945 memang tidak memberi jawaban atau jalan keluar jika pasangan capres dan cawapres hanya dua pasangan calon. “Perubahan UUD 1945 tidak pernah terpikir hanya dua pasangan calon jika dihubungkan dengan kondisi saat ini,” kata Heru. Menurut dia, MK telah memberikan tafsir yang jelas terhadap kondisi pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon. Dengan demikian, pihaknya berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera menyesuaikan peraturannya sesuai dengan putusan MK ini. “Peraturan KPU itu tidak berlaku dan harus menyesuaikan dengan putusan MK ini,” harapnya."