Jakarta, FNN - Masa Pilpres 2019 sudah lewat dan kini hanya tinggal menunggu hasil penghitungan suara dilakukan oleh KPU. Di masa penantian ini, sejumlah kabar berseliweran.
Salah satunya seperti yang diunggah akun Facebook Baihaqi Rahmadani. Ia mengunggah sebuah video pada Senin, 22 April 2019.
Isi video tersebut mengklaim, tentang pasangan capres cawapres 01 Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin dipastikan kalah pada kontestasi Pilpres 2019.
"Jokowi di pastikan kalah menurut UUD 1945 pasal 6A ayat 3 tolong viral kan ya teman" tulis Baihaqi Rahmadani menyertai unggahan videonya.
Unggahan video tersebut sudah dilihat 36 ribu kali dan mendapat tanda suka 316. Unggahan itu juga dibagikan sebanyak 3.520 kali. Ada 109 komentar di dalamnya.
Fakta
Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kominfo sudah angkat bicara mengenai berita tersebut. Bahkan sebelum akun Facebook bernama Baihaqi Rahmadani menyebarkan melalui sosial medianya.
[Cek Fakta] Beredar Video Penjelasan soal Jokowi Tidak akan Bisa Menang dalam Pilpres 2019, Benarkah?
"KATEGORI: DISINFORMASI
Penjelasan :
Telah beredar sebuah postingan yang memberikan keterangan bahwa Jokowi dipastikan tidak menang pilpres 2019 walaupun perolehan suara di atas 50% karena 3 syarat pasal 6a ayat 3 UUD 1945 selain menang di atas 50% juga harus memenangkan suara di 1/2 jumlah provinsi serta di 17 provinsi yang kalah suara harus di atas 20%.
Faktanya adalah Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa penentuan pemenangan pilpres jika hanya diikuti oleh dua pasangan calon presiden-wakil presiden hanya berdasarkan jumlah suara terbanyak. Bagi pasangan calon (paslon) yang meraih suara terbanyak, maka yang bersangkutan dinyatakan menang dan dilantik KPU menjadi presiden dan wakil presiden.
Salah satu sumbernya adalah artikel hukumonline.com yang berjudul, MK Putuskan Pilpres 2014 Satu Putaran yang dipublikasikan pada Kamis, 3 Juli 2014 lalu.
[Cek Fakta] Beredar Video Penjelasan soal Jokowi Tidak akan Bisa Menang dalam Pilpres 2019, Benarkah?
"Akhirnya, majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) terkait syarat sebaran pemenangan pilpres yang diajukan Forum Pengacara Konstitusi. Mahkamah menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres inkonstitusional bersyarat sepanjang pilpres hanya diikuti dua pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden.
Dengan begitu, pelaksanaan Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon dipastikan bakal berlangsung satu putaran dengan mekanisme suara terbanyak. Syarat sebaran 20 persen telah dinyatakan tidak berlaku.
“Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengiat sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon,” tutur Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 50/PUU-XII/2014 di ruang sidang MK, Kamis (03/7).
Uji materi UU Pilpres itu diajukan tigapemohon yakni Forum Pengacara Konstitusi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan dua orang advokat atas nama Sunggul Hamonangan Sirait dan Haposan Situmorang. Ketiga pemohon meminta tafsir atas syarat sebaran perolehan suara 20% dalam Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dihubungkan dengan Pasal 6A ayat (3) dan (4) UUD 1945 demi kepastian hukum. Namun, putusan permohonan Perludem dan dua advokat itu dinyatakan nebis in idem.
Pasal 159 ayat (1) tak merinci jumlah paslon karena pengertian paslon terpilih melekat syarat limitatif. Pasangan calon harus memperoleh suara lebih 50 persen dan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di setengah jumlah provinsi di Indonesia. Persoalannya, jika syarat limitatif itu tak terpenuhi sangat mungkin pilpres terjadi dua putaran sekalipun pilpres hanya diikuti dua paslon seperti Pilpres tahun ini.
Dengan terjadinya dua putaran dengan pasangan calon presiden yang sama mengakibatkan pemborosan keuangan negara dan menimbulkan ketidakstabilan politik. Karena itu, Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pasangan calon dimaksud lebih dari dua pasangan calon.
Dalam pertimbangannnya, Mahkamah mengakui risalah pembahasan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tidak membicarakan secara ekspresis verbis apabila pasangan calon presiden dan wakil presiden terdiri dari dua paslon. Hanya saja, saat perubahan ketiga, muncul persoalan yang belum terselesaikan bagaimana solusinya jika pasangan calon presiden tidak ada yang memenuhi syarat Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Bagaimana kalau terjadi pasangan calon hanya terdiri dari dua pasangan calon? Ada dua pilihan. Pertama, dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama, atau kedua dipilih kembali oleh rakyat atau dipilih oleh MPR. “Pada perubahan keempat UUD 1945 diputuskan untuk dipilih langsung oleh rakyat tanpa memperhatikan persyaratan yang ditentukan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945,” kata Hakim Konstitusi Muhammad Alim.
Meski tidak ada penegasan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dikaitkan konteks lahirnya Pasal 6A UUD 1945, dapat ditarik kesimpulan pembahasan saat itu terkait dengan asumsi pasangan calon presiden dan wakil presiden lebih dari dua pasangan calon. Selain itu, atas dasar penafsiran gramatikal dan sistematis makna keseluruhan pasal 6A UUD 1945 menyiratkan pasangan calon lebih dari dua pasangan calon.
Menurut Mahkamah jika sejak semula hanya ada dua pasangan calon, tidak perlu ada penegasan kalimat “dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua...” dalam Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Sebab, dengan dua pasangan tentulah salah satu diantara keduanya memperoleh suara terbanyak pertama atau kedua. “Prinsip paling penting adalah kedaulatan rakyat, sehingga presiden terpilih memperoleh legitimasi kuat dari rakyat.”
Terkait Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon, Mahkamah berpendapat tahap pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden telah memenuhi prinsip representasi keterwakilan Indonesia karena calon presiden sudah didukung oleh gabungan partai politik nasional yang merepresentasikan keterwakilan seluruh wilayah Indonesia. “Dengan demikian tujuan kebijakan pemilihan presiden yang mepresentasikan seluruh rakyat dan daerah di Indonesia sudah terpenuhi,” kata Alim.
Karena itu, Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres harus dimaknai apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Artinya, jika hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak seperti dimaksud Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 tidak perlu dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat pada pemilihan kedua.
Dissenting
Putusan ini diwarnai perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari dua hakim konstitusi yakni Patrialis Akbar dan Wahiduddin Adams. Patrialis Akbar sepakat jika pilpres dilakukan satu putaran dengan tetap memberlakukan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres. Ketika hanya ada dua pasangan capres dan cawapres, pasal itu diberlakukan secara konstitusional bersyarat dengan melakukan tahapan perhitungan perolehan suara.
Misalnya, perhitungan tahap pertama untuk menentukan capres dan cawapres terpilih berdasarkan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Apabila, perhitungan tahap pertama tidak terpenuhi baru dilakukan tahap kedua dengan hanya menggunakan suara terbanyak tanpa mempertimbangkan sebaran pemilih.
“Apabila ketentuan Pasal 159 ayat (1) dimaknai bertentangan dengan UUD 1945 jika capres-cawapres hanya diikuti dua pasangan calon maka telah terjadi pengabaian terhadap Pasal 6A ayat (3) UUD 1945,” tandas Patrialis.
Wahiduddin Adams menyatakan persebaran suara yang diperoleh capres cawapres secara nasional tidak bisa diabaikan. Sebab, langkah ini untuk menghindari terjadinya fenomena capres-cawapres yang hanya fokus berkampanye di daerah-daerah yang padat pemilihnya.
Dia khawatir jika kondisi hanya terdapat dua pasangan capres-cawapres, Pasal 159 ayat (1) tidak diberlakukan, tidak menutup kemungkinan akan lahir presiden yang hanya mewakili daerah strategis saja. “Representasi suara di daerah yang kurang strategis akan hilang begitu saja,” katanya.
Selain itu, Pilpres 2014 yang dilaksanakan cukup satu putaran pun akan menimbulkan permasalahan hukum karena pelaksanaannya tidak sesuai dengan Pasal 6A UUD 1945.
Usai persidangan, Sekjen Forum Pengacara Konstitusi, Heru Widodo menegaskan putusan MK menunjukkan bahwa UUD 1945 memang tidak memberi jawaban atau jalan keluar jika pasangan capres dan cawapres hanya dua pasangan calon. “Perubahan UUD 1945 tidak pernah terpikir hanya dua pasangan calon jika dihubungkan dengan kondisi saat ini,” kata Heru.
Menurut dia, MK telah memberikan tafsir yang jelas terhadap kondisi pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon. Dengan demikian, pihaknya berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera menyesuaikan peraturannya sesuai dengan putusan MK ini. “Peraturan KPU itu tidak berlaku dan harus menyesuaikan dengan putusan MK ini,” harapnya."