ALL CATEGORY

Setahun Penuh Gaduh & Demo Yang Dirindukan

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Selasa (20/10). Tanggal 20 Oktober adalah Hari Ulang Tahun (HUT) satu tahun Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Ulang tahun peringatan yang tidak dalam suasana ceria dan menggembirakan. Covid 19 membuat cuaca mendung dengan wajah-wajah yang bermasker. Artinya, suasana penuh dengan rasa keprihatinan. Sementara itu Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) yang disahkan DPR tanggal 5 Oktober lalu, bukan menjadi kado yang menyenangkan. Malah sebaliknya, Undang-Undang ini menuai penolakan di hampir seluruh penjuru tanah air. Sebagian rakyat khususnya buruh, mahasiswa dan pelajar malah menangis sedih dan berunjuk rasa. Setahun telah dijalani dengan lebih banyak luka dan duka ketimbang suka. Pemerintahan Jokowi memulai periode kedua ini ditandai oleh suasana yang gaduh. Ekonomi morat-marit. Hukum tidak hadir untuk membentuk kedamaian dan ketertiban, serta politik yang selalu gonjang-ganjing. Seluruhnya akibat dari kebijakan penyelenggaran negara yang tidak bijak. Penyelenggara negara terkesan tidak mendengar apa kata rakyat. Sebaliknya, melawan aspirasi rakyat. Oligarkhi, korporasi dan konglomerasi yang akhirnya menggeser demokrasi, dan aneksasi telah menjauhkan "souvereignity". Tanggal 28 Oktober nanti adalah Hari Sumpah Pemuda. Gerakan kaum muda untuk menentukan arah dan perjuangan bangsa. Satu bangsa, bahasa, dan tanah air. Para pemuda yang berkomitmen untuk membebaskan diri dari penindasan, perbudakan, dan penjajahan. Angkatan muda yang menggelora adalah dinamika bangsa dan negara. Tangga 10 November nanti adalah Hari Pahlawan. Mengenang semangat perjuangan untuk mengusir penjajah, baik itu Inggris ataupun Belanda yang ingin kembali menguasai tanah ir. Pekik takbir dan merdeka membahana menjadi kekuatan untuk mengusir penjajah. Kekuatan Ilahi dan semangat untuk mempertahankan kemerdekaan berpadu dalam kegigihan dan kemenangan. Wajar saja jika 10 November 2020 nanti masyarakat membangkitkan kembali jiwa kepahlawanan atau patriotisme. Makam Pahlawan bukan kematian yang sekedar diziarahi. Tetapi menjadi tempat jiwa-jiwa kehidupan yang disusun kembali. Menggemakan suara kematian untuk kehidupan yang berani mati. Mati syahid atau hidup mulia. Tanggal 2 Desember bagai telah menjadi "harinya umat". Hari bagi runtuhnya kesombongan dan keangkuhan penista agama. Ahok yang digjaya dipaksa "bernafas di dalam bui". Jutaan umat Islam melakukan aksi damai yang berbuah manis. Perjuangan sukses dalam membangun wibawa keumatan melawan kekuasaan yang sombong, angkuh dan menistakan. Angka 212 telah menjadi nama dari gerakan aksi dan silaturahmi. Berlanjut dengan reuni untuk mengenang perjuangan damai. Meski tokoh pencerah saat khutbah Habib Rizieq Shihab (HRS) kini masih diasingkan di Makkah Al-Mukarromah, namun suaranya terus menggema. Desakan untuk melepas cekal agar bisa kembali semakin terus menguat. Dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yang membuka peluang menjadi ledakan yaitu RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang berubah menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Sementara RUU Omnibus Law yang baru diketuk menuai masalah. Dua peraturan "panas" ini dapat menjadi bola liar yang berujung pada krisis ideologi, hukum, ekonomi dan politik. Jika keliru mencari solusi, maka bukan mustahil berakhir pada suksesi kepemimpinan. Sebab secara umum disebut aksi, tetapi secara agama itu namanya syi'ar. Unjuk rasa, unjuk kekuatan, dan unjuk kebersamaan. Dalam momen strategis aksi atau syi'ar menjadi tekanan politik bagus. Konstitusi melindungi kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat. Penyelenggaraan negara memang harus dikontrol oleh kekuatan sivil society. Supaya tercipta check and balances. Tidak boleh sampai penyelenggara negara sesuka hati. Budeg dan tuli untuk mendengar aspirasi rakyat. Apalagi DPR telah berubah menjadi Dewan Pereakilan Rezim (DPR). Waratwan senior FNN.co.id menyebut DPR sebagai Kantor Cabang atau Kantor Perwakilan Presiden. Selamat ulang tahun pak Jokowi. Jadikan saja demo sebagai alat untuk pengontrol pemerintah. Supaya pemerintah tidak keliru. Juga jadikan saja aksi dan syi'ar sebagai hal yang dirindukan sebagaimana yang pernah dipidatokan Pak Jokowi dahulu di Gedung Merdeka Bandung. "Saya kangen sebenarnya didemo. Karena apa ? Apapun..apapun..pemerintah itu perlu dikontrol. Pemerintah itu perlu ada yang peringatin kalo keliru. Jadi sekarang saya sering ngomong dimana-mana 'tolong saya didemo'. Pasti saya suruh masuk". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Bahaya Bank Indonesia Jadi ATM Pemerintah

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Selasa (20/10). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN), baik untuk tahun 2020 maupun 2021 dalam bahaya. Karena penerimaan negara dari pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) cekak. Sementara untuk dapat utang dalam besar hari ini, tidak tidak mudah. Selain tidak ada yang percaya, banyak negara peminjam punya persoalan keuangan yang sama. Akhirnya pemerintah kemungkinan menggunakan dana bank-bank komersial yang disimpan di Bank Indonesia. Sementara defisit APBN terhadap Penerimaan Demostik Bruto (PDB) juga semakin membesar dan melebar. Kenyataan ini sebagai akibat dari penerimaan pajak dan PNBP menurun drastis tersebut. Semua kekurangan penerimaan pemerintah di APBN, baik itu yang bersumber dari pajak maupun PNBP diupayakan untuk ditutupi dengan berhutang kepada Bank Indonesia. Intrumennya melalui Quantitative Aesing (QE). Padahal dana yang tersedia di Bank Indonesia adalah dana cadangan minimum bank. Dana cadangan minimum bank adalah dana tabungan masyarakat. Untuk tahun 2021 mendatang, diperkirakan utang luar negeri terhadap PDB semakin membesar dan melebar. Derkirakan bakal lebih dari 50 persen terhadap PDB. Ini dikarenakan PDB menurun. Sementara utang bakal bertambah 50 persen dibandingkan periode tahun sebelumnya. Utang pemerintah akan melompat menjadi 4- 5 kali dari APBN. Utang pemerintah juga akan melompat menjadi 10 kali pendapatan negara dari pajak. Pada saat yang sama ada signal kuat bahwa pemerintah akan kesulitan untuk mendapatkan pembiayaan dari luar negeri dan pasar keuangan internasional. Kondisi ini sebagai akibat dari QE yang telah mendapat penolakan dari pasar dan institusi keuangan internasional. QE dipandang oleh pasar dan institusi keuangan internasional sebagai kegiatan yang tabu dan sangat membahayakan stabilitas keuangan. Aturan ini memang tidak tertulis. Namun akan menjadikan Bank Indonesia sebagai ATM pemerintah adalah kebijakan yang sangat konyol. Karena dana di Bank Indonesia adalah tabungan masyarakat. Kapan saja bisa ditarik oleh masyarakat. Berutang kepada Bank Indonesia atau utang kepada bank adalah utang jangka pendek yang riskan. Harus dibayar pada periode tahun anggaran 2021 - 2022. Kemungkinan besar pemerintah tidak akan sanggup untuk membayar pada periode tersebut. Untuk itu harus dan perlu diwaspadai. Jangan sampai masyarakat tidak dapat mencairkan tabungan dan deposito mereka karena bank tidak lagi ada uang. Uang Kotor Rp 10.000 Triliun Proposal Omnibus Law tidak mendapat sambutan baik. Malah mendapat kritik keras dari bank dunia. Begitu juga dengan organisasi Lingkungan Hidup Internasional. Omnibus Law sulit untuk meyakinkan komunitas keuangan internasional. Sebab para investor global umumnya menginginkan melakukan investasi di negara yang ramah lingkungan. Jadi penolakan atas proposal Omnibus Law ini akan memperparah keadaan keuangan pemerintah kelak. Program dana talangan kepada bank, terutama perusahan swasta dan Usaka Mengenah Kecil dan Mikro (UMKM) besar kemungkinan akan gagal. Karena tidak ada tersedia anggaran sesuai yang di rencanakan. Ini juga akan memiliki implikasi lebih buruk pada pertumbuhan ekonomi ke depan. Proyek cetak uang oleh pemerintah ditentang oleh pasar dan institusi Internasional. Uang Indoensia kemungkinan akan dilock oleh internasional jika benar benar melakukan pencetakan uang. Sangat tidak masuk akal jika pemerintah mencetak uang modal kertas dan tinta hanya untuk membeli barang impor dan membayar utang luar negeri. Asing siapa mau terima uang kayak begitu? Pilihan yang terbaik untuk pemerintah adalah melakukan penghematan. Memangkas tunjangan, dan perjalan dinas. Pertemuan-pertemuan yang tidak penting ditiadakan. Bahkan bila perlu memangkas gaji pegawai. Ini memang laggkah yang sulit, tetapi pemerintah tak mungkin punya jalan keluar. Karena sumber pendapatan utama dari pajak sumber daya alam minyak, batubara dan lain-lain akan anjlok. Pilihan paling mungkin yang dilakukan pemerintah adalah menyita uang para koruptor. Terutama mereka yang menyimpan uang hasil kejahatan keuangan di luar negeri. Biasa disebut dengan “uang kotor”. Dengan demikian, akan tersedia cukup dana untuk melanjutkan roda pemerintahan dan APBN. Nah, data mengenai siapa-siapa saja pengusaha Indonesia yang uangnya disimpan di luar negeri itu? Apalagi yang ditenggarai sebagai uang hasil kejahatan tersebut, sudah ada di kantong presiden. Nilainya lebih dari Rp 10.000 triliun. Tinggal berani untuk memulai saja ko Pak Presiden. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).

Hukum Menjadi Alatnya Orang Sombong

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN – Selasa (20/10). Hukum seharusnya selalu terlihat sebagai sesuatu yang sangat mengagumkan pada setiap waktu disepanjang hidup yang membentang. Seharusnya begitu, karena sedari asalnya hukum menyandang sifat sebagai sarana untuk orang-orang yang berakal. Mereka yang berahlak mulia, dan memulikan setiap orang. Hukum juga menjadi sarana yang membuat lingkungan kehidupan menjadi tempat untuk orang-orang hidup secara mulia. Sehingga dalam postur sehebat itu, hukum selalu merupakan pantulan derajat kemuliaan ahlak dan kesadaran paripurna tentang pengadilan abadi yang menanti kelak disuatu saat nanti. Hukum, sekali lagi, tidak pernah tidak menjadi pantulan dari ahlak dan hasrat yang berakar padanya. Bangga Untuk Menyakiti Hukum itu aturan dan aturan itu hukum. Law as a rules, and rules as a law. Begitu ilmuan hukum memberi atribut pada hukum. Tidak salah, tetapi tidak cukup. Karena ia tidak menjelaskan kandungan epistemologisnya. Orang-orang sombong punya perspektif tersendiri dalam memandang hukum. Dalam semua sudutnya, perspektif mereka berbeda secara mendasar dengan perspektif orang-orang arif. Sombong dan arif itulah titik tolak isi substansi dan pelaksanaan hukum. Sombong yang tidak pernah tidak membakar. Sombong yang tidak pernah tidak menyesatkan dan membutakan itu, suka atau tidak, yang mengarahkan isi hukum. Itu juga yang menjadi pengarah pelaksanaan hukum. Orang-orang barat tidak bicara soal ini setiap kali mereka bicara pembentukan dan penegakan hukum. Tidak. Yang mereka bicarakan, paling jauh, persis seperti dilakukan oleh Joseph Raz, yang dalam dunia ilmu hukum dikenal sebagai salah satu positivis kawakan ini. Bukan tak berusaha membuat substansi hukum terlihat hebat. Tetapi usaha itu hanya sampai pada mengenal hukum-hukum non UU, yang melembaga dalam masyarakat. Ini Joseph Raz sebut primary rules. Soal ini dihasratkan untuk dikenal oleh pembetuk, terutama pelaksana hukum. Masalahnya, dalam kenyataan masyarakat, pada level konsep, bukanlah sesuatu yang bersifat tunggal. Keharusan mengenal dan mengambil apa yang diyakini benar hidup dalam masyarakat, juga diserukan sejumlah sosiolog. Roscou Pound, yang tersohor dengan law as tool for social enggenering, yang ditipikalisasi sebagai fungsi hukum pada masyarakat industri juga tak menyelesaikan soal. Mengapa? Bukan hanya kompleksitas masyarakat itu sendiri, yang mengakibatkan tidak mudah menemukan hal-hal yang disepakati secara sukarela menjadi nilai bersama, tetapi lebih dari itu. Masyarakat industry, ditandai salah satunya dengan masyarakat individualis. Masyarakat yang sangat bertumpu rasionalitas dan mengagungkan kepentingan pribadi dan kelompok. Boleh saja mengidentifikasi Habermas dan Adorno, ilmuan-ilmuan sosial dari Frankfurt School itu sebagai mengada-ada. Tetapi terlalu sulit menyangkal konstatasi kogklusif mereka tentang masyarakat industry. Dalam pandangan mereka masyarakat industri tidak pernah lain dari masyarakat kelas. Hukum, dalam identifikasi mereka adalah refleksi, pantulan kemauan dari masyarakat kelas atas. Umumnya kelas kaum kapitalis. Menyerahkan isi hukum pada masyarakat aristokrat, nama lain dari masyarakat kapitalis adalah menyerahkan arah pembentukan dan pelaksanaan hukum pada mereka. Juga menyerahkan keadilan, bahkan seluruh aspek kehidupan dikendalikan oleh mereka. Orang-orang aristokrat jauh sebelum revolusi industri ini teridentifikasi sejarah sebagai orang-orang yang sombong. Orang-orang yang hanya menggap dirinya sebagai pemilik kebenaran berdasarkan hukum. Para aristokrat, kapitalis klasik ini, teridentifikasi oleh sejarah sebagai masalah terbesar dalam setiap jengkal lingkungan pemerintahan. Orang-orang yang hanya 1% menurut identifikasi Noam Chomsky, inilah masalah terbesar dan sesungguhnya terjadi di Amerika. Entah karena hatinya telah tidak lagi bisa hidup, atau hal lain, orang-orang sombong tidak pernah tahu kalau mereka itu sombong. Sombong telah mengakibatkan mereka menganggap biasa saja terhadap semua yang dilakukannya. Menjilat, memuji, memuja dan menjadi benalu kekuasaan, selamanya ada dalam kamus nafas mereka. Semuanya diterima sebagai hal biasa, bahkan suatu kebenaran . Fir’aun berada di daftar teratas manusia jenis ini. Nero dan Gaius Verres di Romawi Kuno, sebelum naiknya Cicero menjadi konsul adalah jenis yang hampir setara menjijikannya dengan Fir’aun. Entah di level berapa kekejiannya mereka dibandingkan dengan Fir’aun. Hukum untuk mereka tidak lebih dari alat untuk melambungkan kesombongan mereka. Menyakiti dan mempermalukan, termasuk merendahkan manusia tersifati pada hukum yang mereka anut. Tidak lebih. Hukum tertingginya adalah hasrat yang dibimbing oleh sombong, tamak, rakus, picik dan licik. Hasrat penguasa memproteksi kekuasaannya, itulah yang menjadi law of the land, konstitusi. Membantai lawan-lawannya, dianggap biasa oleh mereka. Yang dilakukan Fir’aun, Nero dan Gaius adalah tipikalnya. Sangat menjijikan. Manusia jenis itu bukan tak mengerti keadilan. Tetapi keadilan yang mereka tumpukan dalam gudang kekuasaannya adalah apa yang mereka sendiri anggap adil. Manusia jenis ini juga memonopoli semua yang namanya kebenaran. Sekali mereka mengatakan sesuatu, sekonyol apapun itu, harus dianggap dan diterima sebagai hal yang benar. Hanya mereka yang tahu kebenaran dan keadilan. Diluar itu tidak. Keadilan yang didesakan dari luar mereka, apalagi disuarakan oleh orang-orang yang berbeda garis politiknya, disambut dan dinilai sebagai cara orang-orang bodoh. Yang birahi politik sedang naik, mengacaukan, menantang, sekan-akan hendak meruntuhkan kekuasaan mereka. Persis seperti bos-bosnya. Begitu pula dengan para hulubalang-hulubalangnya. Para hulubalangnya tidak memiliki waktu untuk memeriksa. Misalnya, panduan-panduan pada habes corpus, prinsip dan aturan tentang prosedur menangani kasus dan memperlakukan setiap orang. Meraka tak punya waktu untuk memeriksanya. Yang tertanam di kepala mereka adalah tangkap, tahan, menyakiti dan mempermalukan. Penangkapan Sesat Buya Hamka Petition of Right yang pertama kali diundangkan di Inggris tahun 1628, dan Habes Corpus diundangkan di Inggris tahun 1679, yang di Amerika bisa dikesampingkan dalam keadaan perang sekalipun, tak mampu mereka periksa. Panduan-panduan ini tidak mereka dianggap. Huruf-huruf hukum diganti dengan huruf-huruf hasrat untuk berkuasa, dan penguasa yang tidak mau diganggu oleh kaum oposisi. Pembaca FNN yang budiman. Kenyataan itulah yang terjadi dan dialami oleh Buya Hamka. Ulama yang terus dikenang dengan sikapnya yang konsistens pada kebenaran dan kemanusiaan. Kebenaran yang digariskan dalam Islam, agama yang dipeluk Buya Hamka. Buya Hamka ditangkap oleh penguasa Soekarno tanggal 27 Januari 1964. Namun baru mulai diperiksa penyidik secara intensif pada tanggal 1 Februari 1964. Surat perintah penahanan sementara Buya Hamka itu diparaf langsung oleh Presiden Soekarno. Kasusnya pun dikarang-karang, lalu dituduhkan kepadanya, dengan cara khas menggiring Buya Hamka mengakuinya. Tekniknya sangat khas. Ada penyidik yang tidak mengenal kelembutan. Tahunya cuma kasar, menyudutkan dan merendahkan. Ada waktu untuk penyidik yang kerjanya menyudutkan, dan ada waktu untuk penyidik lain bertindak sebagai perayu dan penolong kelas tinggi. Bila semakin tak menemukan titik terang, itu justru membuat penyidik frustrasi dan meningkatkan menggunakan berbagai teknik standar. Tekanan dan rayuan datang silih berganti. Dalam kasus rekayasa yang dituduhkan kepada Buya Hamka, Inspektur Saedakso dan Inspektur Muljo Kosoemo termasuk dalam kategori kasar. Sementara Daud, masuk kategori pintar dan merayu. Soedakso cukup, bahkan menurut Buya tak putus-putusnya mencerca, mencaci maki dengan sindiran-sindiran tajam. Bahkan yang lebih menyakitkan, Soedakso mengatakan Buya Hamka ulama pembohong dan penghianat negara. “Jika anda tetap tidak mau mengakui perbuatan-perbuatan sebagaimana semua buktinya yang ada pada kami, maka kami akan menyiksa saudara Hamka dengan setrum”. Tidak itu saja, penyidik juga menggalang orang lain yang ikut ditahan, yang dikaitkan kasus rekayasa itu. Orang itu dipakai menggalang Buya Hamka agar mengakui tuduhan-tuduhan yang diajukan penyidik. Tahukah kemana semua cara itu berakhir? Memastikan kasus yang mereka rekayasa itu terbukti. Mohon maafkan mereka, Pak Hamka, “ujar Inspektur Siregar dengan hati-hati. “Semua polisi yang ada disini hanya menjalankan tugas. Mereka tidak bisa ambil keputusan apapun, selain menjalankan tugas sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan, Pak Hamka.” Disela oleh serangkaian percakapan, Inspektur Siregar kembali mengatakan kepada Buya Hama. Katanya “Hanya satu permintaan saya Pak Hamka. Mohon mohon maafkan semua sikap, tindakan dan perkataan anggota tim penyidik yang barangkali tidak berkenaan di hati Pak Hamka” (tanda petik dari saya) Sebab mereka, lanjut Inspektur Siregar, juga tidak tahu apa-apa, kecuali hanya sekadar menjalankan tugas sesuai yang diperintahkan oleh atasan mereka” (semua tanda petik dari saya). Inspektur Siregar juga mengatakan secara pribadi, saya juga maaf jika sekiranya ada perkataan dan sikap saya yang menyinggung perasaan Pak Hamka (Lihat Haidar Musyafa, BUYA HAMKA, Sebuah Novel Biografi, Penerbit Imania, Jakarta, 2018, hal 631-681). Hukum yang memalukan, yang menimpa Buya Hamka ini terjadi kala Indonesia masih memberlakukan UU Subversi. Juga terjadi ditengah PKI sedang berkibar kencang. Saat ini UU memalukan dan menjijikan ini telah dicabut. Indonesia pun telah bertransformasi menjadi negara demokratis. Dr. Sahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Dr. Anton Permana, Ustaza Kingkin dan yang lainnya yang sedang ditahan penyidik, karena disangka melakukan tindak pidana, entah apa persisnya tindak pidana itu. Satu hal yang bisa dicatat adalah cara penangkapan mereka, khususnya Dr. Sahganda dan Jumhur Hidayat terlihat berbeda dengan penangkapan Buya Hamka. Buya Hamka, tulis Haidar Musyafa, mengatakan rupanya yang datang kerumahku siang itu empat orang polisi dari Departemen Angkatan Kepolisian (DEPAK). Setelah berucap salam dan saling jabat tangan, aku langsung mempersilahkan keempat polisi itu untuk duduk di kursi yang ada di serambi rumahku, tempat yang biasa aku gunakan menerima semua tamu. Tak lama setelah itu, salah seorang diantara polisi itu mengatakan jika kedatangan mereka kerumahku untuk menangkapku. Sejurus kemudian, polisi yang bertubuh tegap dan bertampang sangar tersebut menunjukan Surat Perintah Penahanan Sementara yang sudah diparaf langsung oleh Presiden Soekarno (Lihat Haidar Musyafa, Buya..hal 615). Sangat memalukan. Buya Hamka tak pernah disidang. Buya keluar dari penjara setelah pemerintahan Bung Karno berakhir secara riil, setelah peristiwa G. 30 S PKI. Lalu bagaimana dengan Dr. Sahganda, Jumhur, Anton Permana, Ustazah Kingkin dan lainnya? Sepintas materi hukum pada kasus ini punya potensi untuk membebaskan mereka. Tetapi terlalu dini untuk dianalisis. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Memindahkan Papua Dari Bahu ke Mobil (Bagian-1)

by Luthfi Pattimura Jakarta FNN – Senin (19/10). Tanggal 19 Desember 2018, kami menginjakkan kaki di bumi Cendrawasih, Papua. Malamnya menginap di sebuah hotel, di Abepura. Ini kota kecil saja. Tidak ada beton-beton industri. Apalagi beton yang megah berdiri seperti di kota-kota besar. Sambil menunggu Dr. Janiver Manalu, Dekan Fakultas Teknik Universitas Cendrawasih (Uncen) untuk berbincang-bincang, kami minum kopi panas di restorant hotel kami nginap. Ketika minum kopi itu, iseng-iseng kami berpikir, adakah kami sedang menikmati Papua? Nikmati kopi panasnya, iya! Yang kami pikirkan itu mungkin sedikit menyangkut kelas. Setelah Janiver muncul dan kami berbincang. Terasa kalau kita mau menikmati Papua sambil duduk di warung kecil, di tepian jalan dan memandang keriuhan jalan protokol Abepura. Namun itu mungkin akan terjadi sepuluh atau limabelas tahun lagi. Yang pasti. “Saya pernah terenyuh”, demikian Janiver memulai cerita. “Ketika masyarakat dari pegunungan Papua, pada suatu hari meminta tolong agar jalan bisa dibuka. Mereka bahkan ingin bisa menikmati jalan itu seperti apa? Ingin menikmati jalan seperti saudara-saudara yang lain”. Jalur Emas Selatan Papua Mendengar cerita di atas. Kami langsung ingat sebuah perbincangan lain. Bersama Dr. Ir. Nicolaas E Kuahaty M.Ec.Dev. pemikir dan praktisi kebijakan infrastruktur. Saat mengingatnya, perbincangan itu membantu kami mengenal raksasa komunitas Papua dengan komuditasnya. Terutama yang berada di lahan terbuka NKRI, tetapi tersembunyi di depan mata. Bukan itu saja. Dari timbunan data dan informasi tentang bagaimana, dan ke arah mana Papua dibangun? Kuahaty secara analisis langsung memotong rute perbincangan dengan menyatakan bahwa pengembangann Papua idealnya dimulai dari selatan. Mengapa? “Wilayah selatan adalah wilayah terdekat sisi jarak dari Pulau Jawa. Kita tahu, barang-barang kebutuhan pokok termasuk bahan bangunan masih didatangkan dari Jawa. Rasionalitas jarak memiliki korelasi positif terhadap biaya, sehingga jarak terpendek akan berpengaruh pada pergerakan atau mobilitas.” Lalu, pernyataan berikutnya yang mengikuti analisa di atas berbuyi, “Selain itu, wilayah selatan Papua memiliki beberapa pusat kawasan stategis nasional dalam pembangunan yang berbasis pada Wilayah Pengembangan Strategis (WPS). Ini merupakan suatu pendekatan pembangunan yang memadukan wilayah dengan market driven yang tidak mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan”. Menurut Kuahaty, Pembangunan berbasis WPS fokus pada pengembangan infrastruktur menuju wilayah strategis. Ini mendukung percepatan pertumbuhan kawasan-kawasan di WPS, serta mengurangi disparitas antar kawasan di dalam WPS yakni Sorong, PKN Bintuni, PKN Mimika dan PKN Merauke. Penetapan pusat kawasan nasional adalah untuk mendukung beberapa industri strategis atau objek vital nasional. Misaslnya Industri Minyak Petrochina di Kab Sorong, Industri Gas BP Tangguh di Kab Bintuni, Industri Tambang Tembaga dan Emas PT Freeport Indonesia di Kab Mimika, dan Industri MIFEE di Kab Merauke. Jatuhnya, kata Kuahaty adalah “jalur jalan yang menghubungkan Sorong, Teluk Bintuni, Mimika, Yahukimo dan berakhir di Merauke.” Jadi, bila pemerintah mendorong konektivitas selatan Papua, maka akan terjadi sebuah pergerakan pertumbuhan linear yang cepat terhadap transportasi orang barang dan jasa. Hal ini signifikan dipengaruhi oleh adanya interaksi keuangan yang tinggi. Kita tahu, transportasi manusia atau barang bukanlah tujuan akhir. Makanya itu, permintaan akan jasa transportasi dapat disebut sebagai permintaan turunan (derived demand) yang timbul akibat adanya permintaan akan komoditas atau jasa lainnya. Beberapa perubahan yang merupakan manfaat dari konektivitas selatan Papua adalah akan memberikan akses yang lebih mudah bagi tenaga kerja, terutama orang asli Papua untuk melakukan pilihan yang lebih rasional terhadap peluang kerja pada industri yang ada. Kemudian, akan mendorong bertumbuhnya jalur distribusi pangan untuk industri yang di supply dari kawasan belakang yang memiliki lahan potensial pertanian dan perkebunan. Selanjutnya, terciptanya hilirisasi industri melalui pembangunan peleburan (smelter) dan pemurnian (refinery). Sementara pemanfaatan sisa produksi Migas dan Tambang dapat memenuhi kebutuhan pupuk untuk pengembangan kawasan pangan andalan di Merauke melalui MIFEE. Bahkan sisa pasir tambang (sirsat) PT.Freeport Indonesia dapat dijadikan bahan dasar pembuatan semen. “Pengembangan industri hilir,” kata Kuahaty, “pada intinya adalah untuk memastikan terciptanya rantai nilai ekonomi (value chained of economics). Sebab pada akhirnya, the last but not least, jalur tersebut akan memberikan efek perpindahan dengan daya beli yang tinggi. Nanti untuk jangka panjang, dampaknya adalah, meningkatnya daya saing daerah. Yang diperlihatkan dengan menurunya angka kemiskinan. Daya serap tenaga kerja tinggi, Pertumbuhan ekonomi yang stabil. Ketimpangan (gini ratio) berada pada distribusi pendapatan merata. Tentu akan berujung pada Papua Mandiri, yakni menjadi tuan di negeri sendiri. Sebuah harapan dalam konsep membangun jalur emas di selatan Papua. Selanjutnya, sebagai sebuah alternatif dalam menggagas kebijakan pembangunan transportasi rel kereta api. Jalur ini dapat dipertimbangkan mengingat posisi staretigis dalam mendorong pembangunan inklusif di Papua. (bersambung). Penulis adalah Wartwan Senior FNN.co.id.

Ubedilah Badrun Kembali Menjadi Ketua APPSANTI

by Dr. Andi Octamaya Tenri Awaru Makasar FNN – Senin (19/10). Ubedilah Badrun dari Univeritas Negeri Jakarta (UNJ) terpilih kembali untuk kedua kalinya secara aklamasi menjadi Ketua Asosiasi Program Studi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Indonesia (APPSANTI). Ubedilah terpilih untuk periode 2020-2022 pada Munas ke II APPSANTI yang diselenggarakan secara virtual. Munas ke II APPSANTI ini diselenggarakan pada Minggu tanggal 18 Oktober 2020 kemarin. Berindak sebagai tuan rumah adalah Universitas Negeri Makassar (UNM). Ubedilah Badrun adalah akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di bidang Sosial dan Politik. "Pak Ubedilah Badrun terpilih secara aklamasi, yang disetujui oleh 18 Perguruan Tinggi se-Indonesia anggota APPSANTI " ujar Ketua panitia Munas II APPSANTI Dr. Andi Octamaya Tenri Awaru yang juga sebagai akademisi Universitas Negeri Makasar (UNM) di bidang Pendidikan Sosiologi. Menurut Andi Octamaya Tenri, Munas ke II APPSANTI ini diselenggarakan dalam tiga rangkaian kegiatan. "Sebelum Musyawarah Nasional, terlebih dahulu diselenggarakan Kompetisi Nasional mahasiswa pendidikan sosiologi dan antropologi se-Indonesia (Kompensanti) pada tangga 17 Oktober. Selain itu, juga diselenggarakan Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional 18 Oktober yang di dalamnya ada pemilihan Ketua yang baru untuk periode 2020-2022. Semua rangkaian kegiatan acara Munas ke II APPSANTI dapat berjalan dengan lancar, dan sukses. "Terima kasih kepada semua pihak yang telah menyukseskan rangkain acara dan kegiatan Munas ke II APPSANTI ini. Terima kasih juga atas kepercayaan seluruh anggota APPSANTI. Saya bukanlah orang terbaik di asosiasi ini, “ujar Ubedilah Badrun. “Semoga pada periode kedua ini dapat melaksanakan amanah secara lebih baik lagi. Baik untuk turut berkontribusi terhadap pembangunan sosial di Indonesia. Lebih khusus lagi di bidang pendidikan sosiologi dan antropologi untuk perubahan Indonesia yang lebih baik" tutu Ubedilah Badrun saat ditanya jurnalis usai terpilih kembali untuj memimpin asosiasi berskala nasional ini. Penulis adalah Akademisi Universitas Negeri Makasar.

Mau Tanya, Video Kawal Jogging & Helikopter Itu Hoax Apa Tidak?

by Asyari Usman Jakarta FNN - Senin (19/10). Pihak yang berkuasa selalu mengancam akan memenjarakan orang yang mereka tuduh menyebar hoax. Walaupun orang itu tidak tahu kalau foto, video, atau informasi yang dia posting adalah hoax. Pokoknya, semua akan ditangkapi. Vonis penguasa bahwa “itu hoax”, sudah cukup menjadi alasan untuk menangkap orang-orang yang dituduh terlibat hoax. Menteri Kominfo Johnny G Plate mengatakan kalau pemerintah mengatakan sesuatu itu hoax, maka itu adalah hoax. Nah, ngeri ‘kan kekuasaan Pak Johnny. Itulah sebabnya saya ingin bertanya langsung di sini tentang dua rekaman video. Isinya tentang personel dan/atau inventaris Kepolisian RI. Pertanyaannya: kedua rekaman video itu hoax atau tidak? Video pertama menunjukkan pengawalan yang dilakukan oleh mobil Polisi untuk beberapa “orang penting” yang sedang lari jogging di jalan raya. Ada yang mengatakan itu terjadi di Bali. Entah iya, entah tidak. Ada pula yang mengatakan yang dikawal itu adalah orang swasta yang maha penting. Diberitakan, Divisi Propam Polda Bali telah memeriksa personel kepolisian yang melakukan pengawalan “orang penting” itu. Publik ingin tahu secara detail dan transparan. Siapakah orang-orang yang dikawal itu? Agar tidak ada yang berspekulasi. Sebab, banyak yang mengatakan bahwa mereka adalah anggota keluarga konglomerat. Video kedua menunjukkan helikopter yang bertuliskan “POLISI” mendarat di lapangan terbuka. Tak jelas di mana lokasi itu. Setelah mendarat, tampak sejumlah “orang awam” yang berpakaian santai turun dari heli. Kejadian heli Polisi mengangkut “penumpang istimewa” itu, menurut laporan media, juga sudah diperiksa oleh Divisi Propam Polri. Konon, pilot heli sudah diinterogasi. Namun, meskipun para personel yang melakukan penyimpangan prosedur itu sudah diperiksa, kami tetap merasa perlu bertanya. Apakah pengawalan “orang penting” di Bali dan “penumpang istimewa” heli Polisi itu benar-benar terjadi seperti yang terekam di video? Apakah betul kedua kejadian itu telah diperiksa oleh Propam Polri? Ditakutkan, semuanya hoax. Khawatir kedua video itu hoax dan berita tentang pemeriksaan Propam juga hoax. Itulah yang perlu ditanyakan. Jangan-jangan kedua rekaman video itu hoax. Siapa tahu konten kedua video itu hasil editan. Entah kan tulisan “POLISI” di badan heli itu editan. Begitu juga mobil polisi yang mengawal orang penting sedang jogging. Siapa tahu cat mobil itu hasil editan. Sehingga terlihat seperti mobil polisi. Entah pun orang-orang yang dikawal itu juga editan. Bisa saja mereka sedang jogging di pantai tapi diedit begitu rupa seolah-olah sedang jogging di jalan raya dengan pengawalan mobil polisi. ‘Kan gawat itu hoax-nya! Itu, Pak Polisi, yang membuat kami bertanya ke Bapak. Memang kedua video itu kami lihat sudah viral di medsos. Tetapi, kami merasa lebih baik menunggu jawaban dari Bapak saja. Sekalian juga mau bertanya ke Pak Johnny Plate. Beliau ini ‘kan punya wewenang untuk menyatakan sesuatu itu hoax atau tidak. Pertanyaan kami ke Pak Johnny, kedua video itu hoax atau bukan Pak? Bapak ‘kan bilang, kalau pemerintah mengatakan hoax, maka itu adalah hoax. Jadi, kami tunggu ya Pak. Maaf ya Pak Polisi dan Pak Menteri, kami terpaksa bertanya secara terbuka di halaman ini. Supaya pertanyaan itu tidak dibilang hoax. Terakhir Pak, rakyat berpesan agar Propam tidak hanya menyelidiki personel yang mengawal jogging. Juga jangan hanya mengintegogasi pilot heli. Mereka ‘kan bekerja berdasarkan perintah atasan. Sangat perlu memastikan apakah atasan mereka berperan, Pak. Seadil dan setransparan mungkinlah, Pak.[] Penanya adalah Warganet.

Pemerintah Yang Buat Kekacauan Akibat Omnibus Law?

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Senin (19/10). Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) panen kegagalan. Sejak semula, berbagai kritik dan saran telah kita sampaikan kepada pemerintah. Baik itu kritik secara terbuka di hadapan publik, melalui diskusi dan seminar, maupun melalui jalur lembaga-lembaga resmi negara. Kritik itu ada yang didengar, namun ada juga yang tidak. Ada juga yang dianggap sebagai angin lalu saja. Namun beberapa persoalan yang telah dikritisi itu, justru menjadi kenyataan sekarang. Intinya, pemerintah telah gagal dalam membuat kebijakan program dan proyek-proyeknya yang paling dibanggakan tersebut. Pertama, sebanyak 14 Paket Kebijakan yang diterbitkan pemerintah, dengan menelan biaya dan tenaga besar. Namun semuanya gagal. Paket-paket kebijakan tersebut berisi kegiatan obral sumber daya alam dan sumber daya ekonomi. Namun paket-paket itu keliru, dan gagal dalam menerjemahkan keadaan nasional dan internasional. Kerjanya amatiran dan recehan. Akibatnya berantakan semua. Kedua, kebijakan tax amnesty untuk mencari uang Rp 10.000 triliun rupiah. Kebijakan ini juga gagal dan berantakan semuanya. Tax amnesty adalah proyek pengampunan pajak. Namun dalam kenyataan menjadi proyek pengampunan piutang negara dan pengampunan para koruptor, pelaku penggelapan pajak, dan pengampunan para peternak uang kotor. Akhirnya tax amnesty yang tadinya berorientasi ke luar untuk memgejar harta para koruptor, digeser ke dalam negeri. Akibatnya adalah menghapus banyak sekali piutang pajak pemerintah yang belum tertagih kepada pengusaha di dalam negeri. Ini kebijakan yang ngaco, ngawur, dan bebal. Ketiga, meskipun tidak ada uang, pemerintah memaksakan ambisi pembangunan infrastruktur. Lalu dipaksakan lagi dengan mega proyek energi listrik 35.000 Mw, mega proyek kilang, dan sekarang mega proyek ibukota baru. Semua mega proyek ini tidak hanya gagal, namun juga tidak properly. Sehingga mewariskan beban utang dan pemeliharaan dimasa depan yang tak dapat dibiayai. Wajah Buruk Pembuat UU Akibat dari berbagai kegagalan di depan mata ini, para pemikir ekonomi di lingkaran kekuasan menuduh adanya tumpang tindih regulasi. Tidak singkronnya berbagai program dan proyek pemerintah, serta benturan kepentingan antara penyelenggara negara, yakni pemerintah, legislatif, yudikatif dan pemeintah daerah, sebagai penyebab dari kegagalan rencana pemerintah. Padahal semua UU mereka (DPR dan Pemerintah )yang buat sendiri. Mereka yang bikin tumpang tindih sendiri. Mereka yang buat situasi berantakan sendiri. Jadi kesimpulannya, pemerintahan ini jelas menuduh diri mereka sendiri sebagai pembuat kekacauan (chaos). Bukan yang lain. Lalu dibuatlah Omnimbus Law. Tujuannya menghilangkan berbagai hambatan regulasi, mensingkronisasi regulasi yang bertentangan, dan mengintegrasikan kembali kelembagaan pemerintah yang selama ini kepentingannya berbenturan. Namun Omnibus Law yang tadinya diharapkan bisa membuat stabilitas politik dan ekonomi, malah yang terjadi sebaliknya. Menjadi sumber kekacauan baru ngeri ini. Setidaknya ada tiga hal yang akan tercipta dari Omnibus Law. Pertama, ketidakpastian regulasi di bidang ekonomi, politik dan sosial akan makin parah. Perubahan UU sekaligus dalam jumlah banyak, akan membuat dunia usaha bingung. Bagaimana mereka dapat beradaptasi dengan aturan-aturan baru yang akan turun setelah Omnibus law? Kedua, ketaatan pada hukum makin buruk. Ini dikarenakan regulasi yang berubah-ubah. Terjadi banyak benturan dengan regulasi internasional yang telah diratifikasi pemerintah. Omnibus Law berdasarkan draft yang beredar, banyak sekali bertentangan dengan aturan aturan internasional di bidang lingkungan hidup, perburuhan atau ketenagakerjaan, dan norma demokrasi serta hak azasi manusia. Kitiga, Peraturan Pemerintah, Perpres, serta Kepmen berikutnya yang menjadi aturan pelaksana UU Omnibus Law rawan diperjual belikan. Ini dikarenakan banyaknya aturan itu sendiri, dan kepentingan diantara oligarki yang bersaing memperebutkan hal-hal yang akan diatur berikutnya. Dampaknya ke depan, akan banyak masalah yang bisa muncul. Misalnya, kekosongan hukum, atau aturan yang hanya bersumber dari pesanan pihak pihak tertentu. Bahkan sangat mungkin berakibat chaos dalam praktek penyelengaraan negara, pemerintahan, ekonomi dan sosial politik. Barangkali ada setitik niat baik dalam penyusunan Omnibus Law. Namun sejak semula perubahan sekitar 73 UU ini dipandang tidak demokrastis. Juga tidak transparan, dan tidak akuntable. Pihak internasional justru memandang Omnibus law membahayakan masa depan investasi, ketenagakerjaan dan lingkungan hidup di Indonesia. Sementara di dalam negeri terjadi penolakan yang begitu masiv dan keras dari buruh, mahasiswa, pelajar dan umat Islam. Mengapa bisa terjadi demikian? Ada yang salah dengan penyelenggara negara dan pemerintahan ini. Tetapi salah itu apa ya? Ada Yang Menginginakan Chaos Dalam dua dekade terakhir, sejak UUD 1945 diamandemen, Indonesia disebut berada dalam masa transisi. Jangankan waktu yang cukup panjang memang. Suasan politik dan ekonomi penuh dengan ketidak pastian. Dalam hal regulasi terjadi beberapa masalah yang timbul. Pertama, peraturan perundang-undangan terus diproduksi setiap waktu dalam hitungan hari dan bulan. Peraturan baru terus saja bermunculan. Peraturan lama berganti dengan yang baru sangat cepat dan begitu mudah. Akibatnya, semua cemas menunggu UU yang baru dan baru lagi. Kedua, peraturan perusahan dapat dibatalkan setiap saat. Baik oleh individu, maupun badan hukum melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Orang pun resah apakah sebuah Undang-Undang yang baru lahir akan dibatalkan lagi atau tidak. Makin tidak pasti regulasi tersebut. Ketiga, banyak regulasi yang telah dibatalkan oleh MK. Namun pemerintan tidak juga membuat aturan pelaksanaannya. Pemerintah sepertinya enggan melaksanakan putusan MK tersebut. Lalu UU yang mana yang harus dijadikan pegangan? Lagi-lagi membingungkan pemerintah ini. Keempat, banyak UU yang pada tingkat pelaksanaannya dilanggar oleh pemerintah sendiri. Karena pesanan dari pengusaha, pesanan asing dan lain sebagainya. Jadi peraturan pelaksanaan UU ternyata rawan menjadi obyek pesanan para pengusaha. Kelima, banyak lembaga baru yang dilahirkan oleh UU. Terjadi persaingan, rebutan peran antara kementrerian dan lembaga dalam mengejar proyek akibat lahirnya suatu Undang-Undang. Makin kacau karena pelaksananya terlibat dalam konflik kepentingan. Kesemua itu melahirkan kondisi chaos dalam pelaksanaan negara dan pemerintahan. Terjadi kekacauan dalam regulasi. Aadanya tumpang tindih regulasi, tumpang tindih birokrasi dikarenakan tumpang tindih kepentingan. Aakibat dari kehidupan bernegara dan pemerintahan yang serba kacau balau. Implikasinya negara tidak memiliki kesempatan menegakkan aturan. Aparat hukum juga tidak leluasa menegakkan aturan. Oknum aparat negara rawan menjadi kaki tangan pengusaha, agar menegakkan aturan tertentu saja. Tidak menegakkan aturan lainnya, agar kepentingan sang pengusaha langgeng. Ada menteri dan anggota DPR yang juga pengusaha. Sehingga memproduksi aturan hanya untuk melindungi kepentingan binsis mereka sendiri. Dan tampaknya langkah itu banyak membawa hasil. Banyak pejabat sekaligus pengusaha berhasil menjadi kaya raya dalam masa transisi ini. Dalam situasi ketidakpastian dan chaos ini, kita menyaksikan negara dikuasai para pebisnis. Tampak sekali sebagian aturan ditegakkan untuk kepentingan bisnis meraka. Sebagian yang lain tidak ditegakkan agar mereka semakin kaya. Inilah keadaan paling chaos dalam praktek kehidupan bernegara. Mereka telah belajar bagaimana merancang situasi ketidakpastiandan chaos itu. Melalui Omnibus Law, mereka secara efektif telah menyisir UU yang tidak menguntungkan bisnis mereka. Menghabisi pasal pasal dalam 79 UU yang dapat memperkaya oligarki kekuasaan. Mereka bisa saja membuang pasal yang dipandang menghambat, yang seringkali menyangku kepentingan orang banyak. Itulah Omnibus Law. Dalam dua dekade transisi yang chaos ini, para konglomerat busuk, taipan kelas kakap menjadi semakin kaya raya. Mereka tak tersentuh hukum. Mereka menguasai politik secara penuh. Uang terkonsentrasi pada segelintir orang kaya. Sebagian besar kekayaan dikuasai segelintir konglomerat. Akibatnya, kekayaan empat orang kaya Indonesia setara dengan kekayaan 100 juta penduduk negeri ini. Koefisien gini ratio meningkat. Yang kaya makin kaya, bandar makin kaya. Rakyat makin miskin. Harap sabaaaaaaaaaaaaar lagi. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).

Bahaya, Ali Ngabalin Ditunggangi ISIS

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (19/10). Setelah menyembur kalimat "sampah demokrasi" untuk pendemo Undang-Undang Cipta Kerja (Cilaka) beberapa hari lalu, kini mulut Ali Muchtar Ngabalin kembali menyemprot pendemo lagi. Kali ini dengan bahasa "Waspadai ISIS". Rupanya berseri umpatan demi umpatan Bapak Tenaga Ahli Utama (TAHU) ini he he hee. Terkesan lucu dan menjengkelkan, pria yang bersorban ini. Apalagi berusaha merepresentasi diri sebagai "tokoh Islam", tetapi gemar menyakiti umat Islam ini. Misalnya, ceramah "Trinitas" di gereja telah memporak-porandakan akidah. Khas karakter manusia pencari muka. Muka dicari-cari, entah lupa kalau menyimpen dimana ? Mungkin tertinggal di pintu gerbang istana? He he heee. ISIS yang sudah ditempatkan di museum purbakal, kini dibuka-buka kembali oleh Tuan TAHU. Engga kejauhan tuh menghubungkan aksi unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cilaka Omnibus Law dengan ISIS? Harus pergi ke Irak dan Suriah segala. Kasihan buruh dan mahasiswa yang sudah rela menanggung segala risiko untuk berunjuk rasa, eh ditunggangi ISIS kata Ali Ngabalin. Justru yang terjadi adalah Ali Ngabalin yang kemungkinan saja ditunggangi oleh ISIS. Ini yang harus diwaspadai. Ikatan Sahabat Ideologi Sesat (ISIS). Apalagi kalau ideologi Kapitalis dan Komunis. Kedua ideologi inilah yang sedang diperjuangkan oleh ISIS agar Undang-Undang Omnibus Law Cilaka sukses merusak NKRI. Ali Ngabalin kok mau maunya menjadi corong ISIS sih? Undang-Undang Omnibus Law Cilaka ditolak buruh, mahasiswa, pelajar dan umat Islam karena sangat menguntungkan pemilik modal dan pengusaha licik, picik, tamak dan culas. Juga dianggap merugikan hak-hak para pekerja. Ketidakadilan ini yang dikritisi sekarang. Sukses Omnibus Law adalah kemenangan kaum kapitalis dan komunis. Pahami itu baik-baik Ali Ngabalin. Disisi lain, satu Undang-Undang yang memakan dan menghilangkan banyak undang-undang adalah jalan bagi otoritarianisme. Kewenangan Pemerintah Daerah banyak yang diambil dan ditarik ke Pemerintah Pusat. Hegemoni kekuasaan semakin nampak. Ratusan peraturan pelaksanaan yang dibuat merupakan kewenangan penuh Pemerintah, baik melalui Peraturan Pemerintah, Kepres, dan Keputusan Menteri. Ini tidak lain adalah jalan untuk menjadikan Undang-Undang Omnibus Law Cilaka sebagai pintu masuk pengembangan sistem ekonomi komando yang dikenal dengan etatisme-sosialisme. Embrio dari komunisme. Ali Ngabilin perlu belajar ekonomi komando dan perizinan sentralitik yang hari ini dipraktekan oleh pemrintah komunis Republik Rakyat China (RRC). Spektrum luas yang hendak dicakupi dari Undang-Undang Omnibus Law Cilaka, ternyata bukan saja terfokus pada aspek-aspek ekonomi semata. Namun lebih dari aspek ekonomi itu. Kanyatan inilah membuat Undang-Undang Omnibus Law Cilaka menjadi aturan yang sanbgat berbahaya. Aturan sesat yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Nah tuan Ali Ngabalin perlu diwaspadai. Sebab kini anda sedang ditunggangi oleh kelompok ISIS (Ikatan Sahabat Ideologi Sesat). Ideologi yang bersembunyi di balik sorbanmu atau mungkin dalam otakmu. Selamat bersahabat dengan kaum kapitalis dan komunis. Penulis adalah Pemerhati Ali Ngabalin.

Demokrasi Jujur Versus Munafik

by Imam Shamsi Ali Makasar FNN – Senin (19/10). Konon Demokrasi itu dipahami sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Artinya, kekuasaan tertinggi itu sesungguhnya ada di tangan rakyat. Pengertian di atas tentunya sebagai pemahaman demokrasi yang berbentuk liberal. Bahwa Demokrasi liberal memang semuanya terpusat pada manusia. Manusia memang menempatkan diri sebagai superman dalam hidupnya. Pemahaman ini tentunya merupakan antitesis dari konsep teokrasi atau konsep bernegara yang berdasarkan kepada paham agama secara mutlak. Dimana pemerintah diyakini sebagai “representasi Tuhan”. Karenanya memiliki hak sacara mutlak untuk menentukan urusan publik sesuai keyakinan dari agama yang dianutnya. Antara paham Demokrasi liberal dan konsep negara teokrasi sesungguhnya memilki kecenderungan yang sama. Keduanya adalah konsep yang rentang melahirkan “absolutisme” yang dapat merugikan negara atau bangsa. Konsep Demokrasi liberal, rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sering mengantar kepada paham dan praktek hidup yang sesuai dengan kecenderungan rakyat banyak. Hal ini tentu sangat berbahaya. Karena kebenaran dan kebatilan, khususnya yang berkaitan dengan agama dan moralitas, akan ditentukan oleh arah suara rakyat mayoritas. Jika mayoritas rakyat itu sadar agama dan moralitas tentu masih positif. Tetapi, jika mayoritas rakyat telah menyeleweng dari nilai-nilai “kefitrahan” kemanusiaan, maka akan terlahir kemudian kebijakan-kebijakan publik yang bertentangan dengan fitrah manusia. Sebaliknya, pada konsep teokrasi, kekuasaan tertinggi ada pada pemimpin (Imam) yang diyakini sebagai wakil Tuhan di bumi. Dan karenanya, atas nama agama atau Tuhan, kebijakan publik semuanya ditentukan oleh pemimpin, Imam atau Khalifah. Masalahnya adalah pemimpin itu walaupun memang diyakini sebagai Wakil Tuhan (khususnya dalam konteks pemerintahan Syiah), tetapi pastinya mereka adalah tetap manusia yang memiliki semua kecenderungan manusia itu (hawa nafsu, dan lain-lain). Maka, sebagaimana teori yang mengatakan bahwa “power tend to corrupt” (kekuasaan cenderung korup atau merusak). Paham teokrasi ini tidak jarang berakhir pada “kekuasaan mutlak” (diktatorship) yang melahirkan kesemena-menaan dan manipulasi dalam kebijakan publik dan menejemen negara. Disinilah kemudian Islam dan praktek publik (kenegaraan) Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam mengambil jalan tengah (wasatiyah). Mengambil sebuah sistim yang di satu sisi memberikan hak otoritas (kekuasaan) kepada penguasa. Taat kepada penguasa (umara) dapat dipandang sebagai taat kepada Allah dan RasulNya). Namun di sisi lain, Islam memberikan hak yang dijaga dan dijamin untuk rakyat. Bahkan dalam konteks tertentu, rakyat wajib melakukan koreksi kepada kekuasaan. Bahwa kekuasaan itu tidak lain adalah amanah dari Allah, sekaligus tanggung jawab untuk memberikan pelayanan (khidmah) kepad rakyat. Jika kita menelusuri karakter pemerintahan Islam dalam perjalanan sejarahnya, bahkan dari zaman Rasulullah Salallaahu Alaihi Wassallam di Madinah, memiliki kecenderungan menapak jalan pemerintahan yang “tawazun” (imbang). Rasulullah Salallaahu Alaihi Wasallam bahkan sebagai Rasul dan nabi kita yakini menerima wahyu dalam segala urusan aspek kehidupan. Tetapi kesadaran akan hak rakyat dalam tatanan kehidupan publik (negara) Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam juga tidak jarang menerima masukan dari para sahabat. Bahkan beberapa kali justeru apa yang diinginkan oleh Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam berbeda dengan keinginan mayoritas umat. Dan Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam kemudian mengambil pendapat mayoritas selama tidak melanggar prinsip ajaran agama.Salah satunya yang kita ingat dalam sejarah adalah kisah perang Khandak atau Parit ketika itu. Juga dalam hal tawanan perang Badar, dimana beliau menerima pendapat Abu Bakar Assinddiq Radiyallaahu Anhu ketimbang pendapat Umar Bin Khatab Radiyallaahu Anhu. Belakangan justeru yang dikonfirmasi oleh Allah adalah opini Umar Ibnu Khatthab Radiyallaahu Anhu. Pemerintahan Islam yang imbang itu sangat nampak dalam proses pembentukan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Madinah. Dalam prosesnya, Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam melibatkan seluruh unsur masyarakat Madinah dari semua kalangan. Padahal realitanya sekali lagi beliau adalah seorang Rasul yang pastinya “tidak mengatakan sesuai keinginannya (hawa nafsu), tetapi dengan wahyu yang disampaikan kepadanya” (ayat). Para Khulafa Rasyidin semuanya disatu sisi menerima kekuasaan itu sebagai amanah Allah. Tetapi amanah itu dalam konteks “khidmatul ibaad” (pelayanan kepada hamba-hambaNya). Namun disisi lain, mereka semua sadar bahwa rakyat disatu sisi adalah “ra’iyah” (yang digembala, dijaga, diperhatikan, dilayani, dan seterusnya). Namun disisi lain mereka juga memiliki hak dan atau kewajiban untuk mengawal dan mengoreksi kekuasaan itu jika menyeleweng. Disaat Abu Bakar Assiddiq Radiyallaahu Anhu menerima amanah kekuasaan ketika itu, beliau berdiri dengan pedang terhunus seraya menyampaikan, “saya telah dipilih sebagai pemimpin dan belum tentu saya yang terbaik diantara kalian. Maka bantulah saya dalam mengemban amanah ini. Tetapi jika saya menyeleweng, maka luruslan saya dengan pedang ini”. Demikian pula Umar Bin Khatab, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib Radiyallaahu Anhu. Semua pemimpin Islam dalam sejarah yang konsisten dengan ajaran Islam. Semuanya menyadari, jika kekuasaan itu adalah amanah Allah untuk memberikan prlayanan terbaik kepada hamba-hambaNya. Oleh karena itu, dalam konsep nation state saat ini, dimana Demokrasi menjadi konsensus dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, Umat Islam dan bangsa Indonesia tentunya akan selalu konsisten dengan pemahaman yang imbang itu. Bahwa pemerintah (kekuasaan) punya hak otoritas untuk mengelolah negara dan bangsa. Tetapi juga sadar bahwa dalam tatanan kehidupan bernegara yang demokratis, rakyat memiliki hak (bahkan kewajiban) untuk mengoreksi kekuasaan yang cenderung korup tadi. Saya yakin konsep demokrasi imbang inilah yang dianut di Indonesia. Apalagi memang Indonesia bukan negara agama. Tetapi juga bukan negara sekuler liberal. Maka jalan tengah (wasatiyah) menjadi pilihan, bahkan karakter kehidupan bernegara dan berbangsa kita. Semua itu tentunya terpatri dalam konsep Pancasila yang secara filsafat menyatukan nilai-nilai agama dan nilai-nilai kebangsaan. Harapan kita, tentunya pemahaman imbang (tawazun) atau moderat (wasatiyah) harus dipertahankan secara konsisten. Bahwa pemerintah punya hak untuk mengelolah negara berdasarkan pertimbangan-pertimbangannya. Tetapi disisi lain, rakyat punya hak, bahkan sekali lagi pada tataran tertentu menjadi kewajiban sebagai amar ma’ruf nahi mungkar, untuk melakukan koreksi kepada kekuasaan. Pada saat rakyat mengambil hak atau melakukan kewajiban koreksi kekuasaan inilah, maka seringkali kemudian pemerintah teruji dalam konsistensi demokrasinya. Apakah siap untuk dikoreksi sebagai konsekwensi paham demokrasi yang dibanggakan itu? Atau sebaliknya, justeru alergi terhadap kritikan lalu melakukan reaksi yang justeru antitesi terhadap konsep demokrasi itu. Kritikan atau koreksi masyarakat dianggap ancaman, lalu terjadi kriminalisasi kepada rakyat. Kalau itu terjadi, sesungguhnya telah terjadi kemunafikan yang nyata atas nama demokrasi itu sendiri. Semoga saja tidak! Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation.