ALL CATEGORY

Mengapa Polisi Indonesia Brutal Ya?

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (13/10). Penanganan aksi demonstrasi buruh, mahasiswa dan pelajar STM/SMK di hari-hari mogok nasional buruh 6-8 Oktober 2020 sangat brutal. Ternyata di luar gambaran, Polisi sebagai pelindung, penagaman dan pengayom masyarakat jauh dari yang diharapkan. Brutal dan seperti ada "balas dendam" kepada peserta aksi. Apakah karena diserang ? Semua sudah hampir mafhum bahwa penyerang adalah "tangan buatan" dari berbagai kemungkinan kepentingan, termasuk dari Polisi sendiri. Sebab faktanya, para penyerang terhadap pendemo, sangat susah untuk bisa ditangkat oleh Polisi. Padahal polisi Indonesia terkenal hebat kalau untuk menangkap penjahat. Apalagi teroris dan pengkritik pemerintah. Sejak peristiwa demonstrasi di depan gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tanggal 21-22 Mei 2019, penanganan Polisi kepada pendemo sangat brutal. Penganiayaan dan pembunuhan pun terjadi. Dasar alasan adalah pelaku kerusuhan. Jadi terbayang dahulu, sewaktu Soekarno menganggap bahwa terbunuhnya para Jenderal sebagai "lumrah dalam revolusi". Kebrutalan Polisi tanpa pengusutan lebih lanjut. Kalaupun ada pengusutan, hanya dilakukan secara internal. Saksi terhadap pelaku kekerasan dari polisi hampir tidak diketahui publik. Yang terdengar hanya hukum disiplin pada beberapa anggota Polisi yang dianggap menyalahi prosedur. Indikasi keberadaan sniper juga terendus. Lalu wajah dan tampilan Polisi yang brutal juga saat aksi penolakan revisi UU KPK. Mahasiswa tewas dan anak STM teraniaya. Yusuf Kardawi dan Randi tewas di antaranya. Unjuk rasa terjadi dimana-mana, baik di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Makasar, Kendari dan daerah lainnya. Tuntutan dikeluarkan Perppu tidak digubris oleh Pemerintah. KPK pun lumpuh pasca terbit Undang-Undang revisi. Selalu menjadi pertanyaan dalam benak ini, mengapa penanganan unjuk rasa yang tersiar juga di berbagai media dunia selalu terlihat brutal? Padahal Jokowi Presiden Indonesia terlihat "calm" atau dingin. Mungkin ada beberapa hal terkait. Pertama, pola pembinaan yang keliru dan kurang memberi asupan materi tentang humanisme, hak asasi manusia, etika, dan nilai moral. Disamping dorongan pelaksanaan Pancasila dan pendalaman agama, khususnya tentang kesalehan dan dosa. Kedua, orientasi program Pemerintah yang materialistik dan pragmatik, sehingga aparat didoktrin sangat protektif. Menekan yang melawan kebijakan dinilai sebagai pembelaan negara. Unjuk rasa dipandang sebagai anti negara yang harus "dihukum". Bahaya kalau seperti ini pemahamannya. Negara demokrasi berubah menjadi negara kekuasaan yang otoriter. Ketiga, brutalisme adalah missi sengaja untuk menakuti. Pasukan Brigade Mobil (Brimob) yang berkarakter tentara diterjunkan saat menghadapi demonstrasi. Pasukan elit paramiliter ini bersenjata berat. Bawaannya adalah "perang" dengan musuh. Keempat, keeratan kerjasama dengan RRC. Tahun 2016 belasan perwira Polri belajar di Changsa Cina untukmendalami cyber crime. Tahun 2017 sebanyak 60 perwira tinggi peserta Sespimti melakukan KKN di Beijing dan Shanghai ke Kepolisian RRC. Meski tak jelas efek kerjasama, tetapi semua tahu Polisi RRC termasuk yang brutal dalam menangani aksi unjuk rasa. Kelima, ada modus sama pemantik tindakan keras adalah "kelompok hitam" yang memancing, baik dengan melempar batu maupun bakar bakar. Pola sama yang sebenarnya mudah untuk ditindak dan diusut tentang keberadaan "kelompok hitam" sang jago pancing dan rusuh tersebut. Terlepas dari semua itu, sikap brutal tersebut bukan saja merugikan pencitraan Polri sendiri. Tetapi juga Pemerintah Indonesia dalam kaitan penghargaan HAM. Disisi lain, jika tidak ada evaluasi, bisa saja rakyat atau pengunjuk rasa terpaksa harus membela diri dengan "mempersenjatai" diri dalam berunjuk rasa. Jika preman dibiarkan membantu Polri memakai kayu pemukul, kelak pengunjuk rasa juga bersiap siap dengan kayu pemukul pula. Ini tentu tak boleh terjadi. Semoga ada perubahan penanganan seperti yang diniatkan Kapolri Idham Azis saat memulai menjabat Kapolri. Lebih manusiawi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

UU Cipta Kerja Dan Proses Pemakzulan Jokowi

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Selasa (13/10). Paripurna DPR telah mengesahkan UU Cita Kerja (Ciptaker) pada 5 Oktober 2020. RUU Ciptaker setebal 906 halaman tersebut, dibahas hanya 6 bulan sejak April 2020. Menurut pemerintah pembentukan UU Ciptaker bertujuan menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya melalui perbaikan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha. Dikatakan, UU Ciptaker akan merubah struktur ekonomi dan sektor terkait, sehingga investasi dan produktivitas meningkat. Lapangan kerja tercipta, ekonomi tumbuh dan rakyat makin sejahtera. Namun kalau tujuannya mulia, kenapa para buruh, mahasiswa, tokoh, aktivis, akademisi, kepala daerah, pakar, ormas dan berbagai kalangan rakyat menolak? Sebaliknya, jika pemerintah dan fraksi-fraksi DPR pendukung pemerintah berniat tulus meningkatkan kesejehteraan rakyat, mengapa pula harus membahas RUU Ciptaker terburu-buru? Juga tertutup, abai kaidah moral, abai peraturan, memanipulasi iniformasi dan menebar ancaman? Jawabnya, di balik pemaksaan kehendak tersebut ada kepentingan khusus. Ada rekayasa dan agenda tersembunyi pro oligarki yang menyelinap, sehingga berpotensi merugikan rakyat dan membahayakan kehidupan berbangsa. UU Ciptaker mungkin dapat meningkatkan investasi dan lapangan kerja. Namun para anggota oligarki penguasa-pengusahalah yang akan untung besar. Tidak heran, RUU Ciptaker dibahas dengan brutal. Menghalalkan segala cara, sesuai kehendak oligarki dan pemerintah, yang tampak semakin otoriter seperti diurai berikut ini. Pertama, melanggar sila pertama Pancasila. Karena pembentukan UU sarat prilaku moral hazard. Paripurna DPR menetapkan UU Ciptaker atas dasar dokumen sesat, karena draft final RUU sengaja disembunyikan. Dengan modus ini, meski sudah ditetapkan DPR, penguasa dapat saja merubah-rubah naskah RUU sesuka hati, sambil melihat sikon dan mengakomodasi aspirasi dan tuntutan publik. Secara moral, prilaku manipulatif ini jelas illegal, memalukan, amoral, merendahkan martabat bangsa dan pantas dipidanakan. Sebab hingga hari ini (12/10/2020) naskah akhir RUU malah belum diterima “partai oposisi”, PD dan PKS. Apalagi untuk diakses publik. Jika Presiden Jokowi menuduh publik menolak UU Ciptaker atas dasar hoax. Publik pun bisa pula mengatakan Presiden Jokowi penyebar hoax UU Ciptaker. Faktanya, justru klarifikasi Presiden Jokowi (9/10/2020) atas isu hoax yang berkembang di publik itu yang dinilai berpredikat hoax. Penilaian ini sesuai penjelasan Presiden KSPI Said Iqbal terkait isu-isu UMSP, UMSK, PHK, dan Hak Cuti, (12/10/2020). Kedua, tidak sejalan dengan prinsip-prinsip musyawarah mufakat sila ke-4 dan keadilan sila ke-5 Pancasila. Rapat-rapat Panja RUU Ciptaker yang diakui berjumlah 64 kali, sebagian besar berlangsung tertutup. Jangankan mengundang partisipasi dan bermusyawarah, naskah dan informasi terkait RUU pun tidak bisa diakses publik. Jangankan bagi publik, bahkan naskah RUU bagi sesama anggota DPR saat pembahasan saja dibatasi. Sebaliknya, pemerintah dan DPR justru memberi peran bagi pengusaha oligarkis. Bukan saja untuk memberi masukan, bahkan diberi peran penting menyusun draft RUU. Orang-orang dari unsur luar pemerintah, partai dan pengusaha sangat berperan membentuk UU ini. Beberapa penguasa dan pimpinan partai, serta sejumlah dan konglomerat seperti James Riyadi, dan Ruslan Rooslani, berserta sejumlah konspirator demikian dominan menentukan konten RUU. Sebaliknya buruh, pakar dan akademisi dihambat berpartisipasi. Hal ini jelas merupakan bentuk ketidakadilan dan persekongkolan yang mengangkangi prinsip-prinsip musyawarah dan keadilan Pancasila. Ketiga, melanggar UUD 1945 Pasal 1 ayat (2), “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Tertutup dan konspiratifnya pembahasan RUU Ciptaker, pemerintah dan DPR telah menghalangi rakyat memperoleh informasi terkait dan naskah RUU Ciptaker, tetapi juga menghambat rakyat menyampaikan aspirasi dan melaksanakan hak kedaulatan yang dijamin konstitusi. Keempat, melanggar Pasal 5 UU No.12/Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) dan Pasal 229 UU No.17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Mayoritas rapat Panja RUU melanggar asas keterbukaan karena dilakukan tertutup dan tidak dilakukan di DPR, tetapi di hotel-hotel. RUU dibahas tanpa partisipasi publik dan stakeholders terkait. Sesuai UU P3 dan MD3, pembentukan UU, mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Konsultasi publik dan audiensi yang dilakukan Pemerintah dan DPR dengan beberapa pihak pada awal pembahasan, untuk kepentingan internal, bukanlah pengambilan aspirasi dan partisipasi publik sebagaimana diperintahkan kedua UU itu. Kelima, melanggar Pasal 96 ayat (4) UU No.12/2011 tentang P3 yang menjamin akses informasi bagi publik. Naskah hasil pembahasan RUU sebelum diputuskan seharusnya dipublikasi, disebar kepada stakeholders dan diuji publik. Namun yang terjadi draft RUU Ciptaker tidak dipublikasi dan menjadi barang rahasia. Dengan begitu hak publik mengikuti perkembangan pembahasan dan memberi masukan lisan dan tertulis terhambat. RUU itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara formil dan materiil. Ternyata, modus manipulatif pembentukan UU Ciptaker berlangsung bersamaan dengan munculnya langkah represif, ancaman dan penangkapan terhadap publik yang kritis. Termasuk terhadap sejumlah demonstran. Jika prilaku penyelenggaran negara sudah demikian, anda masih bicara “saya Pancasila”? Bagaimana bisa para pejabat mengaku “saya Pancasila” tega melanggar prinsip-prinsip bernegara dan berbangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral? Bahkan hal ini dilakukan di tengah derita rakyat akibat pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan pemerintah telah meninggalkan prinsip-prinsip moral, demokrasi dan amanat reformasi. Pemerintah tampaknya secara perlahan berubah dari negara demokratis berazas hukum menjadi negara kekuasaan atau otriter. Pemerintah terbukti melakukan pendekatan kekuasaan dan menabrak Pancasila dan sejumlah ketentuan hukum terkai UU Ciptaker. Dalam Pasal 170 UU Ciptaker telah pula termuat aturan otoriter, Presiden bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengubah UU lain! Ternyata pemerintahan menuju otoriterianisme telah berlangsung sejak terbitnya Perppu No.1/2020 yang berubah jadi UU No.2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan atau UU Korona. UU ini memberi kekuasaan Presiden menetapkan APBN/APBN-P tanpa partisipasi DPR (contoh: Perpres No.54/2020 dan Perpres No.72/2020). Hal ini jelas memberangus hak budget DPR yang dijamin Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Presiden pun semakin berkuasa dan dapat bertindak di atas hukum atau melakukan abuse of power. Karena diberi hak impunitas dalam Pasal 27 UU No.2/2020 dan merubah ketentuan dalam 12 UU yang saat ini berlaku, pada Pasal 28 UU No.2/2020. Bentuk lain dari kekuasaan menuju otoriterianisme, melalui UU Minerba No.3/2020. Presiden berkuasa memperpanjang kontrak-kontrak PKP2B dan izin-izin usaha tambang kepada para oligarki dan pengusaha tambang yang kontrak/izinnya habis. Padahal menurut Pasal 33 UUD 1945 dan UU No.4/2009 yang diberangus, aset negara yang nilainya minimal Rp 10.000 triliun tersebut, harus dikelola oleh BUMN. Aset negara yang dapat menyejahterakan rakyat melalui BUMN, secara vulgar dirampok melalui konspirasi busuk oligarki kekuasaan. Kemenko Perekonomian menyatakan, sesuai arahan Presiden Jokowi, akan diterbitkan sekitar 35 PP dan 4 Prepres sebagai turunan operasional dari UU Ciptaker dalam waktu 3 bulan ke depan. Bagaimana anda akan menerbitkan PP dan Perpres secara benar, legal dan objektif, jika UU-nya saja disusun penuh konspirasi, rekayasa dan manipulasi, serta belum juga final? Otoriterianisme dan pemaksaan kehendak ini akan tetap dilanjutkan pemerintah? Bagi IRESS, rencana tersebut harus segera dibatalkan. Karena berbagai prilaku moral hazard, cacat formil, cacat materiil, melanggar UU, konstitusi dan menihilkan Pancasila, maka UU Ciptaker harus segera dicabut. Apalagi jika motif di balik pembentukan UU yang digadang-gadang sebagai alat untuk meningkatkan invesasti dan lapangan kerja itu, ternyata lebih banyak ditujukan untuk kepentingan oligarki kekuasaan dan asing. Dalam tiga UU terkahir, yakni UU Korona No.2/2020, UU Minerba No.3/2020 dan draft UU Ciptaker, telah ditetapkan kekuasaan Presiden yang semakin besar menuju otoriterianisme. Oligarki kekuasaan tampak telah terlibat aktif merubah NKRI dari negara hukum, perlahan menjadi negara kekuasaan. Kenyataan ini jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Karena telah melanggar berbagai UU dan mengkhianati UUD 1945, pantas jika DPR dan MPR memulai proses pemakzulan terhahap Presiden Jokowi sesuai amanat Pasal 7 UUD 1945. Sebagai kesimpulan, kita menuntut agar UU Ciptaker yang ditetapkan DPR pada 5 Oktober 2020 segera dibatalkan. Karena dinilai bersikap semakin otoriter, pro oligarki, serta melanggar sejumlah peraturan dan konstitusi, maka Presiden Jokowi ditutut untuk segera menjalani proses pemakzulan oleh DPR/MPR. Demi hukum, keadilan dan kedaulatan rakyat, mari bergabung mengadvokasi pembatalan UU Ciptaker dan proses pemakzulan Presiden Jokowi. Penulis adalag Direktur Eksekutif Institute Resources Studies (IRESS).

Alhamdulillah, Guru Besar Tidak Tolol Menilai UU Omnibus

by Dr. Margarito Kamis SH.Hum Jakarta FNN – Selasa (13/10). Para Guru Besar, yang mengeritik keras UU Omnibus Cipta Kerja yang baru saja disahkan itu sebagai tolol? Yang benar saja deh. Apa mereka semua berkacamata kuda dalam menimbang UU Omnibus Cipta Kerja? Jangan aneh-aneh deh. Para Guru Besar itu tidak mampu mengenal ambisi besar UU, yang saya nilai sialan ini, hendak menaruh monster pencegah korupsi di hulu semua proses berinvestasi? Jengan mengada-ada. Berpura-purakah mereka kritis? Aneh-aneh aja. Apakah Mereka yang biasa melahirkan para doktor, magister dan sarjana tak punya peralatan, metodologi berpikir? Enak aja. Lensa Keilmuan Kelewat konyol bila mengatakan Gara Buru besar kritis itu, tidak mengerti kelemahan dan kelebihan paradigma. Paradigma menentukan out put. Gambaran besar atau kecil diujung penalaran atas fakta. Fakta memiliki makna. Pemberian makna atas satu fakta, mungkin akan berbeda. Itu merupakan hal biasa, dan itu alamiah dalam khazanah ilmu. Satu Guru Besar dengan Guru Besar lain mungkin akan berbeda memaknai kenyataan anggota DPR tidak dibelakai RUU itu pada saat disahkan menjadi UU. Kenyataan itu defenitif. Kenyataan ini dapat diperiksa secara obyektif. Kenyataan itu tidak dikarang-karang. Para originalism seperti Antonio Scalia, hakim Agung Amerika Serikat, yang empat tahun lalu meninggal dunia di usia lebih 80 tahun itu, menjadikan teks sebagai determinative law. Law as text. Paradigma dominan ini, betapapun diagungkan Scalia, tetapi, bukan tak dapat dikritik. Paradigma interpretasi ini, dalam kenyataan keilmuan juga menjadi alamat kritik hebat. Dalam sifatnya ini sama dengan pradigma klasik yang berkembang di Perancis, yang dikenal bouse de la loi atau judges as mouth of law. Hakim itu mulut UU. Hukum itu adanya di undang-undang. Maknanya hakim jangan keluar dari UU dalam menemukan hukum. Hakim harus menganggap UU adalah hukum. Diluar itu tidak. Kelebihannya, begitulah dunia keilmuan, ternyata tidak mengubur munculnya kelemahan di sisi lain yang praktis. Tidak ada kata yang sungguh- sungguh mengekspresi, mewakili original intention pembentuk teks, law giver atau law makers. Itu kelemahannya, sehingga muncul paradigma penantang. Progresive paradigm muncul sebagai salah satu penantang produktif atas originlism paradigm. Paradigma ini, tidak memandang hukum sepenuhnya sebagai text dan hanya ada pada UU. Tidak begitu. Sebagai pantulan kombinatif dari hal-hal yang nyata terjadi dalam masyarakat, dan diabdikan untuk masyarakat, maka hukum harus dicari di tengah kehidupan masyarakat. Digunakan untuk mengenergizer masyarakat. Interpretasi tipikal ini, mengundang sanggahan hebat dengan argumentasi yang tak kalah mengagumkan. Misalanya, paradigma ini diidentifikasi sebagai instrumen korporat mengakali hukum untuk kepentingan mereka. Mereka menyodorkan para hakim sebagai hulu balangnya. Paradgima ini mengharuskan hakim pergi keluar dari teks hukum. Hakim keluar dari UU. Hakim diharamkan terpaku mati pada teks hukum. Cara ini, kata mereka, demi dan untuk keadilan sebanyak-banyak masyarakat. Bukan semua masyarakat. Dalam kenyataannya, pemeritahan tiranis menyukai dan mengandalkan paradigma ini memutar roda pemerintahan. Menjadi trade mark pemerintah totaliter. Paradigma ini membenarkan pemerintah menggunakan hukum sebagai tongkat pemukul bengis terhadap rakyat. Walau tidak selalu berbau komunistik, paradigm ini memungkinkan komunis bergerak masuk secara halus ke semua sudut kehidupan. Masuk dengan cara menjadikan hukum sebagai kuda manis tunggangannya. Dalam ilmu hukum, paradigma ini dikenal dengan progressivism. Dalam ilmu interpretasi ditransformasi menjadi judicial activism. Lawan tanding tangguh atas judicial restrain, khas Scalia. Mereka Sangat Bening Bodoh betul mengangap Guru Besar tidak mampu menganalogikan Omnibus Bills dengan code of act. Tidak ada ilmuan hukum yang tidak mengerti Omnibus mewakili lingkungan hukum anglo saxon. Disisi lain code of act (kitab UU semacam KUPH, KUH-Perdata Dagang, dan KUHAP) mewakili karakter hukum Eropa Kontinental. Undang-undang yang isinya meliputi banyak aspek, yang disebut Omnibus Bills atau law, memang bukan barang baru di dunia hukum. Kapan mulai dipraktikan? O’Brien and Bosc dalam kajiannya berjudul “Omnibus Bills in Theory and Practice “menyodorkan Amerika pada frontline penggunaan konsep ini. Profesor ilmu politik pada Laval University ini menunjuk tahun 1888 sebagai tahun awal penggunaan konsep itu. UU ini mengatur persetujuan pemisahan dua jalur kereta api. Disebabkan merupakan persetujuan dua korporasi yang bersifat privat, maka omnibus ini disifatkan sebagai private ominibus bill. Tetapi Profesor ini, mengakui pertama kali mendengar konsep ini tahun 1967. Ini ketika Pierre Trudeau, Menteri Kehakiman Canada merancang, sungguh sangat baru dan mengagumkan, landmark, mengamandemen hukum pidana. Hukum pidana baru ini berisi beragam materi. Materi Hukum pidana yang baru diamandemen itu meliputi, dalam kata-katanya, homosexuality, abortion, contraception, lotteries, gun ownership, drinking-and-driving penalties, harassing phone calls, regulated misleading advertising and even cruelty to animals. Jelas penalarannya. Ilmu hukum, yang diketahui para Guru Besar bahwa politik menjadi golden views pada pembahasan RUU. Materi yang mau diatur, sepenuhnya berdasarkan penilaian dan ekspektasi politik. Itu sebabnya, apa saja bisa diatur dalam satu RUU dan diputuskan menjadi UU. Ini terjadi di Irlandia, negeri dalam rumpun tradisi anglo saxon. Dalam Omnibus mereka yang belum lama diputuskan, berisi ragam hal, meliputi ribuan UU. Omnibus mereka mencabut ribuan undang-undang eksisting. Salahkah ini? Tidak. Pada titik ini, yang menjadi takarannya adalah politik, bukan hukum. Mengagungkan UU hanya berdasarkan namanya. Misalnya Omnibus Cipta Kerja, juga hal-hal umum yang ada didalamnya, jelas bukan pekerjaan ilmuan hukum. Menunjuk penyederhanaan proses perolehan izin usaha, yang dipropagandakan politisi sebagai hal mengagumkan dari UU sialan ini, tak mungkin diterima ilmuan hukum. Penyederhanaan izin, sama sekali tidak bermakna tidak perlu izin usaha. Izin usaha tetap ada. Izin harus diurusi oleh setiap pengusaha. Karena izin usaha tetap ada, maka semudah apapun prosedurnya, beralasan bila ilmuan hukum mengajukan hipotetis tentang kemungkinan terjadi hal buruk. Korupsi misalnya, pada saat mengurus izin. Ilmuan hukum tahu teks hukum. Yang didalamnya norma hukum dinyatakan, bersifat hipotetis. Norma hukum tidak dapat disamakan dengan kenyataan atau fakta. Norma hukum atau teks hukum, hanya mewakili kehendak pembentuknya, bersifat hipotetis. Bukan menggambarkan kenyataan faktual. Mengagungkan satu UU hanya, sekali lagi, berdasarkan judul UU itu, tak mungkin bukan merupakan pekerjaan konyol. Ini banyolan dahsyat. Ahli hukum tahu, korupsi disebabkan salah satunya teks hukum yang memiliki beragam makna. Teks yang memiliki ragam makna alias tak tunggal adalah panggilan terhadap korupsi. Teks yang memiliki ragam makna justru pencipta utama ketidakpastian hukum. UU Omnibus ini diwarnai dengan teks jenis ini. Sekadar ilustrasi, upah buruh yang dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, misalnya. Bagaimana membaca teks itu? Pertumbuhan per semester, per triwulan atau per kwartal atau apa? Bodoh sekali bila berpendapat UU Omnibus menghapus PHK. Sekali lagi bodoh. Ahli hukum tidak akan bernalar seperti ini. Mereka tahu nalar itu mencerminkan kebodohan paripurna. Tidak ada pekerja, apapun pekerjaan itu, dimanapun, yang tidak bisa diberhentikan. Ahli hukum tahu semua pekerja bisa diberhentikan sebelum waktunya. Ini logis. Itu sebabnya ahli hukum akan menyelidiki syarat dan prosedur pemberhentian pekerja. Dari situ barulah ahli hukum tiba pada pernyataan kongklusif. Misalnya, pemberhentian kerja dipersulit atau dipermudah oleh UU Omnibus ini. Pembaca FNN yang budiman. Sejarah kelimuan secara umum merekam sejumlah fakta adanya ahli yang bertindak sebagai corong dan kaki tangan korporasi. Mereka melegitimasi sebuah gagasan pembentukan UU yang ditolak rakyat. Ini juga terjadi di Amerika. Terjadi sejumlah korporasi oligarki wall street menghendaki pembentukan UU Bank Sentral. Ilmuan ikut menyamarkan nama Bank Sentral itu menjadi The Federal Reserve Act. Praktris ilmuan ikut menyesatkan, mengakali masyarakat yang mati-matian menolak bank jenis ini. Kembali ke kasus UU Omnibus Cipta Kerja. Namanya oke, cipta kerja. Tetapi ilmuan hukum tahu betul nama ini bersifat hipotetik. Konsekuensinya tidak serta-merta terwujud. Alhamdulillah ilmuan hukum, bahkan ratusan dari mereka, tidak berenang di lautan politik busuk khas politisi picisan, licik, culas dan picik. Juga tidak mengikuti maunya korporasi oligarkis keleng-kaleng, odong-odong dan beleng-beleng. Alhamdulillah, ahli-ahli hukum dan Guru Besar lainnya di sejumlah kampus tidak ikut-ikutan mempropagandakan UU Omnibus, yang saya nilai sangat membinasakan ini. Alhamudlillah, mereka masih menempatkan nurani intelektualnya di jantung hidupnya. Bersyukur pada nurani mereka bening, sebening janji Allah Subhanahu Wata’ala yang akan mengangkat derajat merela orang-orang yang berilmu dan beramal lebih tinggi dari yang tidak berilmu dan tidak beramal. Allah Subhanahu Wata’ala juga akan membalas kebaikan dengan kebaikan. Alhamudlillah. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Negara "Sekarepmu Dewek” Pak Presiden

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (12/10). Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja bikinan Pemerintah mendapat reaksi keras masyarakat. Aspirasi rakyat menghendaki segera ada pembatalan atas Undang-Undang hantu dan kutilanak tersebut. Sebab Undang-Undang yang prosedur dan kontennya tidak adil, dan sarat kepentingan ini buruk secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Terburuk dalam sejarah perundang-undangan Negara Republik Indonesia. Akibatnya perlawanan datang tiak hanya dari para buruh, mahasiswa dan pelajar. Tetapi tantangan atas Undang-Undang ini datang juga dari ahli hukum dan ratusan Guru Besar puluhan Perguruan Tinggi di Indonesia Atas aksi-aksi penentangan baik oleh buruh, mahasiswa, cendekiawan, ormas keagamaan, maupun beberapa Kepala Daerah. Namun Presiden telah mengumumkan langkah dengan memberikan instruksi kepada Kapolri untuk bertindak tegas. Presiden juga melarang para Gubernur untuk menolak UU Cipta Kerja tersebut. Emangnya Gubernur anak buah Presiden ya??? Ada lagi tuduhan, bahkan penangkapan terhadap penyebar hoax RUU Cipta Kerja. Sementara RUU otentik yang ditetapkan oleh DPR pun tidak ada. Darimana Polisi bisa punya data, sehingga bisa menyatakan bahwa konten RUU yang disebarkan itu hoaks? Sementara sampai hari ini belum ditemukan draf RUU yang otentik dan absah pada saat pengesahan di sidang peripurna DPR. Ah, Presiden dan Polisi ada-ada saja. Kalau mau ngancam dan nakut-nakuti itu, yang berklas sedikitlah. Masa penetapan pidana kepada penyebar hoaks, namun UU Omnibus Law Cipta Kerja ini belum jelas wujudnya seperti apa? Tapi ya "sekarepmu" saja. Pokoknya suka-suka hati Presiden dan Polisi sajalah. Ada tiga hal penting bahwa Presiden telah bertindak "sekarep dewek", seolah-olah hanya dirinya sebagai pemilik negara . Pertama, apapun alasan, rakyat harus terima Omnibus Law ini. Karena dalihnya demi kepentingan penciptaan kerja. Lupa bahwa impor tenaga kerja asing adalah ikutan utama dari proyek produk Omnibus Law ini. Kedua, instruksi bertindak tegas dapat ditafsirkan oleh Polisi untuk bertindak keras, brutal, dan abai soal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena "demi menyelamatkan negara" versi instruksi Presiden. Lupa bahwa Polisi adalah alat negara. Bukan alat Pemerintah atau Presiden. Polisi itu pelindung, pengaman dan pengayom maysrakat. Bukan pembantai masyarakat. Ketiga, Gubernur atau Kepala Daerah tidak semata-mata kepanjangan tangan Pemerintah Pusat. Apalagi anak buah Presiden. Apa Presiden sudah lupa bahwa Gubernur dipilih oleh rakyat di Provinsinya. Bukan sebagai pembantu Presiden yang bisa disuruh-suruh. Presiden Jokowi tanpa disadari telah menerapkan prinsip Negara adalah Aku. Ini negara demokrasi berdasar "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan". Jadi no way otokrasi. Apalagi merasa kuasa sendiri. Tidak boleh "sekarepmu” pak Presiden. Harus diingat bahwa kekuasaan itu selalu berputar. Sekarang boleh saja di atas, tetapi besok juga di bawah. Sekarang mulia, besok bisa terhina lho. Allah Subhaanahu Watala mengingatkan manusia tentang kekuasaan itu pada saatnya akan berakhir juga. "Katakanlah (Wahai Muhammad) : Wahai Allah pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan pada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS Ali Imron 26). Tidak percaya? Tidak beriman? Silahkan tunggu pembuktian. "Wantadhiruu Inna muntadhiruun". Dan tunggulah (akibat perbuatanmu). Sesungguhnya kami pun sedang menunggu. (QS Huud 122). Penulis dalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Konyol Kalau Bawa UU Omnibus ke MK

by Dr.Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN – Senin (12/10). Dari namanya UU Omnibus Cipta Kerja, yang telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 lalu. Jangkauan materi muatannya mencakup 79 undang-undang, dengan 1.244 pasal ini, mengagumkan. Bahkan amat sangat mengagumkan. UU ini berambisi besar memberi kerja kepada 2,3 juta warga negara Indonesia, yang setiap tahun masuk ke pasar kerja. Bukan DPR, tetapi Presiden adalah pemrakarsa UU ini. Prakarsanya itu dinyatakan pada pidato pelantikannya untuk masa jabatan kedua. Ambisinya besar. Presiden hendak membawa bangsa ini berjaya pada tahun 2045. Kejayaan itu harus sudah mulai diproses dari sekarang. Hebat kan? Tidak Ada di Meja Paripurna Presiden, dengan segala hormat, jelas bukan sarjana hukum. Bahkan mungkin juga tidak memiliki pengetahuan hukum. Presiden tak terlatih berpikir ala yuris, think like juris seperti para guru besar hukum dan doktor, ahli hukum lainnya. Para guru besar dan ahli hukum di kampus-kampus yang terlatih bernalar menurut ilmu hukum, telah secara terbuka menolak UU Omnibus Cipta Kerja ini. Desakan mereka, ternyata tidak berbuah. Desakan dan deskan para demonstran, semuanya melayang ke angkasa. Berlau dalam kehampaan. Presiden tidak sudi memenuhi permintaan mereka. Presiden tak memilih pencabutan UU itu sebagai jawabannya. Presiden tetap di posisi politiknya melaksanakan UU. Presiden memang tidak mengatakan bahwa para Guru Besar, mahasiswa, buruh dan pelajar demonstran tersebut berotak udang. Jelas itu tidak. Presiden juga dipastikan tidak mengatakan para Guru Besar telah memperoleh informasi hoax terkait UU ini. Tetapi identifikasinya bahwa demontsran dirangsang, dipicu oleh informasi hoax. Ini terlihat sepertinya menyepelekan, untuk tak mengatakan Presiden telah mengidentifikasi para demonstran berotak udang. Celakanya, Preiden tak mampu menjelaskan secara detil pasal demi pasal UU ini. Untuk hal paling sepele, yakni draf UU yang hingga paripurna itu tak tersaji di meja. Jangankan anggota DPR, Ketua Fraksi pun tidak itu punya. Peristiwa ini tidak dapat dijelaskan oleh Presiden. Celakanya, Presiden menyodorkan hoax, disinformasi sebagai pemicu demonstrasi. Jangan begitu Pak Presiden. Permasalahan hukum apa yang disahkan Pak Presiden dan DPR? Mengesahkan hal yang hanya ada di kepala? Apakah Presiden sedang menciptakan tatanan baru pembentukan UU dalam ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945? Apakah Pak Presiden hendak menjadikan Baleg sebagai organ baru menggantikan DPR? Apakah ekspresi DPR sebagai lembaga negara, sekarang diwakilkan kepada Baleg? Bukan pada rapat paripurna DPR? Ini ilmu apa Pak Presiden? Presiden harus diberi tahu perbaikan tipo, titik koma, bentuk huruf, itu bukan pekerjaan yang hanya sah secara konstitusi dilakukan dalam pembahasan. Bukan setelah disepakati paripurna Pak Presiden. Tahukah Presiden hukum ada pada setiap kata, bentuk huruf, rangkaian kata-kata dan tanda-tanda baca dalam pasal, ayat, dan huruf? Hukum apa yang dibekali kepada Presiden kala menyampaikan sikapnya, pada tanggal 9 Oktober, sehari setelah demonstrasi? Politik memang tidak sama dengan perang yang tidak bisa jauh dari gerak tipuan. Tetapi apa yang Presiden dapat sajikan kepada rakyat? Misalnya nalar dibalik konsep perhitungan upah buruh yang dipertalikan pada pertumbuhan ekonomi setiap daerah? Pak Presiden anak SD juga bisa baca teks UU. Tetapi mereka tak bakal mengerti nalar dibalik teks itu. Andai Presiden mau buka sedikit lembaran sejarah pembangunan republik tercinta ini, Presiden pasti akan menemukan rangkaian bukti lapuknya paradigma penciptaan lapangan kerja. Paradigma bersandar pada korporasi. Orde baru mengawali eksistensinya dengan cara pandang itu. Hasilnya? Pertumbuhan ekonomi hanya mengagumkan dan membesarkan segelintir korporasi. Presiden memang tidak bersentuhan dengan Orde Baru. Paradigma liberal klasik itu, sayangnya dihidupkan secar ugal-ugalan lagi pada saat ini. Paradigma itu bertransformasi menjadi metode korporasi memperbesar cengkeraman mereka atas seluruh tatanan bernegara. Sayang sekali Presiden tidak menenggelamkan nalarnya ke dalam falacy konsep itu. Menyedihkan betul. Dilarang Terpukau Presiden telah mendemonstrasikan sikapnya, entah demokratis atau angkuh dengan membuka diri, mempersilahkan warga negara yang jengkel dengan UU ini, membawanya ke MK. Hebatkah ini? Tidak. Ini malah payah. Mengapa? Orang-orang pintar tahu kalau mengikuti imbauan Presiden sama dengan membuat UU Omnibus Ciptaker yang sialan itu, tetap menjadi buih. Berada diatas permukaan ombak. Orang-orang pintar akan menemukan diri tenggelam dalam politik tak berkelas Presdien. Itu satu. Kedua, ke MK itu konsekuensi sistem ketatanegaraan eksisting. Dengan atau tanpa sikap Presiden, sistem bekerja dengan cara itu. Tidak bisa lain. Bawaan lautan adalah asin. Itu alamiah. Tanpa perlu digarami pun lautan tetap saja asin. Jadi untuk apa mempersilahkan rakyat membawa UU ini ke MK? Menyuruh orang ke MK, tetapi pada saat yang sama membuka dialog, jelas akan terlihat sebagai ejekan. Apa yang mau didialogkan setelah menjadi UU? Mau akomodasi gagasan baru ke dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden? Para Guru Besar akan merasa diakali. Mengapa? UU sudah disahkan. PP dan Perpres tidak bisa memuat norma yang tidak diperintahkan UU. Jadi apa faedahnya dialog? Pernyataan Presiden itu seperti menyuruh Guru Besar menjaring angin. Sudahlah, tak ada faedah untuk diratapi. Nestapa, suka atau tidak, sudah muncul menemani bangsa ini disepanjang jalan berliku dihari-hari mendatang. Marilah melihat pernyataan itu sebagai cara Presiden menghindar Perpu mencabut UU itu. Perpu pencabutan UU itu tak tersedia di meja kebijakan Presiden. Presiden mempersilakan siapapun membawa UU ini ke MK, dapat diduga mungkin dirangsang oleh pengetahuan kecilnya tentang preseden pasal tentang presdensial threshold pada UU Pilpres. Hantu blau ini tidak dikenal dalam pasal 6A UUD 1945. Ini ciptaan DPR dan Presiden, dan dibenarkan oleh MK. Jatuh hati pada sikap demokratis Presiden, terasa sama dengan terjatuh ke dalam parit dan gorong-gorong. Mengejarnya terasa sama dengan membentangkan pelangi dilangit usai ba’da Azhar. Mustahil. Sehebat apapun angkuhmu, mustahil kau bentangkan pelangi di langit ujung ba’da Ashar. Sudahlah, menjauhlah dari pergi ke MK. Jangan rindukan datangnya luka hati. Presiden, dapat diandaikan, tidak mengerti konsep unintended consequences atas hukum dalam pasal, ayat dan huruf. Terlalu berlebihan meminta Presien mengerti kenyataan sejarah yang dihasilkan dari konsekuensi itu. Amandemen ke-14 Konstitusi Amerika Serikat pada tahun 1868 usai perang saudara, sejenak terlihat mengagumkan. Amandemen itu tegas mengatur, dalam sifatnya konsolidasi prinsip kesamaan derajat untuk semua jenis subyek hukum. Untuk Amerika yang hebat. Apa yang terjadi sesudahnya? Aturan itu menjadi dasar korporasi diterima sebagai subyek hukum dalam sistem hukum Amerika sejak itu. Itulah konsekuensi tak dikehendaki unintended consequences. Mau apa? Begitulah hukum bekerja dalam alam demokrasi korporasi yang dipandu dengan hukum, nomokrasi urakan. Keuangkuhan Monster Mayoritas Terpukaulah dengan kenyataan yang disodorkan PKS dan Demokrat, yaitu tidak adanya UU yang disahkan itu diatas meja paripurna. Luka besar konstitusi ini, cukuplah diratapi, bila tak mampu tertawakan. Namun tak usah kecil hati dengan kenyataan konstitusional bahwa Presiden punya tiga hakim MK. Begitu juga DPR. Itu konstrain UUD 1945. Itu determinative, bukan indeterminative. Berbesar hati pulalah, sistem konstitusi di bawah UUD 1945 memungkinkan MK berkreasi menemukan argumen-argumen pembenar atas kenyataan sebusuk itu. Kreasi mereka tak bisa dikoreksi. Itu hebatnya sistem tata negara reformasi. Begitu MK membenarkan kenyataan busuk itu, maka terkunci, dalam arti terformalisasi sudah hal busuk itu. Putusan itu menjadi hukum dan tatanan bernegara dimasa datang. Itulah konsekuensi sistem. Konsekuensi lainnya? Dimasa depan sistem ketatanegaraan kita membenarkan Presiden dan DPR mengesahkan RUU tanpa rancangan final tersaji diatas meja anggota DPR dalam paripurna. Berbahaya memang, karena ini menjadi panggilan mengerikan hidupnya monster bernama keangkuhan mayoritas. Selalu ada waktu untuk kebenaran berbicara dengan cara yang tak dapat dilawan oleh penguasa sekaliber Fir’aun sekalipun. Hukum politik mengajarkan kebenaran selalu punya cara menyapa dan menggoyahkan, bahkan menggulung penguasa yang memonopoli semua aspek semau-maunya. Terpukau untuk pergi ke MK menguji UU ini, bisa jadi akan ditertawakan kera putih kecil. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Tak usah menyusahkan diri sendiri. Meminta Perpu kepada yang terhormat Presiden mencabut UU ini, sekalipun terlihat sebagai hayalan, tetapi mungkin bisa diusahakan. Itu pilihan yang paling mungkin, dan satu-satunya. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Omnibus Law Hanya Obat Nyamuk, Bukan Kemenyan

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Ahad (11/10). Kalau salah menempuh jalan yang dilalui, maka ekonomi pasti masuk jung. Kalau liberalisasi dan neoliberal bisa menyelamatkan ekonomi pemerintahan Jokowi, seharusnya paling tidak dalam enam tahun terakhir ekonomi sudah membaik. Mengapa yang terjadi sebaliknya? Ekonomi Indonesia di bawah Jokowi stagnan. Malah cenderung ke memburuk, dan semakin memburuk dari hari ke hari. Ternyata jalan yang di pakai para ekonomi dan pemikir ekonomi pemerintah Jokowi sudah tidak relevan lagi. Dunia sudah rame-rame meninggalkan leberalisasi dan neoliberal. Lalu mengapa pemerintah malah menggunakan jalan liberalisasi neoliberal Omnibus Law? Ternyata ini karena tukang keuangan Jokowi tak mengerti keadaan dunia saat ini. Masih hidup di bawah tempurung. Mereka pikir jalan liberalisasi neoliberal bisa menjadi kemenyan untuk jampi-jampi agar uang masuk. Ternyata liberalisasi neoliberal Omnibus Law ini hanya obat nyamuk asap. Asapnya banyak, dan hanya bisa untuk membuat sesak nafas. Para tukang ekonomi, keuangan, politik, dan sosial budaya yang ada di sekitar Jokowi sekarang umumnya adalah alumni krisis 98. Mereka tidak memiliki kemampuan dalam memahami tema baru yang tengah menggerakkan dunia saat ini. Isi kepala dan otaknya alumni 98 terpenjara dalam mainstream ideologi yang sudah tak relevan lagi dalam menganalisis dan memecahkan situasi yang tengah berlangsung. Sayangnya, mereka masih coba-coba juga untuk dipaksakan mazhab yang sudah lapuk dan usang itu. Bahkan alumni krisis 98 ini hanya memahami bahwa ilmu ekonomi ini adalah liberalisasi neoliberal macam Omnibus Law. Malah ilmu ekonomi mereka hanya seputar pada bagaimana memberikan dana talangan kepada perusahaan, bailout bank, Penyertaan Modal Negara (PMN), menutup defisit dengan hutang baru dan sejenisnya. Tidak lebih dari itu. Alumni krisis 98 ini hanya memahami bagaimana menimbun utang dan mengambil pajak rakyat. Target akhirnya untuk mempertahankan supremasi oligarki, korporasi dan konglomerasi licik, picik, tamak dan culas atas kekuasaan politik dan ekonomi. Tragisnya faham dan mazhab yang sudah lapuk dan usang ini dilakukan dengan bangga berulang-ulang. Mereka Alumni krisis ekonomi dan politik 98 ini hanya kaki tangan oligarki, korporadi dan konglomerasi busuk. Padahal kemampuan dan kredibilitas mereka tidak lebih dan istimewa. Bahkan hanya menjadi parasit negara. Memakan uang negara. Hidup dari proyek proyek pemerintah dan BUMN. Namun tampil di depan publik tepuk dada sebagai penyangga ekonomi negara. Sayangnya mereka sekarang, hmapir seluruhnya tidak lagi dipandang relevan oleh arsitektur keuangan global dalam menata masa depan. Oligarki, korporasi dan konglomerasi busuk, licik, picik, dan tamak ini malah dipandang dan diposisikan sebagai penyakit global saat ini. Kebaradaan mereka hendak disingkirkan dalam percaturan global. Sebab keberadaan mereka menjadi residu untuk sejarah manusia manusia. Uang mereka hilang, perusahaan mereka ambruk, institusi penopang mereka roboh. Mereka terjatuh seperti pelepah pohon kelapa kering. Pemerintahan Jokowi sekarang telah kehilangan kesempatan. Jalan yang ditempuh sudah menyimpang jauh dari tema perubahan saat ini. Tema utama yang tengah memaksa dunia untuk berubah. Tema yang datang menerjang tak bisa dihalangi oleh siapapun. Apalagi oligarki, korporasi dan konglomerasi Indonesia, yang selama ini terkenal busuk, picik, licik dan tamak. Dunia tampaknya memang lupa memberi nama tema yang tengah berlangsung. Dunia sekarang gigerakkan oleh tools utama, yakni transparansi dengan tiga elemen kunci, yaitu ICT, digitalisasi, financial technology. Selain itu, penghapusan uang kotor melalui Automatic of Exchange Information (AoI). Penghapusan uang ktor ini bekejasama dengan Mutual legal Assitance (MLA). Terakhir, penghapusan energi kotor, industri kotor melalui Conference Of The Parties (COP) 21 dan Covid 19. Inilah elemen yang akan menyapu bersih dunia faham dan mazhab liberalisasi dan neoliberal model Omnibus Law. Siapa yang bisa berselancar di atasnya, akan bisa sampai ke tepi lautan Hindia. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).

Serial Bahasa Indonesia: Apa Itu “Nyali”?

by Asyari Usman Jakarta FNN - Ahad (11/10). “Bahasa menunjukkan bangsa,” begitu kata pepatah. Pepatah ini sangat dalam. Dan juga tajam. Makna pepatah ini adalah bahwa bila seseorang menguasai basaha dengan baik –bahasa apa saja— maka pasti orang itu ada di strata yang baik pula. Bagus pikirannya dan bagus pula penyampaiannya. Baik itu penyampaian lisan maupun tulisan. Itulah yang disebut “bahasa menunjukkan bangsa”. Kita bisa tahu ‘siapa’ orang itu dari cara ia ‘berbahasa’. Salah satu kunci penting menuju ke makna pepatah ini adalah penguasaan bahasa dan kaidah-kaidahnya. Termasuklah penguasaan kosa kata (vocabulary). Nah, hari ini dan selanjutnya, saya ajak Anda untuk mencermati kosa kata. Kita akan bahas kata-kata yang kontekstual dengan waktu dan ruang. Rujukan utama pembahasan kita adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ada edisi cetak, tapi bisa juga bebas dilihat secara daring (online). Sebagai permulaan, kita ambil kata “nyali”. Kata ini tentu sangat sering dipakai ketika orang berbicara tentang “keberanian”. Dan memang, salah satu arti “nyali” menurut KBBI adalah “keberanian”. Ada empat arti “nyali” yang dicantumkan oleh kamus besar ini. Cukup mengherankan. Karena, ada arti yang sama sekali tak tersambung dengan “keberanian”. Misalnya, KBBI meletakkan kata “empedu” sebagai arti pertama “nyali”. Kemudian, arti keduanya adalah “perasaan”. Ketiga, “keberanian”. Sedangkan arti yang keempat cukup panjang. Yaitu, “proliferasi lokal jaringan tumbuhan yang menghasilkan pembengkakan dengan bentuk khas dan amat berbeda dengan organ normal lain, biasa terbentuk sebagai responsi terhadap serangan patogen”. Nah, arti yang keempat ini “lebih parah” lagi. Silakan Anda cermati sendiri. Menurut hemat saya, “nyali” dalam arti “keberanian” adalah makna yang paling banyak dipahami orang. Dalam arti “empedu”, terus terang saya baru tahu juga. Begitu pula dalam arti “perasaan”. Apalagi arti yang keempat, yang sangat panjang itu. Untuk arti “keberanian”, KBBI membuat penjelasan ekstra tentang “nyali”. Kamus ini menerakan contoh-contoh pemakaian “nyali” dan “bernyali” (dengan imbuhan “ber-“). Menurut KBBI, “pecah nyalinya” berarti “hilang keberaniannya”. Sedangkan “bernyali” (kata kerja intransitif) berarti “mempunyai keberanian”. Tentu saja “keberanian” adalah sinomin dari “tidak ada rasa takut”. Kata kerja “bernyali” juga berarti “berani”. Dalam makna ini, KBBI menuliskan contoh pemakaian. Yaitu, “orang yang tidak ‘berani’ tidak dapat diajar berburu”. Kemudian ada contoh lain. Yakni, “bernyali besar” sama dengan berani; “bernyali kecil” sama dengan takut. Selanjutnya, kita lihat kata “nyali” dalam praktik. Ternyata, ada “nyali alsi” ada “nyali palsu”. Orang yang “bernyali asli” tidak akan pernah dirundung ketakutan. Dia selalu independen. Dia tidak perlu bergerombol untuk bernyali. Dia tidak perlu senjata dan alat proteksi untuk tampil berani. Sebaliknya, ada banyak orang yang “bernyali palsu”. Mereka memerlukan keberanian kolektif. Misalnya, mereka baru akan terlihat gagah ketika mereka ada di dalam gerombolan dan memiliki senjata. Plus alat pelindung yang lengkap. Ciri utama “nyali palsu” adalah suka mengeroyok mangsa. Sekali mengeroyok, mereka sangat beringas seperti hilang akal. Banyak yang menduga bahwa “nyali palsu” bisa dikobarkan dengan senyawa pembangkit adrenalin. Konon, sebutan jalanan untuk senyawa itu adalah narkoba. Sampai jumpa di pelajaran bahasa berikutnya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

RUU Omnibus Law Bikin Polemik, Presiden Sudah Baca?

by Mochamad Toha Jakarta FNN - Ahad (11/10). Pemerintah mulai menebar tudingan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim, pemerintah mengetahui dalang yang menggerakkan demonstrasi memprotes Undang-Undang (UU) Cipta Kerja alias Omnibus Law. Melansir Viva.co.id, Kamis (8 Oktober 2020 | 10:10 WIB), hingga hari ini demonstrasi yang terjadi di berbagai wilayah saat ini terhadap UU Omnibus Law sapu jagat tersebut dilakukan mulai dari kalangan siswa, mahasiswa hingga buruh. “Sebetulnya pemerintah tahu siapa behind [di balik] demo itu. Jadi, kita tahu siapa yang telah menggerakkan. Kita tahu siapa sponsornya itu, kita tahu siapa yang membiayainya,” ungkap Airlangga secara virtual, Kamis, 8 Oktober 2020. Airlangga menekankan, pemerintah tidak akan berhenti memperjuangkan keberadaan UU tersebut karena berbagai alasan mendesak. Dia dengan tegas mengatakan tidak akan diam hanya untuk mendengar demonstrasi. “Jadi pemerintah tidak bisa berdiam hanya untuk mendengarkan mereka yang menggerakan demo dan jumlah federasi yang mendukung UU Ciptaker ada empat federasi buruh besar,” tegas mantan Menteri Perindustrian itu. Airlangga beralasan, itu disebabkan tujuh fraksi di DPR RI yang telah setuju mengesahkan UU Cipta Kerja, sudah merepresentasikan rakyat Indonesia. Sebab, mereka adalah wakil rakyat. Di sisi lain, 30 juta masyarakat Indonesia saat ini sangat membutuhkan lapangan pekerjaan. Terlebih kondisi Pandemi COVID-19 telah membuat lapangan kerja semakin sempit karena aktivitas ekonomi berhenti. “Jadi, ini terekam by name by address ada di kantornya kartu pra kerja dan dari 30 juta lebih itu yang sudah memenuhi persyaratan untuk memasuki pelatihan 5,6 juta sehingga 5,6 juta ini membutuhkan lapangan kerja baru,” ungkapnya. Sebelumnya diberitakan, sejumlah elemen masyarakat dan buruh menggelar aksi penolakan terhadap pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR RI di sejumlah lokasi di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia, sejak Senin lalu. Presiden Joko Widodo berkata, “Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh informasi mengenai substansi dari UU ini dan hoaks di media sosial,” ucap Jokowi. “Itu betul, ada banyak sekali hoax yang disebar soal UU baru ini. Entah siapa yang nyebar, apa kepentingannya, mereka tidak pakai cross check, langsung kirim saja. Kesal lihatnya,” komentar Tere Liye, penulis novel “Negeri Para Bedebah”. “Tapi kalau bilang ribuan pendemo ini semuanya demo gara-gara kemakan hoax, itu sih lebay. Kesal juga lihat yang ringan banget nuduh begini. Itu juga betul, ada banyak yang tidak baca UU ini secara lengkap, tapi sudah komen dan demo duluan,” tulisnya. “Tapi ayo cek berita, bahkan sekelas Menteri, Ketua Komisi DPR, mereka bingung sendiri dengan pasal klaster pendidikan yang ternyata masih ada. UU ini tebalnya 900 halaman lebih (dengan penjelasan pasal), cepat sekali prosesnya, jadi, disahkan,” sindirnya. Menurutnya, menulis novel picisan 500 halaman saja butuh waktu 6-12 bulan. Ini UU, yang serius sekali, menyangkut begitu banyak aspek, bisa wussh. “Entah siapa yang benar-benar telah membaca seluruh halamannya. Kamu?” tegasnya. Fadli Zon (IG: Fadlizon). “Sampai hari ini sy sbg anggota @DPR_RI belum terima naskah RII #OmnibusLaw yg disahkan 5 Oktober 2020. Sy tanya, masih diteliti dirapikan. Jd mmg UU ini bermasalah tak hanya substansitp jg prosedur.” (17:15 - 09 Okt 20). Usulan Presiden Melansir Kompas.com, Selasa (06/10/2020, 13:23 WIB), RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang diusulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan merupakan bagian dari RUU Prioritas Tahun 2020 dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020. Pembahasan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR ini terbilang kilat dibandingkan dengan pembahasan RUU lain. Bahkan, awalnya RUU Cipta Kerja bisa selesai sebelum 17 Agustus meskipun di tengah pandemi Covid-19. Bandingkan dengan RUU lain yang belum juga diselesaikan oleh DPR: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT). Padahal jika dilihat dari jumlah Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM, pasal-pasal di RUU Cipta Kerja yang dibahas jumlahnya jauh lebih banyak. Dikebutnya pembahasan RUU ini diklaim demi kemudahan investasi di Indonesia. Sidang-sidang pembahasannya dilakukan siang malam bahkan hingga larut malam, meski dibahas di tengah masa reses dan pandemi. Pemerintah dan Baleg DPR memang sempat menunda pembahasan Klaster Ketenagakerjaan ini setelah mendapat perintah resmi dari Presiden Jokowi pada 24 April lalu. Hal ini untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal dalam klaster tersebut. Gerak cepat pemerintah jauh sebelum disahkan, pemerintah bergerak cepat meloloskan RUU Cipta Kerja. Pada Februari 2020, pemerintah mengklaim telah melakukan roadshow omnibus law RUU Cipta Kerja di 18 kota di Indonesia untuk menyerap aspirasi masyarakat. “Untuk menyerap aspirasi dari teman-teman maka seluruh stakeholder ekonomi dilibatkan, justru Bapak Presiden memerintahkan untuk menyerap aspirasi semuanya,” kata Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono kala itu. Adapun daerah-daerah tempat digelarnya roadshow adalah daerah-daerah yang memiliki stakeholder paling banyak, selain itu jumlah perusahaan dan jumlah pekerjanya juga banyak. Dari sisi investasi, juga menjadi pertimbangan digelarnya roadshow di daerah tersebut. Justru selama penyusunan draft adalah periode paling alot ketimbang pembahasan di DPR. Karena selama penyusunan draft, pihak serikat buruh yang menjadi salah satu stakeholder beberapa kali melayangkan keberatan. Sampai 64 rapat RUU ini baru mulai dibahas DPR pada 2 April 2020 dalam Rapat Paripurna ke-13. Selama di parlemen, proses pembahasannya relatif berjalan mulus. Untuk meloloskan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja, anggota dewan sampai rela rapat maraton. Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas pun mengatakan, pada bab-bab terakhir pembahasan RUU tersebut bahkan dilakukan di akhir pekan. Secara keseluruhan, Baleg DPR RI dan pemerintah telah melakukan 64 kali rapat. “Rapat 64 kali, 65 kali panja dan 6 kali timus timsin, mulai Senin-Minggu, dari pagi sampai malam dini hari, bahkan reses melakukan rapat di dalam atau di luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR,” katanya dalam Rapat Paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020). Secara keseluruhan RUU yang disusun dengan metode omnibus law itu terdiri dari 15 bab dan 174 pasal dari yang sebelumnya 15 bab dengan 185 pasal. Secara keseluruhan, ada 1.203 pasal dari 73 UU terkait dan terbagi atas 7,197 DIM yang terdampak RUU tersebut. RUU ini resmi menjadi UU setelah disahkan DPR pada Senin (5/10/2020). Isi RUU Cipta Kerja didukung oleh seluruh partai pendukung koalisi pemerintah. Dua fraksi menyatakan menolak RUU menjadi UU Cipta Kerja ini yaitu PKS dan Partai Demokrat. Tujuh fraksi partai pendukung RUU Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU: PDI-P, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, PKB, PAN, dan PPP. Apakah semua anggota DPR ini juga sudah baca RUU (Draf RUU) Cipta Kerja itu sebelum diketok dalam Rapat Paripurna DPR tersebut? Apakah Menteri Airlangga Hartarto dan juga Presiden Jokowi telah membacanya? Rasanya koq tidak mungkin! Berarti kita sama-sama kena hoax RUU sebanyak 900 halaman itu. Apalagi, ternyata meski telah diketok, setelahnya masih ada perbaikan isinya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Dari Revolusi Mental Menuju Revolusi Sosial (Bagian-2)

by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Ahad (11/10). Dalam tafsir pemikiran Marxian, model negara dengan pemusatan kekuasan di tangan Jokowi seperti ini adalah negara proxy kapitalis. Bukan sebuah negara ala Weberian atau ala Leviathan Hobbes yang melihat adanya eksistensi negara. Tafsir Marxian memperlihatkan bahwa cita cita Jokowi dengan Revolusi Mental yang ke kiri-kirian hanyalah seperti "Violin Obama". Sebuah term yang pernah dituduhkam pada Obama, yang berpura-pura kiri, tapi faktanya kapitalis habis. Namun, perjalan situasi saat ini tidak menguntungkan rezim Jokowi. Krisis pandemi Covid-19 telah menghancurkan negara, baik ekonomi maupun sektor kesehatan. Ekonomi mengalami krisis dan depresi tanpa jalan keluar. Harapan bantuan "teman baik" RRC tidak terjadi. Karena RRC juga mengalami kemerosotan ekonomi, yang membuat ratusan juta pengangguran di sana. Mengandalkan lembaga lembaga multilateral untuk menolong atau hutang juga sulit. Karena IMF misalnya, harus membantu 150-an negara anggotanya. Beberapa bulan lalu IMF hanya berhasil memberikan pinjaman rera-rata U$ 0,3 miliar per negara. Bandingkan Indonesia pada krisis moneter tahun 98, mendapat bantuan U$ 75 miliar. Kemerosotan negara akan terus memperburuk adminsistrasi dan pelayanan, serta kemampuan aparatur militer menjaga negara. Memperkuat peranan polisi pada social order, belum tentu efektif, jika keresahan dan perlawanan rakyat menguat. Selanjutnya munculnya tokoh-tokoh revolusioner ke depan. Dalam gejolak sosial seperti saat ini, kelompok-kelompok sosial terus memproduksi "tokoh-tokoh baru". Maksudnya tokoh-tokoh yang menjadi revolusioner. Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin misalnya, dua tokoh baru dari masyarakat sipil dan eks militer. Kedua tokoh ini muncul membawa pesan-pesan revolusioner serta solidaritas. Tokoh seperti Agus Harimurti Yudhoyono misalnya, yang acap sebelumnya dianggap sepele, namun karena keberaniannya melawan rezim dalam kasus UU Omnibus Law, telah berubah menjadi sosok heroik. Tentu saja akan muncul banyak tokoh-tokoh baru lainnya ke depan. Tokoh-tokoh revolusioner baru ini akan bersinergi dengan tokoh revolusioner lama, Habib Rizieq Sihab. Situasi dan momentum akan membuat mereka membangun front bersama dalam membimbing perubahan. Terakhir soal ideologi perjuangan. Ideologi dalam pengertian sederhana adalah alat untik sebuah tujuan. Pengertian dapat dikembangkan bahwa ideologi adalah seperangkat nilai-nilai yang mengikat dan mewarnai sebuah gerakan sosial untuk mencapai tujuannya. Nilai-nilai itu adalah yang berkontestasi dengan nilai-nilai "establishment" dari penguasa. Saat ini ideologi perjuangan dan perlawanan telah melahirkan nilainilai yang mengikat collective ideas, yakni anti kapitalisme, anti Oligarki dan cukong-cukong dan mendorong nilai-nilai sosialistik menggantikan kapitalis liberal. Habib Rizieq yang dulu sendirian menggelegarkan anti terhadap “Sembilan Naga”, sebagai anti cukong alias anti kapitalis telah mendapatkan sekutu perlawanan dari berbagai tokoh-tokoh dan elemen perjuangan. Dengan pernyataan yang sama dari Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin, misalnya, persekutuan ideologis terjadi dalam suasana perlawanan sosial mereka. Sebab-sebab munculnya sebuah revolusi telah terlihat sebagai sebuah fenomena sosial kita. Ketegangan sosial dan keruntuhan sosial lama telah dan akan menjadi kenyataan. Dalam situasi keruntuhan sebuah sistem sosial lama, sebab-sebab tersebut tidak dapat dipersepsikan sebagai sebuah kejahatan bernegara. Sebab-sebab tersebut adalah sebuah konsekwensi sosial dalam situasi dan momentum yang terjadi karena berbagai sebab-sebab sebelumnya. Suatu rangkaian peristiwa sosial yang terhubung sata sama lain. Ketika kita memaknai seorang Profesor ahli Hukum UGM, yang menyerukan pembangkangan sosial, tentunya bukan sebuah kejahatan. Sebab, seruan itu adalah reaksi atas aksi. Dan UGM selama ini dikenal sebagai kampus loyalis pendukung Jokowi. Namun sekarang menjadi berbalik. Mengapa Revolusi Mental Gagal? Revolusi yang digaungkan Jokowi sebagai upaya perubahan besar ketika berkuasa adalah Revolusi Mental. Revolusi ini adalah gagasan untuk menghancurkan kehidupan materialistik dan memperkaya diri dalam masyarakat. Selain itu, sebagaimana tulisan Jokowi di Kompas, April 2014, gagasan lainnya adalah menghancurkan budaya korupsi di Indonesia. Dua tahun setelah berkuasa, Jokowi melembagakan gerakan revolusi itu melalui Inpres 12/2016. Inpres itu menyatakan ada lima program Gerakan Nasional Revolusi Mental. Yaitu Program Gerakan Indonesia Melayani, Program Gerakan Indonesia Bersih, Program Gerakan Indonesia Tertib, Program Gerakan Indonesia Mandiri, dan Program Gerakan Indonesia Bersatu. Namun, sebagaimana kita ketahui, gagasan Indonesia bersih itu telah gagal total saat ini. Setelah Jokowi dan sekutu partainya "melumpuhkan" KPK tahun lalu, maka pembicaraan dan keraguan tentang rezim Jokowi yang semakin korup menjadi semakin nyata. Gerakan sipil dibidang pemberantasan korupsi melihat pelumpuhan KPK itu sebagai situasi terburuk upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbagai korupsi besar seperti skandal Asuransi Jiwasraya dan ketua KPK menggunakan fasilitas swasta untuk kepentingan pribadi, serta banyak lainnya, menandai membesarnya prkatek korupsi di Indonesia. Skandal perlindungan kasus korupsi Djoko Tjandra oleh petinggi kepolisian dan kejaksaan, menunjukkan situasi tidak berdaya rezim Jokowi dalam penegakan hukum. Mahfud MD, sebagai pemerintah, mengakui ketidakmampuan dan ketidakberdayaan pemerintah itu. Bahkan ketidakberdayaan presiden soal penegakan hukum ini. Bulan lalu, berbagai media mengungkap tanggapan atas pernyataan Mahfud ini sebagai sebuah kekalahan negara. Meskipun dia beralasan adanya pembagian kewenangan yang terpisah. Lalu mengapa Revolusi Mental Jokowi gagal? Setidaknya penyebabnya karena tiga hal. Pertama, jokowi terjerat pada persekutuan oligarki partai dan pemilik modal yang sebagiannya sudah terbiasa korupsi. Ditenggarai seorang mantan direktur Jiwasraya yang terlibat skandal Jiwasraya adalah pejabat di kantor Staf Presiden (KSP). Sekutu partai Jokowi lainnya, seperti Romi PPP, Setya Novanto dan Idrus Marham Golkar, serta Imam Nachrowi PKB juga koruptor. Kedua, Jokowi tidak punya basis sosial yang kuat dalam gagasan revolusi mental. Ini ditandai dengan tidak adanya kekuatan masyarakat yang mengusung tema ini secara besar besaran dan serius. Ketiga, Gagasan ini mungkin bersifat artifisial. Jokowi hanya ingin gagah-gagahan unjuk gagasan dalam menuju kekuasaan. Sebab pada pilpres 2019, Jokowi tidak lagi mempersoalkan keberadaan gagasan ini. Penutup Kekecewaan rakyat meluas dan mendalam. Spektrum kekecewaan itu datang dari berbagai persoalan bangsa, seperti isu kebangkitan Komunisme, isu Omnibus Law, isu Pilkada, isu krisis ekonomi, kesehatan, serta berbagai isu terkait pelanggaran HAM dan anti demokrasi. Kekecewaan ini telah meliputi ormas-ornas besar. Misalnya dalam kasus penolakan pilkada, dan elemen progresif revolusioner, yakni kaum buruh dan mahasiswa, dalam kasus Omnibus Law. Sebagai manifestasi kekecewaan itu, maka buruh dan mahasiswa sudah melakukan aksi perlawanan pada rezim Jokowi. Padahal mereka juga mengetahui adanya resiko pandemi yang mematikan. Dan diperkirakan kekecewaan ini tidak mudah berhenti, dan sangat sulit untuk dikendalikan. Krisis ekonomi dan sektor kesehatan, di sisi lainnya, telah menggerogoti negara. Skocpol, seorang sosiolog America misalnya, melihat faktor kegagalan negara menjadi salah satu sebab lain terjadinya revolusi sosial, ketika pemberontakan rakyat terjadi. Dua hal ini, perlawanan dan krisis negara menjadi syarat adanya sebuah revolusi sosial. Sebagaimana studi Theda Skocpol pada revolusi Prancis, Rusia dan China. Namun, berbagai ahli tentang revolusi lainnya mengaitkan adanya tokoh-tokoh atau "social agent" dan ideologi bersama. Dari sisi ini ideologi, norma anti "establishment", anti kapitalis, anti neo liberal dan anti komunisme telah mewarnai ruh berbagai gerakan yang ada. Dapat menjadi ideologi bersama. Tokoh seperti Habib Rizieq, Din Syamsuddin dan Gatot Nurmantyo, telah menjadi tokoh nasional yang terlibat dalam perlawanan. Bisa juga Agus Harimurti Yudhoyono dan Said Iqbal yang menolak UU Omnibus Law, serta Profesor Zainal Mochtar Arifin yang menyerukan pembangkangan sosial bergeser menjadi tokoh-tokoh revolusioner pula. Berbagai tokoh gerakan tentu saja akan muncul beberapa atau banyak lainnya dalam momentum revolusioner, di manapun dalam sejarah. Itulah situasi sosial kita saat ini. Sebuah situasi besar pergeseran "Dari Revolusi Mental Menuju Revolusi Sosial". Memang Revolusi akan selalu mencari jalannya sendiri. (selesai). Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.

Tidak Belajar Dari Orla & Orba, Malapetaka Pak Jokowi

by Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Ahad (11/10). Presiden telah mengambil sikap. Presiden tidak mau menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk mencabut UU Omnibus Cipate Kerja, yang sialan itu. Para guru besar hukum, dan lainnya dari berbagai Perguruan Tinggi, juga pelajar, pekerja dan siswa yang berdemonstrasi di seluruh Indonesia, disepelekan saja. Presiden punya hitung-hitungan? Itu pasti. Paling tidak Presiden menganggap penolakan berbagai kalangan atas UU sialan ini, sebagai ekspresi biasa dalam dunia demokrasi. Sampai disini oke. Tetapi bagaimana kalau rakyat, sekalipun hanya sebagian menganggap Presiden angkuh, sombong, ngaco ngawur, amburadul, asal-asalan dan picisan? Keangkuhan Seokarno & Soaharto Orde Lama dan Orde Baru, diketahui berbagai kalangan, dulu dan sekarang sebagai dua orde yang sangat memonopli kebenaran publik. Kebenaran hanya datang dari penguasa. Di luar penguasa, itu ngaco dan ngawur semua. Suara-suara kebenaran di luar penguasa Orde baru dan Ode Lama dianggap menggoyan stabilitas politik, mengganggu pemerintah dan lain sebagainya. Begitulah catatan beta sebagai wartawan yunior sejak awal 1990 dulu. Pemerintah tak boleh dikritik. Praktis pemerintah menjadi lumbung kebenaran yang mutlak-mutlakan. Kebenaran hanya punya mereka yang di kekasaan. Kenyataan itu juga yang menguat, tak terbandingi diujung kejayaan palsu Orde Lama. Siapapun yang merasa bahwa kritiknya itu benar dan masuk akal. Sehingga ada alasan yang kuat untuk tetap mengeritik pemerintah, maka harus berakhir dipenjara. Tragisnya lagi, dipenjara tanpa proses pemeriksaan di pengadilan. Orde Baru juga sama. Gampang untuk melupakan kenyataan sejarah yang sangat bernilai saat Orde Lama berkuasa itu. Bahkan Orde Baru tetap angkuh, pongah, sombong, suka mengentengkan masalah. Senang untuk bembanggakan sendiri kenyataan pembangunan, yang ternyata rapuh tersebut. Akibatnya, temboklah yang bicara. Untuk menunjukan betapa hebatnya Pemerintah Pak Harto mengontrol rakyat. Harus memastikan bahwa stabilitas terus bekerja sesuai defenisi penguasa. Stabiltas berada dalam kendalinya penguasa Orde Batu. Untuk itu, semua yang bebentuk gangguan harus disikat, dan dibereskan. Tetapi sejarah berbicara dengan fakta yang tak dapat dikoreksi. Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, dua orang paling hebat, berkuasa pada masanya, terjungkal dengan cara yang sangat menyakitkan dan menyayat hati. Dua orang besar yang tidak bisa dikatakan bawha mereka berdua bukan penyelamat bangsa ini, harus mengakhiri jabatannya setelah diolok-olok oleh rakyatnya sendiri. Sangat menyedihkan sekali. Namun itu kenyataan. Gurihnya kekuasaan memang membutakan segalanya. Begitulah sejarah menunjukan kepada kita. Itu juga yang terjadi di pemerintah keduanya. Bung Karno tak bisa dikoreksi. Begitu juga dengan Pak Harto. PKI yang terus menggila dalam politik Bung Karno, tak bisa dikoreksi. Dukungan mereka pada kebijakan Pak Karno, membuat PKI dilihat sebagai loyalis. Kaum revolusioner sejati. Yang lain seperti misalnya Masyumi? Itu Neokolim semua. Sedih memang, melihat catatan sejarah bagaimana keduanya diolok-olok oleh rakyat sendiri. Yang boleh jadi pernah mengagung-agungkan mereka dulu. Begitulah hukum politik. Selalu menemuikan cara untuk menghukum, mengolok-olok orang besar. Berpihak kepada orang pada saatu saat, lalu berpindah memihak orang kecil, yang biasa terhina di sisi lain pada waktu yang lain. Itulah hukum abadi politik. Jokowi di Jalan Yang Sama Presiden Jokowi yang tidak cukup punya bekal politik sekelas dengan Bung Karno dan pak Harto, juga Pak Habibie, dan Gus Dur. Jokowi sedang dan terus berada dijalan yang sama yang pernah dilalui Bung Karno dan pak Harto. Menyepelekan orang-orang pintar di kampus-kampus, sedang menjadi tabiat yang peling menonjol dari pemerintahannya. Persis seperti Pak Harto diujung kejayaan dulu. Saat di tepi waktu kejatuhan yang memilukannya, Jokowi telah dengan berani menyepelekan ratusan guru besar, para Doktor dan Profesor. Jokowi malah tegas meminta polisi memejarakan para demonstran. Tindakan ini persis sama dengan yang dilakukan oleh Pak Harto menjelang kejatuhannya dulu. Masih ingatkah bagaimana pemerintah Pak Harto mengarahkan kampus-kampus? Tidak ingatkah bagaimana pemerintah Pak harto memperlakukan mahasiswa menjelang kejatuhannya? Masih ingatkah bahwa ketika itu keadaan memang buruk, tetapi rakyat tidak sesusah secara ekonomi seperti sekarang ini. Sekarang malah luarbiasa susahnya. Pemerintah Orde Baru jago dalam mempromosikan konsep pertumbuhan ekonomi, sebagai mantra mensejahterakan rakyat. Pemerintah Pak Harto juga mengistimewakan kaum pengusaha. Masih ingat bagaimana kasus Marsina, perempuan pekerja yang mati terbunuh secara sadis itu? Masih ingat kasus Udin, jurnalis yang mati terbunuh setelah memberitakan kebobrokan pemerintahan? Sekarang ada jurnalis yang hilang ditengah liputan demonstrasi kemarin. Edan, ko bisa itu terjadi dalam demokrasi di eranya Jokowi? Atau itulah demokrasi ala Jokowi? Hanya waktu yang akan bicara. Jokowi tidak mengekspresikan sikapnya sebagai sosok yang sebenarnya ikut bertanggung jawabn atas demokstrasi kemarin. Bagaimana bilang informasi yang beredar hoax, sampai sekarang pun boleh jadi Jokowi belum memperoleh UU itu secara utuh. Persis seperti dialami Fraksi PKS dan Fraksi Denmokrat. Lalu atas dasar apa Jokowi bilang hoax? Presiden Jokowi hanya bisa berbicara secara umum sekali. Sama dengan semua orang yang bicara. Tetapi Jokowi cukup berani mengatakan orang-orang berdemonstrasi itu memperoleh informasi hoax. Hebat sekali Pak Jokowi kita ini. Meskipun belum baca utuh ini UU, tetapi sudah mampu mengklaim kebenaran. Sama persis eranya Orde Lama dan Orde Baru dulu. Pemerintahan Jokowi juga mengcopy-paste cara orde baru menghadapi keadaan politik yang panas. Caranya adalah menuduh orang, tanpa menyebut nama sebagai otak keributan. Pemerintah ini masuk ke cara kuno dan primitif. Tentu saja untuk menekan orang-orang berkelas yang kritis. Demonstran mau dipenjarakan. Tetapi tindak pidana pemukulan yang dilakukan oleh penegak hukum kepada para demonstran, didiamkan Jokowi. Sikap ini diskriminatif. Semau gue, juga angkuh dan sombong. Jokowi melukai para orang tua yang anaknya ditelanjangi itu. Sedih melihatnya. Ini juga cara terlalu kotor, primitif an bar-baran. Jokowi boleh saja berjaya saat ini. Boleh saja sepelekan guru besar, dan mencampakan dialog, serta terus kukuh, angkuh dan sombong menjalankan UU, yang para Guru Besar telah menolaknya. Pak Jokokwi, kalau UU ini hebat, mangapa musti disepakati malam-malam? Mengapa juga harus cepat-cepat disahkan? Padahal drafnya saja belum tuntas? Ada apa Pak Jokowi? Ada yang disembunyikan atau ada yang dihindari? Oke Pak Jokowi bilang silahkan uji ke Mahkamah Konsitusi. Beta bukan ahli hukum. Beta hanya jurnalis hukum, sehingga cuma bisa ajukan pertanyaan kepada bapak. Pernahkah sekalipun hanya sedetik saja, bapak bayangkan berapa jumlah permohonan yang harus disiapkan pemohon? Sampai sekarang Pak Jokowi tidak mampu menjawab pertanyaan PKS dan Demokrat, tentang dimana draf akhir UU itu berada? Tetapi Pak Jokowi telah dengan meyakinkan menyalahkan orang-orang. Saya sarankan jawablah segera. Dimana itu barang? Sedang diapakan itu barang? Pak Jokowi tak bisa dianggap tidak bertanggung jawab terhadap keributan sekarang ini. Barang tidak jelas, tetap disahkan. Apakah Pak Jokwi sedang menyusun bata pasir rapuh untuk mengundang kejengkelan yang lebih dari rakyat negeri ini? Hanya Pak Jokowi yang tahu itu. Sekarang bapak menolak untuk berdialog. Tidak mau mengikuti kemauan rakyat. Kalau bapak buka dialog saat ini, toh untuk apa? Tetapi sejarah telah menunjukan bahwa Pak harto yang sebelumnya tidak mau berdialog, akhirnya dijepit waktu dan memanggil untuk berdialog dengan para tokoh. Hasilnya? Pak Harto akhirnya berhenti. Apakah itu yang diharapkan oleh Pak Jokowi? Waktu yang menjadi saksi dan hakim untuk kita semua. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.Co.id.