Kata Ali Ngabalin, Pendemo “Sampah Demokrasi”
by M Rizal Fadillah
Bandung FNN – Rabu (14/10). “Sampah Demokrasi”. Itu adalah ucapan Tenaga Ahli Utama Kantor Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin untuk menyebut peserta aksi menolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Sampah demokrasi satu ungkapan yang cukup menyentak. Aksi unjuk rasa di masa Covid dinilai Ali Ngabalin sebagai “sampah demokrasi”.
Sampah itu sebutanag untuk barang-barang sisa, bekas pakai, busuk dan yang tidak lagi berguna. Dikumpulkan dan dibuang di tempat sampah. Agar tidak berbau busuk, biasanya sampah tersebut ada yang dibakar. Ungkapan sampah demokrasi tentu tidak layak terlontar dari orang berpendidikan. Hanya pantas untuk diucapkan oleh "bukan anak sekolahan".
Unjuk rasa bukan saja peroslan Hak Asasi Manusia (HAM). Tetapi juga kegiatan yang sangat mulia dan berani tinggi dalam sebuah negara demokrasi. Nilai universal adalah memberi penghargaan atas hak warga negara untuk berunjuk rasa. Hanya negara dengan pemimpin pengecut yang anti terhadap demokrasi, yang mau menumpas unjuk rasa.
Tidak ada sampah dalam hal yang baik, meskipun itu dalam situasi berat. Ketika Covid 19 menghalangi, terobosan seperti unjuk rasa untuk suatu tujuan yang mulia dan bernilai tinggi adalah bentuk rela berkorban dan heroisme. Melawan siapa saja pemimpin yang zilom jahat adalah hak dan kewajiban yang sangat mulia. Korbannya mendapat tempat mulia di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala.
Ali Ngabalin dengan sinis menekankan opsi Judisial Review ke Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya jalan hukum. Sepertinya ini adalah langkah logis. Tetapi disamping adanya hak untuk meragukan integritas para hakim di Mahkamah Konstitusi, juga MK kini sudah terkebiri untuk pasal yang berkaitan dengan eksekutorialnya.
Unjuk rasa dan demontrasi tidak lain merupakan upaya politik yang dilindungi hukum yang disediakan oleh setiak negara demokrasi kepada warga negaranya. Tujuanya untuk menyapaikan sikap dan pendapat atas keluarnya sebuah produk politik atau hukum, seperti Peraturan Pemerin tah Pengganti Undang-Undang (Perppu) misalnya. Atau mungkin saja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyadari bahwa putusan yang diambilnya itu cacat hukum sehingga terjadi perdebatan politik baru.
Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja adalah aturan yang berbahaya untuk rakyat Indonesia. Juga dan dapat merusak banyak bidang sosial kemasyarakatan. Karenanya wajar jika rakyat Indonesia yang terdiri dari para buruh, mahasiswa, pelajar ulama, para Guru Besar dan aktivis lainnya mereaksi kera untuk mendesak pembatalan.
Undang-Undang ini dibuat hanya untuk kepentingan para oligarki, korporasi dan konglomerasi busuk, licik, picik, culas dan tamak. Namun yang dirasakan aneh adalah Pemerintah seperti bebal dan budeg. Pemerintah cenderung menafikan aspirasi dari mayoritas rakyat Indonesia. Bahkan melakukan banyak penangkapan terhadap para demontran.
Akibatnya yang timbul adalah, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat menjadi terusik. Untuk jangan seenak perutnya Tuan Ali Ngabalin mengatakan bahwa unjuk rasa itu sebagai “sampah demokrasi”. Jangan-jangan kita sendiri yang sok apik tersebut adalah sampah yang sebenarnya. Kata orang kampong, “mulut senang memukul badan”
Jangan-jangan siapapun orangnya yang bergelantungan di pagar istana atau menjadi penonton semata, maka bisa jadi orang tersebut adalah sampah tirani atau sampah oligarkhi. Dan yang lebih mendekati ya sampah fulusi masyarakat.
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.